• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sudahkah kita memimpin ASEAN?

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Sudahkah kita memimpin ASEAN?"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Sudahkah
kita
memimpin
ASEAN?


Kepemimpinan
ASEAN
bukanlah
soal
menang
atau
kalah.
Agenda
terpenting
adalah
 bagaimana
mensejajarkan
kepentingan
kemajuan
bangsa
dan
liberalisasi
regional
melalui


kepemimpinan
efektif,
memiliki
visi
jelas,
dan
berwibawa


Pidato
 Presiden
 Yudhoyono
 dalam
 KTT
 ASEAN
 ke‐18
 di
 Jakarta
 menyepakati
 10
 butir
 kesepakatan
 tentang
 kepentingan
 strategis
 ekonomi
 dan
 politik
 diantara
 negara
 ASEAN.
 Dalam
pidatonya,
Presiden
Yudhoyono
menekankan
tiga
hal
strategis.
Pertama,
pentingnya
 menciptakan
efisiensi
dan
meningkatkan
daya
saing
regional
melalui
implementasi
National
 Single
 Window
 (NSW)
 paling
 lambat
 2012.
 Kedua,
 pentingnya
 komitmen
 mewujudkan
 Masyarakat
 Ekonomi
 ASEAN
 (ME‐ASEAN)
 tahun
 2015,
 dimana
 konektivitas
 bukan
 hanya
 dilihat
 dari
 segi
 infrastruktur
 fisik
 melainkan
 juga
 masyarakat.
 Untuk
 itu
 pembangunan
 infrastruktur
 telekomunikasi,
 transportasi,
 adalah
 bagian
 penting
 untuk
 menghubungkan
 orang
 per
 orang
 (people
 to
 people
 contact).
 Ketiga,
 pentingnya
 keamanan
 pangan
 dan
 energi.
 Komitmen
 bersama
 mengatasi
 gejolak
 harga
 pangan
 dan
 energi
 bertujuan
 untuk
 mengantisipasi
 lonjakan
 angka
 kemiskinan,
 sehingga
 sinergi
 ASEAN
 dengan
 kelompok
 regional
 sangat
 dibutuhkan.
 Sebagai
 ketua
 ASEAN,
 Indonesia
 sebagai
 negara
 dengan
 kekuatan
 ekonomi
 terbesar
 kawasan
 jelas
 memiliki
 kesempatan
 lebih
 luas
 untuk
 memanfaatkan
kerjasama
tersebut.
Peran
strategis
Indonesia
sudah
selayaknya
dibutuhkan
 bagi
 pengembangan
 nilai
 tambah
 regional,
 dalam
 arti
 lain,
 aspek
 kepemimpinan
 ekonomi
 dan
politik
di
kawasan
regional
juga
harus
disertai
visi
terarah
dan
konsistensi
pelaksanaan
 strategi
yang
tepat
dan
konkrit.
Indonesia
selayaknya
menjadi
contoh
teladan
bagi
negara‐ negara
ASEAN
lainnya,
pelopor
penciptaan
gagasan‐gagasan
baru,
dan
endorser
yang
efektif
 bagi
kemajuan
ASEAN.
Namun,
satu
hal
yang
dikhawatirkan
selama
ini
adalah
menyangkut
 kapabilitas
 Indonesia
 sendiri
 sebagai
 pemimpin
 ASEAN.
 Pertanyaan
 besarnya
 adalah
 Mampukah
 kita
 memimpin
 ASEAN
 disaat
 kondisi
 ekonomi,
 politik,
 dan
 hukum
 domestik
 masih
 tergolong
 carut
 marut?
 Mampukah
 bangsa
 kita
 bersaing
 secara
 elegan
 untuk
 meningkatkan
 harga
 diri
 bangsa?,
 dan
 Mampukah
 masyarakat
 kita
 memiliki
 kemandirian
 ekonomi,
 kedewasaan
 politik,
 dan
 intelejensia
 sosial
 yang
 cukup
 untuk
 dijadikan
 teladan
 bagi
masyarakat
ASEAN?



