• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kata kunci: kearifan lokal, masyarakat Madura, penyelesaian sengketa,tanah waris

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kata kunci: kearifan lokal, masyarakat Madura, penyelesaian sengketa,tanah waris"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

1062 SENASPRO 2017 | Seminar Nasional dan Gelar Produk PENYELESAIAN SENGKETA TANAH WARIS BERBASIS KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT MADURA21

Uswatun Hasanah1, Mohammad Amir Hamzah2, Mufarrijul Ikhwan3

1Fakultas HukumUniversitasTrunojoyo Madura

2Fakultas HukumUniversitasTrunojoyo Madura

3Fakultas HukumUniversitasTrunojoyo Madura

Jl.RayaTelang,Po Box 2-Kamal-Bangkalan,Telp (031) 3011146; Fax (031) 3011200.

E-mail:1)uswatun.fhutm@gmail.com,2)amhamz@gmail.com

3)Mufarrijul_Ikhwan@yahoo.com

Abstrak

Masyarakat Madura memiliki kearifan lokal yang dikenal dengan “bhuppa’bhabhu’ ghuru rato” sebagai nilai-nilai penghormatan kepada orang tua, guru ngaji (keyae), dan pimpinan formal. Kearifan lokal ini merupakan nilai-nilai yang dijadikan panduan dalam penyelesaian sengketa, termasuk sengketa tanah waris. Sebagai masyarakat petani, tanah merupakan benda yang penting bagi masyarakat Madura. Namun, adanya perkembangan jaman serta kebiasaan masyarakat Madura yang suka merantau keluar negeri membawa implikasi pada tanah yang ditinggalkan berpotensi timbulnya sengketa, baik sengketa yang timbul karena adanya hubungan hukum yang dibuat sebelumnya maupun karena tidak adanya hukum hukum sebelumnya. Berkaitan dengan itulah, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji (a) bagaimanakah tipologi sengketa tanah waris pada masyarakat Madura; (b) bagaimana peran kearifan lokal dalam penyelesaian sengketa tanah waris pada masyarakat Madura. Penelitian ini menggunakan metode sosiolegal research. Untuk memperoleh data primer, teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam kepada informan kunci, para pihak yang bersengketa, dan tokoh masyarakat. Untuk memperoleh data sekunder dilakukan melalui studi dokumen. Data primer dan data sekunder yang diperoleh kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 3 (tiga) tipologi sengketa tanah waris pada masyarakat Madura yaitu sengketa tanah diantara ahli waris, sengketa tanah ahli waris dengan orang lain, dan sengketa tanah ahli waris dengan pihak pemerintah daerah. Adapun peran kearifan lokal dalam menyelesaikan sengketa tanah waris pada masyarakat Madura bahwa penyelesaian sengketa itu dilakukan secara damai dan musyawarah untuk mufakat. Pihak yang berperan dalam penyelesaian sengketa tanah pada masyarakat Madura adalah Klebun/kepala desa, dan Keyae/Kiai.

Kata kunci: kearifan lokal, masyarakat Madura, penyelesaian sengketa,tanah waris 1.PENDAHULUAN

Bangsa Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman budaya dan masing-masing

budaya memiliki kearifan tersendiri berupa nilai-nilai yang merupakan pandangan-pandangan baik dan buruk yang kemudian diwujudkan menjadi pola perilaku masyarakat termasuk di dalamnya kearifan dalam menyelesaikan sengketa tanah, dan kearifan-kearifan tersebut dikenal sebagai kearifan lokal (local wisdom) [1].

Bagi masyarakat Desa Banbaru Kecamatan Giligenting Kabupaten Sumenep Madura, tanah

pertanian merupakan aset kekayaan yang tidak ternilai harganya karena kehidupan masyarakat bergantung sekaligus ditopang oleh tanah. Bagi masyarakat, tanah merupakan tempat kelahiran, tempat mereka hidup dan tempat mereka dikuburkan sehingga antara masyarakat dengan tanah terdapat hubungan religio magis. Lebih penting lagi, apabila tanah yang dimiliki tersebut merupakan tanah waris dari orang tua atau kakek-nenek secara turun temurun sehingga status pemilikan tanah seperti ini memiliki makna dan kekuatan yang sangat suci [2].

