TRAINING HAK ASASI MANUSIA BAGI PENGAJAR HUKUM DAN HAM
Makassar, 3 - 6 Agustus 2010
MAKALAH
PENGADILAN KEJAHATAN GENOSIDA
DAN KEJAHATAN TERHADAP
KEMANUSIAAN DI INDONESIA
Oleh:
PENGADILAN
KEJAHATAN
GENOSIDA
DAN
KEJAHATAN
TERHADAP
KEMANUSIAAN
DI
INDONESIA
ENNY
SOEPRAPTO
PhD
Hotel Santika. Makassar, 3 – 6 August 2010
SEJARAH PEMBENTUKAN
•
Kesepakatan
New
York
5
Mei
1999:
Jajak
pendapat
di
Tim
‐
Tim
akan
diadakan
30
August
1999
•
Tindak
kekerasan
sebelum
dan
sesudah
berlangsungnya
jajak
pendapat
(perkosaan,
penyiksaan,
penyerangan,
dan
penghancuran
milik):
lebih
dari
1300
•
Pernyataan Komnas HAM 8 September 1999:
“perkembangan kehidupan masyarakat di Timor
Timur pada waktu itu telah mencapai kondisi
anarki dan tindakan‐tindakan terrorisme telah
dilakukan secara luas baik oleh perorangan
maupun kelompok dengan kesepakatan
langsung
dan pembiaran oleh unsur‐unsur
aparat
keamanan”.
•
22 September 1999:
Komnas HAM membentuk Komisi Penyelidik Pelanggaran
HAM (KPP‐HAM) di Tim‐Tim:
** Melakukan pemantauan dan penyelidikan peristiwa
di Tim‐Tim dimana tampak terjadi pelanggaran HAM,
sesuai dengan mandatnya menurut Keppres 50/1999
tertanggal 7 Juni 1993
•
Pernyataan
Komnas
HAM
8
September
1999:
“perkembangan
kehidupan
masyarakat
di
Timor
Timur
pada
waktu
itu
telah
mencapai
kondisi
anarki
dan
tindakan
‐
tindakan
terrorisme
telah
dilakukan
secara
luas
baik
oleh
perorangan
maupun
kelompok
dengan
kesepakatan
langsung
dan
pembiaran
oleh
unsur
‐
unsur
aparat
keamanan”.
•
22
September
1999:
Komnas
HAM
membentuk
Komisi
Penyelidik
Pelanggaran
HAM
(KPP
‐
HAM)
di
Tim
‐
Tim:
**
Melakukan
pemantauan
dan
penyelidikan
peristiwa
di
Tim
‐
Tim
dimana
tampak
terjadi
pelanggaran
HAM,
sesuai
dengan
mandatnya
menurut
Keppres
50/1999
•
Sidang
Khusus
Komisi
HAM
PBB
(Jenewa)
23
‐
27
September
1999
untuk
membahas
situasi
di
Tim
‐
Tim.
•
Resolusi
(1999/S
‐
4/1)
27
September
1999:
**
Menuntut
Pemerintah
Indonesia
untuk,
antara
lain,
bekerja
sama
dengan
Komnas
HAM
untuk
memastikan
agar
orang
‐
orang
yang
bertanggung
jawab
atas
tindak
kekerasan
dan
pelanggaran
sistematis
HAM
diadili
**
Meminta
Sekjen
PBB
untuk
membentuk
komisi
penyelidik
internasional
yang
komposisinya
terdiri
atas
ahli
‐
ahli
dari
Asia
dan
yang
akan
bekerja
sama
dengan
Komnas
HAM;
•
Sebelum
Sidang
Khusus
Komisi
tentang
HAM
PBB
gencar
desakan
kalangan
komunitas
internasional
agar
DKPBB
membentuk
tribunal
internasional
ad
hoc
untuk
Tim
‐
Tim
(seperti
ICTY,
dibentuk
1993,
dan
ICTR,
dibentuk
1994)
•
Desakan
Demikian
digagalkan
oleh
Diplomasi
Indonesia
yang
berhasil
meyakinkan
komunitas
internasional
tentang
kemampuan
dan
komitmen
Indonesia
untuk
menyelesaikan
pelanggaran
HAM
•
Pada
saat
dimulainya
Sidang
Khusus
Komisi
tentang
HAM
mengenai
Tim
‐
Tim
(23
September
1999),
UU
39/1999
tentang
HAM
diundangkan.
