• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997 banyak menyebabkan munculnya masalah baru, seperti terjadinya PHK secara besar-besaran, jumlah pengangguran semakin meningkat dan menurunnya daya beli masyarakat. Hal tersebut mempunyai dampak terhadap perempuan terutama terhadap kesejahteraan keluarga mereka. Adanya PHK membuat banyak perempuan mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup bagi diri dan keluarganya. Data pada Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja Jawa Barat hingga akhir tahun 1998 menunjukkan bahwa secara regional prosentase buruh PHK perempuan adalah sebesar 57,2% untuk wilayah Kabupaten Bandung (Tjandraningsih, 1999). Perempuan PHK yang berkeluarga menghadapi situasi yang lebih sulit dibandingkan perempuan PHK yang masih lajang, karena penghasilan berkurang sedangkan kebutuhan hidup meningkat, berbagai upaya dilakukan untuk dapat bertahan. Beberapa strategi yang dilakukan adalah dengan mengambil tabungan pribadi bahkan tabungan anak apabila uang pesanggon sudah habis, pemotongan anggaran kebutuhan keluarga untuk pemenuhan kebutuhan primer yakni makanan dan pendidikan, menyederhanakan pola konsumsi, berhutang, menjual barang atau menggunakan uang pesanggon mereka untuk membuka usaha mikro.

Adanya pola pikir bahwa laki-laki harus sebagai kepala rumahtangga saat ini sudah tidak relevan lagi apabila dilihat pada kenyataan yang terjadi di masyarakat (Saraswati, 2001). Banyak perempuan saat ini di pedesaan maupun di perkotaan yang mengalami pergeseran peran. Perempuan yang semula lebih banyak mengurus rumahtangga saja, kini juga berperan sebagai kepala rumahtangga yang bertanggung jawab atas kebutuhan sehari-hari rumahtangga dengan bekerja, baik bekerja sebagai buruh maupun bekerja secara mandiri. Perubahan peran ini terjadi karena adanya perubahan struktur internal dalam keluarga atau ketika laki -laki tidak berfungsi dalam menjalankan peran produktif sebagai pencari nafkah, misalnya karena PHK, perang, perpindahan penduduk atau perpecahan keluarga. Apabila dibandingkan dengan jumlah laki -laki yang

(2)

menjadi kepala rumahtangga, jumlah perempuan yang menjadi kepala rumahtangga relatif lebih sedikit. Berdasarkan Profil Perempuan Kepala Rumahtangga, Badan Pusat Statistik tahun 1998: jumlah perempuan yang menjadi kepala rumahtangga terus meningkat dari 4 juta orang pada tahun 1971 menjadi 4,3 juta orang pada tahun 1980 dan 4,6 juta orang pada tahun 1985. Sensus Penduduk tahun 1990 menunjukkan bahwa jumlah perempuan kepala rumahtangga mencapai sekitar 5 juta orang, kemudian hasil Supas 1995 sekitar 6 juta orang dan hasil Susenas 1998 sekitar 6,3 juta orang.

Data tersebut menunjukkan bahwa jumlah perempuan yang menjadi kepala rumahtangga terus meningkat dari waktu ke waktu. Gejala tersebut berasal dari berbagai sebab, mulai dari kematian suami, perceraian, imigrasi, suami sakit tetap, tidak berfungsinya suami secara ekonomi atau karena tidak menikah (BPMD Prop. Jabar, 2005). Lebih dari separuh rumahtangga ini merupakan “the poorest of the poor”, karena nilai so sial budaya cenderung memarjinalkan perempuan kepala rumahtangga.

