• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "4 HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

4.1 Penelitian Pendahuluan

Pada penelitian pendahuluan dilakukan penentuan frekuensi pencucian daging lumat yang tepat (1 kali pencucian, 2 kali pencucian dan 3 kali pencucian) dalam menghasilkan gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus). Hasil frekuensi pencucian terbaik diketahui dengan cara menguji karakteristik fisik (uji lipat, uji gigit dan kekuatan gel) dan uji sensori (hedonik). Surimi yang dihasilkan pada penelitian pendahuluan dengan sifat fisika-kimia dan sensori terbaik dijadikan bahan dasar dalam pembuatan produk sosis ikan pada penelitian utama.

4.1.1 Karakteristik fisik surimi

Surimi yang dihasilkan dari perlakuan frekuensi pencucian daging lumat dilakukan analisis fisik seperti analisis rendemen, uji lipat dan uji gigit.

a) Rendemen

Rendemen dari suatu ikan merupakan rasio berat antara daging dengan berat ikan utuh. Menurut Hadiwiyoto (1993), perhitungan rendemen digunakan untuk memperkirakan berapa banyaknya bagian dari tubuh ikan yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan. Rendemen yang dianalisis meliputi rendemen daging dan rendemen surimi. Hasil analisis rendemen daging dari berat ikan utuh sebesar 10000 gram didapat daging lumat sebesar 3102 gram dan rendemen daging lumat sebesar 31,02%. Frekuensi pencucian 1 kali bobot surimi yang didapat sebesar 630 gram dan rendemen surimi sebesar 18,9%. Frekuensi pencucian 2 kali bobot surimi yang didapat sebesar 624 gram dan rendemen surimi sebesar 18,72%. Frekuensi pencucian 3 kali bobot surimi yang didapat sebesar 619 gram dan rendemen surimi sebesar 17,7%.

Rendemen daging ikan lele yang didapatkan sebesar 31,02%, sedangkan rendemen surimi yang dihasilkan yaitu 18,9%, 18,72% dan 17,7%. Rendemen surimi tertinggi yaitu pada perlakuan frekuensi pencucian 1 kali. Nilai rendemen surimi ikan lele dumbo ini semakin menurun dengan semakin banyaknya pencucian. Pada frekuensi pencucian 1 kali menurunkan nilai rendemen daging sebesar 12,12 %, pada pencucian 2 kali menurunkan rendemen daging sebesar

(2)

12,3% dan pada pencucian 3 kali menurunkan rendemen daging sebesar 13,32%. Rendemen daging yang semakin menurun ini dikarenakan, adanya proses pencucian. Semakin banyak frekuensi pencucian akan menyebabkan semakin banyak komponen yang akan terlarut bersama air antara lain protein sarkoplasma, pigmen, lemak, dan darah (Reynolds et al. 2002).

Hasil dari ketiga perlakuan tersebut, dapat dilihat perbedaan rendemen serta diketahui bahwa pencucian 1 kali memberikan rendemen tertinggi. Pencucian ini dilakukan bertujuan untuk menghasilkan mutu gel yang baik dan kuat namun tetap memperoleh rendemen yang tinggi. Oleh karena itu, frekuensi pencucian yang terpilih yaitu sebanyak 2 kali, dengan asumsi memiliki rendemen yang masih tinggi dan dapat menghasilkan gel yang baik. Menurut penelitian sebelumnya, pencucian yang dilakukan terhadap daging lumat yaitu sebanyak 2 kali. Pencucian pertama dengan air untuk menghilangkan protein sarkoplasma, dan pencucian kedua dengan penambahan 0,3% garam untuk melarutkan protein miofibril dan membentuk sol aktomiosin (Astawan et al. 1996).

b) Uji lipat

Salah satu cara pengujian kualitas gel surimi yang dihasilkan dapat dilakukan dengan uji lipat. Nilai rata-rata uji lipat gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dengan perlakuan frekuensi pencucian daging lumat dapat dilihat pada Gambar 6.

      

Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscsript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Kode: B1L : Frekuensi pencucian 1 kali A2Y : Frekuensi pencucian 2 kali T3M : Frekuensi pencucian 3 kali

(3)

Nilai rata-rata uji lipat pada gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) adalah 3,83-4,70. Penilaian terhadap uji lipat gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dengan perlakuan perbedaan frekuensi pencucian yaitu tidak retak setelah dilipat menjadi setengah lingkaran dan seperempat lingkaran. Hasil analisis

Kruskal-Wallis dapat dilihat pada Lampiran 8. Perlakuan frekuensi pencucian

daging lumat memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai rata-rata uji lipat gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus). Hal ini diduga karena pencucian dapat meningkatkan kekuatan gel dengan semakin pekatnya protein miofibril, sehingga berpengaruh terhadap uji lipat yang dihasilkan. Hasil uji lipat berkaitan langsung dengan tekstur gel terutama kekuatan gel. Semakin baik hasil uji lipat (makin sukar retak), maka mutu gel ikan yang dihasilkan pun semakin baik (Shaban et al. 1985 dalam Santoso et al. 1997).

Hasil uji lanjut Multiple comparison disajikan pada Lampiran 9, diperoleh bahwa perlakuan frekuensi pencucian 3 kali menghasilkan nilai rata-rata uji lipat yang berbeda nyata dengan pencucian 1 kali, sedangkan dengan pencucian 2 kali tidak menghasilkan nilai rata-rata uji lipat yang berbeda nyata. Hal ini diduga karena proses pencucian dapat menghilangkan protein sarkoplasma yang dapat menghambat pembentukan gel sehingga pada frekuensi pencucian 2 kali menghasilkan nilai rata-rata uji lipat yang lebih tinggi dan berbeda nyata dengan pencucian 1 kali. Nilai rata-rata uji lipat pada pencucian 2 mengalami kenaikan, sedangkan pada pencucian 3 kali mengalami penurunan diduga karena menurunnya kekuatan gel akibat konsentrasi protein miofibril yang juga menurun. Miofibril sangat berperan dalam penggumpalan dan pembentukan gel pada daging ikan yang diolah (Erdiansyah 2006). Kadar air yang tinggi pun diduga dapat menurunkan kekuatan gel pada pencucian ketiga. Pencucian yang berulang pun dapat meningkatkan sifat hidrofilik daging, yang membuat penghilangan air menjadi sulit dan daging mengembang (Kaba 2006).

c) Uji gigit

Uji gigit digunakan untuk mengukur tingkat elastisitas surimi secara sensori. Nilai rata-rata uji gigit dengan perlakuan frekuensi pencucian daging lumat ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dapat dilihat pada Gambar 7.

(4)

Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscsript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Kode: B1L : Frekuensi pencucian 1 kali A2Y : Frekuensi pencucian 2 kali T3M : Frekuensi pencucian 3 kali

Gambar 7 Histogram rata-rata uji gigit gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Nilai rata-rata uji gigit gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) adalah 6,90-7,63. Penilaian terhadap uji gigit gel ikan lele dumbo dengan perlakuan perbedaan frekuensi pencucian yaitu dapat diterima hingga agak kuat. Hasil analisis Kruskal-Wallis dapat dilihat pada Lampiran 10. Perlakuan frekuensi pencucian daging lumat memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai rata-rata uji gigit gel ikan lele dumbo. Uji gigit digunakan untuk mengukur tingkat elastisitas surimi secara sensori, keelastisan ini berhubungan dengan kekuatan gel surimi. Pencucian dapat meningkatkan kekuatan gel surimi sehingga diduga juga berpengaruh terhadap nilai uji gigit yang dihasilkan. Surimi yang baik adalah surimi yang memiliki kekuatan gel yang tinggi (Park 2000).

Hasil uji lanjut Multiple comparison disajikan pada Lampiran11, diketahui bahwa perlakuan pencucian 1 kali berbeda nyata terhadap pencucian 3 kali, sedangkan dengan pencucian 2 kali tidak berbeda nyata. Proses pencucian dapat menghilangkan protein sarkoplasma yang dapat menghambat pembentukan gel (Riesnawaty 2007). Hal ini diduga meningkatkan nilai rata-rata uji gigit gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) yang dihasilkan pada frekuensi pencucian 2 kali jika dibandingkan pencucian 1 kali. Pada frekuensi pencucian 3 kali pun menghasilkan nilai rata-rata uji gigit yang lebih tinggi dibandingkan frekuensi pencucian 2 kali. Peningkatan frekuensi pencucian secara terus-menerus dapat

(5)

menghilangkan residu protein sarkoplasma yang dapat menghambat pembentukan gel pada daging lumat (Kaba 2006).

d) Kekuatan gel

Kekuatan gel merupakan salah satu uji fisik yang umumnya dilakukan pada bahan pangan untuk mengetahui tingkat gelasi produk tersebut. Nilai rata-rata kekuatan gel pada gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dengan perlakuan frekuensi pencucian daging lumat dapat dilihat pada Gambar 8.

Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscsript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Kode: B1L : Frekuensi pencucian 1 kali A2Y : Frekuensi pencucian 2 kali T3M : Frekuensi pencucian 3 kali

Gambar 8 Histogram kekuatan gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)

Nilai kekuatan gel pada gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) adalah 483,25-683,35 gf. Hasil analisis ragam dapat dilihat pada Lampiran 13. Perlakuan perbedaan frekuensi pencucian daging lumat tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai kekuatan gel pada gel ikan lele dumbo. Nilai rata-rata kekuatan gel cenderung menurun dengan bertambahnya frekuensi pencucian. Pencucian daging ikan tidak mempengaruhi kualitas gel yang dihasilkan, manakala NaCl (garam) digunakan (Astawan et al. 1996). Berdasarkan hasil ini, diketahui bahwa perbedaan frekuensi pencucian tidak memenuhi asumsi bahwa dapat memperbaiki kekuatan gel ikan lele dumbo. Kekuatan gel dipengaruhi oleh penggunaan air saat dilakukan pencucian. Pada pencucian sebanyak 2 dan 3 kali nilai kekuatan gel menurun dan diduga dipengaruhi oleh kadar air yang tinggi. Pencucian yang berulang-ulang dapat meningkatkan sifat hidrofilik daging, yang

(6)

membuat penghilangan air dalam daging menjadi sulit dan daging mengembang (Kaba 2006).

4.1.2 Karakteristik sensori gel ikan

Analisis sensori merupakan analisis yang dilakukan menggunakan kepekaan indera manusia (panelis). Analisis sensori yang dilakukan adalah uji kesukaan (hedonik), panelis diminta untuk memberikan tanggapan tentang tingkat kesukaan atau ketidaksukaan. Tingkatan-tingkatannya disebut skala hedonik, dalam analisisnya ditransformasikan menjadi skala numerik dengan angka yang semakin naik menurut tingkat kesukaannya (Rahayu 1998).

a) Penampakan

Penampakan merupakan salah satu parameter yang menentukan tingkat penerimaan dari panelis yang dinilai dengan penglihatan antara lain bentuk, ukuran, warna dan sifat-sifat permukaan (halus, kasar, suram, mengkilap, homogen, heterogen dan datar bergelombang). Nilai rata-rata penampakan gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dilihat pada Gambar 9.

Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscsript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Kode: B1L : Frekuensi pencucian 1 kali A2Y : Frekuensi pencucian 2 kali T3M : Frekuensi pencucian 3 kali

Gambar 9 Histogram rata-rata penampakan gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)

Nilai rata-rata penampakan gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) adalah 6,53-6,77. Penilaian terhadap penampakan gel ikan lele dumbo dengan perlakuan perbedaan frekuensi pencucian yaitu agak suka. Hasil analisis Kruskal-Wallis

(7)

dapat dilihat pada Lampiran 14. Perlakuan frekuensi pencucian daging lumat tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap penampakan gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus). Hal ini menunjukkan bahwa panelis memiliki tingkat kesukaan yang sama untuk semua penampakan gel ikan lele dumbo. Penampakan secara keseluruhan, dari ketiga hasil gel ikan dengan perbedaan frekuensi pencucian yang dihasilkan tidak terlalu berbeda dari bentuk dan tampilan.

Semakin banyak frekuensi pencucian menyebabkan penampakan akan semakin baik, karena hilangnya pigmen, lemak, darah, serta protein sarkoplasma yang menyebabkan gel ikan pada pencucian sebanyak 3 kali terlihat lebih rapi, putih dan kompak jika dibandingkan dengan gel ikan lele dumbo pada pencucian 1 kali. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya kemampuan daging untuk membentuk gel dengan meningkatkan konsentrasi aktomiosin serta berkurangnya protein sarkoplasma (Astawan et al. 1996).

b) Warna

Warna memegang peranan penting dalam penerimaan makanan bersama-sama dengan bau, rasa, tekstur dan penampakan. Nilai rata-rata warna gel ikan lele dumbo dengan perlakuan frekuensi pencucian daging lumat dapat dilihat pada Gambar 10.

 

Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscsript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Kode: B1L : Frekuensi pencucian 1 kali A2Y : Frekuensi pencucian 2 kali T3M : Frekuensi pencucian 3 kali

(8)

Nilai rata-rata warna gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) adalah 6,40-6,90. Penilaian terhadap penampakan gel ikan lele dumbo dengan perlakuan perbedaan frekuensi pencucian yaitu agak suka. Hasil analisis Kruskal-Wallis dapat dilihat pada Lampiran 15. Perbedaan frekuensi pencucian daging lumat tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai rata-rata warna gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus). Hal ini menunjukkan bahwa panelis memiliki tingkat kesukaan yang sama untuk semua warna gel ikan lele dumbo yang dihasilkan dan memperlihatkan bahwa panelis masih menyukainya pada semua perlakuan berdasarkan hasil uji sensori. Semakin banyak frekuensi pencucian yang dilakukan, terlihat bahwa nilai rata-rata warna gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) semakin meningkat. Hal ini didukung oleh literatur yang didapat, bahwa tujuan dari pencucian surimi adalah untuk meningkatkan kemampuan pengikat gel dan meningkatkan kualitas warna dan aroma (Muhibuddin 2010). Artinya semakin banyak frekuensi pencucian akan menghasilkan warna yang lebih baik terhadap surimi ikan lele dumbo.

c) Aroma

Aroma merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan kualitas bahan makanan. Aroma makanan lebih banyak dipengaruhi oleh panca indera penciuman. Nilai rata-rata aroma gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dengan perlakuan frekuensi pencucian daging lumat dapat dilihat pada Gambar 11.

Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscsript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Kode: B1L : Frekuensi pencucian 1 kali A2Y : Frekuensi pencucian 2 kali T3M : Frekuensi pencucian 3 kali

(9)

Nilai rata-rata aroma gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) yang dihasilkan yaitu 6,10-6,13. Penilaian terhadap aroma gel ikan lele dumbo dengan perlakuan perbedaan frekuensi pencucian yaitu agak suka. Hasil analisis

Kruskal-Wallis dapat dilihat pada Lampiran 16, menunjukkan bahwa perlakuan

frekuensi pencucian daging lumat tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai rata-rata aroma gel ikan lele dumbo. Artinya panelis memiliki tingkat kesukaan yang sama untuk semua aroma gel ikan lele dumbo. Hal ini disebabkan pada proses pembuatan gel ikan ini tidak ada penambahan bumbu lain kecuali garam ke tiap-tiap perlakuan. Garam yang ditambahkan hampir tidak berbau, sehingga ketika diaplikasikan ke dalam produk tidak menimbulkan aroma yang spesifik.

d) Rasa

Rasa merupakan faktor yang sangat menentukan suatu produk dapat diterima atau tidak oleh konsumen. Rasa dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah senyawa kimia, suhu, konsentrasi dan interaksi dengan komponen rasa lain (Winarno 2008). Hasil nilai rata-rata rasa gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus), dengan perlakuan berbagai frekuensi pencucian dapat dilihat pada Gambar 12.

Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscsript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Kode: B1L : Frekuensi pencucian 1 kali A2Y : Frekuensi pencucian 2 kali T3M : Frekuensi pencucian 3 kali

Gambar 12 Histogram rata-rata rasa gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Nilai rata-rata rasa gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) adalah 6,00-6,13. Penilaian terhadap rasa gel ikan lele dumbo dengan perlakuan

(10)

perbedaan frekuensi pencucian yaitu agak suka. Hasil analisis Kruskal-Wallis dapat dilihat pada Lampiran 17. Perlakuan frekuensi pencucian daging lumat tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai rata-rata rasa gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus). Nilai rata-rata rasa gel ikan lele dumbo yang dihasilkan untuk setiap perlakuan relatif sama. Rasa yang dihasilkan dari gel ikan ini diduga lebih dipengaruhi oleh bumbu yang ditambahkan kedalam adonan. Namun karena penggunaan garam dengan konsentrasi yang sama untuk setiap perlakuan, maka panelis cenderung memberikan penilaian yang sama. Garam yang ditambahkan sebesar 2,5% (b/b) pada saat pencampuran berfungsi bukan sebagai bumbu, melainkan untuk meningkatkan kekuatan ionik daging dan mengekstrak aktomiosin sehingga terbentuk sol (Astawan et al. 1996).

e) Tekstur

Tekstur berhubungan dengan tingkat kekerasan atau keempukan suatu produk. Menurut Rompis (1998), tekstur juga dapat diartikan sebagai halus tidaknya suatu irisan pada saat produk disentuh dengan jari panelis. Penilaian terhadap tekstur berasal dari sentuhan oleh permukaan kulit, biasanya menggunakan ujung jari tangan sehingga dapat dirasakan tekstur suatu bahan. Nilai rata-rata tekstur gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dengan perlakuan frekuensi pencucian daging lumat dapat dilihat pada Gambar 13.

 

Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscsript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Kode: B1L : Frekuensi pencucian 1 kali A2Y : Frekuensi pencucian 2 kali T3M : Frekuensi pencucian 3 kali 

(11)

Nilai rata-rata tekstur gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) adalah 6,23-6,83. Penilaian terhadap tekstur gel ikan lele dumbo dengan perlakuan perbedaan frekuensi pencucian yaitu agak suka. Hasil analisis Kruskal-Wallis dapat dilihat pada Lampiran 18. Perlakuan frekuensi pencucian daging lumat tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai rata-rata tekstur gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus). Nilai rata-rata tekstur tertinggi pada frekuensi pencucian 3 kali. Hal ini diduga karena proses pencucian dapat memperbaiki tekstur gel ikan yang dihasilkan menjadi lebih kompak dengan menghilangkan senyawa-senyawa pengotor. Proses pencucian dilakukan untuk menghilangkan bau amis, pigmen, lemak dan terutama untuk menghilangkan protein sarkoplasma yang dapat menghambat pembentukan gel (Toyoda et al. 1992).

4.2 Penelitian Utama

Penelitian utama dilakukan sebagai lanjutan dari penelitian pendahuluan. Frekuensi pencucian yang terpilih berdasarkan uji sensori, uji fisik dan analisis rendemen yang dilakukan yaitu sebanyak 2 kali. Tujuan dari penelitian ini yaitu agar menghasilkan gel yang kuat namun dengan tekstur yang tidak terlalu keras (elastis) dan tetap mementingkan rendemen yang dihasilkan. Penelitian utama ini dilakukan dengan perlakuan perbedaan penambahan konsentrasi IPK (Isolat Protein Kedelai) pada produk sosis ikan lele dumbo. Hasil produk sosis ikan terbaik diketahui dengan cara menguji karakteristik fisik meliputi uji lipat, uji gigit, kekuatan gel, stabilitas emulsi, daya mengikat air (WHC), uji organoleptik (sensori), dan TPC (Total Plate Count).

4.2.1 Karakteristik fisik sosis ikan

Sosis ikan yang dihasilkan dengan perlakuan penambahan IPK (Isolat Protein Kedelai) dengan konsentrasi yang berbeda, diuji secara fisik yang meliputi uji lipat, uji gigit, kekuatan gel, stabilitas emulsi, dan Water Holding Capacity.

a) Uji lipat

Uji lipat ini dilakukan untuk mengetahui tingkat elastisitas sosis yang dihasilkan (Purwandari 1999). Uji lipat ini dilakukan untuk mengetahui tingkat elastisitas sosis yang dihasilkan. Nilai rata-rata uji lipat sosis ikan lele dumbo

(12)

(Clarias gariepinus) dengan perlakuan perbedaan penambahan konsentrasi IPK (Isolat Protein Kedelai) dapat dilihat pada Gambar 14.

Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscsript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Kode: SA3 : Penambahan IPK konsentrasi 10% VB5 : Penambahan IPK konsentrasi 13% XC3 : Penambahan IPK konsentrasi 16% FD4 : Penambahan IPK konsentrasi 19%

Gambar 14 Histogram rata-rata uji lipat sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)

Nilai rata-rata uji lipat pada sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) adalah 4,00-4,57. Penilaian terhadap uji lipat sosis ikan lele dumbo yaitu sosis tidak retak setelah dilipat menjadi setengah lingkaran. Hasil analisis

Kruskal-Wallis dapat dilihat pada Lampiran 20. Perlakuan perbedaan penambahan

konsentrasi IPK (Isolat Protein Kedelai) memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai rata-rata uji lipat sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus). Isolat protein kedelai memiliki sifat higroskopis. Semakin tinggi kadar IPK yang ditambahkan, maka akan semakin banyak air dalam adonan yang akan terserap. Hal ini yang menyebabkan tekstur sosis menjadi lebih kompak (Widodo 2008).

Hasil uji lanjut Multiple comparison disajikan pada Lampiran 21. Perlakuan IPK konsentrasi 10% menghasilkan nilai rata-rata uji lipat yang berbeda nyata dengan perlakuan IPK konsentrasi 16% dan 19%, sedangkan dengan perlakuan IPK konsentrasi 13% tidak berbeda nyata. Semakin banyak jumlah IPK yang ditambahkan maka tekstur yang dihasilkan pun akan semakin keras dan kompak. Penambahan IPK diduga akan meningkatkan jumlah ikatan silang antar protein (Widodo 2008). Tekstur dan kekuatan gel dari sosis itu sendiri berpengaruh

(13)

terhadap uji lipat yang dilakukan, semakin kompak tekstur dari sosis maka uji lipat yang dihasilkan pun akan semakin lebih baik. Uji lipat memiliki korelasi positif dengan kekuatan gel, dimana peningkatan pada kekuatan gel diikuti dengan meningkatnya uji lipat (Agustini et al. 2008).

b) Uji gigit

Uji gigit dilakukan untuk mengukur tingkat elastisitas dari sosis ikan lele dumbo yang dihasilkan secara sensori. Nilai rata-rata uji gigit sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)  dengan perbedaan penambahan konsentrasi IPK (Isolat Protein Kedelai) dapat dilihat pada Gambar 15.

 

Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscsript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Kode: SA3 : Penambahan IPK konsentrasi 10% VB5 : Penambahan IPK konsentrasi 13% XC3 : Penambahan IPK konsentrasi 16% FD4 : Penambahan IPK konsentrasi 19%

Gambar 15 Histogram rata-rata uji gigit sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)

Nilai rata-rata uji gigit pada sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) adalah 6,20-7,02. Penilaian terhadap uji gigit sosis ikan lele dumbo berkisar antara dapat diterima hingga cukup kuat. Hasil analisis Kruskal-Wallis dapat dilihat pada Lampiran 22. Perlakuan perbedaan penambahan konsentrasi IPK (Isolat Protein Kedelai) memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai rata-rata uji gigit sosis ikan lele dumbo. Uji gigit digunakan untuk mengukur tingkat elastisitas sosis secara sensori, elastisitas ini berhubungan dengan kekuatan gel dari sosis tersebut. Penambahan IPK (Isolat Protein Kedelai) dengan konsentrasi yang berbeda berpengaruh terhadap elastisitas sosis, maka berpengaruh pula

(14)

terhadap uji gigit yang dihasilkan. Hal ini disebabkan IPK (Isolat Protein Kedelai) memiliki sifat fungsional dalam membentuk elastisitas karena terjadinya ikatan disulfida (Koswara 1992). Selain itu IPK merupakan bahan pengikat yang memiliki kemampuan dalam mengikat air dan lemak dan kemampuannya membentuk gel selama pemanasan (Wulandhari 2007).

