• Tidak ada hasil yang ditemukan

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar

Belakang

Sumber daya adalah aset untuk memenuhi kepuasan manusia (Grima dan Berkes, diacu dalam Fauzi 2004) atau kemampuan untuk memenuhi atau menangani sesuatu (Ensiklopedia Webster, diacu dalam Fauzi 2004) atau sesuatu yang dipandang memiliki nilai ekonomi (Fauzi 2004). Sumber daya (resources) berbeda dengan modal (capital). Modal adalah sumber daya yang tidak dikonsumsi saat ini melainkan pada masa mendatang mengingat ada kemungkinan bahwa tingkat konsumsi di masa mendatang dapat lebih tinggi dibanding saat ini (Bates 1990, diacu dalam Ostrom 1999 dalam Dasgupta & Serageldin [ed.] 1999). Baik dikonsumsi saat ini maupun pada masa mendatang, sumber daya dan modal adalah sumber paling utama (ultimate source) dan gudang bagi seluruh produktivitas manusia (Jonsson et al. 1994, diacu dalam Ostrom 1999 dalam Dasgupta & Serageldin [ed.] 1999).

Hanya saja, sumber daya bersifat langka (scarce). Selain langka, secara geografis keberadaannya di alam pun seringkali bersifat melekat pada lokasi-lokasi tertentu. Dengan demikian, sumber daya (khususnya sumber daya alam) secara geografis tersebar tidak merata, baik dari segi kualitas maupun kuantitas (Rustiadi et al. 2006). Hal inilah yang menjadi awal dari berkembangnya ilmu wilayah (regional science).

Pemahaman akan prinsip-prinsip kelangkaan berimplikasi pada perlunya suatu sistem alokasi. Mengingat kelangkaannya, maka sumber daya haruslah dialokasikan seefisien dan seefektif mungkin baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Inilah yang menjadi pilar utama dari perencanaan dan pengembangan wilayah, yaitu suatu sistem alokasi sumber daya yang bersifat langka (scarce) dan tersebar tidak merata, baik kuantitas maupun kualitasnya, dalam menghadapi keinginan manusia yang tidak terbatas (Rustiadi et al. 2006).

Sistem alokasi sumber daya tidak hanya memuat tentang efisiensi dan efektivitas pemanfaatan sumber daya tetapi juga memuat distribusi hak kepemilikan (distribution of property right). Sistem alokasi sumber daya tidak hanya mengatur bagaimana suatu sumber daya diekstraksi, tetapi juga mengatur siapa yang boleh mengekstraksi berikut apa saja dan berapa yang boleh

(2)

diekstraksi. Sistem alokasi sumber daya tidak hanya mengatur tentang pengelolaan, tetapi juga penguasaan.

Tingkat penguasaan ditentukan oleh hak kepemilikan (property rights). Hak kepemilikan didefinisikan sebagai kewenangan eksklusif dari pihak yang memiliki sumber daya untuk menentukan bagaimana sumber daya tersebut digunakan (Alchian 2002). Lebih singkatnya Allen (1999) mendefinisikan hak kepemilikan sebagai kapasitas untuk menentukan pilihan (exercise a choice) atas suatu barang atau jasa.

Tanpa hak kepemilikan yang terdefinisikan dengan jelas (well-established property rights), maka setiap pihak akan berkompetisi untuk memiliki atau mengontrol sumber daya dengan cara kekerasan. Pada masa kolonialisme, tanah-tanah jajahan ditentukan oleh negara yang paling kuat. A world of anarchy, situasi itulah yang dinyatakan oleh Allen (2005) ketika hak kepemilikan tidak terdefinisikan.

Berbeda halnya jika hak kepemilikan terdefinisikan dengan jelas. Setiap pihak akan berkompetisi untuk memiliki atau mengontrol sumber daya dengan cara-cara damai (competition by peaceful mean) (Alchian 2002). Elemen kunci dari kemajuan negara-negara Barat adalah hak kepemilikan yang jelas dan terjamin. Hak kepemilikan sekaligus juga sebagai pemicu pertumbuhan ekonomi modern (North & Thomas 1973 dan North & Weingast 1989, diacu dalam Rodrik 1999). Hak kepemilikan menyediakan insentif bagi seseorang untuk mengumpulkan aset dan terus berinovasi (Rodrik 1999).