21Artikel ini merupakan hasil Penelitian Tim Pasca Sarjana yang dibiayai DRPM, Kemenristekdikti TA 2017,

(2)

Seminar Nasional dan Gelar Produk | SENASPRO 2017 1063

Di sisi lain, dalam rangka meningkatkan taraf hidupnya, masyarakat Madura suka merantau

ke luar pulau, seperti Pulau Jawa dan Pulau Kalimantan, bahkan merantau ke luar negeri seperti ke Malaysia dan Arab Saudi yakni sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Akibatnya, tanah warisnya ditinggalkan dan tidak bisa dikelola sendiri. Oleh karena itu, dalam rangka menjaga produktivitas tanah maka tanah yang ditinggalkan tersebut kemudian dipercayakan kepada keluarga yang masih tinggal di desa tersebut. Berdasarkan hubungan kepercayaan tersebut kemudian dilakukan perjanjian bagi hasil, perjanjian sewa ataupun ada yang hanya dititipkan kepada tetangga di desa tersebut agar tanahnya dirawat dan dikelola. Persoalannya, perjanjian pengerjaan tanah pertanian tersebut umumnya dilakukan hanya berdasarkan “rasa saling percaya” tanpa didukung dengan adanya bukti tertulis. Keadaan ini membawa implikasi pada potensi timbulnya sengketa tanah waris pada masyarakat Madura.

Berkaitan dengan itulah, maka penelitian ini bertujuan untuk mengkaji (a) bagaimanakah

tipologi sengketa tanah waris pada masyarakat Madura; (b) bagaimana peran kearifan lokal dalam penyelesaian sengketa tanah waris pada masyarakat Madura.

2. METODE

Penelitian ini menggunakan metode. sosiolegal research. Penelitian ini dilakukan di

Kecamatan Desa Banbaru Kecamatan Giligenting Kabupaten Sumenep dan Desa Pandabah Kecamatan Kamal Kabupaten Bangkalan. Desa Banbaru Kecamatan Giligenting Kabupaten Sumenep dipilih karena di lokasi ini terjadi sengketa tanah waris diantara sesama ahli waris dan sengketa tanah waris antara ahli waris dengan orang lain. Desa Pandabah Kecamatan Kamal Kabupaten Bangkalan dipilih karena di lokasi ini telah terjadi sengketa tanah waris antara ahli waris dengan pemerintah daerah. Semua sengketa-sengketa tersebut penyelesaiannya berbasis kearifan lokal. Untuk memperoleh data primer, teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam kepada informan yang terdiri dari para pihak yang bersengketa, dan tokoh masyarakat. Untuk memperoleh data sekunder dilakukan melalui studi dokumen. Data primer dan data sekunder yang diperoleh kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif.

3.HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Tipologi Sengketa Tanah Waris Pada Masyarakat Madura

Sebelum membahas tentang tipologi sengketa tanah waris, akan dibahas terlebih dahulu tentang hukum waris adat. Dalam hukum adat, waris adalah proses beralihnya harta kekayaan dari orang tua kepada turunannya. Proses peralihan harta kekayaan ini dapat terjadi pada saat orang tua telah meninggal dunia ataupun sebelum orang tua meninggal dunia. Peralihan harta kekayaan yang terjadi saat orang tua meninggal dunia disebut wasiat, sedangkan peralihan harta kekayaan sebelum orang tua meninggal dunia disebut hibah [3]. Mengenai benda, sebagaimana dalam sistem hukum adat, benda dibagi menjadi benda tanah dan benda bukan tanah. Bagi masyarakat Madura, tanah merupakan benda yang mempunyai nilai dan makna penting karena tanah merupakan tempat lahir,

hidup, dan meninggal. Oleh karena itu, tanah mengandung nilai religio magis bagi masyarakat

Madura.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Desa Banbaru diperoleh informasi bahwa

sengketa tanah yang pernah terjadi adalah sengketa tanah waris diantara sesama ahli waris. Pembagian waris yang dilakukan termasuk wasiat karena pembagiannya setelah orang tua meninggal dunia. Bahwa berdasarkan wasiat lisan orang tuanya maka sudah ditentukan bahwa nantinya seorang anak akan memperoleh bagian sawah atau ladang saat orang tua telah meninggal dunia [4].

