• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGETAHUAN DAN MOTIVASI DALAM PENERAPAN BUDAYA KESELAMATAN PASIEN DI RUMAH SAKIT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGETAHUAN DAN MOTIVASI DALAM PENERAPAN BUDAYA KESELAMATAN PASIEN DI RUMAH SAKIT"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

PENGETAHUAN DAN MOTIVASI DALAM PENERAPAN BUDAYA

KESELAMATAN PASIEN DI RUMAH SAKIT

Oleh :

Rina Listyowati, S.SiT, M.Kes (197105292008122001)

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

2019

(2)

ii

KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan syukur kepada Tuhan YME atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah sebagai salah satu komitmen penulis dalam memenuhi tugas Tri Darma Perguruan Tinggi di Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana dengan judul “Pengetahuan Dan Motivasi Dalam Penerapan Budaya Keselamatan Pasien Di Rumah Sakit ”.

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada pihak-pihak terkait, yang telah membimbing dalam menulis makalah ini. Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Denpasar, Juli 2019

(3)

iii

DAFTAR ISI

COVER ………i

KATA PENGANTAR ………ii

DAFTAR ISI ……….iii

PENGETAHUAN DAN MOTIVASI DALAM PENERAPAN BUDAYA KESELAMATAN PASIEN DI RUMAH SAKIT ... i

I. Pengetahuan ... 1

II. Motivasi ... 4

Supervisi Pelayanan Keperawatan ... 6

III. Keselamatan Pasien ... 8

1. Sasaran keselamatan pasien ... 9

2. Standar keselamatan pasien rumah sakit ... 9

3. Langkah menuju keselamatan pasien rumah sakit ... 10

4. Sembilan solusi live saving keselamatan pasien rumah sakit ... 11

5. Jenis Insiden keselamatan pasien ... 11

IV. Budaya Keselamatan Pasien ... 12

1. Dimensi budaya keselamatan pasien ... 13

2. Manfaat penerapan budaya keselamatan pasien ... 15

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan budaya keselamatan pasien ... 16

4. Mengukur penerapan budaya keselamatan pasien ... 18

(4)

1

PENGETAHUAN DAN MOTIVASI DALAM PENERAPAN BUDAYA KESELAMATAN PASIEN DI RUMAH SAKIT

I. Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil dari penginderaan manusia terhadap obyek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan sebagainya) (Notoatmodjo,2010). Pengetahuan seseorang tentang suatu objek mengandung dua aspek yaitu aspek positif dan aspek negatif. Kedua aspek ini yang akan menentukan sikap seseorang, semakin banyak aspek positif dan objek yang diketahui, maka akan menimbulkan sikap makin positif terhadap objek tertentu begitu juga sebaliknya. Menurut teori WHO yang dikutip oleh Notoatmodjo (2010), salah satu bentuk objek kesehatan dapat dijabarkan oleh pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman sendiri. Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pengetahuan adalah sesuatu yang diketahui oleh seseorang melalui pengenalan sumber informasi, ide yang diperoleh sebelumnya baik secara formal maupun informal.

Menurut Notoatmodjo (2010) terdapat 6 tingkatan pengetahuan, yaitu : a. Tahu (Know)

Tahu diartikan sebagai mengingat, mengingat kembali (recall) seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima.

b. Memahami (Comprehension)

Memahami adalah tahap seseorang mampu untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang

(5)

2

telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.

c. Aplikasi (Application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi kondisi real (sebenarnya).

d. Analisis (analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata-kata kerja: dapat menggambarkan, membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya.

e. Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjukkan pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis itu suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. f. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian ini berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada. Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket (kuesioner) yang menanyakan tentang materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden.

Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang menurut Notoatmodjo (2010) yaitu :

(6)

3 a. Pendidikan

Pendidikan adalah suatu proses belajar yang berarti terjadi proses pertumbuhan, perkembangan atau perubahan kearah yang lebih dewasa, lebih baik dan lebih matang pada diri individu, kelompok atau masyarakat. Beberapa hasil penelitian mengenai pengaruh pendidikan terhadap perkembangan pribadi, bahwa pada umumnya pendidikan itu mempertinggi taraf intelegensi individu.

b. Media massa/ informasi

Perkembangan dan peredaran informasi di media massa sangat cepat dan tanpa batas. Ditambah lagi pada zaman ini masyarakat dapat mengakses informasi dari mana saja dan kapan saja. Perkembangan arus informasi ini tentu akan mempengaruhi tingkat pengetahuan individu.

c. Usia

Usia menunjukkan lama seorang individu hidup dan berinteraksi dengan lingkungan. Semakin tua usia seorang individu hal itu juga berarti semakin banyak informasi, pembelajaran, pengetahuan dan pengalaman yang didapatkannya melalui media massa, bangku pendidikan, lingkungan maupun sosial budaya dan ekonomi. Selain itu individu ang lebih tua lebih dianggap lebih berpengalaman dan dewasa daripada individu yang lebih muda.

d. Pengalaman

Pengalaman adalah sesuatu yang dirasakan (diketahui, dikerjakan), juga merupakan kesadaran akan suatu hal yang tertangkap oleh indera manusia. Pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman berdasarkan kenyataan yang pasti dan pengalaman yang berulang-ulang dapat menyebabkan terbentuknya pengetahuan.

(7)

4 e. Lingkungan

Lingkungan adalah faktor yang berpengaruh bagi pengembangan sifat dan perilaku individu. Dari lingkungan seorang individu akan belajar, melihat, mendengar, mendapat pengalaman dan informasi yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan individu tersebut.

f. Sosial budaya ekonomi

Sosial ekonomi sering dilihat untuk menilai tingkat pengetahuan seseorang. Hal ini karena hubungan sosial dan ekonomi berhungan erat dengan tingkat pendidikan, pengalaman dan informasi yang diperoleh. Sedangkan kebudayaan berhubungan erat dengan nilai dan norma dalam lingkungan individu yang akan mempengaruhi kemampuannya untuk mengadopsi pengetahuan.

