• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sastra Lisan

Sastra lisan ini lahir pada umumnya pada zaman sebelum manusia mengenal tulisan atau pada masa tulisan belum dikenal secara luas dalam masyarakat. Pada zaman itu dikenal dengan tradisi lisan yang salah satu genrenya adalah sastra lisan. Sastra lisan termasuk warisan budaya nasional yang mempunyai nilai-nilai yang patut dikembangkan dan dimanfaatkan untuk kehidupan masa kini dan masa mendatang sebagai dasar komunikasi antara pencipta dan masyarakat ( Esten dan Usman 1993:2)

Menurut Rusyana (Fitrah dan Saman 2013: 237 ) menyatakan bahwa

Sasta lisan, termasuk cerita lisan , merupakan warisan budaya nasional dan masih mempunyai nilai-nilai yang patut dikembangkan dan dimanfaatkan untuk kehidupan masa kini dan masa yang akan datang antara lain hubungan dalam pembinaan apresiasi sastra. Sastra lisan juga telah berperan sebagai wahana pemahaman gagasan dan pewarisan tata nilai yang tumbuh dalam masyarakat. Bahkan sastra lisan telah berabad-abad berperan sebagai dasar komunikasi antara pencipta dan masyarakat, dalam arti penciptaannya yang berdasarkan lisan akan lebih mudah digauli karena ada unsure yang dikenal masyarakat

Sastra lisan merupakan kekayaaan budaya, khususnya kekayaan sastra. Sastra lisan yang telah tumbuh dan berkembang di masyarakat harus dijaga hingga sekarang karena sastra lisan yang ada pada anggota masyarakat dapat dijadikan sebagai titik tolak pembinaaan dan pengembangan apresiasi sastra Indonesia.

Bakar dkk (1981:4) “Bentuk sastra lisan amat berkaitan dengan tradisi masyarakat, hubungan itu dapat ditampilkannya sastra lisan itu

(2)

dalam upacara dan acara-acara tradisional masyarakat bersangkutan.” Selanjutnya menurut Wellek dan Warren (1997:3) menyatakan bahwa “sastra lisan tidak dapat diabaikan sebab sastra lisan merupakan pondasi untuk perkembangan sastra selanjutnya” Artinya, sastra lisan yang tumbuh subur dalam masyarakat budaya di masa lalu akan memberi pengaruh positif terhadap perkembangan sastra selanjutnya. Oleh sebab itu, pengkajian sastra lisan merupakan sumbangan pikiran yang dapat digunakan untuk pengkajian sastra selanjutnya.

Dari defnisi tersebut dapat disimpulkan bahwa Sastra lisan sastra yang disampaikan dari mulut ke mulut dan pengarangnya bersifat anonim. Sastra lisan merupakan bagian khazanah pengungkapan dunia sastra tidak lepas dari pengaruh nilai-nilai baru yang hidup dan berkembang pada masyrakat. Banyak sastra tradisi lisan tidak lagi dikenal masyarakat dan dibentuk oleh tradisi masyarakat.

2.2 Riwok

Riwok adalah sebuah pidato adat dalam acara pengukuhan

pemimpin adat yang dilaksanakan ketika tradisi kenduri sko. Riwok termasuk sastra lisan karena bahasa yang digunakan dalam riwok berupa bahasa yang indah, yakni rangkaian kata-kata yang tersusun dengan baik berdasarkan kiasan dan ungkapan yang indah. Hutomo (1991:5) menegaskan bahwa “tradisi lisan mengandung unsur-unsur estetika (keindahan) dan masyarakat setempat juga menganggap tradisi itu sebagai suku keindahan” sejalan dengan pendapat Horace (Rokmansyah ,2014: 8)”. Karya sastra berfungsi dulce et utile. Dulce berarti “indah” dan utile berarti

(3)

“berguna” artinya karya sastra dapat meberikan rasa keindahan untuk para penikmatnya”.

Penggunaan bahasa yang khas pada sebuah karya sastra harus bisa membedakan bahasa sastra, bahasa sehari-hari, dan bahasa ilmiah. Bahasa adalah bahan baku kesustraan, seperti batu dan tembaga untuk seni patung, cat untuk lukisan, dan bunyi untuk seni musik. Tetapi, harus disadari bahwa bahasa bukan benda mati (seperti batu) melainkan ciptaan manusia, dan mempunyai muatan budaya dan linguistik dari kelompok pemakai bahasa tertentu Wellek dan Warren (Pradopo 2002:13). Seperti halnya bahasa dalam Riwok yang menggunakan bahasa dengan nilai estetis yang tinggi. Dibuktikan bahwa isi dalam Riwok tidak menggunakan bahasa sehari-hari melainkan bahasa adat yang merupakan bahasa kesustraan.