Selanjutnya, anak laki-laki tertua menjadi pengganti orang tua dan melaksanakan wasiat

orang tua tersebut. Dengan demikian, pembagian warisan dilakukan berdasarkan pada kepercayaan, kepatuhan, dan penghormatan pada orang tua. Begitu orang tua meninggal dunia, maka sawah atau ladang yang ditunjuk sebagai bagian seorang ahli waris, kemudian dikerjakan oleh anak yang telah diberi wasiat tersebut. Namun demikian, setelah terjadi peristiwa pembagian waris tersebut ternyata mereka tidak langsung melakukan mutasi terhadap surat-surat tanah tersebut dalam arti bahwa

(3)

1064 SENASPRO 2017 | Seminar Nasional dan Gelar Produk

mereka tidak melakukan mutasi atau balik nama dalam buku desa, akibatnya meskipun secara de facto tanah telah dikuasai oleh masing-masing ahli waris, tetapi secara de jure tanah yang sudah dibagi-bagi tersebut, status milik dalam buku desa masih tetap atas nama orang tua bahkan ada yang masih atas nama leluhurnya.

Di samping itu, adanya kebiasaan masyarakat Madura yang suka merantau ke luar pulau ataupun ke luar negeri membawa implikasi bahwa tanah yang menjadi bagian warisannya harus ditinggalkan. Untuk itu, dalam kondisi demikian, maka umumnya tanah tersebut kemudian dipercayakan kepada ahli waris lain yang masih menetap di desanya. Keadaan inilah yang berpotensi timbulnya sengketa diantara ahli waris karena pernah terjadi tanpa setahu ahli waris lainnya, seorang ahli waris yang mendapat kepercayaan atas surat-surat tanah tersebut ataupun ahli waris lainnya yang tidak merantau melakukan balik nama atas tanah waris tersebut. Jadi, tidak adanya bukti tertulis tentang pembagian warisan masing-masing ahli waris, serta ahli waris tidak menguasai secara fisik tanah tersebut karena ahli waris yang berhak atas tanah tersebut merantau ke luar negeri atau ke luar pulau dapat menjadi penyebab terjadinya sengketa.

Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak yang pernah bersengketa diperoleh informasi bahwa sebab-sebab terjadinya sengketa tanah waris diantara ahli waris, bisa juga disebabkan karena ada salah satu ahli waris yang menempati bagian tanah ahli waris lain, atau karena ada ahli waris yang ingin menukar bagiannya dengan bagian ahli waris lainnya sementara nilai jual tanah yang ditukar itu tidak sama atau lebih kecil, atau karena ada sebagian ahli waris yang tidak mau melaksanakan wasiat orang tuanya sedangkan ahli waris yang lain tidak ingin merubah atau tetap hendak melaksanakan wasiat orang tuanya [5]. Akibatnya, sengketa tanah waris sesama ahli waris tidak dapat dihindari lagi.

Pada masyarakat Madura termasuk di Desa Banbaru ini, apabila orang tua meninggal maka

kedudukan anak laki-laki tertua sebagai pengganti orang tua, dalam arti bahwa urusan harta warisan termasuk surat-surat tanah akan dipegang oleh anak laki-laki tertua. Namun demikian, anak perempuan juga dapat menggantikan kedudukan orang tuanya bahkan akan mendapatkan bagian yang lebih besar apabila semasa hidup orang tuanya, anak perempuan tersebut yang merawat dan tinggal bersama di rumah orang tuanya sampai orang tuanya meninggal dunia. Jadi, dalam hukum waris adat masyarakat Madura, surat-surat tanah dan harta warisan orang tuanya akan diserahkan pada anak laki sebagai pihak yang melaksanakan pembagian warisan, akan tetapi jika anak laki-laki pergi merantau atau ikut pindah ke daerah istrinya maka surat-surat tanah akan dikuasai anak perempuan yang merawat orang tua hingga orang tuanya meninggal dunia.