II. Motivasi

Motivasi berasal dari bahasa latin yang berarti to move, yang secara umum mengacu pada adanya dorongan yang menggerakkan kita untuk berperilaku tertentu dan dalam mempelajari motivasi kita akan berhubungan dengan hasrat, keinginan, dorongan dan tujuan (Quinn, 1995 dalam Notoatmojo 2010). Dalam buku John Elder (et,al) 1998 yang berjudul bagaimana memotivasi perilaku sehat, motivasi didefinisikan sebagai interaksi antara pelaku dan lingkungan sehingga dapat meningkatkan, menurunkan atau mempertahankan perilaku (Notoatmodjo, 2010). Menurut Supriyono (2010), motivasi adalah kemampuan untuk berbuat sesuatu sedangkan motif adalah kebutuhan, keinginan, dorongan untuk berbuat sesuatu. Motivasi seseorang di pengaruhi oleh stimuli kekuatan, intrinsik yang ada pada individu yang bersangkutan. Stimuli eksternal mungkin dapat pula mempengaruhi motivasi tetapi motivasi itu sendiri mencerminkan reaksi individu terhadap stimuli tersebut. Rumusan lain tentang

(8)

5

motivasi yang diberikan oleh Robbins (2006), yang dimaksud motivasi karyawan adalah kesediaan untuk melaksanakan upaya tinggi, untuk mencapai tujuan-tujuan keorganisasian, yang dikondisi oleh kemampuan upaya demikian, untuk memenuhi kebutuhan individual tertentu. Definisi lain tentang motivasi menurut Gray et-al (dalam Winardi, 2001) menyatakan bahwa motivasi merupakan hasil sejumlah proses, yang bersifat internal atau eksternal bagi seseorang individu, yang menyebabkan timbulnya sikap antusiasme dan persistensi dalam hal melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu.

Menurut Marquis dan Huston (2000), motivasi terbagi menjadi dua yaitu motivasi instrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi instrinsik berasal dari dalam individu, merupakan dorongan bagi individu untuk menjadi produktif. Motivasi instriksik berhubungan langsung dengan cita-cita individu, sedangkan motivasi ekstrinsik adalah motivasi yang ditingkatkan melalui lingkungan pekerjaan atau penghargaan diberikan setelah pekerjaan sempurna.

Menurut Sardiman (2007), fungsi motivasi ada tiga, yaitu: mendorong manusia untuk berbuat, menentukan arah perbuatan dan menyeleksi perbuatan. Sedangkan menurut Hamalik (2000) ada tiga fungsi motivasi, yaitu: mendorong timbulnya kelakuan atau suatu perbuatan, sebagai pengarah kepada pencapaian tujuan yang diinginkan,dan seebagai penggerak yang akan menentukan cepat atau lambatnya suatu pekerjan dilakukan.

Menurut Taufik (2002) secara umum dapat dikatakan bahwa tujuan motivasi adalah untuk menggerakkan atau menggugah seseorang agar timbul keinginan dan kemauannya untuk melakukan sesuatu sehingga dapat memperoleh hasil dan atau mencapai tujuan tertentu. Untuk tenaga kesehatan motivasi diperlukan untuk meningkatkan kulaitas kinerjanya dalam memberikan pelayanan kesehatan yang berorientasi kepada keselamatan pasien. Robbins (2006) menjelaskan bahwa motivasi dapat digunakan sebagai strategi untuk

(9)

6

meningkatkan kinerja karyawan atau bawahan. Sebab efektifitas karyawan dengan asumsi mereka memiliki peluang untuk kinerja yang baik dan memiliki kemampuan yang diperlukan tergantung pada motivasi. Tindakan memotivasi akan lebih dapat berhasil apabila tujuan jelas dan didasari oleh orang yang di motivasi. Oleh karena itu setiap orang yang akan memberikan motivasi harus mengenal dan memahami benar-benar latar belakang kehidupan, kebutuhan serta keribadian orang yang akan dimotivasi. (Taufik, 2002).

III. Supervisi Pelayanan Keperawatan

Terdapat 3 domain perilaku kepemimpinan yang mampu menjadi agen perubahan (change

agent) bagi perilaku anggota dalam suatu organisasi yakni pengarahan (direction),

pengawasan (supervision), serta koordinasi (coordination) (Gillies, 1994). Supervisi keperawatan tidak akan lepas dari supervisor, penerima supervisi (supervisee) dan komponen dari supervisi tersebut (Halpern & McKimm, 2009). Dimana kegiatan supervisi dilaksanakan untuk pemantauan (monitoring), bimbingan, dan umpan balik (feedback) tentang masalah-masalah pribadi, profesional, dan perkembangan pendidikan dalam konteks pelayanan kesehatan yang aman bagi pasien (Kilminster, 2000).

Supervisi pelayanan keperawatan merupakan kegiatan dinamis yang bertujuan untuk meningkatkan motivasi dan kepuasan antara dua komponen yang terlibat yaitu supervisor atau pimpinan, orang yang disupervisi sebagai mitra kerja dan pasien sebagai penerima jasa pelayanan keperawatan (Arwani & Supriyatno, 2006). Dalam kegiatannya interaksi dan komunikasi professional antara supervisor keperawatan dan perawat pelaksana mencakup bimbingan, dukungan, bantuan dan kepercayaan, sehingga perawat pelaksana dapat memberikan asuhan yang aman kepada pasien (Halpern & McKimm 2009 dan Suyanto, 2008).

(10)

7

Menurut Suyanto (2008) supervisi keperawatan dilaksanakan oleh personil atau bagian yang bertanggung jawab antara lain:

a. Kepala ruangan

Kepala ruangan bertanggung jawab untuk melakukan supervisi pelayanan keperawatan yang diberikan pada pasien diruang perawatan yang dipimpinnya.

b. Pengawas keperawatan

Ruang perawatan dan unit pelayanan yang berada di bawah unit pelaksana fungsional mempunyai pengawas keperawatan yang bertanggung jawab mengawasi jalannya pelayanan keperawatan.

c. Kepala bidang keperawatan

Sebagai top manajer dalam keperawatan, kepala bidang keperawatan bertanggung jawab untuk melakukan supervisi melalui para pengawas keperawatan. Kepala bidang keperawatan memiliki tanggung jawab dalam mengusahakan seoptimal mungkin kondisi kerja yang aman dan nyaman, efektif, dan efisien. Pada intinya, tugas dari supervisor keperawatan yang terdiri atas kepala ruangan, pengawas keperawatan dan kepala bidang keperawatan adalah mengorientasikan, melatih, dan memberikan pengarahan kepada perawat pelaksana dalam pelaksanaan tugas. Tujuan memberikan pelayanan bimbingan dalam memberikan asuhan keperawatan dan juga hal terkait keselamatan pasien agar perawat yang disupervisi menyadari, mengerti terhadap peran dan fungsi sebagai pelaksana asuhan keperawatan yang aman.