Diantara kelima fungsi pokok keluarga yaitu fungsi pendidikan, ekonomi, keamanan, sosial dan agama (Mutawali, 1987), fungsi ekonomi merupakan hal dominan yang dirasakan oleh perempuan yang hidup sebagai kepala rumahtangga, terutama untuk perempuan yang hidup dalam kemiskinan. Data kemiskinan di Indonesia yaitu 1 (satu) dari 10 (sepuluh) KK miskin adalah perempuan (janda) rata-rata tidak tamat SD dan sekitar 1,2–1,5 juta KK miskin; kepala rumahtangganya adalah perempuan (Kementrian PP, 2004). Hal tersebut menggambarkan bahwa masalah kemiskinan terlihat pada wajah perempuan; globalisasi menyebabkan kemiskinan terhadap perempuan (Sobritchea, 2000). Perempuan adalah orang yang paling dekat dengan urusan dapur dan pendidikan anak-anak, sehingga adanya perubahan dalam penerimaan pendapatan akan sangat berpengaruh terhadap kelanjutan urusan dapur dan sekolah anak-anaknya. Buruh perempuan PHK yang berkeluarga, seandainya dapat memilih, cenderung ingin melakukan pekerjaan yang dilakukan di rumah agar lebih dapat menjamin terlaksananya tugas-tugas rumahtangga seperti mengelola usaha mikro warungan, usaha makloon, usaha makanan kecil atau kreditan. Persoalan yang dialami oleh perempuan yang mengelola usaha mikro (Firdaus, 2005) adalah masalah teknis usaha seperti kekurangan modal, keterbatasan penguasaan teknologi tepat guna, terbatasnya jaringan pasar,

(3)

terbatasnya keterampilan teknis produksi, serta terbatasnya kemampuan pengembangan desain.

Tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan yang bekerja pada usaha mikro di Indonesia adalah sebesar 69,11% dan sektor formal 30,89% (Susenas, 2002). Data tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar perempuan Indonesia bekerja pada usaha mikro, yaitu membuka usaha wiraswasta kecil-kecilan seperti warungan, penjualan makanan, konveksi, pembuatan gerabah dan sebagainya. Perempuan yang bekerja pada sektor formal tidak sebesar pada usaha mikro. Jumlah perempuan yang menjadi kepala rumahtangga untuk wilayah Kabupaten Bandung sebanyak 10.329 jiwa (Dinkesos, 2004) dan di Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang Kabupaten Bandung sebanyak 31 orang atau 0,30% (Indarwati, 2004). Hal tersebut menunjukkan bahwa masih banyak perempuan yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan akhirnya berperan ganda dalam rumahtangga yaitu sebagai pencari nafkah utama dan sebagai ibu rumahtangga yang mengerjakan pekerjaan domestik.

Desa Sekarwangi merupakan daerah pertanian (74,14%) dan di desa sekitarnya banyak terdapat pabrik tekstil, rajut, sepatu, usaha roti dan sebagainya. Jumlah penduduk sebanyak 5.568 orang, sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai buruh tani sebanyak 1.200 orang (40,08%) dan buruh/swasta sebanyak 810 orang (27,05%). Adanya PHK perusahaan swasta dan pekerjaan sektor pertanian yang tergantung pada musim membuat perempuan akhirnya memilih untuk menggeluti usaha mikro. Usaha mikro yang dilaksanakan oleh perempuan di Desa Sekarwangi sebanyak 73 usaha dengan jenis usaha terbesar pada makanan dan warungan (Indarwati, 2004). Hasil usahanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari (subsisten). Total jumlah perempuan usia produktif di Desa Sekarwangi adalah 1.203 orang dan jumlah tenaga kerja perempuan yang bekerja pada usaha mikro sebanyak 73 orang atau 6,07% (Indarwati, 2004). Jumlah PKRT yang terlibat dalam usaha mikro sebanyak 60 orang. Data tersebut memperlihatkan bahwa pada saat ini banyak perempuan yang terlibat dalam usaha ekonomi untuk memenuhi kebutuhan bagi diri dan keluarganya. Mereka memanfaatkan modal sosial yang ada dalam komunitas untuk mengembangkan usaha mikronya, seperti memperoleh modal usaha dari keluarga, meminjam dari tetangga dan teman, rentenir dan dari program pembangunan yang ada di desa.