Ketimpangan
kapabilitas


Kesiapan
 menjadi
 pemimpin
 ASEAN
 menjadi
 ironi
 ketika
 kita
 melihat
 berbagai
 indikator
 berikut.
Pertama,
benar
bahwa
penduduk
Indonesia
adalah
yang
terbesar
di
kawasan
ASEAN
 dengan
 jumlah
 penduduk
 mencapai
 237
 juta
 jiwa
 atau
 55
 kali
 lebih
 banyak
 dibanding
 Singapura
 (4,3
 juta
 jiwa).
 Namun,
 dilihat
 dari
 pendapatan
 per
 kapita,
 Indonesia
 masih
 tertinggal
jauh.
Singapura
adalah
yang
tertinggi
(57.238
dollar
AS
per
tahun),
disusul
Brunei
 Darussalam
(42.400
per
tahun),
sedangkan
Indonesia
“hanya”
4.380
per
tahun.
Jika
dilihat


(2)

ketimpangan,
 rasio
 Gini
 kita
 masih
 tinggi
 yaitu
 0,35
 (2009)
 dan
 hampir
 60%
 masyarakat
 Indonesia
berada
pada
kategori
miskin
dan
nyaris
miskin
(indikator
pengeluaran
sampai
US$
 2
dollar
AS
per
hari).

Dari
sisi
pertumbuhan
ekonomi,
Indonesia
relatif
standar
dibanding
 negara‐negara
ASEAN
lainnya.
Tahun
2010,
Indonesia
mencatatkan
pertumbuhan
ekonomi
 6.1%
 atau
 “hanya”
 nomor
 7
 tertinggi
 di
 kawasan
 regional
 ASEAN,
 dibawah
 Singapura
 (14,5%),
Thailand
(7,8%),
Laos
(7,5%),
Filipina
(7,3%),
Malaysia
(7,2%),
dan
Vietnam
(6,8%).
 Indonesia
hanya
tumbuh
tinggi
ketika
periode
krisis
(2009)
yaitu
4,6%
atau
tertinggi
kedua
 setelah
Laos
(7,3%),
artinya
ketika
negara‐negara
ASEAN
mengalami
kontraksi
ekspor‐impor,
 kita
mengalami
pertumbuhan
karena
dukungan
konsumsi
domestik
yang
tinggi.
Sebaliknya,
 ketika
 perekonomian
 berjalan
 ke
 arah
 normal,
 kita
 jauh
 tertinggal
 oleh
 negara
 ASEAN
 lainnya.
Dari
sisi
perdagangan,
terbukti
bahwa
rasio
ekspor‐impor
Indonesia
yang
“hanya”
 45
 persen
 atau
 jauh
 dibawah
 Singapura
 (421%),
 Malaysia
 (192%),
 Vietnam
 (149%),
 dan
 Thailand
(139%),
artinya
peran
strategis
Indonesia
dalam
lintas
perdagangan
internasional
 tidak
terlalu
signifikan.



Kedua,
 salah
 satu
 agenda
 mendesak
 adalah
 perkembangan
 sektor
 jasa
 sebagai
 sektor
 strategis
 masyakarat
 ASEAN.
 Liberalisasi
 regional
 pada
 sektor
 jasa
 prioritas,
 seperti
 kesehatan,
e‐commerce,
layanan
transportasi
udara,
logistik,
dan
pariwisata,
menjadi
sia‐sia
 dan
 hanya
 mendatangkan
 kerugian
 bagi
 Indonesia
 ketika
 tidak
 disertai
 kesiapan
 dari
 sisi
 infrastruktur,
fisik
dan
non‐fisik.
Target
menteri
perdagangan
RI
untuk
meningkatkan
pangsa
 sektor
 jasa
 menjadi
 70%
 tahun
 2015
 relatif
 kurang
 relevan
 ketika
 kita
 mempertanyakan
 dimana
 posisi
 Indonesia
 dan
 seberapa
 besar
 pangsa
 yang
 dikuasai.
 Ketimpangan
 infrastruktur,
inefisiensi
birokrasi,
ketidakpastian
hukum,
dan
praktik
ekonomi
biaya
tinggi
 adalah
berbagai
hambatan
strategis
yang
dapat
mengagalkan
misi
kita
sebagai
ketua
ASEAN,
 yang
selayaknya
lebih
diuntungkan
dibanding
negara
ASEAN
lainnya.



Ketiga,
 faktor
 daya
 saing
 individu
 merupakan
 faktor
 penting
 lain
 yang
 harus
 segera
 ditindaklanjuti.
Berdasarkan
data
Human
Development
Report
2010,
Indeks
Pembangunan
 Manusia
Indonesia
berada
di
peringkat
108
dari
169
negara.
Kita
tertinggal
oleh
Singapura
 (peringkat
27),
Brunei
(37),
Malaysia
(57),
Thailand
(92),
dan
hanya
unggul
sedikit
dibanding
 Vietnam
 (113),
 artinya
 kualitas
 pertumbuhan
 ekonomi
 Indonesia
 masih
 jauh
 dibawah
 standar.
Jika
faktor
ukuran
yang
menjadi
alasan
pembenar,
kita
seharusnya
takjub
melihat
 China,
yang
bahkan
memulai
reformasi
ekonomi
lebih
lambat
dibanding
Indonesia.
Dengan
 penduduk
hampir
1,3
miliar
juta
jiwa,
China
mampu
mentransformasi
era
kelaparan
(pasca
 Mao
 Zedong)
 menjadi
 era
 kemakmuran
 (kepemimpinan
 Deng
 Xiaoping
 dan
 Hu
 Jintao),
 membentuk
 kekuatan
 ekonomi
 nomor
 2
 di
 dunia
 setelah
 AS,
 dan
 berhasil
 meningkatkan
 kualitas
manusia
(berperingkat
89).



Kesiapan
 masyarakat
 Indonesia
 menciptakan
 daya
 saing
 dan
 menghadapi
 persaingan
 regional
 masyarakat
 ASEAN
 tersandera
 oleh
 kebijakan
 ekonomi
 politik
 yang
 lebih
 menguntungkan
 elite
 minoritas
 penguasa
 dan
 para
 kapitalis
 (pengusaha).
 Kastanisasi
 pendidikan
 yang
 semakin
 masif
 meniadakan
 pilihan
 bagi
 rakyat
 kecil
 untuk
 mengakses


(3)

pendidikan
 dan
 memperbaiki
 kualitas
 intelektual
 melalui
 sistem
 pendidikan.
 Alokasi
 anggaran
APBN
mencapai
20%
setiap
tahunnya
harus
dipertanyakan
tentang
akuntabilitas,
 transparansi,
 responsibilitas,
 dan
 efektifitasnya
 mencapai
 tujuan
 pembangunan
 nasional,
 karena
 sampai
 saat
 ini,
 program
 pendidikan
 9
 tahun
 terasa
 tidak
 akan
 cukup
 membentuk
 masyarakat
berpengetahuan
Indonesia.
Disamping
itu,
kita
seakan
sulit
mematahkan
lingkar
 kemiskinan
 Nurske.
 Tingkat
 pengangguran
 yang
 masih
 relatif
 tinggi
 (8,3%)
 tentunya
 diproyeksikan
 semakin
 meningkat
 ketika
 terjadi
 miskoordinasi
 dan
 ketimpangan
 pembangunan
 ekonomi
 nasional.
 Sebagai
 catatan,
 rata‐rata
 pertumbuhan
 sektor
 non‐ tradable
selama
(2004‐2009)
adalah
8,8%
atau
jauh
lebih
tinggi
dibanding
sektor
tradable


yang
 hanya
 tumbuh
 rata‐rata
 3,3%
 per
 tahun.
 Sektor
 transportasi
 dan
 telekomunikasi
 mencatat
 pertumbuhan
 tertinggi
 yaitu
 14,6%,
 diikuti
 sektor
 listrik,
 air,
 dan
 gas
 (9,4%),
 konstruksi
(7,9%),
jasa
keuangan
dan
perusahaan
(6,7%),
perdagangan,
hotel,
dan
restoran
 (6,33%),
dan
jasa
lainnya
(6,08%).
Padahal,
sebagian
besar
tenaga
kerja
Indonesia
terfokus
 pada
sektor
pertanian
dan
industri.
Saat
ini,
sektor
pertanian
menyerap
lebih
dari
41%
dan
 sektor
industri
menyerap
14%
tenaga
kerja.

 Dilihat
dari
produktifitas,
rasio
nilai
tambah
per
pekerja,
sektor
pertanian
hanya
sebesar
0,4
 kali,
atau
jauh
dibanding
sektor
industri
dan
keuangan
yang
masing‐masing
sebesar
1,8
dan
 3,4
 kali
 (Basri,
 2011).
 Ketimpangan
 kapabilitas
 lain
 juga
 tercermin
 dari
 daya
 saing
 infrastruktur
 Indonesia,
 sebagai
 prasyarat
 efisiensi
 industri
 dan
 peningkatan
 nilai
 tambah
 yang
 berkelanjutan.
 Saat
 ini,
 peringkat
 daya
 saing
 infrastruktur
 Indonesia
 kalah
 dibanding
 negara‐negara
 lain.
 Berdasarkan
 data
 Badan
 Perencanaan
 Pembangunan
 Nasional
 (Bappenas),
 pada
 tahun
 2010
 peringkat
 daya
 saing
 infrastruktur
 Indonesia
 berada
 pada
 posisi
82,
jauh
tertinggal
dibanding
China
menduduki
posisi
50,
Thailand
35,
Malaysia
30
dan
 Korea
 Selatan
 pada
 peringkat
 18.
 Rendahnya
 peringkat
 tersebut
 karena
 anggaran
 infrastruktur
 yang
 minim.
 Dari
 kebutuhan
 pembangunan
 infrastruktur
 2010‐2014
 yang
 sebesar
Rp
1.923
triliun,
pemerintah
hanya
sanggup
membiayai
sebesar
Rp
595
triliun
atau
 21%
saja.
Dari
berbagai
indikator
diatas
sudah
terlihat
jelas
bahwa
ketimpangan
kapabilitas
 menjadi
 isu
 strategis
 yang
 harus
 dicermati
 dan
 ditindaklanjuti
 oleh
 pemerintah
 Indonesia
 demi
menjaga
efektifitas
peran
dan
wibawa
kepemimpinan
di
ASEAN.



Mencegah
kepemimpinan
(negara)
gagal


Ketika
Indonesia
dituntut
memaksimalkan
perannya
sebagai
pemimpin
negara
ASEAN,
pada
 saat
bersamaan
Indonesia
juga
harus
berjuang
menghindari
predikat
sebagai
negara
gagal.
 Kondisi
saat
ini
telah
menunjukkan
bahwa
ada
tanda‐tanda
menuju
kegagalan
negara
(failed
 state).
 Pesannya
 sederhana,
 kegagalan
 arah
 pembangunan
 adalah
 ekses
 dari
 kegagalan
 struktural
pengembangan
negara
pada
tiga
dimensi
utama
yaitu
politik,
ekonomi,
dan
sosial.
 Diskriminasi
dan
standar
ganda
praktik
hukum,
ketidakpastian
legislasi
tanah,
dan
perilaku
 aparat
 penegak
 hukum
 yang
 jauh
 dari
 standar
 integritas
 dan
 moralitas
 merupakan
 gambaran
keseharian
hukum
di
Indonesia.
Dari
sisi
ekonomi,
perangkat
ekonomi
kerakyatan
 tidak
 berfungsi
 dengan
 baik,
 berakibat
 pada
 tingginya
 penetrasi
 kepentingan
 kapitalis


(4)

sebagai
 pihak
 yang
 menjalankan
 praktik
 pengembangbiakan
 uang
 (money
 farm)
 melalui
 kerjasama
 dengan
 elite
 penguasa
 sebagai
 pengambil
 kebijakan
 publik.
 Kooptasi
 politik
 bukan
barang
langka
dan
merugikan
kepentingan
bangsa.
Tindakan
inkonstitusional
adalah
 fenomena
masif
yang
terjadi
dimana
saja,
disetiap
dimensi
kehidupan
politik,
ekonomi,
dan
 sosial.
 Moralitas
 sangat
 jauh
 dari
 filosofi
 Pancasila
 sebagai
 ide
 dasar
 bangsa.
 Minimnya
 moral
para
wakil
rakyat,
kepala
daerah,
dan
para
penegak
hukum
seakan
menjadi
momok
 menakutkan
 yang
 dapat
 membawa
 kita
 semakin
 cepat
 menuju
 kegagalan
 negara.
 Membiarkan
 negara
 tanpa
 strategi
 adalah
 sama
 dengan
 menghukum
 dan
 membunuh
 eksistensi
negara
itu
sendiri.
Kita
harus
mencegah
peralihan
sindrom
negara
gagal
kepada
 generasi
penerus,
khususnya
untuk
menghadapi
persaingan
regional
dan
global
yang
terus
 berkembang.



Berbagai
langkah
strategis
sudah
selayaknya
diarahkan
pada
tiga
cakupan
utama.
Pertama,
 penciptaan
 kemandirian
 struktural.
 Peter
 Drucker
 mengungkapkan
 bahwa
 “People
 work
 within
structure”,
artinya
peningkatan
kemampuan
dan
produktifitas
orang
dapat
dilakukan
 melalui
 pembentukan
 struktur
 yang
 tepat,
 baik
 pada
 tingkat
 korporasi
 ataupun
 birokrasi
 negara.
 Reformasi
 birokrasi
 selayaknya
 diarahkan
 pada
 peningkatan
 interkonektisitas
 dan
 sinergi
 antar
 kementrian
 dengan
 mengurangi
 sikap
 opportunistik
 masing‐masing
 kementerian.
 Perbaikan
 perangkat
 infrastruktur
 fisik
 juga
 harus
 disertai
 sistem
 pengembangan
 manusia
 (human
 development),
 pengelolaan
 pemerintah
 yang
 baik
 (good
 government),
serta
pembentukan
indikator
kinerja
berkelanjutan.



Kedua,
kedaulatan
pangan
dan
energi.
Menjadikan
liberalisasi
sebagai
solusi
adalah
benar,
 namun
 membiarkan
 liberalisasi
 mengusik
 kedaulatan
 adalah
 kekeliruan.
 Dibalik
 perdagangan
bebas,
kedaulatan
negara
adalah
yang
utama.
Tentunya,
kita
juga
sebaiknya
 bersikap
 seperti
 layaknya
 pemimpin
 dalam
 mengatasi
 permasalahan
 pangan
 dan
 energi.
 Benar
 bahwa
 penetrasi
 pertumbuhan
 penduduk
 sudah
 jauh
 melampaui
 ketersediaan
 pangan,
 dalam
 arti
 lain,
 hukum
 Malthus
 berlaku
 kembali.
 Benar
 bahwa
 energi
 tak
 terbarukan
sudah
tidak
cukup
untuk
memenuhi
kebutuhan
energi
sebagai
akibat
tingginya
 aktivitas
 sosial
 dan
 teknologi
 dunia.
 Namun,
 satu
 hal
 yang
 tidak
 boleh
 terlupakan
 adalah
 bagaimana
 kita
 menerapkan
 strategi
 agroindustri
 yang
 tepat
 dengan
 petani
 sebagai
 aktor
 utama
 pembaharuan.
 Dukungan
 pemerintah
 akan
 membantu
 proses
 adopsi
 teknologi
 pertanian
 agar
 menjadikannya
 lebih
 efisien
 dan
 produktif.
 Impor
 barang
 modal
 sebaiknya
 diarahkan
pada
barang
modal
pertanian
produktif
dan
jika
perlu
disubsidi
secara
langsung
 oleh
 pemerintah,
 sehingga
 petani
 mampu
 mandiri,
 meningkatkan
 nilai
 tambah,
 dan
 meneruskan
 generasi
 kepetaniannya.
 Selanjutnya,
 metode
 bertani,
 akses
 pasar,
 stabilisasi
 harga,
 insentif
 pertanian,
 dan
 interkoneksi
 sektor
 pertanian
 dan
 industri
 dapat
 ditindaklanjuti
 secara
 strategis
 dan
 konsisten.
 Kuncinya
 adalah
 adanya
 komitmen
 pemerintah
 mengembangkan
 infrastruktur
 fisik
 pertanian
 di
 desa
 dan
 mengajak
 mitra
 swasta
bekerjasama
secara
produktif
membangun
sistem
agrikultur
bernilai
tambah.
Selain
 itu,
 langkah
 konkit
 pemerintah
 di
 bidang
 energi,
 terbarukan
 dan
 tidak
 terbarukan,
 dibutuhkan
dalam
proses
legislasi
tanah,
prasyarat
kontrak
kerja
migas
dan
batubara,
dan


(5)

pengembangan
 energi‐energi
 terbarukan
 berbasis
 lokal
 dengan
 pemikiran
 dan
 akses
 internasional.
 Peran
 pemerintah
 dibutuhkan
 terutama
 untuk
 meninjau
 kembali
 peraturan
 dan
 kontrak
 karya
 yang
 berlaku
 agar
 lebih
 mementingkan
 kepentingan
 domestik
 dan
 kemandirian
energi.



Ketiga,
persiapan
masyarakat
Indonesia
menghadapi
persaingan
regional
dan
global.
Tidak
 ada
 kesiapan
 tanpa
 persiapan.
 Langkah
 persiapan
 harus
 disertai
 perencanaan
 dan
 implementasi
 strategi
 yang
 terstruktur
 dan
 sistematis.
 Masalah
 utama
 dari
 Indonesia
 ada
 pada
 sisi
 manusia.
 Kita
 tidak
 mengalami
 degradasi
 intelektual
 yang
 sangat.
 Jumlah
 orang
 cerdas
 dan
 pintar
 Indonesia
 luar
 biasa
 besar.
 Potensi
 penduduk
 juga
 tergolong
 besar.
 Namun,
kita
kekurangan
visi,
karakter,
dan
moralitas
pemimpin
dan
masyarakat
yang
dapat
 dijadikan
 sebagai
 model
 acuan
 (role
 model).
 Kepemimpinan
 sangat
 penting
 dalam
 hal
 ini.
 Bagaimanapun
 strateginya,
 kepemimpinan
 merupakan
 aspek
 utama
 dan
 terpenting,
 karena
tanpa
pemimpin,
organisasi
atau
negara
tak
ubahnya
seperti
lokus
tak
terdefinisi
 (undefinetly
locus).
Peran
pemimpin
lintas
eksekutif,
legislatif,
dan
yudikatif
di
tingkat
pusat
 dan
 daerah
 sangat
 krusial
 bagi
 pembentukan
 daya
 saing
 dan
 nilai
 tambah
 masyarakat,
 karena

salah
satu
tujuan
strategis
selain
konektivitas
yang
juga
tidak
boleh
dilupakan
adalah
 menciptakan
 masyarakat
 ASEAN
 yang
 berpengetahuan
 luas
 (wide
 knowledge
 society).
 Masyakarat
 ASEAN
 kini
 harus
 menjadi
 lebih
 mandiri,
 berwawasan
 luas,
 cerdas,
 serta
 memiliki
 integritas
 dalam
 proses
 pengembangan
 dan
 pembangunan
 ekonomi
 politik
 regional.
 Perkembangan
 masyarakat
 menghasilkan
 nilai
 tambah
 bagi
 tata
 kelola
 regional
 (regional
 governance)
 yang
 bermanfaat
 bagi
 semua
 pihak.
 Dunia
 juga
 tidak
 memandang
 sebelah
 mata
 kekuatan
 ASEAN,
 khususnya
 dalam
 menghadapi
 arus
 globalisasi
 dan
 perdagangan
 bebas
 global.
 Masyarakat
 ASEAN
 harus
 memiliki
 jati
 diri
 sebagai
 kekuatan
 alternatif
 selain
 blok
 klasik
 AS
 dan
 Uni
 Eropa
 serta
 Blok
 kekuatan
 dunia
 baru
 B‐R‐I‐C‐A
 (Brazil,
Russia,
India,
China,
dan
Afrika
Selatan).
Indonesia
harus
mengambil
peran
strategis
 dalam
kepemimpinannya
di
ASEAN,
jika
tidak,
wibawa
sebagai
bangsa
akan
kembali
terusik
 dan
 dipertanyakan,
 bahkan
 tragisnya
 adalah
 ketika
 mulai
 banyak
 orang
 mempertanyakan
 eksietensi
 dan
 kepantasan
 kepemimpinan
 Indonesia,
 karena
 dianggap
 gagal
 membangun
 dan
 mengambil
 simpati
 masyarakatnya
 untuk
 berjuang
 bersama
 menciptakan
 dan
 mengembangkan
daya
saing
dan
nilai
tambah
berkelanjutan.
Jangan
sampai
kita
menjadi


“Failed
 state”,
 atau
 yang
 lebih
 ironis
 lagi
 “Stateless”.
 Pemimpin
 adalah
 katalisator


pembentukan
 dan
 pengembangan
 bangsa.
Efektifitas
 kepemimpinan
 merupakan
 faktor
 kunci.
Tanpa
efektifitas,
kepemimpinan
hanyalah
slogan
tanpa
makna.



Salam
Strategi,
 Aji
Jaya
Bintara,
MSM


Referensi

Dokumen terkait

Secara teori yang telah peneliti dan penulis baca dari berbagai macam sumber bahwa jika pengawasan dan disiplin kerja dapat berjalan dengan baik dan maksimal maka

 Dalam hal pemindahan kepemilikan dari suatu group ke group lain yang perlu diperhatikan adalah group yang memiliki file, bukan group dari user si pemilik file.. Untuk

Untuk menunjang ketercapaian produk usaha inovasi cendol agar dapat berkembang secara cepat, maka kami mengupayakan ketercapaian rencana kegiatan yang telah kami

Fungsi utama dari bahasa pemrograman adalah mengubah perintah-perintah dalam bahasa manusia menjadi bahasa yang dimengerti oleh mesin, atau lebih singkatnya disebut bahasa

Uji signifikansi hipotesis asosiatif kecerdasan intelektual (X1) dan intensitas membaca Al-Qur’an (X 2 ) secara simultan berpengaruh terhadap kemampuan hafalan

UKM Heystarticmenginginkan adanya pengujian bahan baku kertas bekas semen, hal ini bertujuan untuk mengetahui kekuatan terhadap beban maksimal yang bisa dibawa

C++ merupakan bahasa pemrograman yang memiliki sifat "pemrograman berorientasi objek", Untuk menyelesaikan masalah, C++ melakukan langkah pertama

445/Menkes/Permenkes/1998, yang disebut sebagai kosmetik adalah sediaan atau campuran bahan yang dapat digunakan pada bagian luar badan (epidermis, rambut, kuku, bibir, dan