Hasil uji lanjut Multiple comparison disajikan pada Lampiran 23. Perlakuan IPK konsentrasi 10% dan 13% menghasilkan nilai rata-rata uji gigit yang berbeda nyata dengan perlakuan IPK konsentrasi16% dan 19%. Kadar IPK memiliki korelasi positif terhadap elatisitas atau kekenyalan sosis. Semakin tinggi konsentrasi IPK yang ditambahkan maka akan semakin meningkat kekenyalannya dan meningkatkan nilai uji gigit. Hal ini dikarenakan semakin tinggi kandungan protein dari IPK maka akan semakin banyak ikatan silang dan gel yang terbentuk, akibatnya tekstur akan semakin kenyal dan kompak (Yulianti 2003).

c) Kekuatan gel

Kekuatan gel merupakan salah satu uji fisik yang umumnya dilakukan pada bahan pangan untuk mengetahui tingkat gelasi produk tersebut. Nilai rata-rata kekuatan gel sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dengan perbedaan penambahan konsentrasi isolat protein kedelai dapat dilihat pada Gambar 16.

 

Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscsript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Kode: SA3 : Penambahan IPK konsentrasi 10% VB5 : Penambahan IPK konsentrasi 13% XC3 : Penambahan IPK konsentrasi 16% FD4 : Penambahan IPK konsentrasi 19%

Gambar 16 Histogram kekuatan gel sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Nilai kekuatan gel sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) adalah 192,45-292,45 gf. Hasil analisis ragam dapat dilihat pada Lampiran 25. Perlakuan

(15)

perbedaan penambahan konsentrasi IPK memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai kekuatan gel sosis ikan lele dumbo. Nilai rata-rata kekuatan gel pada sosis ikan ini cenderung meningkat dengan bertambahnya konsentrasi IPK yang ditambahkan. Sifat fungsional lain dari protein adalah kemampuannya dalam membentuk gel. Pembentukan gel protein ini dapat juga digunakan untuk peningkatan penyerapan air, pengikatan partikel dan stabilitas emulsi (Koswara 1992).

Hasil uji lanjut Multiple comparison disajikan pada Lampiran 25. Perlakuan IPK konsentrasi 10% menghasilkan nilai rata-rata uji gigit yang berbeda nyata dengan perlakuan IPK konsentrasi 19%, sedangkan dengan perlakuan IPK konsentrasi 13% dan 16% menghasilkan nilai rata-rata uji gigit yang tidak berbeda nyata. Pembentukan gel atau gelasi dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain konsentrasi, pH, adanya komponen lain, serta perlakuan panas ketika pemasakan (Yulianti 2003). Nilai kekuatan gel yang tinggi berhubungan dengan tingginya komponen protein yang ditambahkan dengan rendahnya komponen lemak, serta konsentrasi penambahan air (Huda et al. 2010). Faktor-faktor ini diduga mempengaruhi nilai kekuatan gel sehingga nilainya pun berbeda-beda. Penambahan konsentrasi protein yang semakin tinggi maka kekuatan gel pun akan semakin tinggi (Hua et al. 2003).

d) Water Holding Capacity (WHC)

Water Holding Capacity (WHC) merupakan suatu nilai yang menunjukan

kemampuan protein daging untuk mengikat air atau cairan baik yang berasal dari dirinya maupun yang berasal dari luar yang ditambahkan. Nilai daya ikat air pada sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dengan perbedaan penambahan konsentrasi IPK (Isolat Protein Kedelai) dapat dilihat pada Gambar 17.

Nilai WHC (Water Holding Capacity) sosis ikan lele dumbo yaitu 78,42-84,79%. Hasil analisis ragam dapat dilihat pada Lampiran 27. Perlakuan

perbedaan penambahan konsentrasi IPK (Isolat Protein Kedelai) tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai WHC sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus). Terjadi peningkatan nilai WHC yang signifikan dari konsentrasi 10%, 13%, 16% dan 19%.

(16)

Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Kode: SA3 : Penambahan IPK konsentrasi 10% VB5 : Penambahan IPK konsentrasi 13% XC3 : Penambahan IPK konsentrasi 16% FD4 : Penambahan IPK konsentrasi 19%

Gambar 17 Histogram WHC sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Hal ini membuktikan bahwa semakin tinggi konsentrasi isolat protein yang ditambahkan maka akan meningkatkan nilai daya ikat air. Penambahan bahan pengikat dalam pembuatan sosis bertujuan untuk meningkatkan daya ikat air karena IPK (Isolat Protein Kedelai) memiliki sifat higroskopis (Koswara 1992). Semakin meningkatnya WHC atau daya mengikat air sosis dengan semakin tingginya kadar protein diduga terjadi karena adanya gugus-gugus polar dan non polar pada protein. Protein terdiri dari gugus polar dan nonpolar (Kumar et al. 2002). Gugus-gugus polar tersebut akan berinteraksi dengan ion hidrogen dari air yang bersifat polar pula. Interaksi antara protein-protein dan protein-air akan membentuk jaringan tiga dimensi yang kaku dan mampu memperangkap sejumlah air. Semakin tinggi kandungan protein maka akan semakin banyak air yang terikat dan mengakibatkan nilai WHC pun akan meningkat. WHC atau daya ikat air pun sangat dipengaruhi oleh kandungan air, protein, dan penggunaan garam (Kramlich 1971).

d) Stabilitas emulsi

Stabilitas emulsi dari suatu produk khususnya sosis dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain pH, konsentrasi garam, jumlah penambahan air dan

(17)

(Clarias gariepinus) dengan perbedaan penambahan konsentrasi IPK dapat dilihat pada Gambar 18.

Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Kode: SA3 : Penambahan IPK konsentrasi 10% VB5 : Penambahan IPK konsentrasi 13% XC3 : Penambahan IPK konsentrasi 16% FD4 : Penambahan IPK konsentrasi 19%

Gambar 18 Histogram stabilitas emulsi sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)

Nilai stabilitas emulsi sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) adalah 56,09-61,23%. Hasil analisis ragam dapat dilihat pada Lampiran 29. Perlakuan perbedaan penambahan konsentrasi isolat protein kedelai tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai stabilitas emulsi sosis ikan lele dumbo. Nilai stabilitas emulsi pada sosis ikan ini mengalami fluktuasi dengan semakin tinggi konsentrasi IPK yang ditambahkan. Menurut Yulianti (2003), pembentukan gel protein dapat digunakan untuk peningkatan penyerapan air, pengikatan partikel dan stabilitas emulsi.

Bahan pengikat IPK berfungsi sebagai emulsifier. Isolat protein yang ditambahkan sebagai emulsifier ke dalam sistem yang terdiri dari air dan lemak, maka yang terbentuk adalah emulsi fase dua cairan dan satu padatan. Partikel-partikel padatan akan menstabilkan emulsi bila berada di lapisan yang terletak diantara kedua cairan. Adsorpsi oleh protein terjadi karena interaksi hidrofobik antara protein dengan permukaan lemak. Pada suatu sistem emulsi yang berperan tidak hanya bahan pengikat saja, melainkan lemak dan air. Lemak selain berperan sebagai pemberi rasa lezat pada sosis, berperan pula untuk pembentukan emulsi.

(18)

Jika lemak yag ditambahkan tidak tepat maka akan dihasilkan emulsi yang tidak kuat (Kramlich 1971). Lemak yang ditambahkan pada pembuatan sosis ikan ini dalam konsentrasi yang rendah yaitu sebesar 3 % untuk setiap perlakuan. Hal ini yang menyebabkan stabilitas emulsi pada konsentrasi 16% dan 19% nilainya menurun.

Stabilitas emulsi sosis dipengaruhi oleh konsentrasi garam yang ditambahkan, jumlah penambahan air serta suhu penggilingan. Stabilitas emulsi akan rusak jika daging digiling pada suhu di atas 16 °C, hal ini disebabkan oleh pada suhu tersebut protein akan mulai terdenaturasi sehingga molekul lemak tidak dapat diikat lagi oleh molekul protein dalam suatu matriks ikatan. Dampak positif dari stabilitas emulsi yaitu menghasilkan sosis dengan sifat irisan halus, tekstur kenyal, kompak dan tidak berongga (Chamidah 2008). Emulsifikasi juga dipengaruhi oleh konsentrasi isolat protein kedelai dan pH (Torrezan 2006).

