• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Konsep Albert Bandura (dalam Ashord & LeCroy, 2010) dikembangkan dari social learning theory menjadi Social Cognitive Theory

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Konsep Albert Bandura (dalam Ashord & LeCroy, 2010) dikembangkan dari social learning theory menjadi Social Cognitive Theory"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Self-Efficacy

2.1.1 Definisi Self-Efficacy

Konsep Albert Bandura (dalam Ashord & LeCroy, 2010) tentang self-efficacy dikembangkan dari social learning theory menjadi Social Cognitive Theory

Menurut Bandura (1997 dalam Zimmerman, 2009) self-efficacy adalah keyakinan yang dimiliki seseorang tentang kemampuan yang dimilikinya untuk menghadapi tugas atau situasi tertentu. Self-efficacy yang tinggi akan membuat seseorang akan berusaha semakin giat, di berbagai penelitian menunjukan kualitas individu akan meningkat seiring pertumbuhan self-efficacy.

Self-efficacy menurut Van der Bijl & Shortridge-Bagget (2002) adalah keyakinan seseorang dalam penyelesaian tujuan dan dapat memotivasi dirinya sendiri.

Merujuk dari pengertian-pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa self-efficacy adalah keyakinan individu dalam menyelesaikan tugas dan dapat memotivasi dirinya sendiri untuk berusaha menampilkan tindakan yang diperlukan dalam mencapai kinerja yang diinginkan dalam mencapai tugas dan menghasilkan sesuatu.

2.1.2 Dimensi Self-Efficacy

Dimensi Self-efficacy Bandura (1997 dalam Muharrani, 2011) mengemukakan bahwa self-efficacy individu dapat dilihat dari tiga dimensi, yaitu:

(2)

a. Tingkat (level) Self-efficacy individu dalam mengerjakan suatu tugas berbeda dalam tingkat kesulitan tugas. Individu yang memiliki self-efficacy yang tinggi cenderung memilih tugas yang tingkat kesukarannya sesuai dengan kemampuannya.

b. Keluasan (generality) dimensi ini berkaitan dengan penguasaan individu terhadap bidang atau tugas pekerjaan. Individu dapat menyatakan dirinya memiliki self-efficacy pada aktivitas yang luas, atau terbatas pada fungsi domain tertentu saja. Individu yang meiliki self-efficacy tinggi akan mampu menguasai beberapa bidang sekaligus untuk menyelesaikan suatu tugas. Sebaliknya, Individu dengan self-efficacy yang rendah hanya menguasai sedikit bidang yang diperlukan dalam menyelesaikan suatu tugas.

c. Kekuatan (strength) dimensi ketiga ini lebih menekankan pada tingkat kekuatan atau kemantapan individu terhadap keyakinannya. Self-efficacy menunjukkan bahwa tindakan yang dilakukan individu akan memberikan hasil yang sesuai dengan yang diharapkan. Lebih lanjut self-efficacy menjadi dasar dirinya melakukan usaha yang keras, bahkan ketika menemui hambatan sekalipun.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa self-efficacy mencakup dimensi tingkat (level), keluasan (generality) dan kekuatan (strength).

2.1.3 Sumber-sumber Self-efficacy

Bandura (1997 dalam Khasanah 2012) menjelaskan bahwa self-efficacy individu didasarkan pada empat hal, yaitu:

a. Pengalaman yang telah dilalui

(3)

keberhasilan merupakan sumber yang paling besar pengaruhnya terhadap self-efficacy individu. Ketika anak sudah mampu menyelesaikan suatu tugas, keyakinan anak akan meningkat untuk menyelesaikan tugas atau aktivitas setelahnya, hal ini terlihat saat anak ingin segera memulai tugas selanjutnya dengan ekspresi muka senang dan terlihat tidak sabar untuk segera menyelesaikan tugas tersebut.

b. Pengalaman individu lain

Individu tidak bergantung pada pengalamannya sendiri tentang kegagalan dan kesuksesan sebagai sumber self-efficacynya. Self-efficacy juga dipengaruhi oleh pengalaman individu lain. Pengamatan individu akan keberhasilan individu lain dalam bidang tertentu akan meningkatkan self-efficacy individu tersebut pada bidang yang sama. Pada anak usia dini, ketika melihat teman sebaya atau orang lain sekitar berhasil menyelesaikan tugasnya dan di puji karena telah menyelesaikan tugasnya dengan baik, anak akan terpacu untuk segera menyelesaikan tugasnya. Hal tersebut meningkatkan keyakinan diri anak bahwa mampu untuk menyelesaikan tugas seperti teman yang lainnya.

c. Persuasi verbal

Persuasi verbal dipergunakan untuk meyakinkan bahwa individu memiliki kemampuan yang memungkinkan dalam meraih apa yang diinginkan. Self-efficacy anak akan meningkat ketika sedang mengalami kesulitan, terdapat orang sekitar lainnya yang meyakinkan bahwa ia mampu menghadapi tugas yang sedang dihadapinya. Persuasi verbal ini meningkat self-efficacy yang mengarahkan anak untuk berusaha lebih giat.

(4)

Penilaian individu akan kemampuannya dalam mengerjakan suatu tugas sebagian dipengaruhi oleh keadaan fisiologis. Gejolak emosi dan keadaan fisiologis yang dialami individu memberikan suatu isyarat terjadinya suatu hal yang tidak diinginkan sehingga situasi yang menekan cenderung dihindari. Informasi dari keadaan fisik seperti jantung berdebar, keringat dingin, dan gemetar menjadi isyarat bagi individu bahwa situasi yang dihadapinya berada di atas kemampuannya.

Berdasarkan penjelasan di atas, self-efficacy bersumber pada pengalaman yang telah dilalui, pengalaman individu lain, persuasi verbal, dan keadaan fisiologis individu

2.1.4 Proses-proses Yang Mempengaruhi Self-efficacy

Menurut Bandura (1997, dalam Khasanah 2012), proses psikologis dalam self-efficacy yang turut berperan dalam diri manusia ada 4 yaitu proses kognitif, motivasional, afeksi dan proses pemilihan atau seleksi.

a. Proses kognitif

Proses kognitif merupakan proses berfikir, didalamya termasuk pemerolehan, pengorganisasian, dan penggunaan informasi. Berdasarkan pengalaman keberhasilan anak menyelesaikan tugas sebelumnya mempengaruhi penilaian anak akan kemampuan dirinya, sehingga anak merasa bahwa dirinya yakin dan akan semakin berusaha dan mencapai tujuannya, dan apabila menemui hambatan anak akan bertanya kepada orang sekitar baik itu teman sebaya atau pengajar. Semakin anak yakin akan kemampuannya anak akan mencoba dan berusaha untuk menyelesaikan tugas.

(5)

Motivasi manusia biasanya dibangkitkan melalui kognitif. Individu memberi motivasi atau dorongan bagi diri mereka sendiri dan mengarahkan tindakan melalui tahap pemikiran-pemikiran sebelumnya. Kepercayaan akan kemampuan diri dapat mempengaruhi motivasi dalam beberapa hal, yakni menentukan tujuan yang telah ditentukan individu, seberapa besar usaha yang dilakukan, seberapa tahan mereka dalam menghadapi kesulitan-kesulitan dan ketahanan mereka dalam menghadapi kegagalan. Menurut Bandura, ada tiga teori motivator, teori pertama yaitu causal attributions (atribusi penyebab), teori ini mempengaruhi motivasi, usaha dan reaksi-reaksi individu. Individu yang memiliki self-efficacy tinggi bila menghadapi kegagalan cenderung menganggap kegagalan tersebut diakibatkan usaha-usaha yang tidak cukup memadai. Sebaliknya individu yang self-efficacy-nya rendah, cenderung menganggap kegagalanya diakibatkan kemampuan mereka yang terbatas. Teori kedua outcomes experience (harapan akan hasil), motivasi dibentuk melalui harapan-harapan. Biasanya individu akan berperilaku sesuai dengan keyakinan mereka tentang apa yang dapat mereka lakukan. Teori ketiga goal theory (teori tujuan), dimana dengan membentuk tujuan terlebih dahulu dapat meningkatkan motivasi.

c. Proses afeksi

Proses afeksi merupakan proses pengaturan kondisi emosi dan reaksi emosional. Menurut Bandura keyakinan individu akan coping mereka turut mempengaruhi level stres dan depresi seseorang saat mereka menghadapi situasi yang sulit. Persepsi self-efficacy tentang kemampuannya mengontrol sumber stres memiliki peranan penting dalam timbulnya kecemasaan. Individu yang percaya akan kemampuannya untuk mengontrol situasi cenderung tidak memikirkan hal-hal yang negatif. Individu yang merasa tidak mampu mengontrol situasi cenderung mengalami level kecemasan yang tinggi, selalu memikirkan kekurangan mereka,

(6)

memandang lingkungan sekitar penuh dengan ancaman, membesarbesarkan masalah kecil, dan terlalu cemas pada hal-hal kecil yang sebenarnya jarang terjadi.

d. Proses seleksi

Kemampuan individu untuk memilih aktivitas dan situasi tertentu turut mempengaruhi efek dari suatu kejadian. Individu cenderung menghindari aktivitas dan situasi yang diluar batas kemampuan mereka. Bila individu merasa yakin bahwa mereka mampu menangani suatu situasi, maka mereka cenderung tidak menghindari situasi tersebut. Dengan adanya pilihan yang dibuat, dapat meningkatkan kemampuan, minat, dan hubungan sosial.

Berdasarkan pemaparan diatas, bahwa proses self-efficacy meliputi proses kognitif, proses motivasi, proses afeksi dan proses seleksi.

2.2 Perkembangan Kognitif

Teori Piaget merupakan akar revolusi kognitif saat ini yang menekankan pada proses mental. Piaget mengambil perspektif organismik, yang memandang perkembangan kognitif sebagai produk usaha anak untuk memahami dan bertindak dalam dunia mereka. Menurut Suyadi (2009) salah satu teori Piaget menyatakan bahwa pengetahuan dibangun melauli kegiatan atau aktivitas pembelajaran.

Seperti Piaget, Lev Vygotsky (dalam Santrock, 2007) juga percaya bahwa anak secara aktif menciptakan pengetahuan mereka sendiri dan dibantu dengan interaksi sosial dan budaya dalam menuntun perkembangan kognitif . Lebih lanjut Proses kognisi menurut Berk (2005) adalah proses mental yang mengacu kepada proses mengetahui (knowing) sesuatu.

(7)

Piaget (1954, dalam Santrock, 2007) mengatakan bahwa ketika seseorang anak mulai membangun pemahamannya tentang dunia, otak yang berkembang pun membentuk skema. Ini merupakan tindakan-tindakan atau representasi-representasi mental yang mengorganisasikan pengetahuan. Skema-skema perilaku (aktivitas-aktivitas fisik) mencirikan masa bayi dan skema-skema mental (aktivitas-aktivitas kognitif) berkembang pada masa anak-anak. Piaget yakin bahwa proses-proses penting tersebut berlanjut meliputi asimilasi, akomodasi, organisasi, keseimbangan dan penyimbang.

Organisasi adalah kecenderungan untuk membuat struktur kognitif yang semakin kompleks system pengetahuan atau cara berpikir yang disertai dengan pencitraan realitas yang semakin akurat. Adaptasi merupakan istilah Piaget untuk cara memperlakukan informasi baru dengan mempertimbangkan apa yang telah mereka ketahui. Adaptasi meliputi dua langkah: (1) asimilasi, mengambil informasi baru dan menyertakannya dalam struktur kognitif yang telah ada, dan (2) akomodasi, mengubah struktur kognitif seseorang dalam rangka memasukan informasi baru.

