8 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Biblioterapi 2.1.1 Definisi Biblioterapi
Biblioterapi adalah penggunaan literatur dan puisi dalam treatment bagi orang-orang yang mengalami masalah emosional atau sakit mental. Biblioterapi sering digunakan dalam kerja kelompok dan terapi kelompok, dilaporkan efektif bagi semua orang dari berbagi kelompok usia, baik bagi pasien yang melakukan rawat inap maupun rawat jalan serta pada pasien yang melakukan tindakan perawatan gigi, juga efektif bagi orang-orang sehat yang ingin berbagi literatur yang berguna bagi pertumbuhan dan perkembangan pribadi (Herlina, 2013).
Biblioterapi juga dapat disimpulkan sebagai alat untuk memberikan dukungan psikoterapi melalui bahan bacaan untuk membantu seseorang yang mengalami masalah personal (Darmawan, 2012). Biblioterapi adalah pengguanaan buku-buku untuk membantu orang memecahkan masalah (Noviza, 2013). Apriliawati (2014) mengemukakan biblioterapi sebagai terapi untuk mendukung kebutuhan anak dalam memproses pengalaman pribadi yang sulit seperti pengalaman yang menyakitkan dan menbingungkan.
2.1.2 Sejarah Biblioterapi
Selama berabad-abad buku telah menjadi “Terapis Bisu” bagi begitubanyak orang. Melalui buku, pembaca dapat sepenuhnya memasuki peran baru, mereka seolah-olah mengalami sendiri contoh-contoh kehidupan dan gaya hidup. Fiksi yang baik dapat memberikan klien model-model yang dapat membantunya mengatasi msalah yang dihadapinya. Notifikasi yang bermutu, terutama buku-buku bantu diri
(self-help book) dapat memberikan klien pengaruh nyata dan saran yang dapat membantunya mengatasi masalah yang dihadapinya (Herlina, 2013).
Selama berabad-abad, buku telah digunakan sebagai sumberdaya untuk membantu orang mengatasi masalah. Sebagai contoh, pada masa Thebes kuno, perpustakaan digambarkan sebagai “The Healing Place of The Soul”, tempat penyembuhan jiwa. Masyarakat Thebes kuno menghargai buku sebagai sebuah sumber untuk meningkatkan kualitas kehidupan. Schrank dan Engels (1981) menyatakan bahwa praktik biblioterapi dapat telusuri sampai masa Thebes kuno dan kemudian digunakan sebagai sumber bantuan untuk pengajaran dan penyembuhan (Herlina, 2013).
Biblioterapi berasal dari dua kata Yunani, biblion (berarti buku) dan therapenia (berarti penyembuhan). Istilah biblioterapi di ciptakan pada tahun 1916 oleh Samuel McChord (1916), seorang Menteri Uritarian dan Esais. Sejarah biblioterapi berawal dari Perang Dunia I (pertama) ketika para tantara mengalami luka lalu diberi buku konten emosional untuk dibaca agar dapat menenangkan dan membantu mereka mengungkapkan perasaan. Jadi biblioterapi merupakan sebuah metode yang dapat membantu mereka untuk mengungkapkan perasaan mereka dan dapat digunakan sendiri atau sebagai acuan terapi dengan konselor. Pembaca dapat mengidentifikasi karakter yang terdapat dalam buku serta dapat menuntun mereka menyadari bahwasannya mereka tidak sendirian dengan masalah yang mereka alami dalam hidup. Pembaca menjadi emosional terlibat dalam cerita mereka dan merasa lebih mudah untuk mengungkapkan emosi mereka sendiri, belajar memecahkan masalah dan mendapatkan perspektif (Wiliam, 2012).
2.1.3 Tujuan Biblioterapi
Wilawan (2012) mengemukakan beberapa hal yang menjadi tujuan dari biblioterapi, yaitu: a. Dapat mengembangkan konsep diri seseorang, b. Dapat meningkatkan pemahaman terhadap manusia terkait perilaku atau motivasi, c. Dapat menumbuhkan penilaian diri jujur seseorang, d. Dapat memberi jalan bagi seseorang untuk menemukan minat diluar diri, e. Dapat menghilangkan tekanan emosional atau mental, f. Dapat menunjukkan kepada individu bahwa dia bukan yang pertama atau satu-satunya yang dapat menghadapi maslah serupa, g. Dapat menunjukkan kepada individu bahwa ada lebih dari satu solusi untuk masalah h. Dapat membantu seseorang mendiskusikan masalah dengan lebih bebas, i. Dapat membantu rencana individu dengan jalan yang konstruktif untuk memecahkan masalah.
Selain itu biblioterapi dapat menginduksi perubahan kognitif pada pembaca, sehingga akan meningkatkan kemampuan berpikir kritis, memberikan perspektif dan pandangan pada masalah, meningkatkan wawasan tentan perilaku dan motof manusia, peningkatan kapasitas untuk evaluasi diri pembaca, memberikan penalaran tingkat tinggi, mengambarkan perencanaan yang cermat, dapat memberikan pilihan dan solusi alternatif dalam memecahkan suatu masalah (McCulliss, et al. 2013).
Secara medis, pemikiran Plato di teruskan oleh Rush dan Galt pada 1815-1853. Lewat percobaan-percobaan medis, keduanya berkesimpulan bahwa bahan bacaan dapat dipadukan dengan proses konseling, terutama untuk menciptakan hubungan yang hangat, mengeksplorasi gaya hidup, dan menyarankan wawasan mendalam (Insight). Para dokter di Inggris membangun kerjasama dengan para pustakawan untuk perkembangan model terapi ini (Herlina, 2013).
Nabi Muhammad pertama kali mendapat wahyu, yaitu anjuran pentingnya sebuah bacaan, yaitu Iqra’. Terkandung dalam Q.S. Al-Alaq (Surat ke-96) Ayat 1-8
(Mushaf Al-fatih, 2015). Wahyu pertama memerintahkah “Bacalah”, telah terbuka kepentingan pertama didalam perkembangan agama ini selanjutnya. Nabi SAW diperintahkan membaca yang akan diturunkan kepada beliau, diatas nama ALLAH, Tuhan yang telah mencipta (Buya Hamka, 2015).
Demikian, perintah Iqra’ berati juga perintah meneliti, mengembangkan sains dan teknologi, serta mengkaji dan memahami persoalan secara akademik ilmiah. Membaca adalah sendi tegaknya kehidupan dan peradaban manusia. Membaca tidak hanya bermanfaat bagi siapapun yang haus informasi, tetapi kini juga dapat difungsikan sebagai terapi (pengobattan). Iqra’ bukan hanya menjadi terapi kebodohan, tetapi juga terapi berbagai penyakit, terutama psikosomatik. Dibeberapa negara seperti Amerika Serikat, Eropa, dan Mesir, kini sedang dikembangkan terapi dengan membaca (Al-Ilaj bil qira’ah) atau biblioterapi (Buya Hamka, 2013).