4.2.2 Karakteristik sensori gel ikan

Analisis sensori yang dilakukan adalah uji kesukaan (hedonik) terhadap gel ikan lele dumbo. Panelis diminta untuk memberikan tanggapan tentang tingkat kesukaan atau ketidaksukaan. Tingkatan-tingkatannnya disebut skala hedonik, dalam analisisnya ditransformasikan menjadi skala numerik dengan angka menaik menurut tingkat kesukaannya (Rahayu 1998). Analisis sensori yang dilakukan meliputi parameter penampakan, warna, aroma, rasa dan tekstur yang dinilai dengan menggunakan kepekaan indera.

a) Penampakan

Penampakan produk memegang peranan penting dalam hal penerimaan konsumen, karena penilaian awal dari suatu produk adalah penampakannya sebelum faktor lain dipertimbangkan secara visual. Penampakan merupakan parameter yang menentukan penerimaan dari panelis karena banyak sifat mutu komoditas dinilai dengan penglihatan misalnya bentuk, ukuran, warna dan sifat permukaan (halus, kasar, buram, cerah, homogen, heterogen, datar dan bergelombang). Nilai rata-rata penampakan sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dengan perbedaan penambahan konsentrasi IPK (Isolat

(19)

Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscsript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Kode: SA3 : Penambahan IPK konsentrasi 10% VB5 : Penambahan IPK konsentrasi 13% XC3 : Penambahan IPK konsentrasi 16% FD4 : Penambahan IPK konsentrasi 19%

Gambar 19 Histogram rata-rata penampakan sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)

Nilai rata-rata penampakan sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) adalah 6,57-7,10. Penilaian panelis terhadap penampakan sosis ikan lele dumbo yaitu agak suka hingga suka. Hasil analisis Kruskal-Wallis dapat dilihat pada Lampiran 30. Perlakuan perbedaan penambahan konsentrasi IPK (Isolat Protein Kedelai) tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai rata-rata penampakan sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus). Penampakan merupakan parameter yang diamati secara keseluruhan dari bentuk, warna dan sifat permukaan. Penampakan dari sosis ikan yang dihasilkan relatif sama, hanya sedikit perbedaan dari warna pada tiap perlakuan, yaitu semakin banyak konsentrasi IPK yang ditambahkan warna sosis pun menjadi agak gelap. Isolat protein kedelai secara fisik berupa bubuk halus berwarna krem atau kecoklatan (Kumar et al. 2002). Hal ini yang menyebabkan penilaian panelis semakin menurun dari konsentrasi IPK terkecil hingga konsentrasi IPK terbesar. Penambahan IPK dapat berfungsi sebagai zat aditif untuk memperbaiki tekstur dan aroma produk sehingga mempengaruhi penampakan produk (Mervina 2009).

b) Warna

Warna menjadi faktor yang menarik dalam penerimaan suatu produk oleh panelis. Nilai rata-rata warna pada sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)

(20)

dengan perbedaan penambahan konsentrasi IPK (Isolat Protein Kedelai) dapat dilihat pada Gambar 20.

Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscsript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Kode: SA3 : Penambahan IPK konsentrasi 10% VB5 : Penambahan IPK konsentrasi 13% XC3 : Penambahan IPK konsentrasi 16% FD4 : Penambahan IPK konsentrasi 19%

Gambar 20 Histogram rata-rata warna sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Nilai rata-rata warna pada sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) adalah 6,00-6,53. Penilaian panelis terhadap tekstur sosis ikan lele dumbo yaitu agak suka. Hasil analisis Kruskal-Wallis dapat dilihat pada Lampiran 31. Perlakuan perbedaan penambahan konsentrasi IPK (Isolat Protein Kedelai) tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai rata-rata warna sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus). Warna sosis dipengaruhi oleh bahan pengisi dan bahan pengikat yang ditambahkan.

Tepung tapioka yang digunakan sebagai bahan pengisi sedikitnya dapat mempengaruhi warna sosis yang dihasilkan. Faktor lainnya adalah bahan pengikat, yaitu isolat protein kedelai secara fisik berupa bubuk halus berwarna krem atau kecoklatan (Kumar et al. 2002). Jika ditambahkan dalam konsentrasi kecil tidak akan mempengaruhi warna sosis. Pada penelitian ini, IPK yang ditambahkan dengan konsentrasi yang cukup besar yaitu 10%, 13%, 16% dan 19%. Hal ini yang menyebabkan penilaian panelis semakin menurun dengan bertambahnya konsentrasi IPK. Kurang disukainya warna sosis tersebut kemungkinan besar karena sosis berwarna agak coklat muda dan tidak cerah. Penambahan dalam jumlah besar dapat menyebabkan warna produk menjadi

(21)

coklat sehingga menurunkan mutu sensori (warna dan rasa) produk akhir (Wulandhari 2007).

c) Aroma

Aroma merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kesukaan panelis terhadap suatu produk. Bau yang dapat diterima oleh indera penciuman, umumnya lebih banyak campuran empat bau yaitu harum, asam, tengik dan hangus (Winarno 2007). Nilai rata-rata aroma sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dengan perbedaan penambahan konsentrasi IPK (Isolat Protein Kedelai) dapat dilihat pada Gambar 21.

Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscsript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Kode: SA3 : Penambahan IPK konsentrasi 10% VB5 : Penambahan IPK konsentrasi 13% XC3 : Penambahan IPK konsentrasi 16% FD4 : Penambahan IPK konsentrasi 19%

Gambar 21 Histogram rata-rata aroma sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Nilai rata-rata aroma pada sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) adalah 5,30-5,93. Penilaian panelis terhadap aroma sosis ikan lele dumbo yaitu agak suka. Hasil analisis Kruskal-Wallis dapat dilihat pada Lampiran 32. Perlakuan perbedaan penambahan konsentrasi IPK tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai rata-rata aroma sosis ikan lele dumbo. Aroma dipengaruhi oleh bumbu dan kaldu yang ditambahkan ke dalam adonan, namun dikarenakan jenis dan konsentrasi yang ditambahkan sama maka aroma yang dihasilkan dari tiap sosis pun sama. Bumbu-bumbu, kaldu dan ekstrak lemak ayam memiliki sifat volatil akibat proses pemasakan.

(22)

Pada perlakuan IPK 19% penilaian rata-rata aroma menurun. Hal ini diduga karena semakin banyak konsentrasi IPK yang ditambahkan akan mempengaruhi aroma dari sosis yang dihasilkan, dengan kata lain aroma IPK mendominasi aroma sosis ikan tersebut. Penambahan dalam jumlah besar dapat memberikan bau dan cita rasa langu sehingga menurunkan mutu sensori produk akhir (Wulandhari 2007). Penambahan isolat protein kedelai dengan konsentrasi tinggi pada produk olahan seperti baso dan burger mempengaruhi penilaian sensori dan menurunkan aroma produk tersebut (Katarzyna dan Krystyna 2008).

d) Rasa

Rasa merupakan faktor yang mempengaruhi penilaian terhadap suatu produk dapat diterima atau tidak oleh konsumen. Rasa dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah senyawa kimia, suhu, konsentrasi dan interaksi dengan komponen rasa lain (Winarno 2008).Nilai rata-rata rasa sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dengan perbedaan penambahan konsentrasi IPK (Isolat Protein Kedelai) dapat dilihat pada Gambar 22.

Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscsript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Kode: SA3 : Penambahan IPK konsentrasi 10% VB5 : Penambahan IPK konsentrasi 13% XC3 : Penambahan IPK konsentrasi 16% FD4 : Penambahan IPK konsentrasi 19%

Gambar 22 Histogram rata-rata rasa sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Nilai rata-rata rasa pada sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) adalah 5,33-6,53. Penilaian panelis terhadap rasa sosis ikan lele dumbo berada antara biasa hingga agak suka. Hasil analisis Kruskal-Wallis yang dapat dilihat pada Lampiran 33. Perlakuan perbedaan penambahan konsentrasi IPK (Isolat Protein

(23)

Kedelai) memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai rata-rata rasa sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus). Rasa sosis dipengaruhi dari beberapa faktor, yaitu jenis bumbu, konsentrasi bumbu, bahan pengisi serta bahan pengikat yang ditambahkan. Jenis bumbu serta konsentrasi yang digunakan untuk tiap perlakuan sama. Penggunaan bahan pengisi seperti tepung tapioka dapat berpengaruh nyata terhadap tekstur dan rasa pada sosis ikan (Nurhayati 1996).