•
Pasal
104:
“(1)
Untuk
mengadili
pelanggaran
HAM
yang
berat
dibentuk
Pengadilan
HAM
di
lingkungan
Peradilan
Umum.
(2)
Pengadilan
sebagaimana
dimaksud
dalam
ayat
(1)
dibentuk
dengan
UU
dalam
jangka
waktu
4
(empat)
tahun.
(3)
Sebelum
terbentuk
Pengadilan
HAM
sebagaimana
dimaksud
dalam
ayat
(2)
kasus
‐
kasus
pelanggaran
HAM
sebagaimana
dimaksud
dalam
ayat
(1)
diadili
oleh
pengadilan
yang
berwenang.”
•
Penjelasan
Pasal
104
ayat
(1):
“Yang
dimaksud
dengan
‘pelanggaran
HAM
yang
berat” adalah
pembunuhan
massal
(genocide),
pembunuhan
sewenang
‐
wenang
atau
di
luar
putusan
pengadilan
(
arbitrary/extra
‐
judicial
killing
),
penyiksaan,
penghilangan
orang
secara
paksa,
perbudakan,
atau
diskriminasi
yang
dilakukan
secara
sistematis
(
systematic
discrimination
).”
•
Pada
saat
dimulainya
Sidang
Khusus
Komisi
tentang
HAM
mengenai
Tim
‐
Tim
(23
September
1999),
UU
39/1999
tentang
HAM
diundangkan.
•
Pasal
104:
“(1)
Untuk
mengadili
pelanggaran
HAM
yang
berat
dibentuk
Pengadilan
HAM
di
lingkungan
Peradilan
Umum.
(2)
Pengadilan
sebagaimana
dimaksud
dalam
ayat
(1)
dibentuk
dengan
UU
dalam
jangka
waktu
4
(empat)
tahun.
(3)
Sebelum
terbentuk
Pengadilan
HAM
sebagaimana
dimaksud
dalam
ayat
(2)
kasus
‐
kasus
pelanggaran
HAM
sebagaimana
dimaksud
dalam
ayat
(1)
diadili
oleh
pengadilan
yang
berwenang.”
•
Penjelasan
Pasal
104
ayat
(1):
“Yang
dimaksud
dengan
‘pelanggaran
HAM
yang
berat” adalah
pembunuhan
massal
(genocide),
pembunuhan
sewenang
‐
wenang
atau
di
luar
putusan
pengadilan
(
arbitrary/extra
‐
judicial
killing
),
penyiksaan,
penghilangan
orang
secara
paksa,
perbudakan,
atau
diskriminasi
yang
dilakukan
secara
sistematis
• 8 Oktober 1999 (15 hari setelah diundangkannya UU 39/1999; 11 hari setelah
resolusi Komisi tentang HAM PBB:
Perppu 1/1999 tentang Pengadilan HAM
** Pengertian istilah (yang dimaksud dalam Perppu ini):
“Pelanggaran HAM” = “pelanggaran HAM yang berat” (Pasal 1 angka 2)
** Lingkup kewenangan (Pasal 4):
Memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan perkara
pelanggaran HAM yang berupa:
*** Pemusnahan seluruh atau sebagian rumpun bangsa, kelompok
bangsa, suku bangsa, kelompok berdasarkan kulit, jenis kelamin,
umur atau cacat mental atau fisik;
*** pembunuhan sewenang‐wenang atau di luar putusan pengadilan; *** penghilangan orang secara paksa;
*** perbudakan;
*** diskriminasi yang dilakukan secara sistematis
*** penganiayaan yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang yang
mengakibatkan penderitaan yang berat bagi orang lain baik fisik
maupun mental dengan maksud untuk memperoleh keterangan atau
pengaduan baik dari yang bersangkutan maupun orang ketiga atau
untuk menakut‐nakuti atau memaksa yang bersangkutan atau orang
orang ketiga atau dengan alasan yang bersifat diskriminatif dalam
segala bentuknya
(pengulangan pejelasan Pasal 104 UU 39/1999)
• 8 Oktober 1999 (15 hari setelah diundangkannya UU 39/1999; 11 hari setelah resolusi Komisi tentang HAM PBB:
Perppu 1/1999 tentang Pengadilan HAM
** Pengertian istilah (yang dimaksud dalam Perppu ini):
“Pelanggaran HAM” = “pelanggaran HAM yang berat”
(Pasal 1 angka 2)
