• Tidak ada hasil yang ditemukan

KUALITAS KOMPOS DARI CAMPURAN KOTORAN SAPI PERAH DAN JERAMI PADI DENGAN MENGGUNAKAN AKTIVATOR EM4 DAN MOL TAPAI SKRIPSI YOHANES TIGANA ATYANTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KUALITAS KOMPOS DARI CAMPURAN KOTORAN SAPI PERAH DAN JERAMI PADI DENGAN MENGGUNAKAN AKTIVATOR EM4 DAN MOL TAPAI SKRIPSI YOHANES TIGANA ATYANTA"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

KUALITAS KOMPOS DARI CAMPURAN KOTORAN SAPI

PERAH DAN JERAMI PADI DENGAN MENGGUNAKAN

AKTIVATOR EM4 DAN MOL TAPAI

SKRIPSI

YOHANES TIGANA ATYANTA

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PETERNAKAN BOGOR 2010

(2)

RINGKASAN

Yohanes Tigana Atyanta. D14060927. 2010. Kualitas Kompos dari Campuran Kotoran Sapi Perah dan Jerami Padi dengan Menggunakan Aktivator EM4 dan MOL Tapai. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Ir. Salundik, M.Si.

Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Asep Sudarman, M.Rur.Sc.

Meningkatnya harga pupuk dan buruknya dampak pupuk sintetis terhadap tanaman menyebabkan perlunya dicari sumber pupuk alternatif. Pengomposan dari limbah kotoran sapi perah dan jerami merupakan salah satu jalan keluar dari masalah diatas. Aktivator dibutuhkan untuk mempercepat proses pengomposan. EM4 adalah aktivator komersil sedangkan MOL (mikroorganisme lokal) tapai berasal dari pengenceran tapai yang lebih murah dan saat ini sering dimanfaatkan warga, walaupun belum ada penelitian mengenai keefektivan MOL. Penelitian ini digunakan untuk mengetahui kualitas pupuk kompos yang dibuat dari kotoran sapi perah dan jerami padi pada konsentrasi yang berbeda dengan menggunakan aktivator EM4 dan MOL tapai.

Penelitian ini dibagi menjadi dua tahap. Tahap awal yaitu pembuatan pupuk dan tahap kedua yaitu penanaman kangkung. Perlakuan yang digunakan dalam pembuatan pupuk adalah jenis aktivator yang digunakan yaitu EM4 dan MOL Tapai juga perbandingan jerami dan kotoran yaitu J40K60dan J60K40. Pembuatan pupuk dilakukan dengan metode anaerobik selama satu bulan. Perlakuan yang digunakan pada pengujian tanam yaitu jenis pupuk yang digunakan (EJ40K60, MJ40K60, EJ60K40, MJ60K40) dan dosis pupuk yang digunakan (0, 80, 160, 240). Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap pola faktorial 2X2 pada pembuatan pupuk dan 4X4 pada penanaman kangkung.

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa jenis aktivator dan nisbah jerami pupuk tidak mempengaruhi kandungan pH, C organik, N total, P total, K total, dan nisbah C/N pupuk yang dihasilkan. Uji tanam menunjukkan bahwa pupuk MJ40K60 baik pada variabel tinggi tanaman, semua tanaman yang diberi pupuk lebih baik dibanding tanaman yang tidak diberi pupuk. Pupuk EJ40K60 baik pada jumlah daun. Tanaman memiliki kandungan air yang banyak sehingga tidak ada perbedaan antara Berat kering akar dan Berat kering tajuk.

Kesimpulan yang diambil dari penelitian ini yaitu aktivator EM4 dan Ragi Tapai sama-sama menghasilkan pupuk yang baik. Penggunaan dosis 240 g menghasilkan hasil produksi yang paling baik. Nisbah kotoran ternak:jerami 60:40 memberikan hasil terbaik. Berdasarkan hasil uji tanam, pupuk MK60J40 memberikan hasil yang terbaik, namun jenis pupuk lainnya sudah memberikan peningkatan pertumbuhan bila dibandingkan dengan tanaman yang tidak diberi pupuk.

(3)

ABSTRACT

Quality of compost made from dairy cow manure and paddy hay with addition activator EM4 and MOL Tapai

Y.T. Atyanta, Salundik, A. Sudarman

High fertilizer price and negative effect of inorganic fertilizer on soil result in increasing of organic fertilizer need. In order to shorten composting time, activator is needed. This research consisted of two steps. First step was to compare two types of activator MOL and EM4 with addition the ratio of paddy straw and dairy cow manure to produce different fertilizer. Step two was plantation test. Dosage and fertilizer type were the main treatment in this step. The data were analyzed with analysis of variance (ANOVA) using completely randomized factorial design. Results showed that type of activator and paddy straw dairy cow manure ratio didn’t affect compost C, N, P, K, pH, and C/N ratio. Fertilizer EJ40K60 and MJ40K60 had higer productivity than fertilizer EJ60K40 and MJ60K40. It is concluded that both EM4 and MOL Tapai produce good fertilizer, dosage of 240 g showed the highest productivity, and all fertilizer increase productivity.

(4)

KUALITAS KOMPOS DARI CAMPURAN KOTORAN SAPI

PERAH DAN JERAMI PADI DENGAN MENGGUNAKAN

AKTIVATOR EM4 DAN MOL TAPAI

SKRIPSI

YOHANES TIGANA ATYANTA

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk Memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PETERNAKAN BOGOR 2010

(5)

Judul Kualitas Kompos dari Campuran Kotoran Sapi Perah dan Jerami Padi dengan Menggunakan Aktivator EM4 dan MOL Tapai Nama : Yohanes Tigana Atyanta

NIM : D14060927

Menyetujui,

Pembimbing Utama Pembimbing Anggota

(Ir. Salundik, M.Si.) (Dr. Ir. Asep Sudarman, M.Rur.Sc.) NIP: 19640406 198903 1 003 NIP: 19640424 198903 1 001

Mengetahui, Ketua Departemen,

Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc.) NIP: 19591212 198603 1 004

Tanggal Ujian : Tanggal Lulus : :

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 19 Agustus 1988, Jakarta. Penulis adalah anak dari pasangan Bapak Ir. Antonius Soetarlan (Alm.) dan Ibu Dra. Elizabeth Maria Gouretty Soelistiyowati. Penulis merupakan adik dari Maria Magdalena Irmawati Praharsi dan Leonardus Dwi Satya.

Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar (SD) tahun 2000 di SDK Mater Dei Pamulang, pendidikan lanjutan menengah pertama (SMP) diselesaikan pada tahun 2003 di SMPK Mater Dei Pamulang dan pendidikan lanjutan menengah atas (SMA) diselesaikan tahun 2006 di SMAK Mater Dei Pamulang. Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor pada tahun 2006 melalui jalur SPMB (Saringan Penerimaan Mahasiswa Baru) dan diterima sebagai mahasiswa Jurusan Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor tahun 2007.

Selama mengikuti pendidikan, penulis aktif di berbagai organisasi meliputi ketua Paskah Mahasiswa Katolik Keuskupan Bogor (2006), RT Keluarga Mahasiswa Katolik IPB angkatan 43 (2006-2008), Koordinator Biro Dosen dan Alumni Keluarga Mahasiswa Katolik (2008-2010), Suit Actor Animax Action Club (2009-sekarang). Penulis juga aktif mengikuti pelatihan dan seminar diantaranya Pelatihan Pengolahan Hasil Peternakan pada tahun 2007, Stadium General MK Pengelolaan Kesehatan Ternak Tropis pada tahun 2008, Seminar Budidaya dan Prospek Usaha Lebah Madu pada tahun 2008, serta Studium General “Peningkatan Softskill di Bidang Peternakan” pada tahun 2010. Penulis pernah mengikuti kegiatan magang di Koperasi Peternakan Babi Indonesia, Bandung pada tahun 2008.

(7)

KATA PENGANTAR

Pengolahan limbah merupakan salah satu bagian penting dalam usaha peternakan. Pengolahan limbah dapat mengontrol bau yang timbul dari lingkungan peternakan, meningkatkan kesehatan ternak, meningkatkan produksi ternak dan memberikan penghasilan tambahan bagi peternak. Sapi perah adalah salah satu ternak yang menghasilkan jumlah limbah dalam jumlah banyak, tanpa pengolahan limbah yang baik limbah tersebut akan mengancam tidak hanya kesehatan ternak namun kesehatan lingkungan di sekitar peternakan.

Belakangan ini, beredar artikel mengenai mikroorganisme lokal (MOL) di berbagai forum-forum agribisnis di internet, bahkan terbit sebuah buku mengenai MOL. Tidak ada landasan teori yang jelas dan belum ada penelitian mengenai keefektifan dari penggunaan MOL, namun banyak masyarakat yang sudah menggunakan MOL untuk mengolah kompos mereka.

Skripsi dengan judul Kualitas Kompos dari Campuran Kotoran Sapi Perah dan Jerami Padi dengan Menggunakan Aktivator EM4 dan MOL Tapai disusun untuk mengetahui keefektifan MOL dibandingkan aktivator komersil EM4 dalam menghasilkan kompos dan mengetahui dampak penggunaan kompos yang dibuat dari aktivator tersebut bila digunakan pada tanaman.

Semoga hasil yang tertuang dalam tulisan ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan semua pihak yang membutuhkan.

