• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING DENGAN SCAFFOLDING TERHADAP KEMAMPUAN ANALISIS SISWA SMA NEGERI 3 LUMAJANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING DENGAN SCAFFOLDING TERHADAP KEMAMPUAN ANALISIS SISWA SMA NEGERI 3 LUMAJANG"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING DENGAN SCAFFOLDING TERHADAP KEMAMPUAN ANALISIS

SISWA SMA NEGERI 3 LUMAJANG

Farah Robi’atul Jauhariyyah1

, Hadi Suwono2, Nursasi Handayani3

Jurusan Biologi, FMIPA, Universitas Negeri Malang e-mail: fjauhariyyah@gmail.com

Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh pembelajaran Problem Based Learning dengan scaffolding terhadap kemampuan analisis siswa. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen semu, dengan desain penelitian Pretest -Postest Nonequivalent Control Group Design. Penelitian dilakukan di SMA Negeri 3 Lumajang, menggunakan dua kelas yaitu kelas XI MIA 3 sebagai kelas eksperimen menggunakan pembelajaran Problem Based Learning dengan scaffolding dan kelas XI MIA2 sebagai kelas kontrol menggunakan pembelajaran Confirmation Inquiry. Data dianalisis dengan uji prasyarat yaitu uji normalitas dan uji homogenitas, kemudian dilanjutkan dengan uji hipotesis dengan uji-t menggunakan

SPSS 20.0 for windows. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran Problem Based Learning dengan scaffolding berpengaruh terhadap kemampuan analisis siswa kelas XI SMA Negeri 3 Lumajang. Pembelajaran Problem Based Learning dengan Scaffolding yang dilakukan pada kelas eksperimen lebih baik dibandingkan pembelajaran

Confirmation Inquiry yang dilakukan pada kelas kontrol. Pernyataan tersebut didasari oleh peningkatan nilai rata-rata kelas eksperimen sebesar 57.45 dari rata-rata pretest 28 menjadi 85.45 pada posttest. Sedangkan pada kelas kontrol peningkatan nilai rata-rata sebesar 42.16 dari rat a -rat a pr et es t 28.28 m enj adi 70.44 pada pos t t es t.

Kata kunci: Problem Based Learning, scaffolding, kemampuan analisis.

Biologi sebagai salah satu ilmu dasar berkembang pesat pada Abad 21, untuk itu pembelajaran hendaknya disesuaikan dengan kemajuan dan tuntutan zaman. Salah satu karakteristik belajar abad 21 adalah Critical Thinking and Problem Solving. Kemampuan yang diharapkan dalam karakteristik Critical Thinking and Problem Solving salah satunya adalah kemampuan analisis. Kemampuan analisis termasuk dalam Taksonomi Bloom yang selama ini dipegang sebagai pedoman dalam

(2)

menyusun tingkat kerumitan pembelajaran di berbagai tingkat dan untuk berbagai pelajaran. Djiwandono (2013) menyatakan bahwa menganalisis merupakan tindakan memecah-mecah suatu gugus data menjadi beberapa bagian, kemudian mengaitkan bagian-bagian itu dalam suatu hubungan yang bermakna dan bermanfaat untuk memecahkan masalah.

Kemampuan analisis siswa di Indonesia masih tergolong rendah. Mckinsey Indonesian’s Today (Edupost, 2012) melaporkan bahwa hanya 5% dari pelajar Indonesia yang memiliki kemampuan analisis, sebagian besar yang lain hanya sampai pada kemampuan mengetahui. Perlu diupayakan pembelajaran yang mampu membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir analisis, dalam hal ini adalah pembelajaran Problem Based Learning (PBL). Panen (2001) mengatakan dalam model pembelajaran dengan PBL siswa diharapkan untuk terlibat dalam proses penelitian yang mengharuskannya untuk mengidentifikasi permasalahan, mengumpulkan data, dan menggunakan data tersebut untuk pemecahan masalah.

