• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Undang-undang No. 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang, mengamanatkan bahwa mulai tahun 2015 Pemilihan Umum Kepala Daerah dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali dan diadakan secara serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementrian Dalam Negeri disebutkan bahwa pada tahun 2015 Pemilihan Umum Kepala Daerah akan dilaksanakan secara serentak di 170 Kabupaten, 26 Kota dan 8 Provinsi di Indonesia tanggal 9 Desember 2015 (Kemendagri 2014).

Efektifitas dan efisiensi pelaksanaan pemilukada langsung masih banyak diperdebatkan oleh berbagai pihak baik pemerintah pusat maupun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Beberapa kalangan berpendapat bahwa pemilukada langsung di beberapa daerah di Indonesia memberikan beban keuangan sangat besar bagi daerah (Ritonga dan Alam 2010) serta rawan konflik. Permasalahan klasik yang akan muncul ketika pemilukada dilaksanakan secara langsung salah satunya adalah penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk kepentingan pribadi kepala daerah menjelang pelaksanaannya (Sjahrir et al. 2013). Hal tersebut ditandai banyaknya terjadi kasus pengalokasian anggaran

(2)

commit to user

2

yang berujung penyimpangan anggaran dan korupsi yang dilakukan kepala daerah pada saat menjelang pelaksanaan pemilihan (Mietzner 2011).

Pemilihan umum kepala daerah di Indonesia menjadi salah satu penyebab terjadinya praktik korupsi, money politics dan hubungan patronase yang kuat antara pemilih dan kandidat (Hadiz 2010; Mietzner 2010). Fenomena adanya

money politics dalam pemilu kepala daerah perlu mendapatkan perhatian khusus.

Diduga ada potensi penyimpangan Anggaran Pendapatan dan Belanja (APBD) ketika kepala daerah yang berakhir masa jabatannya dan maju kembali menjadi calon kepala daerah (Ritonga dan Alam 2010). Hessami (2014) menyatakan bahwa penyalahgunaan kewenangan politik berhubungan dengan penyusunan komposisi anggaran publik. Bukti empiris penelitian menunjukkan adanya penyimpangan pada penyusunan dan penetapan anggaran ini di antaranya dilakukan oleh Mauro dan Paolo (1998), Keefer dan Keemani (2003), Tanzi dan Davoodi (1998), Gupta, Davoodi dan Tiongson (2000), Garamfalvi (2003), Abdullah dan Asmara (2006).

Alokasi anggaran menurut Permendagri 21 tahun 2011 dikelompokkan menjadi untuk kategori belanja langsung dan tidak langsung. Pada kategori belanja tidak langsung terdapat pos anggaran yang tidak didasarkan pada target kinerja tertentu atau disebut sebagai dana kebijakan (discretionary funds). Kepala daerah yang berakhir masa jabatannya dan akan maju kembali menjadi calon kepala daerah akan cenderung menggunakan dana kebijakan (discetionary funds) untuk meningkatkan popularitasnya (Sjahrir et al. 2013). Belanja hibah dan belanja bantuan sosial termasuk dalam kategori belanja tidak langsung dan

(3)

commit to user

3

merupakan salah satu pos belanja yang dapat dipakai bagi calon kepala daerah

incumbent untuk memikat hati masyarakat pemilih untuk mendapatkan dukungan

(Ritonga dan Alam 2010; Sjahrir et al. 2013).

Hasil kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan nominal dana hibah dalam APBD yang cenderung meningkat dalam pada periode 2011-2013. Dari Rp15,9 triliun pada 2011, menjadi Rp 37,9 triliun (2012) dan Rp 49 triliun (2013). Ada daerah yang persentase kenaikannya mencapai 117 kali lipat pada 2011-2012, dan 206 kali lipat pada kurun 2012-2013. Kenaikan dana bantuan sosial, mencapai 5,8 kali lipat pada 2011-2012 dan 4,2 kali lipat pada tahun 2012-2013. Bila dilihat dari persentase dana hibah terhadap total belanja, nilainya juga cukup signifikan. Bahkan, terdapat sebuah daerah yang anggaran dana hibahnya mencapai 37,07 persen dari total APBD (KPK 2014).