Bogor, November 2010

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN ... i

ABSTRACT ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

RIWAYAT HIDUP ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix DAFTAR GAMBAR ... x DAFTAR LAMPIRAN ... xi PENDAHULUAN ... 1 Latar Belakang ... 1 Tujuan... ... 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 3

Kotoran Sapi Perah ... 3

Jerami Padi... ... 3

EM4 (Effective microorganisms 4) ... 4

MOL Tapai ... 5

Kompos ... 6

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses Pengomposan ... 7

Ukuran Bahan ... ... 7

Nisbah Karbon-Nitrogen (C/N) ... 7

Kelembaban ... 7

Temperatur Pengomposan ... 7

Derajat Keasaman (pH) ... 8

Mikroorganisme yang Terlibat Pengomposan ... 8

Aktivator ... 9

Kangkung (Ipomea reptans) ... 9

MATERI DAN METODE ... 11

Lokasi dan Waktu Penelitian ... 11

Materi ... 11

Prosedur ... 11

Pembuatan Kompos ... 11

Pengujian Kualitas ... 13

(9)

Rancangan Penelitian ... 16

Analisis Kualitatif Uji Kimia Kompos ... 16

Analisis Kualitatif Uji tanam ... 16

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 18

Keadaan Umum ... 18

Kualitas Pupuk Organik ... 20

Derajat Keasaman (pH) Kompos ... 20

Kandungan Karbon (C) Organik ... 20

Kandungan Nitrogen (N) Total ... 21

Nisbah C/N ... 22

Kandungan fosfor (P) Total ... 23

Kandungan Kalium (K) Total ... 23

Kajian Uji Tanam ... 24

Tinggi Tanaman ... 24

Jumlah Daun ... 28

Berat Segar Tajuk ... 31

Berat Kering Tajuk ... 32

Berat Kering Akar ... 33

KESIMPULAN DAN SARAN ... 34

Kesimpulan ... 34

Saran ... 34

UCAPAN TERIMA KASIH ... 35

DAFTAR PUSTAKA ... 36

LAMPIRAN ... 40

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Rataan Nilai pH Kompos ... 20

2. Rataan Nilai Kandungan C Organik Kompos (%) ... 21

3. Rataan Nilai Kandungan N Total Kompos (%) ... 22

4. Rataan Nisbah C/N Kompos (%) ... 22

5. Rataan Nilai Kandungan P Total Kompos (%) ... 23

6. Rataan Nilai Kandungan K Total Kompos (%) ... 24

7. Tinggi Tanaman 7 HST ... 25 8. Tinggi Tanaman 14 HST ... 26 9. Tinggi Tanaman 21 HST ... 26 10.Tinggi Tanaman 28 HST ... 27 11.Jumlah Daun 7 HST ... 29 12.Jumlah Daun 14 HST ... 29 13.Jumlah Daun 21 HST ... 30 14.Jumlah Daun 28 HST ... 30

15.Berat Basah Tajuk (g) ... ` 32

16.Berat Kering Tajuk (g) ... 32

17.Berat Kering Akar (g) ... 33

(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Bagan Alir Pembuatan Ragi Tapai ... 5

2. Bagan Alir Proses Penelitian ... 12

3. MOL Tapai ... 18

4. Kompos Jadi Sebelum di Giling ... 18

5. Rumah Kaca ... 19

6. Keadaan di Dalam Rumah Kaca ... 19

7. Jamur yang Tumbuh saat Uji Tanam ... 19

8. Grafik Tinggi Tanaman ... 28

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Analisis Ragam Hasil Regresi Kandungan C Organik Kompos ... 40

2. Analisis Ragam Hasil Regresi Kandungan N Organik Kompos ... 40

3. Analisis Ragam Hasil Regresi Kandungan P Organik Kompos ... 40

4. Analisis Ragam Hasil Regresi Kandungan K Organik Kompos ... 40

5. Analisis Ragam Hasil Regresi Nilai pH Organik Kompos ... 40

6. Analisis Ragam Hasil Regresi Nisbah C/N Kompos ... 41

7. Analisis Ragam Hasil Regresi Tinggi Tanaman 7 HST ... 41

8. Uji Lanjut Turkey Interaksi antara Jenis dan Dosis Pupuk Terhadap Tinggi Tanaman 7 HST ... 41

9. Uji Lanjut Tukey Jenis Pupuk Terhadap Tinggi Tanaman 7 HST ... 42

10.Uji Lanjut Tukey Dosis Pupuk Terhadap Tinggi Tanaman 7 HST ... 42

11.Analisis Ragam Hasil Regresi Tinggi Tanaman 14 HST ... 42

12.Uji Lanjut Tukey interaksi antara Jenis Pupuk dan Dosis Terhadap Tinggi Tanaman 14 HST ... 42

13.Uji Lanjut Tukey Jenis Pupuk Terhadap Tinggi Tanaman 14 HST .... 43

14.Uji Lanjut Tukey Dosis Pupuk Terhadap Tinggi Tanaman 14 HST ... 43

15.Analisis Ragam Hasil Regresi Tinggi Tanaman 21 HST ... 43

16.Uji Lanjut Tukey interaksi antara Jenis Pupuk dan Dosis Terhadap Tinggi Tanaman 21 HST ... 43

17.Uji Lanjut Tukey Jenis Pupuk Terhadap Tinggi Tanaman 21 HST .... 44

18.Analisis Ragam Hasil Regresi Tinggi Tanaman 28 HST ... 44

19.Uji Lanjut Tukey interaksi antara Jenis Pupuk dan Dosis Terhadap Tinggi Tanaman 28 HST ... 44

20.Uji Lanjut Tukey Jenis Pupuk Terhadap Tinggi Tanaman 28 HST .... 44

21.Uji Lanjut Tukey Dosis Pupuk Terhadap Tinggi Tanaman 28 HST ... 45

22.Analisis Ragam Hasil Regresi Jumlah Daun 7 HST ... 45

23.Analisis Ragam Hasil Regresi Jumlah Daun 14 HST ... 45

(13)

25.Analisis Ragam Hasil Regresi Jumlah Daun 21 HST ... 45

26.Uji Lanjut Tukey interaksi antara Jenis Pupuk dan Dosis Terhadap Tinggi Tanaman 28 HST ... 46

27.Uji Lanjut Tukey Jenis Pupuk Terhadap Jumlah Daun 21 HST ... 46

28.Uji Lanjut Tukey Dosis Pupuk Terhadap Jumlah Daun 21 HST ... 46

29.Analisis Ragam Hasil Regresi Jumlah Daun 28 HST ... 46

30.Uji Lanjut Tukey Dosis Pupuk Terhadap Jumlah Daun 28 HST ... 47

31.Analisis Ragam Hasil Regresi Berat Kering Tajuk ... 47

32.Analisis Ragam Hasil Regresi Berat Kering Akar ... 47

33.Analisis Ragam Hasil Berat Basah Tajuk ... 47

34.Panjang akar ... 47

35.Pedoman Pengharkatan Hara Kompos ... 48

(14)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Akhir-akhir ini harga pupuk serta polusi lingkungan yang diakibatkan oleh kotoran ternak semakin tinggi dan meresahkan masyarakat, terutama sekali masyarakat yang tinggal di pedesaan. Untuk mengatasi hal-hal yang demikian perlu dicari sumber-sumber alternatif seperti pembuatan pupuk organik agar produksi pertanian tetap dapat dipertahankan dan hasil samping ternak berupa kotoran hewan dan limbah pertanian dapat didayagunakan sebagai bahan baku pupuk organik.

Pemanfaatan limbah peternakan (kotoran ternak sapi perah) sebagai pupuk organik merupakan salah satu alternatif yang sangat tepat untuk mengatasi naiknya harga pupuk serta untuk meningkatkan penghasilan masyarakat pedesaan. Namun sampai saat ini pemanfaatan kotoran ternak sebagai pupuk belum dilakukan oleh petani secara optimal. Alasannya peternak kurang mengenal teknologi pengolahan limbah ternak. Perlu dicari metode yang sederhana dalam memanfaatkan bahan-bahan yang mudah ditemukan supaya peternak lebih mau mengolah limbahnya.

Pupuk organik adalah pupuk yang berasal dari sisa-sisa tanaman, kotoran hewan atau manusia seperti pupuk kandang, pupuk hijau, dan kompos baik yang berbentuk cair maupun padat. Manfaat utama pupuk organik adalah dapat memperbaiki sifat kimia, fisik dan biologis tanah, selain sebagai sumber hara bagi tanaman.

Sebagai negara yang punya kelimpahan sinar matahari, air, dan tanah, Indonesia memiliki modal dasar yang besar untuk pengembangan pertanian organik. Disamping bermanfaat secara langsung terhadap pertanian, sistem pertanian organik akan berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan pangan karena ditunjang produksi pertanian yang baik dan peningkatan pendapatan para peternak dari hasil pemanfaatan limbah kotoran ternak (nilai tambah). Pupuk kandang merupakan bahan baku utama penghasil pupuk organik sebagai campuran limbah.

Nisbah C/N jerami padi yang cukup tinggi yaitu 70 (Gaur, 1986). Jerami padi sangat cocok untuk dicampur dengan kotoran sapi perah yang nisbah C/N-nya cukup rendah, yaitu 18 dan dijadikan kompos. Untuk mempercepat proses pengomposan, biasanya ditambahkan aktivator.

(15)

2 Aktivator merupakan bahan yang mampu meningkatkan dekomposisi bahan organik (Gaur, 1983). MOL (mikroorganisme lokal) sering dipakai sebagai bioaktivator yang dapat dibuat sendiri dan saat ini sedang banyak dibicarakan di kalangan petani maupun peternak. MOL tapai mengandung mikroorganisme seperti ragi tapai, yaitu Pediococuss, Bacillus, Amylomyces, Mucor, Rhizopus sp., Endomycopsis fibuliger, Sacharomyces cereviceae, dan Hanseula sp. (Saono et al., 1982). Kemudahan mendapat dan membuatnya dapat meningkatkan keinginan petani dan peternak untuk mengolah limbah pertanian dan peternakannya.

Tujuan Penelitian

Mengetahui kualitas pupuk kompos yang dibuat dari kotoran sapi perah dan jerami padi pada nisbah yang berbeda dengan menggunakan aktivator EM4 dan MOL tapai.

(16)

3 TINJAUAN PUSTAKA

Kotoran Sapi Perah

Kotoran ternak adalah hasil buangan metabolisme yang akan menyebabkan pencemaran apabila tidak dikelola secara benar. Limbah yang paling banyak dihasilkan oleh peternakan sapi perah adalah feses (Siagian dan Simamora, 1994). Kotoran sapi memiliki 3 (tiga) kelompok mikroorganisme utama, yaitu bakteri, fungi dan aktinomisetes. Kotoran ternak jika tidak dimanfaatkan kembali tentu dapat menimbulkan banyak gangguan antara lain menimbulkan bau, lalat, dan dapat mengurangi nilai estetika lingkungan seperti pencemaran sungai atau danau (Stafford

et al., 1980).

Menurut Merkel (1981), satu Animal Unit sapi perah rata-rata memproduksi 50 kg kotoran setiap hari dengan total padatan 75%-89% dan pH kotoran 6,6-6,8. Komposisi kotoran sapi perah berdasarkan bahan keringnya mengandung N 1,65%, P 0,50% dan K 2,30% serta protein kasar 10,30. Pencampuran kotoran sapi dengan bahan tambahan dilakukan untuk memperbaiki porositas karena tekstur yang relatif padat (Gaddie dan Douglas, 1977).