Riwok disampaikan pada saat upacara adat bertujuan untuk

pergantian depati ninik mamak. Semakin berkembang satu kaum maka akan memunculkan depati baru dari depati lama. Setiap depati mempunyai ninik mamak sendiri yang akan menjalankan tugas sehari-hari para depati, sehingga yang berhak memerintah ninik mamak itu adalah atasan (depati) dari kaumnya dan tidak boleh oleh depati lain. Pewarisan gelar pempimpin yang akan di nibarkan sebagi pemimpin dilihat dari garis keturunan perempuan. Pemberian gelar kepada pihak laki-laki diberikan ketika setelah pernikahan, selain itu orang yang akan diberikan gelar bersal dari kerabat atau kaum.

Sastra lisan Riwok ini disampaikan oleh orang yang lebih paham, memiliki suara yang lantang serta tidak terbata-bata. Sebelum Riwok

(4)

disampaikan para kedepatian berkumpul di rumah adat. Rumah adat ini tempat yang terhormat para tokoh untuk bermusyawarah mengenai calon-calon kedepatian yang baru.

2.3 Riwok sebagai sastra lisan

Sastra merupakan suatu karya yang memiliki nilai estetik atau nilai keindahan yang tinggi. Jika sering dan sungguh-sungguh memeperhatikan karya sastra, maka akan dapat mengenal, memahami, dan memperoleh pengertian yang baik menegenai karya sastra tersebut. Artinya sesorang harus memiliki kemampuan dalam mengapresiasikan sebuah karya sastra. Oleh karena itu, seseorang harus bisa mengenali, tertarik dan mampu memusatkan pikiran untuk lebih tertarik pada sebuah karya sastra.

. Teeuw (2008:4) menyatakan bahwa ciri-ciri utama karya sastra adalah

(1) bahasanya indah dan mempunyai ciri-ciri formal, (2) mempunyai hubungan dengan kehidupan nyata, (3) mempunyai struktur dan koherensi sendiri, (4) mempunyai hubungan yang pragmatis antara pencipta sastra dan audiens, (5) mempunyai makna yang ambivalen

Selanjutnya, Kosasih (2012:1) menyatakan ciri-ciri kesustraan ialah 1) bahasanya terpelihara baik. 2) isinya menggambarkan kebenaran dalam kehidupan manusia. 3) cara menyajikannya menarik, sehingga berkesan dihati pembacanya.

Sastra lisan sering juga digolongkan dalam genre folklore. Secara etimologis folklore berasal dari bahasa inggris yaitu kata folk dan lore. Menurut Danandjaja (Nazurty, 2013:23-24) folk adalah sinonim dengan kolektif yang juga memiliki ciri-ciri pengenal fisik atau kebudayaan yang sama, serta mempunyai kesadaran kepribadian sebagai kesatuan

(5)

masyrakat. Sedangkan, lore adalah tradisi folk yaitu sebagai kebudayan yang diwarisksan secara turun-temurun secara lisan melalui contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat.

Sastra lisan yang menjadi bagian dari folklore, Jan Harold Brunvand ( Nazurty ,2013:25) mengelompokkan Folklore ke dalam tiga kelompok besar yaitu:

a. Foklore lisan, folklore yang memang bentuknya murni lisan. Misalnya, cerita rakyat, prosa rakyat, dan lain-lain.

b. Folklore sebagian lisan, folklore yang bentuknya merupakan campuran unsure lisan unsur bukan lisan. Misalnya: teater rakyat, kerpercayaan rakyat, adat istiadat, dan lain-lain

c. Folklore bukan lisan, folklore bentuknya bukan lisan walaupun pembuatannya diajarkan lisan, misalnya arsitektur, bunyi isyarat, makanan, minuman, dan lain-lain.

Tuloli (1995: 4) menegaskan mengenai cirri-ciri sastra lisan yaitu (1) milik bersama seluruh masyarakat, (2) diturunkan dari satu generasi ke generasi lainnya melalui penuturan, (3) berfungsi dalam kehidupan dan kepercayaan masyarakat, (4) bisa terwujud dalam tingkah laku yang merupakan hasil kerja, (5) diciptakan dalam variasi yang banyak sepanjang masa, (6) bersifat anonym, dan (7) mengandalkan formula, kiasan, symbol, gaya bahasa, dan berbagai gejala kebahasaan lain dalam penampilan, penceritaannya atau komposisinya.