** Lingkup kewenangan (Pasal 4):
Memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan perkara pelanggaran HAM yang berupa: *** Pemusnahan seluruh atau sebagian rumpun bangsa, kelompok bangsa, suku bangsa, kelompok berdasarkan kulit, jenis kelamin, umur atau cacat mental atau fisik; *** pembunuhan sewenang‐wenang atau di luar putusan pengadilan; *** penghilangan orang secara paksa; *** perbudakan; *** diskriminasi yang dilakukan secara sistematis *** penganiayaan yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang yang mengakibatkan penderitaan yang berat bagi orang lain baik fisik maupun mental dengan maksud untuk memperoleh keterangan atau pengaduan baik dari yang bersangkutan maupun orang ketiga atau untuk menakut‐nakuti atau memaksa yang bersangkutan atau orang orang ketiga atau dengan alasan yang bersifat diskriminatif dalam segala bentuknya
** Penyelidikan:
Oleh Komnas HAM (Pasal 10 (1) )
** Penyidikan dan penuntutan
Jaksa Agung (Pasal 12) );
** Pemeriksaan perkaran:
Pengadilan HAM (Pasal 18 (1) )
** Hukum acara:
UU 8/1981 (KUHAP) kecuali diatur sendiri oleh Perppu ini (Pasal 20);
** Terhadap pelanggaran HAM yang terjadi sebelum berlakunya Perppu ini
(Pasal 24): “tetap diberlakukan ketentuan hukum pidana sebagaimana diatur dalam peraturan perundang‐undangan yang berlaku) *** Artinya: ‐ Perppu 1/1999 tidak berlaku surut; ‐ Tidak dapat digunakan untuk menyelidiki, menyidik, menuntut, dan memeriksa perkara peristiwa Tim‐Tim yang terjadi sebelum berlakunya Perppu 1/1999 ( Oktober)
**
Perppu
1/1999
*** Lingkup
kategori
kejahatan
(
crime
(
s
)
)
yang
termasuk
yurisdiksi
“Pengadilan
HAM” terbatas
;
***
Bentuk
tindak
pidana
(
criminal
act
(
s
)
)
yang
termasuk
lingkup
yurisdiksi
“Pengadilan
HAM” sangat
terbatas;
***
Pengaturan
proses
peradilan
tidak
cukup
rinci;
***
Masih,
ada
general
rule,
menggunakan
UU
8/1981
(KUHAP
sebagai
hukum
acaranya,padahal
UU
8/1981
diperuntukkan
bagi
kejahatan/tindak
pidana
“biasa”);
***
Tidak
dapat
diterapkan
untuk
peristiwa
sebelum
berlakunya
Perppu
1/199
(8
Oktober
1999)
**
DPR
menolak
mengukuhkaan
Perppu
1/1999
menjadi
UU
**
Dibuat
(dengan
tergesa
‐
gesa)
RUU
yang
kemudian
menjadi
UU
26/2000
tentang
“Pengadilan
HAM”
**
Perppu
1/1999
*** Lingkup
kategori
kejahatan
(
crime
(
s
)
)
yang
termasuk
yurisdiksi
“Pengadilan
HAM” terbatas
;
***
Bentuk
tindak
pidana
(
criminal act
(
s
)
)
yang
termasuk
lingkup
yurisdiksi
“Pengadilan
HAM” sangat
terbatas;
***
Pengaturan
proses
peradilan
tidak
cukup
rinci;
***
Masih,
ada
general
rule,
menggunakan
UU
8/1981
(KUHAP
sebagai
hukum
acaranya,padahal
UU
8/1981
diperuntukkan
bagi
kejahatan/tindak
pidana
“biasa”);
***
Tidak
dapat
diterapkan
untuk
peristiwa
sebelum
berlakunya
Perppu
1/199
(8
Oktober
1999)
**
DPR
menolak
mengukuhkaan
Perppu
1/1999
menjadi
UU
**
Dibuat
(dengan
tergesa
‐
gesa)
RUU
yang
kemudian
menjadi
*
Yurisdiksi
materiil
(
ratione materiae
)
**
“Pelanggaran
HAM
yang
berat”
(Pasal
4):
yang “meliputi”:
*** Kejahatan genosida; dan
*** Kejahatan terhadap kemanusiaan;
(Pasal 7) yang sesuai dengan ‘
Rome
Statute
of
The
International
