• Tidak ada hasil yang ditemukan

6. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "6. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

6. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

Bab ini berisi kesimpulan dari hasil penelitian dan diskusi mengenai hasil-hasil yang diperoleh. Selain itu dalam bab ini juga berisi saran-saran untuk menyempurnakan hasil penelitian di masa yang akan datang sehingga kekurangan-kekurangan dalam penelitian ini dapat dihindari.

6. 1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data, maka dapat disimpulkan bahwa sebagian besar partisipan memiliki skor sensation seeking yang tinggi. Dari keempat dimensi

sensation seeking, dimensi boredom susceptibility merupakan dimensi yang paling

dominan terdapat pada partisipan. Dimensi thrill and adventure seeking merupakan dimensi yang paling rendah ada pada partisipan. Kemudian perilaku seksual yang dilakukan oleh backpacker saat melakukan perjalanan wisata juga dilakukan oleh partisipan baik dengan teman sesama backpacker maupun penduduk setempat. Perilaku seksual yang paling banyak dilakukan baik dengan teman sesama

backpacker maupun penduduk setempat adalah bergandengan tangan, sedangkan

yang paling sedikit dilakukan adalah mencumbu alat kelamin.

6. 2. Diskusi

6. 2. 1. Sensation seeking

Secara umum hasil yang diperoleh dalam penelitian ini sesuai dengan pendapat Zuckerman (1979), bahwa individu dengan skor sensation seeking tinggi (high sensation seeker) adalah individu-individu yang cenderung melakukan kegiatan berisiko tinggi. Merokok, berjudi, minum-minuman alkohol dan aktivitas seksual merupakan contoh kegiatan yang berisiko tinggi. High sensation seeker lebih menerima hal-hal yang bertentangan dengan norma-norma sosial karena mereka merupakan indivdu yang tidak menyukai rutinitas atau hal yang membosankan. High

(2)

Aktivitas seksual di tempat tujuan wisata termasuk salah satu kegiatan yang berisiko tinggi. Menurut Duran (2003) melakukan hubungan seksual di tempat tujuan wisata sangat memungkinkan terjadinya penyebaran sexually transmitted diseases (STD) atau penyakit menular seksual. Perilaku semacam itulah yang berisiko tinggi dan berani dilakukan oleh para backpacker. Dalam penelitian ini perilaku seksual yang dilakukan oleh backpacker Jakarta belum diketahui secara pasti menyebabkan terjadinya penyakit menular seksual. Namun peneliti berasumsi perilaku tersebut akan menimbulkan dampak negatif. Perilaku seksual yang dilakukan dapat menyebarkan jenis penyakit menular seksual seperti apa yang terjadi di luar negeri. Penyakit menular seksual semakin tersebar akibat dari perilaku seksual yang dilakukan jenis wisatawan seperti backpacker (Duran, 2003). Dalam penelitiannya, Duran menemukan fakta bahwa faktor pasangan dalam perjalanan wisata seorang wisatawan dapat memicu terjadinya hubungan romantis sehingga mengakibatkan pasangan tersebut tidak menggunakan kondom saat melakukan hubungan seksual. Laki-laki cenderung tidak ingin menggunakan kondom dan wanita akan mengikuti apa yang diinginkan oleh pasangannya (Duran, 2003). Hal ini menambah jumlah penduduk yang mengalami penyakit menular seksual seperti herpes, siphilis bahkan HIV/AIDS.

Hal ini juga serupa dengan yang dikemukakan oleh Arnett (1994) bahwa

sensation seeking merupakan sebuah trait yang sangat potensial mempengaruhi

aktivitas seseorang dan diekspresikan pada hal-hal yang unik. Secara umum sensation

seeking mempengaruhi kualitas dari intensitas pengalaman sensori yang mereka cari. Sensation seekers cenderung untuk tidak mengikuti aturan agama yang konvensional

dan lebih bersedia melakukan aktivitas yang tidak biasa seperti perilaku seksual.