Oleh karena itulah hak kepemilikan perlu untuk dibangun (establish) dan dijaga (maintain). Segala sumber daya yang digunakan untuk membangun dan menjaga hak kepemilikan disebut sebagai biaya transaksi (transaction costs) (Allen 1991).

Implikasi dari definisi ini adalah biaya transaksi sebesar nol (zero transaction cost) adalah sama dengan well-established and well-maintaned property right. Demikian pula sebaliknya, biaya transaksi yang terlalu tinggi adalah sama dengan tidak adanya hak kepemilikan (absence of property rights). Pernyatakan seperti “jika diasumsikan biaya transaksi sebesar nol dan hak kepemilikan lengkap” adalah pernyataan dengan pengulangan yang tidak perlu (Allen 1999).

(3)

Pada kenyataannya, biaya transaksi tidak dapat dihilangkan. Biaya transaksi sebesar nol tidak dapat terjadi di dunia nyata, artinya biaya transaksi akan selalu positif dan ada dimana-mana (ubiquitous) (Allen 1991, 2005). Hak kepemilikan tidak pernah lengkap (incomplete) dan tidak pernah sempurna (imperfect) (Allen 2005). Hak kepemilikan dikatakan tidak lengkap jika sebagian hak atas suatu barang/sumber daya berada di tangan orang lain. Hak kepemilikan dikatakan tidak sempurna jika penegakan atas hak suatu barang/sumber daya terlalu mahal untuk dilakukan (Allen 2005).

Penyebabnya adalah eksternalitas dan pembatasan-pembatasan hak oleh peraturan-peraturan, baik formal maupun informal (Rodrik 1999; Alchian 2002). Sebagai contoh adalah polusi suara yang diderita oleh pemilik rumah di tepi jalan raya. Pada situasi well-established property rights, maka pemilik rumah dapat menagih para pengguna jalan sebagai kompensasi atas polusi suara yang melintasi hak kepemilikannya (rumah di tepi jalan). Akan tetapi hal ini akan menjadi terlalu mahal terutama untuk pengawasannya. Ini adalah contoh dari eksternalitas. Contoh lain adalah seseorang yang melintasi halaman rumah milik orang lain tanpa permisi bukan lantas menjadikan si pemilik berhak untuk menembaknya. Ada peraturan-peraturan lain dalam bentuk hukum tertulis maupun norma yang membatasi hak kepemilikan. Semua masyarakat di negara-negara di dunia mempraktekkan pembatasan dari penggunaan hak kepemilikan privat sepanjang pembatasan itu dilakukan demi kepentingan publik (Rodrik 1999).

Biaya transaksi tidak dapat dihilangkan tetapi dapat diminimalkan. Minimalisasi biaya transaksi adalah penting artinya tetapi minimalisasi biaya transaksi bukanlah tujuan melainkan sebuah proses antara untuk mencapai tujuan yang lebih luas dan spesifik pada sistem ekonomi seperti maksimalisasi profit untuk perusahaan, maksimalisasi utilitas untuk individu, dan maksimalisasi kesejahteraan masyarakat untuk pemerintah (Rao 2003). Sumber daya yang pada awalnya dialokasikan untuk membangun dan menjaga hak kepemilikan, maka dengan biaya transaksi yang diminimalkan sumber daya tersebut dapat direalokasikan untuk fungsi-fungsi produksi. Dengan biaya transaksi yang diminimumkan, maka eksternalitas negatif yang timbul dapat diinternalisasikan melalui proses bargaining (Fauzi 2005). Jika biaya transaksi sebesar nol, maka efisiensi dapat tercapai dan eksternalitas akan menghilang (Coase 1960, diacu

(4)

dalam Williamson 1993). Artinya, minimalisasi biaya transaksi menjadi prasyarat menuju peningkatan efisiensi dan pengurangan eksternalitas.