Model pembelajaran PBL memiliki banyak kelebihan, namun juga memiliki kelemahan yang harus diantisipasi oleh guru. Memasukkan unsur scaffolding ke dalam sintaks PBL sangatlah dibutuhkan untuk mengantisipasi kelemahan metode pembelajaran ini (Yadav, dkk., 2011). Mamin (2008) menjelaskan bahwa metode pembelajaran scaffolding merupakan salah satu metode yang dapat digunakan oleh guru, dengan memberikan bimbingan, dorongan (motivasi), perhatian kepada siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran. Pembelajaran yang memadukan PBL dengan

scaffolding ini diharapkan dapat membantu siswa mengembangkan kemampuan analisisnya dalam pelajaran Biologi, karena pada pembelajaran ini siswa mendapat bantuan (scaffolding) di setiap fase PBL sesuai dengan kebutuhannya.

METODE

Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian eksperimen yaitu eksperimental semu. Ada dua kelas yang digunakan, yaitu kelas eksperimendankelas kontrol. Kelompok eksperimen diberi perlakuan tertentu dalam jangka waktu tertentu dan kelompok kontrol dengan pembelajaran yang sering dilakukan di sekolah yaitu

(3)

pembelajaran Confirmation Inquiry. Kedua kelompok tersebut dilakukan pretes dan postes kemudian dibandingkan hasilnya. Desain eksperimen semu pada penelitian adalah Pretest-Postest Nonequivalent Control Group Design, ditunjukkan pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1 Tabel Desain Penelitian Nonequivalent Control Group Design

Kelompok Perlakuan Pretest Perlakuan Posttest

Eksperimen O1 X O2

Kontrol O1 O2

Keterangan

O1 = Pretest kelompok eksperimen dan kontrol O2 = Postest kelompok eksperimen dan kontrol

X = Perlakuan dengan pembelajaran Problem Based Learning dengan scaffolding

Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI SMA Negeri di Lumajang tahun pelajaran 2014/2015. Teknik sampling pada penelitian ini adalah teknik cluster random sampling, karena populasi terdiri dari kelompok-kelompok. Pemilihan kelas sampel ditentukan secara acak antara kelas XI MIA 1 hingga kelas XI MIA 5 SMA Negeri 3 Lumajang, dan dipilih dua kelas. Kelas eksperimen adalah XI MIA 3 dan kelas kontrol adalah kelas XI MIA 2.

Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah nilai pretest dan posttest

kemampuan berpikir analitis siswa. Instrumen yang digunakan berupa tes uraian. Sebelum digunakan instrumen telah diuji coba untuk mengetahui kevalidan dan reliabilitasnya. Data hasil penelitian dianalisis menggunakan SPSS 20.0 for Windows. Untuk dapat melaksanakan uji statistik terhadap data penelitian, maka harus dilakukan uji prasyarat terlebih dahulu yaitu uji normalitas dan uji homogenitas, kemudian dilanjutkan dengan uji hipotesis.

HASIL

Tabel 2 berikut ini menunjukkan bahwa rata-rata keterlaksanaan sintaks sebesar 91 %, yang berarti bahwa tingkat keterlaksanaan pembelajaran Problem Based Learning dengan scaffolding adalah berhasil.

(4)

Tabel 2 Tabel Presentase Keterlaksanaan Pembelajaran Problem Based Learning dengan scaffolding Pertemuan Observer Presentase Keterlaksanaan (%)

1 O1 90% O2 87% 2 O1 87% O2 90% 3 O1 94% O2 90% 4 O1 97% O2 94 % Rata-rata 91%

Tabel 3 berikut menunjukkan bahwa nilai pretest kemampuan analisis antara kelas kontrol dan eksperimen adalah hampir sama. Kelas eksperimen seluruh siswanya berada pada interval nilai <40 yang berarti kemampuan analisis sangat kurang. Kelas kontrol, 30 siswa berada pada interval nilai <40 yang berarti kemampuan analisis sangat kurang, 2 siswa berada pada interval nilai 40-59 yang berarti kemampuan analisis kurang. Terlihat bahwa terdapat perbedaan yang tidak signifikan antara kelas eksperimen dengan kelas kontrol, namun kelas kontrol sedikit lebih unggul dibandingkan kelas eksperimen.