Di samping sengketa tanah waris antara ahli waris dengan ahli waris lainnya, terdapat pula

tipologi sengketa tanah waris antara ahli waris dengan orang lain. Faktor penyebab terjadinya sengketa tanah waris antara ahli waris dengan orang lain adalah karena tidak adanya perjanjian tertulis antara orang tua (pewaris) dengan orang lain baik dalam hal jual lepas (jual beli), jual tahunan (sewa), ataupun jual gadai (gadai tanah).

Dalam jual lepas, perjanjiannya dilakukan secara lisan, kalaupun ada perjanjian tertulis,

namun perjanjian tersebut dilakukan di bawah tangan dan tidak dilanjutkan dengan perubahan nama pada buku desa, akibatnya tanah waris tersebut tetap atas nama pihak penjual. Di samping itu, sengketa tanah waris dalam jual lepas, dapat pula disebabkan tidak adanya kesepakatan tentang batas tanah yang dijual, akibatnya tanah yang diatasnya terdapat rumah yang menjadi tempat tinggal juga ikut menjadi obyek jual lepas.

Sengketa yang terjadi dalam jual tahunan, disebabkan perjanjiannya dilakukan secara lisan,

sehingga tidak jelas lama waktu dan harga jual tahunannya. Dari pihak penjual tahunan (pihak yang

menyewakan) tidak jarang sebelum berakhir waktu jual tahunannya, sudah meminta uang jual

tahunan (sewa) atas waktu jual tahunan (sewa) berikutnya. Adapun dalam jual gadai (gadai tanah), sengketa terjadi karena perjanjian yang dilakukan hanya secara lisan setelah pemilik tanah (penjual gadai) menyerahkan surat tanah kepada pemilik uang (penerima gadai) dan penjual gadai menerima sejumlah uang maka tanah tersebut akan dikerjakan oleh penerima gadai dalam jangka waktu tertentu sebagaimana waktu yang telah disepakati. Penerima gadai akan mengembalikan tanah tersebut setelah penjual gadai membayar sejumlah uang yang telah disepakati. Apabila penjual gadai tidak mampu mengembalikan uang pinjaman, kemudian penerima gadai akan melakukan perubahan surat tanah yang dijual gadai tersebut dengan dalih telah terjadi jual lepas (jual beli) tanah.

(4)

Seminar Nasional dan Gelar Produk | SENASPRO 2017 1065

Yang perlu digarisbawahi bahwa dari sengketa yang pernah timbul, terdapat perbedaan

antara waktu timbulnya sengketa dengan waktu dibuatnya perjanjian jual lepas, jual tahunan, jual gadai atas tanah waris tersebut. Bahwa adanya perjanjian jual lepas, jual tahunan, maupun jual gadai itu terjadi saat orang tua (pewaris) masih hidup, sedangkan sengketanya terjadi saat orang tua (pewaris) telah meninggal dunia. Hal tersebut disebabkan tidak adanya perjanjian tertulis antara orang tua (pewaris) sebagai penjual dengan pihak pembeli sebagai dasar dari perjanjian tersebut, serta tidak adanya perubahan nama pada buku desa yang membuktikan bahwa telah terjadi jual lepas. Ketika orang tua meninggal dunia, maka tidak dapat dihindari kemungkinan timbulnya sengketa karena para ahli waris masing-masing pihak (baik dari pihak penjual maupun pihak pembeli) sama-sama mengakui bahwa tanah tersebut adalah tanah waris orang tuanya yang sedang dikuasai oleh orang lain.

Adapun tipologi sengketa tanah waris yang ketiga adalah sengketa tanah waris dengan pihak