* Yurisdiksi temporal (ratione temporis): Untuk peristiwa yang terjadi: ** Sejak berlakunya UU ini (sesuai Pasal 51); ** Peristiwa yang terjadi sebelum diundangkannya UU ini (Pasal 43 (1) ); *** Diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc: *** Pengadilan HAM ad hoc: **** Dibentuk atas usul DPR (Pasal 43(2)); **** Berdasarkan peristiwa tertentu (Pasal 43(2)) yang dibatasi pada locus
delicti dan tempus delicti tertentu (sebelum diundangkannya UU
26/2000) Penjelasan Pasal 43(2) );
**** Dengan Keppres (tentunya “Perpres” sejak berlakunya UU 10/2004); * Tyrisdiksi personal (ratione personae):
** “Setiap orang”:
** Orang perseorangan, kelompok orang, baik sipil, militer, maupun polisi yang bertanggung jawab secara individual; (Pasal 1 angka 4)
* Penerapan UU 26/2000:
A. Sebelum berlakunya UU 26/2000:
** Tanjung Priok 1984 (selesai); ** Tim‐Tim (selesai);
** Trisakti 1998 (penyelidikan selesai; menolak menyidik); ** Semanggi 1998 (“Semanggi I”) (s.d.a.);
** Semanggi 1999 (“Semanggi II”) (s.d.a.); ** Mei 1998 (s.d.a.)
** Penghilangan Paksa 1997‐1998 (s.d.a.)
B. Setelah berlakunya UU 26/2000
** Abepura 2000 (tingkat pertama selesai);
** Wasior 2001‐2002 (penyelidikan selesai; penyidik menolak
menyidik);
Kelemahan/lakuna UU 26/2000, antara lain:
* Yurisdiksi
Hanya Genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, padahal Statuta MPI
(Statuta Roma) mencakup juga kejahatan perang dan kejahatan agresi
* Hukum acara:
Masih bergantung, pada prinsipnya, pada KUHAP, padahal KUHAP adalah
untuk kejahatan umum, sedangkan kejahatan yang termasuk yurisdiksi UU
26/2000 memerlukan “langkah‐langkah penyelidikan, penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan yang bersifat khusus” (Penjelasan, I. Umum,
angka 2), termasuk:
** Ketiadaan kewenangan penyelidik untuk melakukan pemanggilan paksa
(sub‐poena)
** Ketiadaan penetapan batas waktu bagi penyidik untuk memulai penyidikan; ** Ketiadaan ketentuan yang mengatur penyelesaian kemungkinan terjadinya
perbedaan posisi antara penyelidik dan penyidik;
** Ketiadaan ketentuan tentang tata cara pengusulan dan pembentukan
Pengadilan HAM ad hoc
Kelemahan/lakuna UU 26/2000, antara lain: * Yurisdiksi
Hanya Genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, padahal Statuta MPI
(Statuta Roma) mencakup juga kejahatan perang dan kejahatan agresi
* Hukum acara:
Masih bergantung, pada prinsipnya, pada KUHAP, padahal KUHAP adalah
untuk kejahatan umum, sedangkan kejahatan yang termasuk yurisdiksi UU
26/2000 memerlukan “langkah‐langkah penyelidikan, penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan yang bersifat khusus” (Penjelasan, I. Umum,
angka 2), termasuk:
** Ketiadaan kewenangan penyelidik untuk melakukan pemanggilan paksa
(sub‐poena)
** Ketiadaan penetapan batas waktu bagi penyidik untuk memulai penyidikan; ** Ketiadaan ketentuan yang mengatur penyelesaian kemungkinan terjadinya
perbedaan posisi antara penyelidik dan penyidik;
** Ketiadaan ketentuan tentang tata cara pengusulan dan pembentukan
* Rumusan ketentuan:
Terdapat banyak rumusan ketentuan yang tidak sesuai dengan yang
terdapat dalam Statuta Roma (kesalahan penerjemahan? Disengaja?)
