• Tidak ada hasil yang ditemukan

DEFISI DAERAH TERPENCIL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DEFISI DAERAH TERPENCIL"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

DEFISI DAERAH TERPENCIL

Daerah Terpencil adalah daerah yang sulit dijangkau karena berbagai sebab seperti keadaan geografi (kepulauan, pegunungan, daratan, hutan dan rawa), transportasi, sosial dan ekonomi.

KRITERIA FASILIAS PELAYANAN KESEHATAN TERPENCIL

1. Fasilitas pelayanan kesehatan yang ditetapkan dengan kriteria terpencil harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. Letak geografis

b. Akses transportasi; dan c. Sosial, serta ekonomi

2. Persyaratan letak geografis sebagaimana dimaksut adalah: a. Berada di wilayah yang sulit dijangkau;

b. Pegunungan, pedalaman, dan rawa-rawa; dan/atau

c. Rawan bencana alam baik gempa, logsor, maupun gunung api. 3. Persyaratan akses transportasi sebagaimana yang di maksut adalah

a. Transportasi yang umum di gunakan (darat/air/udara) rutin 1 (satu) kali dalam 1 (satu) minggu;

b. Waktu tempuh pulang-pergi dari ibukota kabupaten ke fasilitas pelayanan kesehatan tersebut memerlukan lebih dari 6 (enam) jam perjalanan; dan/atau c. Transportasi yang ada sewaktu-waktu terhalang kondisi iklim/cuaca.

4. Persyaratan sosial dan ekonomi sebagaiaman yang dimaksut adalah a. Kesulitan pemenuhan bahan pokok; dan/atau

b. Kondisi keamanan

PEMBAHASAN

Salah satu fokus prioritas pembangunan pemerintah adalah upaya percepatan dan/atau perlakuan khusus antara lain untuk pembangunan kesehatan Daerah Terpencil Perbatasan (DTP), terutama diarahkan pada wilayah Indonesia bagian timur. Hal ini tertuang secara eksplisit dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 331/

(2)

MENKES/SK/V/2006 tentang Rencana Strategis Kementerian Kesehatan tahun 2005–2009, serta 7 (tujuh) kegiatan unggulan dari Kementerian Kesehatan tahun 2011 antara lain tentang keberpihakan pada daerah terpencil, perbatasan dan kepulauan (www.depkes.go.id, 2011). Arah tujuan pembangunan kesehatan antara lain untuk meningkatkan jangkauan dan pemerataan pelayanan kesehatan yang bermutu bagi masyarakat di daerah terpencil perbatasan dan kepulauan khususnya di puskesmas prioritas nasional DTP. Dalam rangka meningkatkan jangkauan dan pemerataan pelayanan kesehatan tersebut, telah disusun rencana aksi dan rencana pengembangan. Terdapat 6 (enam) strategi yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan RI., 2010 yaitu: 1) Menggerakkan dan memberdayakan masyarakat di DTPK, 2) Meningkatkan akses masyarakat DTPK terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas, 3) Meningkatkan pembiayaan pelayanan kesehatan di DTPK, 4) Meningkatkan pemberdayaan SDM Kesehatan di DTPK, 5) Meningkatkan ketersediaan obat dan perbekalan serta strategi, 6) Meningkatkan manajemen Puskesmas di DTPK, termasuk sistem surveilans, monitoring dan evaluasi, serta Sistem Informasi Kesehatan (Kementerian Kesehatan RI, 2010). Masalah atau isu publik yang timbul adalah daerah perbatasan merupakan etalase negara, di samping itu daerah terpencil, perbatasan dan kepulauan (DTPK) memiliki topografi yang ekstrem. Berikut beberpa masalah kesehatan yang masih sering kali terjadi di daerah terpencil.

1. Pelayanan kesehatan primer di daerah perbatasan masih rendah

Puskesmas sebagai pemberi pelayanan primer yang menjadi andalan utama pelayanan bagi masyarakat, belum mampu memberikan pelayanan bagi daerah terpencil perbatasan dan kepulauan khususnya di daerah perbatasan. Wilayah kerja puskesmas cukup luas, secara geografis sebagian sulit dijangkau, jumlah penduduk sedikit, tersebar dalam kelompok-kelompok kecil yang saling berjauhan.