pemerintah daerah. Sengketa ini terjadi di Desa Pandabah, Kacamatan Kamal, Kabupaten Bangkalan. Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Desa Pandabah dan seorang ahli waris [6] diperoleh informasi bahwa pada tahun 1978, orang tua (pewaris) ahli waris sebagai pemilik tanah pernah didatangi tokoh masyarakat yang bermaksud mencari tanah yang letaknya di pinggir jalan untuk pendirian sekolah dasar (pengganti) karena sekolah yang telah ada tidak memadai, lahannya sempit, dan lokasinya agak sulit karena harus masuk dan jauh dari jalan umum. Pemilik tanah tidak mau menjual tanahnya, akan tetapi jika dibutuhkan untuk sekolah maka dipersilakan untuk dipakai saja dengan syarat asalkan salah satu ahli waris pemilik tanah tersebut dipekerjakan sebagai tukang kebun di sekolah yang dibangun. Setelah pondasi didirikan, pemilik tanah diberi uang sebesar Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah) dan beberapa hari kemudian diberi lagi uang sebesar Rp. 50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) tanpa menyebutkan peruntukan uang tersebut. Selanjutnya, pada tahun 1980, pemilik tanah dipanggil ke Kecamatan Kamal dan ditanya oleh Camat apakah pemilik tanah mau meminta tambahan uang, pemilik tanah menjawab “tidak” karena tanah tidak dijual dan surat-surat tanah masih dipegang oleh pemilik. Jadi total uang diterima oleh pemilik tanah adalah sebesar Rp 150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah). Menurut ahli waris, bahwa semasa hidupnya pemilik tanah (pewaris) dan istrinya tidak pernah mengatakan bahwa tanahnya yang ditempati Sekolah Dasar tersebut dijual. Pada tahun 2000, ahli waris mendengar kabar bahwa tanah milik orang tuanya telah menjadi hak milik pemerintah yaitu Dinas Pendidikan. Kemudian, para ahli waris menyangkal berita tersebut sambil mencari surat bukti tanah dan ternyata surat tanahnya masih atas nama orang tua mereka. Ahli waris protes pada Kepala Sekolah Dasar bahwa tanah sekolah masih milik orang tuanya, tidak pernah dijual dan akhirnya para ahli waris “menyegel” sekolah sehingga proses belajar mengajar terhenti selama 3 (tiga) bulan. Kemudian, pihak kepolisian mendatangi dan mengusut perkara “penyegelan” sekolah, karena kalau dibiarkan berlarut-larut, akan mengganggu proses belajar mengajar. Ahli waris beberapa kali dipanggil ke Dinas Pendidikan Kecamatan Kamal, tetapi ahli waris bisa menunjukkan bukti kepemilikan tanah tersebut serta tidak ada bukti peralihan kepemilikan tanah dari pewaris kepada Dinas Pendidikan. Akhirnya melalui tokoh masyarakat, kepolisian dari Polsek Kamal, Muspika dan Dinas Pendidikan Kecamatan Kamal diadakan musyawarah antara ahli waris dengan pihak Pemerintah Kabupaten Bangkalan. Setelah beberapa kali musyawarah akhirnya disepakati bahwa Pemerintah Kabupaten Bangkalan memberikan ganti rugi kepada ahli waris sebesar Rp. 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan salah satu ahli waris yang bekerja sebagai tukang kebun tidak diberhentikan.

Dari sengketa yang terjadi, tampak bahwa penyebab terjadinya sengketa tanah waris antara

ahli waris dengan pihak Pemerintah Daerah adalah karena tidak adanya transparansi tentang alas hak atau hubungan hukum yang dilakukan, apakah jual beli atau pinjam meminjam tanah. Di sisi lain, tidak adanya perjanjian tertulis sebagai bukti adanya perjanjian juga menjadi penyebab timbulnya sengketa.

Dengan demikian dapat diperoleh gambaran bahwa tindakan transaksi tanah (waris) yang

dipraktikkan oleh masyarakat Madura umumnya masih berdasarkan lisan dengan mengutamakan rasa saling percaya diantara para pihak. Namun, hal tersebut berubah menjadi sengketa, apabila kepercayaan salah satu pihak tidak diimbangi dengan itikad baik dari pihak lain.

(5)

1066 SENASPRO 2017 | Seminar Nasional dan Gelar Produk

3.2 Peran Kearifan Lokal Dalam Penyelesaian Sengketa Tanah Waris Pada Masyarakat Madura

Pandangan hidup masyarakat Madura tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai agama Islam.