Hasil uji lanjut Multiple comparison disajikan pada Lampiran 34. Perlakuan IPK konsentrasi 10% menghasilkan nilai rata-rata rasa yang berbeda nyata dengan perlakuan IPK konsentrasi 13%, 16% dan 19%. Hal ini terlihat dari histogram rata-rata rasa, penurunannya terlihat signifikan dari konsentrasi terendah hingga konsentrasi tertinggi. Rasa pada sosis ikan lele dumbo tersebut dipengaruhi dari banyaknya IPK yang ditambahkan. IPK (Isolat Protein Kedelai) dengan konsentrasi 1% yang ditambahkan ke dalam adonan, tidak mempengaruhi rasa sosis (Widodo 2008). Akan tetapi, konsentrasi IPK yang ditambahkan pada sosis ikan pada penelitian ini cukup tinggi yaitu 10%, 13%, 16% dan 19%. Semakin tinggi kadar IPK yang ditambahkan, akan mempengaruhi rasa sosis yang dihasilkan, karena dapat menghasilkan rasa agak pahit. Rasa pahit ini disebabkan oleh adanya senyawa-senyawa glikosida dalam biji kedelai. Diantara glikosida-glikosida tersebut soyasaponin dan sapogenol merupakan penyebab rasa pahit yang utama dalam kedelai dan produk non fermentasi. Penambahan dalam jumlah besar dapat menyebabkan warna produk menjadi coklat dan memberikan bau dan cita rasa langu sehingga menurunkan mutu sensori (warna dan rasa) produk akhir (Wulandhari 2007).

e) Tekstur

Tekstur dapat diartikan sebagai halus tidaknya suatu irisan pada saat produk disentuh dengan jari panelis (Rompis 1998). Tekstur berhubungan dengan tingkat kekerasan atau keempukan suatu produk. Penilaian terhadap tekstur berasal dari sentuhan oleh permukaan kulit, biasanya menggunakan ujung jari tangan sehingga dapat dirasakan tekstur suatu bahan. Nilai rata-rata tekstur sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dengan perbedaan penambahan konsentrasi IPK dapat dilihat pada Gambar 23.

(24)

Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscsript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Kode: SA3 : Penambahan IPK konsentrasi 10% VB5 : Penambahan IPK konsentrasi 13% XC3 : Penambahan IPK konsentrasi 16% FD4 : Penambahan IPK konsentrasi 19%

Gambar 23 Histogram rata-rata tekstur sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)

Nilai rata-rata tekstur pada sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) adalah 6,47-7,23. Penilaian panelis terhadap tekstur sosis ikan lele dumbo berada antara agak suka hingga suka. Hasil analisis Kruskal-Wallis dapat dilihat 

pada Lampiran 35. Perlakuan perbedaan penambahan konsentrasi IPK memberikan berbeda memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai rata-rata tekstur sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus). Tekstur sosis dapat dipengaruhi berdasarkan jenis bahan pengikat yang ditambahkan. Isolat protein kedelai merupakan jenis bahan pengikat yang mengandung protein yang tinggi. Kandungan protein ini akan meningkatkan jumlah ikatan silang antar protein yang menyebabkan tekstur akan menjadi lebih kompak.

Hasil uji lanjut Multiple comparison disajikan pada Lampiran 36. Perlakuan IPK konsentrasi 10% menghasilkan nilai rata-rata tekstur yang berbeda nyata dengan perlakuan IPK konsentrasi 19%, sedangkan dengan perlakuan IPK konsentrasi 13% dan 16% menghasilkan nilai rata-rata tekstur yang tidak berbeda nyata. Hal ini membuktikan bahwa antara IPK konsentrasi terendah dengan konsentrasi tinggi dapat menghasilkan tekstur sosis yang berbeda. Sosis yang ditambahkan IPK akan menyebabkan tekstur menjadi lebih kompak, karena penambahan IPK akan meningkatkan jumlah ikatan silang antar protein

(25)

(Widodo 2008). Tekstur memiliki korelasi yang positif pula dengan kekuatan gel. Semakin tinggi penilaian tekstur yang dihasilkan, tinggi pula nilai kekuatan gel sosis tersebut. Selain itu, diduga proses pemasakan dapat mempengaruhi tingkat keempukan sosis, karena bertujuan untuk mengkoagulasikan protein sehingga menghasilkan sosis dengan tekstur yang kompak, karena protein kedelai termasuk protein globular dan juga larut pada larutan garam, sehingga akan terekstrak dan menyebar rata pada adonan, saat perebusan terbentuklah matrik protein yang rigid (Yulianti 2003).

4.2.3 Karakteristik kimia dan mikrobiologi sosis

Analisis kimia yang dilakukan untuk menguji sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) yaitu analisis proksimat (kadar air, kadar abu, protein, lemak dan karbohidrat). Analisis mikrobiologi yang dilakukan yaitu analisis TPC (Total Plate Count). Sosis ikan lele dumbo yang dihasilkan dengan perbedaan perlakuan penambahan frekuensi IPK (Isolat Protein Kedelai) yaitu 10%, 13%, 16% dan 19%, diduga memiliki karakteristik kimia yang tidak jauh berbeda. Oleh karena itu, analisis proksimat dan uji TPC yang dilakukan hanya untuk sosis dengan perlakuan yang terpilih dari hasil uji indeks kinerja. Metode bayes (uji indeks kinerja) merupakan teknik yang digunakan untuk pengambilan keputusan dari beberapa alternatif berdasarkan tingkat kepentingannya pada suatu bahan pangan. Tahap metode bayes meliputi perangkingan, penentuan nilai eigen, perkalian dengan matriks sekawan, dan pembobotan. Tahap perangkingan dilakukan dengan oleh panelis terlatih maupun pendapat ahli gizi. Parameter yang dinilai yaitu warna, rasa, penampakan, tekstur dan aroma. Sosis yang terpilih berdasarkan metode bayes yaitu sosis dengan penambahan IPK konsentrasi 13%.

4.2.3.1 Analisis proksimat

Analisis proksimat merupakan salah satu jenis analisis kimia yang umumnya dilakukan untuk menguji bahan pangan. Analisis proksimat ini dilakukan untuk mengetahui komposisi kimia dari suatu bahan pangan secara kasar. Analisis yang dilakukan meliputi analisis kadar air, kadar abu, protein, lemak dan karbohidrat by difference. Hasil analisis proksimat dan TPC (Total Plate Count) sosis ikan lele dumbo dapat dilihat pada Tabel 6.

(26)

Tabel 6 Hasil analisis proksimat dan TPC sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)

No. Komposisi Hasil Standar SNI

1 Kadar air (% bb) 79,6 Maks. 67

2 Protein (%bb) 15,97 Min. 13

3 Lemak (%bb) 0,61 Maks. 25

4 Kadar abu (%bb) 1,60 Maks. 3

5 Karbohidrat (%bb) 2,22 Maks. 8

6 TPC (cfu/gr) 5 Maks. 105

a) Kadar air

Air merupakan komponen yang penting dalam makanan karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur dan cita rasa (Winarno 2008). Kadar air merupakan komponen penyusun terbesar. Nilai kadar air sosis ikan lele dumbo dengan perlakuan penambahan konsentrasi IPK (Isolat Protein Kedelai) dapat dilihat pada Tabel 6. Nilai kadar air yang diperoleh yaitu sebesar 79,6%. Kadar air dari sosis ini terbilang tinggi. Kadar air maksimal untuk sosis daging yaitu maksimal 67% (bb) SNI (1995). Hal ini disebabkan oleh komposisi air yang digunakan dalam pembuatan sosis berbeda dari sosis pada umumnya. Air yang ditambahkan ke dalam adonan sosis dalam jumlah yang lumayan besar, yaitu dengan perbandingan 1:1. Artinya, ketika adonan yang digunakan dengan bobot total 100 gr, maka air yang digunakan pun sebanyak 100 ml. Hal ini disebabkan oleh tujuan dari penelitian ini yaitu untuk membandingkan dengan sosis komersial, maka formula yang digunakan untuk membuat tekstur sosis ini menjadi lentur dan kenyal seperti sosis-sosis siap makan yang sudah beredar di pasaran.