Nisbah C/N bahan organik merupakan faktor penting dalam proses pengomposan (Cindrawati, 2006). Menurut Peter dan Brian (2001), kotoran sapi memiliki nilai nisbah C/N sebesar 18. Nisbah C/N kotoran sapi yang rendah memungkinkan adanya pencampuran dengan bahan yang memiliki nilai nisbah C/N yang tinggi seperti serasah daun sehingga nilai nisbah C/N memenuhi kebutuhan optimal pada proses dekomposisi.

Menurut Erwiyono (1994), penambahan kotoran sapi akan memacu terjadinya proses dekomposisi karena bertambahnya mikroorganisme pada bahan pembuat kompos. Selain itu, kotoran sapi juga mengandung bahan organik yang kaya akan unsur hara.

Jerami Padi

Menurut Ponnamperuma (1984), jerami padi adalah semua bahan hijauan padi di luar biji yang dihasilkan tanaman padi. Batang padi sebagian besar terdiri dari sel-sel berdinding tebal dengan isi sel yang lebih sedikit dari tanaman lain. Setiap sel tumbuhan terdiri dari isi sel dan diding sel. Isi sel mengandung zat-zat makanan

(17)

4 organik seperti lamak, protein, dan karbohidrat, sedangkan dinding sel lebih banyak mengandung serat kasar. Doyle menjelaskan komponen serat kasar dalam dinding sel jerami yaitu 30 sampai 51% selulosa, 6 sampai 28% hemiselulosa, dan lignin 4 sampai 10% bahan kering. Jerami berfungsi sebagai sumber karbon dalam zat arang atau karbon (C) yang terdapat di seluruh bahan organik.

Gaur (1983) menyatakan jerami memiliki 40% karbon, 0,5% nitrogen (N), dan kadar air sekitar 25%. Karbon yang tinggi menjadikan bahan ini cocok untuk makanan mikroorganisme selama pengomposan. Mikroorganisme akan membakar karbon dan oksigen menjadi panas dan karbondioksida yang kemudian dilepas menjadi gas. Unsur N yang terurai kemudian ditangkap oleh jasad renik pada waktu jasad renik itu mati, unsur N tersebut akan tinggal di kompos (bersama jasad renik mati) dan menjadi sumber nutrisi bagi makanan (CPIS, 1992).

EM4 (Effective Microorganisms4)

Sekitar tahun 1980, Prof Dr. Teruo Higa dari Jepang mengembangkan teknologi Mikroorganisme Efektif (ME) sebagai alternatif dalam mewujudkan konsep pertanian alami. Mikroorganisme efektif adalah suatu larutan yang terdiri dari kultur pertanian alami dan merupakan kultur campuran berbagai mikroba yang bermanfaat bagi tanaman dan berfungsi sebagai bio-inokulan. Setiap spesies mikroba mempunyai fungsi dan peranan masing-masing yang bersifat saling menunjang dan bekerja secara sinergis. Larutan ME di pasaran umum diperdagangkan dengan merek EM4 (Higa dan Wididana, 1994).

Higa dan Wididana (1994) menyatakan, bahwa effective microorganisms4

(EM4) mengandung lima jenis mikroorganisme utama yaitu Lactobacillus sp. (bakteri asam laktat) dalam jumlah besar, bakteri fotosintesis, ragi, Actinomycetes

dan jamur fermentasi, yang bekerja secara sinergis untuk menyuburkan tanah dan meningkatkan pertumbuhan tanaman. Bakteri fotosintetik berperan untuk mengikat N dari udara bebas, memakan gas-gas beracun dan panas dari hasil proses pembusukan sehingga populasi bakteri pembusuk di dalam tanah menjadi berkurang. Ragi dan jamur berfungsi untuk memfermentasi bahan organik menjadi senyawa-senyawa asam laktat yang dapat diserap oleh tanaman. Actinomycetes yang secara morfologi berada antara jamur dan bakteri mampu memfiksasi N udara dan antibiotik

(18)

5 yang bersifat toksik terhadap pathogen atau penyakit, serta dapat melarutkan ion-ion fosfat dan ion mikro lainnya.

MOL Tapai

Tapai adalah adalah salah satu makanan tradisional Indonesia yang dihasilkan dari proses peragian (fermentasi) bahan pangan berkarbohidrat, seperti singkong dan ketan. Starter untuk membuat tapai bernama ragi tapai. Mikroba yang terdapat di dalam ragi tapai adalah kapang, khamir dan bakteri. Bakteri yang sering ditemukan di dalam ragi tapai berasal dari genus Pediococcus dan Basillus. Kapang yang berperan adalah Amylomyces, Mucor dan Rhizopus sp. Khamir yang berperan adalah

Endomycopsis fibuliger, Saccharomyces cerevisiae dan Hansenula sp. (Saono et al., 1982). Proses pembuatan ragi tapai dapat dilihat pada Gambar 1.

(19)

6 MOL tapai dibuat dengan mencampurkan tapai singkong dengan air dan gula. Campuran tersebut disimpan di dalam botol dan didiamkan sampai 5 hari. Setelah lima hari, MOL sudah dapat digunakan. 2,5 liter mol dapat digunakan untuk membuat 1 ton kompos (Setiawan dan Tim ETOSA, 2010).

Kompos

Menurut Dalzell et al. (1987), bahan utama kompos dapat berupa sampah rumah tangga, daun-daunan, jerami, alang-alang, rumput-rumputan, sekam, batang jagung, kotoran hewan, dan bahan lainnya terutama yang mudah busuk. Kandungan unsur hara dalam pupuk organik tidak terlalu tinggi, tapi jenis pupuk ini memiliki keistimewaan lain yaitu dapat memperbaiki sifat tanah, struktur tanah, daya menahan air dan kation-kation tanah (Hardjowigeno, 1995).

Kompos telah dipergunakan secara luas selama ratusan tahun dalam menangani limbah pertanian, sekaligus sebagai pupuk alami tanaman. Pengaruh penggunaan kompos terhadap sifat kimiawi tanah terutama adalah kandungan humus dalam kompos yang mengandung unsur-unsur makro bagi tanah seperti N,P, dan K serta unsur-unsur mikro seperti Ca, Mg, Mn, Cu, Fe, Na, dan Zn. Humus yang menjadi asam humat atau asam-asam lainnya dapat melarutkan Fe dan Al sehingga fosfat tersedia dalam keadaan bebas. Selain itu humus merupakan penyangga kation yang dapat mempertahankan unsur-unsur hara sebagai bahan makanan untuk tanaman. Kompos juga berfungsi sebagai pemasok makanan untuk mikroorganisme seperti bakteri, kapang, Actinomycetes dan protozoa, sehingga dapat meningkatkan dan mempercepat proses dekomposisi bahan organik (Syarief, 1986).

Pengomposan, menurut Yang (1997), merupakan suatu proses biooksidasi yang menghasilkan produk organik yang stabil, yang dapat dikontribusikan secara langsung ke tanah dan digunakan sebagai pupuk. Produk dari pengomposan berupa kompos (Harada et al., 1993), apabila diberikan ke tanah akan mempengaruhi sifat fisik, kimia maupun biologis tanah. Secara umum pengomposan aerobik menghasikan unsur C dalam bentuk CO2 dan pengomposan anaerobik menghasilkan

(20)

7 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses Pengomposan

Ukuran Bahan

Proses pengomposan dapat dipercepat jika bahan mentah kompos dicincang menjadi bahan yang lebih kecil. Bahan yang kecil akan cepat didekomposisi karena peningkatan luas permukaan untuk aktivitas organisme perombak (Gaur, 1983). Nisbah Karbon-Nitrogen (C/N)

Nisbah C/N bahan organik merupakan faktor yang paling penting dalam pengomposan. Hal tersebut disebabkan mikroorganisme membutuhkan karbon untuk menyediakan energi (Gunawan dan Surdiyanto, 2001) dan N yang berperan dalam memelihara dan membangun sel tubuhnya (Triadmojo, 2001). Kisaran nisbah C/N yang ideal adalah 20-40, dan nisbah yang terbaik adalah 30 (Center for policy and Implementation Study, 1992). Nisbah C/N yang tinggi akan mengakibatkan proses berjalan lambat karena kandungan N yang rendah, sebaliknya jika nisbah C/N terlalu rendah akan menyebabkan terbentuk amoniak, sehingga N akan hilang ke udara (Gunawan dan Surdiyanto, 2001).

Kelembaban

Dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme sangat tergantung pada kelembaban. Umumnya mikroorganisme dapat bekerja dengan kelembaban sekitar 40%-60%. Kondisi tersebut perlu dijaga agar mikroorganisme dapat bekerja secara optimal. Kelembaban yang lebih tinggi atau rendah dapat menyebabkan mikroorganisme tidak berkembang atau tidak mati (Indriani, 1999).

Temperatur Pengomposan

Pengomposan akan berjalan optimal pada suhu yang sesuai dengan suhu optimum pertumbuhan mikroorganisme perombak. Menurut Murbandono (1993), suhu optimum pengomposan berkisar antara 35-55 oC, akan tetapi setiap kelompok mikroorganisme mempunyai suhu optimum yang berbeda sehingga suhu optimum pengomposan merupakan integrasi dari berbagai jenis mikroorganisme.

Pada pengomposan secara aerobik, akan terjadi kenaikan suhu yang cepat selama 3-5 hari pertama. Menurut Center for Policy and Implementation Study

(1992), suhu tinggi berfungsi untuk membunuh bibit penyakit (patogen), menetralisir bibit hama (seperti lalat) dan mematikan bibit rumput yang resisten.

(21)

8 Menurut Tiquia et al. (1996), 10 hari pertama pengomposan temperatur naik hingga mencapai temperatur maksimal 64-69 oC selama hampir 4 jam. Fase termofilik dicapai pada temperatur 50 oC, 44 oC dan 38 oC selama 21 hari. Kemudian temperatur turun hingga mendekati angka 30 oC.

Derajat Keasaman (pH)

Identifikasi proses degradasi bahan organik pada proses pengomposan dapat dilakukan dengan mengamati terjadinya perubahan pH kompos. Menurut Center for Policy and Implementation Study (1992), derajat keasaman (pH) yang dituju adalah 6-8,5 yaitu kisaran pH yang pada umumnya ideal bagi tanaman. Hasil dekomposisi bahan organik ini menghasilkan kompos yang bersifat netral sebagai akibat dari sifat-sifat basa bahan organik yang difermentasikan. Pada pengomposan pupuk organik padat nilai pH pada hari ketiga berkisar dari 7,66-8,84 dan hari keenam berkisar dari 8,66-9,08 (Nengsih, 2002).

