• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hella Jusra, 2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hella Jusra, 2013"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masalah merupakan suatu gambaran keadaan dengan hubungan dua atau lebih informasi yang diketahui dan informasi lainnya yang dibutuhkan yang dapat menimbulkan keraguan, ketidakpastian, sesuatu yang sulit dimengerti, atau pertanyaan yang sulit, sehingga pemecahan masalah hadir sebagai solusi untuk dapat menyelesaikan persoalan tersebut. Pemecahan masalah dapat dianggap sebagai suatu proses dalam menerapkan pengetahuan yang ada untuk situasi baru atau asing bagi individu tersebut untuk mendapatkan pengetahuan atau pengalaman baru. Situasi di dalam kelas pada umumnya di mana siswa disajikan dengan beberapa informasi baru dan selanjutnya diberikan contoh soal terkait dengan materi tersebut, kemudian siswa diminta untuk memecahkan masalah, untuk menunjukkan bahwa mereka telah memahami informasi yang diberikan. Masalah tersebut jauh lebih baik disebut sebagai latihan, karena guru telah memberi contohnya dan mereka tidak menggunakan pengetahuan atau pengalamannya sendiri sebelum diberikan oleh gurunya. Sebaiknya, biarkan siswa berpikir terlebih dahulu bagaimana memecahkan masalah tersebut, sehingga pasti banyak cara yang berbeda dari masing-masing siswa, kemudian guru mengoreksi dan memeriksa hasilnya yang selanjutnya guru serta siswa menyimpulkannya. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Yee dan Hoe (2009) bahwa pemecahan masalah merupakan proses yang kompleks yang memerlukan seorang individu untuk mengkoordinasikan pengalaman, pengetahuan, pemahaman dan intuisi sebelumnya, untuk memenuhi tuntutan situasi baru. Sederhananya, itu adalah salah satu perjalanan mental yang diperlukan untuk mencapai solusi dimulai dengan situasi yang diberikan.

Wahyudin (2003) mengatakan bahwa pemecahan masalah bukan sekedar keterampilan untuk diajarkan dan digunakan dalam matematika tetapi juga merupakan keterampilan yang akan dibawa pada masalah-masalah keseharian siswa atau situasi-situasi pembuatan keputusan, dengan demikian kemampuan

(2)

pemecahan masalah membantu seseorang secara baik dalam hidupnya. Selanjutnya, menurut Gagne (Joyce, et al., 2009), pemecahan masalah adalah aplikasi aturan-aturan pada masalah yang tidak pernah dihadapi sebelumnya oleh pembelajar. Langkah ini melibatkan aktivitas memilih aturan yang baik dan mengaplikasikannya dalam sebuah kombinasi yang cukup sempurna. Sehubungan dengan itu, sebaiknya dalam memecahkan masalah siswa juga ikut dilibatkan, tidak hanya menerima materi saja agar mereka lebih memahami persoalan yang diberikan.

Berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006, tujuan yang ingin dicapai melalui pembelajaran matematika (Diknas, 2006) adalah sebagai berikut:

1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah.

2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi

matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.

3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,

merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh.

4. Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.

5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematka, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.

Isi dari KTSP 2006 tersebut menyebutkan bahwa pemecahan masalah merupakan bagian penting dari pembelajaran matematika SMP. Oleh karena itu, kemampuan pemecahan masalah pada siswa dipandang perlu untuk dikembangkan. Kemampuan pemecahan masalah juga digunakan pada kurikulum dari negara-negara lain. Seperti di Amerika Serikat, pemecahan masalah telah menjadi fokus utama dalam penelitian pendidikan matematika dari pertengahan

(3)

tahun 1970an hingga akhir 1980an. Pembelajaran matematika di Jepang juga sebagian besar telah dipengaruhi oleh penekanan pemecahan masalah sebagai aplikasi praktis yang baik dari reformasi matematika. Begitupun dengan negara tetangga, yaitu Singapura sejak tahun 1990 pemecahan masalah matematis telah menjadi tujuan utama dari kurikulum sekolah matematika.

Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) tahun 2011 melaporkan bahwa rata skor prestasi matematika siswa Indonesia masih di bawah rata-rata skor Internasional, yaitu 500. Skor rata-rata-rata-rata Indonesia pada mata pelajaran matematika berdasarkan studi Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2006 adalah 391. Indonesia berada pada peringkat 50 dari 57 negara peserta PISA, sedangkan tahun 2009 skor rata-rata Indonesia pada mata pelajaran matematika mengalami penurunan, yaitu 371 peringkat 61 dari 65 negara peserta. (Balitbang, 2012).

