• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jurnal Ilmu Keperawatan Jiwa Volume 4 Nomor 2, Mei 2021 e-issn ; p-issn

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Jurnal Ilmu Keperawatan Jiwa Volume 4 Nomor 2, Mei 2021 e-issn ; p-issn"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

RESILIENSI BERHUBUNGAN DENGAN KUALITAS HIDUP PADA ORANG DENGAN HIV/AIDS

I Nyoman Asdiwinata*, Ni Ketut Lisnawati, Ni Kadek Sintha Yuliana Sari

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Wira Medika Bali, Jl. Kecak No.9A, Tonja, Kec. Denpasar Utara, Kota Denpasar, Bali 80239, Indonesia

*asdiwinata@gmail.com

ABSTRAK

HIV/AIDS merupakan penyakit kronis yang dapat berdampak pada semua aspek kehidupan penderitanya. Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) mengalami permasalahan baik secara fisik maupun psikologis yang berujung kualitas hidup individu tersebut, maka dari itu dibutuhkan kemampuan untuk mengelola dan bangkit dari berbagai tekanan yang dialami dengan resiliensi. Resiliensi merupakan sebuah usaha yang dimiliki oleh seseorang untuk mampu bertahan dalam perubahan, kondisi sakit ataupun kesulitan yang dialami. Resiliensi berfungsi untuk menanggulangi, mengendalikan serta mengatasi pengalaman negative dalam hidup, sehingga ODHA mampu beradaptasi. Penelitian ini menggunakan rancangan deskriptif korelasi dengan desain penelitian cross sectional. Teknik sampling menggunakan total sampling didapatkan 50 sampel. Data yang digunakan adalah data primer dengan mengumpulkan ODHA dalam satu tempat dan diberikan kuesioner relisiliensi dan kualitas hidup. Data dianalisis dengan menggunakan uji Rank Spearman. Hasil resiliensi pada ODHA sebanyak 39 orang (78%) dengan kategori sedang, dan kualitas hidup sebanyak 33 orang (66%) dengan kategori cukup baik. Hasil uji rank spearman dengan nilai α=0,05, didapatkan hasil p value=0,00 dengan nilai r= 0,785, yang berarti ada hubungan resiliensi dengan kualitas hidup (p<α) dengan kekuatan kuat dan arah korelasi positif. Pada orang dengan HIV/AIDS tidak hanya cukup dengan mengelola, mengatur diri agar tujuan hidup tercapai, namun juga dibutuhkan pula kemampuan untuk bertahan serta beradaptasi terhadap tekanan yang dialami sehingga ODHA dapat memiliki kualitas hidup yang lebih baik.

Kata kunci: HIV/AIDS; kualitas hidup; resiliensi

RESILIENCE ASSOCIATED WITH QUALITY OF LIFE IN PEOPLE WITH HIV/IDS ABSTRACT

HIV / AIDS is a chronic disease that can affect all aspects of life of sufferers. People with HIV / AIDS (PLWHA) experience problems both physically and psychologically which lead to the quality of life of the individual, therefore the ability to manage and rise from the various pressures experienced with resilience is needed. Resilience is an effort that is owned by a person to be able to withstand changes, illness conditions or difficulties experienced. Resilience functions to cope with, control and overcome negative experiences in life, so that PLWHA can adapt. this study used a descriptive correlation design with a cross-sectional study. Sampling method was using total sampling obtained 50 samples. The data used are primary data by collecting ODHA in one place and given a questionnaire of relevance and quality of life. Data were analyzed using Rank Spearman test. The results of resilience in PLWHA were 39 people (78%) in the medium category, and the quality of life for PLHIVs was 33 people (66%) with moderate category. Spearman rank test results with a value of α = 0.05, the results obtained p value = 0.00 with value of r = 0.785, which means there is a relationship of resilience with quality of life in people with HIV/AIDS (PLWHA) (p<α) with strong strength and positive correlation direction. In people with HIV/AIDS, it is not only enough to manage, organize themselves so that life goals are achieved, but also the ability to survive and adapt to the stresses experienced so that PLWHA can have a better quality of life.

Keywords: HIV/AIDS;resilience; quality of life

Volume 4 Nomor 2, Mei 2021

e-ISSN 2621-2978; p-ISSN 2685-9394

https://journal.ppnijateng.org/index.php/jikj

(2)

PENDAHULUAN

HIV/AIDS merupakan penyakit kronis yang terus berkembang dan menjadi masalah global yang melanda dunia dan hingga saat ini belum ditemukan obatnya. Joint United Nations Programme on HIV and AIDS (2019) mengemukakan angka penderita HIV/AIDS di dunia mencapai angka 37,9 juta jiwa, dengan 1,8 juta orang baru terinfeksi HIV dan 940.000 orang meninggal karena HIV-AIDS tahun 2018. Populasi penderita HIV-AIDS di Asia Pasifik saat ini mencapai 5,2 juta jiwa, dengan 280.000 orang dewasa dan anak-anak terinfeksi HIV dan angka kematian akibat penyakit HIV sekitar 170.000 orang. Di Indonesia pada tahun 2018 diperkirakan sekitar 640.000 orang, dengan kasus infeksi HIV baru sebanyak 46.000 kasus, dan angka kematian penderita AIDS sebanyak 38.000 kasus. Dengan populasi pekerja seks sebesar 5.3%, gay atau pria yang melakukan seks dengan sesama pria sebesar 25,8%, orang yang menggunakan obat suntik (narkoba) sebesar 28,8%. (UNAIDS, 2018).

Dampak yang timbul pada penderita HIV/AIDS adalah terjadinya perubahan fisik dan perubahan psikologis. Banyaknya perubahan yang terjadi akan menyita banyak waktu serta tenaga yang berujung pas keberlangsungan kehidupan penderita HIV/AIDS seperti cita-cita, harapan dalam pencapaian tujuan, kesejahteraan hidup, dan kesehatan tubuh yang termasuk dalam kualitas hidup pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Kualitas hidup merupakan sebuah usaha mempertahankan kehidupan dengan memingkatkan kualitas. Aspek yang dilihat dalam kualitas hidup sangat luas seperti kesehatan fisik, psikologis, kemandirian, keterkaitan social dan individu dan lingkungannya (Ventegodt, 2008).

Kualitas hidup pada setiap orang berbeda-beda tergantung bagaimana individu menyikapi permasalahan dalam hidupnya. Larasati (dalam Digdyani dan Kaloeti, 2018) menyatakan kualitas hidup yang baik pada seseorang akan memberikan tidak hanya pada Kesehatan fisik namun juga psikologis. Perubahahan psikologis yang muncul akibat tingkat kualitas hidup yang baik akan tercermin dalam kemampuan mengontrol emosi, membina hubungan baik dan memberikan keamanan diri, maka dari itu, bagi ODHA memiliki kualitas hidup yang baik merupakan solusi dari sebagaian permasalahan hidup yang dihadapi. Hal yang berbeda dengan kualitas hidup yang baik pada ODHA akan memberikan kemampuan menyikapi masalah lebih optimal.

Hasil penelitian dari Mariany, B.S., Asfriyati., dan Sanusi, S.R (2019) menyatakan bahwa ODHA memiliki kualitas hidup kurang baik. Hal yang serupa juga ditemukan pada penelitian Hardiasyah., Amiruddin, dan R. Arsyad, D.S (2014) yang menemukan bahwa kualitas hidup orang dengan HIV dan AIDS berada pada kategori kurang baik. Permasalahan yang dikaitkan pada kualitas hidup yang buruk pada OHDA sebagian besar berasal dari ketidakmampuan mengelola kondisi emosi. Kondisi tersebut berdalpat pada perasaan cepat marah, frustasi, cemas, denial, malu dan ketidakmauan untuk beradaptasi dengan lingkungan (Widyaningtyas, 2009). Perubahan fisik juga akan muncul dari kualitas hidup yang buruk. Terlebih lagi karena kondisi tubuhnya yang memiliki virus, ODHA akan mengalami perubahan seperti hilangnya berat badan secara drastis, rasa lelah berlebihan, peningkatan suhu tubuh berlebihann, dan rasa ketidakberdayaan. Kondisi tersebut akan membuat ODHA tidak mampu melakukan kegiatan sehari-hari pada akhirnya (Diatmi K &Fridari D, 2014).

Ketidakmampuan ODHA dalam beraktivitas serta perubahan emosional yang dialami, kondisi ini menyebabkan seseorang akan merasa lebih tertekan atau mengalami stres (Kusuma dalam Digdyani dan Kaloeti, 2018). Kesulitan untuk mengontrol perilakunya menyebabkan ODHA berada pada kondisi yang sulit. Perubahan kondisi sehat menjadi sakit yang terjadi pada ODHA memerlukan sebuah kemampuan untuk bertahan dan beradaptasi. Kemampuan

(3)

tersebut disebut sebagai resiliensi. Resiliensi disebut juga kemampuan untuk menahan, melawan, dan beradaptasi pada situasi sulit. (Reivich dan Shatte, 2002).

Penelitian dari Tugade dan Frederickson (2004) mengemukakan bahwa resiliensi merupakan alat koping yang mampu membuat seseorang bertahan dan beradapatasi pada situasi sulit. Wagnild (dalam Rosyani, 2012) yang mengemukakan bahwa resiliensi resiliensi membantu meringankan beban atau stresor penderita dari sakit fisik yang mereka alami, resiliensi dapat berperan sebagai “sistem imun” psikologis. resiliensi merupakan faktor penting dalam kesehatan dan well-being sepanjang kehidupan seseorang (Windle, Bennet & Noyes, 2011). Melalui adaptasi dan pengalaman yang telah dilalui oleh ODHA, kemudian berkembang menjadi kepribadian yang resilien. Oleh sebab itu, diperlukan sebuah pribadi yang resilien pada ODHA agar kepuasan hidup, kesehatan mental, serta kebahagiaan dalam kualitas hidupnya dapat tercapai.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Yayasan Kesehatan Bali jumlah naungan ODHA sebanyak 50 orang. Berdasarkan hasil studi pendahuluan dengan wawancara yang dilakukan oleh peneliti pada bulan Juli 2019 di Yayasan Kesehatan Bali terhadap salah satu konselor yang sudah berkerja di Yakeba subjek ODHA dampinganya mengalami banyak permasalahan baik dengan keluarga, teman dan masyarakat. Masalah yang sering terjadi adalah rasa takut untuk mengakui status yang terinfeksi HIV, depresi, mudah lelah, merasa cemas akan kondisi yang terus menurun, sering mendapatkan komentar negative tentang penyakitnya, tidak nafsu makan, tidak teraturnya mengonsumsi obat ARV. Dampak yang ditimbulkan cenderung memiliki efek yang buruk yaitu penderita HIV-AIDS menolak untuk mendatangi pelayanan kesehatan karena malu akan penyakitnya, menolak untuk mengonsumsi obat ARV. Dengan kondisi ODHA yang mengalami permasalahan baik secara fisik maupun psikologis yang berujung pada pentingnya resiliensi dalam manajemen diri untuk bangkit dari keterpukuran guna meningkatkan kualitas hidup pasien. Berdasarkan uraian tersebut, penting untuk mengetahui kemampuan resiliensi dari ODHA untuk menunjukkan kualitas hidup yang dimiliki sehingga ODHA dapat hidup walaupun dengan virus HIV yang dada didalam tubuhnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi hubungan resiliensi dengan kualitas hidup pada orang dengan hiv/aids (odha) di Yayasan Kesehatan Bali (YAKEBA).

METODE

Jenis penelitian yang digunakan adalah rancangan penelitian deskriptif korelasi. Penelitian korelasional bertujuan mengungkapkan hubungan korelatif antar variabel yaitu resiliensi dihubungkan dengan kualitas hidup. Pendekatan yang digunakan adalah dengan pendekatan cross sectional, yaitu dimana waktu pengukuran/observasi data variabel resiliensi dan kualitas hidup hanya satu kali pada saat itu juga. Populasi dalam penelitian ini adalah pasien NAPZA yang terinfeksi HIV/AIDS di Yayasan Kesehatan Bali sebanyak 50 orang. Pengambilan sampel menggunakan teknik nonprobability sampling atau total sampling. Penelitian ini dilakukan di Yayasan Kesehatan Bali, dari tanggal 30 Oktober sampai 30 November 2019. Penelitian menggunakan instrument penelitian berupa kuesioner CD-RISC untuk resiliensi dan kuesioner WHOQOL-HIV. Hasil uji validitas dan reliabilitas instrument kuesioner CD-RISC memiliki skor 0,78 >0,05 sedangkan kuesioner WHOWOL-HIV memiliki skor 0,85 >0,05 untuk hasil uji validitas, sedangkan untuk hasil uji reliabilitas pada kedua instrument memiliki nilai 0,67 dan 0,842. Kedua instrument dialih bahasakan kedalam versi Indonesia. Teknik analisa data yang digunakan untuk menguji hubungan dalam penelitian ini adalah uji Rank Spearman α=0,05 (p<α).

HASIL

(4)

Karakteristik Responden Berdasarkan Variabel Resiliensi (n=50) Resiliensi f % Sangat Rendah 0 0 Rendah 10 20 Sedang 39 78 Tinggi 1 2

Tabel 1 menunjukkan bahwa resiliensi pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA) terbanyak adalah sedang yaitu 39 orang responden (78%).

Tabel 2.

Karakteristik Responden Berdasarkan Variabel Kualitas Hidup

Kualitas Hidup f %

Sangat Buruk 0 0

Buruk 9 18

Cukup Baik 33 66

Baik 8 16

Tabel 2 didapatkan bahwa kualitas hidup pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA) terbanyak adalah cukup baik yaitu 33 orang responden (62,5%).

Tabel 3.

Hasil Uji Statistik Hubungan Resiliensi Dengan Kualitas Hidup pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA) (n=50)

Resiliensi

Kualitas Hidup Jumlah

p r

Buruk Cukup Baik Baik

f % f % f % f %

Rendah 9 18 1 2 0 0 10 20

0,00 0,785

Sedang 0 0 32 64 7 14 39 78

Tinggi 0 0 0 0 1 2 1 2

Tabel 3 hasil analisis menunjukan dari 50 responden didapatkan bahwa 32 orang memiliki resiliensi sedang dengan kualitas hidup cukup baik, 9 memiliki resiliensi rendah dengan kualitas hidup buruk, 1 orang resiliensi rendah dengan kualitas hidup cukup baik dan 1 orang memiliki resiliensi tinggi dengan kualitas hidup baik. Hasil uji rank spearman untuk menganalisa hubungan resiliensi dengan kualitas hidup pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA), didapatkan nilai p value=0,00 dengan nilai p<0,05 (p<α) yang berarti H0 ditolak dan Ha diterima, jadi ada hubungan resiliensi dengan kualitas hidup pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Nilai kekuatan korelasi sedang dengan nilai 0,785 dan arah korelasi positif atau searah yang artinya semakin besar nilai satu variabel yaitu resiliensi baik, semakin besar nilai variabel lainnya yaitu kualitas hidup baik.

PEMBAHASAN Resiliensi

Berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh bahwa sebagian besar resiliensi pada ODHA sebanyak 39 orang (78%) adalah sedang. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Widani (2015)tentang Hubungan Resiliensi Dengan Mekanisme Koping Pada Pasien Dengan HIV/AIDS di Poliklinik VCT RSUP Sanglah Denpasar bahwa tingkat resiliensi pada pasien dengan HIV/AIDS berada pada kategori sedang dan tinggi

(5)

masing-masing sebesar 47,2% Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rosyani (2012) yang menyatakan bahwa dari 70 responden terdapat 36 reponden (51,4%) memiliki resiliensi sedang.

Menurut Blewitt dan Tilbury (2014) resiliensi adalah kekuatan yang dikembangkan oleh manusia dan dilatih untuk berhadapan dengan situasi sulit dan bertahan pada situasi tersebut. Resiliensi dipandang sebagai adaptasi yang positif atau kemampuan untuk menjaga dan mengembalikan kesehatan mental setelah menghadapi hambatan. Menurut Reivich dan Shatté (2002) resiliensi dibangun oleh tujuh kemampuan berupa regulasi emosi, motivasi, optimism, pengendalian implus, empati, efikasi diri, dan peningkatan aspek positif. Teori dari Grotberg (2000) resiliensi yang dimiliki oleh seseorang terpengaruh oleh lingkungan dan dukungan yang didapat. Dukungan tersebut dapat dari lingkungan, diri sendiri dan orang lain (I Can, I have dan I am). Kombinasi dari factor tersebut memberikan perkembangan yang baik dalam diri ODHA untuk bertahan. Senada dengan penelitian dari Amelia (2014) menemukan resiliensi sangat dipengaruhi oleh beberapa aspek resiliensi yaitu regulasi emosi, self-efficacy, motivasi, optimism, casual analysis, empati, dan reaching out. Penelitan dari Ratnasari (2013), menyatakan resiliensi dipengaruhi oleh sumber-sumber resiliensi yaitu I Can, I Have, dan I Am.

Menurut peneliti, banyaknya resiliensi ODHA yang masuk kategori sedang karena adanya struggling dalam beberapa hal yang masih dialami oleh ODHA. Beberapa hal yang terlihat dari jawaban yang peneliti dapatkan melalui jawaban kuesioner dari responden yang mengarah pada adanya perasaan tertekan dan putus asa, tidak mampu menangani perasaan yang tidak menyenangkan, menganggap dirinya sebagai individu yang lemah.

Kualitas Hidup

Berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh kualitas hidup pada pasien ODHA terbanyak 33 orang (66%) dengan hasil cukup baik. Hasil penelitian yang sama oleh Kusuma (2011) tentang Hubungan Antara Depresi dan Dukungan Keluarga Dengan Kualitas Hidup Pasien HIV-AIDS yang Menjalani Perawatan di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta Tahun 2011 diperoleh bahwa kualitas hidup pada pasien ODHA berada pada kategori cukup baik. Hasil serupa juga diungkapkan oleh Purnami (2017) tentang Hubungan Kepatuhan Kontrol Ke Klinik Voluntary Counseling Test Dengan Kualitas Hidup Pasien HIV yang menyatakan bahwa sebanyak 18 orang (46,2%) yang memiliki kualitas hidup cukup baik.

Pada ODHA terjadinya perubahan kondisi fisik yang tidak stabil dan cenderung menurun diikuti dengan munculnya gejala-gejala fisik serta tekanan social yang didapat dari lingungkan dapat menjadi sumber stress yang menimbulkan terjadinya depresi. Ketika ODHA mengalami depresi, individu cenderung tidak aktif menjalani manajemen pengobatan dan perawatan sehingga menurunkan derajat kesehatan, disamping itu hal ini juga berdampak pada keseluruhan aspek-aspek dalam kehidupan sehingga menurunkan kualitas hidup. Menurut Medeiros (2017) kualitas hidup penderita HIV/AIDS mengalami penurunan terutama pada kepercayaan diri, penurunan aktivitas akibat fungsi tubuh yang menurun. Hal ini senada dengan Yadav (2010) mengemukakan rendahnya kualitas hidup pada ODHA akibat cemas, depresi, gangguan tidur, hubungan social, hubungan emosional serta sulitnya melakukan hubungan seksual, pengalaman tersebut mampu merusak pada kualitas hidup ODHA. Purnami (2017) menyatakan kualitas hidup dipengaruhi oleh perasaan kurang puas dengan penampilan diri, kemampuan diri, hubungan personal, dan adanya perasaan negative seperti „feelingblue‟ (kesepian), putus asa, cemas, dan depresi yang dialami oleh ODHA.

(6)

Menurut pendapat peneliti, hal ini bisa disebabkan disebabkan oleh masih terbelenggunya perasaan akan tidak diterimanya ODHA oleh orang-orang terdekat atau yang dikenal. Kualitas hidup menurun timbul dari banyak sebab salah satu nya yaitu karena rasa kurang puas atas status kesehatannya, kondisi fisik yang menurun, komentar negatif yang menyalahkan responden karena menderita HIV, serta adanya rasa gelisah, putus asa dan depresi karena menderita HIV/AIDS.

Hubungan Resiliensi Dengan Kualitas Hidup Pada Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 50 responden sebagian besar responden yang memiliki resiliensi mempunyai kualitas hidup yang cukup baik yaitu sebanyak 33 orang (66%). nilai p value = 0,00 dengan nilai r = 0,785 dan arah korelasi positif, yang dapat diartikan bahwa hubungan antara variabel resiliensi dengan kualitas hidup. Penelitian ini sejalan dengan yang dilakukan oleh Temprado et al. (2018) tentang The relationship between resilience and quality of life in patients with a drainage enterostomy diperoleh hasil ada hubungan positif antara resiliensi dengan kualitas hidup pada drainage enterostomy.

Menurut Siebert (2005) menyatakan bahwa seseorang yang memiliki resiliensi memungkinkan individu untuk berkembang menjadi lebih kuat setelah mengalami pengalaman yang kurang menyenangkan, dengan resiliensi individu akan mampu mengubah keadaan yang kurang menyenangkan bahkan cenderung menyengsarakan menjadi sesuatu yang wajar untuk diatasi, mampu menerima emosi negatif seperti berduka, marah, kehilangan atau bahkan bingung menghadapi situasi. Resiliensi memiliki peranan yang penting dalam hubungannya dengan meningkatkan derajat kualitas hidup bagi ODHA. Menurut Kumpref (dalam Tansey et al., 2016) Seseorang dengan resiliensi memiliki emosi positif yang didapatkan dari harapan serta kepuasan pribadi terkait dengan keberhasilan individu dalam menghadapi permasalahan. Selain itu, resiliensi dapat mengurangi stress, memberikan kepuasan, dan kebahagiaan serta dapat meningkatkan kualitas hidup. Penelitian dari Aisyah dan Listiyandini (2015) mengemukakan bahwa resiliensi dapat membantu mengurangi stress pada individu yang menghadapi masalah.

Hal ini menunjukkan bahwa resiliensi memiliki pernanan penting terhadap kualitas hidup individu. Hal tersebut menjelaskan bahwa untuk memiliki kualitas hidup yang baik maka diperlukannya resiliensi. Dapat ditarik kesimpulan bahwa ODHA tidak hanya cukup dengan mengelola, mengatur diri dengan baik saja, namun juga dibutuhkan pula kemampuan untuk bertahan serta beradaptasi yang baik agar kualitas hidup menjadi lebih baik. Bastamania, Rezaei & Tazesh (2016) menemukan bahwa resileinsi berpengaruh secara signifikan kepada semua dimensi kualitas hidup. Hal ini sejalan dengan Temprado et al. (2018) yang menyatakan bahwa salah satau faktor utama kesehatan dalam kualitas hidup adalah resiliensi, Resiliensi yang tinggi ODHA dapat membuat ODHA memiliki kualitas hidup yang baik. Resiliensi merupakan poin penting untuk meningkatkan kualitas hidup. Menurut Temprado et al. (2018) prediktor utama dalam hal kualitas hidup terkait kesehatan adalah resiliensi. Teori yang dikemukakan oleh Reivich dan Shatte (2002) yaitu resiliensi berfungsi untuk membantu ODHA dalam menanggulangi atau mengatasi permasalahan ataupun perubahan yang terjadi, mengendalikan diri, mengatasi trauma dimasa lalu.

Peneliti berpendapat bahwa, bahwa ODHA tidak hanya cukup dengan mengelola, mengatur diri dengan baik saja, namun juga dibutuhkan pula kemampuan untuk bertahan serta beradaptasi yang baik agar kualitas hidup menjadi lebih baik. Adanya resiliensi pada ODHA secara terus-menerus dapat mempermudah ODHA dalam melakukan aktivitasnya berkaitan

(7)

dengan permasalahan yang dihadapinya juga merasa dicintai dan bisa berbagi beban, mengekspresikan perasaan secara terbuka sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup ODHA.

SIMPULAN

Resiliensi pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA) berada pada ketegori tinggi sebanyak 1 orang (2%), sedang sebanyak 39 orang (78%), rendah sebanyak 10 orang (20%). Kualitas hidup pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA) baik sebanyak 8 orang (16%), cukup baik sebanyak 33 orang (66%), dan buruk 9 orang (18%). Hasil analisa yang telah dilakukan mendapatkan nilai p=0,00, hal ini menunjukan ada hubungan resiliensi dengan kualitas hidup pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA) (p<0,05) yaitu (0,00<0,05). Nilai kekuatan korelasi 0,785 (kekuatan kuat) dan arah korelasi positif atau searah, yang artinya semakin besar nilai satu variabel yaitu resiliensi, semakin besar nilai variabel lainnya yaitu kualitas hidup.

DAFTAR PUSTAKA

Amelia. (2014). Gambaran Ketangguhan Diri (Resiliensi) Pada Mahasiswa Tahun Pertama Fakultas Kedokteran Universitas Riau. Jurnal Online Mahasiswa Fakultas Kedokteran. 1(2), 1-9

\Aisyah, P., & Listiyandini, R. (2015). Peran resiliensi dalam memprediksi kualitas hidup ibu yang tinggal di bantaran sungai ciliwung. Jurnal Universitas Gunadarma, vol 6, 1858-2559

Blewitt, J and Tilbury, D. (2014). Searching for Resilience in Sustainable Development. New York: FiSH Books Ltd, Enfield.

Digdyani, K. dan Kaloeti, D.V.S. (2018). Hubungan Antara Regulasi Diri Dan Resiliensi Dengan Kualitas Hidup Pada Perawat Rumah Sakit Swasta X Di Kota Semarang. Jurnal empati. 7(3), 179-185

Grotberg, E. (2000). A Guide To Promoting Resilence In Children: Strengthening The Human Spirit. The Series Early Childhood Development: Practice And Reflection. Number 8. The Hague: Benard Van Leer Vondation.

Hardiasyah., Amiruddin, R. Arsyad, D.S. (2014). Kualitas Hidup Orang Dengan HIV Dan

AIDS DI Kota Makassar. available at

http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/10736/HARDIANSYAHK11 110602.pdf?sequence=1 (13 agustus 2019)

Joint United Nations Programme on HIV and AIDS (UNAIDS). (2019). Fact Sheet – World AIDS Day 2019. Geneva : UNAIDS

Larasati, T. (2009). Kualitas Hidup Pada Wanita Yang Sudah Memasuki Masa Menopause. Jurnal Fakultas Psikologi Universitas Gunadarama, 1(1), 1-19

Mariany, B.S., Asfriyati., dan Sanusi, S.R. (2019). Stigma, Depresi, dan Kualitas Hidup Penderita HIV: studi pada komunitas "lelaki seks dengan lelaki" DI Pematangsiantar. Berita Kedokteran Masyarakat. 35(4), 139-146

Medeiros et al. (2017). Quality of life, socioeconomic and clinical factors, and physical exercise in persons living with HIV/AIDS. Revista de Saúde Pública, 51(66), 1-7

(8)

Purnami, N.K.S.D. (2017). Hubungan Kepatuhan Kontrol Ke Klinik Voluntary Counselling And Test Dengan Kualitas Hidup Pasien HIV. Skripsi tidak dipublikasikan. Stikes Wira Medika PPNI Bali

Ratnasari, A.D. (2013). Sumber-Sumber Resiliensi Orang Tua Remaja Yang Mengalami Kehamilan Pranikah

Reivich, K., & Shatte, A. (2002). The Resilience Factor: 7 Keys to Finding Your Inner Strength and Overcome Life’s Hurdles. New York: Broadway Books.

Rosyani, Clarissa M. (2012). Hubungan Antara Resiliensi Dan Coping Pada Pasien Kanker

Dewasa. Skripsi. Universitas Indonesia. available at

http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20353280-S45678-Hubungan%20antara.pdf

Siebert, Al. (2005). The Resiliency Advantage : Master Change, Thrive Under Pressure, and Bounce Back from Setbacks. California : Berrett-Koehler Publishers

Tansey, T. N., Bezyak, J., Kaya, C., Ditchman, N., & Catalano, D. (2016). Resilience And Quality Of Life: An Investigation Of Kumpfer’s Resilience Model With Persons With Spinal Cord Injuries. Rehabilitation Counseling Bulletin, 60(3), 163-174

Temprado et al. (2018). The relationship between resilience and quality of life in patients with a drainage enterostomy. Journal of Health Psychology 00(0), 1-5

Tugade, M.M, & Fredrickson, B.L. (2004). Resilient Individuals Use Positive Emotions To Bounce Back From Negative Emotional Experiences. Journal of Personality and Social Psychology, 86(2), 320-333.

Ulfa, Nabilla Dwi. (2018). Hubungan Antara Dukungan Sosial Dan Resiliensi Pada Orang

Dengan HIV/AIDS. Universitas Islam Indonesia. Available at

https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/9468/SKRIPSI.pdf?sequence=2&is Allowed=y (15 agustus 2019)

Ventegodt, S., Andersen, N.J., Kandel, I., Enevoldsen, L., and Merrick, J. (2008). Quality of working life: improving working-life quality, quality of life and health in companies. International Journal on Disability and Human Development. 7(2), 165–184

Yadav, S. (2010). Perceived social support, hope, and quality of life of persons living with HIV/AIDS: a case study from Nepal. Quality of Life Research, 19(2), 157–166.

Widani, N.N. (2015). Hubungan Resiliensi Dengan Mekanisme Koping Pada Pasien Dengan HIV/AIDS di Poliklinik VCT RSUP Sanglah Denpasar. Skripsi tidak dipublikasikan. Stikes Wira Medika PPNI Bali

Widyaningtyas, N. (2009). Studi Deskriptif Tentang Derajat Resiliensi Pada Wanita yang Terinfeksi HIV/AIDS di Sanggar Kerja Yayasan “X” Jakarta. Skripsi. Jakarta : Universitas Kristen Maranath. available at https://repository.maranatha.edu/8081/ (13 agustus 2019)

Windle,G., Bennet, K.M., & Noyes, J. (2011). A Methodological Review Of Resilience Measurement Scales. Health and Quality of Life Outcomes, 9(8), 1–18.

Referensi

Dokumen terkait

Perancangan perangkat lunak pada mikrokontroler merupakan perancangan yang dilakukan agar mikrokontroler dapat mengambil, mengolah, dan mengirim data setpoint

Hasil penelitian Prasetyo &amp; Kusumaningrum (2014), terdeteksi adanya bakteri S.aureus berdasarkan keberadaan gen penyandi TSST-1 pada pangan asal susu kambing dan susu

Pernyataan tersebut didukung oleh penelitian Muretta (2004) dengan melihat 4 (empat) sumber yang berpengaruhi self efficacy dengan melibatkan 162 responden dan

Pemanfaatan housfield unit pada CT-scan dalam menentukan kepadatan tulang rahang dapat membantu para klinisi untuk melakukan tindakan perawatan implan gigi secara

Jurnal Konseling Andi Matappa Volume 4 Nomor 1 Februari 2020 Hal 28 34 p ISSN 2549 1857; e ISSN 2549 4279 (Diterima Oktober 2019; direvisi Desember 2019; dipublikasikan Februari 2020)

Ketiga, metode pembelajaran dijalankan dengan mengedepankan pendayagunaan potensi sumberdaya manusia, pelayanan pendidikan, keterbukaan akses, kearifan lokal dan

Hal ini menjadi ancaman bagi BPJS Kesehatan agar dapat bersaing dengan perusahaan-perusahaan asuransi kesehatan swasta sehingga mendorong peneliti untuk menguji

KESIMPULAN DAN SARAN Persepsi mahasiswa tentang metode pengajaran dosen pada mahasiswa keperawatan semester VIII Program A Universitas Udayana tahun 2014 terbanyak