Mikroorganisme yang Terlibat dalam Pengomposan

Pengomposan akan berjalan lama jika mikroorganisme perombak pada permulaannya sedikit. Mikroorganisme sering ditambahkan ke bahan yang akan dikomposkan yang bertujuan untuk mempercepat proses pengomposan (Indriani, 1999).

Populasi mikroorganisme selama berlangsungnya proses pengomposan akan berfluktuasi. Berdasarkan kondisi habitatnya (terutama suhu), mikroorganisme yang terlibat dalam pengomposan tersebut terdiri dari dua golongan yaitu mesofilik dan termofilik. Mikroorganisme mesofilik adalah mikroorganisme yang hidup pada suhu antara 45-65 oC. Pada waktu suhu tumpukan kompos kurang dari 45 oC, maka proses pengomposan dibantu oleh mesofilik di atas suhu tersebut (45-65 oC) mikroorganisme yang berperan adalah termofilik (Gaur, 1983 dan Center for Policy and Implementation Study, 1992).

Menurut Center for Policy and Implementation Study (1992), mikroorganisme mesofilik pada hakekatnya berfungsi memperkecil ukuran partikel zat organik sehingga luas permukaan partikel bertambah. Menurut Gaur (1983), bakteri termofilik yang tumbuh dalam waktu yang terbatas berfungsi untuk mengkonsumsi karbohidrat dan protein, sehingga bahan-bahan kompos dapat terdegradasi dengan cepat.

(22)

9 Aktivator

Aktivator merupakan bahan yang mampu meningkatkan dekomposisi bahan organik (Gaur, 1983). Aktivator mempengaruhi proses pengomposan melalui dua cara, cara pertama yaitu dengan menginokulasi strain mikroorganisme yang efektif dalam menghancurkan bahan organik (pada aktivator organik), kedua yaitu meningkatkan kadar N yang merupkan makanan tambahan bagi mikroorganisme tersebut.

Aktivitas mikroorganisme meningkat jika jumlah N mencukupi sehingga proses dekomposisi bahan organik berlangsung lebih cepat dan efektif. N dalam senyawa NH3 jumlahnya semakin rendah karena digunakan oleh mikroorganisme perombak untuk sintesa protein dalam mempercepat aktivitasnya, hal ini menunjukkan proses dekomposisi berlangsung normal.

Kecepatan dekomposisi bahan organik ditunjukkan oleh perubahan nisbah C/N kompos. Selama mineralisasi, nisbah C/N bahan-bahan yang mengandung sedikit N akan berkurang menurut waktu (Alexander, 1977). Pada suatu saat kecepatan kehilangan C dan N berbanding lurus sehingga diperoleh nisbah C/N yang tetap ini menunjukkan bahwa proses dekomposisi sudah mencapai tingkat akhir (Alexander, 1977).

Kangkung (Ipomea reptans)

Kangkung (Ipomea reptans) termasuk dalam kingdom plantae, divisi

spermatophyta, kelas dicotiledoneae dan famili convolvulaceae (Ware dan McCollum, 1980). Kangkung memiliki dua varietas yaitu kangkung air dan kangkung darat. Kangkung air memiliki warna bunga putih kemerah-merahan, ukuran batang dan daun lebih besar daripada kangkung darat, berbatang hijau dan berbiji sedikit. Buah kangkung memliki diameter 7-9 mm, halus, berwarna kecoklatan dan berisi 2-4 biji (Westphal, 1994). Kangkung darat memiliki karakteristik warna bunga putih hingga merah muda, daun agak kecil, warna batang putih kehijauan hingga keunguan (Palada dan Chang, 2003).

Kangkung mudah beradaptasi bahkan pada daerah perairan kecil, danau, aliran air, kolam, ataupun ladang. Sifat toleransi kangkung terhadap habitat mengakibatkan kangkung harus ditanam pada daerah yang tidak tercemar karena

(23)

10 kangung dapat menyerap zat-zat beracun melalui akarnya dan meresap kedalam tubuhnya (Nazarudin, 1999).

Jenis kangkung yang umum ada dua, yakni kangkung air dan kangkung darat. Jenis yang pertama memerukan kondisi basah dan berair. Kangkung air mempunyai tangkai daun yang panjang, daun hijau tua dan lebar serta berbunga ungu. Jenis yang kedua adalah kangkung darat yang mempunyai daun yang lebih langsing dengan ujung daun meruncing. Daunnya berwarna hijau pucat keputihan dan bunganya berwarna putih (Sunarjono, 2003).

Kangkung darat varietas sutra sangat baik dikembangbiakkan karena rasanya cukup enak dan tak berlendir. Varietas ini dapat dipanen pada umur 35-40 hari dengan produksi 12-44 ton per hektar dan kemampuan menghasilkan biji 6 ton per hektar. Setiap hektar memerlukan 10 kg benih kangkung darat. Dosis pupuk kandang adalah 10 ton per hektar. Selain itu dapat diberikan urea sebanyak 200 kg, TSP 200 kg dan KCL per hektar (Nazarudin, 1999).

Kangkung termasuk tipe sayuran dataran rendah yang pertumbuhannya kurang optimal bila ditanam di dataran rendah lebih tinggi dari 700 m dpl (Westphal, 1994). Kangkung sangat kuat menghadapi panas terik dan kemarau yang panjang dengan kelembaban 60%. Kangkung darat tumbuh optimal pada tanah yang banyak mengandung bahan organik, tinggi kandungan air dengan pH 5.5-6.0 (Westphal, 1994).

Hama yang biasa mengganggu antara lain adalah ulat grayak (Spodoptera litura) dan kutu daun. Gejala yang tampak pada serangan ulat adalah adanya lubang pada tepian daun. Kutu daun menghisap cairan tanaman yang menyebabkan tanaman menjadi kerdil dan daun melengkung.

(24)

11 MATERI DAN METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juli sampai Agustus 2010 dan terdiri dari dua tahap. Penelitian tahap pertama yaitu pembuatan pupuk dilakukan di Laboratorium Pengolahan Limbah Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan. Penelitian tahap kedua yaitu uji taman dilakukan di Laboratorium Lapang University Farm, Institut Pertanian Bogor.

Materi

Alat-alat yang digunakan saat pelaksanaan penelitian antara lain pH meter,

trash bag, sarung tangan, sekop, gunting, pengaduk, timbangan gantung, polybag

ukuran 35 x 35, lakban, hammer mill, chopper, kertas dan label. Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kotoran sapi perah, jerami padi, MOL tapai, dedak, gula pasir, cairan aktivator Em4, tanah latosol dan biji kangkung.

Prosedur

Pembuatan Kompos

Tahap pertama yaitu pembuatan kompos. Prosedur dapat dilihat di Gambar 2. a. Pencacahan bahan pengompos

Salah satu faktor yang mempengaruhi kecepatan dekomposisi proses pengomposan yakni, ukuran partikel bahan. Untuk mendapatkan ukuran bahan yang sesuai standar, yakni antara 2,5 hingga 4 cm (Metcalf & Eddy, 2004), maka dilakukan pencacahan pada jerami padi.

b. Pencampuran dan Homogenisasi Bahan

Berat bahan baku kompos yang telah sesuai dengan perhitungan formulasi di atas, kemudian dicampurkan. Pencampuran bahan dilakukan sesuai dengan perlakuan percobaan yang akan dilakukan yakni: EJ40K60 (Jerami 40% + Kotoran 60% + EM4), MJ40K60 (Jerami 40% + Kotoran 60% + MOL), EJ60K40 (Jerami 60% + Kotoran 40% + EM4) dan MJ60K40 (Jerami 60% + Kotoran 40% + MOL).

(25)

12 Jerami padi

Cacah

Kotoran Sapi

Pencampuran, Homogenisasi, dan pemberian aktivator sesuai taraf

Kompos EJ40K60 (Jerami 40%+ Kotoran 60%+ EM4) Kompos MJ40K60 (Jerami 40%+ Kotoran 60%+ MOL) Kompos EJ60K40 (Jerami 60%+ Kotoran 40%+ EM4) Kompos MJ60K40 (Jerami 60%+ Kotoran 40%+ MOL)

Proses Pengomposan selama 4 minggu

Kompos Matang EJ40K60 (Jerami 40%+ Kotoran 60%+ EM4) Kompos Matang MJ40K60 (Jerami 40%+ Kotoran 60%+ MOL) Kompos Matang EJ60K40 (Jerami 60%+ Kotoran 40%+ EM4) Kompos Matang MJ60K40 (Jerami 60%+ Kotoran 40%+ MOL) Uji Kualitas Selesai

Gambar 2. Bagan Alir Proses Penelitian Uji Tanam

(26)

13 Total campuran jerami padi dan kotoran sapi yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah 10 kg. Aktivasi larutan EM4 yaitu 10 ml EM4, ditambahkan dengan 500 g dedak, 500 g gula pasir dan diencerkan dengan air sampai volumenya 410 ml. MOL disiapkan dengan mencampurkan 25 ml MOL dengan 375 ml air. Bahan kemudian dimasukkan dalam kantong sampah dan ditutup agar terjadi pengomposan secara anaerob.

Pengujian Kualitas a. Uji Kimia

Uji kualitas kimia dilakukan di Laboratorium Fisika Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Institut Pertanian Bogor. Uji kualitas sifat kimia meliputi komposisi hara makro, yaitu C, N, P, dan K.

(i)Nitrogen (N-total)

Dianalisis dengan cara Semi-Mikro Kjeldhal. 10 ml larutan pupuk organik cair diambil dan dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml dan diencerkan dengan aquades sampai tanda. Sebanyak 10 ml dari larutan tersebut diambil dan dimasukkan kedalam labu kjeldhal 500 ml lalu ditambahkan 10 ml H2SO4 (93-98% bebas N) dan

5 g campuran Na2SO4-HgO (20:1) sebagai katalisator. Larutan dididihkan sampai

jernih dan dilanjutkan pendidihan 30 menit lagi. Setelah dingin, dinding dalam labu Kjeldhal dicuci dengan aquades dan dididihkan lagi selama 30 menit. Setelah dingin ditambahkan 140 ml aquades dan 35 ml larutan NaOH-Na2S2O3 dan beberapa butiran

Zink. Kemudian dilakukan distilasi, distilat ditampung sebanyak 100 ml dalam Erlenmeyer yang berisi 25 ml larutan jenuh asam borat dan beberapa tetes indikator metal merah/metilen biru. Larutan yang diperoleh dititrasi dengan 0,02 N HCL. Penghitungan total N atau % protein dalam contoh dilakukan dengan rumus berikut:

Ml HCL X N HCL

Jumlah N-Total= X 14,008 X f mg/ml (f= 10) Ml larutan Contoh

(ii)Fosfor (P2O5).