Soal-soal yang diujikan pada PISA salah satunya mengukur kemampuan pemecahan masalah. Ini berarti salah satu penyebab menurunnya skor rata-rata siswa Indonesia pada mata pelajaran matematika adalah rendahnya kemampuan siswa dalam memecahkan masalah. Seseorang yang memiliki kemampuan pemecahan masalah yang baik tidak hanya dapat menyelesaikan permasalahan matematika tetapi juga dapat berguna untuk menyelesaikan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari. Samuelsson (2008) mengatakan bahwa pemecahan masalah tampaknya lebih efektif dalam mengembangkan minat siswa dan kenikmatan matematika daripada pekerjaan tradisional atau bekerja independen. Guru perlu menggunakan pekerjaan tradisional atau pemecahan masalah dalam mengembangkan aspek kemampuan kemandirian belajar. Berkenaan dengan itu, selain memiliki kemampuan pemecahan masalah diharapkan siswa dapat pula memiliki kemandirian dalam belajar. sehingga keterampilan siswa dalam memecahkan permasalahan sangat diperlukan agar dapat mengembangkan kemandirian dalam belajarnya.

Menurut Pintrich (1995), kemandirian belajaradalah cara belajar siswa aktif secara individu untuk mencapai tujuan akademik dengan cara pengontrolan perilaku, memotivasi diri sendiri, dan menggunakan kognitifnya dalam belajar.

(4)

Busnawir (2006) mengungkapkan bahwa siswa dengan tingkat kemandirian belajar tinggi berimplikasi kepada aktivitas belajarnya yang tinggi pula, sebaliknya siswa yang tingkat kemandirian belajarnya rendah akan berimplikasi pada aktivitas belajar yang rendah. Menurut Sumarmo (2004), kemandirian belajar merupakan proses perancangan dan pemantauan diri yang seksama terhadap proses kognitif dan afektif dalam menyelesaikan suatu tugas akademik.

Proses kemandirian belajar adalah belajar melalui pengalaman dan refleksi diri dengan cara mengerjakan tugas-tugas akademik. Ini bukan karakteristik yang dibentuk sejak lahir, sehingga hal tersebut harus dibangun. Siswa yang memiliki kemandirian belajar adalah yang mengajukan pertanyaan, mencatat, dan mengalokasikan waktu dan sumber daya mereka dengan cara yang membantu mereka untuk bertanggung jawab atas pembelajaran mereka sendiri (Paris & Paris, dalam Shuy, OVAE, dan TEAL Staff, 2010).

Pada kurikulum matematika Singapura, metakognisi merupakan salah satu indikator dari pemecahan masalah. Metakognisi mengacu pada kemampuan untuk memantau proses berpikir sendiri dalam pemecahan masalah (Yee dan Hoe, 2009). Selain itu, Zimmerman (Nodoushan, 2012) menyatakan bahwa kemandirian belajar pada siswa melalui tingkatan atau derajat yang secara metakognisi, motivasional, dan perilaku berpartisipasi aktif dalam proses belajar mereka sendiri. Selanjutnya, menurut Zimmerman (Efklides dan Misailidi, 2010) aspek penting dalam kemandirian belajar adalah metakognisi. Salah satu pendekatan yang dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan kemandirian belajar pada siswa, yaitu pendekatan metakognitif. Pendekatan metakognitif merupakan cara yang dilakukan guru untuk mencapai tujuan pembelajaran dengan menuntut siswa agar dapat mengontrol proses berpikirnya. Zakin (2007) menyatakan bahwa pendekatan metakognitif memiliki pandangan bahwa anak-anak semakin mengetahui dan mengerti tentang bagaimana mereka belajar, semakin mereka bisa dan akan terus belajar.

Menurut Moffett (Zakin, 2007), metakognisi dapat difasilitasi dengan menggunakan inner speech (bergumam), semacam self-talk yang memungkinkan siswa untuk mengarahkan dan memantau proses kognitif mereka, dan

(5)

memperoleh pemahaman yang lebih dalam dan apresiasi dari proses berpikir mereka sendiri. Lev Vygotsky telah menjadi teoritikus tunggal yang paling berpengaruh dalam hal penyelidikan inner speech. Banyak dari perspektif teorinya tentang inner speech telah divalidasi oleh penelitian terbaru. Misalnya, peran kognitif inner speech dalam hal pemecahan masalah (Ehrich, 2006). Vygotsky (Zakin, 2007) mengamati bahwa anak-anak menyelesaikan tugas-tugas praktis dengan bantuan inner speech mereka, serta mata dan tangan.

Penggunaan pendekatan metacognitive inner speech pada aspek

kemandirian belajar, siswa dapat menilai kemampuannya sendiri karena mereka dilatih untuk belajar bagaimana berpikir sehingga mengetahui apa yang diketahuinya dan mengetahui apa yang tidak diketahuinya. Selain itu metakognisi dapat membantu siswa mengembangkan kepercayaan diri mereka untuk mencoba mengerjakan tugas-tugas yang diberikan dan membantu siswa mengatasi kendala yang muncul selama proses pemecahan masalah.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pendekatan metacognitive inner speech dapat mendukung siswa untuk mengembangkan kemampuan pemecahan masalah matematis dan kemandirian belajar. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul, “Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis dan Kemandirian Belajar Siswa SMP melalui Pendekatan MetacognitiveInner Speech.”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Apakah kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang memperoleh

pembelajaran melalui pendekatan metacognitive inner speech lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional?

2. Apakah peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang

memperoleh pembelajaran melalui pendekatan metacognitive inner speech lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional?

(6)

3. Apakah kemandirian belajar siswa yang memperoleh pembelajaran melalui pendekatan metacognitive inner speech lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional?

4. Apakah kemandirian belajar siswa yang memperoleh pembelajaran melalui pendekatan metacognitive inner speech lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional?

5. Bagaimana suasana kelas dalam pembelajaran dengan pendekatan

metacognitiveinner speech?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah diuraikan, maka tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui:

1. Kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang memperoleh

pembelajaran melalui pendekatan metacognitive inner speech lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.

2. Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang

memperoleh pembelajaran melalui pendekatan metacognitive inner speech lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.

3. Kemandirian belajar siswa yang memperoleh pembelajaran melalui

pendekatan metacognitive inner speech lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.

4. Peningkatan kemandirian belajar siswa yang memperoleh pembelajaran

melalui pendekatan metacognitive inner speech lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.

5. Suasana kelas dalam pembelajaran dengan pendekatan metacognitive inner speech.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi siswa, guru, dan semua pihak pembaca, antara lain:

(7)

1. Untuk siswa

Dapat menumbuhkan motivasi, keaktifan dan minat belajar siswa terhadap pelajaran matematika serta menjadi pemecah masalah matematis dan self-regulated learner yang baik.

2. Untuk guru

Dapat dijadikan referensi mengenai pendekatan metacognitive inner speech untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis dan kemandirian belajar siswa.

3. Untuk peneliti

Mengetahui pencapaian dan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis dan kemandirian belajar siswa dengan pendekatan metacognitive inner speech.

E. Definisi Operasional

Untuk menghindari terjadinya kekeliruan dalam penafsiran istilah pada penelitian ini, peneliti menetapkan beberapa definisi operasional, yaitu:

1. Kemampuan pemecahan masalah matematis adalah kemampuan siswa untuk

menyelesaikan masalah yang diberikan dengan menggunakan pengalaman dan pengetahuan sebelumnya dalam menemukan jawaban. Proses siswa untuk menemukan jawaban, meliputi memahami masalah, menyusun rencana, menjalankan rencana, dan memeriksa kembali.

2. Kemandirian belajar merupakan tanggung jawab siswa pada dirinya sendiri dan berpartisipasi aktif sehingga dapat mengatur dirinya sendiri dalam belajar. Siswa yang memiliki kemandirian dalam belajarnya memiliki inisiatif belajar, mendiagnosa kebutuhan belajar, menetapkan tujuan belajar, memonitor, mengatur, dan mengontrol, memandang kesulitan sebagai tantangan, memanfaatkan dan mencari sumber belajar yang relevan, memilih dan menerapkan strategi belajar, mengevaluasi proses dan hasil belajar, serta konsep diri.

3. Pendekatan metacognitive inner speech membantu siswa mengendalikan

(8)

dapat fokus terhadap proses pembelajaran. Proses ini meliputi bagaimana merancang, memonitor dan mengevaluasi pengetahuan yang dimilikinya untuk dikembangkan menjadi tindakan dalam menyelesaikan suatu masalah

matematika. Penyajiannya terdiri dari tiga tahapan, yaitu guru

mendemonstrasikan dan memodelkan suatu bentuk inner speech, siswa

membentuk kelompok-kelompok kecil, dan guru meminta siswa

mengungkapkan komentar-komentar mereka, kemudian hasilnya didiskusikan dan dievaluasi.

Referensi

Dokumen terkait

underwear rules ini memiliki aturan sederhana dimana anak tidak boleh disentuh oleh orang lain pada bagian tubuhnya yang ditutupi pakaian dalam (underwear ) anak dan anak

Hasil penelitian menunjukkan terdapat 19 sasaran strategis yang ingin dicapai dengan prioritas sasaran adalah: meningkatkan penerimaan Fakultas (bobot 10%),

Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Kementerian Agama R.I, menyatakan bahwa lembaga di bawah ini telah melakukan updating data Pendidikan Islam (EMIS) Periode Semester GENAP

 Biaya produksi menjadi lebih efisien jika hanya ada satu produsen tunggal yang membuat produk itu dari pada banyak perusahaan.. Barrier

Emisi surat utang korporasi di pasar domestik selama Januari 2018 mencapai Rp7,67 triliun atau naik 2,84 kali dibandingkan dengan Januari 2018, berdasarkan data oleh

petugas perbenihan yang mengelola SIM perbenihan dan sarana produksi, sehingga informasi/data tidak dapat tersedia setiap saat serta e) Belum optimalnya software

[r]

Berangkat dari permasalahan produktifitas, beberapa alternatif seperti kegiatan pemuliaan pohon, perbaikan teknik silvikultur, perbaikan teknik penyadapan dan perbaikan