Dalam upaya mengantisipasi politisasi anggaran belanja hibah dan bantuan sosial oleh kepala daerah pada pemilukada 2015, maka pemerintah menerbitkan Permendagri 32 tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah yang diubah menjadi Permendagri 39 tahun 2012 dengan proses pencairan hibah dan bantuan sosial yang lebih ketat dari pada proses sebelumnya. Tahapan dan mekanisme proses perumusan anggaran belanja hibah dan bantuan sosial mulai tahun 2009 s/d 2013 tidak ada perbedaan yang mendasar (Eftriani 2014). Setelah terbitnya permendagri 39 tahun 2012, penganggaran hibah dan bantuan sosial tidak lagi menggunakan sistem paket, melainkan dengan mencantumkan nama penerima, alamat penerima serta besaran nilai hibah dan bantuan sosial pada

(4)

commit to user

4

lampiran III Peraturan Kepala Daerah tentang Penjabaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Namun demikian, ketatnya aturan tersebut belum menjamin anggaran belanja hibah dan bantuan sosial ini tidak disalahgunakan untuk kepentingan politik kepala daerah khususnya menjelang pemilukada 2015. Berdasarkan Permendagri 21 tahun 2011 yang merupakan perubahan kedua dari Permendagri 13 tahun 2006 menyebutkan bahwa belanja hibah dan bantuan sosial ini masuk dalam kategori belanja tidak langsung yang pengalokasiannya tidak didasarkan pada target kinerja tertentu sehingga penentuan besaran anggarannya cenderung bersifat subyektif (Ritonga dan Alam 2010) dan rentan dengan penyimpangan (Eftriani 2014). Oleh sebab itu perlu dilakukan evaluasi tentang besarnya alokasi anggaran belanja hibah dan bantuan sosial dengan melihat proporsinya terhadap total belanja.

Permendagri 32 tahun 2011 jo. Permendagri 39 tahun 2012 pada pasal 4 dan pasal 22 menyebutkan bahwa pengalokasian anggaran belanja hibah dan bantuan sosial harus memperhatikan kemampuan keuangan daerah setelah memprioritaskan pemenuhan belanja urusan wajib dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan, rasionalitas dan manfaat bagi masyarakat. Kemampuan keuangan daerah ditinjau dari sudut pandang anggaran sebagai alat pengendalian manajerial menyebutkan bahwa pemerintah mempunyai uang yang cukup untuk memenuhi kewajibannya (Mardiasmo 2009). Dengan demikian, kemampuan keuangan daerah bisa diukur berdasarkan ruang fiskal pemerintah daerah.

(5)

commit to user

5

Menurut DJPK (2014), ruang fiskal (fiscal space) merupakan suatu konsep untuk mengukur fleksibilitas yang dimiliki pemerintah daerah dalam mengalokasikan APBD untuk membiayai kegiatan yang menjadi prioritas daerah. Semakin besar ruang fiskal yang dimiliki suatu daerah, maka akan semakin besar pula fleksibilitas yang dimiliki oleh pemerintah daerah untuk mengalokasikan belanjanya. Fleksibilitas yang lebih besar menimbulkan kecenderungan eksekutif maupun legislatif untuk berperilaku menyimpang dalam penganggaran (Mauro 1998; Keefer dan Keemani 2003; Tanzi dan Davoodi 1998; Gupta et al. 2000, Garamfalvi 2003; Abdullah dan Asmara 2006). Menurut (Supriyanto 2015), bahwa ruang fiskal mempunyai pengaruh positif pada kinerja penyelenggaraan pemerintah daerah, namun sebaliknya dapat dimanfaatkan sebagai peluang melakukan korupsi. Pengalokasian belanja hibah dan bantuan sosial dengan motif pribadi kepala daerah juga merupakan salah satu indikasi korupsi yang tersamar.

Penganggaran juga dapat diasumsikan sebagai sebuah proses politik (Eftriani 2014), termasuk didalamnya pengalokasian anggaran belanja hibah dan bantuan sosial. Hasil penelitian Ritonga dan Alam (2010) menyebutkan bahwa rasio anggaran belanja hibah dan bantuan sosial terhadap total belanja terjadi peningkatan lebih tinggi ketika kepala daerah incumbent mencalonkan kembali menjadi calon kepala daerah dibanding yang tidak mencalonkan lagi. Perumusan kedua anggaran tersebut bersifat elitis (pencitraan elit politik) dan kepentingan pribadi bukan mencerminkan kepentingan publik (Eftriani 2014). Namun demikian, penelitian Rohmatullah (2014) menyebutkan bahwa faktor politik ini tidak berpengaruh terhadap pemberian bantuan sosial. Hal ini bertolak belakang

(6)

commit to user

6

dengan pendapat Vijaykumar (1995) yang menyatakan bahwa dalam pengelolaan pemerintahan di daerah, politik merupakan faktor penting yang menentukan dalam pengambilan keputusan/kebijakan.

Selanjutnya besarnya alokasi anggaran belanja hibah dan bantuan sosial tidak terlepas dari karakteristik masing-masing daerah. Beberapa penelitian menghubungkan karakteristik pemerintah daerah dengan belanja daerah diantaranya Madona (2014), Rohmatullah (2014) dan Mustoffa (2015). Karakteristik pemerintah daerah tersebut bisa terdiri dari aspek keuangan maupun non keuangan. Madona (2014) menghubungkan dengan karakteristik keuangan daerah dengan belanja operasi, sedangkan Rohmatullah (2014) memasukkan berbagai karakteristik pemerintah daerah sebagai determinan dari pengalokasian belanja bantuan sosial pada pemerintah kabupaten/kota. Mustoffa (2015) menghubungkan karakteristik daerah dengan seluruh alokasi belanja pemerintah daerah, namun hasilnya banyak yang tidak signifikan.

Berasarkan beberapa penelitian, karakteristik pemerintah daerah menunjukkan pengaruh yang berbeda-beda pada alokasi belanja daerah. Karakteristik ukuran daerah menjadi determinan dari pengalokasian bantuan sosial (Rohmatulloh 2014), namun menurut Mustofa (2015) ukuran daerah hanya berpengaruh pada belanja pegawai dan belanja barang saja, dan tidak berpengaruh pada alokasi belanja hibah dan bantuan sosial. Karakteristik SiLPA daerah baru dapat diketahui setelah tahun anggaran berakhir (Mahmudi 2010), namun penelitian Rohmatulloh (2014) menyebutkan bahwa SiLPA tahun sebelumnya berpengaruh terhadap alokasi belanja bantuan sosial, padahal penentuan besarnya

(7)

commit to user

7

alokasi belanja daerah terjadi pada saat penganggaran sebelum tahun anggaran berakhir. Karakteristik ukuran legistatif mempunyai pengaruh terhadap kebijakan fiskal (Giligan dan Matsusaka 2001), namun pada penelitian Mustoffa (2015) ukuran legislatif ini tidak berpengaruh pada semua alokasi belanja daerah. Karakteristik daerah lainnya adalah letak geografis, yang menurut Skoufias dan Olieveri (2013) mempunyai tujuan yang berbeda dalam pengalokasian belanja hibah dan bantuan sosial, sedangkan Rohmatullah (2014) memasukkan karakteristik geografis ini sebagai determinan pengalokasian belanja bantuan sosial, sehingga belum diketahui apakah juga berpengaruh pada pengalokasian belanja hibah. Masih terbatasnya penelitian yang menghubungkan karakteristik daerah dengan belanja daerah serta banyaknya perbedaan hasil uji karakteristik pemerintah daerah ini menjadikan peneliti memasukkan karakteristik daerah ini untuk melihat lebih jauh pengaruhnya terhadap proporsi alokasi belanja hibah dan bantuan sosial menjelang pemilukada 2015.

B. Perumusan Masalah

Hasil identifikasi fenomena dan review beberapa penelitian sebelumnya memotivasi penulis untuk meneliti dan menganalisis lebih jauh proporsi alokasi anggaran hibah dan bantuan sosial sebelum dan menjelang pemilukada 2015. Penelitian ini diharapkan dapat mengungkapkan kemungkinan adanya indikasi penyalahgunaan anggaran hibah dan bantuan sosial untuk kepentingan politik kepala daerah menjelang pemilukada 2015. Selain itu penting juga untuk mengetahui faktor apa saja yang kemungkinan mempengaruhi besarnya alokasi anggaran belanja hibah dan bantuan sosial sebagai bahan masukan untuk

(8)

commit to user

8

membuat kebijakan pengalokasian belanja tersebut khususnya menjelang pemilukada 2015.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka masalah penelitian ini dirumuskan dalam pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut.

1. Apakah terdapat perbedaan proporsi alokasi belanja hibah dan bantuan sosial sebelum dan menjelang Pemilihan Umum Kepala Daerah 2015?

2. Apakah faktor kemampuan anggaran daerah (ruang fiskal) berpengaruh pada besarnya alokasi anggaran belanja hibah dan bantuan sosial menjelang Pemilihan Umum Kepala Daerah 2015?

3. Apakah faktor politik berpengaruh terhadap penentuan besarnya alokasi anggaran belanja hibah dan bantuan sosial menjelang Pemilihan Umum Kepala Daerah 2015?

4. Apakah faktor karakteristik pemerintah daerah berpengaruh terhadap penentuan besarnya alokasi anggaran belanja dana hibah dan bantuan sosial menjelang Pemilihan Umum Kepala Daerah 2015?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan perumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian akan dijelaskan sebagai berikut ini.

1. Memperoleh bukti empiris mengenai perbedaan proporsi alokasi belanja hibah dan bantuan sosial sebelum dan menjelang pemilihan umum kepala daerah 2015.

2. Memperoleh bukti empiris tentang pengaruh faktor kemampuan anggaran daerah (ruang fiskal) terhadap besarnya alokasi anggaran

(9)

commit to user

9

belanja hibah dan bantuan sosial menjelang pemilihan umum kepala daerah 2015.

3. Memperoleh bukti empiris tentang pengaruh faktor politik terhadap besarnya alokasi anggaran belanja hibah dan bantuan sosial menjelang pemilihan umum kepala daerah 2015.

4. Memperoleh bukti empiris tentang pengaruh faktor karakteristik pemerintah daerah terhadap besarnya alokasi anggaran belanja hibah dan bantuan sosial menjelang pemilihan umum kepala daerah 2015.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat kepada beberapa pihak, diantaranya:

1. Bagi Kementerian Dalam Negeri, hasil penelitian ini diharapkan sebagai masukan untuk evaluasi peraturan pemberian hibah dan bantuan sosial yang tertuang dalam peraturan menteri dalam negeri.

2. Bagi penyusun kebijakan anggaran pemerintah daerah baik eksekutif dan legilatif, hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan dalam melakukan monitoring dan evaluasi pengalokasian anggaran belanja hibah bantuan sosial di daerah masing-masing.

3. Bagi akademisi, hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi dan tambahan pengetahuan atau dikembangkan menjadi penelitian berikutnya di bidang akuntansi sektor publik.

Referensi

Dokumen terkait

Terhadap arang kayu yang digunakan sebagai agregat kasar, dilakukan 5 pengujian material yaitu pengujian kelembaban, air resapan, berat jenis, berat volume, dan kebersihan

Pada penelitian ini objek yang akan diamati adalah tenaga kerja pasang bata yang ada di Kab.. Dalam menentukan tenaga kerja pasang bata yang

Laboratorium Lingkungan di Jurusan Teknik Lingkungan adalah laboratorium yang dikhususkan untuk melayani kegiatan penelitian dosen dan mahasiswa tugas akhir (prodi

 Biaya produksi menjadi lebih efisien jika hanya ada satu produsen tunggal yang membuat produk itu dari pada banyak perusahaan.. Barrier

tinggi. dan satu titik sampel dengan nilai erodibilitas tinggi.. b) Distribusi tingkat eraodibilitas pada ripper DAS Batarig Air. Dingin Kecamatan Koto Tangah Kota

Untuk memperoleh gambaran yang jelas dan menyeluruh mengenai masalah yang diteliti, maka penelitian ini hanya mengambil beberapa faktor yang dapat mempengaruhi

Adapun tujuan Penelitian ini adalah : Untuk menganalisis upaya yang dilakukan oeh Pemerintah Kabupaten/Kota dalam Provinsi Jambi dalam rangka meningkatkan rasio

Secara fitrah manusia merupakan mahluk sosial sehingga dengannya manusia membutuhkan kontak sosial secara personal seperti memiliki sahabat, juga membutuhkan