Kegiatan supervisi merupakan kegiatan dengan fokus peningkatan mutu dan kualitas pelayanan kesehatan sebagai tujuan utama. Agar tidak menyimpang dari tujuan, maka ada

(11)

8

beberapa kompetensi yang harus dimiliki seorang supervisor (Arwani & Supriyatno, 2006) diantaranya:

a. Kemampuan memberikan pengarahan dan petunjuk mengenai tugas dan tanggung jawab perawat pelaksana.

b. Kemampuan memberikan saran dan bantuan c. Kemampuan memberikan motivasi

d. Kemampuan memberikan latihan dan bimbingan/ sebagai contoh

e. Kemampuan dalam melakukan penilaian objektif terhadap penilaian kinerja

Dalam suatu proses transformasi nilai (proses internalisasi nilai keselamatan pasien menjadi bagian dari budaya organisasi) pemimpin mulai mengajak perawat untuk melihat, percaya, bergerak dan menyelesaikan perubahan sehingga organisasi menemukan nilai-nilai kolektif dan memakai nilai-nilai tersebut sebagai perekat, menjadi tuntunan dalam membentuk kebiasaan dan perilaku setiap individu dan kelompok (Cahyono, 2008). Hal tersebut didukung oleh penelitian yang mengatakan ada hubungan yang positif antara kepemimpinan efektif oleh kepala ruang dengan penerapa budaya keselamatan pasien (Setiowati, 2010).

IV. Keselamatan Pasien

Keselamatan pasien didefinisikan sebagai layanan yang tidak mencederai dan merugikan pasien ataupun sebagai suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman. Sistem tersebut meliputi penilaian risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan keselamatan pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko (Depkes RI, 2008).

(12)

9

Jadi dapat disimpulkan bahwa keselamatan pasien adalah bentuk layanan yang diberikan oleh suatu rumah sakit yang mengacu pada pencegahan insiden dan keamanan tindakan, guna meningkatkan mutu pelayanan.

Adapun tujuan program keselamatan pasien adalah untuk terciptanya budaya keselamatan pasien di rumah sakit, meningkatnya akuntabilitas rumah sakit , menurunnya kejadian tidak diharapkan (KTD), kejadian tidak cedera (KTC) dan kejadian nyaris cedera (KNC) dan terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi pengulangan kejadian tidak diharapkan (Depkes RI, 2008).

1. Sasaran keselamatan pasien

Terdapat enam sasaran keselamatan pasien yang meliputi: melakukan identifikasi pasien secara tepat, meningkatkan komunikasi yang efektif, meningkatkan keamanan penggunaan obat yang membutuhkan perhatian atau yang perlu diwaspadai, mengurangi risiko salah lokasi, salah pasien, dan prosedur tindakan operasi, mengurangi risiko infeksi nosokomial, mengurangi risiko pasien cedera karena jatuh (Permenkes No 1961 Tahun 2011, BAB IV Pasal 8 ayat 2).

2. Standar keselamatan pasien rumah sakit

Standar keselamatan pasien yag disusun ini mengacu pada “Hospital Patient Safety

Standards” yang dikeluarkan oleh Joint Commision on Accreditation of Health Organization pada tahun 2002 yang telah disesuaikan dengan kondisi perumahsakitan di

Indonesia. Standar keselamatan pasien wajib diterapkan rumah sakit dan penilaiannya dilakukan dengan instrument akreditasi rumah sakit.

Adapun standar keselamatan pasien tersebut terdiri dari tujuh standar (Depkes RI, 2008) yaitu :

(13)

10 a. Hak pasien

b. Mendidik pasien dan keluarga

c. Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan

d. Penggunaan metode-metode peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan program peningkatan keselamatan pasien

e. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien f. Mendidik staf tentang keselamatan pasien

g. Komunikasi sebagai kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien

3. Langkah menuju keselamatan pasien rumah sakit

Mengacu pada sasaran keselamatan pasien, maka rumah sakit harus merancang proses baru atau memperbaiki proses yang ada, memonitor dan mengevaluasi kinerja melalui pengumpulan data, menganalisis secara intensif KTD, dan melakukan perubahan untuk meningkatkan kinerja serta keselamatan pasien.

Adapun tujuh langkah keselamatan pasien rumah sakit dalam Permenkes No 1961 Tahun 2011, BAB V Pasal 9 ayat 2 antara lain :

a. Membangun budaya keselamatan pasien b. Pimpinan dan dukungan terhadap staf c. Integrasi aktivitas manajemen risiko d. Membangun sistem pelaporan

e. Melibatkan dan berkomunikasi dengan pasien dan publik f. Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien g. Implementasi solusi untuk mencegah kerugian

(14)

11

4. Sembilan solusi live saving keselamatan pasien rumah sakit

Pada tgl 2 Mei 2007 WHO Colaborating Centre for Patient Safety resmi menerbitkan panduan “Nine Life-Saving Patient Safety Solutions” (Sembilan Solusi Keselamatan Pasien Rumah Sakit). Sembilan topik yang diberikan solusinya adalah sebagai berikut:

a. Perhatikan Nama Obat Rupa dan Ucapan Mirip (NORUM)/ Look-Alike, Sound-Alike

Medication Names (LASA)

b. Pastikan identifikasi pasien

c. Komunikasi secara benar saat serah terima/pengoperan pasien d. Pastikan tindakan yang benar pada sisi tubuh yang benar e. Kendalikan cairan elektrolit pekat (concentrated)

f. Pastikan akurasi pemberian obat pada pengalihan pelayanan g. Hindari salah kateter dan salah sambung selang (tube) h. Gunakan alat injeksi sekali pakai

i. Tingkatkan kebersihan tangan (hand hygiene) untuk pencegahan infeksi nosokomial

5. Jenis Insiden keselamatan pasien

Macam kejadian yang terkait dalam keselamatan pasien meliputi beberapa istilah menurut (Permenkes No 1961, BAB I Pasal 1 ayat 3-7) yaitu:

a. Kejadian potensial cedera (KPC)

KPC atau reportable circumstances adalah suatu kondisi yang sangat berpotensi untuk menimbulkan cedera, akan tetapi belum terjadi insiden.

b. Kejadian nyaris cidera (KNC)

KNC atau near miss didefinisikan sebagai kesalahan yang nyaris terjadi/ terpapar pada pasien.

