• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGATURAN HUKUM DAN PERANAN PROFESI DOKTER SEBAGAI AHLI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PENGATURAN HUKUM DAN PERANAN PROFESI DOKTER SEBAGAI AHLI"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PENGATURAN HUKUM DAN PERANAN PROFESI DOKTER

SEBAGAI AHLI

A. Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Pasal Terkait Tentang Ahli

Sebelum akhirnya seorang seorang dokter mengamalkan profesi nya atau melakukan tugas nya sebagai dokter, ada hal yang harus di perhatikan ialah Kode Etik Kedokteran Indonesia34

Kewajiban yang pertama ialah Kewajiban Umum seorang dokter. Pada bagian ini di sampaikan bahwa dokter harus menjujung tinggi, menghayati dan mengamalkan Sumpah Dokter. Sumpah dokter di Indonesia telah diakui dalam PP No. 26 Tahun 1960. Lafal ini terus di sempurnakan sesuai dengan dinamika perkembangan internal dan eksternal profesi kedokteran baik dalam lingkup nasional maupun internasional. Penyempurnaan di lakukan pada Musyawarah Kerja Nasional . Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia No. 221/PB/A.4/2002 tertanggal 19 April 2002 telah membuat keputusan PB IDI tentang Penerapan Kode Etik Kedokteran Indonesia. Dengan adanya Penetapan Kode Etik Indonesia dan Penerapan Kode Etik Indonesia ini para dokter yang menjalankan profesi kedokterannya telah di beri pedoman baku. Keharusan mengamalkan Kode Etik disebutkan dalam lafal sumpah dokter yang di dasarkan PP No 26 Tahun 1960. Rumusan Kode Etik Kedokteran Indonesia yang di uraikan dalam beberapa bagian mengenai kewajiban-kewajiban seorang dokter.

34

Alfred C. Satyo, Kumpulan Peraturan Perundang-undangan dan Profesi Dokter,(Medan: UPT. Penerbitam dan Percetakan USU (USU Press), 2004),hal 263

(2)

Etik Kedokteran II, tahun 1981, pada Rapat Kerja Nasional Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK) dan Majelis Pembinaan Dan Pembelaan Anggota (MP2A), tahun 1993, dan pada Musyawarah Kerja Nasional Etik Kedokteran III, tahun 200135

Isi dari sumpah dokter tersebut ialah .

36

Demi Allah saya bersumpah, bahwa : :

1. Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan 2. Saya akan menjalankan tugas saya dengan cara yang terhormat dan

bersusila, sesuai dengan martabat pekerjaan saya sebagai dokter.

3. Saya akan memelihara sekuat tenaga martabat dan tradisi luhur jabatan kedokteran.

4. Saya akan

5. merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena keprofesian saya. 6. Saya tidak akan mempergunakan pengetahuan kedokteran saya untuk

sesuatu yang bertentangan dengan perikemanusiaan, sekalipun diancam. 7. Saya akan menghormati setiap hidup insani dari saat pembuahan.

8. Saya akan senantiasa mengutamakan kesehatan pasien, dengan memperhatikan kepentingan masyarakat.

9. Saya akan berikhtiar dengan sungguh-sungguh supaya saya tidak terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan, kebangsaan, kesukuan,

35 Alfred C. Satyo, Ibid, hal 268 36 Alfred C. Satyo, Ibid, hal 274

(3)

gender, politik, kedudukan social dan jenis penyakit dalam menunaikan kewajiban terhadap pasien.

10.Saya akan memberikan kepada guru-guru saya penghormatan dan pernyataan terima kasih yang selayaknya.

11.Saya akan perlakukan teman sejawat saya seperti saudara sekandung. 12.Saya akan mentaati dan mengamalkan Kode Etik Kedokteran Indonesia. 13.Saya ikrarkan sumpah ini dengan sungguh-sungguh dan dengan

mempertaruhkan diri saya.

Pengambilan sumpah dokter merupakan saat yang sangat penting artinya bagi seorang dokter, karena pada kesempatan ini ia berikrar bahwa dalam mengamalkan profesinya, ia akan selalu mendasarinya dengan kesanggupan yang telah diucapkannya sebagai sumpah. Oleh karena itu upacara pengambilan sumpah hendaknya dilaksankan dalam suasana yang hikmat. Suasana hikmat dapat diwujudkan bila upacara pengambilan sumpah dilaksanakan secara khusus, mendahului acara pelantikan dokter.

Untuk yang beragama Islam diawali dengan “Demi Allah saya bersumpah”, untuk penganut agama lain mengucapkan lafal yang diharuskan sesuai yang ditentukan oleh agama masing-masing. Seperti yang beragama Kristen mengganti kata sumpah dengan kata janji. Sesudah itu lafal sumpah di ucapkan secara bersama-sama.

(4)

Selain mengenai sumpah dokter pada bagian kewajiban umum ini mengatur dokter untuk menjalankan profesi nya dengan standar yang tertinggi, bersikap jujur, dan Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri. Setiap tindakan yang dilakukan dokter harus memperhatikan kepentingan masyarakat dan memperhatikan aspek pelayanan kesehatan dan mengabdi pada masyarakat dan juga setiap dokter harus memebri keterangan atau pendapat yang dapat di buktikan kebenarannya

Kewajiban yang kedua ialah mengenai kewajiban dokter terhadap pasien37

Kewajiban yang ketiga ialah mengenai kewajiban dokter terhadap teman sejawatnya

. Di dalam bagian ini dokter di tuntut harus bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu ketrampilannya untuk kepentingan pasien. Selain itu setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien, bahkan juga setelah penderita itu meninggal dunia dan setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu memberikannya.

38

37Alfred C. Satyo, Ibid, hal 265

. Dalam bagian ini setiap dokter harus memperlakukan teman sesama dokter atau teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin di perlakukan dan setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawatnya, kecuali dengan persetujuan dan berdasarkan prosedur yang etis.

(5)

Kewajiban yang berikutnya ialah kewajiban dokter terhadap dirinya sendiri39

Kode Etik Kedokteran Indonesia di buat untuk mewujudkan kesungguhan dan keluhuran ilmu kedokterannya sehungga mengatur kewajiban dokter secara umum, kewajiban dokter terhadap pasien, kewajiban dokter terhadap teman sejawatnya dan kewajiban dokter terhadap diri sendiri. Hal tersebutlah yang mengatur profesi kedokteran dalam menjalankan tugas nya.

. Di dalam bagian ini dokter juga di tuntut untuk harus menjaga kesehataanya supaya dapat bekerja dengan baik dan setiap dokter juga harus mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran/kesehatan.

Selain dari Kode Etik Kedokteran Indonesia bagi dokter, ada juga aturan atau ketentuan hukum yang mengatur seorang dokter atau lebih tepatnya dalam hal ini dokter ahli atau kedokteran forensik sebagai ahli sehingga dapat menyadari keterlibatan dalam membantu penegak hukum dan memahami ketentuan hukum yang berhubungan dengan bantuan yang di berikan dokter forensik. Pasal yang mengatur ketentuan hukum yang berkaitan dengan permintaan bantuan dokter kepada penegak hukum.