(6)

Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa Riwok merupakan sastra lisan ciptaan manusia yang menggunakan bahasa yang indah dan bernilai bagi masyarakat. Selain itu, bahasa dalam sastra lisan selain sebagai alat komunikasi dalam mengungkapkan makna meliputi simbol, kiasan dan perumpamaan serta masih berhubungan dengan kehidupan nyata bahasa dalam sastra lisan juga berfungsi estetis yang berperan muncul keindahan yang memberikan makna tambahan sastra lisan.

2.4 Kenduri sko

Upacara adat kenduri sko merupakan acara adat terbesar yang ada dikabupaten Kerinci. Tradisi ini bertujuan untuk mengungkapkan rasa syukur masyarakat setempat atas hasil panen dan dicirikan dengan penobatan seorang putra daerah menjadi putra daerah. Zakaria (1984) menyatakan bahwa kenduri sko merupakan upacara adat yang terbesar. Kenduri Sko ini ada dua hal yang sangat penting, yaitu penuruanan benda-benda pusaka dan penobatan gelar , apakah gelar depati pemangku, ataupun permenti. Selain kenduri Sko juga dilaksanakan sebagai rasa syukur atas hasil panen”. Kenduri besar ini diadakan untuk perayaan gelar adat yang diberikan oleh masyarkat yang di anggap sudah memenuhi syarat untuk menyumbang gelar depati. Kebudayaan tersebut memilki arti pentingyang mencakupi berbagai acara yang dilakukan dan melibatkan seluruh anggota masyarakat.

Upacara adat kenduri sko merupakan puncak acara kebudayaan masyarakat Kerinci dengan maksud dan tujuan tertentu. Ciri khas upacara adat terebut adalah penobatan seorang putra daerah menjadi depati atau

(7)

pemimpin adat, yang kemudian akan diberi sumpah yang harus diipegang teguh oleh mereka yang dipilih .

Kemeriahan dalam upacara adat kenduri sko ini dilakukan oleh masyarakat kerinci di pulau tengah dengan mendatangkan warga dari desa lain. Pulau tengah itu sendiri mempunyai tiga empat desa yaitu Dusun Baru, Koto Tuo, Koto dian, dan Telago Kedatangan warga tersebut disambut dengan pencak silat oleh desa yang sedang melaksanakan kenduri sko. Jadi kenduri sko ini merupakan kebudayaan masyarakat Kerinci dengan maksud dan tujuan tertentu yaitu upacara pemberian gelar adat yang sangat sakral.

2.5 Makna Sastra

Karya sastra adalah artefak. Sebagaimana artefak peninggalan manusia purba yang mempunyai arti bila diberi makna oleh arkeolog. Pemberian makna ini disebut dengan konkreatisasi. Konkreatisasi merupakan pembentukan objek estetis melalui pembacaan karya sastra yang dapat dipahami oleh penonton Selain istilah konkreatisasi ada istilah lain yaitu Naturalisasi, yaitu usaha untuk mengembalikan yang menyimpang kepada yang jelas, yang terang, yang dapat dipahami Teeuw ( Padopo, 2005:106)

Lyos (Djajasudarma, 1993: 5) menyatakan bahwa “mengkaji atau memberi makna suatu kata ialah memahami kajian kata tersebut yang berkenaan dengan hubungan-hubungan makna yang membuat kata tersebut dari kata-kata lain.”. Memberi makna merupakan upaya lebih jauh dari

(8)

penafsiran dan mempunyai kesajajaran dan ekstrapolasi. Pemaknaan lebih menuntut kemampuan integratif manusia.

Sejalan dengan pendapat Kridalaksana (2001:132) menyatakan bahwa “Makna adalah hubungan dalam arti kesepadanan antara bahasa dan alam di luar bahasa, atau antara ujaran dan semua hal yang ditunjukkan”. Pradopo (2005:123) menyatakan bahwa “Makna sastra ditentukan oleh konvensi sastra atau konvensi tambahan. Konvensi adalah pemufakatan atau kesepakatan mengenai adat. Konvensi itu merupakan perjanjian masyrakat, baik masyarakat bahasa maupun masyrakat sastra. Perjanjian tersebut adalah perjanjian tak tertulis, disampaikan secara turun temurun bahkan sudah menjadi hakikat sastra itu sendiri”. Dalam sastra arti bahasa ditingkatkan menjadi arti sastra atau makna meskipun tidak lepas dari arti bahasanya. Jadi, makna sastra itu bukan semata-mata arti bahasa, melainkan arti bahasa mendapat arti tambahan oleh konvensi tambahan itu.

Memberi makna kepada karya sastra harus terikat dengan teks karya sastra sebagai sebuah karya sastra yang mempunyai kodrat atau hakikat karya sastra. Sejalan dengan pendapat Pradopo (2005: 207) “ Untuk dapat menangkap atau meberi makna karya sastra, pastilah diperlukan cara-cara yang sesuai dengan sifat karya sastra. Pertama kali, karya sastra adalah sebuah karya sastra yang bermedium bahasa. Bahasa sebagai medium tidaklah netral, dalam arti sebelum menjadi unsur sastra bahasa sudah menjadi arti sendiri. Karya sastra adalah karya yang ditulis pengarang. Pengarang tidak lepas dari sejarah sastra dan latar belakang sosial budayanya. Maka semuanya itu tercermin dalam karya sastranya. Akan

(9)

tetapi, karya sastra juga tidak akan mempunyai makna tanpa ada pembaca yang memberikan makna kepadanya. Untuk memahami atau memberi makna kepada karya sastra. Pembaca harus memberikan makna secara jelas, terang dan mudah dipahami. ” untuk itu untuk meberi makna latar sosial budaya harus diperhatikan dan mengetahui hubungan latar belakang masyarakat dengan isi dalam karya sastra (Pradopo, 2005:114).

Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa makna sastra merupakan makna yang memerlukan konvensi sastra atau konvensi tambahan yaitu perjanjian masyrakat, baik masyarakat bahasa maupun masyrakat sastra Perjanjian tersebut adalah perjanjian tak tertulis, disampaikan secara turun temurun bahkan sudah menjadi hakikat sastra itu sendiri.

2.6 Penelitian terdahulu

Penelitian mengenai analisis makna Riwok merupakan penelitian yang pertama kali pernah dilakukan. Adapun penelitian mengenai sastra lisan kerinci yang pernah diteliti adalah penelitian oleh Nova Yusniza (2012) Universitas Jambi dengan judul Nilai Moral dalam Kunaung Masyrakat Pulau Tengah Kecamatan Keliling Danau Kabuaten Kerinci. Dalam skripsi tersebut mengkaji nilai moral dalam sastra lisan Kunaung.

Penelitian selanjutnya juga pernah dilakukan penelitian berupa tesis oleh Efrison (2009) Universitas Sumatra Utara dengan judul Jati Diri

Masyarakat Kerinci dalam Sastra Lisan Kerinci, penelitian ini

(10)

dalam sastra lisan Kerinci berupa Kunaung,disamping itu juga mnedeskripsikan adat istiadat dan bahasa masyarakat Kerinci.

Penelitan berikutnya dilakukan oleh Nazurti (2013) Universitas Negeri Jakarta dengan judul Nilai-Nilai Budaya dalam Sastra lisan Tale

Kerinci: Kajian Stukrural dan Semiotik, Penelitian ini mendeskripsikan

nilai-nilai budaya yang terkandung dalam Tale Kerinci dengan menggunakan analisis sturktural dan semiotik.

Berdasarkan beberapa hasil penelitian tersebut. Penelitian mengenai sstra lisan yang pernah diteliti namun penelitian mengenai Riwok merupakan penelitian pertama yang pernah dilakukan.

Referensi

Dokumen terkait

Subjek dalam penelitian ini adalah seorang Guru Bimbingan Konseling di SMP Negeri 8 Banda Aceh tahun ajaran 2015-2016, sehingga subjeknya berjumlah 1 orang,

Teori ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Maria Asima (2012), gaya kepemimpinan, komitmen organisasi dan pemahaman mengenai good governance merupakan

[r]

Hasil simulasi numeris menggunakan SIGMA/W menunjukkan bahwa di Titik A terjadi penurunan konsolidasi tanah sebesar 130,28 cm dengan waktu konsolidasi selama 20 tahun

Kumpulan Makalah ~elatihan Dosen- dosen Perguruan Tinggi Negeri 'Indonesia Bagian Barat Dalam Bidang Agroklimatologi.. Sugiarto, Jurusan Geofisika dan

Dalam paper ini, akan membahas salah satu aplikasi pewarnaan graf (graph colo ring) , khususnya pewarnaan pada sisi graf G sedemikian sehingga tidak ada dua sisi yang

Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan, ditemukan 66 data kata majemuk bahasa Melayu Riau dialek Terempa yang diteliti bentuk kata majemuk nomina-nomina berjumlah 48

Jenis saluran distribusi yang dirasa tepat terhadap distribusi PT Tunggal Djaja Indah di Jawa Tengah adalah jenis distribusi intensif dilihat dari luasnya lokasi