Pemakaian air yang terbilang tinggi ini dikarenakan perlakuan penambahan IPK (Isolat Protein Kedelai). Semakin banyak konsentrasi IPK yang ditambahkan, akan menyebabkan adonan menjadi semakin menyatu, karena sifat IPK itu sendiri sebagai bahan pengikat. Oleh karena itu diperlukan penambahan air dalam jumlah yang tinggi agar membuat adonan sosis dengan penambahan IPK menjadi kalis. Kadar air pada sosis dapat dipengaruhi berdasarkan jumlah pati maupun jumlah es yang ditambahkan (Rompis 1998). Kadar air yang tinggi diduga jumlah bakteri patogen telah meningkat, dengan semakin banyak jumlah bakteri maka air yang

(27)

dihasilkan dari metabolisme akan memberikan sumbangan kadar air dalam sosis (Chamidah2008).

b) Kadar abu

Kadar abu yang terukur merupakan bahan-bahan anorganik yang tidak terbakar dalam proses pengabuan, sedangkan bahan-bahan organik akan terbakar (Winarno 2004). Kadar abu merupakan komponen penyusun terkecil kedua sebelum kadar lemak. Nilai kadar abu sosis ikan lele dumbo dengan perlakuan penambahan konsentrasi IPK (Isolat Protein Kedelai) dapat dilihat pada Tabel 6. Nilai kadar abu yang diperoleh yaitu sebesar 1,60%. Kadar abu sosis ini lebih rendah dan masuk dalam batas yang diizinkan oleh SNI sosis daging, yaitu maksimal 3% (bb). Kandungan abu menggambarkan jumlah mineral total yang terdapat pada makanan. Abu yang terdapat dalam daging umumnya terdiri dari fosfor, kalsium, iron, magnesium, sulfur, sodium dan potassium. Kandungan abu pada sosis ini berasal dari kandungan mineral yang sebagian besar terdapat pada ikan lele dumbo dan garam yang ditambahkan seperti Kalsium (Ca), Phosfor (P), Besi (Fe), Natrium (Na), dan Kalium (K) (Rosa et al. 2007).

c) Protein

Protein merupakan salah satu zat makanan yang penting bagi tubuh, karena selain berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh, berperan pula sebagai zat pembangun dan pengatur (Winarno 2004). Protein merupakan komponen penyusun terbesar kedua setelah kadar air. Nilai protein sosis ikan lele dumbo dengan perlakuan penambahan konsentrasi IPK (Isolat Protein Kedelai) dapat dilihat pada Tabel 6. Nilai protein yang diperoleh yaitu sebesar 15,97%. Kadar protein sosis ini terbilang cukup tinggi. Kandungan protein minimal untuk sosis daging yaitu 13% (bb) (SNI 1995). Kadar protein pada sosis ikan lele dumbo ini tinggi karena dipengaruhi oleh bahan pengikat yang ditambahkan yaitu IPK (Isolat Protein Kedelai). IPK (Isolat Protein Kedelai) merupakan salah satu hasil isolasi protein kedelai selain tepung dan konsentrat protein kedelai. Isolat protein merupakan bentuk protein paling murni dengan kadar protein minimal 95% (berdasarkan berat kering). Isolat protein hampir bebas dari karbohidrat, serat, dan lemak sehingga sifat fungsionalnya jauh lebih baik dibandingkan dengan konsentrat protein maupun tepung kedelai (Kumar et al. 2002). Daging olahan

(28)

tanpa bahan pengawet memiliki asam amino lebih banyak (menunjukkan kandungan protein lebih tinggi) dibandingkan daging olahan dengan penambahan bahan pengawet (Husni et al. 2007).

d) Lemak

Lemak yang terkandung dalam bahan pangan yaitu lemak kasar dan merupakan kandungan total lipida dalam jumlah yang sebenarnya (Winarno 2004). Kadar lemak merupakan komponen terkecil dari kelima komposisi. Nilai lemak sosis ikan lele dumbo dengan perlakuan penambahan konsentrasi IPK (Isolat Protein Kedelai) dapat dilihat pada Tabel 6. Nilai lemak yang diperoleh yaitu sebesar 0,61%. Kadar lemak sosis ini terbilang sangat rendah. Kandungan lemak maksimal untuk sosis daging yaitu 25% (bb) (SNI 1995). Hal ini dikarenakan, daging lumat yang digunakan sebagai bahan baku sudah mengalami pencucian 2 kali untuk dijadikan surimi. Proses pencucian dapat menghilangkan komponen-komponen pengganggu seperti darah, lemak, dan substansi lainnya (Kaba 2006). Kadar lemak sosis ini rendah karena lemak yang ditambahkan ke dalam adonan pun hanya sebesar 3% dari bobot total. Lemak yang ditambahkan pada sosis dapat berupa lemak nabati maupun lemak hewani, dengan kadar berkisar antara 5-25% (Erdiansyah 2006).

e) Karbohidrat by difference

Karbohidrat memiliki peranan dalam menentukan karakteristik bahan makanan seperti rasa, warna, tekstur dan lain-lain. Kandungan karbohidrat pada sosis dapat berbeda berdasarkan jenis dan jumlah pengisi yang ditambahkan. Kadar karbohidrat merupakan komponen penyusun terbesar setelah protein. Nilai kadar karbohidrat sosis ikan lele dumbo dengan perlakuan penambahan konsentrasi IPK (Isolat Protein Kedelai) dapat dilihat pada Tabel 6. Nilai kadar karbohidrat yang diperoleh yaitu sebesar 2,22%. Karbohidrat sosis ini cukup rendah. Kadar karbohidrat maksimal untuk sosis daging yaitu maksimal 8% (bb) (SNI 1995). Karbohidrat pada ikan merupakan polisakarida, yaitu glikogen yang terdapat dalam sarkoplasma diantara miofibril-miofibril (Erdiansyah 2006). Glikogen yang terdapat dalam sarkoplasma ini larut saat pencucian pada tahap pembuatan surimi. Hal ini diduga yang menyebabkan kadar karbohidrat rendah.

(29)

Kandungan karbohidrat dalam sosis ikan ini diperoleh dari tepung tapioka dan gula yang ditambahkan. Tepung tapioka memiliki kadar pati sebesar 51,36% yang merupakan polisakarida dari unit D-glukosa (Harris 2001). Gula merupakan senyawa kimia yang termasuk karbohidrat yang sering digunakan sebagai pemanis, tetapi dalam industri pangan biasanya digunakan untuk menyatakan sukrosa yang diperoleh dari gula tebu (Buckle et al. 1987). Faktor lain yang menyebabkan kandungan karbohidrat pada sosis ini rendah yaitu dari jenis bahan pengikat yang ditambahkan, isolat protein kedelai merupakan salah satu produk kedelai yang tidak memiliki kandungan karbohidrat dibandingkan dengan tepung kedelai maupun konsentrat protein kedelai (Kumar et al. 2002).

4.2.3.2 Total Plate Count (TPC)

Total Plate Count (TPC) merupakan analisis mikrobiologi yang dilakukan

untuk menghitung jumlah total mikroorganisme yang terdapat pada suatu produk pangan. Jumlah total mikroorganisme akan menentukan mutu produk pangan. Nilai TPC sosis ikan lele dumbo dengan perlakuan penambahan konsentrasi IPK (Isolat Protein Kedelai) dapat dilihat pada Tabel 6.Nilai TPC yang terdapat pada sampel sosis ikan lele dumbo tersebut sebesar 5 cfu/gr. TPC dari sosis ini terbilang cukup rendah. Nilai TPC maksimal untuk sosis daging yaitu maksimal 105 cfu/gr (SNI 1995). Mutu mikroorganisme itu sendiri dapat menentukan daya simpan suatu produk dan keamanan pangan yang ditentukan oleh jumlah spesies patogen yang terdapat dalam suatu produk (Buckle et.al 1987). Beberapa bumbu yang digunakan bersifat sebagai antioksidan sehingga dapat menghambat ketengikan serta memiliki aktivitas antimikroba sehingga dapat menghambat pertumbuhan mikroba merugikan (Soeparno 1994). Oleh karena sosis ikan lele dumbo ini memiliki jumlah total mikroorganisme yang lebih rendah dari batas aman maka produk tersebut aman untuk dikonsumsi.

4.2.4 Analisis uji perbandingan berpasangan

Uji perbandingan berpasangan bertujuan untuk membandingkan produk terbaik hasil uji hedonik dengan produk komersial. Selain itu, untuk mengetahui kelemahan atau keunggulan dari produk baru dengan produk komersial (Rahayu 2001). Uji perbandingan berpasangan dilakukan dengan cara

(30)

membandingkan antara produk terpilih yaitu sosis ikan lele dumbo dengan sosis ayam komersial. Uji perbandingan pasangan dilakukan oleh 30 orang panelis dengan parameter yang diujikan adalah uji lipat, aroma, tekstur, penampakan, rasa, dan uji gigit.