Tabel 3. Tabel Distribusi Frekuensi Nilai Pretest Siswa Kelas Kontrol dan Perlakuan

Nilai Kualifikasi Frekuensi

Kontrol Eksperimen <40 Sangat Kurang 30 31 40-59 Kurang 2 0 60-74 Cukup 0 0 75-90 Baik 0 0 91-100 Sangat baik 0 0 ∑ 32 31

Tabel 4 berikut ini menunjukkan bahwa nilai posttest kemampuan analisis antara kelas kontrol dan eksperimen terdapat perbedaan yang signifikan. Pada kelas eksperimen, sebanyak 25 siswa berada pada interval nilai 75-90 yang berarti kemampuan analisis baik, sedangkan 6 siswa berada pada interval nilai 91-100 yang berarti kemampuan analisis sangat baik. Pada kelas kontrol, 1 siswa berada pada interval nilai 40-59 yang berarti kemampuan analisis kurang, sebanyak 27 siswa berada pada interval nilai 60-74 yang berarti kemampuan analisis cukup, dan hanya 4 siswa berada pada interval nilai 75-90 yang berarti kemampuan analisis baik. Terlihat

(5)

bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara kelas eksperimen dengan kelas kontrol, dimana kelas eksperimen lebih unggul dibandingkan kelas kontrol. Hasil tersebut berbeda dengan hasil pretest, dimana kelas kontrol justru sedikit lebih unggul dari kelas eksperimen.

Tabel 4. Tabel Distribusi Frekuensi Nilai Posttest Siswa Kelas Kontrol dan Perlakuan

Nilai Kualifikasi Frekuensi Kontrol Eksperimen <40 Sangat kurang 0 0 40-59 Kurang 1 0 60-74 Cukup 27 0 75-90 Baik 4 25 91-100 Sangat baik 0 6 ∑ 32 31

Rata-rata skor pretest dan posttest kemampuan analisis kelas kontrol dan kelas eksperimen dapat dilihat pada Tabel 5 berikut.

Tabel 5. Tabel Rata-Rata Skor Pretest dan Posttest Siswa Kelas Kontrol dan Perlakuan

Kelas Rata-Rata Selisih

Pretest Posttest

Kontrol 28.28 70.44 42.16 Eksperimen 28 85.45 57.45

Berdasarkan nilai pretest dan posttest kemampuan analisis siswa, untuk kelas kontrol didapatkan nilai rata-rata 28.28 untuk pretest dan 70.44 untuk posttest. Kelas eksperimen didapatkan nilai rata-rata 28 untuk pretest dan 85.45 untuk posttest. Kesimpulannya bahwa perolehan nilai rata-rata kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan dengan kelas kontrol.

Hasil analisis menggunakan SPSS 20.0 For Windows diketahui bahwa data kelas kontrol dan kelas eksperimen merupakan data normal dan homogen sehingga analisis yang digunakan untuk menguji hipotesis ini adalah uji statistik parametrik dengan uji-t independen (independent sample t-test) pada tingkat signifikansi 0,05 atau tingkat kepercayaan sebesar 95%. Berdasarkan hasil uji-t terhadap kemampuan analisis siswa SMA Negeri 3 Lumajang, didapatkan bahwa nilai signifikansi (sig. 2-tailed) adalah 0,000. Nilai signifikansi tersebut < 0,05, maka Ho ditolak atau dengan

(6)

kata lain model pembelajaran Problem Based Learning dengan scaffolding

berpengaruh terhadap kemampuan analisis siswa pada mata pelajaran biologi.

PEMBAHASAN

Model pembelajaran dengan PBL dapat mengajak siswa terlibat dalam proses penelitian yang mengharuskannya untuk mengidentifikasi permasalahan, mengumpulkan data, dan menggunakan data tersebut untuk pemecahan masalah (Panen, 2001: 85). Aspek kemampuan inilah yang dapat membantu siswa meningkatkan kemampuan analisisnya. Berawal dari permasalahan yang disajikan, siswa akan bergerak dan berpikir aktif untuk mencari pemecahan masalah, sehingga siswa akan terdorong untuk mengumpulkan data dengan mencari informasi/ menyelidiki/melakukan eksperimen. Pada proses pemecahan masalah siswa dapat membangun pengetahuan mereka secara mandiri. Model pembelajaran PBL memiliki beberapa kelemahan di samping kelebihan yang menunjang siswa untuk mengembangkan kemampuan analisisnya. Untuk mengantisipasi kelemahan PBL dapat dilakukan pemberian scaffolding dengan memperhatikan kebutuhan siswa. Jika guru melaksanakan pembelajaran PBL yang dipadukan dengan scaffolding, diharapkan kelemahan PBL dapat teratasi sehingga semakin meningkatkan kemampuan analisis siswa.

