• Tidak ada hasil yang ditemukan

Oleh: Hafidz Abdurrahman, Lajnah Tsaqafiyah DPP HTI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Oleh: Hafidz Abdurrahman, Lajnah Tsaqafiyah DPP HTI"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh: Hafidz Abdurrahman,  Lajnah Tsaqafiyah DPP HTI

Split of power(pemisahan kekuasaan) yang digagas oleh Montesque berangkat dari fakta,

bahwa ketika kekuasaan itu terpusat pada satu orang, maka cenderung menjadi korup. Karenanya, kekuasaan tersebut tidak boleh dipusatkan pada satu orang dan harus dipecah. Dari sini, maka lahir konsep trias politika, yang membagi kekuasaan tersebut menjadi tiga; legislatif, eksekutif dan yudikatif. Tetapi, nyatanya meski telah dilakukan pemisahan, ternyata kekuasaan tersebut tetap saja korup.

Itu artinya, terciptanya kekuasaan yang korup tersebut bukan karena faktor terjadinya pemusatan kekuasaan pada satu orang atau tidak. Dengan demikian, tesis trias politika tersebut tidak terbukti. Pertanyaannya kemudian adalah, apa yang menjadi sumber terjadinya kekuasaan yang korup tersebut? Jawabannya tidak lain ada pada manusia, yang memang mempunyai potensi korup, kemudian diberi hak untuk membuat hukum, lalu menjalankan hukum buatannya. Karena itu, hukum buatan manusia itu selalu berpihak kepada pembuatnya.

Semuanya ini merupakan konsekuensi dari sekulirisme, dimana manusia diberi hak untuk membuat hukum. Untuk membuatnya, manusia pun menggunakan asas manfaat sebagai tolok ukur. Baik dan buruk pun dinilai berdasarkan patokan untung dan rugi, atau manfaat dan

mudarat. Karena itu, produknya pun cenderung berubah. Sebab, patokannya berubah-ubah, mengikuti waktu, tempat dan sangat individual.

(2)

Ini tentu berbeda dengan Islam, yang menetapkan kedaulatan di tangan syara’. Dengan begitu, tidak ada siapapun yang berhak membuat hukum, kecuali Allah. Patokannya pun bersifat final, yaitu halal-haram. Karena itu, hukum Islam tidak mengenal waktu, tempat dan tidak bersifat individual. Islam pun tidak mengenal pemisahan agama dengan negara, atau agama dengan kehidupan, sebagaimana yang diajarkan dalam sekulerisme. Sebaliknya, Islam justru telah berhasil mengintegrasikan agama dan negara dalam sejarah kehidupan umat Islam sepanjang 14 abad.

Meski demikian, tidak berarti negara dalam Islam identik dengan teokrasi atau kekuasaan tuhan, dimana seorang kepala negara Islam diklaim sebagai wakil Tuhan. Jelas tidak. Bahkan, konsep teokrasi ini justru ditolak oleh Islam. Namun, tidak berarti, jika Islam menolak teokrasi, berarti negara Islam menganut demokrasi atau kekuasaan rakyat. Juga tidak. Karena,

demokrasi pun jelas-jelas ditolak oleh Islam. Namun, ini juga tidak berarti bahwa negara Islam identik dengan teo-demokrasi, yang mengkompromikan kekuasan tuhan dan manusia. Juga tidak. Karena, baik teokrasi maupun demokrasi sama-sama ditolak oleh Islam. Jadi, kalau bukan teokrasi, demokrasi atau teo-demokrasi, lalu apa? Jawabannya adalah Khilafah.

Khilafah Negara Manusia

Khilafah adalah negara bagi umat Islam di seluruh dunia, yang dipimpin oleh seorang Khalifah dengan menjalankan hukum Islam secara kaffahdi dalam negeridan mengemban Islam ke seluruh dunia dengan dakwah dan jihad. Khalifah adalah pria, Muslim, baligh, berakal,

merdeka, adil dan mampu mengemban seluruh tugas kekhilafahan.  Dia adalah manusia biasa, bukan wakil Tuhan, bukan pula Nabi dan Rasul, juga tidak maksum dari kesalahan, yang dipilih oleh umat Islam dan diberikan mandat melalui baiat yang mereka berikan.  Karena itu, dia bisa juga melakukan kesalahan, sebagaimana manusia yang lain.