Dimulai dari hal yang berhak meminta bantuan dokter ahli. Penyidik merupakan pihak yang dapat meminta bantuan dokter ahli40

39 Alfred C. Satyo, Ibid, hal 267

. Menurut Pasal 6 KUHAP Peyidik ialah pejabat polisi negara Republik Indonesia dan pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Dalam hal

40 Paper Rita Mawarni, bab II tentang beberapa ketentuan hukum yang berhubungan dengan bidang ilmu kedokteran kehakiman, 2013, hal 12

(6)

ini Penyidik memiliki kewenangan untuk mendatangkan orang ahli yang di perlukan dan di periksa sebagai tersangka perkara seperti yang tertuang dalam Pasal 7 KUHAP huruf h. Untuk kalangan kesehatan yang perlu di perhatikan adalah tentang ketentuan dalan huruf (h) tersebut. Ketika dalam kasus yang di tangani oleh penyidik tersebut, penyidik mengalami kesulitan dan perlu untuk menemukan bukti yang kuat maka ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus meurut Pasal 120 KUHAP. Seperti dalam hal penyidik kesulitan mengenai yang terjadi pada kesehatan atau yang terjadi pada korban maka ia dapat meminta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus seperti Dokter Forensik. Ahli atau Dokter Forensik yang diminta tersebut harus mengangkat sumpah atau mengucapkan janji di muka penyidik bahwa ia akan memberi keterangan menurut pengetahuannya yang sebaik-baiknya kecuali bila disebabkan karena harkat serta martabat, pekerjaan atau jabatannya yang mewajibkan ia menyimpan rahasia dapat menolak untuk memberikan keterangan yang diminta. Berdasarkan Pasal 180 KUHAP jika di dalam persidangan ada hal yang diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang pengadilan, maka Hakim Ketua Sidang dapat meminta keterangan ahli untuk datang di sidang pengadilan melalui penyidik.

Setelah pihak yang berhak meminta batuan dokter forrensik maka selanjutnya ialah wewenang penyidik dalam meminta batuan dokter41

41 Paper Rita Mawarni, Ibid, hal 13

. Penyidik berwenang dalam melakukan atau mengajukan permintaan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter lainnya. Dalam hal ini penyidik untuk kepentingan peradilan

(7)

dalam menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana maka ia dapat mengajukan permintaan keterangan ahli. permintaan keterangan ahli dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu di sebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat, hal mengenai permintaan keterangan ahli ini diatur dalam Pasal 133 KUHAP.

Di dalam hal pemeriksaan mayat atau pemeriksaan bedah mayat tidak boleh langsung dilakukan pemeriksaannya. Penyidik wajib memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga korban seperti yang di atur dalam Pasal 134 KUHAP. Penyidik wajib menerangkan dengan sejelas-jelasnya tentang maksud dan tujuan perlu dilakukannya pembedahan tersebut, jika dalam waktu dua hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga atau pihak yang diberi tahu tidak diketemukan, penyidik segera melaksanakan pemeriksaan mayat atau pemeriksaacn bedah mayat.

Selanjutnya ialah ketentuan hukum mengenai peran dokter dalam sidang pengadilan42

42 Paper Rita Mawarni, Ibid, hal 15

. Seorang ahli dalam hal ini dokter forensik wajib bersumpah atau berjanji sebelum memberikan keterangan ahli sesuai dengan Pasal 160 ayat 4 KUHAP, jika seorang ahli menolak untuk bersumpah maka ia akan di sandera di rumah tahanan negara paling lama empat belas hari dan pemeriksaan terhadapnya tetap dilakukan. Jika dalam hal tenggang waktu penyanderaan ahli tetap tidak mau disumpah atau mengucapkan janji, maka keterangan yang diberikan merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim. Dokter forensik atau dokter

(8)

ahli wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan jika dimintai pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman, dan dokter ahli bersumpah atau berjanji untuk memberikan keterangan dengan sebaik-baiknya dan yang sebenarnya menurut pengetahuan bidang keahliannya seperti yang di sampaikan dalam Pasal 179 KUHAP.

Keterangan ahli merupakan salah satu bagian dari lima alat bukti. Hakim didalam menjatuhkan pidana kepada tersangka haruslah memenuhi sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan keyakinan hakim, merujuk pada Pasal 183 dan 184 KUHAP. Keterangan dokter ahli atau dokter forensik dapat mendukung atau membantu meyakinkan hakim untuk menjatuhkan pidana kepada seorang tersangka.

Menurut Pasal 186 KUHAP keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. Keterangan yang di berikan oleh dokter forensik disebut keterangan ahlli sedangkan keterangan yang di berikan oleh dokter bukan ahli kedokteran kehakiman disebut keterangan43

Ketentuan hukum yang berikutnya ialah sanksi hukum terhadap yang menghalang-halangi atau menolak untuk memberikan bantuan

. Setiap ahli yang di panggil ke persidangan dan ahli tersebut memenuhi panggilan tersebut dalam rangka memberikan keterangan di semua tingkat pemeriksaan, berhak mendapat penggantian biaya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Seperti yang di tuliskan dalam Pasal 229 KUHAP.

44

43 Paper Rita Mawarni, Ibid, hal 14

. Jika dalam proses

(9)

penyidikan terhadap mayat korban, ada orang atau pihak yang mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan pemeriksaan mayat forensik maka orang atau pihak tersebut diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah, berdasarkan pada Pasal 222 KUHP dan Barang siapa yang dipanggil sebagai saksi ahli namun dengan sengaja saksi ahli tersebut tidak memenuhi kewajiban berdasarkan undang-undang yang harus dipenuhinya, maka saksi ahli tersebut akan di ancam dengan hukuman pidana penjara paling lama sembilan bulan bagi perkara pidana, sedangkan dalam perkara bukan pidana akan di penjara paling lama enam bulan, hal tersebut berdasarkan Pasal 224 KUHP.

Dari beberapa hal diatas mengenai ketentuan hukum yang mengatur seorang dokter sebagai ahli atau dokter forensik menjelaskan bahwa profesi kedokteran forensik sangat di butuhkan dalam menyelesaikan suatu perkara tindak pidana. Pengetahuan yang dimiliki seorang dokter forensik membatu agar pelaksanaan bantuan hukum dapat berjalan dengan baik, fakta-fakta yang penting dalam mencari kebenaran.

B. Permintaan Bantuan Dokter Ahli Dan Peran Dokter Ahli

Seseorang tidak dapat di jatuhi hukuman pidana kecuali apabila ada sekurang – kurangnya dua alat bukti yang sah dan oleh keyakinan hakim, sesuai dengan apa yang di sebutkan dalam Pasal 183 KUHAP, bahwa “hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti

(10)

yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa45

1. Untuk dapat menjatuhkan pidana kepada seseorang terdakwa diperlukan keyakinan hakim.

:

2. Keyakinan hakim tersebut harus timbul dari alat bukti. Keyakinan yang timbul karena hal-hal lain (misalnya tampang, gerak-gerik atau riwat yang jelek dari terdakwa) bukan merupakan keyakinan yang dikehendaki oleh undang-undang. Oleh karenanya keyakinan yang demikian ini mungkin lebih tepatnya disebut petunjuk, tidak dapat digunakan sebagai dasar untuk memidanakan seseorang.

3. Jumlah minimal alat bukti yang dapat dipakai untuk membentuk keyakinan Hakim ialah dua buah. Dalam hal ini menjadi tugas penyidik dalam penyidikan dan Jaksa Penuntut Umum untuk membawa alat bukti yang di perlukan di sidang pengadilan. Alat bukti antara lain apa yang telah di sebutkan ialah, keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa, sesuai dengan Pasal 184 KUHAP.

Dalam hal ini penulis membahas alat bukti mengenai dokter kehakiman sebagai ahli dalam menyelesaikan suatu perkara pidana. Ada beberapa ketentuan tentang tata-laksana dalam permintaan dokter sebagai ahli.