2. Masalah Manajemen

Hal mendasar yang paling dirasakan dalam penatalaksanaan program di wilayah puskesmas daerah terpncil adalah kurang adanya dukungan tenaga, sarana dan peralatan. Hampir seluruh puskesmas daerah terpencil mengeluh tentang jumlah dan kualifikasi tenaga. Tenaga yang sangat terbatas dengan beban tugas yang banyak dirangkap. Hal ini seringkali menyulitkan dalam pengaturan pembagian tugas, terutama antara tugas di dalam maupun di luar gedung. Dilihat dari segi perlengkapan juga sangat terbatas

(3)

terutama sarana komunikasi dan transportasi SSB (Single side band) yang seringkali dimanfaatkan sebagai satu-satunya alat yang digunakan untuk berhubungan dengan puskesmas lain. Menjadi lebih kesulitan lagi apabila puskesmas lain belom memiliki. Terkait dukungan lain yaiu berupa peralatan medis dan obat-obatan cukup kurang memadai. Jarak jauh dan sulitnya transportasi antara puskesmas dan Dinas Kesehatan TK II, pengiriman obat dilakukan 3 bulan bahkan bisa mencapai 6 bulan sekali.

3. Masalah Pembangunan

Dibalik pembangunan yang cepat untuk daerah-daerah perkotaan, ternyata masih banyak daerah lain yang sama sekali tidak mengalami pembangunan bahkan sarana dan prasarana yang sifatnya vital masih sangat sulit untuk dijumpai. Daerah-daerah tersebut kebanyakan letaknya berada di pelosok sehingga pemerintah selalu beralasan sulit untuk menjangkau daerah-daerah tersebut untuk melaksanakan tugas-tugas mereka. Apabila kita melihat secara keseluruhan pembangunan di negara ini, sebenarnya masihlah sangat lambat dan sifatnya tidak merata, misalnya saja untuk kebutuhan kesehatan di daerah-daerah yang sifatnya di kota, rumah sakit sangat banyak dan mudah untuk dijangkau, tetapi itu semua berbanding terbalik dengan kehidupan masyarakat yang berada di pelosok, misalnya saja di bagian pedalaman di pulau Kalimantan, sarana kesehatan sangatlah sulit untuk ditemukan ataupun dijangkau, jangankan rumah sakit, untuk menemukan puskesmaspun membutuhkan waktu yang relatif sangat lama, sehingga sering terjadi kasus apabila seseorang tengah sekarat, para sanak saudaranya lebih baik mendiamkannya daripada membawanya ke pusat kesehatan terdekat.

4. Sarana transportasi sangat terbatas dengan biaya mahal baik darat, sungai, laut maupun udara.

Salah satu penyebabnya adalah karena kondisi geografi yang sulit serta iklim/cuaca yang sering berubah.Status kesehatan masyarakat dan cakupan pelayanan kesehatan di daerah terpencil perbatasan masih rendah. Masyarakat secara umum belum mempunyai pengetahuan dan perilaku hidup sehat dan kondisi lingkungan yang kurang baik. Penggunaan puskesmas di daerah terpencil perbatasan antara lain dipengaruhi oleh keterjangkauan pelayanan. Karena jauhnya dan sulitnya akses menuju puskesmas, yaitu

(4)

harus melewati sungai, ada pula yang harus berjalan kaki untuk menuju lokasi sehingga membuat masyarakat enggan untuk pergi ke Puskesmas dan lebih memilih menggunakan pengobatan tradisional. Alat transportasi seperti kendaraan roda 2 dan juga perahu untuk akomodasi dalam berobat kebanyakan tidak berfungsi dengan baik. Bahkan banyak diantaranya yang rusak karena kurangnya perawatan.