Biaya transaksi diminimalkan salah satunya dengan modal sosial (social capital). Uphoff (1999, dalam Dasgupta & Serageldin [ed.] 1999) menggolongkan modal sosial dalam dua kategori (i) kategori struktural, dan (ii) kategori kognitif. Kategori struktural adalah berbagai elemen dari organisasi sosial, khususnya peran (roles), aturan (rules), preseden (precedents), dan tata cara (procedures) sebagaimana juga berbagai jenis jaringan (networks) yang berkontribusi terhadap berlangsungnya kerjasama, dan lebih khususnya lagi adalah aksi bersama yang saling menguntungkan (MBCA: Mutually Beneficial Collective Action). Kategori kognitif berasal dari proses-proses mental dan berbagai gagasan, yang didukung oleh budaya dan ideologi, khususnya norma, nilai, sopan santun, dan keyakinan yang berkontribusi terhadap perilaku untuk bekerjasama dan MBCA.

Lebih lanjut Uphoff menyatakan bahwa kategori struktural inilah, utamanya dalam bentuk jaringan, yang menurunkan biaya transaksi karena interaksi yang sudah terpola menyebabkan hasil yang didapatkan dari kerjasama dapat lebih diprediksikan dan menguntungkan. Stiglitz (1999, dalam Dasgupta & Serageldin [ed.] 1999) menambahkan orang yang berada dalam satu jaringan yang sama akan lebih saling mengenal satu sama lain berikut ekspektasinya.

Selain kategori struktural dari modal sosial dalam bentuk jaringan, ada aspek lain yang dapat meminimalkan biaya transaksi yaitu reputasi (Solow 1999 dalam Dasgupta & Serageldin [ed.] 1999; Stiglitz 1999 dalam Dasgupta & Serageldin [ed.] 1999). Jika Solow tidak mengaitkan reputasi dengan modal sosial (karena Solow tidak setuju dengan penggunaan konsep modal dalam modal sosial), maka Stiglitz melihat bahwa reputasi adalah salah satu dari empat aspek modal sosial (tiga lainnya adalah tacit knowledge, collection of networks, dan organizational capital). Reputasi dapat meminimalkan biaya transaksi karena reputasi memunculkan kepercayaan (trust), dan dengan kepercayaan itulah maka tidak diperlukan lagi sumber daya untuk mencegah perilaku-perilaku eksploitatif (Solow 1999, dalam Dasgupta & Serageldin [ed.] 1999).

Selain modal sosial, biaya transaksi juga diminimalkan melalui kelembagaan (institution). Begitu banyak literatur yang menyatakan bahwa kelembagaan dapat meminimalkan biaya transaksi (diantaranya Lin & Nugent

(5)

1995, diacu dalam Rodrik 1999; Allen 2005; Fauzi 2005). Hasil-hasil penelitian juga banyak yang menegaskan fungsi kelembagaan dalam meminimalkan biaya transaksi (diantaranya Masten et al 1991, diacu dalam Allen 1999; Cordella 2001; Gabre-Madhin 2001; Poel 2005).

Ilmu ekonomi memang menerjemahkan institution sebagai kelembagaan tetapi cabang ilmu lain seperti sosiologi dan antropologi menerjemahkan institution sebagai pranata. Ada juga yang menerjemahkan institution sebagai institusi seperti pada terjemahan buku berjudul The Sociology of Social Change karya PiÖtr Sztompka (1993). Terdapat banyak definisi yang ditawarkan (diantaranya Schotter 1981, diacu dalam Williamson 1993; Sztompka 1993; Lin & Nugent 1995, diacu dalam Rodrik 1999; Koentjaraningrat 2002; Helmke & Levitsky 2003; North 1991, diacu dalam Poel 2005). Bukannya saling bertentangan, tetapi berbagai jenis definisi yang ditawarkan tersebut mengandung tiga kesamaan substansi kelembagaan yaitu (i) kelembagaan adalah aturan main, (ii) aturan tersebut menata tindakan atau perilaku dari kumpulan manusia tersebut, dan (iii) karena ditata, maka tindakan atau perilaku tersebut menjadi berpola atau menjadi kebiasaan. Jika kelembagaan adalah aturan main, maka satu hal yang menarik adalah Chhibber (1999, dalam Dasgupta & Serageldin [ed.] 1999) menyamakan antara kelembagaan informal dengan modal sosial.