45 Alfred C. Satyo , Ilmu Kedokteran Kehakiman, (Medan: buku 3 bacaan wajib mahasiswa fakultas kedokteran Universitas Sumatera Utara, 1990) hal 28

(11)

1. Tata-Laksana Permintaan Bantuan Dokter

Ketentuan tentang tata-laksana bantuan dokter sebagai ahli tidak hanya dapat di temukan pada pasal - pasal dari KUHAP yang mengatur tentang ahli, tetapi juga pada pasal-pasal yang mengatur tentang saksi. Hal ini sesuai denga bunyi Pasal 179 KUHAP, yang menyatakan bahwa segala ketentuan yang berlaku bagi saksi juga berlaku bagi ahli. Selain itu, ketentuan tentang tata - laksana bantuan dokter sebagai ahli juga dapat ditemukan dalam peraturan pemerintah No 27 tahun 1983. Tata-laksana tersebut meliputi46

1. Waktu pengajuan permintaan (kapan permintaan dokter dapat diajukan). :

2. Pejabat yang berhak mengajukan permintaan (siapa yang berhak meminta bantuan dokter).

3. Cara mengajukan permintaan bantuan dokter. 4. Dokter yang dapat dimintai bantuan nya. 5. Cara dokter menyampaikan keterangannya.

1. Kapan permintaan dokter dapat diajukan.

Sebagaimana diketahui bahwa proses peradilan dari suatu tindak pidana dibagi menjadi berbagai tingkat. Dari berbagai tingkat itu maka permintaan bantuan dokter sebagai ahli hanya dapat diajukan pada tingkat :

1. Penyidikan

2. Penyidikan tambahan 46Ibid, hal 33

(12)

Penyidikan tambahan adalah penyidikan yang dilakukan atas petunjuk umum berkenaan dengan dikembalikannya berkas perkara karena belum lengkap. Dalam hal ini belum lengkap karena penyidik lalai tidak memanfaatkan bantuan dokter sebagai ahli sedangkan dalam perkara tersebut bantuan dokter seharusnya perlu atau kurang lengkap atau kurang tepat dalam pemeriksaan visum maka penuntut umum dapat menyarankannya kembali.

3. Sidang pengadilan

2. Siapa yang berhak meminta bantuan dokter

Berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, tidak semua orang dapat meminta bantuan dokter dalam menyelidiki suatu kasus tindak pidana. Seperti yang telah diuraikan sebelum nya bahwa yang berhak meminta bantuan dokter sebagai ahli ialah penyidik dan Hakim. Hakim ketua sidang dapat meminta bantuan dokter sebagai ahli dalam hal ;

1. Diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang pengadilan.

2. Timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasehat hukumnya terhadap hasil keterangan ahli dari seorang dokter sehingga perlu dimintakan pemeriksaan atau penelitiaan ulang oleh dokter lain.

Sudah tentu yang akan mengajukan permintaan bantuan kepada dokter ialah jaksa penuntut umum karena ia yang berwenang melaksanakan semua penetapan hakim. Maka agar tidak terjadi kesalah pahaman dengan dokter yang dimintai

(13)

bantuan itu, jaksa penuntut umum dalam surat permintaannya perlu menyebutkan bahwa permintaan tersebut diajukan dalam rangka melaksanakan penetapan hakim.

Mengenai korban tindak pidana atau keluarganya, tidak dibenarkan mengajukan permintaan langsung kepada dokter. Mereka hanya dibenarkan melaporkan tindak pidana yang dialaminya kepada pihak kepolisian dan selanjutnya pihak kepolisianlah yang akan melakuan penyidikan, termasuk mengajukan permintaan bantuan dokter sebagai ahli. Demikian juga terdakwa atau penasehat hukumnya, kalau mereka menghendaki bantuan dokter karena menurut pendapatnya keterangannya akan menguntungkan pihaknya, mereka hanya dibenarkan mengajukan permohonan kepada hakim ketua sidang.

Agar proses penyidikan dapat berjalan dengan lancar , maka penyidik dan dokter perlu bekerja sama dan juga perlu mengetahui bagaiman cara penanganan yang seharusnya bila mereka diharuskan melakukan pemeriksaan di tempat kejadian perkara (TKP). Proses kerja sama tersebut dapat dilakukan antara lain dengan

Kerjasama penyidik dan dokter

47

a. Bilamana pihak penyidik mendapat laporan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana pada suatu tempat yang menyangkut nyawa manusia (mati) telah terjadi, maka pihak penyidik dapat meminta bantuan dari dokter untuk melakukan pemeriksaan di tempat kejadian perkara tersebut. (Pasal 120 dan Pasal 133 KUHAP)

:

47

Abdul Mun’im Idries, Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik edisi Pertama,(Jakarta:Binarupa Aksara,1997) hal 286

(14)

b. Dokter tersebut harus selalu mengigat untuk tidak melakukan tindakan-tindakan yang dapat merubah, menggangu atau merusak keadaan di tempat kejadian perkara tersebut, walaupun sebagai kelanjutan dari pemeriksaan itu dokter harus mengumpulkan segala bukti.

c. Sebelum dokter memulai melakukan pemeriksaan maka terlebih dahulu aparat keamanan haruslah menjaga keamanan dilokasi kejadian dan dijaga keaslian TKP tersebut.

Sebelum dokter datang ke TKP ada beberapa hal yang perlu dicatat oleh dokter, seperti48

a. Siapa yang meminta datang ke TKP, bagaimana permintaan tersebut sampai ketangan dokter, dimana TKP serta saat permintaan itu diajukan.

:

b. Meminta informasi secara global tentang kasus nya dengan demikian dokter dapat membuat persiapan seperlunya.

c. Di TKP, dokter harus membuat foto dan sketsa yang mana harus disimpan dengan baik oleh karena ada kemungkinan ia akan di ajukan ke persidangan. d. Pembuatan foto atau sketsa harus memenuhi standart sehingga kedua belah

pihak yaitu dokter dan penyidik tidak akan memeberikan penafsiran yang berbeda atas objek yang sama.

e. Dokter tidak boleh menambah ataupun mengurangi benda-benda yang ada di TKP tersebut.

3. cara mengajukan permintaan bantuan dokter

(15)

Ada beberapa hal yang wajib dilakukan untuk mengajukan permintaan bantuan dokter sebagai ahli adalah sebagai berikut :

1. Permintaan itu harus diajukan secara tertulis.

2. Harus disebutkan dengan jelas pemeriksaan yang dikehendaki misalnya dalam hal objek yang dimintakan pemeriksaan mayat itu harus di tegaskan untuk pemeriksaan luar saja atau bedah jenazah.

3. Surat permintaan tersebut harus di sampaikan kepada dokter bersama-sama dengan objek yang akan di periksanya terutama mengenai objek korban hidup yang menderita luka-luka.

4. Hal ini sangat perlu untuk tidak menyulitkan dokter dalam memberikan keterangannya berkenaan dengan rahasia kedokterannya

5. Dalam hal objek orang mati itu sudah di kubur maka permintaan itu sudah tentu dapat di ajukan terlebih dahulu, sedangkan objek orang mati tersebut dapat di gali di kemudian hari bersama-sama dokter.

4. Dokter yang dapat dimintai bantuannya

Dari segi yuridis, setiap dokter adalah ahli, baik dokter tersebut ahli ilmu kedokteran kehakiman ataupun bukan, oleh sebab itu setiap dokter dapat dimintai bantuannya untuk membantu membuat terang perkara pidana oleh pihak yang berwenang. Akan tetapi supaya dapat diperoleh suatu bantuan yang maksimal, permintaan bantuan itu perlu diajukan pada dokter yang memiliki keahlian yang sesaui dengan objek yang akan di periksa.

(16)

Contohnya antara lain :

1. Untuk objek korban mati sebaiknya diminta kepada ahli ilmu kedokteran kehakiman.

2. Untuk objek korban hidup yang menderita luka-luka sebaiknya dimintakan kepada dokter ahli bedah.

3. Untuk objek korban hidup akibat tindakan pidana seksual sebaiknya dimintakan kepada dokter ahli kandungan.

4. Untuk objek yang berkaitan dengan gigi (untuk kepentingan identifikasi) sebaiknya dimintakan bantuan kepada dokter gigi.