Ketaatan pada agama Islam merupakan penjatidirian penting bagi orang Madura yang terindikasi pada pakaian mereka khususnya di wilayah pedesaan seperti samper (kain panjang), kebaya, dan burgo bagi kaum perempuan, sarong dan songko’ bagi kamu laki-laki [7]. Selain itu bagi orang Madura pantang untuk dipermalukan harus menanggung malu (todus,malo) terutama yang menyangkut harga diri. Sejalan dengan pepatah “ango’an apoteya tolang etembang poteya mata” (lebih baik mati berkalang tanah daripada harus hidup menanggung malu). Pandangan hidup orang Madura juga tersirat dalam ungkapan ajjha’ nobi’an oreng mon aba’na ta’enda’etobi’ (tidak akan mempermalukan orang lain selama mereka juga diperlakukan dengan baik [8].

Pandangan hidup orang Madura yang lain tercermin pula dalam ungkapan bhuppa’ bhabhu’

ghuru rato. Pandangan hidup ini bermakna bahwa orang Madura pertama-tama harus patuh dan taat

pada bhuppa’ bhabhu’ (orang tua), kemudian pada ghuru (Keaye/Kiyai/Ulama), dan terakhir pada

rato (pemimpin formal). Figur ghuru tertuju pada Keaye karena erat hubungannya dengan pandangan hidup orang Madura bahwa hidup itu tidak hanya berlangsung di dunia ini saja tetapi juga diteruskan di akhirat sehingga ibadah agama dilaksanakan dengan penuh ketaatan dengan dilandasi keyakinan bahwa ngajhi badhana akhirat (mengaji bekal atau modal di akhirat). Adapun yang mengajarkan

ngaji adalah ghuru (Keyae) sehingga ghuru itu berperan dalam tataran moralitas dan

masalah-masalah ukhrowi (morality and sacred world), itulah sebabnya kepatuhan orang Madura terhadap ghuru tidak dapat dibantah [9]. Masyarakat Madura sangat taat kepada keyaenya. Bagi masyarakat Madura, Figur ghuru (Keyae) dijadikan sebagai panutan. Sebagai panutan maka setiap nasihat Keyae selalu ditaati dan dipatuhi oleh muridnya [10], sekaligus sebagai tempat untuk menyelesaikan masalah.

Dalam penyelesaian sengketa tanah waris, maka masyarakat Madura mempunyai pandangan

yang unik karena meskipun tanah merupakan kekayaan yang tidak ternilai, namun jika itu merupakan tanah waris maka nilai penghormatan kepada bhuppa’ bhabhu’ yang dikedepankan, dalam arti dalam arti bahwa orang tua yang telah meninggalkan tanah itu harus dihormati termasuk barang yang ditinggalkan harus dijaga kesakralannya, di samping itu agar orang tua tenang di alam kubur sehingga ahli waris sepakat untuk tidak membawa sengketa itu ke peradilan, namun menyelesaikan secara musyawarah dan damai sehingga silaturahmi dapat tetap terjalin.

Penyelesaian sengketa secara berbasis kearifan lokal yaitu penghormatan kepada bhuppa’ bhabhu’ sebagaimana dalam sengketa tanah waris antara ahli waris dengan Pemerintah Daerah maka

yang diutamakan adalah penghormatan kepada bhuppa’ bhabhu’ (orang tua). Hasil wawancara

mendalam kepada ahli waris diperoleh informasi bahwa alasan para ahli waris menerima berapapun ganti rugi yang telah diberikan Pemerintah Daerah dalam rangka menghormati keinginan orang tuanya (pewaris) yang semasa hidupnya memang mengharapkan amal jariyah yaitu mengharapkan untuk mendapatkan pahala dari Allah SWT karena tanahnya dipergunakan untuk perjuangan pendidikan dan salah satu ahli warisnya juga bekerja sebagai tukang kebun di sekolah tersebut [11]. Penyelesaian sengketa tanah waris berdasarkan musyawarah mufakat merupakan nilai-nilai luhur masyarakat adat (kearifan lokal) yaitu nilai-nilai yang tumbuh dalam masyarakat yang diyakini akan menjadi media mempererat hubungan persaudaraan.