Definisi yang ditawarkan oleh North adalah definisi yang paling banyak diterima berbagai kalangan (Poel 2005). Definisi kelembagaan dinyatakan sebagai berikut (North 1995):

“humanly devised constraints that structure human interaction.”

Lin & Nugent (1995, diacu dalam Rodrik 1999) melengkapi definisi tersebut dengan menyatakan bahwa kelembagaan adalah:

"a set of humanly devised behavioral rules that govern and shape the interactions of human beings, in part by helping them to form expectations of what other people will do."

Satu kesalahan adalah ketika institution disamakan dengan organization. Kelembagaan berbeda dengan organisasi. Jika kelembagaan adalah aturan main, maka organisasi adalah pemainnya. Organisasi sebenarnya subkomponen dari kelembagaan (Poel 2005). Secara lengkapnya, organisasi didefinisikan sebagai sekelompok individu yang diikat oleh satu keinginan bersama untuk

(6)

mencapai tujuan tertentu (North, diacu dalam Shirley 2004, diacu dalam Poel 2005).

Kelembagaan adalah fungsi dari biaya transaksi (Allen 2005). Penjelasannya adalah bahwa kelembagaan mengalokasikan/mendistribusikan hak kepemilikan (distribution of property rights) (Allen 1999). Berdasarkan rezim pengelolaan sumber daya, hak kepemilikan didistribusikan dalam tiga bentuk (i) hak kepemilikan publik/pemerintah (public/state property), (ii) hak kepemilikan privat (private property), dan (iii) hak kepemilikan bersama (common property). Allen (2005) menyatakan:

“…institution as a distribution of property rights; that is a set of rules and constraints that define our ability to exercise choices…”

Kelembagaan menjadi tidak memiliki pengaruh apapun pada situasi ketika biaya transaksi sama dengan nol. Teori Coase menyatakan:

“In the absence of transaction costs, the allocation of resources is independent of the distribution of property rights.”

Arti dari teori ini adalah aturan main (dalam bentuk distribusi hak kepemilikan) menjadi tidak berpengaruh pada situasi ketika tawar menawar (bargaining) dapat dilakukan tanpa biaya (costlessly), sebuah situasi ketika biaya transaksi sama dengan nol. Contoh yang diajukan oleh Coase adalah ketika seorang peternak berurusan dengan petani yang menjadi tetangganya mengenai hewan ternaknya yang sering melintasi lahan pertanian. Pada situasi ketika biaya transaksi sama dengan nol, maka berapa banyak jumlah ternak yang boleh melintasi lahan pertanian tidak tergantung pada apakah peternak memiliki hak atau tidak, melainkan ditentukan oleh tingkat output yang dapat mewujudkan maksimalisasi kesejahteraan bersama (joint wealth maximizing level of output) antara peternak dan petani (Allen 2002). Sederhananya, teori Coase adalah aplikasi ilmu ekonomi terhadap situasi ketika tawar menawar dapat dilakukan tanpa biaya dan aturan main berubah (Allen 2005).

Tetapi, karena biaya transaksi selalu positif maka fungsi kelembagaan menjadi penting. Allen (2005) menyatakan secara tegas keterkaitan antara biaya transaksi dengan kelembagaan:

“…when transaction costs are zero, then the institutional rules do not matter. When transaction costs are positive (which they always are) then institution have significant consequences for the allocation of resources.”