5. Untuk objek terdakwa yang menderita/diduga menderita penyakit jiwa sebaiknya dimintakan kepada dokter ahli jiwa.

Jika disatu daerah tidak ada dokter dengan keahlian seperti diatas, maka dokter umum dapat dimintakan bantuannya. Tiap-tiap dokter yang diminta bantuannya sebagai ahli wajib memberikan bantuannya sebatas kemampuan yang dimilikinya.

Pemeriksaan penunjang yang tidak dapat di lakukan oleh dokter tersebut, wajib diberitahukan kepada penyidik agar penyidik dapat mengajukan permintaan pemeriksaan itu kepada pihak lain, seperti pemeriksaan toksikologi (mengenai pengaruh bahan kimia).49

5. Cara dokter dalam menyampaikan keterangannya

49 Alfred C. Satyo , Op.Cit, hal 37

(17)

Keterangan dokter sebagai ahli hanya dapat diberikan kepada pemintanya melalui 2 cara, yaitu secara tertulis dan secara lisan.

a. Secara tertulis

Keterangan tertulis dari dokter sebagai ahli dapat disampaikan pada tingkat penyidikan, penyidikan tambahan, sidang pengadilan. Jika keterangan tertulis ini dibuat dengan sumpah atau dengan mengingat sumpah maka keterangan itu nanti disidang pengadilan dapat berlaku sebagai alat bukti yang sah (alat bukti surat) tanpa perlu menghadirkan dokter kesidang pengadilan. Keterangan tertulis seperti itu di sebut Visum et Repertum.

b. Secara lisan dari dokter sebagai ahli juga dapat diberikan pada tingkat penyidikan, penyidikan tambahan, sidang pengadilan. Keterangan lisan di hadapan penyidik pada tingkat penyidikan atau penyidikan tambahan tidak dapat berlaku sampai alat bukti yang sah tanpa menghadirkan dokter pada sidang pengadilan,

2. Peran Dokter Ahli

a. Dokter sebagai pembuat Visum et Repertum

Tugas dokter ahli dalam membantu penyidikan bagi kepentingan peradilan atas adanya tindak pidana, ialah membuat visum et repertum dan menjadi saksi ahli dalam persidangan. visum et repertum berguna untuk kepentingan peradilan sehingga membuat terang suatu kasus tindak pidana dan membantu meyakinkan hakim dalam memutuskan suatu tindak pidana.

(18)

permintaan Visum et Repertum kepada dokter forensik ada beberapa tahapan, antara lain 50

1. Penyidik meminta bantuan kepada dokter kehakiman untuk membuat visum et repertum.

:

Dalam hal ini penyidik membuat permintaan surat permintaan visum et repertum kepada kepala atau direktur Rumah Sakit yang di tuju untuk pembuatan visum et repertum.

2. Dokter memberikan hasil visum et repertum.

Dokter memberikan hasil visim et repertum kepada pihak penyidik, yang nantinya hasil visum tersebut di berikan kepada jaksa penuntut umum.

3. Penyidik memberikan hasil visum et repertum kepada Jaksa Penuntut Umum. Penyidik memberikan hasil visum tersebut kepada Jaksa Penuntut Umum untuk di pelajari lebih lanjut tentang apa yang terjadi pada tubuh korban, jika Jaksa Penuntut Umum merasa kurang dengan hasil visum maka Jaksa Penuntut Umum mengembalikan hasil visum tersebut kepada penyidik dan penyidik mengembalikan kembali kepada dokter yang membuat visum et

repertum tersebut. Setelah Jaksa Penuntut Umum merasa sudah pas dengan

hasil visum tersebut maka hasil visum tersebut yang dibawa ke persidangan. 4. Hakim pengadilan meminta jaksa penuntut umum untuk memanggil dokter

yang membuat visum et repertum.

50

(19)

Hakim membaca dan memeriksa hasil visum tersebut, jika hakim merasa kurang tepat atau kurang yakin dan atau tidak mengetahui secara jelas, maka hakim meminta jaksa penuntut umum untuk memanggil dokter tersebut ke persidangan sebagai saksi ahli untuk memberikan keterangan yang ia ketahui.

Dari tahapan tersebut bisa dibuat skema seperti berikut :

Permintaan v.e.r

Penyidik Dokter yang bertugas Membalas v.e.r

Jaksa Penuntut Umum

Hakim – Pengadilan

Pengertian harafiah visum et repertum berasal dari kata “visual” yaitu melihat dan repertum yaitu melaporkan. Berarti “apa yang dilihat dan ditemukan” sehingga visum et repertum merupakan suatu laporan tertulis dari dokter (ahli) yang dibuat berdasarkan sumpah, mengenai apa yang dilihat dan ditemukan atas bukti hidup,

(20)

mayat atau fisik ataupun barang bukti lain, kemudian dilakukan pemeriksaan menurut pengetahuan yang sebaik-baiknya51

Pembuatan visum et repertum memberikan tugas sepenuhnya kepada dokter sebagi pelaksana dilapangan untuk membantu hakim menemukan kebenaran materiil dalam memutuskan perkara pidana. Dokter dilibatkan untuk turut memberikan pendapatnya berdasarkan ilmu pengetahuan yang di miliki dalam pemeriksaan perkara pidana, apabila alat bukti yang ada berupa tubuh manusia atau bagian dari tubuh manusia.

. Dokter berperan utama sebagai pelaksana pembuatan visum et repertum, khususnya dalam kasus-kasus kematian seseorang yang diduga sebagai korban tindak pidana yang memerlukan dilakukannya tindakan bedah mayat forensik (otopsi) untuk memastikan penyebab kematian korban, kedudukan dokter adalah sebagai pembuat visum et repertum.

Dalam memutuskan perkara pendapat dokter diperlukan karena hakim sebagai pemutus perkara tidak dibekali ilmu-ilmu yang berhubungan dengan anatomi tubuh manusia52

51 Sri Ingeten br. Perangin angin, Skripsi, Peranan Dokter Dalam Pembuktian Perkara Pidana. (Medan: USU Repository,2008), hal 46

. Oleh sebab itulah di perlukan bantuan dokter untuk memastikan sebab, cara dan waktu kematian pada peristiwa kematian tidak wajar karena pembunuhan , bunuh diri, kecelakaan atau kematian yang mencurigakan. Pada korban tidak dikenal diperlukan pemeriksaan untuk mengetahui identitasnya, begitu juga pada korban penganiyaan, pemerkosaan, pengguguran kandungan dan peracunan diperlukan pemeriksaan oleh dokter untuk menjelaskan peristiwa yang terjadi secara medis.

(21)

Hasil pemeriksaan dan laporan tertulis akan digunakan sebagai petunjuk atau pedoman dan alat bukti dalam menyidik, menuntut dan mengadili pada perkara pidana. Dalam hal ini tampaklah bahwa laporan pemeriksaan dalam proses penegakan hukum. Oleh karena itu dokter sebagai pemberi jasa dibidang kedokteran kehakiman dari semula harus menyadari bahwa laporan hasil pemeriksaan dan kesimpulan serta keterangan di sidang pengadilan yang baik dan terarah akan membantu proses penyidikan, persidangan serta pemutusan perkara.