Penyeimbang dan tahapan-tahapan perkembangan penyeimbangan (equilibration) usaha untuk mendapatkan kestabilan atau ekuilibrium menghendaki perpindahan dari asimilasi ke akomodasi. Ketika seorang anak tidak dapat menangani informasi baru dalam struktur kognitif yang telah ada, dan karena itu akan terjadi disekulibrium, ketidakseimbangan, mereka akan mengorganisasikan pola mental baru yang mengintegrasikan pengelaman baru tersebut, dan mengembalikan tingkat ekualibrium yang lebih dapat diterima. Bagi Piaget (dalam Santrock, 2007) , motivasi untuk berubah adalah

(8)

pencarian internal akan keseimbangan. Saat skema-skema lama disesuaikan dan skema-skema baru dikembangkan, anak mengorganisasi dan mereorganisasi skema-skema lama dan baru. Akhirnya, organisasi tersebut secara fundamental berbeda dengan organisasi yang lama; inilah cara berpikir yang baru, tahapan baru.

Hasil dari proses-proses ini, menurut Piaget, adalah individu-individu mengalami empat tahapan perkembangan. Cara memahami dunia yang berbeda membuat tahapan yang satu lebih berkembang dibandingkan yang lain. Menurut Mooney (dalam Santrock, 2001) Kognisi secara kualitatif berbeda pada satu tahapan dibandingkan tahapan lain. Dengan kata lain, cara anak-anak berpikir dalam satu tahapan berbeda dengan cara mereka berpikir pada tahapan yang lain.

Piaget (dalam Papalia dkk, 2008) juga percaya bahwa individu melalui empat tahap dalam memahami dunia. Tiap tahap berhubungan dengan usia dan terdiri dari cara berpikir yang berbeda- beda. Cara pemahaman dunia yang berbeda inilah yang membuat suatu tahap lebih maju dari tahapa yang lain. Lev Vygotsky (dalam Santrock, 2007) juga percaya bahwa anak secara aktif menciptakan pengetahuan mereka sendiri dan dibantu dengan interaksi sosial dan budaya dalam menuntun perkembangan kognitif.

(9)

Setiap tahapan Piaget (Papalia, Olds, & Feldman, 2008) berhubungan dengan usia anak yang bersangkutan dan terdiri atas cara – cara pemikiran yang unik. Piaget yakin ada empat tahapan perkembangan kognitif :

Sensorimotor (lahir hingga 2 tahun). Secara gradual bayi mulai dapat mengorganisir aktivitas yang berhubungan dengan lingkungan melalui sensoris dan motorik

Preoperasional (2 hingga 7 tahun). Anak mengembangkan system representasional dan menggunakan simbol untuk mempresentasikan orang, tempat dan peristiwa. Bahasa dan imaji memainkan peran manifestasi penting tahap ini. Pemikiran masih belum logis.

Operasi konkret (7 hingga 11 tahun). Anak dapat memecahkan masalah secara logis jika mereka difokuskan kepada situasi saat itu, tetapi tidak dapat berpikir abstrak

Operasi formal (11 hingga dewasa). Individu dapat berpikir secara abstrak. Berhadapan dengan situasi hipotetik, dan berpikir tentang kemungkinan-kemungkinan.

Piaget menyelaraskan skema anak (kerangka kerja kognitif) dengan pengalaman, dan perubahan kognitif terjadi kala konteks tersebut disusun ulang sehingga memampukan pergerakan menuju tingkat yang lebih tinggi.