2.1.4 Manfaat Biblioterapi
Biblioterapi dapat diterapkan pada semua kelompok usia baik bagi pasien yang melakukan rawat inap maupun rawat jalan serta pada pasien yang melakukan tindakan perawatan gigi untuk mengetahui apa yang diharapkan anak, mengatasi rasa takut dan kesalahpahaman anak serta mendukung koping pada anak yang akan dilakukan tindakan (Herlina, 2013). Menggunakan buku, anak dapat menghubungkan pengalaman personalnya seperti yang ada dicerita dalam buku dan selanjutnya dapat digunakan sebagai dasar untuk diskusi (Liris, et al. 2014).
2.1.5 Buku Bacaan Anak Untuk Biblioterapi
Bahan bacaan yang di gunakan dalam biblioterapi harus sesuai dengan tingkat kemampuan membaca dan pemahaman anak, tulisan harus semenarik mungkin. Dalam memilih buku juga harus sesuai dengan umur dan tingkat perkembangan anak
(Suparyo, 2010). Tema bacaan seharusnya sesuai dengan kebutuhan yang telah diidentifikasi dari klien dan karakter dalam buku harus dapat dipercaya serta mampu memunculkan rasa empati. Alur kisah juga seharusnya realistis dan melibatkan kreatifitas dalam menyelesaikan masalah (Suparyo, 2010).
Memilih buku dan karakter cerita yang benar dapat membantu anak mengatasi masalahnya (Goddar, 2011). Bahan bacaan dapat berupa buku, artikel, puisi, dan majalah. Pemilihan bahan bacaan tergantung pada tujuan dan tingkat intervensi yang diinginkan. Secara garis besar bahan bacaan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu didaktif dan imajinatif. Bahan bacaan didaktif memfasilitasi suatu perubahan dalam indifidu melalui pemahaman diri yang lebih bersifat kognitif, pustakanya bersifat instruksional dan mendidik, seperti buku ajar dan buku petunjuk, materi-materinya adalah bagaimana suatu perilaku baru harus dibentuk atau dihilangkan bagaimana mengatasi masalah, relaksasi dan meditasi. Bahan bacaan imajinatif atau kreatif merujuk pada presentasi perilaku manusia dengan cara yang dramatis. Kategori ini meliputi novel, cerita pendek, puisi, dan sandiwara (Suparyo, 2010).
2.1.6 Tingkat Intervensi Biblioterapi
Intervensi biblioterapi dapat dikelompokkan dalam 4 tingkatan, menurut yang dikemukakan oleh Yuliawati (2011), yaitu:
1. Tingkat Intelektual. Individu memperoleh pengetahuan tentang perilaku yang dapat menyelesaikan masalah, membantu untuk mengerti, serta mendapatkan wawasan intelektual. Selanjutnya, individu dapat menyadari ada banyak pilihan dalam mengalami masalah.
2. Tingkat Sosial. Individu dapat mengasah kepekaan sosialnya, anak dapat melampaui bingkai referensinya sendiri melaluiimajinasiorang lain. Teknik ini
dapat menguatkan pola-pola social, budaya, menyerap nilai kemanusiaan dan saling memiliki.
3. Tingkat Perilaku. Individu akan mendapatkan kepercayaan diri untuk membicarakan masalah-masalah yang sulit didiskusikan akibat perasaan takut, malu, dan bersalah. Lewat membaca, individu didorong untuk berdiskusi tanpa rasa malu akibat rahasia pribadinya terbongkar.
4. Tingkat Emosional. Individu dapat tertawa perasaanya dan mengembangkan kesadaran terkait wawasan emosionalnya. Teknik ini dapat menyediakan solusi-solusi terbaik dari rujukan masalah sejenis yang telah dialami orang lain sehingga merangsang kemauan yang kuat pada individu untuk menyelesaikan masalah.
2.1.7 Tahapan-Tahapan Dalam Biblioterapi 1. Biblioterapi secara umum
Dikemukakan oleh Herlina (2013) Biblioterapi merupakan suatu aktifitas yang berbeda, hal terpenting dalam pelaksaan tritmen penggunaan buku ini ditunjukkan dapat melalui tahapan identifikasi, proyeksi, katarsis dan insight. Adapun prosesnya sebagai berikut:
1) Kesiapan.
Perlu diperhatikan dalam pelaksanaan tahapan ini adalah kesiapan anak untuk menerima treatment. Pemilihan waktu yang tepat sangat disarankan dalam pelaksanaannya, yang perlu diperhatikan adalah melakukan upaya untuk membangun kepercayaan antara petugas kesehatan dengan klien agar dapat menumbuhkan keyakinan terhadap petugas dalam pelaksanaan tindakan perawatan, sehingga tercipta sebuah kesepakatan dalam proses pelayanan kesehatan yang dibutuhkan, setelah melakukan eksplorasi awal ditargetkan proses persiapan dapat terlaksana
2) Seleksi Buku.
Hal terpenting yang perlu diperhatikan pada tahap ini, menyesuaikan karakter atau cerita yang akan digunakan dalam teknik biblioterapi dengan keadaan yang dapat dipercaya oleh anak-anak. Baik dalam bentuk fiksi ataupun fakta yang kemudian dimuat dalam cerita tersebut. Selain itu faktor yang perlu diperhatikan adalah perlunya mengetahui terlebih dahulu minat baca anak serta tingkat kemampuan membaca anak. Menurut Herlina (2013), faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam seleksi buku sebagai berikut :
a. Masalah yang dihadapi: Jika masalah yang dihadapi berkaitan dengan keasertifan, kecemasan, atau depresi, maka terdapat beberapa bukti yang menunjukkan bahwa self-help bibliotherapy bisa meningkatkan hasil
b. Tingkat keparahan simtom: Self-help bibliotherapy tidak cocok bagi individu dengan tingkat distres emosional yang tinggi. Emosi yang tingga dapat mempengaruhi perhatian, persepsi, dan ingatan. Jika simtom-simtom tersebut telah dikelola, maka self-help bibliotherapy bisa tepat digunakan.
c. Kemampuan kognitif: Klien dengan kesulitan konsentrasi akan merasa kesulitan dengan penerapan self-help bibliotherapy
d. Minat membaca: Klien dengan minat membaca yang baik akan berespon lebih baik terhadap intervensi ini
e. Tingkat penghasilan: Klien dengan penghasilan rendah bisa jadi akan mengalami kesulitan jika harus membeli sendiri material bacaan atau terlibat dalam kegiatan yang disarankan yang membutuhkan biaya
f. Kemampuan fisik: Self-help book yang berisi kegiatan dengan komponen fisik bisa jadi akan menyulitkan klien yang memiliki hambatan fisik.
g. Tingkat kemampuan membaca: Klien yang kurang terampil dalam membaca tidak tepat jika diberi self-help bibliotherapy
3) Memperkenalkan Buku.
Setelah dilakukan pemilihan buku yang sesuai, selanjutnya menyiapkan strategi pengenalan buku dengan menyeluruh, dari memperlihatkan buku hingga menjelaskan isi dari cerita dan dilanjutkan dengan melakukan proses biblioterapi dalam melakukan treatmen.
4) Strategi Tindak Lanjut.
Pada proses kegiatan membaca buku harus disertai dengan diskusi, selama proses baca buku berlangsung hingga selesai. Dengan bimbingan dari peneliti, anak akan sangat terbantu untuk mengidentifikasi diri dengan karakter yang ada dalam buku yang memiliki masalah yang sama dengan dirinya. Dari proses ini, anak akan menilai dan melihat bagaimana dalam karakter tersebut memecahkan masalahnya. Menurut Herlina (2013), aktivitas yang dapat digunakan oleh terapis atau asisten setelah buku dibaca. Strategi tindak lanjut ini sesuai untuk sebagian besar anak. Beberapa aktivitas tindak lanjut membutuhkan setting kelompok kecil. Terapis dapat menggunakan satu atau beberapa aktivitas. Strategi mencakup menulis kreatif, aktivitas seni, diskusi, dan bermain peran. Diantaranya yaitu:
a. Menulis Kreatif. Setelah membaca buku, anak mengerjakan hal-hal berikut: 1) Mengembangkan sinopsis buku, menggunakan sudut pandang karakter
2) Membuat jadual harian untuk karakter yang menjadi identifikasi diri anak, kemudian membandingkannya dengan jadual anak sendiri.
3) Menyusun sebuah diary untuk karakter dalam cerita.
4) Menulis surat dari satu karakter dalam buku untuk karakter lain, atau dari anak kepada karakter dalam buku.
5) Membuat ending yang berbeda atau berhenti membaca sebelum bab terakhir dan menciptakan ending sendiri.
6) Menyusun surat yang dianggap mungkin dituliskan oleh karakter dalam buku tentang sebuah situasi masalah.
7) Membuat berita tentang sebuah kejadian dalam buku.
b. Aktivitas Seni. Strategi seni sesuai bagi anak yang senang dengan aktivitas artistik. Setelah membaca buku, anak diarahkan untuk mengikuti aktivitas berikut:
1) Membuat peta yang menggambarkan kejadian-kejadian dalam cerita dengan menggunakan imajinasi anak yang berbeda dengan yang ada dalam buku.
2) Membuat wayang atau model lilin (clay) dari karakter cerita.
3) Merekat gambar dan/atau menggunting dari majalah untuk menciptakan kolase yang menggambarkan kejadian dalam cerita.
4) Membuat gambar sekuens (berurutan) dari kejadian penting dalam buku. 5) Membuat sebuah mobil yang mewakili kejadian kunci atau karakter
dalam buku, dengan menggunakan gambar yang dibuat sendiri oleh anak atau diambil dari majalah.
c. Diskusi dan Bermain Peran. Terapis meminta anak untuk:
buku yang akan dibahas.
2) Memainkan peran sebuah kejadian dalam cerita, dengan partisipan memainkan peran karakter kunci.
3) Memainkan peran pengadilan pura-pura berkaitan dengan kejadian dalam cerita, dimana klien memainkan peran sebagai terdakwa, pengacara, hakim, juri, dan saksi.
4) Mendiskusikan titik kekuatan dan kelemahan karakter yang menjadi identifikasi diri anak.
Tentu saja orang yang membantu harus benar-benar mempertimbangkan tingkat kematangan dan kesukaan anak saat memilih aktivitas tindak lanjut. Terapis dapat mengadaptasi aktivitas agar sesuai dengan anak; sebagai contoh, anak yang tidak suka menulis dapat menggunakan tape recorder untuk aktivitas menulis kreatif. Tergantung pada masalah anak dan tipe buku yang digunakan, terapis dapat menyarankan beberapa aktivitas tindak lanjut yang dapat dipilih oleh anak.
2. Biblioterapi di Sekolah
Biblioterapi dapat dimanfaatkan untuk menggali informasi pada anak yang mengalami masalah, menstimulasi terbentuknya diskusi, menciptakan kesadaran bahwa orang lain memiliki masalah yang sama, dan dalam pemecahan masalah lainnya (Herlina, 2013).
1) Biblioterapi dapat merangsang anak untuk dapat mengekspresikan masalah dan kesulitan yang di alami secara bebas.
2) Biblioterapi membantu siswa menganalisis pikiran dan perilaku mereka sendiri yang berhubungan langsung dengan dirinya maupun dengan orang lain.
Mengidentifikasi diri sendiri dengan karakter yang terdapat dalam buku. Sehingga mereka dapat mempertimbangkan jalan keluarnya.
3) Biblioterapi dapat menjadi referensi siswa dalam pememecahan masalah. 4) Biblioterapi dapat mengurangi ketakutan dan rasa cemas sehingga
meningkatkan relaksasi.
5) Biblioterapi dapat memberikan solusi bagi permasalahannya.
Pemaparan oleh Oslen (2007) terdapat lima tahapan yang dapat diterapkan pada Biblioterapi baik dilalukan pada perorangan maupun kelompok, antara lain: 1. Mengawali dengan memberikan motivasi. Konselor dapat memberikan kegiatan
pendahuluan, berupa permainan atau bermain peran, yang dapat memotivasi klien untuk terlibat secara aktif dalam kegiatan konseling selama 10 menit.
2. Memberikan waktu yang cukup. Konselor mengajak klien untuk membaca bahan-bahan bacaan yang telah disiapkan hingga selesai. Yakinkan, terapis telah akrab dengan bahan-bahan bacaan yang disediakan selama 15 menit.
3. Melakukan inkubasi. Konselor memberikan waktu pada klien untuk merenungkan materi yang baru saja mereka baca selama 5 menit.
4. Tindak lanjut. Sebaiknya tindak lanjut dilakukan dengan metode diskusi. Lewat diskusi klien mendapatkan ruang untuk saling bertukar pandangan sehingga memunculkan gagasan baru. Lalu, terapis membantu klien untk merealisasikan pengetahuan itu dalam hidupnya selama 10 menit
5. Evaluasi. Sebaikanya evaluasi dilakukan secara mandiri oleh klien. Hal ini memancing klien untuk memperoleh kesimpulan yang tuntas dan memahami arti pengalaman yang dialami selama 5 menit.