Scaffolding pada penelitian ini diberikan di setiap sintaks PBL, dapat berupa

conceptual scaffolding, metacognitive scaffolding, procedural scaffolding, dan

strategic scaffolding. Selain itu, scaffolding juga dapat berupa dorongan/motivasi untuk memecahkan masalah, memberikan pemahaman/arahan mengapa dan bagaimana mereka memecahkan masalah. Sesuai dengan pernyataan Cahyono (2010) bahwa scaffolding yang diberikan dapat berupa petunjuk, dorongan, peringatan, menguraikan masalah ke dalam langkah-langkah pemecahan, memberikan contoh, dan tindakan-tindakan lain yang memungkinkan peserta didik itu belajar mandiri. Dengan demikian, dalam pelaksanaannya scaffolding dapat menutupi kelemahan PBL.

(7)

Model pembelajaran PBL dengan scaffolding dalam penelitian ini terdiri atas lima sintaks/fase, fase pertama adalah orientasi siswa kepada masalah. Siswa diberikan pemicu masalah yang dikemas dalam bentuk lembar kegiatan siswa (LKS). Kemudian siswa diminta merencanakan hal-hal yang harus dilakukan untuk menganalisis permasalahan yang diberikan. Pada fase ini guru memberikan

scaffolding berupa LKS yang berisi petunjuk untuk menyelesaikan masalah.

Fase kedua sintaks PBL dengan scaffolding adalah mengorganisasikan siswa untuk belajar. Siswa membentuk kelompok yang terdiri atas empat siswa untuk melakukan hal-hal yang direncanakan pada tahap satu. Siswa diminta mengklarifikasi permasalahan, mendefinisikan masalah, melakukan tukar pikiran, dan mengerucutkan rencana penyelesaian masalah. Pada fase ini dua dari delapan kelompok kesulitan untuk mengerucutkan rencana penyelesaian masalah, ditandai dengan pertanyaan mengenai informasi apa yang harus dicari untuk menyelesaikan masalah. Scaffolding

yang diberikan guru pada dua kelompok tersebut adalah strategic scaffolding berupa pertanyaan pancingan yang mengarah pada rencana penyelesaian masalah, memberi kata kunci konsep yang berhubungan dengan permasalahan. Sesuai dengan pernyataan An (2010) bahwa Strategic scaffolding adalah scaffolding untuk mempromosikan analisis, perencanaan, pengambilan keputusan selama pembelajaran, metode pemisahan dan pemilihan informasi yang digunakan untuk menghubungkan pengetahuan sebelumnya dan pengetahuan baru.

Fase ketiga sintaks PBL dengan scaffolding adalah membimbing penyelidikan individu maupun kelompok. Siswa diminta melakukan kajian/eksperimen/mencari informasi yang berkaitan dengan penyelesaian masalah yang sudah ditetapkan di fase kedua. Pada fase ini, masing-masing kelompok mengeluhkan kesulitan yang hampir sama, yaitu mencari referensi relevan yang berhubungan dengan permasalahan untuk menentukan solusi yang rasional dan tepat. Kebanyakan dari mereka hanya mengkaji satu referensi yaitu buku paket yang selama ini dipergunakan dalam mata pelajaran biologi. Untuk mengatasi hal ini guru memberi Procedural scaffolding dengan mengarahkan siswa untuk memperkaya referensi dari beberapa buku dan internet dari sumber yang jelas dan terpercaya. Scaffolding tersebut dapat membiasakan siswa

(8)

untuk selalu mencari kebenaran dari beberapa referensi yang terpercaya sebelum menarik kesimpulan.