Jika dilihat menurut sifatnya, ada berbagai jenis dan bentuk visum et repertum, antara lain53

1. Jenis – jenis Visum et Repertum

:

1. Visum et Repertum untuk korban hidup

Yang termasuk visum untuk korban hidup adalah visum yang diberikan untuk korban luka-luka karena kekerasan, keracunan, perkosaan, psikiatri dan lain-lain. Berdasarkan waktu pemberiannya visum untuk korban hidup dapat dibedakan atas :

a. Visum Seketika (definitive)

Yaitu visum yang langsung diberikan setelah korban selesai diperiksa. Visum inilah yang paling banyak diuat oleh dokter.

b. Visum Sementara

Yaitu visum yang diberikan pada korban yang masih dalam perawatan. Biasanya visum sementara ini diperlukan penyidik untuk menentukan jenis

53 Megawati, Skripsi, Kekuatan Pembuktian Visum et Repertum Terhadap Korban Tindak Pidana

(22)

kekerasan. Sehingga dapat menahan tersangka atau sebagai petunjuk dalam menginterogasi tersangka. Dalam visum sementara ini belum di tulis kesimpulan.

Pemberian visum sementara ini hanya merupakan barang bukti untuk melakukan penangkapan dan penahanan terhadap terdakwa atas telah terjadinya suatu peristiwa pidana, misalnya penganiyaan, pemerkosaan, percobaan membunuh dan lain-lain. Penangkapan dan penahanan tidak dapat dilakukan secara sewenang-wenang dengan hanya dilandasi adanya dugaan. Akan tetapi harus didasarkan atas bukti-bukti permulaan.

Apabila si korban sudah sembuh atau sudah meninggal, maka dokter harus mengganti visum sementara yang telah dikeluarkan terdahulu dan berkewajiban untuk membuat visum yang baru. Dalam visum yang baru sebagai pengganti visum sementara, dokter telah sampai pada kesimpulan tentang apa yang dilihat dan diketahuinya dari tubuh korban untuk bahan pembuktian dipersidangan. Sedangkan visum sementara tadi tidak dapat diajukan sebagai alat bukti karena dalam visum sementara dokter belum sampai pada suatu kesimpulan terhadap apa yang dilihat dan didapat dari pemeriksaan korban.

c. Visum Lanjutan

Yaitu visum yang diberikan setelah korban sembuh atau meninggal dan merupakan lanjutan dari visum sementara yang telah di berikan sebelumnya. Dalam visum ini harus dicantumkan nomor dan tanggal dari visum sementara yang telah diberikan. Dalam visum ini dokter telah membuat kesimpulan. Visum lanjutan tidak perlu dibuat oleh dokter yang membuat visum sementara, tetapi oleh dokter yang terakhir merawat penderita.

(23)

2. Visum et Repertum Jenazah

Visum et repertum jenazah dapat dibedakan atas beberapa, yaitu : a. Visum dengan pemeriksaan luar

Pemeriksaan luar yang dimaksud tidak dapat memberikan kepada umum apakah pemeriksaan pertama bagian luar saja, oleh karena kurang jelas disebutkan tetapi mungkin pembuat undang-undang hanyalah pemeriksaan luar saja. Pemeriksaan mayat yang hanya ditujukan pada bagian luar saja pada umumnya kurang dapat memberikan hasil yang diharapkan dalam membuktikan faktor penyebab kematian sikorban atau dengan kata lain hasil pemeriksaan tersebut kurang sempurna.

b. Visum dengan pemeriksaan luar dan dalam

Visum ini sering menimbulkan permasalahan antara penyidik, dokter dan masyarakat terutama dalam visum pemeriksaan luar dan dalam ( autopsy ). Masalah disini adalah hambatan dari keluarga korban bila visum harus dibuat melalui bedah mayat. Pemeriksaan bedah mayat berarti membuka semua rongga tubuh ( kepala, dada, perut, dan pinggul ) dan memeriksa semua alat-alat (organ) untuk dapat menentukan sebab kematian maupun penyakit atau kelainan yang mungkin terdapat pada si korban.

Apabila ditinjau dari segi yuridis, pemeriksaan bedah mayat bukanlah sekedar menentukan kematian sikorban saja melainkan melalui pemeriksaan tersebut akan dapat menjawab apakah perbuatan terdakwa merupakan satu-satunya penyebab kematian korban atau pada korban terdapat penyakit atau kelainan yang

(24)

mempermudah atau mempercepat kematiannya sehingga berdasarkan teori yang dianut oleh hakim pada saat mengadili perkara dapat dijatuhi hukuman seadil-adilnya.

Permintaan bedah mayat ini merupakan otopsi dan harus mendapat izin dan persetujuan dari keluarga korban serta memperlakukan mayat dengan penuh penghormatan. Hasil dari pemeriksaan bedah mayat tersebut nantinya dituangkan oleh saksi ahli kedalam visum et repertum. Dokter dalam membuat visum et repertum jenazah dari mayat yang diperiksanya tidak dapat menyebutkan bahwa si korban mati akibat pembunuhan walaupun dokter mengetahui bahwa kematian sikorban disebabkan karena pembunuhan. Dokter dalam kesimpulannya hanya membuat keterangan tentang kematian korban, misalnya,kematian akibat keracunan, pendarahan diotak dan sebagainya.

3. Visum et Repertum pemeriksaan di Tempat Kejadian Perkara (TKP)

4. Visum et Repertum penggalian mayat

5. Visum et Repertum mengenai umur

6. Visum et Repertum psikiatrik

Visum et Repertum psikiatrik sehubungan dengan Pasal 44 KUHP yang berisi: (1) Barang siapa mengerjakan sesuatu perbuatan, yang tidak dapat

dipertanggungkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal tidak boleh dihukum.

(2) Jika nyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal maka hakim boleh memerintahkan menempatkan dia di rumah sakit gila selama-lamanya satu tahun untuk diperiksa.

7. Visum et Repertum Mengenai Barang Bukti

(25)

2. Bentuk atau susunan Visum et Repertum

Bentuk visum yang sekarang adalah warisan para pakar kedokteran kehakiman yaitu : H Muller, Mas Sutedjo dan Sutomo Tjokonegoro54

Bentuk atau susunan visum et repertum, antara lain

. Hanya pada visum et repertum psikiatrik yang ditentukan langsung oleh pemerintah namun pada dasarnya tidak banyak yang berbeda dengan bentuk Visum et Repertum. Bentuk Visum et Repertum psikiatrik dimana objek yang diperiksa adalah pelaku dari tindak pidana, dibuat bila hakim memerlukannya yaitu untuk dapat mengetahui sampai sejauh mana si pelaku dapat diminta tanggung jawabnya atas perbuatan yang telah dilakukannya.

55

1. Pro – Yustisia

:

Menyadari bahwa semua surat baru sah di pengadilan apabila dibuat diatas kertas bermaterai dan hal ini akan menyulitkan bagi dokter bila setiap Visum et Repertum yang dibuatnya harus memakai kertas materai. Berpedoman kepada peraturan pos, maka bila dokter menulis Pro-Yustisia dibagian atas visum, maka itu sudah dianggap sama dengan kertas materai.

Penulisan kata Pro-Yustisia pada bagian atas dari visum lebih diartikan agar pembuat maupun pemakai visum dari semula menyadari bahwa laporan itu adalah demi keadilan (pro-yustisia). Hail ini sering terabaikan oleh pembuat maupun pemakai tentang arti sebenarnya kata pro-yustisia ini. Bila dokter sejak semula

54 Sri Ingeten br. Perangin angin, Op.Cit, hal 48 55 Abdul Mun’im Idries, Op.Cit, hal 6

(26)

memahami bahwa laporan yang dibuatnya tersebut adalah sebagai partisipasinya secara tidak langsung dalam menegakkan hukum dan keadilan, maka saat mulai memeriksa korban ia telah menyadari bantuan yang diberikan akan dipakai sebagai salah satu alat bukti yang syah dalam menegakkan hukum dan keadilan. Dengan kata lain kata Pro-Yustisia harus dicantumkan dikiri atas, dengan demikian visum et repertum tidak perlu bermaterai.