(7)

Kelembagaan meminimalkan biaya transaksi selain melalui distribusi hak kepemilikan juga melalui pengurangan tingkat ketidakpastian (uncertainty) pada saat pertukaran terjadi (North 1995). Sebagaimana dinyatakan oleh Lin & Nugent (1995, diacu dalam Rodrik 1999), kelembagaan membantu orang untuk membangun perkiraan tentang apa yang akan dilakukan orang lain. Kelembagaan juga meminimalkan biaya transaksi melalui pengaruhnya terhadap bagaimana organisasi-organisasi memilih bentuk kontrak, apakah kontrak yang lengkap (complete/complex contract) atau kontrak yang tidak lengkap (incomplete/simple contract). Holmstrom dan Tirole (1989 diacu dalam Masten dan Saussier 2001) mencirikan kontrak yang lengkap adalah kontrak yang (i) menyebutkan kewajiban dan tanggung jawab masing-masing pihak pada setiap kemungkinan kondisi (every possible contingency), dan (ii) memberikan kemungkinan hasil terbaik (the best possible outcome) berdasarkan informasi yang tersedia saat kontrak dibuat sehingga tidak akan diperlukan lagi revisi atau upaya untuk melengkapi. Kelembagaan yang berjalan dengan baik dapat mengurangi kebutuhan untuk membuat kontrak yang lengkap. Hal ini dikarenakan kelembagaan yang berjalan dengan baik memunculkan praktek-praktek baik yang menjadi kelaziman (diistilahkan dengan common law) sehingga segala bentuk penyelewengan terhadapnya akan mudah teridentifikasi dan kontrak yang lengkap menjadi tidak lagi dibutuhkan (Allen 2002).

Vitalnya nilai kelembagaan tersebut menjadikan aspek kelembagaan sebagai salah satu dari empat pilar pokok ilmu wilayah (tiga lainnya adalah aspek inventarisasi, klasifikasi, dan evaluasi sumber daya, aspek ekonomi, dan aspek lokasi). Sistem kelembagaan yang berlaku dalam suatu kelompok masyarakat sangat menentukan penguasaan dan pengelolaan sumberdaya (Rustiadi et al 2006).

Kelembagaan sosial (social institutions), menurut banyak ekonom seperti Douglass North, Oliver Williamson, dan Ronald Coase, lebih efisien dalam urusan mekanisme alokasi sumber daya, utamanya ketika terdapat biaya transaksi dalam pengalokasiannya (Stiglitz, 1999 di dalam Dasgupta & Serageldin [ed] 1999). Dalam kasus masyarakat tradisional, kelembagaan pasar non formal yang dibangun oleh masyarakat sebagai media bertransaksi seringkali lebih efisien dibandingkan kelembagaan pasar formal yang lebih mahal biaya transaksinya (Anwar 1994). Sedangkan kelembagaan formal, sebagai contoh adalah negara (state), membebankan biaya transaksi yang begitu besar

(8)

pada proses seperti pendirian usaha baru (setting up a new business) atau restrukturisasi usaha lama, dan seringkali dibutuhkan penyuapan (Chhibber 1999, dalam Dasgupta & Serageldin [ed.] 1999).

Banyak penelitian yang mendukung bahwa kelembagaan informal lebih efisien dan lebih dapat meminimumkan biaya transaksi daripada kelembagaan formal. Penelitian yang dilakukan oleh Gabre-Madhin (2001) menunjukkan bahwa norma dan aturan yang mengatur hubungan antara pedagang (traders) dan pedagang perantara (brokers) pada pasar tanaman biji-bijian (grains) di Etiopia dapat mengurangi perilaku curang (cheating) yang mungkin dilakukan oleh pedagang perantara. Sukmadinata (1995) di dalam disertasinya menyatakan bahwa kelembagaan formal penjualan hasil tangkapan melalui Tempat-tempat Pelelangan Ikan/Pusat-pusat Pendaratan Ikan (TPI/PPI) menyebabkan biaya transaksi yang lebih tinggi bagi nelayan dibandingkan dengan jika nelayan menjual hasil tangkapannya di luar TPI/PPI. Yani (1999) di dalam tesisnya menyatakan bahwa mekanisme kontrak informal antara nelayan kerapu yang menggunakan alat tangkap keramba jaring apung kerapu dengan tauke (tauke adalah orang-orang yang memiliki modal usaha di bidang perikanan dan memberikan pinjaman modal usaha kepada nelayan) untuk urusan penjualan ikan mampu menurunkan biaya transaksi sebesar Rp 19.436,88 untuk setiap ekor ikan kerapu yang diperdagangkan.

