• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

D. Tindak Pidana Pencucian Uang Menurut Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang

Dalam konteks kepentingan nasional ditetapkannya Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang adalah dengan membentuk undang-undang yang melarang perbuatan dan menghukum berat para pelaku tindak pidana pencucian uang. Dengan adanya undang-undang maka diharapkan tindak pidana pencucian uang dapat dicegah dan diberantas.33

Secara umum ada tiga alasan pokok yang menyebabkan praktik pencucian uang diperangi dan dinyatakan sebagai tindak pidana, yaitu sebagai berikut:34

1. Karena pengaruhnya pada sistem keuangan dan ekonomi diyakini berdampak negatif bagi perekonomian dunia, misalnya dampak negatif terhadap efektivitas penggunaan sumber daya dan dana. Dengan adanya praktik pencucian uang maka sumber daya dan dana banyak digunakan untuk kegiatan yang tidak sah dan dapat merugikan masyarakat. Disamping itu dana-dana banyak yang kurang dimanfaatkan secara optimal. Hal ini terjadi karena uang hasil tindak pidana terutama diinvestasikan pada Negara-negara yang dirasakan aman untuk mencuci uangnya, walaupun hasilnya lebih rendah. Uang hasil tindak pidana itu dapat saja beralih dari suatu Negara yang perekonomiannya baik ke       

33 Juni Sjafrien Jahja, Op.Cit, hal. 45. 34Ibid, hal.12-14.

(2)

2. Negara yang perekonomiannya kurang baik, karena pengaruhnya negatifnya pada pasar financial dan dampaknya dapat mengurangi kepercayaan publik terhadap sistem keuangan internasional, dan kejahatan terorganisir yang melakukan pencucian uang dapat juga membuat ketidakstabilan pada ekonomi nasional. Fluktuasi yang tajam pada nilai tukar dan suku bunga mungkin juga merupakan akibat negatif dari praktik pencucian uang. Dengan berdampak negatif itu diyakini bahwa praktik pencucian uang dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dunia.

3. Dengan ditetapkannya pencucian uang sebagai tindak pidana akan lebih memudahkan bagi aparat penegak hukum untuk menyita hasil tindak pidana yang kadangkala sulit untuk disita, misalnya aset yang susah dilacak atau sudah dipindahtangakan kepada pihak ketiga. Dengan pendekatan follow the money, kegiatan menyembunyikan atau menyamarkan uang hasil tindak pidana dapat dicegah dan diberantas. Dengan kata lain, orientasi pemberantasan tindak pidana sudah beralih dari ”menindak pelakunya” ke arah menyita “hasil tindak pidana”. Di banyak Negara dengan menyatakan praktik pencucian uang sebagai tindak pidana merupakan dasar bagi penegak hukum untuk memidanakan pihak ketiga yang dianggap menghambat upaya penegakan hukum.

4. Dengan dinyatakannya praktik pencucian uang sebagai tindak pidana dan dengan adanya kewajiban pelaporan sistem pelaporan transaksi dalam jumlah tertentu dan transaksi yang mencurigakan, memudahkan para penegak hukum untuk menyelidiki kasus pidana sampai kepada

(3)

tokoh-tokoh yang di belakang tindak pidana pencucian uang yang biasanya sulit dilacak dan ditangkap, karena pada umumnya mereka tidak terlihat dalam pelaksanaan tindak pidana, tetapi menikmati hasil tindak pidana tersebut. Adapun latar belakang pembentukan Undang-Undang No 15Tahun 2002 dalam dijelaskan dalam penjelasan Undang-Undang yaitu Berbagai kejahatan, baik yang dilakukan oleh orang perseorangan maupun oleh korporasidalam batas wilayah suatu negara maupun yang dilakukan melintasi batas wilayah negara lain makin meningkat. Kejahatan tersebut antara lain berupa tindak pidanakorupsi, penyuapan (bribery), penyelundupan barang, penyelundupan tenaga kerja,penyelundupan imigran, perbankan, perdagangan gelap narkotika dan psikotropika,perdagangan budak, wanita, dan anak, perdagangan senjata gelap, penculikan,terorisme, pencurian, penggelapan, penipuan, dan berbagai kejahatan kerah putih.

Kejahatan-kejahatan tersebut telah melibatkan atau menghasilkan Harta Kekayaan yangsangat besar jumlahnya. Harta Kekayaan yang berasal dari berbagai kejahatan atau tindak pidana tersebut, padaumumnya tidak langsung dibelanjakan atau digunakan oleh para pelaku kejahatan karenaapabila langsung digunakan akan mudah dilacak oleh penegak hukum mengenai sumber diperolehnya Harta Kekayaan tersebut. Biasanya para pelaku kejahatan terlebih dahulu mengupayakan agar Harta Kekayaan yang diperoleh dari kejahatan tersebut masuk kedalam sistem keuangan (financial system), terutama ke dalam sistem perbankan (banking system).

(4)

Dengan cara demikian, asal usul Harta Kekayaan tersebut diharapkan tidakdapat dilacak oleh para penegak hukum. Upaya untuk menyembunyikan ataumenyamarkan asal usul Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini, dikenal sebagai pencucian uang (money laundering).

Bagi organisasi kejahatan, Harta Kekayaan sebagai hasil kejahatan ibarat darah dalam satu tubuh, dalam pengertian apabila aliran Harta Kekayaan melalui sistem perbankan internasional yang dilakukan diputuskan, maka organisasi kejahatan tersebut lamakelamaan akan menjadi lemah, berkurang aktivitasnya, bahkan menjadi mati. Oleh karena itu, Harta Kekayaan merupakan bagian yang sangat penting bagi suatu organisasi kejahatan.Untuk itu, terdapat suatu dorongan bagi organisasi kejahatan melakukan pencucian uang agar asal usul Harta Kekayaan yang sangat dibutuhkan tersebut sulitatau tidak dapat dilacak oleh penegak hukum.

Perbuatan pencucian uang di samping sangat merugikan masyarakat, juga sangat merugikan negara karena dapat mempengaruhi atau merusak stabilitas perekonomian nasional atau keuangan negara dengan meningkatnya berbagai kejahatan.

Sehubungan dengan hal tersebut, upaya untuk mencegah dan memberantas praktek pencucian uang telah menjadi perhatian internasional. Berbagai upaya telah ditempuh oleh masing-masing negara untuk mencegah dan memberantas praktek pencucian uang termasuk dengan cara melakukan kerja sama internasional, baik melalui forum secara bilateral maupun multilateral.

(5)

Dalam konteks kepentingan nasional ditetapkannya Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang merupakan penegasan bahwa Pemerintah dan sektor swasta bukan merupakan bagian dari masalah, akan tetapi bagian dari penyelesaian masalah,baik di sektor ekonomi, keuangan, maupun perbankan.

Pertama-tama usaha yang harus ditempuh oleh suatu negara untuk dapat mencegah dan memberantas praktek pencucian uang adalah dengan membentuk Undang-undang yang melarang perbuatan pencucian uang dan menghukum dengan berat para pelaku kejahatan tersebut. Dengan adanya Undang-undang tersebut diharapkan tindak pidana pencucian uang dapat dicegah atau diberantas, antara lain kriminalisasi atas semua perbuatan dalam setiap tahap proses pencucian uang yang terdiri atas:

a. Penempatan (placement) yakni upaya menempatkan uang tunai yang berasal daritindak pidana ke dalam sistem keuangan (financial system) atau upaya menempatkan uang giral (cheque, wesel bank, sertifikat deposito, dan lain-lain) kembali ke dalam sistem keuangan, terutama sistem perbankan.

b. Transfer (layering) yakni upaya untuk mentransfer Harta Kekayaan yang berasal dari tindak pidana (dirty money) yang telah berhasil ditempatkan pada Penyedia JasaKeuangan (terutama bank) sebagai hasil upaya penempatan (placement) ke Penyedia Jasa Keuangan yang lain. Dengan dilakukan layering, akan menjadi sulitbagi penegak hukum untuk dapat mengetahui asal usul Harta Kekayaan tersebut.

c. Menggunakan Harta Kekayaan (integration) yakni upaya menggunakan HartaKekayaan yang berasal dari tindak pidana yang telah berhasil masuk ke

(6)

dalamsistem keuangan melalui penempatan atau transfer sehingga seolah-olah menjadi Harta Kekayaan halal (clean money), untuk kegiatan bisnis yang halal atau untuk membiayai kembali kegiatan kejahatan. Penyedia Jasa Keuangan di atas diartikan sebagai penyedia jasa di bidang keuangan termasuk tetapi tidak terbatas pada bank, lembaga pembiayaan, perusahaan efek,pengelola reksa dana, kustodian, wali amanat, lembaga penyimpanan dan penyelesaian,pedagang valuta asing, dana pensiun, dan perusahaan asuransi.

Adapun yang dimaksud dengan:

a. Bank adalah bank sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perbankan.

b. Lembaga pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai lembaga pembiayaan.

c. Efek, kustodian, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, perusahaan efek, pengelola reksa dana, rekening efek, reksa dana, dan wali amanat adalah efek, kustodian, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, perusahaan efek, pengelola reksa dana, rekening efek, reksa dana, dan wali amanat sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pasar modal.

d. Pedagang valuta asing adalah pedagang valuta asing sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pedagang valuta asing.

(7)

e. Dana pensiun adalah dana pensiun sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai dana pensiun. f. Perusahaan asuransi adalah perusahaan asuransi sebagaimana dimaksud

dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perusahaan asuransi.

Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dalam Undang-undang ini dibentuk pula Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yangdisingkat dengan PPATK, yang bertugas:

a. mengumpulkan, menyimpan, menganalisis, mengevaluasi informasi yang diperoleh oleh PPATK sesuai dengan Undang-undang ini;

b. memantau catatan dalam buku daftar pengecualian yang dibuat oleh Penyedia Jasa Keuangan;

c. membuat pedoman mengenai tata cara pelaporan Transaksi Keuangan yang Mencurigakan;

d. memberikan nasihat dan bantuan kepada instansi yang berwenang tentang informasi yang diperoleh oleh PPATK sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini;

e. mengeluarkan pedoman dan publikasi kepada Penyedia Jasa Keuangan tentang kewajibannya yang ditentukan dalam Undang-undang ini atau dengan peraturan perundang-undangan lain, dan membantu dalam mendeteksi perilaku nasabah yang mencurigakan;

f. memberikan rekomendasi kepada Pemerintah mengenai upaya-upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang;

(8)

g. melaporkan hasil analisis transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang kepada Kepolisian dan Kejaksaan;

h. membuat dan memberikan laporan mengenai hasil analisis transaksi keuangan dan kegiatan lainnya secara berkala 6 (enam) bulan sekali kepada Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, dan lembaga yang berwenang melakukan pengawasan terhadap Penyedia Jasa Keuangan. Di samping itu, untuk memperlancar proses peradilan tindak pidana pencucian uang,Undang-undang ini mengatur kewenangan penyidik, penuntut umum, atau hakim sesuai dengan tingkat penanganan perkara untuk dapat meminta pemblokiran Harta Kekayaan kepada Penyedia Jasa Keuangan. Undang-undang ini juga mengatur kewenangan penyidik, penuntut umum, atau hakim untuk meminta keterangan dari Penyedia Jasa Keuangan mengenai Harta Kekayaan setiap orang yang telah dilaporkan oleh PPATK,tersangka, atau terdakwa.

Selain kekhususan di atas, Undang-undang ini juga mengatur mengenai persidangan tanpa kehadiran terdakwa, dalam hal terdakwa yang telah dipanggil 3 (tiga) kali secara sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tidak hadir, maka Majelis Hakim dengan putusan sela dapat meneruskan pemeriksaan dengan tanpa kehadiran terdakwa.

Menurut Undang-Undang No. 15 Tahun 2002, tindak pidana pencucian uang mencakup 15 macam tindak pidana yang dinamakan predicate crime, yang terdiri atas Korupsi, penyuapan, penyeludupan barang, penyeludupan tenaga kerja, penyeludupan imigran, perbankan, narkotika, psikotropika, perdagangan

(9)

budak, wanita dan anak, perdagangan senjata gelap, penculikan, terorisme pencurian, penggelapan, penipuan.

Pasal 35 Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 menegaskan bahwa di sidang pengadilan terdakwa “wajib” membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana. Perkataan “wajib” mengandung pengertian bahwa dalam Undang-Undang ini dianut sistem pembuktian terbalik. Namun, dalam penjelasan pasal tersebut dinyatakan bahwa terdakwa “diberi kesempatan” untuk membuktikan harta kekayaannya bukan berasal dari tindak pidana. Bunyi kata wajib dengan bunyi kata “diberi kesempatan” mempunyai pengertian yang berbeda. Dengan demikian sistem pembuktian terbalik dalam undang-undang ini masih menjadi perdebatan, bahkan sebenarnya membuat hal yang jelas menjadi tidak jelas.35

Dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2002, pencucian uang dibedakan dalam dua tindak pidana, yaitu:

1. Tindak pidana pencucian uang aktif diatur dalam Pasal 3 dimana seseorang dengan dengan sengaja menempatkan, mentransfer, menghibahkan, membayar, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan uang-uang hasil tindakan pidana dengan tujuan mengaburkan atau menyembunyikan asal-usul uang itu, sehingga muncul seolah-olah menjadi uang yang sah.

2. Tindak pidana pencucian uang pasif diatur dalam Pasal 6 yang dikenakan kepada setiap orang yang dikenakan kepada setiap orang yang menerima

       35 Phiilips Darwin, Op.Cit. hal. 68.

(10)

atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, penerimaan hibah, sumbangan, penitipan, penukaran uang yang berasal dari tindak pidana tersebut dengan tujuan yang sama yaitu menyembunyikan asal-usulnya.

Undang-Undang ini juga menyebutkan bahwa tentang transaksi mencurigakan sebagai salah satu hal yang berhubungan dengan pencucian uang. Menurut Pasal 1 ayat 6 dan Pasal 3 ayat 1a:

“Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah transaksi yang menyimpang dari profil dan karakteristik serta kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan, termasuk transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan, yang wajib dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan Sesuai dengan ketentuan undang-undang ini , dan “setiap orang yang berkaitan dengan sengaja menempatkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana ke dalam Penyedia Jasa Keuangan, baik atas nama sendiri atau atas nama pihak lain.”

Dalam Pasal 3 Ayat 2 memasukkan unsur percobaan, pembantuan, atau permufakatan melakukan tindak pidana pencucian uang sebagai tindak pidana yang diancam pidana penjara dan pidana denda. Sebagaimana diketahui, pemanfaatan bank dalam kejahatan pencucian uang dapat berupa:36

1. Menyimpan uang hasil tindak pidana dengan nama palsu;

2. Menyimpan uang di bank dalam bentuk deposito, tabungan, rekening atau giro;

3. Menukar pecahan uang hasi kejahatan dengan pecahan lainnya yang lebih besar atau kecil

      

36http://rimaru.web.id/proses-pencucian-uang-money-laundering/ diakses pada 21 Maret 2016

(11)

4. Bank yang bersangkutan dapat diminta untuk memberikan kredit kepada nasabah pemilik simpanan dengan jaminan uang yang disimpan di bank yang bersangkutan;

5. Menggunakan fasilitas transfer atau EFT (Electronic Fund Transfer); 6. Melakukan transaksi ekspor impor fiktif dengan memalsukan

dokumen-dokumen yang dilakukan bekerja sama dengan oknum pejabat terkait; 7. Pendirian atau pemanfaatan bank gelap.

Selain mengatur tentang hukuman untuk pelaku, undang-undang ini juga menyebutkan perihal hukuman untuk pihak-pihak yang membantu tindak pidana pencucian uang. Dalam Pasal 10 yang disebutkan:

“ PPATK, penyidik, saksi, penuntut umum, hakim atau orang lain yang bersangkutan dengan perkara tindak pidana pencucian uang yang sedang diperiksa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat 1,dan Pasal 41 ayat 1 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun”

Pasal 11 menyatakan:

1. Dalam hal terpidana tidak mampu membayar pidana denda tersebut diganti dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun;

2. Pidana penjara sebagai pengganti denda sebgaimana dimaksud dalam ayat 1 dicantumkan dalam amar putusan hakim .

B. Tindak Pidana Pencucian Uang Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang

Latar belakang pembentukan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 di jelaskan dalam penjelasan Undang-Undang yaitu karena perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya di bidang komunikasi telah menyebabkan terintegrasinya sistem keuangan termasuk sistem perbankan yang

(12)

menawarkan mekanisme lalu lintas dana antarnegara yang dapat dilakukan dalam waktu yang sangat singkat. Keadaan ini di samping mempunyai dampak positif, juga membawa dampak negatif bagi kehidupan masyarakat yaitu dengan semakin meningkatnya tindak pidana yang berskala nasional maupun internasional, dengan memanfaatkan sistem keuangan termasuk sistem perbankan untuk menyembunyikan atau mengaburkan asal-usul dana hasil tindak pidana (money

laundering).

Berkenaan dengan itu dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Namun, ketentuan dalam Undang-Undang tersebut dirasakan belum memenuhi standar internasional serta perkembangan proses peradilan tindak pidana pencucian uang sehingga perlu diubah, agar upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dapat berjalan secara efektif.

Perubahan dalam Undang-Undang ini antara lain meliputi:

a. Cakupan pengertian Penyedia Jasa Keuangan diperluas tidak hanya bagi setiap orang yang menyediakan jasa di bidang keuangan tetapi juga meliputi jasa lainnya yang terkait dengan keuangan. Hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi pelaku tindak pidana pencucian uang yang memanfaatkan bentuk Penyedia Jasa Keuangan yang ada di masyarakat namun belum diwajibkan menyampaikan laporan transaksi keuangan dan sekaligus mengantisipasi munculnya bentuk Penyedia Jasa Keuangan baru yang belum diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002.

(13)

b. Pengertian Transaksi Keuangan Mencurigakan diperluas dengan mencantumkan transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.

c. Pembatasan jumlah hasil tindak pidana sebesar Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih, atau nilai yang setara yang diperoleh dari tindak pidana dihapus, karena tidak sesuai dengan prinsip yang berlaku umum bahwa untuk menentukan suatu perbuatan dapat dipidana tidak tergantung pada besar atau kecilnya hasil tindak pidana yang diperoleh. d. Cakupan tindak pidana asal (predicate crime) diperluas untuk mencegah

berkembangnya tindak pidana yang menghasilkan Harta Kekayaan dimana pelaku tindak pidana berupaya menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul hasil tindak pidana namun perbuatan tersebut tidak dipidana.

Berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait yang mempidana tindak pidana asal antara lain:

1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika; 2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika;

3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

(14)

4) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

e. Jangka waktu penyampaian laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan dipersingkat, yang semula 14 (empat belas) hari kerja menjadi tidak lebih dari 3 (tiga) hari kerja setelah Penyedia Jasa Keuangan mengetahui adanya unsur Transaksi Keuangan Mencurigakan. Hal ini dimaksudkan agar Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana dan pelaku tindak pidana pencucian uang dapat segera dilacak.

f. Penambahan ketentuan baru yang menjamin kerahasiaan penyusunan dan penyampaian laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan yang disampaikan kepada PPATK atau penyidik (anti-tipping off). Hal ini dimaksudkan antara lain untuk mencegah berpindahnya hasil tindak pidana dan lolosnya pelaku tindak pidana pencucian uang sehingga mengurangi efektifitas pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.

g. Ketentuan kerja sama bantuan timbal balik di bidang hukum (mutual legal

assistance) dipertegas agar menjadi dasar bagi penegak hukum Indonesia

menerima dan memberikan bantuan dalam rangka penegakan hukum pidana pencucian uang. Dengan adanya ketentuan kerja sama bantuan timbal balik merupakan bukti bahwa Pemerintah Indonesia memberikan komitmennya bagi komunitas internasional untuk bersama-sama mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang. Kerja sama internasional telah dilakukan dalam forum yang tidak hanya bilateral

(15)

namun regional dan multilateral sebagai strategi untuk memberantas kekuatan ekonomi para pelaku kejahatan yang tergabung dalam kejahatan yang terorganisir.

Namun demikian pelaksanaan kerja sama bantuan timbal balik harus tetap memperhatikan hukum nasional masing-masing negara serta kepentingan nasional dan terutama tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 memuat defenisi tindak pidana pencucian uang dan segala aturan yang bersangkutan dengan masalah tersebut. Dalam Pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa :

“Pencucian uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa uang ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahui atau patut dicurigai merupakan hasil tindak pidana dengna maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal-usul Harta Kekayaan sehingga seolah-olah menjadi Harta Kekayaan yang sah.”

Dalam hal tindak pidana yang memicu terjadinya pencucian uang meliputi penyuapan, penyeludupan barang, penyeludupan tenaga kerja, penyeludupan imigran, perbankan, pasar modal, asuransi, narkotika, psikotropika, perdagangan Manusia, senjata gelap, penculikan , terorisme, pencurian, penggelapan, penipuan, pemalsuan uang, perjudian , prostitusi, perpajakan, kehutanan, lingkungan hidup, kelautan, atau tindak pidana lainnya yang diancam dengan penjara empat tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.

(16)

Beberapa tindakan yang dapat dikualifikasikan ke dalam tindak pidana pencucian uang menurut Pasal 3 Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 adalah:

8. Menempatkan harta kekayaan ke dalam penyedia jasa keuangan baik atas nama sendiri atau atas nama orang lain, padahal diketahui atau patut diduga bahwa harta tersebut diperoleh melalui tindak pidana. 9. Mentransfer harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga

merupakan hasil tindak pidana pencucian uang, dari suatu penyedia jasa keuangan ke penyedia jasa keuangan yang lain. Baik atas nama sendiri maupun atas nama orang lain.

10. Membelanjakan atau menggunakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan harta yang diperoleh dari tindak pidana. baik atas nama sendiri maupun atas nama pihak lain.

11. Menitipkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan harta yang diperoleh dari tindak pidana baik atas nama sendiri maupun atas nama pihak lain.

12. Membawa ke luar negeri harta yang diketahuinya atau patut diduga merupakan harta yang diperoleh dari tindak pidana.

13. Menukarkan atau perbuatan lainnya tehadap harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan harta yang diperoleh dari tindak pidana dengan mata uang atau surat berharga lainnya, dengan tujuan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan tersebut.

Tindakan-tindakan tersebut dapat dipidana penjara paling singkat lima tahun dan paling singkat lima tahun dan paling lama 15 tahun, dan denda paling sedikit Rp. 100 juta dan paling banyak 15 miliar.

Dalam Pasal 6 menyebutkan bahwa Setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan,pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, atau penukaran harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga harta tersebut diperoleh dari hasil tindak pidana, maka dapat dipidana dengan hukuman penjara paling singkat lima tahun dan paling lama 15 tahun, dan denda paling sedikit Rp. 100 juta dan paling banyak Rp. 15 Miliar.

(17)

C. Tindak Pidana Pencucian Uang Menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

1. Tindak Pidana Pencucian Uang

Menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesiahanya mencantumkan pengertian dari pencucian uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini disebutkan dalam Pasal 1 angka (1). Dengan Hasil tindak pidana berupa harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana asal sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 2 angka (1) seperti:

a. korupsi; b. penyuapan; c. narkotika; d. psikotropika;

e. penyelundupan tenaga kerja; f. penyelundupan migran; g. di bidang perbankan; h. di bidang pasar modal; i. di bidang perasuransian; j. kepabeanan;

k. cukai;

l. perdagangan orang;

m. perdagangan senjata gelap; n. terorisme; o. penculikan; p. pencurian; q. penggelapan; r. penipuan; s. pemalsuan uang; t. perjudian; u. prostitusi; v. di bidang perpajakan; w. di bidang kehutanan; x. di bidang lingkungan hidup;

y. di bidang kelautan dan perikanan; atau

(18)

penjara 4 (empat) tahun atau lebih.

Tindak pidana asal (predicate crime) adalah tindak pidana yang memicu (sumber) terjadinya tindak pidana pencucian uang.37

Undang No.8 Tahun 2010 membedakan tindak pidana pencucian uang menjadi dua kelompok, antara lain “tindak pidana pencucian uang” sebagaimana diatur dalam Bab II Pasal 3 sampai Pasal 10 dan “tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang” sebagaimana diatur dalam Bab III Pasal 11 sampai dengan Pasal 16.

Mengenai tindak pidana pencucian uang itu yang diatur dalam BAB II Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, yaitu :

Pasal 3

“Setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa keluar negeri mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidanakarena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling lama20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000.000, 00 (sepuluh miliar rupiah).

Pasal 4

“Setiap orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas harta kekayaan yang diketah uinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 5

      

37 Muhammad Yusuf,Dkk, Ikhtisar Ketentuan Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Jakarta: PT. Gramedia, 2011, hal. 97.

(19)

1. Setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

2. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi Pihak Pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

Pasal 6

1. Dalam hal tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 dilakukan oleh korporasi, pidana dijatuhkan terhadap Koorporasi dan/atau Personil Pengendalian Koorporasi.

2. Pidana dijatuhkan terhadap Korporasi apabila tindak pidana pencucian uang:

a. Dilakukan atau diperintahkan oleh Personil Pengendali Korporasi; b. Dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan Korporasi; c. Dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi

perintah; dan

d. Dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi Korporasi. Pasal 7

1. Pidana pokok yang dijatuhkan terhadap Korporasi adalah pidana denda paling banyak Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).

2. Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terhadap Korporasi juga dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:

a. Pengumuman putusan hakim;

b. Pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha Korporasi; c. Pencabutan izin usaha;

d. Pembubaran dan / atau pelarangan Korporasi; e. Perampasan aset Korporasi untuk negara; dan / atau f. Pengambilalihan Korporasi oleh negara.

Pasal 8

Dalam hal harta terpidana tidak cukup untuk membayar pidana denda sebagai mana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5, pidana tersebut diganti dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan.

Pasal 9

1. Dalam hal Korporasi tidak mampu membayar denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), pidana denda tersebut diganti dengan perampasan Harta Kekayaan milik Korporasi atau Personil Pengendali

(20)

Korporasi yang nilainya sama dengan putusan pidana denda yang dijatuhkan

2. Dalam hal penjualan Harta Kekayaan milik Korporasi yang dirampas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencukupi, pidana kurungan pengganti denda dijatuhkan terhadap Personil Pengendali Korporasi dengan memperhitungkan denda yang telah dibayar.

Pasal 10

Setiap orang yang berada di dalam atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang turut serta melakukan percobaan, pembantuan, atau Pemufakatan Jahat untuk melakukan tindak pidana pencucian uang dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5.

Secara umum ada tiga tahapan proses pencucian uang, yaitu: a. Penempatan (Placement)

Tahap ini merupakan bentuk yang paling sederhana dari tindak pidana pencucian uang, di mana pelaku menempatkan (mendepositokan) uang haram tersebut ke dalam sistem keuangan (financial system). Pada tahap placement ini, bentuk dari uang hasil kejahatan harus dikonversi untuk menyembunyikan asal-usul yang tidak sah dari uang itu. Misal, hasil dari perdagangan narkoba uangnya terdiri atas pecahan-pecahan kecil yang berjumlah sangat banyak lalu dikonversi ke dalam denominasi uang yang lebih besar, kemudian uang tersebut didepositokan ke dalam rekening bank, dan dibelikan ke instrument-instrumen moneter seperti cheques, money orders, dan lain-lain.38

      

38 Andri Gunawan, Membatasi Transaksi Tunai Peluang dan Tantangan, Jakarta Selatan: Indonesian Legal Roundtable, 2013, hal 40.

(21)

Jadi placement adalah upaya menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu kegiatan tindak pidana ke dalam sistem keuangan. Bentuk kegiatan ini, antara lain:39

1) Menempatkan dana pada bank. Kadang-kadang kegiatan ini diikuti dengan pengajuan kredit/pembiayaan;

2) Menyetorkan uang pada bank dan perusahan jasa keuangan lain sebagai pembayarankredit untuk mengaburkan audit trial;

3) Menyeludupkan uang tunai dari suatu Negara ke Negara lain;

4) Membiayai- suatu usaha yang seolah-olah sah atau terkait dengan usaha yang sah berupa kredit/pembiayaan sehingga mengubah kas menjadi kredit/pembiayaan;

5) Membeli barang-barang berharga yang bernilai tinggi untuk keperluan pribadi atau sebagai hadiah kepada pihak lain yang pembayarannya dilakukan melalui perusahaan jasa keuangan lain.

b. Transfer (Layering)

Dalam tahap ini, pencuci berusaha untuk memutuskan hubungan uang hasil kejahatan itu dari sumbernya, dengan cara memindahkan uang tersebut dari satu bank ke bank lain hingga beberapa kali. Dengan cara memecah-mecah jumlahnya, dana tersebut dapat disalurkan melalui pembelian dan penjualan

investment instrument, mengirimkan dari perusahaan gadungan yang satu ke

perusahaan gadungan yang lain. Para pencuci uang juga bisa membeli efek-efek

       39 Adrian Sutedi, Op.Cit, hal. 19.

(22)

atau alat-alat trasnportasi seperti pesawat atau alat-alat berat atas nama orang lain.40

Bentuk kegiatan ini antara lain:41

1) Transfer dana dari satu bank ke bank lain dan atau antar wilayah/Negara;

2) Penggunaan simpanan tunai sebagai agunan untuk mendukung transaksi yang sah;

3) Memindahkan uang tunai lintas batas Negara, baik melalui jaringan kegiatan usaha yang sah maupun shell company.

c. Menggunakan Harta Kekayaan (Integration)

Integration adalah upaya menggunakan harta kekayaan yang telah berhasil

masuk ke dalam sistem keuangan melalui penempatan transfer. Dalam situasi ini seolah-olah harta tersebut menjadi bersih, bahkan merupakan objek pajak dengan menggunakan uang yang telah menjadi halal untuk kegiatan bisnis melalui cara dengan menginvestasikan dana tersebut ke dalam real estate, barang mewah, perusahaan-perusahaan.

Jadi dalam integration, begitu uang tersebut telah dapat diupayakan proses pencuciannya berhasil melalui caralayering, maka tahap selanjutnya adalah menggunakan uang yang telah menjadi uang halal (clean moneyi) yang digunakan untuk kegiatan bisnis atau kegiatan operasi kejahatan dari penjahat atau organisasi kejahatan yang mengendalikan uang tersebut.

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana Pencucian Uang       

40 Andri Gunawan, Op.Cit, hal. 40. 41 Adrian Sutedi, Op.Cit, hal. 20.

(23)

Unsur-unsur dalam Pasal 3 Undang-Undang No.8 Tahun 2010 adalah sebagai berikut:

a. Unsur subjektif (mens rea): diketahuinya atau patut diduganya bahwa harta kekayaan yang didapat merupakan hasil tindak pidana dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan.

b. Unsur objektif (actus reus): 3. Menempatkan 4. Mentransfer 5. Mengalihkan 6. Membelanjakan 7. Membayarkan 8. Menghibahkan 9. Menitipkan

10. Membawa keluar negeri 11. Mengubah bentuk

12. Menukarkan dengan mata uang atau surat berharga 13. atau perbuatan lain atas harta kekayaan

Pasal 3 Undang-Undang No.8 Tahun 2010 merupakan tindak pidana pencucian uang aktif . Apabila dilihat dari unsur-unsur maka perbuatan yang diatur dalam pasal 3 ini masuk ke dalam tahapan Placement, Layering, dan

Integration.

Unsur-unsur dalam Pasal 4 Undang-Undang No.8 Tahun 2010 adalah sebagai berikut:

(24)

a. Unsur subjektif (mens rea): harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana.

b. Unsur objektif (actus reus): 1) Menyembunyikan

2) Menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, 3) Pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya

Pasal 4 Undang-Undang No.8 Tahun 2010 merupakan tindak pidana pencucian uang aktif.Apabila dilihat dari unsur-unsur maka perbuatan yang diatur dalam pasal 4 ini masuk ke dalam tahapan Layering, dan Integration.

Unsur-unsur dalam Pasal 5 Undang-Undang No.8 Tahun 2010 adalah sebagai berikut:

a. Unsur subjektif (mens rea): harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana.

b. Unsur objektif (actus reus): 1) Menerima 2) Menguasai penempatan 3) Pentransferan 4) Pembayaran 5) Hibah 6) Sumbangan 7) Penitipan, 8) Penukaran

(25)

Pasal 5 Undang-Undang No.8 Tahun 2010 merupakan tindak pidana pencucian uang pasif.Apabila dilihat dari unsur-unsur dalam maka perbuatan yang diatur dalam pasal 5 ini masuk ke dalam tahapan Layering, dan Integration.

Sanksi bagi pelaku tindak pidana pencucian uang juga cukup berat, yakni dimulai dari hukuman penjara paling lama 20 tahun, dengan dengan paling banyak Rp.10 Miliar.

Ketentuan mengenai pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang yang diatur dalam Bab III Undang-Undang No.8 Tahun 2010 yaitu:

Pasal 11

1. Pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, hakim, dan Setiap Orang yang memperoleh Dokumen atau keterangan dalam rangka pelaksanaan tugasnya menurut Undang-Undang ini wajib merahasiakan Dokumen atau keterangan tersebut, kecuali untuk memenuhi kewajiban menurut Undang-Undang ini.

2. Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.

3. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, dan hakim jika dilakukan dalam rangka memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 12

1. Direksi, komisaris, pengurus atau pegawai Pihak Pelapor dilarang memberitahukan kepada Pengguna Jasa atau pihak lain, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan cara apa pun mengenai laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan yang sedang disusun atau telah disampaikan kepada PPATK.

2. Ketentuan mengenai larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk pemberian informasi kepada Lembaga Pengawas dan Pengatur.

3. Pejabat atau pegawai PPATK atau Lembaga Pengawas dan Pengatur dilarang memberitahukan laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan yang akan atau telah dilaporkan kepada PPATK secara langsung atau tidak langsung dengan cara apa pun kepada Pengguna Jasa atau pihak lain. 4. Ketentuan mengenai larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak

(26)

5. Pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 13

Dalam hal terpidana tidak mampu membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (5), pidana denda tersebut diganti dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan.

Pasal 14

Setiap Orang yang melakukan campur tangan terhadap pelaksanaan tugas dan kewenangan PPATK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 15

Pejabat atau pegawai PPATK yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 16

Dalam hal pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, atau hakim, yang menangani perkara tindak pidana Pencucian Uang yang sedang diperiksa, melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1) dan/atau Pasal 85 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun.

3. Subjek Hukum dalam tindak pidana pencucian uang

Subjek hukum dalam Undang-undang No.8 Tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang adalah Orang sebagai Naturlijk Persoon dan Korporasi sebagai Recht Persoon sebagai badan usaha berbadan hukum maupun non berbadan hukum.

a. Naturlijk Persoon

Dalam sejarah perundang-undangan hukum pidana, pernah dikenal bahwa subjek dari sesuatu tindak pidana bukan hanya manusia saja , tetapi juga hewan. Sampai abad ke-17 hukum (pidana) pernah menerapkan pidana terhadap hewan,

(27)

namun setelah itu hanya manusia yang menjadi subjek hukum.Pada abad pertengahan (tahun 1571) pernah dipidana seekor banteng (sapi), karena membunuh seorang wanita.42

Menurut KUHP bahwa hanya manusialah yang dianggap sebagai subjek tindak pidana, ini tersimpulkan antara lain dari:43

1. Perumusan delik yang selalu menentukan subjeknya dengan istilah: barangsiapa, warga Negara Indonesia, nakhoda, pegawai negeri dan lain sebagainya. Penggunaan istilah-istilah tersebut selain daripada yang ditentukan dalam rumusan delik yang bersangkutan, dapat ditemukan dasarnya pada Pasal 2-9 KUHP. Untuk istilah barangsiapa, dalam Pasal 2,3 dan 4 KUHP digunakan istilah een ieder (dengan terjemahan “setiap orang”);

2. Ketentuan mengenai pertanggungjawaban pidana seperti diatur, terutama dalam Pasal 44, 4544, 49 KUHP, yang antara lain mensyaratkan “kejiwaan” dari petindak/pelaku;

3. Ketentuan mengenai pidana yang diatur dalam Pasal 10 KUHP, terutama mengenai pidana denda, Hanya manusialah yang mengerti nilai uang. Dalam Undang-Undang No 8 Tahun 2010 Pasal 1 angka 9 menyebutkan “Setiap Orang adalah orang perseorangan atau Korporasi”. Pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana pencucian uang dapat dibedakan menjadi dua, yaitu

      

42E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1982, hal. 218.

43 Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, hal. 395

44 Dengan berlakunya Undang-Undang NO.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 67, maka pada saat mulai berlakunya undang-undang ini, Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 47 KUHP dinyatakan tidak berlaku lagi.

(28)

pertanggungjawaban individu dan pertanggungjawaban korporasi. Mengingat terjadinya perubahan sosial diberbagai perubahan sosial di berbagai bidang kehidupan manusia, maka subjek hukum pidana tidak lagi dapat dibatasi hanya pada manusia alamiah (naturlijk persoon) tetapi mencakup pula korporasi (recht

persoon). Secara teoritis subjek hukum adalah segala sesuatu yang mempunyai

hak dan kewajiban.45 Dengan demikian orang sebagai subjek hukum memiliki kewenangan untuk bertindak menurut hukum.

b. Recht Persoon46

Sebagaimana layaknya subjek hukum, badan hukum mempunyai kewenangan melakukan perbuatan hukum seperti halnya orang, akan tetapi perbuatan hukum itu hanya terbatas pada bidang hukum harta kekayaan. Mengingat wujudnya adalah badan atau lembaga, maka dalam mekanisme pelaksanaannya badan hukum bertindak dengan perantara pengurus-pengurusnya.

Dalam hukum perdata telah lama diakui bahwa suatu badan hukum (sebagai suatu subyek hukum mandiri; persona standi in judicio) dapat melakukan perbuatan melawan hukum (onrechtmatig handelen; tort). Penafsiran ini dilakukan melalui asas kepatutan (doelmatigheid) dan keadilan (bilijkheid). Oleh karena itu dalam hukum perdata suatu korporasi (recht persoon) dapat dianggap bersalah melakukan perbuatan melawan hukum, disamping para anggota direksi sebagai naturlijk persoon.

      

45Mudijono, Sistem Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1997,hal.43.

46 http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol17818/metamorfosis-badan-hukum-indonesia diakses pada 26 Januari 2016.

(29)

Berbeda permasalahannya dalam hukum pidana. Dalam ilmu hukum pidana Indonesia, gambaran tentang pelaku tindak pidana (kejahatan) masih sering dikaitkan dengan perbuatan yang secara fisik dilakukan oleh pelaku (fysieke dader). Dalam pustaka hukum pidana modern telah diingatkan, bahwa dalam lingkungan sosial ekonomi atau dalam lalu lintas perekonomian, seorang pelanggar hukum pidana tidak selalu perlu melakukan kejahatannya itu secara fisik.

Dikatakan bahwa karena perbuatan korporasi selalu diwujudkan melalui perbuatan manusia (direksi; manajemen), maka pelimpahan pertanggungjawaban manajemen (manusia; naturlijk persoon), menjadi perbuatan korporasi (badan hukum; recht persoon) dapat dilakukan apabila perbuatan tersebut dalam lalu lintas kemasyarakatan berlaku sebagai perbuatan korporasi.Ini yang dikenal sebagai konsep hukum tentang pelaku fungsional (functionele dader).

Dalam Undang-Undang No 8 Tahun 2010 ini, Korporasi memiliki pertanggungjawaban yang sama dengan Individu (naturlijk Persoon) oleh karena kedudukannya sebagai recht persoon. Hal ini terlihat dalam ketentuan Pasal 6 undang-undang ini yang menyebutkan bahwa “dalam hal tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, 4 dan 5 dilakukan oleh Korporasi, pidana dijatuhkan terhadap korporasi atau personil pengendali korporasi”

Selanjutnya Pasal 6 ayat 2 menyebutkan pidana dijatuhkan terhadap Korporasi apabila tindak pidana pencucian uang:

a) Dilakukan atau diperintahkan oleh Personil Pengendali Korporasi; b) Dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan korporasi

(30)

c) Dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah; dan

d) Dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi Korporasi. Perbuatan sebagaimana diancamkan dalam Pasal 3, 4 , dan 5 merupakan perbuatan yang diancamkan terhadap manusia (unsur setiap orang), pencantuman korporasi sebagai subjek tindak pidana dalam undang-undang ini dapat dikatakan merupakan penyimpangan dari ketentuan dalam KUHP.

Undang-Undang ini menuntut pertanggungjawaban baik terhadap orang maupun korporasi yang terlibat dalam tindak pidana pencucian uang yang pemidanaan yang dijatuhkan kepada pelaku pencucian uang adalah penjara maupun denda serta pidana denda dan/atau pidana tambahan bagi korporasi selaku pelaku tindak pidana pencucian uang.Di samping itu terhadap Korporasi dapat juga dilakukan perampasan terhadap harta kekayaannya untuk membayar besaran denda yang dijatuhkan dalam Putusan Hakim.

4. Kekhususan Undang-Undang No. 8 Tahun 2010

Sebagaimana halnya dengan berbagai peraturan perundangan-perundangan yang mengatur tentang tindak pidana yang tersebar di luar KUHP, maka dalam pengaturan tindak pidana pencucian uang juga memberlakukan aturan khusus, antara lain:

1) Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)

PPATK adalah lembaga independen yang dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang yang dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya bersifat independen dan bebas dari

(31)

campur tangan dan pengaruh kekuasaan manapun yang bertanggung jawab kepada presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 37 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010.

PPATK wajib menyerahkan hasil analisi kepada penyidik untuk ditindaklanjuti, jika menemukan adanya petunjuk atas dugaan telah ditemukan transaksi mencurigakan dan dalam rangka melaksanakan fungsi analisis atau pemeriksaan laporan dan informasi PPATK meneruskan hasil analisis atau pemeriksaan kepada penyidik sebagaimana diatur dalam Pasal 44 huruf l Undang-Undang No. 8 Tahun 2010.

2) Ancaman pidana penjara dan denda

Ancaman pidana bagi pelaku tindak pidana pencucian uang dari hukuman penjara paling lama 20 tahun, dengan dengan paling banyak Rp.10 Miliar.

Pasal 8 Undang-Undang Pencucian Uang mengatur bahwa dalam hal terpidana tidak cukup untuk membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5, pidana tersebut diganti dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan 4 (empat) bulan.

Dalam hal korporasi tidak mampu membayar pidana denda maka pidana denda diganti dengan perampasan harta kekayaan milik Korporasi atau Personil Pengendali Korporasi dengan memperhitungkan denda yang telah dibayar, apabila Harta Kekayaan tidak mencukupi, pidana kurungan pengganti denda dijatuhkan terhadap Personil Pengendali Korporasi dengan memperhitungkan denda yang telah dibayar sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang Pencucian Uang.

(32)

Pasal 10 Undang-Undang Pencucian Uang mengatur masalah percobaan, pembantuan dan pemufakatan jahat dianggap sebagai delik selesai dan dihukum sama dengan delik selesai, jadi dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5.

4) Perintah pemblokiran Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim

Berdasarkan Pasal 71 Undang-Undang Pencucian Uang Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim berwenang untuk memerintahkan kepada penyedia jasa keuangan untuk melakukan pemblokiran Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dari Setiap orang yang telah dilaporkan oleh PPATK kepada Penyidik, Tersangka atau Terdakwa.

5) Penyedia Jasa Keuangan dalam pidana pencucian uang

Pasal 23 Undang-Undang Pencucian Uang menyebutkan bahwa penyedia jasa keuangan wajib melaporkan kepada PPATK mengenai Transaksi Keuangan Mencurigakan.

6) Alat Bukti

Alat bukti yang sah dalam pembuktian tindak pidana pencucian uang menurut Pasal 73 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 adalah:

a. Alat bukti sebagaimana yang dimaksud dalam Hukum Acara Pidana; dan/atau

b. Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optic atau alat yang serupa optic dan Dokumen.

(33)

Hukum acara dalam kasus pidana pencucian uang dapat diterapkan sistem peradilan in absentia, yaitu peradilan yang dilakukan dengan suatu putusan pengadilan di mana terdakwa sendiri tidak hadir, meskipun telah dipanggil secara sah menurut ketentuan yang berlaku sesuai dengan Pasal 79 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010.

8) Harta kekayaan terdakwa yang meninggal dunia

Bahwa harta kekayaan yang telah disita dan terdakwanya kemudian meninggal dunia sebelum putusan hakim, dapat dirampas untuk Negara sebagaimana diatur dalam Pasal 79 ayat 5 Undang-Undang Pencucian Uang.

9) Penyidik dalam Undang-Undang Pencucian Uang

Berdasarkan Pasal 74 penyidikan tindak pidana pencucian uang dilakukan oleh Penyidik tindak pdiana asal sesuai dengan ketentuan hukum acara dan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain menurut undang-undang ini.

Dalam Penjelasan Pasal 74 bahwa penyidik tindak pidana asal adalah pejabat dari instansi yang oleh undang-undang diberi kewenangan untuk melakukan penyidik yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN), serta Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementrian Keuangan Republik Indonesia.

10) Beban Pembuktian terbalik

Dalam Pasal 77 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 disebutkan bahwa untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan terdakwa wajib

(34)

membuktikan bahwa Harta Kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana, jadi dalam Undang-Undang ini menganut sistem pembuktian terbalik, di mana justru terdakwa sendirilah yang diwajibkan untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Ketentuan ini menyimpang dari prinsip “jaksa membuktika”, yaitu prinsip hukum pidana yang menganut jaksa diwajibkan membuktikan dalil-dalil dakwaan yang diajukan.

11) Korporasi dapat dijatuhi pidana

Tindak pidana yang dilakukan pengurus dengan mengatasnamakan korporasi, dipertanggungjawabkan baik kepada pengurus dan atau kuasa pengurus maupun terhadap korporasi. Hal ini terlihat dalam ketentuan Pasal 6 undang-undang ini yang menyebutkan bahwa “dalam hal tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, 4 dan 5 dilakukan oleh Korporasi, pidana dijatuhkan terhadap korporasi atau personil pengendali korporasi”.

12) Perlindungan Saksi dan Pelapor

Undang-undang ini menganut sistem perlindangn terhadap orang yang melaporkan suatu kejahatan kepada pihak yang berwenang, demikian juga terhadap orang yang mengetahui suatu kejahatan dan dijadikan sebagai saksi dalam kasus perbuatan pidana itu.

Orang yang melaporkan, menginformasikan atau memberitahukan terjadinya dugaan tindak pidana pencucian uang, wajib mendapat perlindungan khusus oleh Negara dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, termasuk keluarganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 Undang-Undang Pencucian Uang.

Referensi

Dokumen terkait

Sebab umum penyebab konflik politik Kerajaan Demak adalah pembunuhan Pangeran Sekar Seda Lepen oleh Sunan Prawoto karena dianggap sebagai

Mengingat banyaknya kebutuhan yang diperlukan oleh keluarga dan anggota-anggotanya, maka dari kedua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa yang merupakan kebutuhan

• Pemeriksaan laboratorium, yaitu Anti-HSV II IgG dan IgM sangat penting untuk mendeteksi secara dini terhadap kemungkinan terjadinya infeksi oleh HSV II dan mencegah

Pengaruh Kompos Pupuk Organik yang Diperkaya dengan Bahan Mineral dan Pupuk Hayati terhadap Sifat-sifat Tanah, Serapan Hara dan Produksi Sayuran Organik.. Laporan Proyek

Klasifikasi iklim di Indonesia menurut Mohr didasarkan pada jumlah bulan kering (BK) dan bulan basah (BB) yang dihitung sebagai harga rata-rata dalam waktu yang

harganya diperkirakan mencapai 20 Miliyar. Dengan besarnya biaya investasi yang dibutuhkan, cukup sulit untuk perusahaan pelayaran dalam negeri untuk melakukan

Pembahasan penelitian ini berdasarkan hasil observasi kegiatan guru dan siswa serta hasil belajar yang diperoleh siswa dapat diungkapkan bahwa sebelum

Kedua , adalah kekuatan dari luar masyarakat (external faktor), seperti pengaruh kontak-kontak antar budaya ( culture contact ) secara langsung maupun persebaran atau unsur