Sensation seekers selalu mencari variasi dalam aktivitas seksual mereka. Oleh karena

itu sensation seekers tidak keberatan untuk berganti-ganti pasangan dalam melakukan hubungan seksual. Aktivitas berganti-ganti pasangan hubungan seks merupakan contoh variasi yang dibutuhkan oleh backpacker. Kebutuhan akan pengalaman ini didasari oleh kecenderungan mereka untuk melakukan kegiatan unik. Dengan kata lain kecenderungan mereka untuk melakukan kegiatan unik merupakan perwujudan

(3)

dari trait yang dimiliki mereka, yaitu sensation seeking. Menurut survey yang dilakukan oleh Tourism Queensland Research Department (2004) 55% backpacker selalu melakukan hubungan seksual di tempat tujuan wisata. Hasil survey juga menunjukkan tujuan utama backpacker dalam melakukan tujuan wisata adalah mencari pengalaman unik yang tidak didapat dari daerah asal. Peneliti berasumsi pengalaman unik dengan melakukan perilaku seksual di tempat wisata tidak akan mereka lakukan di daerah asal. Di tempat wisata backpacker dapat lebih leluasa untuk mengekspresikan diri karena lepas dari aturan keluarga maupun lingkungannya. Walaupun tidak menutup kemungkinan mereka akan melakukannya di daerah asal, tetapi hobi mereka sebagai wisatawan mengakibatkan perilaku tersebut akhirnya lebih dilakukan di tempat wisata.

Selain Arnett dan Zuckerman, hasil penelitian Ewert (1994) juga menunjukkan bahwa motivasi seseorang untuk melakukan kegiatan yang berisiko dalam kegiatan berwisata adalah predisposisi kepribadian. Pendekatan predisposisi kepribadian ini berdasarkan asumsi bahwa terdapat dua tipe kepribadian, yaitu orang yang mencari nilai dan lingkungan yang berisiko serta orang yang justru menjauhi hal-hal tersebut. Ini seperti yang dilakukan oleh backpacker yang cenderung mencari kegiatan dan pengalaman unik atau berbeda dan ekstrim di tempat tujuan wisata mereka. Menurut Reichel (2007) backpacker selalu menerima risiko tinggi dari apa yang telah mereka lakukan diantaranya dengan melakukan hubungan seksual di tempat tujuan wisata.

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa sensation seeking berhubungan dengan perilaku seksual backpacker. Adapun faktor lain yang kemungkinan berhubungan dengan perilaku seksual dalam penelitian ini, yaitu:

1) Tempat tujuan wisata berhubungan dengan perilaku seksual backpacker di tempat tujuan wisata.

Menurut penelitian Pizam dkk. (2004) individu yang skor sensation seeking-nya tinggi berbeda dengan individu yang skor sensation seeking-nya rendah dalam hal pemilihan tempat tujuan wisata dan aktivitas yang dilakukan di tempat tujuan wisata. Mereka cenderung mencari tempat tujuan wisata yang sesuai dengan kebutuhannya.

(4)

Misal, daerah yang memungkinkan mereka untuk naik gunung, diving, berkemah, pergi ke club atau bar akan berpotensi dipilih individu dengan skor sensation seeking tinggi sebagai tempat tujuan wisata. Dalam penelitian ini peneliti berasumsi perilaku seksual yang dilakukan oleh backpacker juga dapat disebabkan oleh faktor tempat tujuan wisata. Hal ini mendukung temuan Dahles (1999) yaitu, Indonesia merupakan tempat potensial yang banyak dikunjungi oleh para wisatawan, bahkan beberapa daerah seperti Bali, Jogjakarta dan Jawa Barat terkenal penduduknya sering terlibat hubungan romantis dengan wisatawan. Daerah tersebut terkenal lebih terbuka dan fleksibel dalam menerima budaya asing sehingga aktivitas seksual lebih diterima oleh masyarakat umum. Daerah wisata itu kemudian lebih dipilih sebagai daerah tujuan oleh backpacker. Di sana backpacker dapat lebih bebas melakukan kegiatan berwisata. Daerah dengan norma agama yang cukup ketat seperti Padang kemungkinan tidak mendorong mereka untuk melakukan perilaku seksual saat berwisata.