Pupuk sebanyak 2 g dicampur dengan 10 ml HCL 25 % dan disimpan selama ± 24 jam. Rendaman tersebut diambil sebanyak 2 ml dan ditambah 18 ml aquadest. Larutan hasil pengenceran ditambahkan 0,5 ml NH4 molybdat serta 2-3 tetes SnCl2

(27)

14 kemudian diukur dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 693 mm. Hasil pengukuran yang didapat kemudian dibandingkan dengan kurva standar.

(iii) Karbon (C)

Pupuk sebanyak 0,25 g dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Kemudian ditambah 5 ml K2Cr2O7, dan 2,5 ml H2SO4 perlahan-lahan. Larutan dikocok sampai

bereaksi sempurna. Sebanyak 1 ml larutan yang telah dibuat dimasukkan ke dalam erlenmeyer 125 ml dan ditambah 9 ml aquadest kemudian dititrasi dengan Fe2SO4

0,1 N dengan indikator diphenylalamin sebanyak dua atau tiga tetes. Titrasi dihentikan jika warna larutan sudah berwarna biru.

(iv) Kalium (K)

Pupuk sebanyak 1 g ditambahkan dengan 25 ml HCL 25% kemudian di dekstruksi. Campuran HNO3 65% dan HClO4 37% ditambahkan sampai sampel

berwarna putih. Hasil destruksi diencerkan sampai 250 ml kemudian dipipet sebanyak 5 ml dan diencerkan menjadi 10 ml, kemudian diukur dengan menggunakan spektrofotometer AAS (Atomic Absorbtion Spektrofotometer).

Uji tanam

Uji tanam dilakukan di green house University Farm, Cikabayan. Uji tanam dilakukan untuk melihat pengaruh kompos ke tanaman secara langsung.

(i) Pengolahan Tanah

Tanah yang digunakan adalah tanah latosol yang diambil dari laboratorium Agrosilvopastural Fakultas Peternakan. Tanah latosol kemudian disaring dengan ayakan yang lebar lubangnya 0.5 mm. Tanah yang sudah disaring/diayak kemudian dijemur agar tanah yang digunakan seragam dan tidak mempengaruhi hasil penelitian.

(ii) Pembuatan Media Tanam

Pengujiank tanam menggunakan empat jenis pupuk yang berbeda (EJ40K60, MJ40K60, EJ60K40,MJ60K40). Terdapat tiga dosis penggunaan pupuk terhadap tanah untuk masing-masing pupuk (80 g, 160 g, dan 240 g) dengan tambahan kontrol

(28)

15 berupa tanah latosol 100 % (K). Setiap kombinasi jenis kompos dan dosis dimasukkan pada polybag berukuran 35 cm x 35 cm dengan jumlah tanah masing-masing polybag sebanyak 4 kg. Jumlah ulangan yang dilakukan yaitu tiga kali. Kombinasi Perlakuan :

1. EJ40K60 80 4. MJ40K60 80 7. EJ60K40 80 10.MJ60K40 80 2. EJ40K60 160 5. MJ40K60 160 8. EJ60K40 160 11. MJ60K40 160 3. EJ40K60 240 6. MJ40K60 240 9. EJ60K40 240 12. MJ60K40 240 13. K

(iii) Penanaman dan Pemeliharaan

Polybag yang sudah diisi tanah dan pupuk disiram dan dibiarkan selama satu malam. Tanah kemudian diberi empat lubang tanam dengan jarak dan kedalaman yang sama. Setiap lubang tanam diisi dengan tiga benih kangkung dan lubang ditutup. Tanah yang sudah berisi biji kemudian disiram. Penjarangan dilakukan 6 hari setelah tanam sesuai dengan jumlah terkecil kangkung yang tumbuh.

Pemeliharaan dilakukan dua kali sehari, yaitu pagi dan sore hari. Pemeliharaan meliputi penyiraman dan penyabutan gulma.

(iv) Pengambilan Data

Pengambilan data dilakukan setiap satu minggu sekali. Peubah-peubah yang diamati adalah sebagai berikut:

1. Tinggi tanaman

Tinggi tanaman diukur mulai dari permukaan media tanam sampai titik tumbuh, diukur dengan menggunakan penggaris

2. Jumlah daun

Jumlah daun dihitung pada semua daun yang telah membuka sempurna, yang terdiri atas tangkai dan helai daun.

3. Berat segar tajuk

Berat segar tajuk diukur setelah tanaman dipanen. Tanaman dipanen kemudian tajuk dipisahkan dari akar. Tajuk kemudian ditimbang.

4. Berat kering tajuk

Berat kering tajuk diukur setelah tanaman dipanen. Tanaman yang dipanen tanaman dibersihkan dari tanah, kemudian dimasukkan kedalam kantong

(29)

16 kertas dan dikeringkan pada oven yang bersuhu 60 OC selama dua hari. Setelah dioven, berat tajuk ditimbang.

5. Berat kering akar

Berat kering akar diukur setelah tanaman dipanen. Tanaman yang dipanen tanaman dibersihkan dari tanah, kemudian dimasukkan ke dalam kantong kertas dan dikeringkan pada oven yang bersuhu 60 OC selama dua hari. Setelah dioven, berat akar ditimbang.

Rancangan Penelititan

Analisis Kualitatif Uji Kimia Kompos

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penlitian ini adalah metode Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial yang terdiri dari dua faktor yaitu nisbah kotoran sapi dan jerami padi (40:60 dan 60:40), dan perbedaan aktivator (EM4 dan MOL tapai) yang digunakan untuk pengomposan dengan tiga ulangan. Menurut Steel dan Torrie (1995) model matematika yang digunakan adalah:

Yijk = µ + αi + Bj + (αB) ij + ∑ijk

Keterangan :

Yijk = Variabel respon akibat pengaruh nisbah kotoran sapi:jerami ke-i dan

perbedaan aktivator ke-j pada ulangan ke-k µ = Nilai tengah umum

αi = Pengaruh aktivator ke-i

Bj = Pengaruh nisbah kotoran ternak:ragi tapai ke-j

(αB) ij = Pengaruh interaksi antara jenis aktivator ke-i dan nisbah kotoran ternak:ragi

tapai ke-j

∑ijk = Pengaruh galat percobaan pada unit percobaan ke-k dalam kombinasi

perlakuan ke-ij.

Data diolah dengan Minitab 13 for windows, selanjutnya hasil analisis ragam yang menunjukkan pengaruh perlakuan yang nyata diuji lanjut dengan menggunakan uji Tukey’s (Mattjik dan Sumertajaya, 2000).

Analisis Kualitatif Uji Tanam

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial yang terdiri dari dua faktor yaitu jenis pupuk (EJ40K60, MJ40K60, EJ40K60, dan MJ40K60) dan dosis pupuk (80 g,

(30)

17 160 g, 240 g) yang digunakan dengan tiga ulangan. Menurut Steel dan Torrie (1995) model matematika yang digunakan adalah:

Yijk = µ + αi + Bj + (αB) ij + ∑ijk

Keterangan :

Yijk = Variabel respon akibat pengaruh nisbah kotoran sapi:jerami ke-i dan

perbedaan aktivator ke-j pada ulangan ke-k µ = Nilai tengah umum

αi = Pengaruh pupuk ke-i Bj = Pengaruh dosis pupuk ke-j

(αB) ij = Pengaruh interaksi antara jenis pupuk ke-i dan dosis pupuk ke-j

∑ijk = Pengaruh galat percobaan pada unit percobaan ke-k dalam kombinasi

perlakuan ke-ij.

Data diolah dengan Minitab 13 for windows, selanjutnya hasil analisis ragam yang menunjukkan pengaruh perlakuan yang nyata diuji lanjut dengan menggunakan uji Tukey’s (Mattjik dan Sumertajaya, 2000).

(31)

18 HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum

Penelitian ini terdiri dari dua bagian yaitu pembuatan kompos dan uji tanam dengan menggunakan tanaman kangkung. Pembuatan kompos merupakan penelitian utama, penelitian ini dilkukan di laboraturium limbah departemen ilmu produksi dan teknologi ternak. Penelitian uji tanam merupakan penelitian lanjutan untuk mengetahui pengaruh pupuk terhadap tanaman secara langsung. Uji tanam dilakukan di rumah kaca University Farm Institut Pertanian Bogor.

Kondisi ruangan laboraturium secara umum mendukung untuk pembuatan pupuk kompos karena mempunyai suhu yang tidak berubah signifikan setiap harinya serta terlindung dari cahaya matahari. Waktu untuk mematangkan kompos adalah satu bulan. Biasanya, pengomposan dilakukan dengan metoda aerobik karena pengomposan anaerobik membutuhkan waktu yang lebih lama, namun dapat mengontrol bau dan patogen berbahaya yang dilepaskan ke lingkungan saat proses pengomposan berlangsung (Obeng dan Wright,1987). Proses anaerobik digunakan karena pengomposan dilakukan di daerah kampus, sehingga bau yang tidak sedap dan bahaya keracunan tidak mengganggu proses belajar mengajar di lingkungan kampus.

Kotoran sapi perah yang digunakan pada penelitian ini didapat dari Kandang Sapi Perah Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Tapai yang didapat dibeli dari pedagang tapai di Pasar Merdeka. Perendaman tapai dalam air berguna untuk meningkatkan jumlah mikroba yang terkandung di tapai. Foto dari MOL Tapai dan kompos yang sudah matang dapat dilihat berturut-turut pada Gambar 3 dan 4.

(32)

19 Rumah kaca digunakan untuk uji tanam karena memudahkan mengontrol faktor-faktor yang terlibat dalam penanaman. Atap dan dinding rumah kaca sangat berguna untuk melindungi tanaman dari hujan dan angin yang terlalu besar, terutama di daerah Bogor yang curah hujannya cukup tinggi dan tidak menentu. Foto dari rumah kaca dan media tanam dapat dilihat berturut-turut pada Gambar 5 dan 6.

Pada saat uji tanam, ditemukan tumbuhnya jamur yang cukup parah pada media yang kaya akan serat (jerami). Gambar dari serangan jamur dapat dilihat pada Gambar 7. Secara umum, di penelitian pembuatan kompos dan uji tanam lanjutan, terdapat uji kualitas kimia pupuk dan respon pertumbuhan dengan kegiatan penanaman kangkung darat. Parameter yang dilihat pada uji kimia yaitu C, N, P dan K. Parameter yang dilihat pada penghitungan tingkat produksi tanaman yaitu tinggi tanaman, jumlah daun, berat kering tajuk, dan berat kering akar.