Namun demikian, Islam memberikan hak kepadanya untuk mengadopsi hukum agar bisa dijadikan sebagai konstitusi maupun perundang-undangan. Karena Islam tidak mengenal pemisahan kekuasaan (split of power), maka di tangannyalah seluruh kekuasaan itu berada. Dialah satu-satunya orang yang diberi otoritas untuk mengadopsi hukum menjadi konstitusi dan perundang-undangan. Meski demikian, tidak berarti produk hukum yang ditetapkannya sebagai

(3)

konstitusi dan perundang-undangan itu tidak bisa dibatalkan. Karena itu, di negara Khilafah ada Mahkamah Madzalim yang diberi otoritas untuk menguji, bahkan membatalkan hukum yang dianggap menyalahi hukum Islam. Sekalipun hukum tersebut telah ditetapkan oleh Khalifah sebagai konstitusi dan perundang-undangan.

Jika dalam sistem demokrasi dengan trias politikanya telah memberikan hak legislasi kepada parlemen, maka majelis umat di dalam negara Khilafah, yang merupakan representasi dari rakyat di seluruh dunia tidak mempunyai fungsi legislasi. Fungsi majelis umat adalah fungsi syu

ra

dan

muhasabah

(kontrol).

Syura Bukan Legislasi

Fungsi syura dan muhasabah ini jelas berbeda dengan fungsi legislasi parlemen. Syura ini merupakan aktivitas mengambil pendapat yang dilakukan di dalam majelis. Di dalamnya, bisa menyangkut hukum syara’, akademik termasuk strategi tertentu. Dalam hal ini, tolok ukur yang digunakan untuk mengambil pendapat adalah pendapat yang paling benar, bukan suara

mayoritas. Jika terkait dengan hukum syara’, pendapat yang paling benar adalah ketika hukum tersebut dalilnya paling kuat, meski tidak didukung oleh suara mayoritas. Demikian juga

kebenaran pendapat dalam akademik maupun strategi tidak dikembalikan kepada suara mayoritas, tetapi dikembalikan kepada pakar di bidangnya. Suara majelis umat dalam konteks ini tidak mengikat Khalifah. Inilah yang biasanya disebut

syura

.

Sebagai contoh, ketika Khalifah menetapkan APBN Khilafah karena sumber pendapatan dan pos pengeluarannya telah ditetapkan oleh hukum syara’, maka anggota majelis umat tidak mempunyai hak budget yang mengikat Khalifah. Dalam kasus ini, Khalifah tidak harus tunduk kepada suara majelis umat.

Ada juga pengambilan pendapat yang dilakukan oleh majelis umat dalam perkara yang tidak terkait dengan hukum syara’, juga tidak terkait dengan masalah akademik maupun strategi tertentu, tetapi masalah teknis yang dampaknya bisa mereka perkirakan. Seperti memilih Utsman menjadi Khalifah, bukan ‘Ali. Masalah seperti ini merupakan masalah teknis, dan

(4)

ditentukan berdasarkan suara mayoritas. Pendapat majelis umat dalam hal ini mengikat dan harus dilaksanakan. Karena itu, siapa yang dipilih oleh majelis umat menjadi Khalifah, maka dia harus dibaiat sebagai Khalifah. Demikian juga, ketika majelis umat keberatan dengan

pengangkatan wali di daerah tertentu, maka kalau keberatan tersebut didukung suara mayoritas, suara majelis umat ini pun mengikat bagi Khalifah, dan wajib dilaksanakan.

Proses Legislasi dalam Negara Khilafah

Dengan demikian, fungsi syura dalam majelis umat tidak identik dengan legislasi dalam parlemen. Dalam negara demokrasi, produk legislasi parlemen ini mengikat eksekutif dan

yudikatif, sedangkan produk syuramajelis umat ini tidak

mengikat, baik bagi Khalifah maupun yang lain. Selain itu, otoritas pembuatan konstitusi dan perundang-undangan ada di tangan Khalifah. Karena dialah, satu-satunya yang berhak mengadopsi hukum syara’ sebagai  konstitusi dan perundang-undangan negara Khilafah.

Meskipun untuk itu, boleh saja dia mengadopsi pendapat majelis umat, tetapi itu tidak mengikat.

Dalam mengadopsi pemikiran dan hukum, pertama-tama Khalifah tidak akan mengadopsi mazhab tertentu sebagai pemikiran dan hukum negara sehingga akan menyebabkan negara Khilafah menjadi negara mazhab. Khalifah juga tidak akan mengadopsi masalah akidah, kecuali menetapkan wajibnya dalil qath’i sebagai dalil akidah. Ini untuk menghilangkan dharar, yang memang hukumnya wajib, yaitu terjadi saling kafir-mengafirkan di antara sesama kaum Muslim karena perbedaan

furu’

akidah. Selain itu, Khalifah juga tidak akan mengadopsi masalah ibadah, seperti shalat, puasa dan haji, kecuali penyatuan awal-akhir Ramadhan, penetapan wukuf dan 10 Dzulhijjah, juga zakat dan jihad. Selebihnya, diserahkan kepada masing-masing sesuai dengan mazhabnya.

Ketika mengadopsi hukum, Khalifah akan menetapkan kaidah tabanni, seperti hanya

menggunakan Alquran, as-Sunnah, Ijmak Sahabat dan Qiyas, misalnya. Dengan begitu, dalam proses pembuatan konstitusi dan perundang-undangan, Khalifah tidak akan mengadopsi hukum yang tidak dibangun dengan salah satu dari keempat dalil di atas. Sebab, jika dia mengadopsi hukum yang ternyata tidak diambil dari salah satu dalil tersebu, maka hukum tersebut statusnya bukan hukum Islam baginya. Jika hukum tersebut bukan hukum Islam baginya, maka ketika dia jadikan konstitusi dan perundang-undangan, status konstitusi dan perundang-undangan tersebut juga bukan konstitusi dan perundang-undangan Islam.

(5)

Jika ini terjadi, maka Mahkamah Madzalim harus menjalankan tugasnya, yaitu menguji dan membatalkan konstitusi dan perundang-undangan tersebut. Selain itu, koreksi dan kontrol juga bisa dilakukan oleh majelis umat dan partai politik. Mahkamah Madzalim juga bisa menguji penarikan hukum (istidlal) yang dilakukan oleh Khalifah, apakah dalil yang digunakan untuk menarik hukum tersebut sudah tepat atau tidak. Karena itu, para hakim Mahkamah Madzalim ini harus mempunyai kualifikasi mujahid sehingga bisa menjalankan tugas dan fungsinya.

Referensi

Dokumen terkait

Tentang JIBAS SPT Fingerprint JIBAS SPT (Sistem Presensi Terpadu) Fingerprint adalah salah satu aplikasi Sistem Informasi Sekolah JIBAS yang berfungsi untuk

Sehingga pada siswa sekolah dasar, untuk lebih mudah guru memberikan materi pelajaran tentang pemahaman rumah dan pakaian adat di indonesia yang dirancang dalam

Kulit buah mengering dan keras sehingga buah sukar dikupas, dan Pada permukaan atas dan bawah daun, tampak bercak yang awalnya berwarna kuning muda, selanjutnya berubah menjadi

Chairul Tanjung dikenal sebagai pengusaha yang agresif, ekspansi usahanya merambah segala bidang, mulai perbankan dengan bendera Bank Mega Group, pertelivisian Trans TV dan Trans

Pelanggan setuju untuk bertanggung jawab, memberi ganti rugi kepada kami dan membebaskan kami dari segala kewajiban yang mungkin kami derita atau biaya, kerusakan, atau pengeluaran

Metode penelitian yang dilakukan adalah penelitian kausal dan komparatif, yaitu untuk mengetahui Pengaruh Tingkat Suku Bunga, Inflasi dan Kurs Rupiah terhadap Deposito

* Mereka berkata:"Hai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab (al-Qur'an) yang telah diturunkan sesudah Musa yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya

Disamping itu, dengan dicamtumkannya sila Ketuhanan YME dalam tata urutan yang pertama dalam sistem filsafat pancasila akhirnya melahirkan sebuah filsafat yang khas,