Menurut Pizam dkk. (2004) trait seperti stress seekers, sensation seekers, dan

Big T (Thrill-seeking) personality berhubungan dengan pemilihan tempat tujuan

wisata dan aktivitas yang akan dilakukan di tempat tujuan wisata. Misalnya, orang yang berani mengambil risiko tinggi akan memilih rute perjalanannya sendiri daripada harus bergabung dengan travel atau biro perjalanan. Mereka juga akan mengambil kegiatan bertualang, olahraga ekstrim serta mengacuhkan norma yang berlaku. Norma yang berlaku di daerah asal backpacker dapat berbeda dengan norma yang berlaku di tempat tujuan wisata. Menurut Richards (2003) daerah wisata memiliki fleksibilitas dan pengacuhan norma-norma konvensional. Hal ini menandakan adanya dukungan terhadap aktivitas seksual yang lebih bebas di tempat wisata karena berlaku norma yang lebih ”modern”. Perilaku seksual dibatasi oleh norma yang konvensional. Backpacker juga lebih memilih mengunjungi daerah yang tidak populer atau bahkan belum pernah dikunjungi oleh kebanyakan turis. Peneliti telah melakukan studi kualitatif terhadap beberapa partisipan. Rata-rata dari partisipan telah melakukan perjalanan wisata sebagai backpacker ke daerah-daerah yang jarang di kunjungi, misalnya Batu Karas di Jawa Barat, Tegalalang dan Karang

(5)

Asem di Bali serta daerah Sulawesi dan Kalimantan. Selain itu terdapat partisipan yang melakukan perjalanan wisata ke luar negeri, misal India, Afrika, Tasmania, New Zealand dan Rusia. Menurut partisipan daerah tersebut memiliki budaya yang unik, tempat wisata yang bervariasi serta berlakunya norma yang tidak konvensional. Seperti telah dijelaskan dalam paragraf sebelumnya, norma modern tidak akan membatasi aktivitas seksual mereka. Lain halnya dengan daerah yang memiliki norma konvensional, dimana akan terdapat nilai-nilai yang membatasi aktivitas seksual backpacker.

Hasil penelitian ini juga sependapat dengan yang dikemukakan oleh Lee dan Crompton (1992) bahwa yang mempengaruhi perilaku wisatawan adalah tempat tujuan wisata. Individu yang cenderung mencari hal-hal unik dan baru akan memilih tempat tujuan wisata yang dapat memenuhi keinginan mereka, misal daerah yang bebas dan fleksibel untuk mereka melakukan hal-hal yang bertentangan dengan norma. Seperti telah dijelaskan dalam bab sebelumnya, backpacker adalah individu yang cenderung mencari hal-hal unik dan baru, maka perilaku seksual backpacker juga ditentukan oleh tempat tujuan wisata. Apabila tempat tujuan wisata memungkinkan bagi mereka untuk melakukan aktivitas seksual maka mereka akan lebih memilih tempat tujuan wisata tersebut.

2) Motivasi

Dalam hal perilaku seksual backpacker yang dilakukan dengan teman sesama

backpacker maupun penduduk setempat hasil yang diperoleh dalam penelitian ini

sama dengan yang dikemukakan oleh Bell (2002). Bell mengatakan bahwa terdapat sebuah gaya hidup yang dinamakan OE (overseas experience) dimana dalam tahap tersebut dewasa muda biasanya melakukan hal-hal yang menunjukkan jati dirinya dalam perjalanan wisata. OE yang cenderung terjadi pada umur 20an (mid twenties) ini dialami oleh mereka dengan kecenderungan mencari makna hidup dalam perjalanan wisatanya daripada sekedar aktivitas fisik yang menantang. Dengan kelompok umur mereka dan status pernikahan yang belum menikah, mereka sering menemukan pasangan hidup di tempat tujuan wisata atau bahkan terlibat kisah romantis dengan teman perjalanan. Dapat dikatakan motivasi sebagian backpacker

(6)

dalam melakukan perjalanan wisata adalah mencari pasangan hidup. Menurut Bell (2002) dengan melakukan perjalanan wisata, mereka berharap dapat mengenal lebih lanjut pasangan perjalanan wisata atau penduduk setempat hingga akhirnya menjadi pasangan hidup. Ketika melakukan perjalanan wisata, mereka memiliki kemungkinan untuk tinggal di rumah penduduk setempat dan menjalin cinta dengan salah satu penduduk setempat tersebut. Menurut Duran (2003) mereka yang terlibat hubungan romantis saat melakukan perjalanan wisata dapat berlanjut ke tahap selanjutnya yaitu melakukan hubungan seksual yang biasa dilakukan di tempat wisata. Menurut Birnbaum (2006) perilaku seksual yang dilakukan di tempat tujuan wisata dilandasi oleh dua hal, yaitu kebutuhan untuk melanjutkan hubungan ke tahap yang lebih serius seperti pernikahan dan kebutuhan untuk merasakan sensasi atau variasi dari aktivitas seksual mereka. Wisatawan yang melakukan hubungan seksual dengan partner perjalanan maupun penduduk setempat bisa berujung pada hubungan romantis yang lebih serius dan menikah atau sekedar one night stand.

Cohen (1979) menemukan bahwa motivasi backpacker dalam melakukan perjalanan wisata adalah mencari pengalaman baru dan unik. Di tempat tujuan wisata mereka bebas mencari kesenangan yang dapat membawa mereka dalam pengalaman yang bermakna. Cohen membagi tipologi dari pengalaman wisatawan menjadi lima. Tipologi ini dibuat berdasarkan karakteristik makna hidup yang didapat di tempat tujuan wisata, salah satunya adalah tipe rekreasional dan experiential. Tipe rekreasional mengutamakan pengalaman menyenangkan, kebebasan dari rutinitas sehari-hari dan kebutuhan untuk coping stress, sedangkan tipe experiential cenderung mencari pengalaman bermakna di setiap perjalanan wisata mereka. Menurut Cohen (1979) wisatawan yang terlibat drugs atau aktivitas seksual di tempat tujuan wisata adalah wisatawan tipe rekreasional dan experiential.

Lebih jauh menurut penelitian Uriely dan Belhassen (2005), kegiatan wisatawan yang berkaitan dengan aktivitas ekstrim seperti drugs dan perilaku seksual dimotivasi oleh pleasure oriented experiences. Kegiatan mereka di tempat tujuan wisata cenderung dimotivasi oleh keinginan untuk melakukan kegiatan yang menyenangkan. Selain pleasure oriented experiences, perilaku seksual juga

(7)

dimotivasi oleh meaningful experiences. Mereka menganggap bahwa dengan melakukan kegiatan wisata, mereka bisa melakukan aktivitas menyenangkan jenis apapun yang tidak didapat di rumah mereka dan bermakna bagi kehidupan mereka kedepannya.

6. 2. 3. Backpacker Jakarta

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dimensi boredom susceptibility merupakan dimensi paling dominan terdapat dalam diri partisipan. Hal ini berarti

backpacker Jakarta merupakan individu yang enggan melakukan kegiatan rutin,

kegiatan berulang dan situasi monoton yang tidak bervariasi. Mereka tidak menyukai kegiatan yang berulang-ulang pada kehidupan sehari-harinya atau sekadar menikmati bentuk rekreasi yang biasa di setiap akhir pekannya. Menurut Grasha dan Kirschenbaum (1980) individu dengan boredom susceptibility tidak menyukai bentuk rekreasi yang biasa dilakukan oleh kebanyakan orang, mereka cenderung melakukan rekreasi yang lebih menantang dan unik. Mereka juga menyukai rute perjalanan yang baru walaupun mereka akan tersesat seorang diri. Hal ini sejalan dengan penelitian Adkins dan Grant (2007) bahwa backpacker adalah jenis wisatawan yang menyukai hal-hal unik, baru, fleksibel dan menghindari kegiatan-kegiatan rutinitas. Mereka biasa membebaskan dirinya dari kegiatan rutin dengan melakukan perjalanan wisata yang unik dan berbeda. Oleh karena itu mereka tidak akan merasa asing saat tersesat di tempat tujuan wisata.

6. 3. Saran

6. 3. 1. Saran Metodologis

Berdasarkan diskusi yang telah dijelaskan dalam subbab sebelumnya, terdapat beberapa saran yang diajukan peneliti, yaitu:

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai tipe trait sensation seeking. Minimnya penelitian mengenai sensation seeking di Indonesia membatasi peneliti dalam mendapatkan tinjauan kepustakaan. Apabila penelitian

(8)

mengenai sensation seeking bertambah, maka bertambah pula literatur atau bahan bagi yang membutuhkan untuk kepentingan penelitian lainnya.