2. Pendahuluan pendahuluan memuat seperti :

a. Identitas pemohon visum et repertum.

b. Tanggal dan pukul diterima permohonan visum et repertum. c. Identitas dokter yang melakukan pemeriksaan.

d. Tanggal dan pukul dilakukannya pemeriksaan korban/luar mayat. e. Tanggal dan pukul dilakukannya pemeriksaan korban dalam mayat.

f. Identitas korban seperti : nama, jenis kelamin, umur, bangsa, alamat, pekerjaan. g. Keterangan penyidik mengenai luka dan cara kematian.

h. Rumah sakit tempat korban dirawat sebelumnya dan pukul berapa korban meninggal dunia.

i. Keterangan mengenai orang yang mengantar korban ke rumah sakit. 3. Pemeriksaan

Bagian yang terpenting dari visum sebetulnya terletak pada bagian ini, karena apa yang dilihat dan ditemukan dokter sebagai terjemahan dari visum et repertum itu terdapat pada bagian ini. Pada bagian ini dokter melaporkan hasil pemeriksaannya secara obyektif dan pada bagian ini dokter menuliskan luka, cedera dan kelainan pada

(27)

tubuh korban seperti apa adanya. Misalnya terdapat suatu luka, dokter menuliskan dalam visum suatu luka berbentuk panjang, dengan panjang 10 cm, dan lebar luka 2 cm dan dalam luka 4 cm, pinggir luka rata, jaringan dalam luka terputus tanpa menyebutkan jenis luka.

Pada bagian pemeriksaan ini, bila dokter mendapat kelainan yang banyak atau luas dan akan sulit menjelaskannya dengan kata-kata, maka sebaiknya penjelasan ini disertai dengan lampiran foto atau sketsa. Tujuannya adalah karena dengan lampiran foto atau sketsa pemakaian visum akan lebih mudah memahami penjelasan yang ditulis dengan kata-kata dalam visum.

Bagian ini harus ditulis dalam bahasa Indonesia sehingga orang awam dapat mengerti dan hanya kalau perlu disertakan istilah kedokteran atau asing dibelakangnya didalam kurung. Angka harus di tulis dengan huruf. Misalnya 4 CM di tulis dengan empat centimeter. Tidak dibenarkan menulis diagnosa misalnya luka bacok, luka tembak dan sebagainya tetapi luka harus dilukis dengan kata (description).

Untuk memeriksa korban hidup bagian ini memuat :

a. Keadaan umum seperti jenis kelamin, umur menurut perkiraan dokter, tinggi badan, berat badan dan keadaan gizi.

b. Keadaan luka, hasil pemeriksaan luka yang di dapatkan pada korban. c. Tindakan atau operasi yang telah dilakukan.

d. Hasil pemeriksaan tambahan atau hasil konsultasi dengan dokter ahli lain.

(28)

a. Pemeriksaan luar mayat

Keadaan umum : jenis kelamin, umur menurut perkiraan dokter, tinggi badan, berat badan, keadaan gizi, lebam mayat, kaku mayat, kepala, leher, dada, perut, punggung, anggota gerak, alat kelamin, dan dubur.

b. Pemeriksaan dalam

Alat rongga dada, rongga perut, leher dan kepala. c. Pemeriksaan tambahan

Toksologi yaitu ilmu tentang efek racun dari obat. Histopatologi yaitu ilmu tentang jaringan tubuh Bakteriologi yaitu ilmu tentang kuman.

4. Kesimpulan

Bagian ini memuat pendapat pribadi dokter sendiri, bersifat subyektif dan dipengaruhi oleh pengetahuan dan pengalaman. Untuk pemakain visum, ini adalah bagian yang penting, karena dokter diharapkan dapat menyimpulkan kelainan yang terjadi pada korban menurut keahliannya. Pada korban luka atau korban lainnya perlu penjelasan tentang jenis kekerasan, hubungan sebab akibat dari kelainan, tentang derajat kualifikasi luka, berapa lama korban dirawat dan bagaimana harapan kesembuhan. Pada kebanyakan visum yang dibuat dokter, bagian kesimpulan ini perlu mendapat perhatian agar visum lebih berdaya guna dan lebih informatif.

5. Penutup

Pada bagian ini, visum et repertum ditutup dengan : demikian visum et repertum ini dibuat dengan sesungguhnya mengingat sumpah dokter yang tercantum dalam stb. 1937/350 atau sesuai dengan penjelasan Pasal 186 KUHAP : keterangan ahli ini dapat

(29)

juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk keterangan dan dibuat dengan mengingat sumpah pada waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan.

Ketentuan ini sangat memudahkan dokter dalam membuat visum et repertum, tidak perlu setiap kali disumpah oleh penyidik kalau membuat visum et repertum. Visum et repertum harus dibuat sejujur-jujurnya dan sengaja dari ketentuan ini dapat dipidana berdasarkan pasal 242 KUHP yaitu sumpah palsu.

b. Dokter Sebagai Ahli Dalam Persidangan

Salah satu tugas pokok dari hukum acara pidana ialah untuk menemukan kebenaran materil, yaitu kebenaran yang sesungguh-sungguhnya. Tugas itu tidaklah mudah bagi penyidik, penuntut umum, dan hakim yang tidak menyaksikan sendiri bagaimana proses berlangsungnya tindak pidana itu dan siapa yang menjadi pelakunya. Tugas yang berat tersebut harus dilaksanakan hanya dengan memanfaatkan saksi, terdakwa/tersangka dan barang bukti. Tidaklah sulit bagi penyidik, penuntut umum dan hakim untuk memeriksa saksi dan terdakwa agar mau memberikan keterangan yang sebenarnya, tetapi untuk menjadikan agar barang bukti dapat membantu mengungkapkan suatu tindak pidana, mereka akan mendapat kesulitan oleh sebab itu diperlukan para ahli untuk mengungkapkan peristiwa pidana yang terjadi tersebut56

Keterangan saksi berbeda dengan keterangan ahli, keterangan saksi diberikan berdasarkan pada hal yang dilihat, didengar atau dialami sendiri seperti yang tertulis

.

56 Alfred C. Satyo , Op.Cit, hal 13

(30)

dalam Pasal 1 angka 26 KUHAP yaitu, “Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia Iihat sendiri dan ia alami sendiri”. sedangkan ahli memberikan pendapat atau sangkaan berdasarkan dari pengetahuan atau keahlian khusus yang ia miliki. Seperti yang tertulis dalam Pasal 1 angka 28 KUHAP yaitu “Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.”

Kepada seorang ahli, diberlakukan segala aturan yang berlaku pada saksi seperti pada Pasal 185 KUHAP. Namun, diantara keduanya terdapat perbedaan dalam hal keterangan yang diberikan maupun lafal sumpah yang dinyatakan sebelum memberi keterangan. Lafal sumpah saksi pun berbeda dengan lafal sumpah ahli. Lafal bagi saksi berbunyi: “... Saya bersumpah bahwa saya akan menerangkan yang benar, tak lain daripada yang sebenarnya.” Sedangkan lafal bagi ahli berbunyi: “... Saya bersumpah bahwa saya akan memberikan pendapat tentang soal-soal yang dikemukakan menurut pengetahuan saya sebaik-baiknya.” Dengan demikian, maka ahli bukanlah orang yang akan memberi keterangan mengenai fakta yang ia dengar atau ia lihat, melainkan ahli menyampaikan pendapat sebagaimana pengetahuan yang dikuasainya57

57 Rafiqa Qurrata A’yun,Skripsi, Keterangan Ahli Dalam Hukum Acara Pidana di

Indonesia,(Depok, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010), hal 30

(31)

Bantuan yang dapat diberikan dokter sebagai ahli dalam rangka menemukan kebenaran materil ialah memberikan keterangan tentang58

1. Teori Dibidang Kedokteran

:

Dalam hal ini dokter di tingkat penyidikan atau di tingkat pemeriksaan di pengadilan, hanya diminta untuk memberikan keterangannya tentang suatu masalah yang berkaitan dengan ilmu kedokteran untuk membuat terang perkara pidana. Kepada dokter tidak disodori sesuatu barang bukti untuk di periksa, melainkan disodori berbagai pertanyaan atau diminta menerangkan sesuatu hal yang berkaitan dengan ilmu kedokteran yang mungkin dapat membantu memperjelas perkara pidana yang sedang diperiksa.