Akibat:
** Melemahkan maksud;
** Mengubah arti;
** Mempersulit upaya pembuktian;
** Ketidakcermatan.
Contoh:
*** Pertanggungjawaban komandan/atasan:
Statuta Roma: “… shall be criminally responsible…”(Pasal 28(a) );
UU 26/2000: “…dapat dipertanggungjawabkan…” (Pasal 42(1) ):
*** Statuta Roma: “…should have known that the forces were
committing or about to commit such crimes…” (Pasal 28(a) (i) );
UU 26/2000: “… sedang melakukan atau baru saja melakukan
*** Statuta Roma: “… deliberately inflicting on the group conditions
of life calculated to bring about to physical destruction…”;
(Pasal 6(c) );
UU 26/2000: “… yang akan mengakibatkan kemusnahan …”
(Pasal 7 c);
*** Statuta Roma: “… Persecution …” (Pasal 7.1 (h) );
UU 26/2000: “… peganiayaan …” (Pasal 9h);
*** Statuta Roma: “… attack directed against any civilian
population …” (Pasal 7.1.. chapeau);
UU 26/2000: “… serangan [tersebut] ditujukan secara langsung
…” (Pasal 9 chapeau);
*** UU 26/2000:
**** Penjelasan Pasal 20 ayat (1) kalimat ketiga: Yang dimaksud
dengan ‘menindaklanjuti’ adalah dilakukannya
penyidikan”;
**** Dalam Pasal 20 ayat (1) tidak terdapat kata
Kerancuan konseptual:
• Kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan
perang, dan kejahatan agresi adalah kejahatan
international/kejahatan menurut hukum internasional. Oleh karena
itu, di tataran internasional, keempat kategori kejahatan ini, sesuai
dengan sifatnya, ditangani oleh pengadilan pidana internasional,
yakni Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court)
(ICC);
• Di Indonesia (UU 26/2000) kejahatan genosida dan kejahatan
terhadap kemanusiaan dikategorikan sebagai “pelanggaran HAM
[yang berat]”, ditangani oleh “Pengadilan HAM” (bukan “Pengadilan
Pelanggaran HAM yang Berat”);
Kerancuan konseptual:
• Kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan
perang, dan kejahatan agresi adalah kejahatan
international/kejahatan menurut hukum internasional. Oleh karena
itu, di tataran internasional, keempat kategori kejahatan ini, sesuai
dengan sifatnya, ditangani oleh pengadilan pidana internasional,
yakni Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court)
(ICC);
• Di Indonesia (UU 26/2000) kejahatan genosida dan kejahatan
terhadap kemanusiaan dikategorikan sebagai “pelanggaran HAM
[yang berat]”, ditangani oleh “Pengadilan HAM” (bukan “Pengadilan
• UU 39/1999 tentang HAM menetapkan definisi yuridis istilah
“pelanggaran HAM”. Namun UU tersebut tidak memuat ketentuan
tentang penyelesaian yuridisnya, dan tidaklah pula menetapkan
peradilan yang seharusnya menyelesaikannya. Tidakkah setepatnya
“Pengadilan HAM” (sebagaimana halnya, di tingkat regional,
Pengadilan HAM Eropa, Pengadilan HAM Antar‐Amerika, dan
Pengadilan HAM Afrika, yang memang menangani pelanggaran HAM
yang tercantum dalam konvensi regional HAM masing‐masing
kawasan?)