2. Selain itu, karena fenomena backpacker baru saja marak di Indonesia maka perlu juga dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai perilaku backpacker yang lainnya, seperti motivasi. Peneliti juga menyarankan untuk selanjutnya dilakukan penelitian dengan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif ini dapat memberikan gambaran umum mengenai pengalaman pribadi

backpacker di Indonesia.

3. Peneliti juga menyarankan dalam penelitian selanjutnya perlu dilihat aspek-aspek lain yang berhubungan dengan perilaku seksual backpacker di tempat tujuan wisata. Peneliti berasumsi terdapat faktor dari tipe trait lain yang berhubungan dengan perilaku seksual backpacker ini. Atau sebagaimana telah dijelaskan dalam bab sebelumnya bahwa faktor tempat tujuan wisata, makna hidup dan motivasi juga dapat berhubungan dengan perilaku seksual

backpacker.

4. Penelitian selanjutnya dapat mengenai pemilihan tempat tujuan wisata di Indonesia. Hal ini dapat menambah informasi mengenai bidang psikologi lainnya, yaitu Psikologi Pariwisata yang belum berkembang di Indonesia. Di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia sendiri, hanya ada satu buku mengenai Psikologi Pariwisata, yaitu buku yang berjudul Psikologi Pariwisata karya Glenn F. Ross tahun 1994. Mengingat backpacker merupakan jenis wisatawan yang sedang berkembang baik di Indonesia maupun di dunia, hal ini dapat mempengaruhi tempat wisata yang akan mereka pilih. Dengan adanya penelitian mengenai hal tersebut, akan berguna selain bagi ilmu Psikologi Pariwisata tetapi juga bagi Psikologi Konsumen.

6. 3. 2. Saran Praktis

Adapun saran-saran praktis yang dapat diajukan peneliti adalah sebagai berikut:

(9)

1. Perlu diantisipasi dampak dari penyebaran kasus perilaku seksual sebelum pernikahan yang nantinya akan meningkatkan angka Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD). Bahkan dampak jangka panjang dari perilaku seksual tersebut adalah Penyakit Menular Seksual (PMS). Pemerintah perlu menyadari bahwa perilaku backpacker Indonesia tidak berbeda dengan perilaku backpacker asing.

2. Backpacker Indonesia lebih menjaga dan melakukan perilaku seksual yang lebih aman, misal dengan menggunakan kondom agar penyebaran penyakit menular seksual tidak semakim meluas.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penelitian ini didapatkan hasil bahwa terdapat perbedaan yang tidak signifikan dalam skor sikap terhadap perubahan pada 2 kelompok lama kerja, yakni antara lama kerja 2-10

Dengan mengucapkan Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayahnya yang selalu dilimpahkan kepada penulis, serta berkat doa restu kedua orang tua

Beberapa variabel yang diduga mempengaruhi konsumsi ikan pada konsumen muda adalah konsumsi ikan di masa kanak-kanak, sikap, kesadaran kesehatan, tekanan sosial,

Interaksi antara tingkat penggunaan strategi Seleksi, Optimasi, dan Kompensasi dengan jenis konflik pekerjaan-keluarga mempengaruhi kepuasan kerja manajer secara bermakna,

Faktor yang sangat mempengaruhi limbah konstruksi dalam proyek konstruksi untuk faktor sumber daya manusia adalah faktor ketidaksengajaan tenaga kerja membuat

Apabila mau lengkap, maka Audit Mutu Akademik Internal dapat difokuskan pada standar mutu yang digunakan oleh satuan pendidikan perguruan tinggi, dalam menjalankan kegiatan

Sebaiknya concierge lebih meningkatkan kinerjanya dalam melakukan pelaksanaan kerja yang masih jarang terlaksanakan dan semua kegiatan harus ditulis di log book

b) Pendampingan dalam melakukan kegiatan ekonomi produktif, dilaksanakan dengan merintis dan mengembangkan aneka jenis keterampilan/ usaha yang bernilai ekonomis dan