Jika misalnya ada seseorang tenaga medis di tuduh melakukan kelalaian sehingga menyebabkan pasiennya meninggal dunia maka dalam mengadili perkara seperti ini hakim perlu meminta bantuan dokter atau lebih untuk memberi keterangan tentang berbagai hal, misalnya tentang prosedur yang benar dari suatu tindakan medik bagi penanggulangan penyakit pasien tersebut atau untuk menilai apakah tindakan medik yang telah diberikan oleh tenaga medis yang di adili itu telah memenuhi standar pengobatan atau belum.

Jadi, dalam perkara ini dokter yang di panggil tersebut hanya akan

menerangkan hal-hal yang berkaitan dengan ilmu kedokteran yang tidak diketahui oleh penegak hukum.

58 Alfred C. Satyo , Op.Cit, hal 15

(32)

2. Sesuatu Objek

Dalam hal ini dokter disodorkan sesuatu objek benda untuk di periksa dan dianalisa lebih dahulu sebelum ia memberikan keterangannya kepada pihak peminta mengenai objek benda tersebut. Objek benda itu bisa terdakwa, korban atau objek – objek lain59

a. Objek terdakwa .

Objek terdakwa perlu dimintakan keterangan kepada dokter sebagai ahli apabila : 1. Terdakwa menunjukan gejala-gejala kelainan jiwa , pemeriksaan dokter disini

adalah untuk membuktikan :

a. Apakah ia benar-benar menderita penyakit jiwa? b. Apa jenis penyakit jiwa tersebut?

c. Apakah jenis penyakit jiwa tersebut menyebabkan ia tidak mampu bertanggungjawab atas perbuatannya?

2. Terdakwa yang tidak diketahui dengan jelas berapa umurnya. Terdakwa yang demikian ini perlu diketahui umurnya agar dapat ditentukan statusnya sebagai terdakwa anak-anak atau terdakwa dewasa. Dalam tata cara mengadili terdakwa anak berbeda dengan tata cara mengadili terdakwa dewasa. Sidang pengadilan anak-anak harus tertutup, di dalam rangan tidak berkesan sebagai ruang sidang pengadilan dan pejabat-pejabat yang mengadilinya tidak boleh memakai toga. Bila terbukti bersalah hukuman yang di berikan dapat berupa hukuman badan, di serahkan menjadi anak negara atau di kembalikan kepada orang tuanya untuk dididik.

59 Alfred C. Satyo , Op.Cit, hal 16

(33)

3. Terdakwa dicurigai menderita impotensi, sedangkan tindak pidana yang dituduhkan merupakan tindak pidana yang mempunyai unsur persetubuhan (pemerkosaan, perzinahan, dsb). Perlu di ketahui bahwa seorang penderita impotensi tidak mungkin dapat melakukan persetubuhan, dengan demikian tidak mungkin ia dapat melakukan tindak pidana perkosaan atau perzinahan.

4. Terdakwa wanita yang diduga melakukan tindak pidana Infantieide (menbunuh bayinya sendiri), tetapi ia menyangkal telah melahirkan anak. Melalui pemeriksaan dokter akan dapat dibuktikan apakah ia benar-benar telah melahirkan anak atau tidak.

b. Objek korban

Objek korban terdiri atas korban hidup dan korban mati, selanjutnya korban hidup terdiri atas yang menderita luka-luka dan tindak pidana seksual. Sedangkan korban mati terdiri atas bayi dan bukan bayi :

1. Objek korban hidup yang menderita luka-luka, akibat penganiyaan, percobaan pembunuhan, peracunan, dan sebagainya, perlu dimintakan keterangan dokter sebagai berikut :

a. Jenis luka yang diderita

b. Jenis kekerasannya (benda penyebab luka) c. Kualifikasi lukanya.

2. Objek korban hidup dari tindak pidana seksual, bantuan dokter dalam perkara ini untuk membuktikan :

(34)

b. Ada tidaknya luka-luka, jika ada luka-luka maka dijelaskan tentang : jenis luka yang diderita, jenis kekerasannya, dan kualifikasi lukanya.

c. Dalam hal diduga korban persetubuhan mau sama mau di bawah umur, sedang korban itu tidak jelas umurnya, maka perlu dimintakan keterangan dokter tentang umur korban.

3. Objek korban mati bayi, perlu dimintakan keterangan kepada dokter tentang : a. Apakah bayi itu viable (mempunyai kemampuan hidup diluar kandungan)

atau tidak

b. Apakah bayi lahir hidup atau mati

c. Apakah kematiannya wajar (karena penyakit) atau tidak wajar, jika tidak wajar perlu ditentukan : jenis lukanya, jenis kekerasannya, dan sebab kematiannya.

d. Lamanya bayi sempat hidup diluar kandungan.

4. Objek korban mati bukan bayi, bantuan dokter dipelukan untuk mengetahui : a. Apakah kematiannya wajar karena penyakit atau tidak wajar.

b. Jika tidak wajar perlu diketahuk antara lain : jenis lukanya, jenis kekerasannya, dan sebab kematiannya.

c. Objek - objek lain

Termasuk objek – objek lain ialah :

a. Bercak darah / bercak yang di duga darah b. Bercak mani / bercak yang di duga mani

(35)

c. Benda – benda atau jaringan – jaringan yang berasal atau duduga berasal dari tubuh manusia.

Objek lain-lain ini perlu dimintakan bantuan kepada dokter ahli agar dari objek tersebut dapat membantu menemukan kebenaran materil.

C. Kewajiban Dokter Sebagai Ahli

Menyadari pentingnya peranan dokter dalam membantu menyelesaikan perkara-perkara pidana, maka pembuat Undang-Undang Hukum Acara Pidana menetapkan berbagai kewajiban yang harus dilaksanakan oleh dokter apabila ia diminta bantuannya sebagai ahli. Dokter dapat dikenai sanksi apabila tidak melaksanakan kewajibannya tanpa alasan yang sah. Kewajiban-kewajiban itu ialah60

1. Kewajiban Memberikan Keterangan Ahli

:

Ketentuan yang mewajibkan dokter memberikan keterangan sebagi ahli apabila diminta bantuannya dapat dilihat pada Pasal 179 ayat 1 KUHAP, yang menyatakan :

“setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan”.

Ketentuan ini merupakan ketentuan yang berlaku pada tingkat pemeriksaan disidang pengadilan, yang apabila dengan sengaja tidak di patuhi oleh yang bersangkutan tanpa alasan yang sah dapat di kenai sanksi berdasarkan Pasal 224 KUHP.

60Alfred C. Satyo , Op.Cit, hal 40

(36)

Alasan yang sah yang dapat yang menyebabkan dokter tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai ahli yaitu :

a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus keatas atau kebawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.

b. Saudara terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga.

c. Suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.