2.1.8 Pengaruh Biblioterapi Terhadap Tingkat Ketakutan Pada Anak Usia Sekolah yang Melakukan Medical Procedure
Beberapa penelitian mengemukakan tentang biblioterapi memiliki banyak manfaat dalam penggunaan dan penerapannya dikalangan peneliti. Bukti-bukti penelitian dari awal ditemukannya hingga saat ini mendukung biblioterapi sebagai alat terapeutik yang baik, secara jelas menyimpulkan bahwa material bacaan yang berupa buku bantu diri (Self-help Book) secara empiris terbukti menjadi alat klinis yang sangat berhasil (Herlina, 2013). Beberapa penelitian yang dilakukan menggunakan biblioterapi meliputi: prestasi akademik, keasertifan, perubahan sikap, perubahan perilaku, mengurangi rasa takut, konsep diri dan perkembangan diri, kegunaan teraputik.
Biblioterapi juga dapat digunakan untuk membantu individu meningkatkan hubungan interpersonal. Biblioterapi merupakan alat yang sangat baik untuk membantu anak mengatasi hambatan fisik atau emosional. Melalui membaca tentang hambatan (disability) dan perolehan insight tentang bagaimana karakter tokoh dalam buku mengatasi masalah yang mirip, anak akan dapat mengatasi masalah yang berkaitan dengan pengalamannya. Metode biblioterapi juga dipandang sebagai alat preventif (Herlina, 2013).
2.2 Konsep Anak
Merupakan individu yang berbeda dalam suatu perubahan perkembangan yang dimulai dari bayi hingga remaja, rentang ini berbeda antara satu dengan yang lainnya mengingat latar belakang anak berbeda. Masa pertumbuhan dan perkembangan yang dimulai dari bayi (0-1 tahun) usia bermain/toddler (1-2,5 tahun), pra sekolah (2,5-5 tahun), usia sekolah (5-11 tahun) hingga remaja (11-18 tahun). Pada anak terdapat rentang perubahan pertumbuhan dan perkembangan yaitu rentang cepat dan lambat. Dalam proses perkembangan anak memiliki ciri fisik, kognitif, konsep diri, pola koping dan perilaku sosial (Hidayat, 2009).
2.2.1 Definisi Anak
Data dari DEPKES (2013). Usia adalah suatu waktu yang mengukur keberadaan suatu benda atau makhluk, yang diukur sejak lahir hingga waktu umur itu dihitung, ditarik dari kejadian itu bermula hingga dimasa kini. Sehubungan dengan hal itu WHO (Word Health Organisation) mengungkapkan golongan anak usia 7-15 tahun adalah usia yang mulai memasuki usia awal sekolah atau yang disebut juga memasuki usia anak sekolah dasar.
Sedangkan yang dikemukakan oleh Wong (2009), anak usia sekolah adalah anak dalam rentang kehidupan usia 6-12 tahun dimana anak sudah mulai masuk pada lingkungan sekolah, mulai senang bergabung dengan teman seusianya dan mulai mempelajari budaya kanak-kanak yang merupakan hubungan dekat pertama diluar anggota keluarganya.
2.2.2 Tahapan Pertumbuh dan Perkembangan Anak
Tumbuh Kembang merupakan maninfestasi dari perubahan morfologi, biokimia, dan fisiologis yang terjadi sejak konsepsi samapai dewasa/ matang. Pertumbuhan (growth) adalah perubahan yang bersifat kuantitait yaitu bertambahnya
jumlah, ukuran, dimensi pada tingkat sel, organ, maupun individu. (Sotjiningsih & Ranuh, 2013). Perkemabngan (development) adalah perkembangan yang bersifat kuntitatif dan kualitatitif diamana bertambahnya kemampuan dan sturktur fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur, dapat diperkirakan, dan diramalkan sebagai hasil dari proses diferensiasisel, jaringan tubuh, organ-organ, dan sistemnya yang terorganisasi. Perkembangan menyangkut proses diferesiasi sel tubuh, jaringan, organ dan system organ yang berkembang sehingga dapat memenuhi fungsinya. (Sotjiningsih & Ranuh, 2013). Tumbuh kembang anak dapat dibagi menjadi beberapa tahapan yang akan dilewatinya, yaitu sebagai berikut :
1. Perkembengan Kognitif.
Perkembangan kognitif berhubungan dengan perkembangan cara anak untuk mencari alasan perfikit, membentuk Bahasa, memecahkan masalah, dan menambah pengetahuan. (sotjiningsih dan ranuh,2013) Perubahan kognitif memberikan kemampuan untuk berfikir secara logis tentang waktu dan lokasi untuk memahami hubungan antara benda dan pikiran. Anak telah dapat membayangkan suatu peristiwa tanpa harus mengalaminya terlebih dahulu (Hockenberry & Wilson, 2007). Jean Piaget anak-anak perfikir dengan cara berbeda disbanding orang dewasa dan menetapkan suatu teori pertahapan yaitu : 1) Tahap sensorik motor 0-2 tahun (Sensorimotor Stage).
Tahap sensorik motor anak belajar hanya melibatkan panca indra, dimana anak untuk mengetahui dunia mengandalkan gerak dan panca indra melalui meraba, melihat mendengar dan merasakan. Tahapan dalam sensorimotor dibagi menjadi 6 tahap yaitu:
b. Reaksi sekuler primer (1-4 bulan). Kamampuan belajar menggunakan anggota tubuh sendiri
c. Reaksi sekuler sekunder (4-8 bulan). Kemampuan bayi berorientasi pada benda yang bergerak.
d. Reaksi sekuler sekunder (8-12 bulan). Kemampuan mengkombinasi apa yang sudah dipelajari.
e. Reaksi tersier (12-18 bulan). Bayi mulai minatnya pada benda yang dilihatnya.
f. Internalisasi (18-24 bulan). Perubahan dari taraf sensori motoric menjadi taraf simbolis.
2) Tahap Praoperasional 2-7 tahun (Preorerational Stage)
Tahap ini, anak mulai memiliki konsep secara stabil penalaran mulai muncul, egosentrisme mulai timbul, melihat suatu dari sudut pandang dirinya sendiri. Pieget membagi tahapan praoperasional menjadi dua bagian yaitu tahap fungsi simbolis (2-4 tahun) merupakan egosentrime dimana melihat suatu sudut pandang pada diri sendiri dan tahap pemikiran intuitif (5-7 tahun) anka secara perlahan mulai berfikir dalam pembelajaraan di kelas menggunakan konseptualisasi dimana pada tahap ini representasi suatu objek didasarkan pada persepsi pengalaman sendiri tidak kepada penalaran. Ciri-ciri tahap perkembangan preoperasional :
a. Umur 2-4 tahun merupakan tahap berfikir prekonseptual dan 4-7 tahap befikir intuitif
b. Tahap prekonseptual memungkinkan representasi sesuatu dengan Bahasa, gambar, dan permainan khayalan. Penilaian dan pertimbangan anak pada tahap intuitif didasarkan pada persepsi pengalaman sendiri.
c. Belum mampu berfikir induktif maupun deduktif d. Mampu memanipulasi benda-benda konret. 3) Tahap Operasional konkrit (7-11 tahun).