Gambar 5. Rumah Kaca Gambar 6. Keadaan di dalam

Rumah Kaca

(33)

20 Kualitas Pupuk Organik

Secara umum kualitas pupuk organik yang dihasilkan telah memenuhi SNI 19-7030-2004. Komposisi kimia pupuk organik yang dibuat pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa interaksi antara nisbah kotoran:jerami dan jenis aktivator tidak berpengaruh terhadap kandungan pH, C organik, N total, P total, dan K total pupuk.

Derajat Keasaman (pH) Kompos

Derajat keasaman merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kehidupan mikroorganisme di dalam tanah, sehingga mempengaruhi kesuburan tanaman. Hasil analisis menunjukkan bahwa pH kompos secara umum telah memenuhi standar SNI yaitu 6,8-7,3. Apabila dibandingkan dengan pedoman pengharkatan hara kompos maka pH kompos termasuk dalam kadar sedang (6,6-7,3). Analisis keragaman menunjukkan bahwa nisbah jerami:kotoran, jenis aktivator, dan interaksi dari keduanya tidak berpengaruh terhadap nilai pH kompos. Rataan nilai pH kompos dapat dilihat di Tabel 1.

Tabel 1. Rataan Nilai pH Kompos

Perlakuan pH kompos EJ40K60 7,23±0,15 MJ40K60 7,17±0,21 EJ60K40 7,23±0,32 MJ60K40 7,17±0,21 SNI 6,8-7,5 Sumber: SNI 19-7030-2004

pH kompos yang netral ini sangat berguna untuk mengurangi keasaman tanah yang sifatnya masam. Nilai pH kompos yang mendekati netral ini juga menunjukkan bahwa kompos sudah matang. pH netral disebabkan karena aktivitas mikroba mulai menurun karena sedikitnya zat-zat yang dapat dirombak sehingga menyebabkan pembentukan kation-kation basa pada proses mineralisasi menjadi berkurang. Nilai pH kompos yang tidak berbeda menunjukkan mikroba EM4 dan MOL Tapai dapat merombak bahan dengan serat tinggi dengan efektifitas yang sama.

Kandungan Karbon (C) Organik

Hasil analisis menunjukkan bahwa nisbah jerami:kotoran, jenis aktivator, dan interaksi dari keduanya tidak berpengaruh terhadap kandungan C organik kompos.

(34)

21 Nilai karbon organik yang dihasilkan termasuk dalam harkat yang sangat tinggi bila dibandingkan dengan pedoman pengharkatan hara kompos (lebih dari 27,1%). Kandungan karbon kompos mengalami penurunan apabila dibandingakan dari kandungan karbon awal yang terkandung dalam bahan sebelum dikomposkan. Penurunan kandungan C organik terjadi karena adanya pelepasan unsur C pada saat proses pengomposan. Nilai kandungan C organik kompos dapat dilihat di Tabel 2.

Tabel 2. Rataan Nilai Kandungan C Organik Kompos (%)

Perlakuan C Organik EJ40K60 27,31±3,22 MJ40K60 28,66±0,99 EJ60K40 29,85±2,09 MJ60K40 26,08±2,38 SNI Sumber: SNI 19-7030-2004

Kandungan C organik pada kompos dipengaruhi oleh kandungan jumlah awal mikroba dan komposisi bahan yang dikomposkan. Penambahan aktivator meningkatkan jumlah awal mikroba yang berakibat terhadap meningkatnya kemampuan untuk merombak serat. Mikroba seperti ragi akan berperan dalam perombakan bahan organik menjadi senyawa-senyawa organik, sedangkan

Lactobacillus dan mikroorganisme selulolitik lainnya berperan dalam proses penyediaan senyawa organik yang selanjutnya terurai ke dalam bentuk yang siap diserap oleh akar tanaman (Higa dan Parr, 1994). Nilai C organik kompos yang tidak berbeda menunjukkan mikroba EM4 dan MOL Tapai dapat merombak bahan dengan serat tinggi dengan efektifitas yang sama.

Kandungan Nitrogen (N) Total

Pada umumnya, kandungan N kompos sudah memenuhi SNI kompos yaitu di atas 0,4 %. Kandungan N kompos termasuk tinggi (1,1 %-2,1 %) bila dibandingkan dengan pedoman pengharkatan hara kompos. Hasil analisis ragam menunjukkan nisbah jerami:kotoran, jenis aktivator, dan interaksi dari keduanya tidak berpengaruh terhadap kandungan N total kompos. Rataan nilai kandungan N total kompos dapat dilihat di Tabel 3.

Nilai N total kompos semakin meningkat seiring dengan waktu pengomposan dibandingkan dengan C, hal ini disebabkan unsur N ini cenderung tertahan dalam

(35)

22 tumpukan kompos dan selama proses dekomposisi unsur N yang hilang hanya sebanyak 5 %, sedangkan unsur C yang hilang sebanyak 50 % (Alexander, 1977). Nilai N Total kompos yang tidak berbeda menunjukkan mikroba EM4 dan MOL Tapai dapat merombak bahan dengan serat tinggi dengan efektifitas yang sama.

Tabel 3. Rataan Nilai Kandungan N Total Kompos (%)

Perlakuan N Total EJ40K60 1,69±0,20 MJ40K60 1,85±0,99 EJ60K40 1,77±0,14 MJ60K40 1,66±0,1 SNI ≥0,4 Sumber: SNI 19-7030-2004 Nisbah C/N

Hasil penelitian menunjukkan bahwa nisbah C/N kompos secara umum telah memenuhi SNI yaitu nilainya berkisar antara 10-25. Nisbah C/N kompos termasuk sedang bila dibandingkan dengan standar pengharkatan hara kompos (10-20). Penurunan nisbah C/N bahan banyak dipengaruhi oleh kandungan mikroorganisme awal. Biasanya mikroorganisme membutuhkan 30 bagian karbon untuk satu bagian N untuk metabolismenya. Hasil analisis ragam menunjukkan nisbah jerami:kotoran, jenis aktivator, dan interaksi dari keduanya tidak berpengaruh terhadap nisbah C/N kompos. Rataan nisbah C/N kompos dapat dilihat di Tabel 4.

Tabel 4. Rataan Nisbah C/N Kompos

Perlakuan C/N EJ40K60 16,22±1,57 MJ40K60 15,47±0,57 EJ60K40 17,04±1,38 MJ60K40 15,66±074 SNI 10,0-25,0 Sumber: SNI 19-7030-2004

Nisbah C/N merupakan salah satu faktor penentu kecepatan pengomposan. Bila kadar C/N terlalu tinggi, proses pengomposan akan berjalan lambat karena N menjadi faktor penghambat pertumbuhan. Nisbah C/N yang terlalu rendah akan menyebabkan aktivitas pengomposan terhenti. C/N awal pupuk EJ60K40 dan MJ60K40 lebih tinggi daripada C/N awal pupuk EJ40K60 dan EJ40K60. Hasil yang

(36)

23 tidak berbeda menunjukkan waktu satu bulan merupakan waktu yang cukup untuk mengomposkan bahan yang memiliki kandungan serat yang lebih tinggi.

Kandungan Fosfor (P) Total

P berperan dalam pembentukan bunga, buah dan biji serta mempercepat kematangan buah. Hasil analisis menunjukkan bahwa semua kompos sudah memenuhi kualitas SNI, yaitu diatas 0,1%, sedangkan bila dibandingkan dengan standar pengharkatan hara kompos maka kandungan P kompos yang dibuat termasuk sedang (0,3-0,9). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa nisbah jerami:kotoran, jenis aktivator, dan interaksi dari keduanya tidak berpengaruh terhadap Kandungan P total kompos. Rataan nilai kandungan K total kompos dapat dilihat di Tabel 5.

Tabel 5. Rataan Nilai Kandungan P Total Kompos (%)

Perlakuan P Total EJ40K60 0,64±0,03 MJ40K60 0,75±0,08 EJ60K40 0,80±0,11 MJ60K40 0,69±0,09 SNI ≥0,1 SNI 19-7030-2004

Simamora dan Salundik (2006) menyatakan bahwa fosfor (P) berguna untuk membentuk akar, mempercepat penuaan buah, sebagai bahan dasar protein, memperkuat batang tanaman, meningkatkan hasil biji-bijian dan umbi-umbian serta membantu proses asimilasi dan respirasi. Stofella dan Khan (2000) menyatakan bahwa peran P terutama dalam pembentukan asam nukleat, phospolipid, dan pitin. Nilai P total kompos yang tidak berbeda menunjukkan mikroba EM4 dan MOL Tapai dapat merombak bahan dengan serat tinggi dengan efektifitas yang sama. Kandungan Kalium (K) Total

Hasil analisis menyatakan bahwa kandungan kalium (K) seluruh kompos yang dibuat termasuk tinggi jika dibandingkan dengan SNI yaitu lebih tinggi dari 0,2%. Simamora dan Salundik (2006) menyatakan bahwa unsur K berperan dalam membantu pembentukan protein dan karbohidrat, memperkuat jaringan tanaman, serta membentuk antibodi tanaman melawan penyakit dan kekeringan serta mengatur berbagai proses fisiologis tanaman. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa nisbah jerami:kotoran, jenis aktivator, dan interaksi dari keduanya tidak berpengaruh

(37)

24 terhadap Kandungan K total kompos. Rataan nilai kandungan K total kompos dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Rataan Nilai Kandungan K Total Kompos (%)

Perlakuan K Total EJ40K60 2,95±0,39 MJ40K60 3,16±0,15 EJ60K40 3,32±0,13 MJ60K40 2,88±0,26 SNI ≥0,2 SNI 19-7030-2004

Soepardi (1983) mengemukakan, bahwa kandungan unsur K semakin tinggi dengan adanya pelapukan bahan organik yang di maksudkan. K berperan dalam mempengaruhi penyerapan unsur lain, mempertinggi daya tahan terhadap kekeringan dan penyakit serta perkembangan akar. Nilai K total kompos yang tidak berbeda menunjukkan mikroba EM4 dan MOL Tapai dapat merombak bahan dengan serat tinggi dengan efektifitas yang sama.

Kajian Uji Tanam

Tinggi Tanaman

Uji tanam dilakukan untuk mengetahui pengaruh pupuk terhadap tanaman secara langsung. Untuk mengetahui respon tanaman, terdapat empat faktor yang diamati, yaitu tinggi tanaman, jumlah daun, berat kering tajuk, dan berat kering akar. Tinggi tanaman merupakan ukuran tanaman yang mudah untuk diamati dan sering digunakan sebagai parameter untuk mengukur pengaruh dari lingkungan atau perlakuan (Guritno dan Sitompul, 1995).