Kesulitan lain yang juga dialami beberapa kelompok pada fase tiga adalah memahami dan kemudian menghubungkan konsep/data/informasi yang didapat untuk memecahkan permasalahan. Scaffolding yang diberikan untuk kesulitan tersebut adalah Conceptual scaffolding, yaitu scaffolding yang diberikan untuk mendukung pemikiran siswa mengenai informasi, ide, dan teori yang diberikan dalam lingkungan pembelajaran. Scaffolding dilakukan dengan memfalisitasi diskusi dalam kelompok untuk menyepakati pemahaman tentang konsep/data/informasi tersebut, jika belum cukup maka guru akan memberi kata kunci untuk selanjutnya siswa berusaha menarik kesimpulan dari apa yang disampaikan guru. Guru tidak disarankan untuk langsung memberi pemahaman secara gamblang agar menghasilkan pengetahuan yang bermakna. Sesuai dengan pernyataan Bruner (dalam Trianto 2009: 20) bahwa berusaha sendiri untuk mencari pemecahan masalah serta pengetahuan yang menyertainya, menghasilkan pengetahuan yang benar-benar bermakna. Dengan berusaha untuk mencari pemecahan masalah secara mandiri akan memberikan suatu pengalaman konkret, dengan pengalaman tersebut dapat digunakan pula memecahkan masalah-masalah lain yang serupa, karena pengalaman itu memberikan makna tersendiri bagi peserta didik. Siswa juga diberikan Metacognitive scaffolding untuk mengetahui tentang cara menghubungkan konsep/data/informasi tersebut untuk memecahkan dan menemukan solusi atas permasalahan yang diberikan.

Fase keempat sintaks PBL dengan scaffolding adalah mengembangkan dan menyajikan hasil karya. Siswa mempersiapkan hasil diskusi untuk disajikan di depan kelas. Diskusi dilakukan dengan pemaparan oleh tiga kelompok secara bergantian, perwakilan kelompok lain bertugas menjadi moderator dan notulis. Setelah pemaparan dilanjutkan dengan sesi saran, kritik, dan tanya jawab antara penyaji dengan peserta diskusi. Pada tahap ini seluruh kelompok tampak tidak membutuhkan

scaffolding, guru hanya berperan sebagai fasilitator seperti biasa.

Fase kelima sintaks PBL dengan scaffolding adalah mengembangkan dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. Setelah melakukan diskusi dan tanya

(9)

jawab di fase keempat, siswa membuat kesimpulan atas apa yang telah dipelajari dari permasalahan yang diberikan. Selain itu siswa bersama guru melakukan evaluasi dan refleksi untuk perbaikan di pembelajaran selanjutnya. Pada fase ini, guru memberikan

Metacognitive scaffolding untuk membantu siswa melihat secara keseluruhan apa yang telah mereka pecahkan dan menemukan konsepnya.

Scaffolding pada PBL bukan hanya diberikan oleh guru, melainkan juga dari siswa, mengingat salah satu karakteristiknya adalah kolaborasi yaitu adanya kerjasama siswa baik secara berpasangan maupun dalam kelompok-kelompok kecil. Ketika pembelajaran berlangsung terjadi interaksi antar siswa dalam kelompok bahkan antar kelompok. Siswa yang merasa kesulitan dapat meminta bantuan kepada siswa atau kelompok lain, hal tersebut termasuk bentuk scaffolding.

Kesimpulan dari uraian di atas adalah scaffolding yang dibutuhkan siswa pada setiap sintaks adalah berbeda-beda, dan terkadang terdiri atas beberapa bentuk

scaffolding. Siswa lebih banyak membutuhkan scaffolding di fase tiga, membimbing penyelidikan individu maupun kelompok. Kenyataan tersebut menandakan bahwa siswa masih kesulitan memecahkan masalah dan menemukan solusi atas permasalahan yang diberikan. Namun setelah diberi scaffolding, dapat diketahui kemampuan analisis siswa meningkat.

Hasil analisis menunjukkan bahwa pembelajaran Problem Based Learning

dengan scaffolding yang dilakukan pada kelas eksperimen lebih baik dibandingkan pembelajaran Confirmation Inquiry yang dilakukan pada kelas kontrol. Pernyataan tersebut didasari oleh peningkatan nilai rata-rata kelas eksperimen sebesar 57.45 dari rata-rata pretest 28 menjadi 85.45 pada posttest. Sedangkan pada kelas kontrol peningkatan nilai rata-rata lebih rendah dari kelas eksperimen, yaitu sebesar 42.16 dari rata-rata pretest 28.28 menjadi 70.44 pada posttest. Berdasarkan analisis tersebut diketahui bahwa kemampuan analisis pada mata pelajaran Biologi, baik siswa kelas kontrol maupun kelas eksperimen mengalami peningkatan. Peningkatan kemampuan

analisis ini lebih didominasi oleh siswa kelas eksperimen yang menggunakan pembelajaran Problem Based Learning dengan scaffolding.

(10)

Hasil uji hipotesis menggunakan uji-t menunjukkan bahwa pembelajaran

Problem Based Learning dengan scaffolding yang dilakukan pada kelas eksperimen berpengaruh terhadap kemampuan analisis siswa. Hal tersebut berdasarkan hasil uji-t

posttest sebesar 0.000 < 0.05, maka H0 ditolak, H1 diterima, menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara kelas kontrol dengan kelas eksperimen. Maka pembelajaran

Problem Based Learning dengan scaffolding berpengauh terhadap kemampuan analisis siswa.

Uji-t pada pretest menunjukkan hasil sebesar 0.851 > 0.05, maka H0 diterima, Ha ditolak, menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara kelas kontrol dengan kelas eksperimen. Pretest diberikan pada kelas kontrol dan kelas eksperimen sebelum dilakukan pembelajaran dengan Problem Based Learning dengan scaffolding. Rata-rata hasil pretest menunjukkan hasil yang hampir sama antara kelas kontrol dan eksperimen, yaitu sebesar 28.28 pada kelas kontrol dan 28 pada kelas eksperimen. Hal tersebut menunjukkan bahwa kemampuan analisis siswa kurang berkembang ketika menggunakan pembelajaran Confirmation Inquiry.

Pembelajaran Confirmation Inquiry pada kelas kontrol dilakukan dengan pemberian masalah, prosedur untuk menyelesaikan masalah, dan solusi dari masalah yang dibahas oleh guru. Siswa dalam pembelajaran ini diberikan pertanyaan dan prosedur (metode), dan hasilnya diketahui sebelumnya (Banchi and Bell, 2008: 26). Hal tersebut menyebabkan kemampuan analisis siswa pada kelas kontrol kurang berkembang. Siswa tidak terbiasa menyelesaikan masalah secara mandiri, hanya bergantung pada perintah guru. Sehingga ketika diberikan posttest jawaban siswa kurang bersifat analitis.

Pembelajaran pada kelas eksperimen dilakukan oleh siswa secara aktif dan mandiri dalam mengembangkan kemampuan berpikir memecahkan masalah melalui pencarian data sehingga diperoleh solusi dengan rasional dan autentik Rianto (2009: 288). Melalui proses tersebut siswa kelas eksperimen dapat mengembangkan kemampuan berpikir analisisnya. Sehingga ketika diberikan posttest jawaban siswa bersifat analisis.

(11)

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan analisis data dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran Problem Based Learning dengan scaffolding berpengaruh terhadap kemampuan analisis siswa. Pembelajaran Problem Based Learning dengan

scaffolding yang dilakukan pada kelas eksperimen lebih baik dibandingkan pembelajaran Confirmation Inquiry yang dilakukan pada kelas kontrol. Pernyataan tersebut didasari oleh peningkatan nilai rata-rata kelas eksperimen sebesar 57.45 dari rata-rata pretest 28 menjadi 85.45 pada posttest. Sedangkan pada kelas kontrol peningkatan nilai rata-rata lebih rendah dari kelas eksperimen, yaitu sebesar 42.16 dari rata-rata pretest 28.28 menjadi 70.44 pada posttest.

Mengingat bahwa model pembelajaran Problem Based Learning dengan

scaffolding lebih baik daripada pembelajaran Confirmation Inquiry dalam meningkatkan kemampuan analisis siswa, maka disarankan bagi guru untuk menerapkan model pembelajaran Problem Based Learning dengan scaffolding pada mata pelajaran biologi.

DAFTAR RUJUKAN

An, Y. J. 2010. Scaffolding Wiki-Based, Ill-Structured Problem Solving in an Online Environment. MERLOT Journal of Online Learning and Teaching, 6 (4): 724-727.

Banchi, H., & Bell, R. 2008. The Many Levels of Inquiry, (Online),

(http://www.stem.neu.edu/wp-content/uploads/2013/02/The-Many-Levels-of-Inquiry-NSTA-article.pdf), diakses pada tanggal 9 Januari 2015.

Cahyono, A. N. 2010. Vygotskian Perspective: Proses Scaffolding untuk mencapai Zone of Proximal Development (ZPD) Peserta Didik dalam Pembelajaran Matematika. Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika dengan tema ”Peningkatan Kontribusi Penelitian dan Pembelajaran Matematika dalam Upaya Pembentukan Karakter Bangsa”, Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, Yogyakarta, 27 November 2010.

Djiwandono. P.I. 2013. Kemampuan Analisis Sebagai Bekal Bernalar Kritis, (Online),

(http://www.academia.edu/4005152/KEMAMPUAN_ANALISIS_SEBAGAI_B EKAL_BERNALAR_KRITIS), diakses pada tanggal 10 Desember 2014.

(12)

Edupost. 2013. Pelajar Indonesia Lemah Berpikir Analitis? Ganti Kurikulum Bukan Solusinya. (Online), (http://edupost-jogja/berita-nasional/pelajar-indonesia-lemah-berpikir-analitis-ganti-kurikulum-bukan-solusinya), diakses pada tanggal 11 Januari 2015

Mamin, R. 2008. Penerapan Metode Pembelajaran Scaffolding Pada Pokok Bahasan Sistem Periodik Unsur. Jurnal Chemica, 2008/2, (2): 55-60.

Panen, P. 2001. Konstruktivisme dalamPembelajaran. Jakarta: PAU PPAI DIKTI DEP-DIKNAS

Rianto, Y. 2009. Paradigma Baru Pembelajaran. Sebagai Referensi Bagi

Guru/Pendidik dalam Implementasi Pembelajaran Yang Efektif Dan Berkualitas. Jakarta: Kencana Media Group.

Trianto. (2009). Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.

Yadav, A., Subedi. D., Lunderberg, M. A., & Bunting, C. F. 2011. Problem Based Learning: Influence on Students Learning in an Electrical Engineering Course.

Gambar

Tabel 2 Tabel Presentase Keterlaksanaan Pembelajaran Problem Based Learning dengan scaffolding
Tabel 4. Tabel Distribusi Frekuensi Nilai Posttest Siswa Kelas Kontrol dan Perlakuan

Referensi

Dokumen terkait

Pembelajaran Menggunakan Permainan Media Balok Untuk Meningkatkan Kemampuan Visual- Spasial Anak Taman Kanak-Kanak.. Universitas Pendidikan Indonesia |

Pengaruh Penerapan Standar Akuntansi Pemerintahan, Kualitas Aparatur Pemerintah daerah dan Good Governance Terhadap Kualitas Laporan Keuangan di Kota Semarang (Studi Kasus pada

PENENTUAN KADAR PROTEIN PADA TAUCO DENGAN METODE KJELDAHL DIBALAI BESAR PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN MEDAN..

w imr Kecepatan angin induksi arah vertikal pada rotor utama m/s. w hf Kecepatan angin relatif arah vertikal, lokal di sirip horisontal

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK PAIR SHARE UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENULIS PANTUN SISWA SEKOLAH DASAR. Universitas Pendidikan Indonesia |

Efektivitas Strategi Pembelajaran Think-Talk-Write (Ttw) Dalam Meningkatkan Kemampuan Membaca Pemahaman.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

PENERAPAN METODE LANGSUNG DALAM PEMBELAJARAN KOSAKATA KEGIATAN SEHARI-HARI PADA PEMBELAJAR BIPA TINGKAT DASAR.. Uni versitas Pendidikan Indonesia | rep ository.upi.edu

Produk Halal, Pengelolaan Keungan Haji, pengakuan terhadap pemberlakukan Syariat Islam di Aceh, desain pembangunan politik tersebut tidak bisa lepas dari pengaruh partai Islam