Pada penelitian ini penulis mengambil subyek anak usia 3-6 tahun, dalam teori Piaget (dalam Santrock, 2007) disebut tahapan praoperasional dimana dunia kognitif anak prasekolah bersifat kreatif, bebas, dan fantasis. Imajinasi anak

(10)

prasekolah bekerja sepanjang waktu dan jangkauan mental mereka tentang dunia mereka terus berkembang. Dalam tahapan praoperasional, anak mulai mengpresentasikan dunia mereka dengan kata-kata, bayangan dan gambar-gambar. Pemikiran-pemikiran simbolik berjalan melampaui koneksi-koneksi sederhana dari informasi sensorik dan tindakan fisik.

2.3 Metode Montessori

Metode Montessori adalah pendidikan bagi anak usia dini yang dalam penyusunannya berdasarkan teori perkembangan anak. Karakteristik dari metode ini adalah menekankan dalam aktivitas yang dimunculkan oleh diri anak. Tujuan pendidikan Montessori adalah mengoptimalkan seluruh kemampuan anak melalui stimulasi yang dipersiapkan. Guru perlu membuat perencanaan secara rinci dan mempersiapkan lingkungan pembelajaran yang tenang dan teratur agar anak merasa nyaman untuk belajar. Metode Montessori pertama kali di gagas oleh Maria Montessori pada akhir abad 19 dan awal 20.

Montessori mengamati cara anak-anak bereaksi terhadap lingkungan yang tenang dan teratur di mana semua benda memiliki tempat sendiri. Montessori melihat anak-anak belajar mengendalikan gerakan mereka dan menangkap ketidaksukaan mereka saat ketenangan itu terganggu bila ada yang tersandung atau menjatuhkan sesuatu. Montessori memberikan mereka kesempatan untuk mengembangkan kemandirian, dan menyadari adanya peningkatan harga diri serta percaya diri pada anak-anak saat diajari dan diberi semangat untuk melakukan sesuatu bagi diri mereka sendiri.

(11)

Metode Montessori (dalam Roopnarine & Jhonson, 2011) terdapat pengelompokan usia, biasanya usia 3, 4, 5, dan 6 di gabungkan dalam satu ruangan dengan tujuan agar siswa usia yang lebih kecil dapat belajar dari siswa yang usianya lebih besar dan dapat belajar bersosialisasi dengan teman yang memiliki umur yang berbeda atau tidak sebaya.

Ruang kelas di sekolah Montessori juga diatur secara fungsional, yang memungkinkan anak bekerja, bergerak dan berkembang secara bebas. Kondisi ruangan dan peralatan disesuaikan dengan ukuran siswa.

Material pembelajaran diatur dalam rak-rak yang mudah dijangkau siswa. Ruang kelas ditata indah dan menarik bagi anak karena pada usia awal rasa estetika mulai berkembang. Dinding ruang belajar diberi gambar yang menarik.

Terdapat beberapa peraturan dasar di dalam kelas Montessori tentang perilaku dan kerapian, tetapi selebihnya siswa bebas untuk memilih aktivitas yang mereka inginkan, dan bereaksi selama yang mereka mau. Siswa bebas berjalan-jalan dan bereaksi sendiri maupun dalam kelompok kecil. Kebanyakan siswa memilih aktivitas yang menarik minatnya, meskipun guru membantu memilihkan aktivitas-aktivitas yang memiliki berbagai tantangan dan eksplorasi baru. Jika telah selesai dengan suatu kegiatan, siswa diharapkan mengembalikan benda yang digunakan ke tempat semula. Menurut Seldin (2007) hal ini diharapkan dapat meningkatkan kemandirian dan tanggung jawab siswa.