Masyarakat Madura khususnya yang tinggal di desa Banbaru, umumnya apabila menghadapi sengketa akan meminta bantuan kepada Klebun (Kepala Desa) untuk menjadi penengah atas

sengketa yang mereka hadapi. Ini adalah sebagai bentuk penghormatan kepada rato (pemimpin

formal). Fungsi kepala desa menurut hukum adat adalah memelihara ketertiban masyarakat, menyelesaikan sengketa-sengketa yang dihadapi masyarakat, memelihara ketenteraman, perdamaian dan keseimbangan dalam pergaulan hidup masyarakat [12]. Jadi, masyarakat Madura dalam menghadapi sengketa, mereka lebih memilih penyelesaian sengketa secara damai berbasis pada kearifan lokal (local wisdom) yaitu diselesaikan melalui kepala desa.

(6)

Seminar Nasional dan Gelar Produk | SENASPRO 2017 1067 Namun, apabila terkait dengan sengketa yang ada hubungannya dengan agama, maka

umumnya mereka meminta nasihat kepada Keyae. Figur ghuru (Keyae) bagi masyarakat Madura

adalah figur panutan serta sebagai rujukan tentang segala hal yang berkaitan dengan aspek moralitas dan keagamaan. Sengketa tentang tanah waris adalah termasuk dalam lingkup keagamaan karena sengketa tanah waris termasuk dalam persoalan hukum waris, dan itu termasuk dalam persoalan keagamaan. Oleh karena itu, ketika menghadapi sengketa tanah waris karena masih termasuk dalam lingkup keagamaan maka masyarakat akan terlebih dahulu meminta bantuan kepada Klebun (Kepala

Desa) sebagai bentuk penghormatan kepada figur rato, selanjutnya Kepala Desa akan meminta

bantuan kepada Keyae sebagai bentuk penghormatan kepada figur ghuru untuk menjadi penengah

atas sengketa tanah waris tersebut.

Dengan demikian, jelaslah bahwa nilai kearifan lokal masyarakat Madura yang dikenal

dengan bhuppa’ bhabhu’ ghuru rato menjadi panduan bagi masyarakat Madura dalam

menyelesaikan sengketa yang dihadapi. Khusus untuk sengketa tanah warisan, maka karena termasuk dalam lingkup keagamaan, maka Keyae yang berperan dalam penyelesaian sengketa tanah waris. Hal ini sebagai bentuk penghormatan kepada Keyae sebagai figur panutan, dan sebagai panutan maka setiap nasihat Keyae selalu ditaati dan dipatuhi, termasuk nasihat Keyae atas sengketa tanah waris.

Sebagai masyarakat yang berpegang teguh pada nilai bhuppa’ bhabhu’ ghuru rato maka

penyelesaian secara damai merupakan penyelesaian yang selaras dengan nilai penghormatan kepada orang tua yang meninggal yang telah memberikan tanah waris. Masyarakat Madura memiliki keyakinan bahwa orang tua harus selalu dihormati, sehingga jika terjadi sengketa terkait tanah waris maka penyelesaiannya akan dilakukan secara damai dan musyawarah untuk mufakat sebagai bentuk upaya menghormati orang tua yang telah memberikan tanah tersebut.

Selanjutnya, setelah orang tua telah meninggal, apabila kemudian terjadi sengketa maka pihak yang akan diminta untuk menjadi penengah dalam sengketa adalah kepala desa sebagai pemimpin formal di desa tersebut. Berhubung sengketa yang dihadapi adalah sengketa tanah waris yang dalam hal ini termasuk masalah keagamaan, maka kepala desa akan meminta bantuan kepada Keyae untuk menjadi penengahnya. Demikianlah, kearifan lokal masyarakat Madura yang menjadi panduan bagi masyarakat dalam menyelesaikan sengketa yang dihadapi. Penyelesaian seperti ini mengantarkan masyarakat Madura pada suasana yang damai dan terpeliharanya nilai-nilai kerukunan dalam masyarakat.

4.KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pembahasan sebelumnya maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

A.Terdapat 3 (tiga) tipologi sengketa tanah waris pada masyarakat Madura yaitu sengketa tanah

diantara ahli waris, sengketa tanah ahli waris dengan orang lain, dan sengketa tanah ahli waris dengan pihak pemerintah daerah.

B.Adapun kearifan lokal bhuppa’ bhabhu’ ghuru rato, berperan penting dalam penyelesaian

sengketa termasuk sengketa tanah waris. Penyelesaian sengketa tanah waris pada masyarakat Madura dilakukan secara damai dan musyawarah untuk mufakat itu adalah dalam rangka

menghormati bhuppa’bhabhu’ (orang tua). Apabila bhuppa’ bhabhu’ sudah meninggal dan terjadi

sengketa tentang tanah waris, maka pihak yang berperan dalam penyelesaian sengketa adalah ghuru yaitu guru mengaji yaitu Keyae (Kiai) dan rato adalah pemimpinan formal (kepala desa). Jadi yang berperan dalam penyelesaian sengketa tanah waris pada masyarakat Madura adalah Klebun/kepala desa, dan Keyae/Kiai.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Ilyas.2014.Kajian Penyelesaian Konflik Antar Desa Berbasis Kearifan Lokal Di Kabupaten

Sigi, Sulawesi Tengah, Jurnal Academica, 6 (1) :1213-1227

[2] Wiyata, A. Latief,2006. Carok:Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura,

Yogyakarta: LkiS

[3] Kaban, Maria, 2016.Penyelesaian Sengketa Waris Tanah Adat Pada Masyarakat Adat Karo,

(7)

1068 SENASPRO 2017 | Seminar Nasional dan Gelar Produk

[4] Wawancara dengan Kepala Desa Banbaru, Kecamatan Giligenting, Kabupaten Sumenep, 31

Juli 2017

[5] Wawancara dengan pihak yang bersengketa, warga Desa Banbaru, Kecamatan Giligenting,

Kabupaten Sumenep, 31 Juli 2017

[6] Wawancara dengan Kepala Desa Pendabah, Kecamatan Kamal, Kabupaten Bangkalan, 7

Agustus 2017

[7] Rifai, Mien Ahmad,2007. Manusia Madura, Yogyakarta: Pilar Media

[8] Wiyata, A. Latief,2006. Carok :Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura,

Yogyakarta: LkiS

[9] Wiyata, A. Latief,2006. Carok:Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura,

Yogyakarta: LkiS

[10] Kurniasari, Netty Dyah K, 2014,Nilai-Nilai Filosofis dan Kearifan Lokal Madura Dalam

Karya Sastra, Bangkalan : LPPM Universitas Trunojoyo

[11] Wawancara dengan ahli waris, warga Desa Pandabah, Kecamatan Kamal, Kabupaten

Bangkalan, 7 Agustus 2017

Referensi

Dokumen terkait

z Cluster 3: Di masing-masing RT terpilih, didaftar populasi keluarga, dan dipilih secara random 2 keluarga. z Cluster 4: Di masing-masing keluarga terpilih, kemudian didaftar

Kapasitas penangkapan radikal bebas DPPH dari ekstrak jahe (Stoilova et al., 2007) maupun ekstrak temulawak (Rosidi et al., 2016) lebih tinggi dibandingkan kapasitas penangkapan

Nilai total ketakteraturan titik dari graf

Hal inilah yang mendasari terbentuknya Majelis Rakyat Papua (MRP) agar kesejahteraan masyarakat perempuan asli Papua mampu meningkatkan kesejahteraan dengan

Bendesa desa bahwa hasil retribusi pengelolahan pasar adat menurut awig-awig pakraman sepenuhnya di kelolah oleh Desa Pakraman Tabola. Akan tetapi dari ketujuh Banjar

Namun mogok yang dilakukan oleh buruh dan sudah dijamin haknya oleh undang-undang sering berakhir dengan berbagai macam tindakan dari perusahaan mulai dari intimidasi

Diantara faktor lingkungan yang paling dominan mempengaruhi hasil belajar siswa adalah kualitas pengajar meliputi tiga unsur: kompetensi guru, karakteristik kelas, dan

Saya ucapkan terima kasih atas terselesaikannya skripsi yang berjudul Pengaruh Penggunaan Strategi Pembelajaran Peningkatan Kemampuan Berpikir (SPPKB) terhadap Hasil Belajar