Sebenarnya alasan-alasan itu diperuntukan bagi saksi, tetapi karena ada ketentuan didalam KUHAP yang menyatakan bahwa semua ketentuan untuk saksi berlaku bagi mereka yang memberikan keterangan ahli maka alasan-alasan tersebut berlaku juga bagi dokter. Demikian juga ketentuan yang menyatakan bahwa mereka mempunyai alasan mengundurkan diri dapat memberikan keterangan di bawah sumpah apabila mereka menghendakinya dan penuntut umum serta terdakwa menyetujuinya. Tanpa persetujuan dari penuntut umum dan terdakwa, mereka hanya boleh memberikan ketrangan tanpa sumpah.

Pada tingkat penyidikan dan penyidikan tambahan dokter juga mempunyai kewajiban untuk memberikan keterangan sebagai ahli apabila diminta. Ketentuan ini tertuang dalam Pasal 120 KUHAP.

(37)

2. Kewajiban Mengucapkan Sumpah Atau Janji

Pada tingkat pemeriksaan disidang pengadilan, dokter wajib mengucapkan sumpah atau janji sebagai ahli sebelum ia memberikan keterangan dan juga sesudah memberikan keterangannya apabila dipandang perlu oleh hakim. Dalam hal dokter menolak mengucapkan sumpah atau janji didepan penyidik sewaktu memberikan keterangan lisan, dokter tidak boleh disandera. Penyanderaan hanya dimingkinkan pada tingkat pemeriksaan di sidang pengadilan dengan surat penetapan hakim ketua sidang.

D. Kendala Yang Dihadapi Dokter Dalam Membantu Pembuktian Perkara Pidana

Di dalam melakukan tugas-tugasnya pada proses pemeriksaan untuk mempermudah proses penyidikan, dokter sering mendapat hambatan dalam pemeriksaannya. Hambatan-hambatan tersebut ialah61

1. Keterbatasan fasilitas

:

ilmu forensik di Indonesia dapat dikatakan masih jauh tertinggal dengan negara-negara maju, seperti yang diketahui bahwa ilmu forensik ini sangat penting dalam membuat terang suatu kasus kejahatan namun sarana ataupun fasilitas kurang didukung dengan baik dari pemerintah, dan juga kemampuan rumah sakit atau institusi kesehatan dalam menyimpan data rekam medis juga terbatas.

2. Kurangnya koordinasi antara penyidik dengan dokter.

Didalam menyelesaikan suatu perkara tidak jarang seorang penyidik memerlukan bantuan dokter untuk ikut melakukan pemeriksaan di Tempat Kejadian

(38)

Perkara (TKP). Namun kadangkala ada kurang koordinasi antara penyidik dengan dokter seperti misal penyidik tidak memberitahukan kondisi kejadian tempat perkara dengan jelas, atau misalnya penyidik telah menggeser posisi mayat sehingga membuat sulit dokter dalam memeriksa. Dari hal tersebut jelas bahwa perlu koordinasi antara penyidik dengan dokter dalam memeriksa suatu perkara, dan juga posisi mayat sebaiknya tidak dipindahkan sebelum dokter datang dan sampai pemeriksaan TKP selesai, sehingga dokter dapat melakukan pemeriksaan dengan baik. Namun hal lain penyidik dapat memindahkan posisi mayat apabila posisi mayat tersebut mengganggu kelancaran lalu lintas.

3. Pihak keluarga keberatan (kurang setuju) Dalam Pasal 134 KUHAP menjelaskan :

(1) Dalam hal sangat diperlukan dimana untuk keperluan pembuktian bedah mayat tidak mungkin lagi dihindari, penyidik wajib memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga korban.

(2) Dalam hal keluarga keberatan, penyidik wajib menerangkan dengan sejelas-jelasnya tentang maksud dan tujuan perlu dilakukannya pembedahan tersebut. (3) Apabila dalam waktu dua hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga atau pihak yang diberi tahu tidak diketemukan, penyidik segera melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 133 ayat (3) undang-undang ini. Dan didalam pasal 133 ayat 3 KUHAP menjelaskan :

“Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi label yang memuat identitas mayat, dilak dengan diberi cap jabatan yang dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat”.

(39)

Apabila keluarga korban keberatan untuk dilakukan pemeriksaan bedah mayat, maka penyidik harus menjelaskan bahwa pemeriksaan tersebut sangat di perlukan. Disamping mayat merupakan barang bukti dan untuk memperlancar proses pemeriksaan juga tidak menutup kemungkinan bahwa kelurga itu sendiri adalah pembunuhnya dikarenakan keberatan untuk dilakukan bedah mayat.

Jika alasan pihak keluarga adalah bahwa bedah mayat tersebut bertentangan dengan ajaran agama Islam adalah tidak tepat. Seperti yang telah di putuskan oleh Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syra Departemen Kesehatan yang berupa Fatwa No .4/1995 yang berbunyi:

1. Bedah mayat itu mubah/boleh hukumnya untuk kepentingan ilmu pengetahuan, pendidikan dokter dan penegakkan keadilan diantara umat manusia.

2. Membatasi kemubahan ini sekedar darurat saja menurut kadar yang tidak boleh tidak harus dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.

4. Identifikasi pada korban yang tidak dikenal

Apabila ditemukan mayat yang telah dimutilasi (terpotong/tidak utuh lagi) oleh pelaku tersebut maka sangat susah untuk mengidentifikasi siapa sebenarnya korban tersebut. Terlebih apabila tidak ditemukannya identitas seperti KTP, SIM, STNK, dll. Hal ini merupakan kerja keras bagi penyidik untuk mencari siapa yang harus bertanggung jawab dalam peristiwa ini dan apa modus dari pembunuhan mutilasi ini dilakukannya, apalagi mayat yang ditemukan hanya beberapa bagian dari tubuh seperti tangan, kaki, kepala dll. Bagian-bagian tubuh yang ditemukan ini segera

(40)

di kirim kerumah sakit untuk segera dilakukan otopsi. Hal pertama yang diteliti oleh dokter adalah mengidentifikasi dan memperkirakan jenis kelamin, perkiraan umur, perkiraan berat badan dan tinggi badan, perkiraan kematian. Ciri-ciri mendasar seperti ini perlu diketahui sebab apabila ada anggota keluarga ataupun masyarakat yang melapor bahwa ia kehilangan anggota keluarganya maka penyidik dapat mencocokkan ciri-ciri orang hilang tersebut dengan korban mutilasai yang ditemukan.

Referensi

Dokumen terkait

Katalog Unsur Geografi Indonesia (KUGI) merupakan suatu sistem yang berisi unsur dan atribut yang dapat digunakan oleh produsen dan pengguna informasi geografis dalam

Dalam melakukan penilaian terhadap agunan, Bank Syariah harus menilai barang, proyek atau hak tagih yang dibiayai dengan fasilitas pembiayaan yang bersangkutan dan

akan memberitahukan Pihak yang Menyampaikan Keluhan dan melanjutkan dengan menyusun Rencana Aksi (lihat bagian i dan seterusnya). iii) Jika Komite Keluhan menilai bahwa

Karena dengan tak pernah absenya Mischief Denim dalam event tahunan tersebut di tambah dengan merupakan salah satu produk jeans lokal yang memiliki followers Instagram terbanyak

Agenda Clustering Requirement untuk clustering Tipe data dalam cluster analysis Interval-scale variable Binary variable Nominal variable Ordinal variable Ratio-scaled

Tiwow, C.D., 2013, Sintesis Hibrida Amonium Kuaterner Silika dari Sekam Padi untuk Adsorpsi Ion Au(III) dalam Campuran Au/Cr, Tesis, Jurusan Kimia FMIPA

Teknik pemasangan LMA yang sering digunakan adalah teknik klasik, namun pemasangan dengan teknik ini adalah cara buta tanpa kita mengetahui apakah posisi LMA yang

Setiap Orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan