• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Soil Transmitted Helminths

Soil Transmitted Helminths adalah nematoda usus yang dalam siklus hidupnya

membutuhkan tanah untuk proses pematangan. Kecacingan oleh STH ini ditularkan melalui telur cacing yang dikeluarkan bersamaan dengan tinja orang yang terinfeksi. Di daerah yang tidak memiliki sanitasi yang memadai, telur ini akan mencemari tanah. Empat spesies yang paling umum menginfeksi manusia adalah cacing gelang

(Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichiura), dan cacing tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale) (Wardhana et al., 2014).

2.1.1 Ascaris lumbricoides

A. Hospes, Nama Penyakit dan Habitat

Manusia merupakan satu-satunya hospes A. lumbricoides. Penyakit yang disebabkannya disebut askariasis. Cacing dewasa hidup di dalam lumen usus halus (yeyunum) manusia. Sedangkan larvanya masuk ke dalam pembuluh darah dan bermigrasi melalui paru-paru (Budiawati, 2001).

B. Epidemiologi

Parasit ini ditemukan di seluruh dunia (kosmopolit), 1.27 milyar lebih atau sekitar seperempat dari populasi dunia terinfeksi (Roberts et al., 2005). Parasit ini lebih banyak ditemukan di daerah beriklim tropik dengan kelembaban tinggi, terutama di daerah dengan sanitasi yang buruk merupakan tempat yang baik untuk pertumbuhan telur (Waikagul et al., 2002).

Defekasi yang sembarangan akan mencemari tanah dengan telur yang dapat bertahan hidup selama bulanan bahkan tahunan. Tanah liat, kelembaban yang tinggi dan suhu yang berkisar 25-30OC merupakan hal yang sangat baik untuk berkembangnya telur A. lumbricoides menjadi bentuk infektif. Telur-telur ini tahan

(2)

terhadap disinfektan karena lapisan telur nya mengandung ascarosides sehingga pencegahan dan pemberantasan di daerah endemik sulit. Pada suhu yang lebih rendah akan menghambat pertumbuhan telur tetapi menguntungkan lamanya kehidupan. Telur akan rusak oleh sinar matahari langsung dalam 15 jam dan mati pada suhu >40OC (Robert et al., 2005).

Semua golongan umur dapat terinfeksi oleh parasit ini tetapi anak-anak pada golongan umur 5-9 tahun lebih sering terkena infeksi dengan memakan makanan yang kurang bersih ataupun memakan makanan dengan tangan yang terkontaminasi. Sanitasi lingkungan yang buruk seperti kurangnya pemakaian jamban keluarga, tempat pemukiman yang padat dan kotor akan menimbulkan pencemaran tanah dengan tinja seperti memudahkan terjadinya infeksi parasit ini. Di beberapa daerah yang menggunakan tinja sebagai pupuk, terutama di Asia, Jerman dan beberapa negara Mediteranian, sayuran yang tidak dimasak merupakan faktor penting yang berpengaruh terhadap kontaminasi telur A.lumbricoides, bahkan debu yang tertiup angin dapat membawa telur pada kondisi tertentu (Roberts et al., 2005).

C. Morfologi dan Siklus Hidup

Parasit ini merupakan parasit usus terbesar. Cacing dewasa berbentuk silindris yang mengecil pada kedua ujungnya, berwarna putih susu sampai coklat muda (Waikagul et al., 2002). Cacing jantan mempunyai panjang 15-31 cm dengan diameter 2-4 mm dan mempunyai ekor yang membengkok. Cacing betina mempunyai panjang 20-49 cm dengan diameter 3-6 mm dan mempunyai ekor lurus (Robert et al., 2005). Cacing ini pada mulutnya mempunyai 3 bibir dengan gigi-gigi kecil (dentikel) pada pinggirnya. Bibirnya dapat ditutup dan dipanjangkan untuk memasukkan makanan. Pada hipodermis terdapat sel otot somatik yang besar dan panjang yang berguna untuk mempertahankan posisinya di dalam usus halus manusia. Alat reproduksi dan saluran pencernaan mengapung di dalam rongga badan. Cacing jantan merniliki 2 buah spikulum yang dapat dikeluarkan dari kloaka, sedangkan cacing betina memiliki vulva terbuka pada sepertiga anterior badan.

(3)

Bagian ini lebih kecil dan dikenal sebagai cincin kopulasi (Copulatrix ring) (Budiawati, 2001).

Seekor cacing betina dapat bertelur sebanyak 100.000-200.000 butir sehari terdiri dari telur yang dibuahi dan tidak dibuahi. Telur yang dibuahi berbentuk ovoid dan berukuran 60 x 45 μ, bila baru dikeluarkan berisi satu sel tunggal dan tidak infektif. Terdapat 3 tipe telur yang dapat diobservasi yaitu (1) telur yang dibuahi, berbentuk bulat atau oval dengan dinding telur yang kuat dan berwarna coklat keemasan. Ukurannya berkisar antara 55-57 μ panjangnya, dan 30-50 μ lebarnya. Terdiri dari 3 lapis: Bagian luar dilapisi oleh albuminoid, bagian tengah glikogen dan bagian dalam dilapisi oleh lapisan lipoid. (2) Telur yang mengalami dekortikasi yang dibuahi maupun tidak dibuahi, tidak memiliki lapisan albuminoid yang juga berwarna coklat keemasan. (3) Telur yang tidak dibuahi memiliki dinding yang tipis dan berbentuk irregular. Ukurannya berkisar antara 88-95 μ panjangnya dan 44 μ lebarnya. Dinding telur terdiri dari 2 lapisan: lapisan luar dilapisi oleh albuminoid dan lapisan dalam oleh glikogen. Lapisan albuminoid ini kadang-kadang hilang atau dilepaskan oleh zat kimia sehingga menghasilkan telur tanpa kulit (decorticated) (Waikagul et al., 2002).

Gambar 1.1. Telur Ascaris lumbricoides (CDC, 2014)

Dalam lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi berkembang menjadi bentuk infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu. Bentuk infektif tersebut bila tertelan manusia, menetas di usus halus. Larvanya menembus dinding usus halus menuju pembuluh darah atau saluran limfe, lalu dialirkan ke jantung, kemudian mengikuti

(4)

aliran darah menuju ke paru. Larva di paru menembus dinding pembuluh darah, lalu dinding alveolus, masuk rongga alveolus, kemudian naik ke trakea melalui bronkiolus dan bronkus. Dari trakea larva menuju faring, sehingga menimbulkan rangsangan pada faring. Penderita batuk karena rangsangan tersebut dan larva akan tertelan ke dalam esofagus, lalu menuju ke usus halus. Di usus halus larva berubah menjadi cacing dewasa. Sejak telur matang tertelan sampai cacing dewasa bertelur diperlukan waktu kurang lebih 2-3 bulan (Wardhana et al., 2014).

Gambar 1.2 Daur hidup Ascaris lumbricoides (CDC, 2014)

D. Patologi dan Gejala Klinik

Infeksi dari cacing A. lumbricoides yang mengandung l0 sampai 20 ekor cacing sering berlalu tanpa diketahui hospes dan baru ditemukan pada pemeriksaan tinja rutin atau bila cacing dewasa keluar sendiri dengan tinja. Patogenesis yang disebabkan infeksi A. lumbricoides dihubungkan dengan respon imun hospes, efek migrasi larva, efek mekanik cacing dewasa, defisiensi gizi akibat keberadaan cacing dewasanya (Budiawati, 2001).

(5)

Gejala yang dapat ditimbulkan dipengaruhi oleh beberapa hal. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi diantaranya beratnya infeksi, keadaan umum penderita, daya tahan dan kerentanan penderita terhadap infeksi cacing. Gejala yang timbul pada penderita dapat disebabkan oleh cacing dewasa dan larva. Migrasi larva ke paru-paru menimbulkan gejala yang disebut "Sindroma Loeffler" berupa demam, eosinofilia, urtikaria dan perubahan pada hati. Iritasi bronkial menyebabkan batuk spasmodik. Pada foto toraks tampak infiltrat yang menghilang dalam waktu 3 minggu (Wardhana

et al., 2014).

Gangguan yang disebabkan oleh cacing dewasa di dalam usus biasanya ringan, seperti : mual, nafsu makan berkurang, diare atau konstipasi. Pada infeksi berat, terutama pada anak bisa terjadi malabsorpsi sehingga akan memperberat gejala malnutrisi. Cacing dewasa memperoleh makanan dengan merampas sari-sari makanan hospes. Diketahui bahwa 20 ekor cacing dewasa memakan 2 gr hidrat arang dan 0,79 gr protein sehari. Dengan demikian, infeksi berat yang disebabkan beratus-ratus cacing akan merampas sebagian besar makanan hospes sehingga akan menimbulkan gangguan gizi pada anak. Bila cacing mengembara ke saluran empedu, apendiks atau ke bronkus dan menimbulkan keadaan gawat darurat, maka diperlukan tindakan operatif (Budiawati, 2001).

E. Diagnosis

Cara menegakkan diagnosis penyakit ini adalah dengan pemeriksaan tinja secara langsung. Kebanyakan diagnosis dibuat untuk mengidentifikasi karakteristik telur dalam tinja atau melihat ada tidaknya cacing dewasa keluar baik melalui mulut atau hidung karena muntah maupun melalui tinja. A. lumbricoides harus dicurigai ketika muncul gejala-gejala klinis seperti diatas. Pada kasus ringan biasanya asimtomatik.

(6)

F. Pengobatan

Mebendazole adalah terapi pilihan dan pyrantel pamoate sebagai cadangan. Nitazoxamide untuk pengobatan cryptosporodial diarrhea diperkirakan dapat mengobati beberapa jenis helminthes, termasuk A. lumbricoides.

G. Pencegahan

1. Sanitasi yang baik.

2. Mencuci tangan sebelum makan.

3. Edukasi kepada anak untuk menjauhkan tangan dari mulut pada saat bermain di tanah.

4. Mencuci dengan bersih sayuran yang tidak dimasak (Waikagul et al., 2002).

2.1.2 Trichuris trichiura

A. Hospes, Nama Penyakit dan Habitat

Manusia merupakan hospes utama T. trichiura, akan tetapi cacing tersebut juga pernah dilaporkan di dalam kera dan babi. Penyakit yang disebabkannya disebut trikuriasis. T. trichiura terutama hidup di caecum, akan tetapi dapat juga ditemukan di apendiks dan ileum bagian distal. Pada infeksi berat, cacing ini tersebar di seluruh kolon dan rektum dan kadang-kadang terlihat pada mukosa rektum yang mengalami prolapsus akibat mengejan pada waktu defekasi (Budiawati, 2001).

B. Epidemiologi

Penyebaran cacing ini secara kosmopolit. Lebih banyak ditemukan di daerah panas dan lembab dan dengan sanitasi yang buruk. Parasit ini termasuk yang kedua tersering pada infeksi STH pada negara tropis (Waikagul et al., 2002). Frekuensi di Indonesia tinggi, pada beberapa daerah pedesaan berkisar antara 30-90%. Di Amerika Selatan angka prevalensinya berkisar antara 20-25%. Yang penting untuk penyebaran penyakit adalah kontaminasi tanah oleh tinja, sehingga pemakaian tinja sebagai pupuk di beberapa negara merupakan sumber infeksi. Telur berkembang menjadi

(7)

bentuk infektif pada tanah liat, tempat lembab dan teduh dengan suhu optimum 30oc. Tanah yang tercemar dengan telur-telur cacing dari penderita akan menjadi sumber penularan kepada orang lain melalui tangan, makanan dan minuman yang telah terkontaminasi dengan telur yang sudah dalam stadium infektif (Budiawati, 2001).

C. Morfologi dan Siklus Hidup

Cacing ini dikenal sebagai cacing cambuk karena bagian anterior seperti cambuk, tiga perlima dari tubuhnya dilalui oleh esophagus yang sempit. Bagian posteriornya lebih tebal, dua perlima dari tubuhnya berisi usus dan seperangkat alat reproduksi. Panjang cacing jantan 30-45 mm dan cacing betina 35-50 mm. Bagian posterior cacing betina membulat tumpul dan bagian posterior cacing jantan melingkar dengan satu spikulum dan sarung yang retraktil (Waikagul et al., 2002).

Jumlah telur yang dihasilkan setiap hari oleh cacing betina diperkirakan antara 3.000-10.000 butir. Telurnya berukuran 50-54 μ x 22-23 μ berbentuk seperti tempayan dengan tutup yang jernih dan menonjol pada kedua kutub. Kulit bagian luar berwarna kekuning-kuningan dan bagian dalamnya jernih. Sel telur yang dibuahi waktu dikeluarkan cacing betina belum membelah. Perkembangan embrio terjadi di luar hospes. larva stadium pertama yang infektif dan belum menetas dibentuk dalam waktu 3-4 minggu dalam lingkungan yang sesuai yakni tanah hangat, basah dan tempat teduh. Telur-telur kurang resisten dibanding telur A. lumbricoides terhadap pengeringan, panas dan dingin (Waikagul et al., 2002). Cacing cambuk tidak membutuhkan hospes perantara untuk tumbuh menjadi bentuk infektif (Wardhana et

al., 2014).

(8)

Infeksi terjadi bila telur matang tertelan oleh manusia, larva yang keluar dari dinding telur yang sudah dicerna masuk ke dalam usus halus bagian proksimal dan menembus vili usus, menetap disitu selama 3-10 hari dekat kripta lieberkuhn. Setelah menjadi dewasa, cacing turun makin ke bawah ke daerah caecum. Suatu struktur yang menyerupai tombak pada bagian anteriornya yang seperti cambuk tertanam ke dalam mukosa usus hospesnya, tempat cacing itu mengambil makanannya. Sekresi mungkin dapat mencairkan sel-sel mukosa yang berdekatan. Masa pertumbuhan mulai dari telur yang tertelan sampai menjadi dewasa yang menghasilkan telur ialah 30-90 hari, hidupnya mungkin selama beberapa tahun (Budiawati, 2001).

Gambar 2.2 Daur hidup Trichuris trichiura (CDC, 2014)

D. Patologi dan Gejala Klinik

Cacing yang menginfeksi kurang dari 100 jarang menyebabkan infeksi ataupun dapat menyebabkan infeksi tanpa gejala yang khas. Kasus berat terjadi dan pada beberapa keadaan dapat meyebabkan kematian (Roberts et al., 2005).

Kerusakan mekanis pada mukosa dan respon alergi hospes merupakan faktor utama untuk setiap kelainan patologi yang berkaitan dengan infeksi ini dan berhubungan erat dengan jumlah cacing, lamanya infeksi dan umur serta status kesehatan umum dari hospes. Cacing ini memasukkan kepalanya ke dalam mukosa

(9)

usus dan menghisap darah, disamping itu dari tempat perlengketannya dapat terjadi perdarahan sehingga bisa menyebabkan anemia. Anemia yang jelas dapat menyertai infeksi Trichuris trichiura dengan kadar Hb serendah 3 gr per 100 ml darah. Setiap hari seekor cacing menghisap darah sebanyak 0,005 ml. Infeksi ringan biasanya tidak menunjukkan gejala dan ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan tinja. Pada infeksi yang berat timbul keluhan karena iritasi pada mukosa, seperti nyeri perut, sukar untuk buang air besar, mencret, kembung, sering flatus, rasa mual, muntah dan turunnya berat badan. Bahkan pada keadaan berat sering ditemukan malnutrisi, terutama pada anak-anak dan kadang-kadang juga terjadi perforasi dan prolaps rekti (Waikagul et al., 2002).

E. Diagnosis

Diagnosis T.trichiura berdasarkan penemuan telur yang khas seperti tempayan di dalam tinja (Waikagul et al., 2002).

F. Pengobatan

Pengobatan trichuriasis tidak seefektif pengobatan parasit usus lainnya. Bagaimanapun, mebendazole 100 mg perhari selama 3 hari memberikan hasil yang cukup memuaskan, sedangkan pemberian albendazole 400 mg dosis tunggal atau dosis ganda selama 2 sampai 3 hari memberikan hasil yang baik (Waikagul et al, 2002).

G. Pencegahan

Hiegenitas perorangan sangat penting. Dalam komunitas, edukasi kesehatan sangat diperlukan pada beberapa aspek misalnya: sanitasi, buangan limbah, pembuangan tinja manusia yang layak. Pembangunan jamban dan pemakaian yang tepat sangat bermanfaat dalam mengontrol infeksi (Waikagul et al., 2002).

(10)

2.1.3 Necator americanus dan Ancylostoma duodenale A. Hospes, Nama Penyakit dan Habitat

Cacing tambang yang menginfeksi manusia ada 2 jenis yaitu Ancylostoma

duodenale dan Necator americanus. Kedua cacing ini disebut cacing tambang karena

pada zaman dahulu cacing ini ditemukan di Eropa pada pekerja tambang yang belum mempunyai sanitasi yang memadai. Telur dari kedua cacing ini lebih sering disebut sebagai cacing tambang. Cacing tambang dewasa dapat dibedakan dari bentuk, ukuran dan morfologi serta mulut. Hospes defenitif kedua spesies ini adalah manusia. Cacing ini menyebabkan nekatoriasis dan ankilostomiasis. Cacing dewasa meletakkan dirinya pada mukosa usus halus terutama di yeyenum, beberapa di duodenum dan jarang di ileum dengan dua pasang gigi pada A. duodenale dan sepasang benda kitin pada N. americanus (Budiawati, 2001).

B. Epidemiologi

Penyebaran cacing tambang di seluruh daerah khatulistiwa, yang kelembaban dan temperaturnya menguntungkan untuk perkembangan larva di tanah. Tanah gembur (pasir, humus) merupakan tempat pembiakan yang baik untuk larva cacing tambang. Suhu optimum bagi N. americanus adalah 280-320C. Ini adalah salah satu sebab mengapa N. americanus lebih banyak ditemukan di Indonesia daripada A.

duodenale (Budiawati, 20001). Dalam diskusi biologi pada hookworm, hal ini terjadi

karena kombinasi dari sanitasi yang buruk dan lingkungan yang memiliki tingkat endemik yang tinggi (Roberts et al., 2005).

C. Morfologi dan Siklus Hidup

Ukuran A. duodenale sedikit lebih besar dari N. americanus. Cacing dewasa jantan berukuran 5-11 mm x 0,3-0.45 mm dan cacing betina 9-13 mm x 0,35-0,6 mm. Bentuk badan N. americanus biasanya menyerupai huruf S, sedangkan A. duodenale menyerupai huruf C. Rongga mulut kedua jenis cacing ini besar. N. americanus

(11)

mempunyai benda kitin, sedangkan A. duodenale ada dua pasang gigi (Wardhana et

al., 2014).

Telur cacing tambang berbentuk oval, tidak berwarna dan berukuran 40 x 60 μ. Dinding luar dibatasi oleh lapisan vitelline yang halus, di antara ovum dan dinding telur terdapat ruangan yang jelas dan bening. Telur yang baru keluar bersama tinja mempunyai ovum yang mengalami segmentasi 2, 4, dan 8 sel. Bentuk telur N.

americanus tidak dapat dibedakan dari A. duodenale. Jumlah telur per-hari yang

dihasilkan seekor cacing betina N. americanus sekitar 9.000-10.000, sedangkan pada

A. duodenale 10.000-20.000 butir (Wardhana et al., 2014).

Gambar 3.1 Telur cacing tambang (hookworm) (CDC, 2014)

Telur cacing tambang dikeluarkan bersama tinja dan berkembang di tanah. Dalam kondisi kelembaban dan temperatur yang optimal, telur akan menetas dalam 1-2 hari dan melepaskan larva rhabditiform yang berukuran 250-300 μm. Setelah dua kali mengalami perubahan akan terbentuk larva filariform. Perkembangan dari telur ke larva filariform adalah 5-10 hari. Kemudian larva menembus kulit manusia dan masuk ke sirkulasi darah melalui pembuluh darah vena dan sampai di alveoli. Setelah itu larva bermigrasi ke saluran nafas atas yaitu dari bronkhiolus ke bronkus, trakea, faring, kemudian tertelan, turun ke esofagus dan menjadi dewasa di usus halus (Wardhana et al., 2014).

(12)

Gambar 3.2 Daur hidup cacing tambang (hookworm) (CDC, 2014)

Kerusakan jaringan dan gejala penyakit dapat disebabkan oleh larva maupun cacing dewasa. Larva menembus kulit dan membentuk maculopapula dan eritem, sering disertai rasa gatal yang hebat, disebut ground itch atau dew itch. Sewaktu larva berada dalam aliran darah dalam jumlah banyak atau pada orang yang sensitif dapat menimbulkan bronkitis atau bahkan pneumonitis (Wardhana et al., 2014).

D. Patologi dan Gejala Klinik

Gejala klinik dan patologis penyakit cacing ini bergantung pada jumlah cacing yang menginfeksi usus; paling sedikit 500 cacing diperlukan untuk menyebabkan terjadinya anemia dan gejala klinik pada pasien dewasa.

l. Stadium larva

Bila banyak larva filariform sekaligus menembus kulit, maka terjadi perubahan kulit yang disebut "ground itch". Perubahan pada paru biasanya ringan.

2. Stadium dewasa

Gejala tergantung pada : (a). spesies dan jumlah cacing dan (b). keadaan gizi penderita ( Fe dan protein ).

(13)

Tiap cacing N. americanus menyebabkan kehilangan darah sebanyak 0,005-0,1cc sehari, sedangkan A. duodenale 0,05-0,34 cc. Biasanya tejadi anemia hipokrom mikrositer. Disamping itu juga terdapat eosinofilia. Rasa tak enak diperut, kembung, sering flatus, mencret-mencret merupakan gejala iritasi cacing terhadap usus halus yang terjadi lebih kurang 2 minggu setelah larva mengadakan penetrasi ke dalam kulit. Anemia akan terjadi 10-20 minggu setelah infestasi cacing (Budiawati, 2001).

E. Diagnosis

1. Pemeriksaan tinja untuk mengetahui karakteristik telur. 2. Gejala klinis.

3. Pemeriksaan sputum untuk mengetahui ada tidaknya larva.

4. Biakan tinja untuk membedakan telur N.americanus dan A.duodenale dengan metode Harada—mori (Waikagul et al., 2002).

F. Pengobatan

Mebendazole adalah pilihan pengobatan. Selain untuk mengobati infeksi N.

americanus dan A. duodenale obat ini juga dapat mengobati infeksi A. lumbricoides.

dosis tunggal selain murah, tepat dan efektif. Sayangnya belum ada keterangan tentang resisten albendazole terhadap N. americanus (Waikagul et al., 2002).

G. Pencegahan

Infeksi cacing tambang dilaporkan lebih banyak pada ras kulit hitam daripada kulit putih, pada generasi muda daripada generasi tua, pada laki-laki daripada perempuan. Resiko tinggi infeksi ini terjadi pada petani yang menggunakan pupuk dari tinja, pada orang-orang yang berjalan tanpa menggunakan alas kaki dan pada orang yang mengkonsumsi sayuran mentah (Waikagul et al., 2002)

Pencegahan yang efektif bergantung pada peningkatan kesehatan dan sanitasi yang adekuat.

(14)

Hal-hal lain yang harus dilakukan:

1) Mengobati orang yang positif terkena infeksi dan mencegah reinfeksi dengan menghentikan pencemaran tanah.

2) Memberikan edukasi tentang infeksi parasit, hiegenitas perorangan dan sanitasi. 3) Pembuangan tinja yang bersih dan mencegah penggunaan pupuk dari tinja

(Waikagul et al., 2002).

2.2 Selada (Lactuca sativa)

Selada (Lactuca sativa) termasuk tanaman setahun atau semusim yang banyak mengandung air (herbaceous). Batangnya pendek berbuku-buku tempat kedudukan daun. Daun-daun selada bentuknya bulat panjang, mencapai ukuran 25 cm dan lebarnya 15 cm atau lebih.

Di daerah yang beriklim sedang (sub-tropis) tanaman selada mudah berbunga. Bunganya berwarna kuning, terletak pada rangkaian yang lebat dan tangkai bunganya dapat mencapai ketinggian 90 cm. Bunga ini menghasilkan buah berbentuk polong, yang berisi biji. Biji selada berbentuk pipih, berukuran kecil-kecil serta berbulu tajam.

Selada dapat ditanam pada berbagai jenis tanah, namun pertumbuhan yang baik akan diperoleh bila ditanam pada tanah gembur, lembab dan mengandung cukup bahan organik. Diasumsikan selada dan STH hidup dalam kondisi tanah yang serupa. Daun selada berposisi duduk sehingga kontak langsung dengan tanah. Keadaan ini memungkinkan telur STH akan mudah menempel pada daun selada yang berada dekat dengan lokasi BAB terutama pada bagian krop terluar dan ujung bagian selada.

Berbeda dengan sayuran lain, selada tidak pernah dimasak karena setelah dimasak rasanya menjadi agak liat. Hal ini memungkinkan telur STH dengan mudah

(15)

masuk ke dalam tubuh karena selada yang dikonsumsi tidak dicuci bersih (Asihka et

al., 2014).

2.3. Pemeriksaan Soil Transmitted Helminths pada Sayuran

Sayuran lalapan merupakan jenis sayuran yang dikonsumsi secara mentah. Hal ini dikarenakan tekstur dan organoleptik sayuran lalapan ini memungkinkan untuk dikonsumsi secara mentah. Kelebihan sayuran lalapan adalah ketika dikonsumsi zat-zat gizi yang terkandung didalamnya tidak mengalami perubahan (Wardhana, 2014)

Salah satu metode pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk mengidentifikasi telur STH pada sayuran adalah dengan metode tak langsung. Dalam metode ini telur cacing tidak langsung dibuat sediaan tetapi sebelum dibuat sediaan sampel diperlakukan sedemikian rupa sehingga telur cacing dapat terkumpul. Metode ini menghasilkan sediaan yang lebih bersih daripada metode yang lain.

Metode tak langsung dibagi menjadi dua cara yaitu sedimentasi (pengendapan) dan flotasi (pengapungan). Prinsip dari teknik sedimentasi adalah memisahkan antara suspensi dan supernatan dengan adanya sentrifugasi sehingga telur cacing dapat terendap. Sedangkan prinsip dari teknik flotasi adalah berat jenis telur cacing lebih kecil daripada berat jenis NaCl jenuh sehingga mengakibatkan telur cacing akan mengapung di permukaan larutan.

Pemeriksaan dengan teknik sedimentasi dan flotasi memiliki kelebihan dan kekurangan. Teknik sedimentasi memerlukan waktu lama, tetapi mempunyai keuntungan karena dapat mengendapkan telur tanpa merusak bentuknya. Pada teknik flotasi, pemeriksaan tidak akurat bila berat jenis larutan pengapung lebih rendah daripada berat jenis telur dan jika berat jenis larutan pengapung ditambah maka akan menyebabkan kerusakan pada telur (Wardhana, 20014).

(16)

2.4 Kerangka Teori

Sayuran

- Penggunaan tinja sebagai pupuk - Sistem irigasi yang buruk - Pencemaran tanah oleh feses yang terkontaminasi

- Sanitasi dan hiegenitas yang buruk

Kontaminasi

Gambar

Gambar 1.2 Daur hidup Ascaris lumbricoides (CDC, 2014)  D. Patologi dan Gejala Klinik
Gambar 2.2 Daur hidup Trichuris trichiura (CDC, 2014)
Gambar 3.2 Daur hidup cacing tambang (hookworm) (CDC, 2014)

Referensi

Dokumen terkait

NSAID merupakan terapi lini pertama untuk wanita dengan dysmenorea primer atau nyeri pelvis akibat endometriosis yang telah dikonfirmasi dengan laparoskopi, juga

Puji syukur saya ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat dan rahmat-Nya sajalah saya dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah berjudul “Efektivitas Krim Almond

Batuan dapat terpanaskan oleh timbunan (burial) atau terobosan dapat juga menimbulkan perubahan tekanan, sehingga sukar dikatakan metamorfisme hanya disebabkan ole

Kritik Islam terhadap konsep kesehatan reproduksi wanita dalam CEDAW berangkat dari perbedaan worldview Islam dengan worldview Barat.. Islam sebagai sebuah bangunan

Addendum Surat Edaran Ketua Satuan Tugas Penanganan COVID - 19 Nomor 8 Tahun 2021 tentang Protokol Kesehatan Peijalanan Intemasional Pada Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (

 Primary Lube Oil Pump atau Main Lube Oil pump (Pompa Minyak Pelumas Utama), berfungsi sebagai pompa minyak pelumas utama dan diputar langsung oleh poros turbin gas,

Tujuan sistem kontrol dan proteksi ini adalah menghasilkan output yang maksimal untuk melindungi turbin gas dari kerusakan saat turbin dalam kondisi operasi

Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) Membuat chatbot yang bisa menjawab pertanyaan secata otomatis, (2) Menghitung tingkat akurasi kesesuian respon chatbot terhadap