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa interaksi antara jenis pupuk dengan dosis pupuk mempengaruhi (P<0,05) tinggi tanaman pada 7 hari setelah tanam (HST). Tanaman yang diberi pupuk EJ40K60 dengan dosis 240 g dan tanaman yang diberi pupuk MJ60K40 dengan dosis 160 g memiliki tinggi tanaman yang paling tinggi diantara yang lainnya. Dosis pupuk mempengaruhi (P<0,05) tinggi tanaman pada 7 HST. Tanaman yang tidak diberi pupuk mempunyai tinggi terendah diantara tanaman lainnya. Jenis pupuk mempengaruhi (P<0,05) tinggi tanaman. Tanaman

(38)

25 yang diberi pupuk MJ40K60 dan MJ60K40 memiliki tinggi tanaman yang lebih baik diantara yang lainnya. Tinggi tanaman pada 7 HST dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Tinggi Tanaman 7HST (cm)

Jenis Pupuk Dosis Rataan

0 80 160 240

EJ40K60 7,76±0,24bc

9,75±0,87ab 8,08±0,38abc 8,35±0,46abc 8,49±0,92b

MJ40K60 9,04±0,83abc 9,54±0,69abc 8,71±0,32abc 9,98±0,62a 9,32±0,74a

EJ60K40 7,63±0,22c 8,91±0,83abc 9,79±0,52ab 8,96±1,04abc 8,82±1,02ab

MJ60K40 9,2±0,93abc 9,51±0,01abc 9,98±0,79a 8,83±1,01abc 9,38±0,8a

Rataan 8,41±0,93b 9,43±0,67a 9,14±0,93ab 9,03±0,93ab

Keterangan: Superskrip yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan (P<0,05) dalam interaksi, jenis pupuk, maupun dosis pupuk; EJ40K60 = EM4 + Jerami 40% + Kotoran 60%, MJ40K60 = MOL Tapai + Jerami 40% + Kotoran 60%, EJ60K40 = EM4 + Jerami 60% + Kotoran 40%, MJ60K40 = MOL Tapai + Jerami 60% + Kotoran 40%

Tinggi tanaman pada 7 HST sangat dipengaruhi oleh kecepatan tanaman berkecambah dan kandungan N dalam tanah. Perkecambahan dipengaruhi oleh kadar air dalam tanah atau media tanam dan genetik bibit. Plaster (1992) menyatakan bahwa N lebih optimum dalam meunjang pertumbuhan vegetatif. Perbedaan tinggi tanaman pada 7 HST hanya memiliki perbedaan ± 1 cm sehingga pengaruh pupuk belum terlalu terlihat.

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa interaksi antara jenis pupuk dengan dosis pupuk tidak mempengaruhi tinggi tanaman pada 14 HST. Dosis pupuk mempengaruhi (P<0,05) tinggi tanaman pada 14 HST. Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa tanaman yang diberi dosis 80 g memiliki tinggi tanaman yang lebih tinggi diantara tanaman lainnya. Jenis pupuk mempengaruhi (P<0,05) tinggi tanaman pada 14 HST. Tanaman yang diberi pupuk MJ40K60 memiliki tinggi tanaman yang paling tinggi. Tinggi tanaman pada 14 HST dapat dilihat di Tabel 8.

(39)

26 Tabel 8. Tinggi Tanaman 14HST (cm)

Jenis Pupuk Dosis Rataan

0 80 160 240 EJ40K60 14,64±1,08 16,48±20,6 14,06±0,94 12,53±1,31 14,43±1,91ab MJ40K60 14,81±2,01 16,46±2,52 14,62±1,55 17,22±1,82 15,78±2,06a EJ60K40 13,73±0,25 15,04±2,32 13,26±2,84 11,60±3,07 13,41±2,41b MJ60K40 15,58±1,14 17,29±0,38 13,17±3,18 10,22±0,94 14,07±3,16ab Rataan 14,69±1,29ab 16,32±1,91a 13,78±2,07b 12,89±3,21b

Keterangan: Superskrip yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan (P<0,05) dalam jenis pupuk dan dosis pupuk; EJ40K60 = EM4 + Jerami 40% + Kotoran 60%, MJ40K60 = MOL Tapai + Jerami 40% + Kotoran 60%, EJ60K40 = EM4 + Jerami 60% + Kotoran 40%, MJ60K40 = MOL Tapai + Jerami 60% + Kotoran 40%

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa interaksi antara jenis pupuk dengan dosis pupuk mempengaruhi (P<0,05) tinggi tanaman pada 21 HST. Tanaman yang diberi pupuk MJ40K60 sebanyak 240 g memiliki tinggi tanaman yang paling tinggi diantara yang lainnya. Jenis pupuk mempengaruhi (P<0,05) tinggi tanaman pada 21 HST. Tanaman yang diberi pupuk MJ40K60 memiliki tinggi tanaman yang paling tinggi diantara tanaman lainnya. Tinggi tanaman pada 21 HST dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Tinggi Tanaman 21HST (cm)

Jenis Pupuk Dosis Rataan 0 80 160 240 EJ40K60 19,45±1,25ab 22,53±3,53ab 20,13±4,29ab 19,87±4,09ab 20,49±3,24ab MJ40K60 20,70±4,14 ab 18,37±2,61ab 21,13±4,70ab 26,58±2,75a 21,69±4,43a EJ60K40 17,80±0,74 ab 20,56±2,75ab 17,28±5,02ab 13,70±5,11b 17,33±4,16b MJ60K40 19,02±1,09 ab 23,30±2,53ab 15,63±5,42b 12,42±3,00b 17,59±5,11b Rataan 19,24±2,21 21,19±3,17 18,54±4,75 18,14±6,73

Keterangan: Superskrip yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan (P<0,05) dalam interaksi dan jenis pupuk; EJ40K60 = EM4 + Jerami 40% + Kotoran 60%, MJ40K60 = MOL Tapai + Jerami 40% + Kotoran 60%, EJ60K40 = EM4 + Jerami 60% + Kotoran 40%, MJ60K40 = MOL Tapai + Jerami 60% + Kotoran 40%

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa interaksi antara dosis dan jenis pupuk berpengaruh (P<0,05) terhadap tinggi tanaman pada 28 HST. Tanaman yang diberi pupuk MJ40K60 dengan dosis 240 g merupakan tanaman yang paling tinggi diantara tanaman lainnya. Tanaman yang diberi pupuk EJ40K60 80 g, EJ40K60 160 g, EJ40K60 240 g, MJ40K60 80g, MJ40K60 160g, EJ60K40 80 g, EJ60K40 160 g, dan MJ60K40 240 g memiliki tinggi yang tidak berbeda. Tanaman yang tidak diberi

(40)

27 pupuk, EJ60K40 240 g, MJ60K40 160 g memiliki tinggi yang tidak berbeda dan merupakan tanaman yang paling rendah diantara tanaman yang lainnya. Tinggi tanaman pada 28 HST dapat pada Tabel 10.

Dosis pupuk sangat mempengaruhi (P<0,01) tinggi tanaman pada 28 HST. Tanaman yang tidak diberi pupuk memiliki tinggi tanaman yang paling pendek dibandingkan tanaman yang diberi dosis 80, 160, dan 240 g. Tinggi tanaman yang diberi pupuk dengan dosis 80, 160, dan 240 g memiliki tinggi tidak berbeda, namun berbeda dengan tanaman yang tidak diberi pupuk. Jenis pupuk mempengaruhi (P<0,05) tinggi tanaman pada 28 HST. Tinggi tanaman yang diberi pupuk MJ40K60 merupakan tanaman yang paling tinggi dibandingkan dengan tanaman yang diberi pupuk EJ40K60, EJ60K40, dan MJ60K40.

Tabel 10 Tinggi Tanaman 28 HST (cm)

Jenis Pupuk Dosis Rataan

0 80 160 240 EJ40K60 20,38±2,61b 35,23±5,85ab 31,74±8,54ab 32,23±8,54ab 29,90±7,98ab MJ40K60 18,34±2,79b 30,98±7,61ab 34,03±13,00ab 44,78±9,92a 32,03±12,54a EJ60K40 18,79±1,31b 28,55±7,09ab 24,98±10,03ab 20,88±10,72b 23,30±8,00b MJ60K40 20,16±1,66b 36,07±2,14ab 22,30±8,62b 25,13±3,09ab 25,91±7,58ab Rataan 19,42±2,07B 32,71±6,09A 28,26±10,04A 30,75±11,75A

Keterangan: Superskrip yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan (P<0,05) dalam interaksi dan jenis pupuk. Superskrip yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) pada dosis pupuk; EJ40K60 = EM4 + Jerami 40% + Kotoran 60%, MJ40K60 = MOL Tapai + Jerami 40% + Kotoran 60%, EJ60K40 = EM4 + Jerami 60% + Kotoran 40%, MJ60K40 = MOL Tapai + Jerami 60% + Kotoran 40%

Plaster (1992) menyatakan bahwa nitorgen lebih optimum dalam menunjang pertumbuhan vegetatif, oleh karena itu tanaman sayuran yang terdiri dari batang dan daun saja lebih responsif terhadap kadar N tanah. Sopher dan Baid (1982) menuliskan bahwa N diserap oleh tanaman dalam bentuk NO3 dan NH4 untuk

sintesis asam amino, protein, dan jaringan tanaman. Simamora dan Salundik (2006) menyatakan bahwa N berperan untuk membantu proses pembentukan klorofil, fotosintesis, protein, lemak, dan persenyawaan organik lainnya. Sekitar 78% volume udara terdiri dari N. Grafik batang pertumbuhan tanaman dapat dilihat pada Gambar 8.

(41)

28 Pupuk EJ40K60 memiliki kadar N yang paling tinggi diantara pupuk lainnya, sehingga pertumbuhan tanaman yang diberi pupuk EJ40K60 dengan dosis terbesar 240 g memiliki pertumbuhan yang paling baik. Pertumbuhan tanaman yang diberi pupuk D pertumbuhannya kurang baik karena adanya jamur yang ikut tumbuh di media tanam. Jamur yang tumbuh menyebabkan adanya persaingan pada media sehingga tanaman tumbuh dengan tidak optimal.

Jumlah Daun

Jumlah daun dipengaruhi oleh K dan N. K berperan penting dalam transport fotosintat, membantu pembentukan protein dan karbohidrat, memperkuat jaringan tanaman, mengatur berbagai proses fisiologi tanaman, dan membentuk antibodi tanaman (Krisna, 2002; Simamora dan Salundik 2006). Widayanti (2008) menyatakan bahwa dengan bertambahnya unsur N pada tanaman berasosisasi dengan pembentukan klorofil daun sehingga meningkatkan fotosintesis untuk memacu pertumbuhan daun tanaman. Semakin banyak tunas yang memperoleh hara maka pertumbuhan dan perkembangan tunas-tunas akan semakin cepat diikuti dengan meningkatnya jumlah daun.

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jenis pupuk, dosis pupuk, dan interaksi dari keduanya tidak mempengatuhi jumlah daun pada 7 HST. Jumlah daun pada 7 HST dapat dilihat pada Tabel 11. Tidak adanya perbedaan jumlah daun pada

(42)

29 7 HST dikarenakan tanaman baru saja berkecambah dan sebagian besar tanaman memiliki 2 buah daun.

Tabel 11 Jumlah Daun 7HST

Jenis Pupuk Dosis Rataan

0 80 160 240 EJ40K60 2 2 2 2 2 MJ40K60 2 2 2 2 2 EJ60K40 2 2 2 2 2 MJ60K40 2 2 2 1,67±0,58 1,92±0,29 Rataan 2 2 2 1,92±0,29

Keterangan: EJ40K60 = EM4 + Jerami 40% + Kotoran 60%, MJ40K60 = MOL Tapai + Jerami 40% + Kotoran 60%, EJ60K40 = EM4 + Jerami 60% + Kotoran 40%, MJ60K40 = MOL Tapai + Jerami 60% + Kotoran 40%

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa interaksi antara dosis dan jenis pupuk tidak mempengaruhi jumlah daun pada 14 HST. Jenis pupuk tidak mempengaruhi jumlah daun pada 14 HST. Dosis mempengaruhi (P<0,05) jumlah daun pada 14 HST. Tanaman yang tidak diberi pupuk dan tanaman yang diberi pupuk dengan jumlah 160 merupakan tanaman dengan jumlah daun terbanyak. Jumlah daun pada 14 HST dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12 Jumlah Daun 14HST

Jenis Pupuk Dosis Rataan

0 80 160 240 EJ40K60 4,67±0,52 5,17±0,14 4,50±0,25 4,58±0,14 4,73±0,38 MJ40K60 4,75±0,66 4,83±0,38 4,33±0,38 4,42±0,38 4,58±0,46 EJ60K40 4,61±0,35 4,67±0,29 4,75±0,87 4,25±0,43 4,57±0,50 MJ60K40 4,83±0,58 4,58±0,14 4,42±0,72 3,42±0,38 4,31±0,71 Rataan 4,72±0,47a 4,81±0,32a 4,50±0,54ab 4,17±0,56b

Keterangan: Superskrip yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan (P<0,05) dalam dosis pupuk; EJ40K60 = EM4 + Jerami 40% + Kotoran 60%, MJ40K60 = MOL Tapai + Jerami 40% + Kotoran 60%, EJ60K40 = EM4 + Jerami 60% + Kotoran 40%, MJ60K40 = MOL Tapai + Jerami 60% + Kotoran 40%

Interaksi antara jenis pupuk dan dosis pupuk mempengaruhi (P<0,05) jumlah daun pada 21 HST. Tanaman yang diberi pupuk MJ40K60 dengan dosis 240 g, tanaman yang diberi pupuk MJ60K40 dan EJ40K60 dengan dosis 80 merupakan tanaman dengan jumlah daun terbanyak. Jenis pupuk sangat mempengaruhi (P<0,01) Jumlah daun pada 21 HST. Tanaman yang diberi pupuk EJ40K60 dan MJ40K60 merupakan tanaman dengan jumlah daun terbanyak. Dosis pupuk mempengaruhi

(43)

30 (P<0,05) jumlah daun 21 HST. Tanaman yang diberi dosis 80 g memiliki jumlah daun terbesar. Jumlah daun pada 21 HST dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13 Jumlah Daun 21HST

Jenis Pupuk Dosis Rataan

0 80 160 240 EJ40K60 7,33±0,63ab 8,03±0,61a 7,33±0,63ab 7,33±0,38ab 7,51±0,58A MJ40K60 7,50±1,09a 7,00±0,50abc 7,42±0,88ab 7,75±0a 7,42±0,69A EJ60K40 7,25±0,66ab 7,17±0,52ab 6,33±1,01abc 5,17±0,29c 6,48±1,05B MJ60K40 7,17±0,14ab 7,50±0,25a 5,50±0,87bc 6,08±0,72abc 6,56±0,98B Rataan 7,31±0,62ab 7,42±0,59a 6,65±1,10bc 6,58±1,13c

Keterangan: Superskrip yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan (P<0,05) dalam interaksi dan dosis pupuk. Superskrip yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) dalam jenis pupuk; EJ40K60 = EM4 + Jerami 40% + Kotoran 60%, MJ40K60 = MOL Tapai + Jerami 40% + Kotoran 60%, EJ60K40 = EM4 + Jerami 60% + Kotoran 40%, MJ60K40 = MOL Tapai + Jerami 60% + Kotoran 40%

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa interaksi antara dosis dan jenis pupuk tidak mempengaruhi jumlah daun 28 HST. Dosis pupuk sangat mempengaruhi (P<0,01) jumlah daun 28 HST. Tanaman yang diberi dosis pupuk 80 dan 240 g memiliki jumlah daun yang tidak berbeda tetapi berbeda dengan tanaman yang diberi pupuk dengan dosis 0 dan 160 g. Jenis pupuk tidak mempengaruhi jumlah daun 28

HST. Jumlah daun setelah 28 hari setelah tanam (HST) dapat dilihat padaTabel 14. Tabel 14. Jumlah Daun 28HST

Jenis Pupuk Dosis Rataan

0 80 160 240 EJ40K60 7,92±0,38 11,92±0,72 9,75±1,39 11,17±0,72 10,19±1,76 MJ40K60 7,92±0,63 8,92±0,80 8,33±0,14 11,25±0,25 9,10±1,42 EJ60K40 8,42±0,88 9,00±0,25 8,33±1,26 9,75±2,05 8,88±1,25 MJ60K40 10,17±3,97 11,17±0,38 7,75±1,25 9,50±1,15 9,65±2,26 Rataan 8,60±2,01B 10,25±1,47A 8,54±1,23B 10,42±1,34A

Keterangan: Superskrip yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) dalam dosis pupuk; EJ40K60 = EM4 + Jerami 40% + Kotoran 60%, MJ40K60 = MOL Tapai + Jerami 40% + Kotoran 60%, EJ60K40 = EM4 + Jerami 60% + Kotoran 40%, MJ60K40 = MOL Tapai + Jerami 60% + Kotoran 40%

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa tanaman yang diberi jenis pupuk EJ40K60 dengan dosis 80 g memiliki jumlah daun yang lebih banyak daripada tanaman lainnya. Hal ini dikarenakan pupuk A dibuat dengan penambahan aktivator EM4 yang memiliki bakteri fotosintesis, sedangkan ragi tapai tidak memilikinya.

(44)

31 Bakteri fotosintesis akan membantu tanaman untuk mengikat N sehingga penyerapan N tanaman lebih baik. Grafik pertambahan jumlah daun dapat dilihat di Gambar 9.

Berat Segar Tajuk

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa interaksi antara dosis dan jenis pupuk sangat mempengaruhi (P<0,01) berat segar tajuk. Tanaman yang diberi pupuk MJ40K60 dengan dosis 240 merupakan tanaman dengan berat segar tajuk terberat. Dosis pupuk sangat mempengaruhi (P<0,01) berat segar tajuk. Tanaman yang tidak diberi pupuk memiliki berat segar tajuk terendah. Tanaman yang diberi pupuk sebanyak 80 g memiliki tinggi yang tidak berbeda bila dibandingkan tanaman yang diberi pupuk sebanyak 240 g tapi berbeda dengan tanaman yang diberi pupuk sebanyak 160 g. Jenis pupuk sangat mempengaruhi (P<0,01) berat segar tajuk. Tanaman yang diberi pupuk EJ60K40 memiliki berat terendah. Data berat segar tajuk dapat dilihat padaTabel 15.

Tanaman yang diberi pupuk MJ40K60 dengan dosis 240 merupakan tanaman yang paling tinggi diantara tanaman lainnya, oleh karena itulah tanaman ini merupakan tanaman yang paling berat. Tanaman yang diberi pupuk memiliki lebih berat bila dibandingkan dengan tanaman yang tidak diberi pupuk menunjukkan adanya peningkatan produktivitas tanaman dengan pemberian pupuk. Hal ini dikarenakan adanya penambahan unsur hara pada media tanam yang diberi pupuk.

Gambar

Gambar 1. Bagan Alir Pembuatan Ragi Tapai
Gambar 2. Bagan Alir Proses Penelitian
Gambar 5. Rumah Kaca  Gambar 6. Keadaan di dalam
Gambar 8. Grafik Tinggi tanaman
+2

Referensi

Dokumen terkait

Puji Syukur penulis ucapkan kehadirat Allah atas berkat dan karnuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Analisis Penggunaan Alat Kontrasepsi Suntik

Faktor penghambat pemberdayaan industri pertahanan dalam mendukung kemandirian Alutsiswa yaitu belum adanya persamaan persepsi antar pihak dalam memandang

Berdasarkan pengolahan dan analisis data hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh simpulan bahwa Penerapan Pendidikan Teknologi Dasar (PTD) pada pembelajaran

Dalam bab ini akan dibahas mengenai contoh penggunaan model regresi logistik 2-level dengan random intercept pada data survei mengenai penggunaan hak memilih pada saat pemilu

“ Eksistensi SASI dalam pengelolaan lingkungan hidup dan peran serta masyarakat di negeri Haruku Kabupaten Maluku Tengah Propinsi Maluku tahun 2013” salah satu temuan mereka

Area fokus otomatis dari sensor AF deteksi fase khusus Sensor AF Deteksi fase khusus dengan 79 titik fokus digunakan untuk fokus otomatis bila lensa yang tidak mendukung sistem

Dalam menyampaikan pertanyaan yang berhubungan dengan materi yang akan diajarkan, selain suara guru yang harus bisa diperkirakan didengar oleh siswa di kelas,

Web Service adalah aplikasi sekumpulan data (database), perangkat lunak ( software) atau bagian dari perangkat lunak yang dapat diakses secara remote oleh berbagai piranti dengan