Mekanisme kontrak informal dapat meminimumkan biaya transaksi yang dihadapi nelayan utamanya dikarenakan transaksi didasari oleh sikap saling percaya (trust) dan kekeluargaan sebagai kebiasaan yang telah tumbuh dan berkembang sejak lama dalam struktur masyarakat nelayan pantai. Penelitian yang dilakukan oleh Poel (2005) mengenai kelembagaan informal, biaya transaksi, dan rasa saling percaya dengan studi kasus pembangunan rumah oleh kaum migran di Ghana menyatakan bahwa kelembagaan baru dapat meminimumkan biaya transaksi jika kelembagaan tersebut dapat mendorong munculnya saling percaya (trust) terlebih dahulu. Saling percaya menghubungkan kelembagaan dengan biaya transaksi. Sikap saling percaya dan kekeluargaan adalah kategori kognitif dari modal sosial (meliputi norma, nilai, sikap, dan keyakinan), kategori yang sulit dijumpai pada kelembagaan formal mengingat pada kelembagaan formal lebih didominansi oleh kategori struktural (peran, aturan, keteladanan, dan tata cara).

(9)

Tetapi, tidak selamanya kelembagaan informal itu efisien. Stiglitz menunjukkan kelembagaan sosial yang disfungsional (dysfunctional social institutions), misalnya adalah Kolombia, Amerika Serikat, Meksiko, dan lainnya akan menjadi lebih baik tanpa adanya perdagangan narkotika (narcotics trafficking). Tanpa adanya perdagangan narkotika, maka tingkat pendapatan yang sama (the same level of income) akan dapat lebih dinikmati (Stiglitz, 1999 di dalam Dasgupta & Serageldin [ed.] 1999).

Kelembagaan pun tidak selalu didesain agar efisien secara sosial (socially efficient). Bahkan, kerap kali kelembagaan didesain hanya untuk melayani kepentingan dari pihak yang memiliki kuasa untuk membuat peraturan-peraturan (North 1995). Kelembagaan dapat didesain untuk mengurangi biaya transaksi, tetapi seringkali yang terjadi adalah sebaliknya (Rao 2003).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dari kelembagaan dalam meminimalkan biaya transaksi. Untuk itu, penelitian ini diawali dengan pengukuran biaya transaksi. Pengukuran biaya transaksi adalah sebuah tantangan. Hal ini dikarenakan, pertama, tidak ada variabel terukur yang langsung dapat menghitung biaya transaksi. Dalam daftar input produksi, tidak ada komponen yang dinamakan biaya transaksi. Biaya transaksi tidak dapat dihitung secara langsung melainkan diperkirakan (estimated) dengan menggunakan berbagai variabel proxies (Gabre-Madhin 2001; Allen 2002). Kedua, teori mengenai biaya transaksi belum sama diterima umum. Terdapat perbedaan bahkan mengenai definisi biaya transaksi itu sendiri (Allen 2002). Allen (1991, 1999) menggolongkan dua mazhab yang berbeda dalam mendefinisikan biaya transaksi: neoclassical approach dan property right approach. North (1995) mengistilahkan pendekatan yang digunakannya sebagai University of Washington approach. Dengan segala perbedaan itu, biaya transaksi hanya dipersatukan oleh kesepakatan bahwa konsep ini memiliki nilai penting (North 1995).

Hingga tahun 1999, Allen (1999) menyatakan bahwa hanya terdapat dua penelitian saja yang mencoba mengukur biaya transaksi. Satu penelitian dilakukan oleh Wallis & North (1986), dan satu penelitian lainnya dilakukan oleh Masten, Meehan & Snyder (1991). Tantangan ini tentu memberikan gairah tersendiri terhadap penelitian yang akan dilakukan ini. Kontribusi Allen melalui berbagai makalah di berbagai jurnal (1991, 1999, 2005) adalah nyata terhadap

(10)

penelitian ini untuk mencoba menjawab tantangan tersebut, termasuk membentuk mazhab yang dianut dalam penelitian ini yaitu property right approach.

Penelitian mengenai kelembagaan dapat dilakukan terhadap organisasi. Meskipun kelembagaan itu berbeda dengan organisasi, tetapi aturan main pada kelembagaan melekat di dalam organisasi (Helmke & Levitsky 2003). Organisasi merupakan suatu bagian (unit) pengambil keputusan yang di dalamnya diatur oleh sistem kelembagaan (Rustiadi et al 2006).

Hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Iskandar (2004) menunjukkan bahwa organisasi pemuda dapat turut berinvestasi dalam modal sosial. Organisasi pemuda yang dimaksud adalah Komunitas Peduli Kampung Halaman (KALAM), sebuah organisasi yang bergerak di tingkat kelurahan dan berlokasi di Kelurahan Tegal Gundil Kecamatan Bogor Utara Kota Bogor. Investasi terhadap modal sosial dilakukan oleh KALAM melalui pembuatan koran komunitas.

Tidak hanya berinvestasi dalam modal sosial, KALAM sebagai organisasi pemuda juga turut mengelola sumber daya lokal. Para pedagang kaki lima diorganisir dalam satu wadah disebut dengan STG (Saung Tegal Gundil), dan jika sebelumnya para PKL tersebut berdagang dengan menempati trotoar, maka setelah diorganisir terbangunlah saung bambu yang apik bagi tempat para PKL berdagang tanpa mengganggu satupun pohon-pohon peneduh jalan hingga trotoar pun kembali pada fungsinya semula. Melalui pengorganisasian ini pula maka para PKL yang sebelumnya berdagang tanpa kepastian perizinan menjadi mendapatkan kepastian usaha dengan diberikannya izin usaha oleh Walikota Bogor.

Pembangunan STG pun diapresiasi oleh pemerintah dengan menjadikannya salah satu juara dalam Lomba Karya Inovasi Penataan Ruang yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum. Lomba yang diadakan dalam rangka memperingati World Town Planning Day 2008 itu berskala nasional. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan KALAM memberikan pengaruh terhadap pengelolaan wilayah, khususnya dalam hal penataan ruang dan peningkatan aktivitas ekonomi. Adanya STG menunjukkan bahwa organisasi pemuda seperti KALAM memiliki potensi daya ungkit (leveraging) bagi pembangunan wilayahnya.

(11)

Hal-hal inilah yang mendasari sehingga organisasi pemuda KALAM menjadi studi kasus dalam penelitian ini. Investasinya terhadap modal sosial menandakan bahwa modal sosial organisasi KALAM telah baik sehingga dapat diketahui pengaruhnya terhadap minimalisasi biaya transaksi. Perannya dalam pengelolaan sumber daya lokal menjadikan KALAM sebagai organisasi pemuda penting dalam konteks pembangunan wilayah.

Apalagi, dalam konteks wilayah perkotaan terdapat kecenderungan terjadinya “youth bulge”, ialah meningkatnya jumlah populasi pemuda dan ini utamanya terjadi di negara-negara berkembang. Menggunakan definisi pemuda versi Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kepemudaan yang menyebutkan bahwa pemuda ialah orang dalam rentang usia 18-35 tahun, maka jumlah pemuda dalam populasi penduduk Indonesia mencapai 32% (BPS 2008). Fenomena youth bulge ini pada gilirannya mendorong perhatian yang lebih terhadap penciptaan lapangan kerja, tingkat kriminalitas dan kekerasan, serta kesetaraan peluang (Hoornweg et al. 2007). Fenomena youth bulge memiliki pengaruh nyata terhadap ekonomi, sosial, dan budaya (Hansen et al. 2008).

Untuk kepentingan pembandingan dan pengujian faktor-faktor yang berpengaruh terhadap minimalisasi biaya transaksi maka ditentukanlah Karang Taruna Berbakti (KARTAR) Kelurahan Kebon Pedes Kecamatan Tanah Sareal Kota Bogor sebagai pembanding KALAM. Kesamaan-kesamaan antara KALAM dan KARTAR adalah (i) bergerak di tingkat kelurahan, dan (ii) berprestasi di tingkat Kota Bogor hingga Provinsi Jawa Barat.

Baik KALAM dan KARTAR juga sama-sama merupakan kelembagaan yang telah bertahan lama. KALAM didirikan pada tanggal 10 Agustus 2002 sedangkan KARTAR jauh lebih dahulu yaitu pada tanggal 3 Oktober 1982. Usia kelembagaan menjadi penting karena hal ini menjadi salah satu dari dua karakteristik dasar New Institutional Economics (NIE) (Allen 2005):

“…the NIE has two critical characteristics. First, it views long lived institution as efficient and therefore proper subject of economic inquiry.”

Penelitian yang dilakukan akan menghasilkan pengetahuan mengenai pengaruh dari kelembagaan dalam meminimalkan biaya transaksi. Pengetahuan ini diharapkan dapat berkontribusi terhadap upaya-upaya penguatan kelembagaan.

(12)

Penguatan kelembagaan menjadi istilah yang populer dan kerap kali didengungkan oleh banyak pihak dari beragam sektor. Hal ini salah satunya didasari oleh kecenderungan bahwa banyak kelembagaan, baik formal maupun informal, yang semakin melemah sehingga tidak mampu lagi mengatur dan membentuk pola perilaku para anggotanya. Kelembagaan yang ada pun banyak diduga tidak efisien secara sosial melainkan hanya melayani kepentingan pihak yang memiliki kuasa untuk membentuk peraturan-peraturan. Menurut Rachbini (2001), pembangunan kelembagaan adalah unsur paling lemah dalam pemerintahan Indonesia selama 30 tahun terakhir ini. Cepatnya pertumbuhan ekonomi tidak didukung oleh kelembagaan yang modern dan kuat sehingga Indonesia tergelincir ke dalam krisis sosial politik yang akut.

Penguatan kelembagaan tidak lengkap dipahami dan dilakukan hanya melalui pembuatan atau revitalisasi aturan main saja. Penguatan kelembagaan yang menjadi agenda penting nasional dan dilaksanakan oleh multi sektor dan multi pihak ini hanya dapat utuh dipahami dan dilakukan jika memperhatikan sisi minimalisasi biaya transaksi yang memang menjadi fitrah dari kelembagaan: kesepakatan yang meminimumkan biaya transaksi (Fauzi 2005). Atas dasar inilah penelitian ini menjadi penting untuk dilakukan.

1.2 Tujuan

1. Mengetahui besaran biaya transaksi pada dua kelembagaan pemuda yang menjadi studi kasus.

2. Mengetahui faktor-faktor dari kelembagaan yang berpengaruh terhadap minimalisasi biaya transaksi.

Referensi

Dokumen terkait

yang sangat besar seperti: (1) pengembangan kompetensi guru (matematika) dalam pendidikan dan pengajaran serta pengabdian kepada masyarakat merefleksikan pada

Hasil dari penelitian ini adalah terumuskan 5 strategi dan kebijakan IS/IT yang sebaiknya diterapkan di FIT Tel-U berdasarkan pertimbangan 3 hal, pertama kebutuhan

L : Ya Tuhan Yesus yang telah mati di kayu salib, hanya oleh karena kasihMu kepada orang berdosa ini. P : Ajarilah kami selalu mengingat Tuhan yang mati di kayu

 Inflasi Kota Bengkulu bulan Juni 2017 terjadi pada semua kelompok pengeluaran, di mana kelompok transport, komunikasi dan jasa keuangan mengalami Inflasi

Penataan promosi statis ialah suatu kegiatan untuk mempertunjukkan, memamerkan atau memperlihatkan hasil praktek atau produk lainnya berupa merchandise kepada masyarakat

3 Scatter plot hasil clustering algoritme PAM untuk k=17 7 4 Scatter plot hasil clustering algoritme CLARA untuk k=19 9 5 Plot data titik panas tahun 2001 sampai dengan

Penelitian ini terdiri dari dua percobaan yaitu 1) Iradiasi sinar gamma pada kalus embriogenik jeruk keprok SoE untuk mendapatkan nilai LD 50. 2) Seleksi untuk mendapatkan

Pengelolaan sumberdaya ikan berbasis pada peningkatan kesejahteraan nelayan yang dilakukan dengan cara: (a) pengaturan dan pengurangan jumlah armada purse seine,