(15)

12 c. Kejadian tidak cedera (KTC)

KTC atau no harm incident adalah suatu insiden yang sudah terpapar ke pasien akan tetapi tidak timbul cedera.

d. Kejadian tidak diharapkan (KTD)

Kejadian tidak diharapkan atau adverse event dapat diartikan sebagai cedera atau komplikasi yang tidak diinginkan, yang dapat mengakibatkan timbulnya cedera pada pasien dan atau perawatan yang lebih lama yang disebabkan oleh manajemen medis dan bukan karena penyakit yang diderita.

e. Kejadian sentinel

Kejadian sentinel didefinisikan sebagai suatu KTD yang mengakibatkan cedera serius bahkan kematian terhadap pasien.

V. Budaya Keselamatan Pasien

Budaya keselamatan pasien merupakan kesadaran konstan dan potensi aktif oleh staf sebuah organisasi dalam mengenali sesuatu yang tampak bermasalah. Staf dan organisasi yang mampu mengakui kesalahan, belajar dari kesalahan, dan mau mengambil tindakan untuk mengadakan perbaikan dikatakan sudah melaksanakan budaya keselamatan (National Patient Safety Agency (NPSA), 2004).

Budaya keselamatan pasien didefinisikan sebagai pola terpadu perilaku individu dan organisasi berdasarkan keyakinan dan nilai-nilai bersama yang terus berusaha untuk meminimalkan tindakan yang dapat membahayakan pasien yang mungkin timbul dari proses perawatan (Fleming 2012). Organisasi dengan budaya keselamatan positif memiliki karakteristik bahwa ada komunikasi yang dibentuk dengan rasa saling percaya tentang pentingnya keselamatan, dan dengan keyakinan dalam tindakan pencegahan yang efektif, serta membangun

(16)

13

organisasi yang terbuka (open), adil (just), informatif dalam melaporkan kejadian keselamatan pasien yang terjadi (reporting), dan belajar dari kejadian tersebut (learning) (NSPA, 2004).

Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa budaya keselamatan pasien merupakan produk dari nilai-nilai, sikap, kompetensi individu dan kelompok yang terbuka, adil, informatif dalam pelaporan insiden keselamatan pasien, serta belajar dari kejadian. Budaya keselamatan pasien menentukan komitmen dan gaya dari suatu organisasi serta dapat diukur dengan kuesioner.

Budaya keselamatan pasien mencakup banyak elemen dalam pelayanan kesehatan dimana elemen budaya keselamatan pasien mengacu pada perilaku dan kepercayaan staf yang meningkat dalam mengidentifikasi dan belajar dari kesalahan (Jones et.al, 2007 dalam Keresna Putra, 2015). Menurut The Institute of Medicine (IOM) budaya keselamatan pasien membutuhkan tiga elemen penting. Elemen tersebut yaitu kepercayaan, komitmen dan lingkungan kerja.

1. Dimensi budaya keselamatan pasien

James Reason dalam NPSA (2004) menyebutkan bahwa budaya keselamatan pasien dapat dibagi menjadi beberapa dimensi seperti:

a. Budaya keterbukaan (open culture)

Budaya keterbukaan dalam suatu organisasi merupakan proses pertukaran informasi antar perawat dan staf. Dimensi ini memiliki karakteristik bahwa perawat akan merasa nyaman membahas insiden yang terkait dengan keselamatan pasien serta mengangkat isu-isu terkait keselamatan pasien bersama dengan rekan kerjanya, juga supervisor atau pimpinan. Komunikasi terbuka dapat diwujudkan dalam kegiatan supervisi dan dalam kegiatan tersebut perawat melakukan komunikasi terbuka tentang risiko terjadinya insiden dalam konteks

(17)

14

keselamatan pasien, membagi dan bertanya informasi seputar isu-isu keselamatan pasien yang potensial terjadi dalam setiap kegiatan keperawatan. Keterbukaan juga ditujukan kepada pasien. Pasien diberikan penjelasan akan tindakan dan juga kejadian yang telah terjadi. Pasien diberikan informasi tentang kondisi yang akan menyebabkan resiko terjadinya kesalahan. Perawat memiliki motivasi untuk memberikan setiap informasi yang berhubungan dengan keselamatan pasien.

b. Budaya pelaporan (reporting culture)

Budaya pelaporan merupakan bagian penting dalam rangka meningkatkan keselamatan pasien. Perawat akan membuat pelaporan jika merasa aman. Aman yang dimaksud apabila membuat laporan maka tidak akan mendapatkan hukuman. Perawat yang terlibat merasa bebas untuk menceritakan atau terbuka terhadap kejadian yang terjadi. Perlakuan yang adil terhadap perawat, tidak menyalahkan secara individu tetapi organisasi lebih fokus terhadap sistem yang berjalan akan meningkatkan budaya pelaporan. Menciptakan program evaluasi atau sistem pelaporan, adanya upaya dalam peningkatan laporan, serta adanya mekanisme reward yang jelas terhadap pelaporan merupakan langkah nyata dalam membangun dimensi budaya ini.

c. Budaya keadilan (just culture)

Perawat saling memperlakukan secara adil antar perawat ketika terjadi insiden, tidak berfokus untuk mencari kesalahan individu (blaming), tetapi lebih mempelajari secara sistem yang mengakibatkan terjadinya kesalahan. Aspek dalam budaya keadilan yang perlu mendapat perhatian adalah keseimbangan antara kondisi laten yang mempengaruhi dan dampak hukuman yang akan diberikan kepada individu yang berbuat kesalahan. Perawat dan organisasi bertanggung jawab terhadap tindakan yang diambil. Perawat akan membuat

(18)

15

laporan kejadian jika yakin bahwa laporan tersebut tidak akan mendapatkan hukuman atas kesalahan yang terjadi. Lingkungan terbuka dan adil akan membantu untuk membuat pelaporan yang dapat menjadi pelajaran dalam keselamatan pasien. Budaya tidak menyalahkan perlu dikembangakan dalam menumbuhkan budaya keselamatan pasien. Cara organisasi membangun budaya keadilan dengan memberikan motivasi dan keterbukaannya terhadap perawat untuk memberikan informasi kejadian yang dapat diterima dan tidak dapat diterima. Hal ini juga termasuk kerjasama antar perawat sehingga mengurangi rasa takut untuk melaporkan kejadian berkaitan dengan keselamatan pasien.

d. Budaya pembelajaran (learning culture)

Budaya pembelajaran memiliki pengertian bahwa sebuah organisasi memiliki sistem umpan balik terhadap kejadian kesalahan atau insiden dan pelaporannya, serta pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan kualitas perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan. Setiap lini di dalam organisasi, baik perawat maupun manajemen menggunakan insiden yang terjadi sebagai proses belajar. Perawat dan manajemen berkomitmen untuk mempelajari insiden yang terjadi, mengambil tindakan atas insiden untuk diterapkan guna mencegah terulangnya kesalahan.

2. Manfaat penerapan budaya keselamatan pasien

Manfaat utama dalam penerapan budaya keselamatan pasien adalah organisasi menyadari apa yang salah dan pembelajaran terhadap kesalahan tersebut (Reason, 2000 dalam Cahyono, 2008). Fleming (2006) juga mengatakan bahwa fokus keseluruhan terhadap penerapan budaya keselamatan pasien dengan melibatkan seluruh komponen yang terlibat dalam organisasi akan lebih membangun budaya keselamatan pasien dibandingkan apabila hanya fokus terhadap programnya saja.

(19)

16

Adapun manfaat dalam penerapan budaya keselamatan pasien secara rinci antara lain (NPSA, 2004):

a. Membuat organisasi kesehatan lebih tahu jika ada kesalahan yang akan terjadi atau jika kesalahan terjadi.

b. Meningkatnya laporan kejadian yang dibuat dan belajar dari kesalahan yang terjadi akan berpotensial menurunnya kejadian yang sama berulang kembali dan keparahan dari insiden keselamatan pasien.

c. Kesadaran akan keselamatan pasien, yaitu bekerja untuk mencegah error dan melaporkan jika ada kesalahan.

d. Berkurangnya staf yang merasa tertekan, bersalah, malu karena kesalahan yang telah diperbuat.

e. Berkurangnya turn over pasien, karena pasien yang pernah mengalami insiden, pada umumnya akan mengalami perpanjangan hari perawatan dan pengobatan yang diberikan lebih dari pengobatan yang seharusnya diterima pasien.

f. Mengurangi biaya yang diakibatkan oleh kesalahan dan penambahan terapi. g. Mengurangi sumber daya yang dibutuhkan untuk mengatasi keluhan pasien.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan budaya keselamatan pasien

Menurut Cooper (2000), tentang Total Safety Culture, menyebutkan bahwa terdapat tiga kelompok faktor yang mempengaruhi budaya keselamatan pasien, yaitu (Keresna Putra, 2014) :

a. Faktor Personal

Tenaga kesehatan sebagai seorang manusia, merupakan komponen utama yang menjadi pelaksana budaya keselamatan pasien. Pelaksana ini dalam menerapkan

(20)

17

budaya keselamatan pasien dipengaruhi oleh aspek-aspek personal seperti pengetahuan, sikap, motivasi, kompetensi dan kepribadian.

b. Faktor perilaku organisasi/ kondisi lingkungan kerja

Dalam menyusupkan budaya keselamatan pasien kedalam setiap diri dari staf rumah sakit, maka organisasi perlu menciptakan lingkungan yang mendukung budaya keselamatan pasien tersebut. Untuk menciptakan lingkungan yang kondusif, organisasi harus mampu mengontrol faktor-faktor baik yang mendukung ataupun yang melemahkan. Adapun faktor perilaku organisasi yang perlu dikontol agar menciptakan kondisi lingkungan budaya keselamatan pasien antara lain : kepemimpinan (direction, supervision, coordination), kewaspadaan situasi, komunikasi, kerja tim, stress, kelelahan, kepemimpinan tim dan pengambilan keputusan.

c. Faktor Lingkungan

Lingkungan fisik rumah sakit yaitu ukuran rumah sakit merupakan faktor yang mempengaruhi penerapan budaya keselamatan pasien. Ketersediaan dan kualitas perlengkapan yang menunjang terciptanya budaya keselamatan pasien seperti peralatan, mesin, standar prosedur operasional (SPO), kebersihan dan kondisi bangunan yang baik, merupakan pendukung dalam proses pelaksanaan pelayanan kesehatan. Dengan ketersediaan peralatan yang memadai dan berkualitas maka rumah sakit dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan standar dan tentunya berdampak positif terhadap keselamatan pasien.

(21)

18

4. Mengukur penerapan budaya keselamatan pasien

Salah satu alat untuk mengukur penerapan budaya keselamatan pasien adalah dengan instrument kuesioner The Hospital Survey of Patient Safety Culture (HSOPSC) yang dikembangkan oleh Agency for Health Care Research and Quality (AHRQ) yang merupakan suatu komite untuk kualitas kesehatan di Amerika yang memimpin lembaga Federal untuk peneltian tentang kualitas kesehatan, biaya, outcome, dan keselamatan pasien. Dalam instrument tersebut terdapat 12 elemen penilaian yang dikembangkan untuk mengukur budaya keselamatan pasien dari perspektif staf. Berikut penjelasan terkait instrument budaya keselamatan pasien (Keresna Putra, 2015) :

a. Responden

Responden yang dapat mengisi instrument budaya keselamatan pasien adalah seluruh jenis staf yang berada di pelayanan rumah sakit. Survey ini sangat cocok dilakukan pada staf yang langsung bersentuhan dengan pasien (perawat, dokter, bidan, radiologi dll), staf yang tidak langsung bersentuhan langsung dengan pasien namun pelayanannya dapat mempengaruhi pasien (farmasi, analis laboratorium dll), pemimpin, manajer dan petugas manajeman rumah sakit.

b. Dimensi pertanyaan

Survey budaya keselamatan pasien terdiri dari 12 elemen yang dibagi menjadi 2 kelompok yang dituangkan dalam 9 bagian dalam kuesioner. Adapun penjelasannya sebagai berikut :

1) Kelompok outcome (hasil) yang terdiri dari 2 dimensi pertanyaan :

a) Keseluruhan persepsi tentang keselamatan pasien yang merupakan pendapat subyektif kondisi keseluruhan budaya keselamatan pasien yang dirasakan

(22)

19

ditempat kerjanya. Pendapat ini dituangkan dari angka 1-5, semakin besar angka yang dipilih semakin baik persepsi tentang keselamatan pasien.

b) Frekuensi pelaporan kejadian/ insiden, merupakan jumlah pelaporan insiden yang sudah pernah dilakukan yang diketahui oleh staf, dituangkan dalam angka 0 sampai tak terhingga dengan skoring 0 untuk 0 insiden, 1 untuk 1 insiden, 2 untuk 2 insiden dan seterusnya. Hal ini membuktikan kesadaran akan insiden dan pelaporannya dalam unit masing-masing.

2) Kelompok budaya keselamatan, terdiri dari 10 dimensi pertanyaan yaitu : a) Kerjasama tim dalam unit

b) Ekspektasi dan aksi pimpinan dalam mempromosikan keselamatan pasien c) Proses belajar organisasi, perbaikan berkelanjtan

d) Dukungan manajemen rumah sakit dalam keselamatan pasien e) Umpan balik dan komunikasi kejadian kesalahan

f) Keterbukaan organisasi

g) Kerjasama tim antar unit di rumah sakit h) Staffing

i) Serah terima dan transisi

j) Respon tidak menyalahkan terhadap kejadian kesalahan

5. Sasaran Keselamatan Pasien di Rumah Sakit

Sasaran keselamatan pasien di rumah sakit sebagai syarat untuk diterapkan di semua rumah sakit yang diakreditasi oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit.

(23)

20

Penyusunan sasaran ini mengacu kepada Nine Life-Saving Patient Safety Solutions dari WHO Patient Safety (2007) yang digunakan juga oleh komite keselamatan pasien rumah sakit (KKPRS PERSI), dan joint Commission International (JCI).

Maksud dari sasaran keselamatan pasien adalah mendorong peningkatan spesifik dalam kesel amatan pasien. Sasaran ini menyoroti area bermasalah dalam pelayanan kesehatan dan menguraikan tentang solusi atas consensus berbasis bukti dan keahlian terhadap permasalahan ini. Dengan pengakuan bahwa desain/rancangan sistem yang baik itu instrinsik/menyatu dalam pemberian asuhan yang aman dan bermutu tinggi, tujuan sasaran umumnya difokuskan pada solusi secara sistem bila memungkinkan.

Ada Enam Sasaran Keselamatan Pasien di Rumah Sakit: a. Sasaran 1 : ketepatan identifikasi pasien

Kesalahan karena keliru-pasien sebenarnya terjadi di semua aspek diagnosis dan pengobatan. Keadaan yang dapat mengarahkan kejadian error /kesalahan dalam mengidentifikasi pasien adalah pasien yang dalam keadaan terbius/tersedasi, mengalami disorientasi atau tidak sadar sepenuhnya; mungkin bertukar tempat tidur, kamar, lokasi di dalam rumah sakit; mungkin mengalami disabilitasi sensori atau akibat situasi lain.

b. Sasaran 2 : peningkatan komunikasi yang efektif

Komunikasi efektif yang tepat waktu, akurat, lengkap, jelas dan yang dipahami oleh resipien/penerima akan mengurangi kesalahan dan menghasilkan peningkatan keselamatan pasien. Komunikasi dapat secara elektronik, lisan atau tertulis. Komunikasi yang paling mudah mengalamikesalahan adalah perintah diberikan secara lisan dan yangdiberikanmelalui telepon, bila diperbolehkan peraturan perundangan.

(24)

21

Komunikasilain yang mudah terjadi kesalahan adalah pelaporan kembali hasil pemeriksaan kritis, seperti laboratorium klinis menelpon unit pelayananpasien untuk melaporkan hasil pemeriksaan segera/cito.

c. Sasaran 3 : peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai

Bila obat-obatan adalah bagian dari rencana pengobatan pasien, makapenerapan manajemen yang benar penting/krusial untuk memastikankeselamatan pasien. Obat-obatan yang perlu diwaspadai adalah obatyang persentasinya tinggi dalam menyebabkan terjadinyakesalahan/error, obat yang beresiko tinggi menyebabkan dampak yangtidak diinginkan, demikian pula obat-obat yang tampak mirip/ucapanmirip. Daftar obat-obat yang sangat perlu diwaspadai tersedia di WHO. Yang sering disebut dalam isu keamanan obat adalah penerimaanelektrolit konsentrat secara tidak sengaja. Kesalahan ini bisa terjadi bilastaf tidak mendapatkan orientasi dengan baik di unit asuhan pasien, bilaperawat kontrak tidak diorientasi sebagaimana mestinya terhadap unitasuhan pasien atau pada kegawatdaruratan. Cara yang paling efektifuntuk mengurangi atau mengeliminasi kejadian tersebut adalah denganmengembangkan proses pengelolaan obat-obat yang perlu diwaspadaitermasuk memindahkan elektrolit konsentrat dari unit pelayanan pasienke farmasi.

d. Sasaran 4 : kepastian tepat-lokasi, tepat-prosedur, tepat-pasien operasi

Salah-lokasi, salah-prosedur, salah-pasien operasi adalah kejadian yangmengkhawatirkan dan biasa terjadi di rumah sakit. Kesalahan ini adalahakibat dari komunikasi yang tidak efektif atau tidak adekuat antaraanggota tim bedah,

(25)

22

kurang/tidak melibatkan pasien didalam penandaan ntegrasi kulit yang menurun. Program tersebut harus diterapkan dirumah sakit.

VI. Budaya Organisasi

Budaya organisasi adalah pola dasar asumsi, nilai dan keyakinan bersama Yang dianggap sebagai cara berfikir dan bertindak yang tepat dalam menghadapi masalah dan peluang organisasi (McShane,2003). Budaya organisasi yang kuat membangun kesuksesan organisasi. (Gett, 2003) budaya organisasi memiliki tiga fungsi (McShane, 2003):

a. Budaya organisasi adalah bentuk yang tertanam dan terkontrol social yang mempengaruhi bagaimana pegawai mengambil keputusan dan berperilaku.

b. Budaya organisasi adalah perekat sosial yang mengikat orang-orang dan membuat mereka merasa menjadi bagian dari organisasi. Pegawai termotivasi untuk mendalami budaya organisasi yang dominan karena hal tersebut memenuhi kebutuhan identitas sosial mereka.

c. Budaya organisasi membantu proses nilai keputusan. Membantu pegawai mengerti situasi organisasi. Mereka dapat menyelesa ikan tugas mereka ketimbang menghabiskan waktu mencari tahu apa yang diharapkan dari mereka. Pegawai dapat berkomunikasi dengan lebih efisien dan bekerja sama dengan baik karena mempunyai model mental yang sama (Flemming 2005)

(26)

23

VII. Budaya Keselamatan

Budaya keselamatan adalah hasil akhir dari sikap, nilai, persepsi, kompetensi, dan pola kebiasaan yang memberi gambaran komitmen, gaya dan keandalan manajemen suatu organisasi. Organisasi dengan budaya keselamatan yang positif dikarakterkan dengan komunikasi berdasarkan Budaya Keselamatan

Budaya keselamatan adalah hasil akhir dari sikap, nilai, persepsi, kompetensi, dan pola kebiasaan yang memberi gambaran komitmen, gaya dan keandalan manajemen suatu organisasi. Organisasi dengan budaya keselamatan yang positif dikarakterkan dengan komunikasi berdasarkan 14 kepercayaan, dengan bertukar persepsi akan keselamatan dan oleh efektifnya langkah-langkah pencegah. Untuk mencapai keselamatan pasien, dibutuhkan komunikan terbuka, kerja tim dan dukungan lingkungan yang merupakan karakter dari budaya kelompok. Peningkatan keselamatan pasien juga memerlukan perubahan organisasi, inovasi dan keberanian mengambil resiko yang merupakan elemen dari budaya berkembang. (Singer et al, 2009) sebaliknya meskipun budaya hirarki dan budaya rasional fokus pada hasil yang mem bantu dalam pemeriksaan kesalahan dan prosedur keselamatan lainnya, ada elemen yang tidak sesuai dengan tujuan positif keselamatan pasien. Disamping itu budaya hirarki menghambat komunikasi dan keterbukaan untuk menunjang perubahan. Budaya rasional yang m enitikberatkan pada hasil dan pencapaian dapat membawa organisasi untuk fokus kepada produksi dan efisiensi sebagai penghamburan unsur keselamatan. (Singer at al 2009).

(27)

24

VIII. Model Budaya Keselamatan Pasien

Model DISC (Design for Integrated Safety Culture) menjelaskan unsur-unsur dari suatu organisasi yang memiliki potensi baik untuk keselamatan pasien. Menurut model DISC, organisasi memiliki potensi yang baik untuk keselamatan ketika memenuhi kriteria sebagai berikut dalam kegiatan organisasi:

1. Keselamatan ada lah nilai utama dalam organisasi dalam mengambil keputusan dan kegiatan sehari-hari

2. Keselamatan ini dipahami sebagai fenomena yang kompleks dan sistemik. 3. Bahaya dan persyaratan tugas dipahami secara menyeluruh.

4. Organisasi sadar dalam praktik pelayanan kesehatannya.

5. Tanggung jawab akan fungsi yang aman dari seluruh sistem. Keg Model DISC menitikberatkan pentingnya pengetahuan dan pemahaman tentang keselamatan, tugas utama diharapkan dan bahaya yang ada dalam sistem. Tanpa pemahaman yang menyeluruh terhadap keselamatan dan risiko, organisasi bisa fokus pada tantangan yang tidak relevan, membuat keputusan beresiko atau buta terhadap ancaman baru. Model DISC juga menyatakan bahwa fungsi organisasi tertentu diperlukan untuk mengembangkan taraf keselamatan yang tinggi dalam suatu organisasi termasuk manajemen bahaya (seperti penilaian resiko, sistem keselamatan dan alat pelindung diri), praktik manajemen kompetensi (seperti kursus pelatihan teknologi tertentu atau pengobatan yang digunakan, mentoring pendatang baru), pro-aktif mengembangkan keselamatan (seperti melaporkan dan manganalisa insiden, penilaian organisasi berkala) dan praktek kerja manajemen kondisi (seperti menilai kecukupan staf, dan memastikan peralatan yang diperlukan

(28)

25

untuk kerja). (Machii et.al, 2011) Budaya keselamatan mempengaruhi keselamatan pasien dengan memotivasi pegawai dalam memilih kebiasaan yang meningkatkan dibanding yang menurunkan keselamatan pasien (Nieva and Sorra 2003).

6. Langkah pertama menuju keselamatan pasien adalah membangun budaya keselamatan pasien. Singer et al (2003), mengidentifikasi 7 (tujuh) elemen budaya keselamatan pasien sebagai berikut:

a. Komitmen pemimpin akan keselamatan.

b. Sumber daya organisasi akan keselamatan pasien. c. Prioritas keselamatan dibanding produksi.

d. Keefektifan dan keterbukaan komunikasi. e. Keterbukaan terhadap masalah dan kesalahan. f. Studi organisasi.

g. Frekuensi tindakan tidak aman iatan diselenggarakan secara teratur Dalam menciptakan budaya keselamatan pasien dan menurunkan angka kesalahan, diperlukan pemimpin yang menanamkan budaya yang jelas, mendukung usaha pegawai dan tidak bersifat menghukum yang disebut dengan kepemimpinan transformasional. Budaya keselamatan pasien yang kuat dengan sendirinya akan menurunkan angka kesalahan medis (Ruchlin et al., 2004)

(29)

26

DAFTAR PUSTAKA

Agency for Helthcare Research and Quality. (2004). Hospital Survey on Patient Safety Culture. (R. Westat, J Sorra & V. Nieva, Eds). Rockville : Services, Agency for Helthcare Research and Quality U.S. Departement of health and Human.

Arwani & Supriyanto (2006). Manajemen Bangsal Keperawatan Edisi-1. Jakarta : EGC

Cahyono (2008). Membangun Budaya keselamatan Pasien Dalam Praktik Kedokteran . Yogyakarta: Kanisius

Chooper, M.D. (2000). Toward a Model f safety Culture. Safety Science Jurnal.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2008). Panduan Nasional Keselamatan Pasien

Rumah Sakit (Patient Safety)-Edisi 2. Jakarta :Depkes RI

Dwiprahasto, Iwan. (2008). Mutu Pelayanan Yang Berorientasi Pada Patient Safety. Bagian Farmakologi & Toksikologi/Clinical Epidemiologi and Biostatistics Unit (CE&BU) Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada/ RSUP Dr. Sardjito.

Fleming. (2012). Patient Safety Culture. Sharing and Learning From Each Other. www.caphc.org/patient_safety_culture

Flemming, Mark.(2005). Patient Safety Culture Measurement and Improvement: A “How To”

Guide. Journal of Nurturing a Patient Safety Culture;8:14-18

Gillies. (1994). Manajemen Keperawatan Sebagai Suatu Pendekatan Sistem (3th ed). W.B.. Philadelphia USA : Saunders Company

Halpern & McKimm. (2009). Supervision. British journal of Hospital Medicine, April 2009, Vol 70, No 4.

Hamalik, Oemar. (2000). Manajemen Pendidikan dan Pelatihan. Bandung :Y.P Pemindo Hospital Survey in Patient Safety Culture : A Tool to Plan and Evaluate Patien Safety Program Institute of Medicine, To Err Is Human: Building a Safer Health System. 2000, Institute of

Medicine: Washington DC.

Keresna Putra, I.D.A Rat. (2015). Hubungan Budaya Keselamatan Pasien dengan Jumlah

Laporan Kejadian Nyaris Cedera Di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Tahun 2015. Skripsi Universitas Udayana

Kilminster, S.M. & Jolly. (2000). Effective Supervision in Clinical Practice Setting : a Literature

(30)

27

Marquis, B.L. & Huston, C.J. 2000. Management Dicision Marking of Nurses. Philadelphia : Lippincott

Mustikawati, Y.H. (2011). Analisis Determinan kejadian Nyaris Cedera dan kejadian Tidak

Diharapkan Di Unit Perawatan Rumah Sakit Pondok Indah Jakarta. Jakarta. Universitas

Indonesia

National Patient Safety Agency. (2004). Right Patient-Right Care.NHS.

Notoatmodjo, Prof.Dr.Soekidjo. (2010). Promosi Kesehatan (Teori & Aplikasi) Edisi Revisi. Jakarta : Rineka Cipta

Nursalam. (2003). Konsep & Penerapan Metodelogi Penelitian Ilmu Keperawatan (Pedoman

Skripsi, Tesis dan Instrumen Penelitian Keperawatan). Jakarta : Salemba Medika

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 1691/MENKES/PER/VIII/2011 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit

Robbins. (2006). Perilaku Organisasi-Edisi 10. Jakarta : PT Indeks Kelompok Gramedia

Sardiman . (2007). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Saryono & Anggraeni. (2012). Metodelogi Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif dalam Bidang

Kesehatan. Yogyakarta : Nuha Medika

Setiadi. (2007). Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta : Graha Ilmu

Setiowati. (2010). Hubungan Kepemimpinan Efektif Head Nurse dengan Penerapan Budaya

Keselamatan Pasien Oleh Perawat pelaksana Di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo.

Jakarta: Universitas Indonesia

Suyanto. (2008). Mengenal Kepemimpinan Dan Manajemen Keperawatan Di Rumah Sakit. Jogjakarta : Mitra Cendikia Jogjakarta

Taufik. (2002). Prinsip-Prinsip Promosi Kesehatan Dalam Bidang Keperawatan. Jakarta : CV. Infomedika

UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

WHO. (2011). Panduan Kurikulum Keselamatan Pasien Edisi Multi Prefesional. Editor Dr. AfrisyaIriviranty. Jakarta : Lembaga Kesehatan Budi Keilmuan

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan di Rumah Sakit Y terdapat 4 dimensi budaya keselamatan pasien berdasarkan AHRQ yang berkorelasi dengan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh

Presentasi terjadinya kejadian yang mengancam keselamatan pasien seharusnya sebesar 0%. Berdasarkan penjelasan sebelumnya tingginya prevalensi insiden keselamatan

6 Tersedia mekanisme untuk menangani dan melakukan analisa risiko secara reaktif misal : RCA/Investigasi sederhana terhadap semua insiden keselamatan pasien termasuk

menunjukkan bahwa motivasi perawat dalam pelaporan Insiden Keselamatan Pasien penting untuk diteliti dengan tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat beberapa

Penelitian yang dilakukan oleh Kartika & Wulan (2013) memperjelas hal tersebut, budaya keselamatan pasien terutama non blaming culture dan budaya belajar dari insiden

menunjukkan bahwa dari segi input telah ada kebijakan yang mengatur pelaporan insiden keselamatan pasien akan tetapi pada pelaksanaan kebijakan ini sayangnya masih belum

SIMPULAN Penelitian ini menyimpulkan bahwa ditemukan berbagai variasi insiden berdasarkan sasaran keselamatan pasien, pada Sasaran Keselamatan Pasien SKP 1 terdapat 14 variasi insiden

Bahwa pelaksanaan survey budaya keselamatan pasien merupakan upaya observasi terhadap pelaporan insiden keselamatan pasien, budaya keselamatan pasien, dan sosialisasi terhadap kode etik