5. Akses Terhadap Pelayanan Masih Rendah

Akses pelayanan tidak hanya disebabkan masalah jarak, tetapi terdapat dua faktor penentu (determinan) yaitu determinan penyediaan merupakan faktor-faktor pelayanan dan determinan permintaan merupakan faktor-faktor pengguna (Timyan Yudith, et al., 1997). Determinan penyediaan terdiri atas organisasi pelayanan dan infrastruktur fisik, tempat pelayanan, ketersediaan, pemanfaatan dan distribusi petugas, biaya pelayanan serta mutu pelayanan. Sedangkan determinan permintaan yang merupakan faktor pengguna meliputi rendahnya pendidikan dan kondisi sosial budaya masyarakat serta tingkat pendapatan masyarakat yang rendah atau miskin. Kebutuhan primer agar memperoleh akses pelayanan yang efektif: adalah tersedianya fasilitas dan petugas, jarak dan finansial terjangkau serta masalah sosial budaya yang dapat diterima oleh pengguna. Faktanya di daerah terpencil fasilitas yang ada baik sarana maupun prasarana masih belum memadai. Masih banyak alat-alat untuk pengobatan yang tidak layak. Begitu pula dengan obat-obatan yang tidak memadai untuk mengobati masyarakat yang membutuhkan. Selain itu dalam hal rujukan juga masih kesulitan karena sulitnya akses. Kebanyakan masyarakat daerah pinggiran masih banyak yang lebih percaya ke pengobatan tradisional, dimana sebagian besar meminta pengobatan kepada dukun. Bahkan sebelum berobat ke Puskesmas,masyarakat di daerah terpencil terlebih dahulu menanyakan kepada dukun apakah harus berobat ke Puskesmas atau tidak.

6. Gangguan Penyakit

Secara umum jenis gangguan penyakit yang dirasakan penduduk di daerah terpencil adalah hampir sama dengan di daerah lainnya (bukan terpencil) seperti ISPA, TB Paru dan diare. Hal yang membedakan dari daerah lainnya (bukan terpencil) adalah tingginya penyakit malaria klinis yaitu di daerah Sulawesi Tengah, Irian Jaya dan Sulawesi Tenggara). Hal ini sesuai dengan keadaan geografis daerah tersebut yang banyak terletak di pinggir pantai ataupun pegunungan.

(5)

KAITAN PERATURAN DAERAH TERPENCIL DENGAN PERMASALAHAN Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2013 Tentang Kriteria Fasilitas Pelayanan Kesehatan Terpencil, Sangat Terpencil, Dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan Yang Tidak Diminati dari beberapa masalah kesehatan yang masih sering kali terjadi di daerah terpencil yang di jelaskan di pembahasan

1. Pelayanan kesehatan primer di daerah perbatasan masih rendah 2. Masalah Manajemen

3. Masalah Pembangunan

4. Sarana transportasi sangat terbatas dengan biaya mahal baik darat, sungai, laut maupun udara

5. Akses Terhadap Pelayanan Masih Rendah 6. Gangguan Penyakit

Sudah sesuai dengan peraturan, karena di dalam peraturan pada poin Kriteria Fasilitas Pelayanan Kesehatan Terpencil sudah di jelaskan secara rinci tentang Fasilitas pelayanan kesehatan yang ditetapkan dengan kriteria terpencil.

Keterkaitan antara masalah kesehatan di daerah terpencil yang telah dijelaskan di pembahasan dengan konsep kesetaraan dan keadilan dalam kesehatan dapat dibagi menjadi 3

(6)

yaitu Health Equity, Health Inequality, dan Disparitas Kesehatan. Tiga dimensi Health Equity dalam kesehatan dapat dibagi menjadi:

1. Equity dalam status kesehatan

Sebagai contoh adalah perbedaan tingkat kematian maternal antara populasi. Di Provinsi Yogyakarta, angka kematian ibu (AKI) adalah 125 kematian per 100.000 kelahiran hidup, sementara di Provinsi Papua, AKI mencapai angka 362 per 100.000 kelahiran hidup.

2. Equity dalam penggunaan layanan kesehatan

Penggunaan layanan kesehatan seringkali dijadikan perbandingan dalam melihat ketimpangan antar populasi. Masyarakat yang hidup di DKI Jakarta dapat dengan mudah mengakses layanan kesehatan, dibandingkan dengan masyarakat yang hidup di Provinsi NTT misalnya. Contohnya, persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih di DKI Jakarta mencapai cakupan 98%, sementara ibu-ibu melahirkan di Provinsi Maluku Utara hanya mendapat cakupan persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan sebanyak 23% (SDKI, 2007).

3.

Equity dalam pembiayaan kesehatan

Kondisi pembiayaan sosial saat ini yang dilakukan melalui berbagai skema jaminan kesehatan sosial seperti Jamkesmas belum berhasil mengurangi hambatan akses bagi masyarakat miskin untuk mendapatkan pelayanan kesehatan rumah sakit maupun fasilitas kesehatan non-rumah sakit lainnya di wilayah terpencil, perbatasan dan kepulauan (DTPK). Saat ini Jamkesmas mengijinkan rumah sakit pemerintah dan swasta untuk melayani pasien dari kalangan masyarakat miskin atau hampir miskin. Hal tersebut meningkatkan akses bagi masyarakat miskin atau hampir miskin di perkotaan dan di pulau Jawa untuk mendapat perawatan rumah sakit pemerintah dan swasta dan pelayanan kesehatan yang berbiaya tinggi. Tetapi salah satu kelemahan Jamkesmas adalah belum adanya biaya untuk akses ke pelayanan bagi kaum miskin. Sebagai contoh, di Maluku Utara, mungkin biaya berobatnya gratis, tetapi biaya transport dari suatu pulau ke pulau yang yang tersedia layanan kesehatan, mungkin sampai jutaan rupiah. Hal ini menyebabkan biaya berobat menjadi semakin mahal, dan menyebabkan terjadi ketidakadilan geografis.

Health Inequality merupakan konsep normatif dan merujuk pada ketidakseimbangan yang dianggap tidak adil sebagai hasil dari berbagai proses sosial. Faktor-faktor yang

(7)

berkontribusi terhadap Health Inequality adalah: 1) faktor sosial ekonomi atau faktor materi seperti anggaran belanja pemerintah dan distribusi pendapatan serta sumber daya lain di masyarakat, 2) faktor psikologi seperti stres, keterasingan, hubungan sosial dan dukungan sosial, dan 3) faktor perilaku dan gaya hidup.

Disparitas Kesehatan adalah perbedaan status kesehatan yang terjadi diantara kelompok populasi yang mempunyai karakteristik khusus seperti lokasi geografis wilayah. Di Indonesia, masyarakat untuk mendapatkan hak kesehatan yang layak seperti terhalangi oleh media massa, politikus bahkan insan kesehatan masih memandang hak kesehatan hanya pada hak untuk memperoleh pelayanan kuratif dan rehabilitatif di rumah sakit dan puskesmas. Meskipun secara nasional kualitas kesehatan masyarakat telah meningkat namun disparitas antar tingkat sosial ekonomi dan antar wilayah masih cukup tinggi. Percepatan pembangunan kesehatan di daerah tertinggal ditujukan pada penjaminan dan pengutamaan bagi ketersediaan lima determinan faktor utama kualitas kesehatan yaitu; Dokter Puskesmas, Bidan Desa, Air Bersih, Sanitasi dan Gizi seimbang, terutama pada ibu hamil, ibu menyusui dan balita.

DAFTAR PUSTAKA

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2013. TENTANG KRITERIA FASILITAS PELAYAN KESEHATAN

(8)

TERPENCIL, SANGAT TERPENCIL, DAN FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN YANG TIDAK DIMINATI

Suharmiati. (2013). REVIEW KEBIJAKAN TENTANG PELAYANAN KESEHATAN PUSKESMAS DI DAERAH TERPENCIL PERBATASAN. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, 109-116.

Blas, E., & Kurup, A. S. (2010). Equity, social determinants and public health programmes: World Health Organization.

Referensi

Dokumen terkait

The insertion phase starts by inserting the unprocessed items one by one in the given order until the insertion of the heaviest unprocessed item would lead to a feasible solution..

bahwa banyak terjadi penangkapan ikan ilegal oleh kapal-kapal ikan berbendera asing. Faktor yang menjadi penyebab adalah lemahnya pengawasan negara Indonesia terhadap

Dari Gambar 22 terlihat, terdapat peningkatan yang dinilai banyak oleh lulusan sebelum dan setelah lulus dari UT, yaitu pada aspek: pengembangan diri,

Shalat magrib dianalogikan sebagai sabuk, dalam bahasa Jawa sabuk berarti alat untuk mengikat perut dari celana atau tapeh.Penulis menginterpretasikan sabuksebagai bentuk

Ke kakuan dan kediktatoran Virus tak berhenti sampai disitu, ia berupaya agar ketiga pemuda itu tak akan pernah lulus dari universitasnya, dengan berbagai cara, namun cara apapun

Berdasarkan latar belakang yang dijelaskan di atas, masalah utama penelitian ini adalah bagaimana struktur dan koherensi antarunsur dalam paragraf pada tajuk

Melalui pembelajaran Project Based learning berbasis pemanfaatan teknologi media digital dengan pendekatan computational thinking , diharapkan Murid dapat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan bukti empiris tentang pengaruh penerapan model pembelajaran learning cycle 7E berbantuan website pada materi kinematika