• UU 26/2000 sedang dalam proses perubahan/penggantian.
Diharapkan UU yang baru, selain mengoreks kelemahan/kesalahan
dalam UU 26/2000, menyediakan hukum sendiri, juga mengoreksi
kesalahan konseptual tersebut. Pengadilan yang bersangkutan
seyogianya diberi nama sesuai dengan yurisdiksinya, misalnya
“Undang‐Undang tentang Kejahatan Luar Biasa” atau “Undang‐
Undang tentang Kejahatan Genosida, Kejahatan terhadap
Kemanusiaan, Kejahatan Perang, dan Kejahatan Agresi”.
• UU 39/1999 tentang HAM menetapkan definisi yuridis istilah
“pelanggaran HAM”. Namun UU tersebut tidak memuat ketentuan
tentang penyelesaian yuridisnya, dan tidaklah pula menetapkan
peradilan yang seharusnya menyelesaikannya. Tidakkah setepatnya
“Pengadilan HAM” (sebagaimana halnya, di tingkat regional,
Pengadilan HAM Eropa, Pengadilan HAM Antar‐Amerika, dan
Pengadilan HAM Afrika, yang memang menangani pelanggaran HAM
yang tercantum dalam konvensi regional HAM masing‐masing
kawasan?)
• UU 26/2000 sedang dalam proses perubahan/penggantian.
Diharapkan UU yang baru, selain mengoreks kelemahan/kesalahan
dalam UU 26/2000, menyediakan hukum sendiri, juga mengoreksi
kesalahan konseptual tersebut. Pengadilan yang bersangkutan
seyogianya diberi nama sesuai dengan yurisdiksinya, misalnya
“Undang‐Undang tentang Kejahatan Luar Biasa” atau “Undang‐
Undang tentang Kejahatan Genosida, Kejahatan terhadap
PENGADILAN
HAM
REGIONAL
Pemajuan, perlindungan, dan penegakan HAM regional melalui “3C”: ** (Regional) Convention (Konvensi Regional)
** (Regional) Commission (Komisi Regional) ** (Regional) Court (Pengadilan Regional)
• Eropa
** Konvensi Eropa bagi Perlindungan Hak dan Kebebasan Dasar Manusia, 1950 beserta Protokol‐protokolnya
** Komisi HAM Eropa )dihapus pada 1998 dengan berlakunya Protokol no. 11). Sebelum dihapuskan:
*** Membahas tuduhan pelanggaran Konvensi (Pasal 24)
*** Membahas petisi perorangan , ONP, kelompok orang yang mengklaim sebagai korban pelanggaran Konvensi (Pasal 25.1)
*** Semua upaya domestik sudah dihabiskan (Pasal 26) *** Mengajukan kasus ke Pengadilan HAM Eropa
*** Setelah Komisi dihapuskan, semua pengaduan diajukan langsung ke Pengadilan HAM Eropa.
PENGADILAN
HAM
REGIONAL
Pemajuan, perlindungan, dan penegakan HAM regional melalui “3C”: ** (Regional) Convention (Konvensi Regional)
** (Regional) Commission (Komisi Regional) ** (Regional) Court (Pengadilan Regional)
• Eropa
** Konvensi Eropa bagi Perlindungan Hak dan Kebebasan Dasar Manusia, 1950
beserta Protokol‐protokolnya
** Komisi HAM Eropa )dihapus pada 1998 dengan berlakunya Protokol no. 11).
Sebelum dihapuskan:
*** Membahas tuduhan pelanggaran Konvensi (Pasal 24)
*** Membahas petisi perorangan , ONP, kelompok orang yang mengklaim
sebagai korban pelanggaran Konvensi (Pasal 25.1) *** Semua upaya domestik sudah dihabiskan (Pasal 26) *** Mengajukan kasus ke Pengadilan HAM Eropa
*** Setelah Komisi dihapuskan, semua pengaduan diajukan langsung ke
•
Pengadilan
HAM
Eropa
(Pasal
19
‐
51)
***
Pendapat
nasihat
(advisory
opinion
tentang
penafsiran
dan
penerapan
Konvensi
(Pasal
32.1)
***
Tuduhan
pelanggaran
ketentuan
Konvensi
dan
Protokol
yang
dirujuk
oleh
Negara
Pihak
(Pasal
33)
***
Pengaduan
perorangan,
ONP,
kelompok
orang
yang
mengklaim
sebagai
korban
pelanggaran
Konvensi
(Pasal
34)
dengan
ketentuan
setelah
semua
upaya
domestik
dihabiskan
(Pasal
35.1)
•
Pengadilan
HAM
Eropa
(Pasal
19
‐
51)
***
Pendapat
nasihat
(advisory
opinion
tentang
penafsiran
dan
penerapan
Konvensi
(Pasal
32.1)
***
Tuduhan
pelanggaran
ketentuan
Konvensi
dan
Protokol
yang
dirujuk
oleh
Negara
Pihak
(Pasal
33)
***
Pengaduan
perorangan,
ONP,
kelompok
orang
yang
mengklaim
sebagai
korban
pelanggaran
Konvensi
(Pasal
34)
dengan
ketentuan
setelah
semua
upaya
•
Kawasan
Amerika
(The
Americas):
** Konvensi HAM Antar‐Amerika, 1969
*** Komisi HAM dan perlindungan HAM (Pasal 41)
*** Penanganan pengaduan perorangan,
kelompok orang, atau ONP yang
mengklaim
sebagai korban pencabutan atau
pelanggaran
Konvensi (Pasal 44) dengan
ketentuan bahwa
sema upaya domestik
sudah ditempuh dan
dihabiskan
(Pasal 46.1(a) )
*** Pengadilan HAM Antar‐Amerika (Pasal 52‐73)
*** Hanya Negara Pihak dan Komisi (HAM Antar‐
Amerika berhak mengajukan kasus ke
Pengadilan HAM Antar‐Amerika (Pasal 61.1)
•
Kawasan
Amerika
(The
Americas):
** Konvensi HAM Antar‐Amerika, 1969
*** Komisi HAM dan perlindungan HAM (Pasal 41)
*** Penanganan pengaduan perorangan,
kelompok orang, atau ONP yang
mengklaim
sebagai korban pencabutan atau
pelanggaran
Konvensi (Pasal 44) dengan
ketentuan bahwa
sema upaya domestik
sudah ditempuh dan
dihabiskan
(Pasal 46.1(a) )
*** Pengadilan HAM Antar‐Amerika (Pasal 52‐73)
*** Hanya Negara Pihak dan Komisi (HAM Antar‐
Amerika berhak mengajukan kasus ke
Pengadilan HAM Antar‐Amerika (Pasal 61.1)
•
Afrika:
** Piagam Hak Asasi Manusia dan Rakyat, 1981
** Protokol pada Piagam Afrika tentang Hak Asasi Manusia tentang Pembentukan
Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Rakyat Afrika, 1998
*** Komisi Hak Asasi Manusia dan Rakyat: pemajuan dan perlindungan HAM
(Pasal 45 Piagam)
*** Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Rakyat Afrika (Protokol 1998):
**** Pelengkap mandat perlindungan Komisi (Pasal 2 Protokol)
**** Perselisihan tentang penafsiran dan penerapan Piagam (Pasal 3.1)
**** Yang berhak mengajukan kasus ke Pengadilan:
‐ Komisi
‐ Negara Pihak pengadu
‐ Negara Pihak yang diadukan
‐ Negara Pihak yang warga negaranya menjadi orban pelanggaran
HAM
• Asia:
** Tidak ada organisasi regional yang meliputi seluruh kawasan
** Hanya ada organisasi‐organisasi subregional (sperti ASEAN, SAARC)
** Tidak ada instrumen regional tentang HAM *** Tidak ada komisi regional tentang HAM *** Tidak ada pengadilan HAM regional
• ASEAN
** Piagam Asean, 2007
** Tidak ada instrumen HAM subregional ASEAN
** Komisi Antarpemerintah ASEAN tentang HAM
*** Dibentuk atas amanat Piagam ASEAN
*** Anggota‐anggotanya (10) diangkat oleh dan bertanggung jawab
kepada Pemerintah masing‐masing (tidak sebagai ahli independen)
*** Mandat:
MOHON
MAAF
ATAS
KEKURANGAN
Frrny ffiAPIO
27 JAi- tr.LO
BEBERAPA TTITT'fSAIT ENNY SOEPRAPTO TERSEBUT DI BAT'IAH IHI,
YANG DAPAT DILIHAT DI SI11]S JARINGAN KOMNAS HAM (WT'fl'T. KOMNASHAM.GO.ID}, SEKIRANYA DIMINATI, DAPAT DIGTINAKAN {JNTIK MENDALAXI
SEJT]MLAH ASPEK YANG BBRKENAAN DENGAN
T]NDANG-TJNDANG NOMOR 26 TAHT'N 2OOO TENTANG I'PENGADILAN HAK ASASI MANUSIAII
1. Pelanggaran hak asasi manusia yang berat (Menurut Undang-Undang Nomor
26 Tahun 2000 rentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (April 2003).
-2. Kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida menurut
instrumen-j-nstrumen hukum internasi-ona1 dan menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2000 (6 September 2003).
Kewenangan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sebagai
seba-gai lembaga penyelidik pelanggaran HAM yang berat dan pelaksanaannya
(The competence of Komnas HAM as the inquiry instiLqlion for grosF
vi-olatio_ns of hurnan rights and its irnplementation) (Februari 2OO4) . Towards a more .ff".tiu" pro ju=tl
Penyelldikan pelanggaran hak asasi manusia yang beraL menurut
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Perqgadilan Hak Asasi Manusia -
Bebe-(Inquiry of gross violations of human rights under Acts No. 26 of 2000 on Human Rights Court - Sone notes of experience). (Mei 2004).
Perkembangan konsep tanggung jawab atasan terhadap kejahatan paling
serius yang merupakan urusan komunitas internasional secara keseluruhan yang dilakukan oleh bawahannya (Ju1i 2004).
rmplikasi Undang-undang Lentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
(uuKKR) terhadap kewenangan penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia menurut Undang-Undang Nornor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
Hak Asasl Manusia (UU 26/2000) (12 0krober 2004).
(Draf I) Naskah Akademis Perubahan Undang-Undang Nornor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia - Usul Komisi Nasional Hak A'basi
Manusla (21 Februari 2005). q I,6ISIRAI.I 4. 7" R
g. Pelanggaran hak asasi rnanusia (HAM) yang berang menuruL Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia QU ,6/2000I dan kejahatan paling beraL yang menjadi- urusan komunitas internasi-onal secara keseluruhan menurut Statuta Pengadilan Pi-dana Internasional (statuta Roma), 1998 - Sebuah perbandingan (1s Mei 2005).
t0.
-2-KerancuJn sejumlah pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2OOl+
tentang Komlsi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang berhubungan dengan
Un-dang-Undang Nornor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
(A iumber if colfusing.proviglgns gf.Act Ng..2Z-ot 2oA4 on Truth$
Reconciliation Uommj.ssion which
Rights Uourt) (september IUU)/.
hr-lr:an&ngan . Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dalam ;,enyelidikan dan
pemeri-ksaan menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia dan penyelidikan proyustisia menurut Undang-Undang Nomor
26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (20 April 2006).
Kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusi-aan, dan kejahatan genosida
sebagal kejahatan internasional (tr{ar crimes, crimes against humanlty
and Irime if genocide as internati
Pengadllan HAM di Indonesia dan beberapa perbedaan antara Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Statuta
(Roma) Mahkamah Pidana Internasional (1 0ktober 2006).
Berbagai permasalahan dalarn Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan dampaknya pada proses penyelidikan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini (20 November 2007).
Protection of victims and witnesses of gross violaL
No. 13 of 2006 on ProtecLion of wltnesses and victims (21 November
11 12. l.J. r4. 15. qsLg-jj-a47