(4)

Program pembangunan bagi komunitas, termasuk di dalamnya bagi perempuan yang dilaksanakan di Desa Sekarwangi adalah Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) dan Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga – Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (UP2K-PKK). Tujuan kegiatan tersebut untuk meningkatkan pendapatan melalui kelompok usaha ekonomis produktif dalam bentuk Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) melalui program P2KP ataupun pengelolaan usaha secara perseorangan melalui program UP2K-PKK. Kedua program ini berasal dari Pusat dan pendekatannya bersifat top down, tetapi pada prakteknya program ini sudah mengarah pada pendekatan partisipatif konsultatif (Indarwati, 2005). Kegiatan UP2K-PKK merupakan bagian kegiatan POKJA II PKK yaitu merupakan usaha ekonomi yang diusahakan oleh keluarga, baik secara perseorangan maupun kelompok yang modalnya bersumber dari Inpres Bantuan Pembangunan Desa atau Bantuan lainnya dari Pemerintah, Bantuan Luar Negeri maupun dari swadaya masyarakat itu sendiri (TP PKK Kab. Bdg, 2000). Kedua program tersebut diharapkan dapat memenuhi kebutuhan praktis gender yaitu berupa kebutuhan untuk pencarian nafkah bagi rumahtangga dan penyediaan pangan untuk keluarga. Kebutuhan strategis gender dalam kegiatan P2KP belum terpenuhi karena perempuan belum dilibatkan secara penuh dalam kepengurusan P2KP yang berdampak pada kegiatan penyusunan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi kegiatan, suara perempuan tidak dipertimbangkan. Kebutuhan strategis gender dalam UP2K-PKK terbatas pada kelompok perempuan yang tergabung dalam kegiatan PKK (Indarwati, 2005).

Masalah yang dihadapi perempuan usaha mikro dalam perspektif gender adalah pembagian kerja, akses, kontrol dan manfaat (Saptari dkk, 1997). Dalam pembagian kerja perempuan usaha mikro di Desa Sekarwangi lebih banyak mengalami double burden (peran ganda), yaitu mereka bekerja sambil mengasuh anak di rumahnya, akses terhadap informasi pinjaman kredit lunak terbatas dan kontrol mereka untuk menentukan usahanya agar maju dan berkembang terbatas karena adanya ketidakadilan gender yang ada dalam masyarakat.

Isu ketidakadilan gender di masyarakat menganggap perempuan umumnya bergerak dalam usaha yang merupakan perpanjangan tangan pekerjaan domestik perempuan, seperti pekerjaan menjahit, membuat kerajinan tangan, mobilitas perempuan rendah sehingga tidak mudah mencari pasar dan informasi teknologi serta bahan baku, tidak memiliki kolateral (kesetaraan), dan

(5)

sulit mempunyai akses terhadap permodalan (Kompas, 7 Maret 2005). Ketidakadilan gender yang terjadi di Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang yaitu perempuan hanya dianggap sebagai pencari nafkah tambahan, sehingga akses dan kontrol mereka terbatas terhadap berbagai sumberdaya produktif mulai dari perolehan kredit, modal, pengetahuan dan program pembangunan masyarakat. Beberapa pertanyaan yang muncul adalah sejauhmana perempuan kepala rumahtangga usaha mikro mengalami keterbatasan terhadap akses, kontrol, partisipasi dan manfaat dari program pembangunan? Bagaimana langkah-langkah strategis pemberdayaan yang tepat untuk PKRT yang mengelola usaha mikro?

1.2. Rumusan Masalah

Fokus kajian ini adalah untuk memahami pemberdayaan (empowerment) perempuan kepala rumahtangga melalui keterlibatannya dibidang usaha mikro mengingat masih rendahnya kesejahteraan perempuan kepala rumahtangga di Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang. Proses pemberdayaan menitikberatkan pada aspek pengembangan ekonomi lokal yaitu usaha mikro dengan modal sosial terutama jejaring sosial dalam komunitas dan bagaimana keterlibatan perempuan kepala rumahtangga usaha mikro dalam memanfaatka n program pembangunan yang ada di Desa Sekarwangi. Modal sosial dapat digunakan untuk meningkatkan akses dan kontrol perempuan kepala rumahtangga usaha mikro seperti terhadap lembaga fomal dan informal.

Masalah ini perlu diteliti karena ada kesenjangan antara perencanaan dan implementasi dari Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) dan Usaha Peningkatan Keluarga – Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (UP2K-PKK) dalam meningkatkan kesejahteraan khususnya bagi perempuan kepala rumahtangga. Program tersebut dapat berkesinambungan melalui dana bergulir, tetapi ternyata usaha yang dijalankan oleh Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) banyak yang berhenti dan akhirnya program tersebut tidak berkembang.