Produk terpilih berdasarkan penilaian dari hasil uji panelis adalah sosis ikan lele dumbo dengan penambahan konsentrasi isolat protein kedelai sebanyak 10% dan 13%. Pemilihan produk terbaik berdasarkan indeks kinerja atau metode Bayes. Histogram uji perbandingan berpasangan dapat dilihat pada Gambar 24.

 

Gambar 24 Histogram uji perbandingan berpasangan sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dengan sosis komnersial

Nilai rata-rata uji perbandingan berpasangan sosis ikan lele dumbo dengan penambahan isolat protein kedelai 13 %, dengan sosis ayam komersial pada parameter uji lipat, aroma, tekstur, dan uji gigit menghasilkan nilai positif. Hal ini menunjukkan mutu produk sosis ikan lele dumbo yang lebih disukai daripada sosis ayam komersial. Sedangkan pada parameter penampakan dan rasa menghasilkan nilai negatif yang menunjukkan bahwa panelis lebih menyukai produk komersial.

Sosis ikan lele dumbo memiliki nilai uji lipat, uji gigit dan tekstur yang tidak berbeda dengan sosis komersial, ini membuktikan bahwa mutu gel yang terbentuk atau tingkat elastisitas antara sosis ikan lele dumbo dan sosis komersial sama. Penambahan isolat protein kedelai pada sosis ikan dapat memperbaiki tekstur dan kekuatan gel pada sosis ikan, karena IPK memiliki sifat higroskopis yang dapat menyerap air sehingga tekstur yang dihasilkan lebih kompak

(31)

(Widodo 2008). Aroma sosis ikan lele dumbo berasal dari bumbu-bumbu dan perasa ayam alami yang ditambahkan sehingga menimbulkan aroma yang lebih harum. Aroma dari sosis ikan lele dumbo ini lebih disukai dibandingkan sosis ayam komersial. Kaldu ayam yang ditambahkan pun selain untuk memperbaiki aroma dan rasa juga mempunyai kemampuan untuk meningkatkan kinerja otak .

Analisis uji perbandingan yang dilakukan selanjutnya yaitu secara objektif dengan beberapa paramaeter uji antara lain kekuatan gel, daya ikat air (WHC) dan stabilitas emulsi. Berikut dapat dilihat hasil uji perbandingan berpasangan antara sosis ikan lele dumbo yang terpilih dan sosis komersial pada Tabel 7.

Tabel 7 Hasil analisis uji perbandingan berpasangan secara objektif

Parameter Sosis ikan lele dumbo Sosis ayam komersial

Kekuatan gel (gf) 220,55 338

WHC (%) 79,36 94,05

Stabilitas emulsi (%) 61,23 100

Hasil analisis uji perbandingan secara objektif untuk parameter kekuatan gel, daya ikat air (WHC) dan stabilitas emulsi diketahui bahwa nilai untuk sosis ikan lele dumbo lebih rendah dibandingkan dengan sosis komersial. Kekuatan gel sosis ikan lele dumbo sebesar 220,55 (gf) hasil ini lebih rendah dibandingkan dengan sosis komersial. Hal ini disebabkan oleh penggunaan komposisi air pada pembuatan sosis ikan lele dumbo terlalu banyak yaitu dengan perbandingan 1:1 dari bobot total. Semakin tinggi jumlah air yang ditambahkan dapat mempengaruhi nilai kekuatan gel sosis yang dihasilkan. Kekuatan gel dipengaruhi oleh komponen protein yang ditambahkan serta rendahnya komponen lemak dan tingginya konsentrasi air yang ditambahkan (Huda et al. 2010).

Daya ikat air atau water holding capacity (WHC) pada sosis ikan lele dumbo nilainya pun lebih rendah dibandingkan dengan sosis komersial yaitu sebesar 79,36%. Water Holding Capacity (WHC) merupakan suatu nilai yang menunjukan kemampuan protein daging untuk mengikat air atau cairan baik yang berasal dari dirinya maupun yang berasal dari luar yang ditambahkan. Semakin tinggi kandungan protein maka akan semakin banyak air yang terikat dan mengakibatkan nilai WHC pun akan meningkat. Namun, jumlah air yang ditambahkan pada adonan pembuatan sosis dalam konsentrasi yang besar dan

(32)

lebih banyak dibandingkan dengan protein yang ditambahkan, sehingga tidak semua air dapat terikat oleh protein yang ditambahkan. WHC atau daya ikat air sangat dipengaruhi oleh kandungan air dan protein (Kramlich 1971). Faktor lain yaitu perbedaan bahan pengikat yang digunakan antara kedua sosis. Pada sosis ikan lele dumbo menggunakan bahan pengikat isolat protein kedelai, sedangkan pada sosis ayam komersial bahan pengikat yang digunakan yaitu pati. Pati memiliki kemampuan mengikat air yang tinggi (Gemisoesanto 2005).

Nilai stabilitas emulsi pada sosis ikan lele dumbo lebih rendah dibandingkan dengan sosis komersial yaitu sebesar 61,23%. Sosis merupakan makanan dengan sistem emulsi minyak dalam air. Peran isolat protein kedelai yang ditambahkan yaitu sebagai bahan pengemulsi atau bahan pengikat. Namun dalam suatu sistem emulsi yang berperan tidak hanya protein saja melainkan air dan lemak. Lemak berperan dalam pembentukan emulsi. Jika lemak yang ditambahkan tidak tepat maka emulsi yang dihasilkan pun tidak kuat (Kramlich 1971). Lemak yang ditambahkan dalam pembuatan sosis ikan lele dumbo ini dalam konsentrasi yang rendah yaitu hanya sebesar 3% dan sama untuk setiap perlakuan. Batas maksimum penambahan lemak dalam pembuatan sosis yaitu sebesar 25% (Erdiansyah 2006).

Selain itu, penyusun dari kedua sosis pun berbeda, dilihat dari analisis proksimat pada sosis komersial, diketahui bahwa kadar karbohidrat lebih tinggi dibandingkan dengan sosis ikan lele dumbo dan syarat mutu sosis. Hal ini diduga pengikat yang digunakan pada sosis komersial berbeda dengan sosis ikan lele dumbo, yaitu menggunakan pati dengan kandungan karbohidrat yang lebih tinggi. Pada sosis komersial menggunakan pemasakan dengan suhu sterilisasi, jika menggunakan protein sebagai bahan pengikat akan menyebabkan protein terdenaturasi. Nilai stabilitas emulsi yang dihasilkan dari sosis komersial pun sangat stabil, karena saat dilakukan proses pemisahan tidak ada bagian yang terpisah antara air maupun lemak. Hal ini yang menyebabkan nilai stabilitas emulsi pada sosis ikan lele dumbo lebih rendah dibandingkan pada sosis komersial. 

Gambar

Gambar 7  Histogram rata-rata uji gigit gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)
Gambar 9  Histogram rata-rata penampakan gel ikan lele dumbo           (Clarias gariepinus)
Gambar 13  Histogram rata-rata tekstur gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)
Gambar 14   Histogram rata-rata uji lipat sosis ikan lele dumbo               (Clarias gariepinus)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Bagi wanita yang memiliki riwayat keluarga yang sedang atau pernah men- derita kanker payudara sebaiknya dapat menghindari faktor risiko kanker payu- dara seperti tidak menunda

Sesuai dengan namanya moodle dibuat sebagai tempat belajar yang yang bisa digunakan secara objektif untuk menilai peserta didik.Fatmawati (2010), menyatakan moodle

Untuk mengisi kekosongan hukum di dalam Peraturan Pertanahan diantaranya adalah: Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Peraturan

Hipotesis umum dalam penelitian ini adalah model pembelajaran problem solving disertai media animasi pada materi larutan non-elektrolit dan elektrolit efektif dalam

Kerangka karangan: “Metode sistematik untuk menyusun bagian-bagian dari topik yang akan ditulis sehingga hubungan antara satu bagian dengan bagian yang lain terlihat jelas.”..

Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa mempunyai tugas pokok melaksanakan sebagian urusan Pemerintahan Kabupaten Sintang di Bidang Pemberdayaan dan Usaha

Kepada pihak puskesmas, diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi masukan dalam upaya peningkatan pelayanan dan penatalaksanaan masalah kesehatan pada pasien

Hal ini terkandung dalam pengertian Perpajakan menurut Pasal 1 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 mengenai perubahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan