• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

0

MAHKAMAH KONSTITUSI

REPUBLIK INDONESIA

---

RISALAH SIDANG

PERKARA NOMOR 72/PUU-VIII/2010 PERKARA NOMOR 2/PUU-IX/2011 PERKARA NOMOR 3/PUU-IX/2011

PERIHAL

PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 41 TAHUN 1999 SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2004 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 41

TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN [PASAL 38 AYAT (3) DAN PASAL 50 AYAT (3) HURUF G)

PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI (PASAL

2,3,4, DAN 5)

PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2009 TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN [PASAL 58

AYAT (2)]

TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

ACARA

PENGUCAPAN PUTUSAN J A K A R T A

(2)

1

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

---

RISALAH SIDANG

PERKARA NOMOR 72/PUU-VIII/2010 PERKARA NOMOR 2/PUU-IX/2011 PERKARA NOMOR 3/PUU-IX/2011 PERIHAL

- Pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintaha Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan [Pasal 38 ayat (3) dan Pasal 50 ayat (3) huruf g]

- Pengujian Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Pasal 2,3,4, dan 5)

- Pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan [Pasal 58 ayat (4)]

PEMOHON

- H. Andi Harahap

(Perkara Nomor 72/PUU-VIII/2010)

- Deni Junaedi, Griawan Wijaya, Netty Retta Herawaty H, dan Bagus Putu Mantra (Perkara Nomor 2/PUU-IX/2011)

- R. Hamdani, C.H. dan Anisah Ambaryani (Perkara Nomor 3/PUU-IX/2011) ACARA

- Pengucapan Putusan

Kamis, 6 Oktober 2011, Pukul 19.08-20.10 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat

SUSUNAN PERSIDANGAN

1) Moh. Mahfud MD (Ketua)

2) Ahmad Fadlil Sumadi (Anggota)

3) Anwar Usman (Anngota)

4) Maria Farida Indrati (Anggota)

5) Achmad Sodiki (Anggota)

6) Harjono (Anggota)

7) Hamdan Zoelva (Anggota)

8) Muhammad Alim (Anggota)

Mardian Wibowo Panitera Pengganti

Fadzlun Budi SN Panitera Pengganti

(3)

2 Pihak yang hadir:

A. Kuasa Hukum Pemohon Perkara Nomor 72/PUU-VIII/2010: 1) Jhon Mathias

2) Mai Indrady

B. Kuasa Hukum Pemohon Perkara Nomor 2/PUU-IX/2011: 1) Agus Prabowo, S.H.

2) Taufik Hidayat 3) Aziz Suharto, S.H.

C. Pemohon Perkara Nomor 3/PUU-IX/2011: 1) R. Hamdani, C.H.

2) Anisah Ambaryani D. Pemerintah: 1) Mualimin Abdi

2) Ir. Bambang Soepijanto 3) Drh. Akhmad Junaidi 4) Drh. Pujiatmoko 5) Dr. Ir. Riswantoro 6) Pak Suharyanto 7) Tjahyo Damirin 8) Suharto 9) Gunardi Agung 10) Tri Handono 11) John Indra 12) Joko Supriyanto 13) Heny Susila Wardaya 14) Supardi

15) Abimanyu E. DPR :

(4)

1 1. KETUA: MOH. MAHFUD MD

Sidang Mahkamah Konstitusi untuk pengucapan Putusan perkara Pengujian Undang-Undang masing-masing bernomor 72/PUU-VIII/2010, Nomor 2/PUU-IX/2011 dan Nomor 3/PUU-IX/2011 dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum.

Pemohon Nomor 72 silakan perkenalkan diri dulu.

2. KUASA HUKUM PEMOHON NOMOR 72/PUU-VIII/2010: JHON MATHIAS

Terima kasih, Yang Mulia. Perkenalkan, nama kami Jhon Mathias, S.H. Kuasa Hukum dari Bupati Penajam Passer Utara. Di samping saya, silakan.

3. KUASA HUKUM PEMOHON NOMOR 72/PUU-VIII/2010: MAI INDRADY

Terima kasih, Yang Mulia. Saya Mai Indrady dari Law Office Jhon Mathias, S.H.

4. KETUA: MOH. MAHFUD MD Oke, Nomor 2 Tahun 2011.

5. KUASA HUKUM PEMOHON NOMOR 2/PUU-IX/2011: AGUS PRABOWO

Terima kasih, Yang Mulia. Nama saya Agus Prabowo, S.H. sebelah saya Taufik Hidayat dan sebelah kanan saya Pak Aziz Suharto, S.H. terima kasih.

6. KETUA: MOH. MAHFUD MD Ya, Nomor 3 Tahun 2011.

7. PEMOHON NOMOR 3/PUU-IX/2011: R. HAMDANI SIDANG DIBUKA PUKUL 19.08 WIB

(5)

2 Terima kasih, Yang Mulia. Nama saya R. Hamdani C.H dari Komite Kedaulatan Rakyat.

8. KETUA: MOH. MAHFUD MD Oke, Pemerintah?

9. PEMERINTAH: MUALIMIN ABDI

Terima kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb. 10. KETUA: MOH. MAHFUD MD

Waalaikumsalam wr. wb. 11. PEMERINTAH: MUALIMIN ABDI

Pemerintah lumayan banyak yang hadir, Yang Mulia. Akan saya sebutkan dari yang paling kanan saya Ir. Bambang Soepijanto, beliau Dirjen Planologi dari Kementerian Kehutanan, saya sendiri Mualimin Abdi dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, kemudian di samping kiri saya ada Drh. Akhmad Junaidi, beliau dari Kementerian Pertanian, kemudian di sebelahnya lagi ada Pak Drh. Pujiatmoko, beliau juga dari Kementerian Pertanian, kemudian di sebelahnya lagi ada Dr. Ir. Riswantoro, beliau sekretaris Dirjen Peternakan Kementerian Pertanian, kemudian di sebelah kirinya lagi ada Pak Suharyanto, Kepala Biro Hukum Kementerian Pertanian, Yang Mulia. Kemudian di belakang, Yang Mulia, ada, ada Pak Tjahyo Damirin, ada Pak Suharto, ada Pak Gunardi Agung dari Kementerian Kehutanan dan Kementerian Pertanian. Kemudian ada Tri Handono, ada Pak Jhon Indra, Joko Supriyanto, ada Saudara Heni Susila Wardaya, ada Pak Supardi, ada Pak Abimanyu dan kawan-kawan, Yang Mulia, dari Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Terima kasih, Yang Mulia.

12. KETUA: MOH. MAHFUD MD Baik, dari DPR?

13. DPR: AGUS TRIMOROWULAN

Terima kasih Majelis Hakim Yang kami Muliakan. Saya Agus Trimorowulan dari Biro Hukum dan Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI. Terima kasih, Yang Mulia.

(6)

3 14. KETUA: MOH. MAHFUD MD

Baik, dimulai dari Perkara Nomor 72 Tahun 2010. Bismillahirrahmaanirrahiim.

PUTUSAN

Nomor 72/PUU-VII/2010

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

[1.1] Yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:

[1.2] Nama : H. Andi Harahap, S.Sos.;

Pekerjaan : Bupati Kabupaten Penajam Paser Utara, Provinsi Kalimantan Timur;

Alamat : Jl. Provinsi Km. 9, Nipah-Nipah, Komplek Kantor Bupati Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Berdasarkan Surat Kuasa Nomor 062/JM.ASS/SK/X/2010, bertanggal 11 Oktober 2010, memberi kuasa kepada i) Jon Mathias, S.H.; ii) Drs. Muafi Sahudji, S.H.; iii) Mai Indrady, S.H.; iv) Isman Nasution, S.H.; v) Ishak Purba, S.H.; vi) Rangga Maheswara, S.H.; vii) Alfernando, S.H.; dan viii) Rachmat Isra, S.H., yaitu advokat, asisten advokat, dan penasehat hukum pada kantor “Jon Mathias, S.H. Associates” yang beralamat di Jalan Tebet Barat Dalam II Nomor 4A, Jakarta Selatan, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa;

Selanjutnya disebut sebagai --- Pemohon; [1.3] Membaca permohonan dari Pemohon;

Mendengar keterangan dari Pemohon; Memeriksa bukti-bukti dari Pemohon;

Mendengar keterangan para ahli dan saksi dari Pemohon dan Pemerintah;

Mendengar dan membaca keterangan tertulis dari Pemerintah; Membaca keterangan tertulis dari Dewan Perwakilan Rakyat; Membaca kesimpulan tertulis dari Pemohon dan Pemerintah;

(7)

4 15. HAKIM ANGGOTA: AHMAD FADLIL SUMADI

PERTIMBANGAN HUKUM

[3.1] Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan

a quo

adalah untuk menguji Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888, selanjutnya disebut UU 41/1999), yang menyatakan:

Pasal 38 ayat (3):

“Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan

pertambangan dilakukan melalui pemberian izin pinjam

pakai oleh Menteri dengan mempertimbangkan batasan luas

dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan.”

Pasal 50 ayat (3) huruf g:

“(3) Setiap orang dilarang:

g. melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau

eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa

izin Menteri;”

terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) yang menyatakan:

Pasal 1 ayat (3):

“Negara Indonesia adalah negara hukum.”

Pasal 18:

“(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah

provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota,

yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai

pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.

(2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota

mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut

asas otonomi dan tugas pembantuan.

(3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota

memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang

anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.

(4) Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala

pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara

demokratis.

(5) Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya,

kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang

ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.

(8)

5

(6) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan

peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan

tugas pembantuan.

(7) Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah

diatur dalam undang-undang.”

Pasal 18A

“(1)

Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan

pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau

antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan

undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman

daerah.

(2) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber

daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat

dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil

dan selaras berdasarkan undang-undang.”

[3.2] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan, Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih dahulu akan mempertimbangkan:

a. Kewenangan Mahkamah untuk memeriksa, mengadili dan memutus permohonan

a quo

;

b. Kedudukan hukum (

legal standing)

Pemohon untuk mengajukan permohonan

a quo;

Kewenangan Mahkamah

[3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK), serta Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076, selanjutnya disebut UU 48/2009), salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang-Undang-Undang Dasar;

[3.4] Menimbang bahwa permohonan Pemohon adalah untuk menguji konstitusionalitas norma Pasal 38 ayat (3) dan Pasal 50 ayat (3) huruf g UU 41/1999 terhadap UUD 1945, yang menjadi salah satu

(9)

6 kewenangan Mahkamah, sehingga oleh karenanya Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan

a quo

;

Kedudukan Hukum

(Legal Standing)

Pemohon

[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang, yaitu:

a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);

b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang; c. badan hukum publik atau privat; atau

d. lembaga negara;

Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:

a. kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK;

b. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;

[3.6] Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007 bertanggal 20 September 2007, serta putusan-putusan selanjutnya berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:

a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;

b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;

c kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;

(10)

7 d. adanya hubungan sebab-akibat (

causal verband

) antara kerugian

dimaksud dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;

e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;

[3.7] Menimbang bahwa berdasarkan uraian sebagaimana tersebut pada paragraf [3.5] dan paragraf [3.6] di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan mengenai kedudukan hukum (

legal

standing

) Pemohon dalam permohonan

a quo

sebagai berikut:

[3.8] Menimbang bahwa pada pokoknya Pemohon mendalilkan sebagai lembaga negara, yaitu Bupati Kepala Daerah (Kepala Eksekutif Daerah) Kabupaten Penajam Paser Utara, Provinsi Kalimantan Timur, memiliki hak konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 18 dan Pasal 18A UUD 1945, dan dirugikan akibat berlakunya ketentuan Pasal 38 ayat (3) dan Pasal 50 ayat (3) huruf g UU 41/1999;

Pemohon mendalilkan memiliki hak konstitusional untuk mengurus daerahnya berdasar asas otonomi yang memungkinkan daerah untuk membangun, membuka lapangan kerja, serta meningkatkan pendapatan daerah yang pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat kabupaten. Terkait dengan pemanfaatan sumber daya alam, dalam hal ini kehutanan, Pemohon mendalilkan dirugikan oleh Pasal 38 ayat (3) dan Pasal 50 ayat (3) huruf g UU 41/1999 karena pasal

a quo

menentukan bahwa izin pinjam pakai penggunaan kawasan hutan merupakan kewenangan Menteri. Menurut Pemohon, kewenangan Menteri sebagaimana diatur dalam Pasal 38 ayat (3) dan Pasal 50 ayat (3) huruf g UU 41/1999 tersebut bertentangan dengan kewenangan pemerintah daerah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai amanat UUD 1945;

Pasal 38 ayat (3) UU 41/1999 mengakibatkan Pemohon tidak dapat mengelola sendiri sumber daya alam, khususnya pertambangan, yang berada di daerah kewenangan Pemohon, sehingga menghambat investasi bidang pertambangan sebagai salah satu sumber pendapatan asli daerah;

Menurut Mahkamah, dari perspektif kewenangan, pemerintahan daerah memiliki dua kedudukan. Kedudukan pertama; adalah sebagai lembaga yang menjalankan pemerintahan di daerah (

bestuur

organ

), yaitu pemerintahan daerah merupakan perpanjangan tangan

pemerintah pusat dalam menjalankan pemerintahan. Dalam konteks perkara ini, kewenangan pemberian izin pertambangan adalah ranah

(11)

8 eksekutif, sehingga memang berkaitan langsung dengan posisi Pemohon sebagai Kepala Daerah, tanpa melibatkan kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;

Kedudukan kedua; dari perspektif pengaturan (

regelen

), pemerintahan daerah yang terdiri dari pemerintah daerah dan DPRD merupakan lembaga negara yang diberi kewenangan untuk melakukan pengaturan (

regeling organ

) dalam batas-batas tertentu; Perizinan merupakan pintu masuk bagi investasi berupa pengelolaan sumber daya alam, yang manfaatnya berhubungan langsung dengan masyarakat daerah bersangkutan. Dengan demikian, secara

prima

facie,

terdapat potensi kerugian konstitusional bagi Pemohon terkait

perizinan, yang timbul karena adanya ketentuan yang dimohonkan pengujian dimaksud;

[3.9] Menimbang bahwa dengan memperhatikan akibat yang dialami oleh Pemohon dikaitkan dengan hak konstitusional Pemohon, menurut Mahkamah, terdapat hubungan sebab akibat (

causal verband

) antara kerugian dimaksud dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian, sehingga Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan

a quo

;

[3.10] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan

a quo

, dan Pemohon memiliki kedudukan hukum (

legal standing

) maka selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan;

16. HAKIM ANGGOTA: HAMDAN ZOELVA

Pendapat Mahkamah

Pokok Permohonan

[3.11] Menimbang bahwa pokok permohonan Pemohon adalah pengujian Pasal 38 ayat (3) dan Pasal 50 ayat (3) huruf g UU 41/1999 terhadap UUD 1945;

[3.12] Menimbang bahwa berdasarkan dalil-dalil permohonan Pemohon, keterangan Pemerintah, keterangan DPR, dan fakta yang terungkap di persidangan, permasalahan hukum yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah adalah mengenai i) hubungan kementerian negara dengan pemerintahan daerah; ii) pertambangan dan kehutanan; dan iii) kewenangan perizinan kehutanan. Untuk menjawab permasalahan hukum tersebut Mahkamah memberikan pertimbangan sebagai berikut:

(12)

9 [3.13] Menimbang bahwa Pasal 17 UUD 1945 mengatur tentang

kementerian negara. Ayat (1) menyatakan, “Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara”. Ayat (3) menyatakan, “Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan”. Ayat (4) menyatakan, “Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara diatur dalam undang-undang”. Selanjutnya ketentuan dalam UUD 1945 tersebut dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, yang menyatakan bahwa Kementerian Kehutanan merupakan institusi kementerian yang mempunyai tugas menyelenggarakan urusan tertentu dalam pemerintahan untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara, yang dalam hal ini membidangi urusan kehutanan. Kementerian tersebut dalam melaksanakan tugasnya, menyelenggarakan fungsi: perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidangnya, pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawabnya; pengawasan atas pelaksanaan tugas di bidangnya; pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan Kementerian di daerah; dan pelaksanaan kegiatan teknis yang berskala nasional [vide Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Kementerian Negara];

[3.14] Menimbang bahwa sumber daya alam, dalam hal ini sumber daya hutan adalah termasuk kekayaan alam yang dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana dimaksud oleh Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 menyatakan penguasaan negara berarti bahwa negara berwenang untuk mengurus, mengatur, mengelola serta mengawasi pengelolaan dan pemanfaatan kekayaan alam bagi kemakmuran rakyat. Pengurusan, pengaturan serta pengelolaan kekayaan alam tersebut harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam konstitusi, yaitu:

1. Prinsip untuk sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat; 2. Dasar demokrasi ekonomi dengan prinsip:

a. Kebersamaan;

b. Efisiensi berkeadilan; c. Berkelanjutan;

d. Berwawasan lingkungan; e. Kemandirian;

f. Keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional; [3.15] Menimbang bahwa pembangunan ekonomi meliputi pengelolaan dan

pemanfaatan sumber daya yang terkandung dalam hutan, sehingga negara berwenang mengatur pengelolaan dan pemanfaatan hutan dalam rangka menjamin dilaksanakannya amanat dan prinsip-prinsip yang digariskan konstitusi. Sehubungan dengan pengelolaan hutan,

(13)

10 negara juga harus menjamin bahwa pengelolaan sumber daya alam untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat memperhatikan wawasan lingkungan dan pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan; Upaya menjamin pemanfaatan sumber daya hutan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan tidak bisa sepenuhnya diserahkan kepada pemerintah daerah, karena pemerintah pusat yang paling mengetahui beban dan pengaruh ekosistem hutan secara keseluruhan antarwilayah pemerintah daerah yang tidak bisa dipisah-pisahkan menurut kawasan/wilayah pemerintahan daerah masing-masing. Jika seluruh kewenangan pengelolaan kawasan hutan diserahkan kepada daerah maka potensial terjadi ketidakseimbangan pengelolaan lingkungan antardaerah yang dapat merusak ekosistem;

Apalagi, menurut keterangan pemerintah, sebagian besar kegiatan pertambangan merupakan kegiatan tambang terbuka yang secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap lingkungan sekitarnya. Pada akhirnya hal tersebut mengakibatkan terjadinya degradasi hutan, erosi, dan banjir, terutama pada daerah hilir. Kegiatan pertambangan akan berdampak buruk bagi kelangsungan ekosistem hutan, sehingga untuk menjamin terselenggaranya pembangunan berwawasan lingkungan dan berkelanjutan sebagaimana dimaksud Pasal 33 ayat (4) UUD 1945, negara harus dapat tetap mengontrol dan mengawasi proses eksploitasi sumber daya alam;

Hutan bukan hanya sekadar kawasan yang memiliki nilai produksi, namun juga bagian dari ekosistem, bahkan bagian dari kehidupan sosial serta kebudayaan dari masyarakatnya. Kerusakan hutan mempengaruhi kualitas udara secara keseluruhan dan berpengaruh juga terhadap kualitas tanah dan penyerapan air yang berdampak selain kepada masyarakat lokal di kawasan hutan tersebut juga kepada masyarakat di kawasan/wilayah lain. Dengan demikian, permasalahan kehutanan di Indonesia merupakan permasalahan yang bersifat lintas batas dan tidak dapat dibatasi hanya pada satu kawasan saja;

[3.16] Menimbang bahwa isu mengenai pertambangan, kehutanan, dan pengelolaan sumber daya lainnya tidak dapat dilepaskan dari permasalahan pelestarian lingkungan dan konsep pembangunan lingkungan berkelanjutan yang diamanatkan oleh Pasal 33 ayat (4) UUD 1945. Isu pengelolaan kehutanan bukan sekadar permasalahan kewenangan administratif (pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah) namun merupakan permasalahan pengelolaan lingkungan dan keseimbangan ekosistem. Pengelolaan

(14)

11 lingkungan yang salah dan tidak terencana dengan baik akan berdampak pada berkurangnya ketahanan lingkungan dan berdampak pada menurunnya kualitas dan kuantitas kekayaan alam di Indonesia, sehingga dalam pelaksanaannya diperlukan kehati-hatian dan perencanaan yang matang. Untuk menjamin pemenuhan kebutuhan generasi yang akan datang akan sumber daya alam, pengelolaan sumber daya alam di Indonesia harus mempertimbangkan prinsip berkelanjutan (

the

just saving

principles

);

[3.17] Menimbang Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 menyatakan, “Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat”; dan ayat (7) menyatakan, “Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang”. Berdasarkan ketentuan tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa instrumen izin yang kewenangan pemberiannya diberikan kepada Menteri sebagaimana diatur pada Pasal 38 ayat (3) UU 41/1999 bukanlah berarti menyimpangi prinsip otonomi daerah atau mengambil kewenangan daerah, tetapi merupakan instrumen pengendalian yang mengarahkan pengelolaan pertambangan pada kawasan hutan yang tidak semata-mata berorientasi pada kepentingan ekonomi, tetapi juga untuk kepentingan sosial dan kepentingan lingkungan;

Dalam pelaksanaan pengendalian dibutuhkan sanksi yang tegas, sehingga keberadaan Pasal 50 ayat (3) UU 41/1999 adalah sangat relevan dalam rangka pelaksanaan prinsip penguasaan oleh negara dalam pengertian pengawasan terhadap bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya [vide Putusan 001-021-022/PUU-I/2003 bertanggal 15 Desember 2004, Putusan Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 bertanggal 19 Juli 2005, dan Putusan Nomor 008/PUU-III/2005 bertanggal 19 Juli 2005]. Dalam konteks yang demikian, penegakan hukum dan perlindungan terhadap sumber daya alam dan kelestarian alam adalah sangat penting. Dengan demikian, norma Pasal 50 ayat (3) tidak dapat dipisahkan dengan norma Pasal 38 ayat (3) UU 41/1999 sehingga pembahasan mengenai konstitusionalitasnya sangat terkait;

Menurut Mahkamah, dalil Pemohon yang menyatakan bahwa ketentuan

a quo

menciptakan ketidakpastian hukum adalah tidak beralasan, karena ketentuan norma pada UU 41/1999 sudah jelas menentukan kewenangan pemerintah, yang dalam hal ini dilakukan oleh Menteri Kehutanan. Pasal 66 UU 41/1999 tidak tepat apabila dipandang sebagai ketidakserasian peraturan perundang-undangan, karena merupakan norma yang bersifat akomodatif sehingga

(15)

12 pemerintah dapat menyerahkan sebagian kewenangan penyelenggaraan kehutanan kepada pemerintah daerah demi meningkatkan efektivitas pengurusan hutan dan penyelenggaraan otonomi daerah;

Dalam rangka peningkatan efektifitas pengurusan hutan dan penyelenggaraan otonomi daerah, pemerintah juga wajib memperhatikan prinsip kelestarian lingkungan dan dampaknya terhadap kehidupan sosial di kawasan hutan tersebut. Penyelenggaraan kehutanan oleh pemerintah daerah tidak boleh mengorbankan kepentingan yang lebih luas, yaitu keseimbangan ekosistem yang berdampak pada seluruh kawasan negara melampaui batas-batas administratif pemerintahan;

[3.18] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan mekanisme perizinan yang dilimpahkan kepada Pemerintah, dalam hal ini Menteri Kehutanan, menciptakan permasalahan dalam bentuk sulitnya pemberdayaan kawasan hutan oleh pemerintah daerah dan lebih jauh menghambat pembangunan di daerah;

Terhadap dalil tersebut, Mahkamah menilai bahwa permasalahan terkait mekanisme perizinan yang memerlukan waktu lama merupakan persoalan implementasi norma, bukan merupakan permasalahan konstitusionalitas norma. Apabila memang ada persoalan dalam birokrasi perizinan, maka merupakan tugas Pemerintah untuk melakukan perbaikan dalam sistem perizinan di dalam birokrasinya sehingga pengelolaan kawasan hutan di daerah dapat dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip yang sudah ditentukan oleh konstitusi dan UU 41/1999;

[3.19] Menimbang bahwa Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 mengamanatkan, perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Prinsip-prinsip ini harus diimplementasikan termasuk dalam pengelolaan kehutanan dan sumber daya di lingkungan hutan;

Dalam melaksanakan kewenangan atas pengelolaan kehutanan, prinsip efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan, membutuhkan suatu perencanaan yang komprehensif oleh pemerintah pusat, terutama terkait kegiatan penambangan di kawasan kehutanan yang mempunyai dampak luas terhadap lingkungan, keberlanjutan sumber daya alam, serta kehidupan sosial masyarakat di kawasan hutan tersebut;

(16)

13 Di samping itu, pelaksanaan kewenangan Pemerintah dalam

melaksanakan prinsip-prinsip ekonomi dimaksud juga harus konsisten dengan perencanaan penataan ruang yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, khususnya Pasal 8 yang pada pokoknya mengatur kewenangan Pemerintah dalam penyelenggaraan penataan ruang. Pengaturan tersebut menegaskan bahwa dalam pengelolaan kawasan kehutanan, peran dan kewenangan Pemerintah tidak dapat dikesampingkan, baik dalam pengaturan, pembinaan, dan pengawasan. Pemerintah berwenang menentukan rencana peruntukan bagi suatu kawasan kehutanan sebagai kawasan hutan produksi atau konservasi, bahkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, apabila suatu kawasan sudah ditetapkan sebagai kawasan konservasi yang hanya dapat menjadi Wilayah Usaha Pertambangan Khusus, perizinan eksplorasinya mutlak menjadi wewenang Pemerintah (vide Pasal 74 UU 4/2009);

[3.20] Menimbang bahwa dari uraian di atas, norma yang berisi kewenangan pemerintah untuk memberi izin, dalam hal ini Menteri Kehutanan, penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan, dengan mempertimbangkan fungsi hutan baik sebagai penyeimbang ekosistem dan bagian dari kehidupan sosial dan budaya masyarakat setempat, maupun dampak pengelolaan sumber daya di kawasan kehutanan yang bersifat lintas sektoral dan lintas daerah adalah norma yang tepat. Dengan demikian Pemerintah berperan mutlak dalam melakukan pengawasan dan pengendalian sesuai dengan prinsip hak menguasai oleh negara dan prinsip-prinsip penyelenggaraan perekonomian nasional menurut konstitusi. Selain itu prinsip otonomi daerah dan efektivitas pengurusan sudah diakomodasi oleh ketentuan Pasal 66 UU 41/1999, sehingga Pasal 38 ayat (3) dan Pasal 50 ayat (3) huruf g UU 41/1999 tidak bertentangan dengan UUD 1945;

17. KETUA: MOH. MAHFUD MD

4. KONKLUSI

Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan:

[4.1] Mahkamah berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan

a quo

;

[4.2] Pemohon memiliki kedudukan hukum (

legal standing

) untuk mengajukan permohonan

a quo

;

[4.3] Pokok permohonan Pemohon tidak terbukti menurut hukum.

(17)

14 Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);

5. AMAR PUTUSAN Mengadili,

Menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya.

Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Moh. Mahfud MD, selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Hamdan Zoelva, Maria Farida Indrati, Ahmad Fadlil Sumadi, Anwar Usman, Harjono, M. Akil Mochtar, dan Muhammad Alim, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Rabu tanggal dua puluh delapan bulan September tahun dua ribu sebelas yang diucapkan dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum pada hari Kamis tanggal enam bulan Oktober tahun dua ribu sebelas oleh delapan Hakim Konstitusi yaitu Moh. Mahfud MD, selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Hamdan Zoelva, Maria Farida Indrati, Ahmad Fadlil Sumadi, Anwar Usman, Harjono, dan Muhammad Alim,, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Mardian Wibowo sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh Pemohon/Kuasanya, Pemerintah atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili.

Putusan berikutnya adalah Putusan Nomor 2. Bismillahirrahmaanirrahiim.

PUTUSAN

Nomor 2/PUU-IX/2011

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

[1.1] Yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945, yang diajukan oleh:

(18)

15 [1.2] 1. Nama : Deni Juhaeni;

Pekerjaan : Wiraswasta;

Alamat : Kelurahan Tugu, RT. 004 RW. 005, Cimanggis, Kota Depok;

Selanjutnya disebut sebagai --- Pemohon I; 2. Nama : I Ketut Griawan Wijaya;

Pekerjaan : Wiraswasta (Pedagang Daging Babi); Alamat : Banjar Umahanyar, Kelurahan Darmasaba, Kecamatan Abiansemai, Kabupaten Badung

- Bali;

Selanjutnya disebut sebagai --- Pemohon II; 3. Nama : Netty Hetta Herawaty Hutabarat;

Pekerjaan : Wiraswasta (Pedagang Daging Anjing); Alamat : Pondok Mitra Lestari 15/12, RT. 007 RW.

013, Kelurahan Jatirasa, Kecamatan Jatiasih, Kota Bekasi;

Selanjutnya disebut sebagai --- Pemohon III; 4. Nama : Bagus Putu Mantra;

Pekerjaan : Wiraswasta (Peternak Babi); Alamat : BR Sukajati, Kelurahan Taman, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung - Bali;

Selanjutnya disebut sebagai --- Pemohon IV;

Berdasarkan Surat Kuasa Khusus dari Pemohon III tertanggal 3 September 2010 memberi Kuasa Khusus kepada 1. Agus Prabowo, S.H., M.H.; 2. Taufik Hidayat, S.H.; 3. Rusdin Ismail, S.H.; 4. I Made Astawa, S.H., LL.M., M. KN.; dan 5. Aji Suharto, S.H. Semuanya para Advokat/para Penasehat Hukum pada Kantor SABATO, yang beralamat di Jalan HR Rasuna Said Kav. X-2 Nomor 4, Jakarta Selatan, serta berdasarkan Surat Kuasa Khusus dari Pemohon I, Pemohon II, dan Pemohon IV tertanggal 4 Oktober 2010 memberi Kuasa Khusus kepada 1. Agus Prabowo, S.H., M.H.; 2. Taufik Hidayat, S.H.; 3. Rusdin Ismail, S.H.; 4. I Made Astawa, S.H., LL.M., M. KN.; dan 5. Aji Suharto, S.H. Semuanya para Advokat/para Penasehat Hukum pada Kantor SABATO, yang beralamat di Jalan Bambumas Selatan III P/13 Pondok Bambu, Jakarta Timur - 13430, baik bertindak sendiri-sendiri maupun bersama-sama;

Selanjutnya disebut sebagai --- para Pemohon;

(19)

16 [1.3] Membaca permohonan dari para Pemohon;

Mendengar keterangan dari para Pemohon;

Mendengar dan membaca keterangan tertulis dari Pemerintah; Membaca keterangan tertulis dari Dewan Perwakilan Rakyat; Mendengar keterangan Ahli dari para Pemohon dan Pemerintah; Memeriksa bukti-bukti dari para Pemohon;

Membaca kesimpulan tertulis dari para Pemohon; Membaca kesimpulan tertulis dari Pemerintah; 18. HAKIM ANGGOTA: MARIA FARIDA INDRATI

PERTIMBANGAN HUKUM

[3.1] Menimbang bahwa permasalahan hukum yang diajukan oleh para Pemohon adalah mengenai pengujian Pasal 58 ayat (4) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 84 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5015, selanjutnya disebut UU 18/2009) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD1945);

[3.2] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan, Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih dahulu akan mempertimbangkan kewenangan Mahkamah untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan

a quo

dan kedudukan hukum (

legal standing

) para Pemohon:

Kewenangan Mahkamah

[3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang disebutkan lagi dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226) selanjutnya disebut UU MK

juncto

Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945;

(20)

17 [3.4] Menimbang bahwa karena permohonan

a quo

adalah menguji

Undang-Undang terhadap UUD 1945,

in casu

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan terhadap UUD 1945, maka Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili dan memutus permohonan

a quo

;

Kedudukan Hukum (

Legal Standing

) para Pemohon

[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat bertindak sebagai Pemohon dalam pengujian suatu Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian, yaitu:

a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);

b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;

c. badan hukum publik atau privat; atau d. lembaga negara;

Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:

a. kedudukannya sebagai para Pemohon sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK;

b. adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;

[3.6] Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/ 2005, bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007, bertanggal 20 September 2007, serta putusan-putusan selanjutnya telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:

a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;

b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;

(21)

18 c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut

harus bersifat spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;

d. adanya hubungan sebab akibat (

causal verband

) antara kerugian dimaksud dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;

e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;

[3.7] Menimbang bahwa berdasarkan uraian sebagaimana tersebut pada paragraf [3.5] dan paragraf [3.6] di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan mengenai kedudukan hukum (

legal

standing

) para Pemohon dalam permohonan

a quo

sebagai

berikut:

[3.7.1] Para Pemohon mendalilkan:

• Pemohon I adalah perorangan pedagang telur ayam yang

melakukan kegiatan untuk mencari nafkah guna mempertahankan kelangsungan hidup dan kehidupannya yang dijamin oleh Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28A UUD 1945 dengan cara menjual eceran atau kiloan kepada pedagang kecil untuk dikonsumsi oleh masyarakat umum. Para Pemohon dirugikan hak konstitusionalnya;

• Pemohon II adalah perorangan pedagang daging babi sebagai pelaku usaha yang menjual produk hewan dalam bentuk daging babi yang secara

notoir feit

masuk dalam kategori produk hewan yang tidak halal sehingga dapat dipastikan tidak akan mungkin mendapatkan sertifikat halal maka dengan demikian hak konstitusional Pemohon II yang dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 telah dilanggar yang berakibat Pemohon II berpotensi tidak dapat lagi menjalankan usahanya;

• Pemohon III adalah perorangan pedagang daging anjing atau pemilik Lapo yang melakukan kegiatan usaha di daerah Kampung Melayu yang menjual makanan berbahan baku daging anjing yang telah diolah menjadi makanan siap saji berupa daging panggang dan sangsang untuk dikonsumsi oleh masyarakat umum, guna mempertahankan kelangsungan hidup dan kehidupannya yang dijamin Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28A UUD 1945 yang mana barang yang dijual tersebut tidak dilarang oleh Undang-Undang;

(22)

19 • Pemohon IV adalah perorangan peternak babi dan sebagai

pelaku usaha yang menjual produk hewan babi yang secara

notoir feit

masuk dalam kategori produk hewan yang tidak halal sehingga dapat dipastikan tidak akan mungkin mendapatkan sertifikat halal maka dengan demikian hak konstitusi Pemohon IV yang dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 telah dilanggar yang berakibat Pemohon IV tidak dapat menjalankan usahanya.

[3.7.2] Bahwa Pasal 27 ayat (2), Pasal 28A, Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 masing-masing menyatakan sebagai berikut:

Pasal 27 ayat (2) menyatakan, “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan

”;

Pasal 28A menyatakan, “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya

”;

Pasal 28D ayat (1) menyatakan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum

”;

Pasal 28I ayat (2) menyatakan, “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu

”;

[3.8] Menimbang bahwa berlakunya UU 18/2009, khususnya Pasal 58 ayat (4) yang menyatakan, “Produk hewan yang diproduksi di dan/atau dimasukan ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk diedarkan wajib disertai sertifikat veteriner dan sertifikat halal” berkaitan dengan frasa “

wajib”,

hal tersebut telah merugikan hak konstitusional para Pemohon yang diatur dalam UUD 1945 khususnya Pembukaan UUD 1945, Pasal 27 ayat (2), Pasal 28A, Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945;

Dengan demikian, menurut Mahkamah para Pemohon sebagai perorangan warga negara Indonesia, pedagang telur, pedagang daging babi, pedagang daging anjing, dan peternak babi, yang mengkualifikasikan diri sebagai warga negara Indonesia menganggap mempunyai kepentingan dan hak konstitusional yang diberikan oleh Pasal 27 ayat (2), Pasal 28A, Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 serta UU MK untuk melakukan pengujian Pasal 58 ayat (4) UU 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan;

(23)

20 [3.9] Menimbang bahwa dengan mempertimbangkan akibat yang potensial

dialami oleh para Pemohon dikaitkan dengan hak konstitusional para Pemohon, menurut Mahkamah,

prima facie,

para Pemohon memenuhi syarat kedudukan hukum (

legal standing

) untuk mengajukan permohonan pengujian Pasal 58 ayat (4) UU 18/2009, terhadap UUD 1945;

[3.10] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan

a quo,

dan para Pemohon memiliki kedudukan hukum (

legal standing

), selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan;

19. HAKIM ANGGOTA: MUHAMMAD ALIM Pendapat Mahkamah

[3.11] Menimbang bahwa Pasal 58 ayat (4) UU 18/2009 dimohonkan pengujian oleh para Pemohon dengan alasan menurut Pemohon I sebagai pedagang telur ayam yang dalam sehari menjual sekitar 2.250 butir telur ayam kalau akan mengurus 2.250 sertifikat veteriner setiap hari tidak akan sanggup sehingga usaha menjual telur sebagai mata pencaharian pokok untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup dan kehidupannya akan terhalang dan merugikan dirinya, padahal hak untuk mempertahankan hidup dan kehidupan dijamin oleh Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28A UUD 1945. Menurut Pemohon II sebagai seorang pedagang daging babi, pelaku usaha yang menjual produk hewan dalam bentuk daging babi yang secara nyata masuk kategori produk hewan yang tidak halal sehingga dapat dipastikan tidak akan mungkin mendapatkan sertifikat halal, maka dengan demikian hak konstitusional Pemohon II yang dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I UUD 1945 telah dilanggar yang berakibat Pemohon II berpotensi tidak dapat lagi menjalankan usahanya. Pemohon III sebagai perseorangan pedagang daging anjing yakni penjual makanan berbahan baku daging anjing yang dikelola menjadi makanan siap saji berupa daging panggang dan sangsang untuk dikonsumsi oleh masyarakat umum, usaha tersebut adalah untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan kehidupannya yang dijamin oleh Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28A UUD 1945. Pemohon IV sebagai perseorangan peternak babi dan yang termasuk kategori produk hewan yang tidak halal dan oleh karena itu tidak mungkin mendapatkan sertifikat halal dengan akibat hak konstitusional Pemohon IV yang dijamin oleh Pasal 28D ayat (1)

(24)

21 dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 dilanggar yakni dengan tidak dapatnya Pemohon IV menjalankan usahanya;

[3.12] Menimbang bahwa Mahkamah memandang perlu mencantumkan norma Pasal 58 ayat (4) UU 18/2009 yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon dan pasal-pasal UUD 1945 yang menjadi pengujian sebagai berikut:

Undang-Undang 18/2009: Pasal 58

(4) ”Produk hewan yang diproduksi di dan/atau dimasukkan ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk diedarkan wajib disertai sertifikat veteriner dan sertifikat halal”

Undang-Undang Dasar 1945: Pasal 27

(2) “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan

”;

Pasal 28A

Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya

;

Pasal 28D

(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum

;

[3.13] Menimbang bahwa menurut Pemerintah permohonan para Pemohon sangat prematur dan tergesa-gesa, karena ketentuan Pasal 58 ayat (4) Undang-Undang

a quo

memerlukan pengaturan lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Pertanian. Pasal 58 ayat (6) UU 18/2009 menyatakan, ”Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri Pertanian”;

Bahwa sebelum dikeluarkannya Peraturan Menteri Pertanian sebagai pelaksanaan Pasal 58 ayat (6) tersebut, berdasarkan Pasal 95 UU 18/2009 menyatakan, ”Semua peraturan pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan di bidang peternakan dan kesehatan hewan yang telah ada, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini, tetap berlaku sampai dengan dikeluarkannya peraturan pelaksanaan yang baru yang ditetapkan berdasarkan undang-undang ini” sehingga sebelum keluarnya peraturan pelaksanaan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 58 ayat (6) tersebut,

(25)

22 belum dapat diketahui adanya kerugian para Pemohon sehubungan dengan pasal yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon;

Selanjutnya Pemerintah mengemukakan bahwa berdasarkan Undang-Undang Peternakan yang lama yaitu Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2824) telah dikeluarkan:

1. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1983 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner;

2. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 295/Kpts/TN.240/5/1989 tentang Pemotongan Babi dan Penanganan Babi dan Hasil Ikutannya;

3. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 413/Kpts/TN.310/7/1992 tentang Pemotongan Hewan Potong dan Penanganan Daging dan Hasil Ikutannya;

4. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 381/Kpts/OT.140/10/2005 tentang Pedoman Sertifikasi Kontrol Veteriner Unit Usaha Pangan Asal Hewan;

5. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 20/Permentan/OT.140/4/2009 tentang Pemasukan dan

Pengawasan Peredaran Karkas, Daging dan Jeroan dari Luar Negeri;

6. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 13/Permentan/OT.140/1/2010 tentang Persyaratan Rumah

Potong Hewan Ruminansia dan Unit Penanganan Daging

(

Meat Cutting Plant

)

;

7. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 14/Permentan/OT.140/2/2008 tentang Monitoring dan

Surveilans Residu

dan Cemaran Mikroba pada Produk Hewan;

8. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 15/Permentan/OT.140/2/2008 tentang Pedoman Monitoring

dan

Surveilans Residu

dan Cemaran Mikroba pada Produk

Hewan;

9. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 306/Kpts/TN.330/4/1994 tentang Pemotongan Unggas dan Penanganan Daging Unggas serta Hasil Ikutannya;

[3.14] Menimbang bahwa untuk permohonan Pemohon I yang mempersoalkan sertifikat veteriner, Mahkamah berpendapat memang tidak mungkin untuk membuat sertifikat atas beribu-ribu, beratus ribu, bahkan berjuta butir telur setiap hari, baik yang dijual oleh Pemohon I maupun yang dijual oleh penjual lainnya apabila satu sertifikat veteriner untuk setiap butir telur. Kesulitan tidak hanya

(26)

23 bagi Pemohon I yang tak sanggup mengurus sertifikat sebanyak itu, juga Pemerintah tidak akan sanggup membuat beribu-ribu, beratus ribu, bahkan berjuta sertifikat veteriner setiap harinya. Untuk kesulitan yang menjadi keberatan Pemohon I tersebut telah dijawab oleh Pemerintah dalam keterangannya bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1983 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3253)

dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 13/Permentan/OT.140/1/2010 tentang Persyaratan Rumah Potong

Hewan Ruminansia dan Unit Penanganan Daging (

Meat Cutting

Plant)

dapat disimpulkan bahwa sertifikasi veteriner terhadap telur

dilakukan terhadap sistem produksi, penyimpanan dan pengangkutan, tidak terhadap telur butir perbutir

(

vide Keterangan Pemerintah halaman 13 huruf a);

[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, kekhawatiran Pemohon I tidak akan terjadi karena pemberian sertifikat veteriner tersebut tidak dipersyaratkan untuk setiap butir telur melainkan hanya dipersyaratkan terhadap sistem produksi, penyimpanan, dan pengangkutan. Dengan demikian Mahkamah menilai dalil permohonan Pemohon I tidak beralasan;

[3.16] Menimbang bahwa untuk permohonan Pemohon II, Pemohon III, dan Pemohon IV, yang mengemukakan masalah sertifikat halal, Mahkamah berpendapat bahwa dari redaksi Pasal 58 ayat (4) UU 18/2009 yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon ada dua kewajiban yang diharuskan bagi orang-orang yang berhubungan dengan produk hewan yang diproduksi di dan/atau dimasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yaitu sertifikat veteriner dan sertifikat halal. Sertifikat veteriner adalah surat keterangan yang dikeluarkan oleh dokter hewan yang berwenang yang menyatakan bahwa produk hewan telah memenuhi persyaratan keamanan, kesehatan dan keutuhan. Adapun sertifikat halal adalah surat keterangan yang dikeluarkan oleh lembaga penjamin produk halal di Negara Kesatuan Republik Indonesia [vide Penjelasan Pasal 58 ayat (4) UU 18/2009];

[3.17] Menimbang bahwa menurut Mahkamah dari dua kewajiban tersebut, yang pertama untuk melindungi kesehatan masyarakat supaya tidak mengkonsumsi produk hewan yang tidak sehat, dan yang kedua adalah untuk melindungi umat dari kemungkinan memperoleh kemudian mengkonsumsi produk hewan yang tidak halal;

(27)

24 [3.17.1] Bahwa sertifikat veteriner sebagai upaya pencegahan

agar masyarakat tidak mengkonsumsi produk hewan yang tidak sehat sesungguhnya merupakan suatu bentuk pelayanan kesehatan, dalam hal ini merupakan suatu tindakan preventif dari kemungkinan tertular penyakit yang terdapat pada produk hewan yang tidak aman, tidak sehat, dan tidak utuh. Hak memperoleh pelayanan kesehatan termasuk dalam bentuk tindakan preventif adalah hak asasi manusia sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, ”Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”;

[3.17.2] Bahwa kehalalan, yang dalam permohonan

a quo

menyangkut produk hewan, adalah suatu yang wajib hukumnya dalam aturan agama, dalam hal ini agama Islam, yang juga dilindungi oleh konstitusi. Sebagaimana yang tertera dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, dan dalam Pasal 29 UUD 1945, negara berdasar atas ’Ketuhanan Yang Maha Esa’, negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu adalah di antara ketentuan dalam konstitusi yang menjamin keberagamaan seseorang. Bahkan dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 menyatakan, ”Hak hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”, sehingga hak beragama adalah salah satu dari hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi tersebut. Selain itu hak untuk memperoleh informasi, dalam hal ini informasi tentang kehalalan, juga merupakan hak asasi manusia sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 28F UUD 1945 yang menyatakan, ”Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”;

(28)

25 [3.18] Menimbang bahwa dalil Pemohon II, Pemohon III, dan Pemohon IV,

yang mengemukakan bahwa adalah mustahil bagi mereka akan mendapatkan sertifikat halal. Menurut Mahkamah, dalil tersebut adalah benar karena Pemohon II adalah pedagang daging babi, yang barang dagangannya memang tidak halal untuk umat muslim, Pemohon III adalah penjual daging anjing yang dagangannya pada umumnya memang tidak untuk dikonsumsi, dan Pemohon IV sebagai peternak dan penjual babi yang barang dagangannya tidak memerlukan sertifikat halal, sehingga secara fakta bidang usaha Pemohon II, Pemohon III, dan Pemohon IV merupakan atau berhubungan dengan hewan atau produk hewan yang tidak halal. Oleh karena itu, kalau kewajiban adanya selain sertifikat veteriner, juga sertifikat halal sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 58 ayat (4) UU 18/2009, usaha Pemohon II, Pemohon III, dan Pemohon IV akan berhenti, berarti hilangnya mata pencaharian untuk kehidupan mereka, Mahkamah berpendapat bahwa tidak mungkin produk hewan tersebut mendapat sertifikat halal, sama dengan sikap Pemerintah terhadap permohonan

a quo,

sebagaimana yang ditulis dalam kesimpulan halaman 12 huruf b. Sikap Pemerintah yang tidak mensyaratkan sertifikat halal bagi produk hewan yang memang tidak halal, sudah diatur antara lain dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 381/Kpts/OT.140/10/2005 tentang Pedoman Sertifikasi Kontrol Veteriner Unit Usaha Pangan Asal Hewan yang dalam Pasal 2 ayat (2) menyatakan, ”Peraturan ini bertujuan untuk:

a. mewujudkan jaminan pangan asal hewan yang aman, sehat, utuh, dan halal;

b. mewujudkan jaminan pangan asal hewan yang aman, sehat, dan utuh untuk pangan asal babi;

Peraturan Menteri Pertanian

a quo

memang tidak mewajibkan syarat halal bagi pangan asal babi. Demikian pula tidaklah mungkin Lembaga Pengkajian dan Pengawasan Obat dan Makanan dan Majelis Ulama Indonesia (LPOM-MUI) sebagai institusi yang berwenang memberikan sertifikat halal, memberikan sertifikat halal dimaksud;

Mengenai produk hewan yang berasal dari hewan lain, bagi golongan masyarakat tertentu, yang mempercayai hewan tersebut sebagai hewan yang suci atau hewan yang dilarang untuk dikonsumsi, maka meskipun untuk produk hewan yang berasal dari hewan lain tersebut telah mendapat sertifikat veteriner maupun sertifikat halal pastilah tidak berlaku bagi mereka yang menganut kepercayaan demikian. Mengenai produk hewan yang berasal dari babi meskipun telah memperoleh sertifikat veteriner tanpa mendapat sertifikat halal, bagi golongan masyarakat tertentu yang memang membolehkan untuk

(29)

26 mengkonsumsinya tidak adanya sertifikat halal tidak menghalangi mereka untuk mengkonsumsinya;

[3.19] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas Mahkamah berpendapat Pasal 58 ayat (4) UU 18/2009 bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai bagi produk hewan yang memang tidak halal, tidak disyaratkan adanya sertifikat halal;

20. KETUA: MOH. MAHFUD MD

4. KONKLUSI

Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan:

[4.1] Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan

a quo

;

[4.2] Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (

legal standing

) untuk mengajukan permohonan

a quo

;

[4.3] Dalil-dalil Pemohon I tidak beralasan dengan hukum;

[4.4] Dalil-dalil Pemohon II, Pemohon III, dan Pemohon IV terbukti untuk sebagian ;

Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);

5. AMAR PUTUSAN Mengadili, Menyatakan:

• Menolak permohonan Pemohon I untuk seluruhnya;

• Mengabulkan permohonan Pemohon II, Pemohon III, dan Pemohon IV untuk sebagian;

• Pasal 58 ayat (4) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5015) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang frasa “...

wajib disertai

sertifikat veteriner dan sertifikat halal

” dimaknai mewajibkan sertifikat

(30)

27 • Pasal 58 ayat (4) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang

Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5015) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “...

wajib disertai sertifikat veteriner dan sertifikat halal

” dimaknai mewajibkan sertifikat halal bagi produk hewan yang memang tidak dihalalkan;

• Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;

• Menolak permohonan Pemohon II , Pemohon III, dan Pemohon IV untuk selain dan selebihnya;

Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang dihadiri oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Moh. Mahfud MD, selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Muhammad Alim, Maria Farida Indrati, Ahmad Fadlil Sumadi, Anwar Usman, Hamdan Zoelva, Harjono, dan M. Akil Mochtar, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Senin tanggal dua puluh enam bulan September tahun dua ribu sebelas, dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Kamis tanggal enam bulan Oktober tahun dua ribu sebelas, oleh delapan Hakim Konstitusi yaitu Moh. Mahfud MD, selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Muhammad Alim, Maria Farida Indrati, Ahmad Fadlil Sumadi, Anwar Usman, Hamdan Zoelva, dan Harjono, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Fadzlun Budi SN sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh para Pemohon/kuasanya, Pemerintah atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili.

Terakhir, Putusan Nomor 3. Bismillahirahmaanirrahiim.

PUTUSAN

Nomor 3/PUU-IX/2011

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

[1.1] Yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:

[1.2] Pengurus Keluarga Besar Komite Kedaulatan Rakyat (PKB-KKR) yang diwakili oleh:

(31)

28 Nama : R. Hamdani,CH;

Jabatan : Ketua Umum Pengurus Keluarga Besar Komite Kedaulatan Rakyat (PKB-KKR);

Alamat : Jalan Swasembada Barat XXI Nomor 15 RT 011/012, Kelurahan Kebon Bawang, Kecamatan Tanjung Priuk, Jakarta Utara;

Selanjutnya disebut sebagai --- Pemohon; [1.3] Membaca surat permohonan dari Pemohon;

Mendengar keterangan Pemohon; Memeriksa bukti-bukti Pemohon; 21. HAKIM ANGGOTA: ACHMAD SODIKI

PERTIMBANGAN HUKUM

[3.1] Menimbang bahwa pokok permasalahan dari permohonan Pemohon adalah pengujian Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150, selanjutnya disebut UU PTPK) terhadap Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28I Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945);

[3.2] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan, Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih dahulu akan mempertimbangkan:

a. kewenangan Mahkamah untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan

a quo

; dan

b. kedudukan hukum (

legal standing

) Pemohon.

Terhadap kedua hal tersebut, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:

Kewenangan Mahkamah

[3.3] Menimbang bahwa menurut Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

(32)

29 Nomor 4316) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK), serta Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358), Mahkamah berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945;

[3.4] Menimbang bahwa permohonan Pemohon adalah menguji konstitusionalitas norma Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 45 UU PTPK terhadap Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28I UUD 1945, oleh karenanya Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili dan memutus permohonan

a quo

;

Kedudukan Hukum (

Legal Standing

) Pemohon

[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang, yaitu:

a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);

b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;

c. badan hukum publik atau privat; atau d. lembaga negara;

Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:

a. kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK;

b. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;

(33)

30 [3.6] Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 bertanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:

a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;

b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;

c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut harus bersifat spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;

d. adanya hubungan sebab akibat (

causal verband

) antara kerugian dimaksud dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;

e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.

[3.7] Menimbang bahwa Pemohon

in casu

Komite Kedaulatan Rakyat adalah organisasi yang memiliki perhatian pada permasalahan korupsi dengan mendalilkan bahwa salah satu fungsi organisasi sebagaimana tercantum pada Anggaran Dasar dari organisasi, Pasal 6 ayat (2), menyatakan, “Turut serta menjadi kontrol sosial manakala terjadi penyimpangan/penyalahgunaan wewenang penyelenggara negara oleh personil Eksekutif, Legislatif, Yudikatif dan Insan Pers yang merusak moral bangsa” (vide bukti P-4);

[3.8] Menimbang bahwa Mahkamah merujuk pada Putusan Mahkamah Nomor 27/PUU-VII/2009 bertanggal 16 Juni 2010 yang menguraikan mengenai kedudukan hukum (

legal standing

) bagi perseorangan dan NGO/LSM dalam mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang sebagai berikut,

“Dari praktik Mahkamah (2003-2009),

perorangan WNI terutama pembayar pajak (

tax payer

, vide Putusan

Nomor 003/PUU-I/2003) berbagai asosiasi dan NGO/LSM yang

concern

terhadap suatu Undang-Undang demi kepentingan publik,

badan hukum, Pemerintah daerah, lembaga negara, dan lain-lain

oleh Mahkamah dianggap memiliki

legal standing

untuk mengajukan

permohonan pengujian, baik formil maupun materiil, Undang-Undang

(34)

31 kedudukan hukum (

legal standing

) dalam mengajukan permohonan pengujian pasal-pasal dalam Undang-Undang

a quo

;

[3.9] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan

a quo

, serta Pemohon memiliki kedudukan hukum (

legal standing

), Mahkamah selanjutnya akan mempertimbangkan pokok permohonan;

Pendapat Mahkamah

[3.10] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan sanksi pidana dan denda yang diatur dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 45 UU PTPK bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Pemohon beranggapan bahwa sanksi pidana dan denda yang diatur dalam pasal

a quo

tidak mampu membuat jera pelaku korupsi sehingga perlu dilakukan perbaikan terhadap pasal

a quo

.

[3.11] Menimbang bahwa yang dijadikan batu uji dalam perkara

a quo

adalah Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan

Pasal 27 ayat (1)

Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam

hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan

pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

Pasal 28I ayat (2)

(1)

Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat

diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan

perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif

itu.

Dari ketentuan pasal

a quo

kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan serta hak untuk tidak diperlakukan secara diskriminatif justru dijamin dan mendapat perlindungan konstitusional. Pemberian sanksi pidana dan denda sebagaimana diatur dalam pasal-pasal yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon adalah bagian dari perwujudan jaminan dan perlindungan terhadap hak konstitusional warga negara. Pasal-pasal dalam UU PTPK, khususnya Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 45 UU PTPK memberikan batasan tertinggi pemidanaan yang dapat dijatuhkan kepada pelaku korupsi menurut pertimbangan majelis hakim. Majelis hakim dapat memberikan pidana setinggi-tingginya atau bahkan serendah-rendahnya tergantung kepada tindak pidana yang dilakukan berdasarkan fakta-fakta yang diajukan dan dibuktikan dalam persidangan. Apabila ketentuan pemberian sanksi pidana maupun denda yang diatur dalam suatu Undang-Undang tidak mampu memberikan efek jera terhadap pelaku tindak

(35)

32 pidana, tidak berarti ketentuan tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian, dalil Pemohon

a quo

tidak terbukti dan tidak beralasan hukum;

Bahwa Pemohon mendalilkan pengubahan dan/atau penghapusan ketentuan pasal-pasal UU PTPK tersebut sesuai dengan hasil kajian dan penelitian yang dilakukan Pemohon. Perubahan dan/atau penghapusan atas pasal-pasal

a quo

didalilkan pada permohonan Pemohon (

vide

Perbaikan Permohonan, halaman 7). Perubahan tersebut sejatinya adalah model pengajuan untuk permohonan

legislative review

kepada lembaga legislatif untuk mengubah norma

pasal

a quo

. Dalil yang diajukan Pemohon merupakan bentuk amandemen/perubahan dari Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 45 UU PTPK. Kewenangan Mahkamah dalam pengujian Undang-Undang adalah untuk menilai konstitusionalitas norma-norma dalam pasal-pasal Undang-Undang

a quo

. Bilamana ada ketentuan dalam suatu Undang-Undang melanggar hak konstitusional warga negara maka Mahkamah diberikan kewenangan untuk menyatakan ketentuan tersebut bertentangan dengan UUD 1945;

[3.12] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas Mahkamah berpendapat, permohonan Pemohon tersebut tidak terbukti dan tidak beralasan menurut hukum;

22. KETUA: MOH. MAHFUD MD

4. KONKLUSI

Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan:

[4.1] Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan

a quo

;

[4.2] Pemohon mempunyai kedudukan hukum (

legal standing

) untuk mengajukan permohonan

a quo

;

[4.3] Pokok permohonan Pemohon tidak beralasan hukum;

Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);

5. AMAR PUTUSAN Mengadili,

Referensi

Dokumen terkait

5.3.2 Vsebina Evropskega kodeksa policijske etike Evropski kodeks temelji na vrsti različnih priporočil in resolucij, sicer pa obsega področje organizacije policije, izbora

Grafik rerata skor panelis terhadap kecepatan larut tablet effervescent wortel Hasil uji Friedman menujukkan bahwa perlakuan penambahan natrium bikarbonat dan asam sitrat

Bagian terbawah umbi rambut adalah matriks rambut, yaitu daerah yang terdiri dari sel-sel yang membelah dengan cepat dan berperan dalam pembentukan batang rambut.. Dasar umbi

Wang Sutrisno (2000) dengan penelitian yang berjudul pengaruh stock split terhadap likuiditas dan return saham di Bursa Efek Jakarta, menemukan bahwa : (1) Aktivitas

Jungle Style pada umumnya aquascape menggunakan ikan sebagai pelengkap, namun ada kalanya aquascape bisa hanya berisi tanaman saja atau bahkan kadang-kadang batu saja,

Pada diagram use case terdapat 2 actor yang digambarkan, yaitu : user dan admin dimana pada actor pertama yaitu user dapat mengakses website secara online dan

Berdasarkan hasil analisis petrografi dari conto sayatan tipis (thin section), maka litologi penyusun batuan sumur SR-1 terdiri dari lava berjenis Andesit dan Tufa yang

Sesuai dengan tujuan dari penelitian yaitu untuk menganalisis apakah ada atau tidak pengaruh motivasi instrinsik dan motivasi ekstrinsik terhadap kinerja karyawan,