(12)

2.3.1 Masa Peka Anak

Montessori menyadari bahwa anak-anak menempuh tahapan-tahapan ketertarikan dan keingintahuan yang disebutnya masa-masa peka, di mana anak-anak tergugah dan terpikat oleh aspek-aspek khusus dari lingkungan mereka. Masa peka sejak lahir hingga enam tahun menurut Montessori (1964 dalam Seldin, 2007) yaitu :

1. Gerak (sejak lahir hingga satu tahun )

Gerakan acak bayi jadi terkoordinasi dan terkontrol saat ia belajar meraih, menyentuh, memutar, menyeimbangkan diri, merangkak dan berjalan.

2. Bahasa (sejak lahir hingga enam tahun)

Diawali dengan celotehan dan suara-suara, kemampuan bayi berkembang dari gumaman menjadi kata, frase lalu kalimat. 3. Benda kecil ( usia satu tahun hingga empat tahun)

Anak-anak menyukai benda dan detail-detail kecil saat koordinasi mata tangannya meningkat lebih baik dan akurat 4. Keteraturan ( usia dua hingga empat tahun)

Segala sesuatu harus berada ditempatnya. Tahap ini ditandai dengan kecintaan terhadap rutinitas dan keinginan akan konsistensi dan pengulangan.

5. Musik ( usia dua hingga enam tahun)

Jika musik jadi bagian kehidupan sehari-hari, anak secara spontan akan tertarik pada perkembangan nada, ritme, dan melodi.

(13)

6. Masalah toilet (usia 18 bulan hingga tiga tahun )

Saat system saraf berkembangan lebih baik dan terintegrasi, anak akan belajar untuk mengontrol aktivitas buang air kecil dan buang air besarnya.

7. Keramahan dan sopan santun ( usia dua hingga enam tahun) Anak-anak suka meniru perilaku sopan santun dan baik budi yang nantinya akan turut membentuk karakter kepribadiannya. 8. Indra (usia dua hingga enam tahun )

Pendidikan tentang indra dimulai sejak lahir, namun usia dua tahun anak akan takjub dengan pengalaman indranya (rasa, suara, sentuhan, dan bau).

9. Menulis (usia tiga hingga empat tahun)

Montessori menemukan bahwa kemampuan menulis muncul lebih dulu daripada membaca dan diawali dengan usaha meniru huruf dan angka menggunakan pensil dan kertas.

10. Membaca (usia tiga hingga lima tahun)

Anak-anak menunjukan ketertarikan spontan pada symbol dan suara yang mereka hasilkan tak lama lagi mereka akan mengucapkan kata-kata

11. Hubungan ruang (usia empat hingga enam tahun)

Ketika anak mulai mengembangkan pemahamannya tentang ruang, anak akan semakin pandai menyusun puzzle yang rumit sekalipun.

(14)

12. Matematika (usia empat hingga enam tahun)

Montessori menemukan cara untuk memberikan anak pengalaman matematika yang nyata, dalam masa peka mereka terhadap angka dan jumlah.

Montessori berpendapat (1964 dalam Seldin, 2007) bahwa siswa yang merasa dihormati dan cakap secara emosi akan lebih berkembang daripada siswa yang hanya disayang dan dimanja. Beliau meyakini bahwa keberhasilan disekolah terkait langsung dengan tingkat kepercayaan anak bahwa mereka adalah manusia yang mampu dan mandiri.

Lebih lanjut menurut Montessori (dalam Seldin, 2007) pada usia sekitar tiga tahun kemampuan anak untuk melakukan penyerapan yang kuat beralih menjadi jenis penyerapan yang lebih sadar dan bertujuan. Anak menjadi seorang penjelajah yang faktual dan peka, mencatat hubungan antara banyak hal dan membuat perbandingan. Anak mulai menggolongkan dan menyaring pengalaman penginderan, membawa kesan yang diserap sebelumnya ke alam sadar. Anak membangun pikirannya selangkah demi selangkah hingga di penuhi oleh ingatan, kekuatan untuk memahami, kemampuan untuk berpikir. Pemikiran alam bawah sadar oleh Montessori terkait erat dengan tahapan sensorimotor Piaget (lahir -2 tahun) dan periode pikiran secara sadar terkait dengan tahap praoperasional Piaget (usia 2-7 tahun).

(15)

2.4 Anak Usia Dini

Penelitian dalam bidang ilmu psikologi menurut Berk (2005) menunjukkan bahwa tahun-tahun pertama dalam kehidupan seorang anak merupakan masa yang sangat penting yang akan mempengaruhi fase perkembangan selanjutnya. Beliau menyatakan sebaiknya berbagai upaya harus dilakukan agar seorang anak tidak mengalami hambatan dalam perkembangannya. Lebih lanjut di butuhkan stimulus yang tepat dalam mempengaruhi fase perkembangan anak usia dini. Salah satu stimulus tersebut dengan pendidikan anak usia dini yang saat ini mulai berkembang di Indonesia

(16)

2.5 Kerangka Berpikir

Pentingnya masa “golden age” pada perkembangan anak

Salah satu perkembangan anak yang meningkat pesat pada masa”golden age” yaitu perkembangan kognitif

Faktor kognitif mempunyai peranan penting bagi keberhasilan anak dalam belajar, karena sebahagian besar aktivitas dalam belajar selalu berhubungan dengan masalah

mengingat dan berfikir ↓

Pendidikan anak usia dini sebagai stimulasi dini untuk meningkatkan perkembangan kognitif anak

Salah satu metode pendidikan anak usia dini yang saat ini berkembang di Indonesia yaitu metode Montessori

Metode Montessori menekankan dalam aktivitas yang dimunculkan oleh diri anak tanpa arahan guru

Kesempatan anak melakukan kegiatan yang menjadi pilihan anak sendiri maka akan menimbulkan suatu keyakinan tersendiri dalam diri anak

Keyakinan anak muncul dikarenakan anak merasa di percaya dan mampu untuk menyelesaikan kegiatan atau tugas yang mereka pilih sendiri (self efficacy)

Self-efficacy yang tinggi akan membuat anak akan semakin giat dalam menyelesaikan tugas

Apakah terdapat hubungan antara self-efficacy dengan perkembangan kognitif siswa pre-school Montessori

(17)

Perkembangan anak terjadi mulai dari aspek sosial, emosional, dan intelektual yang berkembang pesat sejak usia dini (3-6 tahun) dan bisa disebut dengan golden age. Menurut Hidayat (2005) masa usia dini adalah masa dimana kognitif anak mulai menunjukkan perkembangan dan anak telah mempersiapkan diri untuk memasuki sekolah. Pengalaman belajar yang diperlukan usia dini diantaranya mengenal warna, mengerti kata sifat, mengenal huruf dan angka, berhitung sederhana, mengerti perintah sederhana, dan mengenal bentuk suatu objek (Utami, 2009). Lebih lanjut kemampuan lain seperti mengelompokkan, mengamati, menganggap, dan membayangkan hal-hal yang lebih abstrak juga berkembang. Kemampuan tersebut seharusnya sudah dapat dicapai oleh anak saat mengikuti pendidikan anak usia dini. Berdasarkan penelitian Apriana (2009) yaitu perkembangan kognitif dengan skor IQ, dimana skor IQ ini merupakan ukuran yang menunjukkan taraf kemampuan kognitif atau taraf intelegensi seseorang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendidikan anak usia dini memiliki hubungan yang signifikan dengan perkembangan kognitif anak usia pra-sekolah di kelurahan Tinjomoyo kecamatan Banyumanik, Semarang. Hal ini sejalan dengan pandangan Theo dan Martin (2004) bahwa pendidikan anak usia dini juga memberikan kesempatan pada anak untuk melakukan berbagai kegiatan sehingga dapat mengembangkan kemampuan kognitifnya. Pentingnya pendidikan anak usia dini untuk mengembangkan kemampuan kognitif anak menyebabkan banyaknya metode pengajaran bagi anak usia dini yang berkembang di Indonesia. Salah satunya yaitu metode Montessori, metode yang di gagas oleh Maria Montessori ini memandang anak apadanya, potensi bawaan dan kemampuan anak akan berkembang sesuai

(18)

dengan kondisinya, peran lingkungan hanya memberikan arahan dan bimbingan yang tepat. Tujuan metode pendidikan Montessori yaitu sebagai pengantar prinsip, agar anak-anak lebih siap dan dapat memasuki kesenjangan pendidikan selanjutna dengan persiapan yang matang saat di pendidikan anak usia dini. Metode Montessori memberikan kesempatan kepada anak untuk menemukan “discover” lingkungannya, dengan permainan dan percobaan sederhana. Langkah-langkah dilakukan secara bertahap dan meningkat, dari yang sederhana sampai yang terlihat kompleks. Pelatihan awal dalam metode Montessori ini melalui latihan sensorial yang mencakup panca indra, sehingga anak mengenal konsep dasar dulu terutama indra peraba. Memberikan kebebasan pada anak untuk memilih kegiatan atau aktivitas yang diinginkan di sekolah ini membuka kesempatan anak untuk mengeksplore minatnya tanpa ada batasan oleh pengajar. Memberikan kepercayaan pada anak ini menimbulkan keyakinan diri pada anak akan berkembang, ketika anak menyelesaikan kegiatan yang dipilihnya sendiri dan mampu menyelesaikan hal ini akan menjadi kebanggan tersendiri untuk anak, dan ketika anak mendapatkan pujian akan hasil kerja nya sendiri maka keyakinan diri anak akan berkembang lebih baik lagi. Pengalaman menyenangkan tersebut akan terekam dalam memori anak, dan anak akan lebih yakin lagi atau termotivasi untuk menyelesaikan tugas yang lebih kompleks. Keyakinan diri ini biasa di sebut self-efficacy. Berdasarkan hal tersebut peneliti ingin melakukan penelitian terhadap siswa pre-school Montessori, apakah terdapat hubungan antara self-efficacy yang dimiliki siswa Motessori dikarenakan adanya kebebasan dalam pemilihan aktivitas akan memiliki hubungan dengan perkembangan kognitif siswa.

(19)

Referensi

Dokumen terkait

1) Triangulasi sumber untuk menguji kredibilitas data dengan cara mengecek data yang diperoleh melalui berbagai sumber. 2) Triangulasi teknik untuk menguji kredibilitas data

Dalam membuktikan identitas Trigonometri terdapat beberapa cara yang dilakukan ,yaitu 1.Menyederhanakan ruas kiri menjadi seperti ruas kanan!. 2.Menyederhanakan ruas kanan

Untuk menghindari kesalah pahaman dan kekeliruan demi terarahnya penelitian ini maka dalam hal ini penulis merasa perlu memberikan batasan terhadap judul ini,

Menurut penulis bahwa kendala yang dihadapi dalam penyelesaian klaim oleh PT Asuransi Jasaraharja Putera perlu seperti laporan progress pekerjaan untuk menjadi bukti

2 Wakil Dekan Bidang I SALINAN TERKENDALI 02 3 Wakil Dekan Bidang II SALINAN TERKENDALI 03 4 Manajer Pendidikan SALINAN TERKENDALI 04 5 Manajer Riset dan Pengabdian

Berdasarkan hasil penelitian ini maka dapat disimpulkan bahwa komposisi hijauan dengan level konsentrat berbeda tidak berpengaruh terhadap konsumsi N, N feses, N urin dan

Pengawasan kualitas merupakan alat bagi manajemen untuk memperbaiki kualitas produk bila dipergunakan, mempertahankan kualitas produk yang sudah tinggi dan

Penelitian menggunakan 60 ekor ayam pedaging, dua puluh ekor ayam di awal penelitian diambil darahnya untuk pengamatan titer antibodi asal induk terhadap infeksi virus