Hal tersebut perlu dikaji lebih lanjut untuk meningkatkan akses dan kontrol PKRT usaha mikro terhadap sumberdaya produktif dengan cara melihat karakteristik PKRT usaha mikro, bagaimana akses dan kontrol mereka terhadap program pembangunan yang ada di Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang,

(6)

bagaimana masalah dan kebutuhan mereka dengan menggunakan analisis gender dan bagaimana jejaring yang dapat dimanfaatkan untuk memberdayakan PKRT usaha mikro.

Rumusan permasalahan yang dapat disimpulkan dari uraian di atas adalah:

1. Bagaimana karakteristik perempuan kepala rumahtangga usaha mikro dan posisinya dalam komunitas?

2. Bagaimana efektivitas pelaksanaan program pembangunan masyarakat dilihat dari dampak dan manfaatnya khusus pada perempuan kepala rumahtangga usaha mikro?

3. Bagaimana masalah, kebutuhan dan jejaring sosial perempuan kepala rumahtangga usaha mikro dengan menggunakan perspektif gender?

4. Bagaimana penyusunan program pemberdayaan perempuan kepala rumahtangga usaha mikro secara partisipatif?

1.3. Tujuan dan Kegunaan

Tujuan Kajian merupakan perolehan jawaban dari rumusa n permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya. Tujuan kajian ini adalah: 1. Mengetahui karakteristik perempuan kepala rumahtangga usaha mikro dan

posisinya dalam komunitas.

2. Mengetahui efektivitas pelaksanaan program pembangunan komunitas terutama dilihat dari dampak dan manfaatnya khusus pada perempuan kepala rumahtangga usaha mikro.

3. Menganalisis masalah, kebutuhan dan jejaring sosial perempuan kepala rumahtangga usaha mikro dengan menggunakan perspektif gender.

4. Menyusun program pemberdayaan perempuan kepala rumahtangga usaha mikro secara partisipatif.

Kegunaan kajian merupakan manfaat yang dapat diperoleh setelah diadakan penelitian kajian pengembangan masyarakat yang bersifat evaluasi program. Kajian ini akan berguna bagi pemegang kebijakan untuk menentuka n langkah program yang efektif untuk masa yang akan datang melalui pendekatan

(7)

partisipatif dan melibatkan peran aktif masyarakat dalam merumuskan kebutuhan dan permasalahannya secara rinci. Kegunaan kajian ini adalah:

1. Memberikan masukan strategi secara lebih efisien dan efektif kepada pemegang kebijakan program pemberdayaan perempuan yang ditujukan untuk meningkatkan kemampuan perempuan kepala rumahtangga agar dapat mandiri.

2. Memberikan evaluasi kepada pemegang Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) yaitu pemerintah daerah Kabupaten Bandung dan Program Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga – Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (UP2K-PKK) yaitu kepada TP PKK Kabupaten Bandung.

3. Memberikan masukan kepada Tim Penggerak PKK dan aparat Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang tentang bentuk pemberdayaan perempuan kepala rumahtangga usaha mikro yang tepat berdasarkan penelitian partisipatif yang dilaksanakan.

Referensi

Dokumen terkait

menjadi duda/janda yang melangsungkan perkawinan lagi.. 3) PNS yang akan melakukan perceraian wajib memperoleh izin atau surat keterangan lebih dahulu dari Pejabat. 4)

terlibat melakukan transaksi tidak harus bertemu atau berhadapan secara langsung. Bisa saja para pihak yang telah melakukan transaksi tersebut berada pada tempat atau.

The SALSA Program is a multi-agency, multi-national research effort that was initiated at the USDA Agricultural Research Service (ARS) South- west Watershed Research Center (SWRC)

[r]

- SAHAM SEBAGAIMANA DIMAKSUD HARUS DIMILIKI OLEH PALING SEDIKIT 300 PIHAK & MASING2 PIHAK HANYA BOLEH MEMILIKI SAHAM KURANG DARI 5% DARI SAHAM DISETOR SERTA HARUS DIPENUHI

[r]

Upaya dalam mengatasi ketergantungan petani terhadap usahatani anorganik dengan penerapan usahatani organik merupakan hal yang positif dan potensial untuk digerakkan

Sesuai dengan permasalahan yang dirumuskan diatas, penelitian yang dilakukan untuk mengkaji isi pesan perlawanan Marah Rusli terhadap nilai-nilai budaya Minangkabau yang berkaitan