Anak mulai memiliki kemampuan berpikir logis dengan syarat ada gambar /obyek konkrit yang menjadi sumber berpikirnya ada secara nyata. Piagit mengklaim bahwa sebelum mulai tahap ini ide anak-anak tentang objek yang berbeda dibentuk dan di dominasi oleh penampilan objek. Anak-anak pada tahap ini di kelompokkan kedalam taraf berfikir konkrit yaitu memerlukan bantuan benda-benda konkrit atau berfikir semi konkrit yaitu dapat mengerti jika di bantu dengan bantuan gambar benda konkrit.
4) Tahap operasional formal (11 tahun).
Anak akan berfikir secara abstrack dan imajinasi seperti kemampuan mengemukakan ide / gagasan, memprediksi kejadian. Hal ini memungkinkan remaja untuk melewati dunia realita yang konkrit ke dunia kemungkinan dan untuk beroperasi secara logis pada symbol dan informasi yang tidak selalu mengacu pada objek dan peristiwa di dunia nyata.
Beberapa factor yang mempengaruhi perkembangan kognitif anak usia dini : 1) Kematangan
Kematangan merupakan factor internal yang mempengaruhi perkembangan kognitif anak. Anak mempunyai waktu kematangan masing-masing. Anak yang telah matang siap untuk melakukan sesuatu.
2) Pengalaman
Perkembangan kognitif anak di pengruhi oleh pengalaman belajar anak. Menurut edgare dale pengalaman belajar seseorang yang di dapatkan dari jenis
kegiatan yang di lakukan dapat mengingat dan memahami berdasarkan kegitan seperti membaca 10% pendengaran 20 %, rangsangan visual 30 % dan pengalaman melalui diskusi 70%.
3) Interaksi dengan lingkungan
Interaksi dengan orang lain teman sebaya ataupun orang dewasa. Interaksi sosial membuat pemikiran anak akan berkembang sesuai dengan perkembangan kognitif menurut piagit
4) Lingkungan yang mendukung
Lingkungan yang nyaman akan mempengaruhi perkembangan kognitif anak. Lingkungan yang susuai akan meninkgtakan kretivitas dan keterampilan motoric diperlukan media yang sesuai dan media tersebut sebagai media belajar.
2. Perkembangan Pengamatan Visual dan imajinasi.
1) Anak usia 5-7 tahun yang memasuki bangku sekolah bentuk gambar mendapat perhatian . perkembangan persepsi visual dan pendengarannya meningkat cepat meski masih terbatas pada pemahaman konkrit. Perkembangan atensinya lebih mengena pada hal-hal yang terlihat mencolok berbeda dari hal-hal yang relevan. Sehingga gambar kartun yang lucu lebih menarik perhatian dari pada foto yang relistis.
2) Usia 7-11 tahun anak memasuki periode began (schematic period). Anak mulai menggamabar objek dalam suatu hubungan dengan objek lain. Konsep ruang mulai nampak dengan pengaturan hubungan natara objek dan ruang. Tahap ini anak mulai menyadari warna secara objektif, adanya hubungan antara warna dan obyek.
3) Usia 11 tahun Pada periode awal realisme (early realism), pengamatan visual anak mulai berkembang, anak mulai memperhatikan detail. Karakterisasi warna mulai mendapat perhatian. pada tahap ini mulai tampak adanya kesadaran mendekorasi obyek. Anak mulai menemukan keindahan alamiah dari benda-benda di sekelilingnya.
3. Perkembangan Bahasa
Perkembangan Bahasa adalah kemampuan untuk memberikan respon terhadap suara, mengikuti perintah dan berbicara sepontan. Kemampuan komunikasi pada manusia mempunyai fungsi tertinggi dibandingkan dnegan hewan.komunikasi tidak hanya bicara, tetapi perilaku non verbal seperti mimik wajah dan sikap tubuh. Perdengaran dan komunikasi saling terkait sehiungga diperlukan intelektual tinggi untuk mengerti dan berbicara. Perkembangan Bahasa meliputi komprehensi, ekspresi, simbolik, dan non verbal komunikasi (sotjiningsih dan ranuh,2013). Peningkatan penggunaan bahasa dan perluasan pengetahuan strukturalnya. Mereka memahami peraturan bahasa, frase, dan kalimat. Mereka juga mampu mengidentifikasi generalisasi dan pengecualian terhadap aturan tersebut. Mereka memahami bahwa bahasa merupakan alat penyampaian untuk menggambarkan dunia secara subjektif dan mereka memahami bahwa kata-kata memiliki arti yang relatif dan bukan absolut. Mereka dapat menggunakan kata yang berbeda untuk objek atau konsep yang sama, selain itu juga memahami bahwa suatu kata memiliki berbagai arti. Perkembangan perbendaharaan kata sangat berhubungan dengan kegiatan membaca
4. Perkembangan Fisik
Kecepatan pertumbuhan pada usia sekolah awal bersifat perlahan dan konsisten sebelum terjadinya lonjakan pertumbuhan pada usia remaja. Anak usia sekolah
tampak lebih langsing dibandingkan anak usia pra-sekolah karena perubahan distribusi dan ketebalan lemak. Kecepatan pertumbuhan bervariasi pada berbagai anak. Peningkatan tinggi badan sekitar 2 inci (5 cm) pertahun, dan berat badan meningkat sekitar 4 sampai 7 pon (1,8 sampai 3,2 kg) per tahun. Banyak anak yang mengalami peningkatan berat badan dua kali lipat, dan sebagian besar anak perempuan mendahului anak laki-laki dalam pertambahan tinggi dan berat badan pada akhir usia sekolah (Hockenberry & Wilson, 2007).
5. Perkembangan Psikososial
Pada masa ini, anak mencoba memperoleh kompetensi dan keterampilan yang dibutuhkan untuk berfungsi kelak pada usia dewasa. Mereka yang memperoleh kegagalan sering merasa rendah diri atau tidak berharga sehingga dapat mengakibatkan penarikan diri dari sekolah maupun kelompok temanya. Anak usia sekolah mulai mendeskripsikan diri mereka berdasarkan karakteristik internal. Mereka mulai mendefinisikan konsep diri dan membangun kepercayaan diri yang merupakan suatu evaluasi mereka mendefiniskan pencapaian diri berdasarkan perbandingan dengan pencapaian orang lain (Santrock, 2007).
6. Perkembangan Moral
Kebutuhan akan nilai moral dan sosial semakin dirasakan oleh anak usia sekolah. Mereka menganggap peraturan sebagai prinsip kehidupan yang penting. Pada usia awal sekolah, mereka masih menginterpretasikan peraturan sebagai hal yang harus dita’ati. Seiring pertumbuhannya, mereka mulai membangun pertimbangan yang lebih fleksibel dan mengevaluasi peraturan untuk penerapannya dalam situasi tertentu sekolah (Potter & Perry, 2009).
Tahapan dalam proses pertumbuhan dan perkembangan dengan pola masing-masing sesuai cirinya. Tahapan atau karakteristik ini menggambarkan perkembangan yang khas sebagai proses yang dapat di prediksi, kita dapat memprediksi bagaimana kebanyakan anak akan berkembang pada tingkat yang sama dan pada waktu yang hampir sama dengan anak-anak lainnya. Meskipun akan ada perbedaan individu dalam pembentukan kepribadian anak-anak, seperti tingkat aktifitas, waktu pertumbuhan, usia, dan karakter-karakter tersebut adalah pola yang universal dalam perkembangan anak (Novella, 2013). Tahap perkembangan pada masa pertumbuhan awal adalah tahap keemasan, karena pada tahapan ini akan menetukan tahap perkembangan selanjutnya (Nursalam, 2013).
Proses pembentukan anak dimulai sejak anak masih kecil, pada masa ini anak mulai kritis terhadap sesuatu yang ia temukan hal ini dimulai saat usia sekolah dasar. Pada masa ini kita dapat melihat bagaimana pembentukan sikap mereka (Gunawan, 2006). Komponen konsep diri pada anak terdiri dari 5 komponen yaitu:
1. Citra diri. Sikap seseorang terhadap tubuhnya secara sadar dan tidak sadar. Sikap ini mencakup persepsi dan perasaan tentang ukuran dan bentuk, fungsi, penampilan dan potensi tubuh saat ini dan masa lalu.
2. Ideal diri. Persepsi individu tentang bagaimana ia harus berprilaku sesuai dengan sadar pribadi
3. Harga diri. Penilaian pribadi terhadap hasil yang dicapai dengan menganalisa seberapa jauh perilaku memenuhi ideal diri
4. Peran diri. Pola sikap, perilaku, nilai dan tujuan yang diharapkan dari seseorang berdasarkan posisinya di masyarakat
5. Identitas diri. Kesadaran akan diri sendiri yang bersumber dari observasi dan penilaian, yang merupakan sintesa dari semua aspek konsep diri sebagai suatu kesatuan yang utuh.
2.3 Masalah Pada Anak
2.3.1 Definisi Masalah Pada Anak
Setiap anak yang lahir ke dunia, sangat rentan dengan berbagai masalah. Masalah yang dihadapi anak, terutama anak usia dini, biasanya berkaitan dengan gangguan pada proses perkembangannya. Bila gangguan tersebut tidak segera diatasi maka akan berlanjut pada fase perkembangan berikutnya yaitu fase perkembangan anak sekolah. Pada gilirannya, gangguan tersebut dapat menghambat proses perkembangan anak yang optimal. Dengan demikian, penting bagi para orang tua dan guru untuk memahami permasalahan-permasalahan anak agar dapat meminimalkan kemunculan dan dampak permasalahan tersebut serta mampu memberikan upaya bantuan yang tepat (Saomah, 2020).
2.3.2 Jenis-jenis Permasalahan Anak
Menutut Saomah (2020), dapat dilihat secara garis besar bahwa masalah yang dihadapi anak dapat digolongkan menjadi beberapa bagian, yaitu masalah-masalah yang berkaitan dengan keadaan fisik, psikis, sosial, serta kesulitan belajar. Antara lainnya yaitu :
1. Fisik
Perkembangan aspek fisik terkait dengan keutuhan dan kemampuan fungsi panca indera anak, kemampuan melakukan gerakangerakan sesuai perkembangan usianya serta kemampuan mengontrol pembuanga. Anak yang mengalami hambatan dalam hal-hal tersebut dapat dikatakan mengalami masalah secara fisik. Lebih lanjut permasalahan-permasalahan fisik tersebut adalah sebagai berikut.
a. Gangguan fungsi pancaindera b. Cacat tubuh
c. Kegemukan (obesitas)
d. Gangguan gerak peniruan (stereotipik) e. Kidal
f. Gangguan Kesehatan (penyakit) g. Hiperaktif
h. Neuropati
i. Ngompol (enuresis)
j. Buang air besar di sembarang tempat (encopresis) k. Gagap
l. Gangguan perkembangan bahasa
2. Psikis
Permasalahan psikis anak terkait dengan kemampuan psikologis yang dimilikinya atau ketidakmampuan mengekspresikan dirinya dalam kondisi yang tidak normal. Beberapa permasalahan psikis yang seringkali dialami anak adalah sebagai berikut :
a. Gangguan konsentrasi
b. Inteligensi (baik tinggi maupun rendah) c. Berbohong
d. Emosi(perasaan takut, cemas, marah, sedih, dan lain-lain)
3. Sosial
Perkembangan sosial anak berhubungan dengan kemampuan anak dalam berinteraksi dengan teman sebaya, orang dewasa, atau lingkungan pergaulan yang
lebih luas. Dengan demikian, permasalahan anak dalam bidang sosial juga berkaitan dengan pergaulan atau hubungan sosial, yang meliputi perilaku-perilaku sebagai berikut :
a. Tingkah laku agresif b. Daya suai kurang c. Pemalu d. Anak manja e. Negativisme f. Perilaku berkuasa g. Perilaku merusak 4. Kesulitan Belajar
Kesulitan belajar pada anak dapat dimaknai sebagai ketidakmampuan anak dalam mencapai taraf hasil belajar yang sudah ditentukan dalam batas waktu yang telah ditetapkan dalam program kegiatan belajar, sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Beberapa indicator dan jenis kesulitan belajar yang mungkin dialami anak adalah sebagai berikut :
a. Lower level b. Underachiever c. Slow learner
2.3.3 Beberapa Faktor Yang Menimbulkan Masalah Pada Anak
Terdapat beberapa faktor penyebab permasalahan pada anak, baik yang bersifat intrinsik (berasal dari diri anak sendiri) maupun ekstrinsik (berasal dari luar diri anak). Secara umum, faktor-faktor tersebut adalah; (1) pembawaan: yakni anak dengan semua keadaan yang ada pada dirinya; (2) lingkungan keluarga: mencakup pola asuh
orang tua, keadaan sosial ekonomi keluarga, dan lain-lain; (3) lingkungan sekolah: meliputi cara mengajar guru, proses belajar mengajar, alat bantu, kurikulum, dan lain-lain); (4) masyarakat: mencakup pergaulan, norma, adat istiadat, dan lain-lain (Saomah, 2020).
Ada beberapa hal yang dapat terjadi dan menimbulkan masalah pada anak, tidak hanya pada usia dini namun dapat berlanjut hingga pada tahap pertumbuhan selanjutnya. Hal ini juga dapat mempengaruhi persepsinya di kemudian hari dari pengalamannya tersebut, yaitu seprti :
1. Ketakutan yang Dialami Anak Saat Melakukan Tindakan Perawatan Gigi Rasa takut terhadap tindakan perawatan gigi merupakan suatu hambatan bagi petugas kesehatan terkait, baik dokter gigi, perawat gigi, perawat, dan tenaga medis lainnya dalam usaha peningkatan kesehatan gigi, terutama bagi anak-anak. Penting untuk merawat anak yang merasa takut terhadap proses perawatan gigi, karena takut merupakan penyebab dari 15% kegagalan dalam proses perawatan gigi. Sangat penting dalam memperhatikan kondisi yang di alami anak saat melakukan tindakan perawatan gigi baik sebelum maupun sesudah dilakukan tindakan perawatan gigi. Sehingga sangat berpengaruh pada tingkat keberhasilan selama menjalani tindakan perawatan gigi (Noor, 2014).
a. Faktor yang Mempengaruhi Ketakutan Pada Anak Terhadap Perawatan Gigi
Rasa takut dalam menghadapi perawatan gigi merupakan reaksi yang pada umumnya dirasakan pasien baik anak maupun dewasa. Rasa takut pada pasien anak muncul akibat adanya perasaan cemas, khawatir dan takut melihat peralatan dan obat-obatan yang digunakan dalam perawatan gigi, seperti takut melihat bor, jarum suntik dan tang gigi (Mappijah, 2010).
Faktor yang mempengaruhi ketakutan pada tindakan perawatan gigi menurut Setiawan (2010), yaitu:
1. Suara bur 81,46%
2. Duduk di dental chair 50,72% 3. Jarum 39,13%
4. Dentak instrument 39,13%
5. Cerita pengalaman negative tentang perawtan gigi dari orang lain 33.33%
Beberapa faktor tersebut sangat mempengaruhi prosedur tindakan perawatan gigi yang dilakukan petugas kesehatan. Oleh karena itu petugas kesehatan perlu menjalin hubungan baik dengan pasien khususnya pada pasien anak saat memberikan tindakan perawatan gigi, baik dalam pelayanan, tindakan yang diberikan, ataupun upaya-upaya lainnya seperti pemberian metode biblioterapi (Chinda, et al, 2016).
b. Reaksi Anak Terhadap Tindakan Perawatan Gigi
Reaksi yang dapat terjadi pada anak saat mengalami tindakan perawatan gigi. White mengklasifikasikan perilaku anak dalam 7 diagnosis perilaku, yakni: pasien anak kooperatif, histeris, keras kepala, pemalu, tegang dan cengeng (Zuhri, et al, 2010). Sehingga menyebabkan penderita merasa enggan untuk berobat keunit pelayanan kesehatan gigi (Soeparmin 2011).
Hal ini memberikan dampak kebanyakan anak mengalami rasa takut terhadap perawatan gigi, sehingga hal tesebut menjadi hambatan bagi dokter gigi, perawat gigi, perawat, dan tenaga medis lainnya dalam usaha meningkatkan kesehatan gigi masyarakat kususnya anak-anak, karena dapat memberikan efek negatif terhadap prosedur perawatan yang akan dilakukan. Selain itu dapat memperpanjang masa perawatan yang harus di laluinya (Mappijah, 2010 dan Pasetyo, 2005).
c. Dampak Tindakan Perawatan Gigi
Perasaan takut yang di alami anak merupakan naluri yang dapat timbul sesuai proses perkembangannya. Perasaan ini timbul melalui pengamatan terhadap objek yang tidak menyenangkan dan secara naluri dihindari damal usaha melindungi diri dari bahaya. Hal ini sering menjadi alasan untuk mengabaikan perawatan gigi (Simon, 2014). Rasa takut sering menjadi penghalang bagi dokter gigi, perawat gigi, perawat, dan tenaga medis lainnya untuk memberikan perawatan yang optimal (Chinda, 2016).
2. Ketakutan yang Dialami Anak Saat Mengalami Hospitalisasi
Hospitalisasi merupakan suatu proses yang karena satu alasan berencana dan darurat, mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit untuk menjalani terapi dan perawatan sampai pemulangannya kembali ke rumah (Putri, et al, 2016). Hal ini merupakan keadaan krisis anak sakit dan dirawat di rumah sakit yang dapat menimbulkan ketakutan pada anak. Peran perawat sangat penting dalam meminimalkan dampak dari hospitalisasi (Putri, et al, 2016). Berdasarkan pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa hospitalisasi adalah suatu proses karena alasan berencana maupun darurat yang mengharuskan anak dirawat atau tinggal di rumah sakit untuk mendapatkan perawatan yang dapat menyebabkan beberapa perubahan psikis pada anak. Dalam hal ini perlu adanya perlakuan dan perhatian khusus sebagai upaya menurunkan tingkat ketakutan pada anak akibat mengalami hospitalisasi (Putri, et al, 2016).
a. Faktor yang Mempengaruhi Ketakutan Pada Anak Terhadap Hospitalisasi
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi anak merasakan ketakutan. Hal ini dapat terjadi karena anak harus beradaptasi terhadap lingkungan baru yang terasa asing di hadapan anak-anak, kegiatan atau aktifitas rutin yang di lakukan di rumah
sakit, petugas ruamh sakit dan orang-orang di sekitarnya. Takut akan merasakan nyeri karena suatu tindakan atau karena sakit yang di derita dan di alami oleh anak yang akan di lakukan tindakan perawatan dan pengobatan (Liris, et al. 2014).
Anak menganggap tindakan dan prosedur di rumah sakit menyebabkan rasa sakit dan luka di tubuhnya. Oleh karena itu anak seringkali menunjukkan perilaku tidak kooperatif seperti sering menangis, marah-marah, tidak mau makan, rewel, susah tidur, mudah tersinggung, meminta pulang dan tidak mau berinteraksi dengan perawat dan seringkali menolak jika akan diberikan pengobatan. Setiap melihat petugas kesehatan yang mendatanginya anak akan menolak dan mencari orang tua agar melindunginya walaupun petugas kesehatan tidak melakukan tindakan invasif yang dapat menimbulkan nyeri (Utami, 2014).
Perasaan takut yang di alami anak ketika dirawat di rumah sakit juga berasal dari kurangnya informasi yang adekuat terhadap pelayanan kesehatan yang akan di berikan, lingkungan yang terasa asing dan tidak sesuai dengan perkembangan anak. Serta tim (dokter, perawat, petugas laboratorium) pemberi pelayanan kesehatan serta intervensi keperawatan yang diberikan pada anak (Utami, 2014).
b. Reaksi Anak Terhadap Hositalisai
Reaksi anak terhadap hospitalisasi dapat menimbulkan ketakutan pada saat anak mengalami perubahan fisik yang ditimbulkan oleh suatu penyakit. Anak usia sekolah mulai mununjukkan kekhawatirannya terhadap; kemungkinan efek prosedur yang dilakukan, tahu apakah prosedur tersebut akan menyakitkan atau tidak, untuk apa dan bagaimana prosedur tersebut dapat membuat mereka lebih baik dan cedera atau bahaya apa yang dapat terjadi. Seperti contoh tindakan anastesi, dimana anak usia prasekolah takut terhadap masker atau lingkungan yang asing sedangkan anak
usia sekolah merasa takut terhadap apa yang akan terjadi pada saat mereka tidur apakah mereka akan bangun kembali atau apakah mereka akan mati (Utami, 2014).
Anak usia sekolah mampu mengkomunikasikan secara verbal nyeri yang mereka alami berkaitan dengan letaknya, intensitas dan deskripsinya. Secara umum mereka telah mempelajari koping menghadapi nyeri seperti berpegangan erat, mengepalkan tangan atau mengatupkan gigi atau mencoba berteriak berani dengan meringis atau berteriak. Pada anak yang berusia diatas 8 tahun sudah dapat menggambarkan nyeri dengan berbagai macam kata atau frase seperti, sakit, tercubit, tergigit, terbakar, tersengat dan seperti pisau tajam (Utami, 2014).
Anak usia sekolah sudah dapat menggunakan kata-kata untuk mengendalikan reaksi mereka terhadap nyeri. Mereka dapat meminta perawat untuk berbicara dengannya selama prosedur, sebagian memilih berpartisipasi selama prosedur, ada yang memilih menjauhkan diri dengan tidak melihat pada apa yang sedang terjadi. Sebagian besar mengahargai penjelasan prosedur yang diberikan dan tampak tidak begitu takut jika mereka mengetahui apa yang akan terjadi dan sebaliknya anak yang lain berusaha untuk mendapatkan kendali dengan berupaya menunda kejadian tersebut (Utami, 2014).
c. Dampak Hospitalisasi
Proses hospitalisasi dapat mempengaruhi persepsi anak terhadap pengalaman yang telah dialamunya, merasa terancam atas tindakan atau perawatan yang diterima selama di ruamh sakit, sehingga dapat menimbulkan ketakutan anak terhadap pengalamannya menerima tindakan invasife ataupun tindakan keperawatan. Hal ini dapat terjadi karena anak tidak memahami mengapa dirawat, merasa tidak nyaman dengan perubahan status kesehatannya, lingkungan dan kebiasaan sehari-hari dan keterbatasan mekanisme koping. Dalam hai ini anak akan mengalami perubahan
sikap yang dipengaruhi oleh tingkat perkembangan, pengalaman, support system keluarga, keterampilan koping dan berat atau ringannya penyakit yang dialami (Alimul, 2005).
Ada beberapa kondisi yang dapat mempengaruhi emosional pada anak saat mengalami hospitalisasi yaitu sebagaai berikut (Wong, 2009):
1. Cemas akibat perpisahan
Respon perilaku anak akibat perpisahan terbagi dalam 3 tahap, yaitu: 1) Tahap Protes (Phase of Protest).
Termanifestasi dengan menangis, menjerit, memanggil orangtua atau orang terdekat dengan agresif, misalnya menendang, menggigit, memukul, mencubit, mencoba orangtua atau orang terdekat tetap bersamanya dan menolak perhatian orang lain. Secara verbal menyerang dengan rasa marah, misalnya dengan mengatakan “Pergi. Perilaku tersebut dapat bertahan dalam beberapa jam hingga beberapa hari.
2) Tahap Putus Asa (Phase of Despair)
Anak akan terlihat tegang dengan lingkungannya, menangis telah berkurang, berprilaku pasif, tidak nafsu makan, kurang berkomunikasi, sedih acuh, dan regresi missal mengompol atau menghisap jari. Kondisi ini akan mengkhawatirkan jika berlanjut, karena anak menolak untuk makan, minum, atau beraktifitas.
3) Tahap Menolak
Secara samar, anak mulai menerima perpisahan yang dialaminya. Mulai tertarik dengan lingkungan sekitar dan memulai mebina hubungan dengan orang lain. Anak akan mulai terlihat bersemangat menghadapinya, tahap ini akan
berlangsung dalam jangka yang lama akibat perpisahan. (Susilaningrum, dkk 2013)
2. Kehilangan Kontrol.
Pada fase ini anak akan mengalami perubahan perilaku atau cara pandang terhadap lingkungan sekitar, diakibatkan oleh pengalaman selama tindakan perawatan di rumah sakit. Jika hal ini berlanjut, anak akan melakukan koping negatif akibat kehilangan otonomnya dan pada akhirnya akan menarik diri dari hubungan interpersonal.
3. Lupa Pada Tubuh dan Rasa Sakit (Rasa Nyeri)
Anak akan bereaksi dengan menyeringaikan wajah, menangis, menggertakan gigi, menggigit bibir, membuka mata dengan lebar dan melakukan tindakan yang agresif. Pada akhir periode kanak-kanak, anak biasanya sudah mampu mengkomunikasikan perasaannya, jika merasanya nyeri dapat menunjukan lokasi nyeri. Namun untuk menggambarkan bagaimana bentuk dan intensitas nyeri belum berkembang (Susilaningrum, dkk 2013).
2.3.4 Cara Mengidentifikasi Masalah Pada Anak
Mengidentifikasi masalah pada anak menurut Saomah (2020), diartikan sebagai upaya menemukan gejala-gejala yang tampak pada penampilan dan perilaku anak dalam memperkirakan penyebab masalah hingga bentuk bantuan yang dapat dilakukan untuk mengatasinya. Berbagai cara dapat dilakukan orang tua dan guru untuk mengetahui apakah anak mengalami permasalahan atau tidak. Cara-cara tersebut secara umum dibagi dua, yakni melalui tes dan non tes, diantaranya sebagai berikut :
1. Tes
Hal ini merupakan salah satu upaya menggunakan alat bantu yang dapat dipergunakan untuk mengidentifikasi permasalahan anak yang bersifat standar atau baku. Bentuk tes ini dapat berupa pertanyaan-pertanyaan atau tugas-tugas yang harus dijawab atau dikerjakan anak serta dibatasi oleh waktu. Diantara beragam jenis tes yang banyak dipergunakan, diantaranya adalah :
a. Tes bakat; b. Inteligensi; c. Prestasi; d. Diagnostik; e. Dan lain-lain. 2. Non-Tes
Teknik Non-Tes biasanya dipergunakan untuk mengidentifikasi permasalahan anak dengan cara mengamati penampilan serta perilaku anak dalam aktivitas kesehariannya sehingga cenderung lebih fleksibel bila dibandingkan dengan teknik Tes. Disamping itu, dipergunakan pula kumpulan hasil karya dan pekerjaan anak selama periode waktu tertentu. Beberapa macam teknik Non-Tes yang populer, diantaranya adalah : a. Observasi; b. Wawancara; c. Angket; d. Portofolio; e. Catatan anekdot; f. Daftar cek;
g. Skala penilaian; h. Sosiometri; i. Angket;
j. Tugas kelompok; k. Dan lain-lain.