• Tidak ada hasil yang ditemukan

TUGAS PERBANDINGAN HUKUM PIDANA PERBANDINGAN ANTARA SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA DAN AMERIKA SERIKAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TUGAS PERBANDINGAN HUKUM PIDANA PERBANDINGAN ANTARA SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA DAN AMERIKA SERIKAT"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

TUGAS PERBANDINGAN HUKUM PIDANA

PERBANDINGAN ANTARA SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA DAN AMERIKA SERIKAT OLEH REZA DARMAWAN 8111414092 ROMBEL 02 DOSEN PENGAMPU DR. ALI MASYHAR, S.H, M.H M AZIL MASKUR, S.H, M.H FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2016

(2)

DAFTAR ISI DAFTAR ISI ...2 BAB I PENDAHULUAN...3 1.1.Latar Belakang...3 1.2.Rumusan masalah...4 1.3.Tujuan...4 BAB II PEMBAHASAN...5

2.1.Sistem Peradilan Pidana di Amerika Serikat...5

2.2.Sistem Peradilan Pidana di Indonesia...12

2.3.Perbandingan Hak-Hak Tersangka di Indonesia dan Amerika Serikat..16

BAB II PENUTUP...20

3.1.Simpulan...20

3.2.Saran...21

(3)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Sebagai insan yang bekecimpung di dunia hukum, tentunya kita mengenal beberapa cabang hukum. Di antaranya adalah hukum pidana, hukum perdata, hukum tata negara, hukum administrasi negara, hukum bisnis, dan sebagainya. Tentunya dari sekian banyak cabang hukum yang kita pelajari memiliki karakteristik yang beragam, atau dalam artian memiliki ‘ke khasan’-nya tersendiri. Misal, dalam hukum pidana kita selalu membicarakan mengenai suatu penangkapan, penyelidikan, penyidikan, hingga berbicara mengenai acara-acara dalam persidangan. Contoh lain misalnya dari cabang hukum perdata yang mana keunikannya ada dalam perihal mengenai verstek, yang mana hakim menjatuhkan putusan tanpa dihadiri oleh pihak tergugat.

Sebagai negara hukum (rechstaat), Indonesia terus berupaya dalam menyempurnakan hukumnya. Niat mulia tersebut tentunya harus diimbangi dengan pemahaman yang baik mengenai hukum materiil dan penegakan hukum formiil yang baik pula. Untuk mencapai itu semua, maka yang dibutuhkan ialah bukan hanya menghasilkan sarjana-sarjana hukum yang berkualitas saja, melainkan dengan mengkaji dan mempelajari sistem hukum negara lain pula.

Dalam upaya mengkaji atau membandingkan sistem hukum negara kita menurut hemat saya ialah selain mendapatkan ilmu yang berharga disamping itu kita juga dapat mengambbil nilai-nilai yang baik dari sistem hukum lain yang kiranya dapat kita terapkan dalam hukum kita. Dari lima keluarga hukum (family of law), yakni Eropa Kontinental, Anglo Saxon, Sosialis, Religius, serta Timur Asing banyak sekali literatur yang menyatakan bahwa Indonesia termasuk ke dalam keluarga hukum dari Eropa Kontinental bersama Perancis, Norwegia, Belanda, dan sebagainya. Memang tidak sepenuhnya salah, dikarenakan kita pernah dibawah jajahan Belanda yang mengakibatkan adanya hukum dari negeri kincir angin tersebut yang ditransfer kedalam sistem hukum negara kita. Karakteristik dari keluarga hukum Eropa Kontinental tersebut, ialah hukumnya bersifat tertulis (civil law). Akan tetapi, apakah di negara kita hanya berlaku hukum yang tertulis saja? Jelas tidak jawabannya. Keberadaan hukum tertulis di Indonesia tidak lantas

(4)

menyingkirkan hukum adat atau hukum yang hidup di masyarakat. Atas dasar itulah, negara kita sangat unik sehingga disebut sebagai negara yang ‘Prismatik’.

Karena hukum di negara kita bersifat tertulis (civil law), maka dalam tulisan ini penulis akan mencoba membandingkan mengenai “sistem peradilan” dan “ hak-hak tersangka dalam sistem peradilan” di negara kita dengan penganut sistem common law, yakni Amerika Serikat.

Semoga dengan adanya tulisan ini selain dapat menambah khazanah ilmu pengetahuan kita tentunya dapat bermanfaat pula bagi perkembangan ilmu hukum di negeri ini.

1.2. Rumusan Masalah

1. Apa perbedaan sistem peradilan pidana di Indonesia dan Amerika Serikat?

2. Bagaimana hak-hak dari tersangka dalam sistem peradilan pidana di Indonesia dan Amerika Serikat?

1.3. Tujuan

1. Menjelaskan mengenai perbedaan dari sistem peradilan pidana di Indonesia dengan di Amerika Serikat.

2. Mengetahui bagaimana hak-hak dari tersangka dalam sistem peradilan pidana di Indonesia dan Amerika Serikat.

BAB II PEMBAHASAN 2.1. Sistem Peradilan Pidana di Amerika Serikat

(5)

Dalam upaya membandingkan hukum kita dengan hukum negara lain, maka alasan yang logis ialah bahwa sistem hukum dari negara tersebut haruslah berbeda dengan sistem hukum negara kita. Adapun mengapa penulis dalam tulisan ini membandingkan sistem hukum negara kita Indonesia dengan Amerika Serikat, maka jawaban yang amat rasional adalah dikarenakan sistem hukum kita tergolong lebih kepada civil law system, meskipun pada kenyataannya memang prismatik. Kemudian, seperti kita ketahui bersama bahwa negara Amerika Serikat memang tergolong atau dapat diklasifikasikan kedalam keluarga hukum (family of law) dari Anglo Saxon, yang mana sistem hukumnya disebut dengan common law system. Atas dasar itulah mengapa penulis ingin menjelaskan sejauh mana letak perbedaan antara civil law yang negara kita anut dengan common law yang negara Paman Sam anut. Di bawah ini merupakan gambaran dari sistem peradilan Amerika Serikat.

A. Pengadilan Distrik Amerika

Konstitusi Amerika Serikat yang membentuk Makhamah Agung Amerika Serikat dan memberi kongres kekuasaan untuk membentuk pengadilan-pengadilan rendah federal. Kongres telah membentuk dua peringkat pengadilan-pengadilan federal yang berada di bawah Makhamah Agung yaitu: Pengadilan-pengadilan Distrik Amerika Serikat dan Rangkaian Pengadilan-pengadilan Banding Amerika Serikat.

Pengadilan-pengadilan Distrik Amerika Serikat adalah pengadilan tingkat pertama di dalam sistem federal. Terdapat sejumlah 94 pengadilan-pengadilan distrik di seluruh negara AS. Sedikitnya ada satu pengadilan distrik yang ditempatkan di tiap-tiap negara bagian. Para hakim distrik masing-masing duduk untuk mendengarkan berbagai kasus. Selain hakim-hakim distrik, juga terdapat hakim kepailitan (yang hanya mendengarkan kasus-kasus kebangkrutan) dan hakim magistrat (yang menjalankan berbagai tugas peradilan dibawah pengawasan umum para hakim distrik) yang berlokasi di dalam pengadilan-pengadilan distrik.

Rangkaian pengadilan-pengadilan banding Amerika Serikat berada pada peringkat berikutnya. Terdapat sejumlah 12 pengadilan-pengadilan tinggi tingkat daerah yang berlokasi di berbagai wilayah negara AS. Sebuah panel yang terdiri dari 3 hakim mendengarkan kasasi-kasasi dari pengadilan-pengadilan distrik. Para pihak yang berkasus boleh mengajukan permohonan/kasasi berkenaan dengan haknya atas hukum kepada rangkaian pengadilan-pengadilan banding (terkecuali pemerintah yang tidak

(6)

mempunyai hak untuk naik banding dalam sebuah kasus kriminal jika vonisnya adalah “tidak bersalah”). Rangkaian pengadilan-pengadilan daerah ini juga mendengarkan kasasi-kasasi dari keputusan-keputusan yang dibuat oleh badan-badan administratif federal. Satu dari rangkaian pengadilan non daerah (rangkaian federal) adalah untuk mendengarkan kasasi-kasasi dalam kasus-kasus khusus seperti misalnya kasus-kasus yang menyangkut undang-undang paten dan gugatan-gugatan terhadap pemerintah federal.

Puncak dari sistem peradilan federal adalah Makhamah Agung Amerika Serikat, yang dibentuk dari 9 hakim agung yang duduk bersama-sama dalam mendengarkan kasus-kasus. Atas kebijaksanaannya, Mahkamah Agung Amerika Serikat mungkin akan mendengarkan kasasi-kasasi dari rangkaian pengadilan-pengadilan banding federal, seperti juga yang akan dilakukan oleh pengadilan-pengadilan tertinggi negeri jika kasasi tersebut menyangkut Konstitusi Amerika Serikat atau undang-undang federal.

B. Struktur Dari Sistem Pengadilan Negeri

Struktur dari sistem-sistem pengadilan negeri berbeda-beda antara satu negara bagian dengan negara bagian lainnya. Setiap sistem pengadilan memiliki ciri-ciri yang unik; walaupun demikian, beberapa penyamarataan umum dapat dibuat. Sebagian besar negara-negara bagian AS memiliki pengadilan-pengadilan dengan yurisdiksi terbatas yang diketuai oleh seorang hakim dimana dia mendengarkan kasus-kasus sipil-ringan dan kriminal. Selain itu negara-negara bagian juga memiliki pengadilan-pengadilan umum yurisdiksi tingkat pertama yang diketuai oleh seorang hakim. Pengadilan-pengadilan tingkat pertama ini biasanya disebut pengadilan-pengadilan rangkaian atau pengadilan-pengadilan superior dan fungsinya mendengarkan kasus-kasus sipil-utama dan kriminal. Beberapa negara bagian lainnya memiliki pengadilan-pengadilan khusus yang hanya mendengarkan kasus tertentu, misalnya kasus-kasus lalu lintas atau pertikaian keluarga.

Semua negara-negara bagian di Amerika Serikat memiliki satu pengadilan tertinggi, yang biasanya disebut mahkamah agung negeri yang fungsinya sama seperti pengadilan tinggi. Banyak juga negara-negara bagian Amerika Serikat yang memiliki pengadilan negeri menengah yang juga disebut pengadilan banding yang tugasnya

(7)

mendengarkan kasasi-kasasi dari sidang pengadilan. Pihak yang berkasus umumnya memiliki hak satu kali untuk naik banding.

C. Administrasi Pengadilan

Cabang-cabang yudikatif dari pemerintah federal dan pemerintah negara bagian adalah terpisah fungsinya dari cabang-cabang legislatif dan eksekutif. Untuk memastikan kemandirian jalannya peradilan, cabang-cabang yudikatif dari pemerintah federal dan pemerintah negara bagian mengontrol fungsi administrasi pengadilan. Tugas-tugas di administrasi pengadilan termasuk mengelola anggaran-anggaran belanja pengadilan, menulis peraturan-peraturan sidang pengadilan dan prosedur pengadilan tinggi, memeriksa perkara-perkara disiplin yudikatif, menawarkan program-program pendidikan berlanjut bagi para hakim, dan mengkaji pelaksanaan sidang pengadilan.

Di dalam sistem pengadilan federal, Muktamar Yudisial Amerika Serikat, dibentuk dari 27 anggota (Kepala Hakim Amerika Serikat dan 26 hakim-hakim dari setiap wilayah geografis AS), mengemban segenap tanggung jawab administrasi dari seluruh pengadilan dan memiliki kekuasaan utama dalam membuat kebijakan yang berhubungan dengan pelaksanaan cabang yudikatif dari pemerintah. Mukatamar Yudisial ini dibantu oleh sejumlah besar komite-komite yang dibentuk dari hakim-hakim federal (dan kadang-kadang juga dari hakim-hakim-hakim-hakim pengadilan negeri serta pengacara-pengacara) dimana mereka mempelajari berbagai sistem pengadilan federal yang berbeda dan membuat rekomendasi-rekomendasi. Satu tanggung jawab penting dari Muktamar Peradilan adalah untuk merekomendasikan perubahan-perubahan di dalam aturan-aturan prosedur yang digunakan oleh seluruh pengadilan-pengadilan federal.

D. Hakim

Para hakim agung dari Makhamah Agung Amerika Serikat dan dari rangkaian serta hakim-hakim distrik, semuanya ditunjuk oleh presiden Amerika Serikat jika disetujui oleh mayoritas suara dari senat Amerika Serikat. Para hakim agung ini bisa terus mengabdi apabila selama dalam melakukan tugasnya berkelakuan baik dan bisa mengabdi sampai akhir hayatnya. Biasanya orang-orang yang dicalonkan menjadi hakim agung ini oleh presiden kebanyakan berasal dari partai yang sama dengan presiden. Orang-orang yang ditunjuk biasanya berasal dari profesi pengacara

(8)

terhormat, guru besar hukum, hakim pengadilan rendah federal atau hakim pengadilan negeri. Begitu para hakim ini ditunjuk untuk menjalankan tugasnya, maka gajinya tidak dapat diturunkan. Para hakim ini hanya mungkin dipecat melalui proses pendakwaan karena menyalah gunakan jabatannya, yang mana dakwaannya dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (House of Representative) dan sidang pengujiannya dilakukan oleh senat.

Metode dalam pemilihan hakim-hakim negeri sangat berbeda antara negara bagian yang satu dengan yang lainnya, bahkan dalam satu negara bagian pun kadang berbeda tergantung jenis pengadilannya. Sistem pemilihan yang lazim digunakan secara umum adalah dengan sistem nominasi dari komisi dan populerisasi. Dalam sistim nominasi dari komisi, hakim-hakim ditunjuk oleh gubernur (sebagai kepala eksekutif negara bagian) yang harus menentukan dari beberapa calon yang sudah diajukan oleh komisi independen yang terdiri dari para kumpulan pengacara, legislator, warga biasa, dan kadang-kadang hakim. Sedangkan untuk sistem pemilihan dengan cara populerisasi dipilih dengan siapa yang paling populer. Pemilihan dengan cara ini mungkin mendapatkan dukungan secara sepihak atau bahkan tidak mendapatkan dukungan sama sekali. Sedangkan calon-calon yang dipilih harus memenuhi kualifikasi tertentu seperti pernah menjalani profesi pengacara selama jangka waktu tertentu.

E. Jaksa Penuntut

Jaksa-jaksa penuntut dalam sistem federal adalah merupakan bagian dari Departemen Kehakiman AS di dalam cabang eksekutif. Jaksa Agung AS yang mengepalai Departemen Kehakiman, ditunjuk oleh presiden dengan mendapat konfirmasi dari senat. Ketua jaksa penuntut di dalam distrik-distrik pengadilan federal disebut pengacara-pengacara AS dan mereka juga ditunjuk oleh presiden setelah mendapatkan konfirmasi dari senat. Di dalam Departemen Kehakiman terdapat juga Biro Penyelidikan Federal (FBI) yang menyelidiki semua kejahatan yang ditujukan terhadap negara Amerika Serikat.

Setiap negara bagian juga memiliki seorang jaksa agung di dalam cabang eksekutif negeri yang biasanya dipilih oleh penduduk setempat. Ada juga jaksa-jaksa penuntut yang tersebar di berbagai wilayah negeri, yang disebut dengan pengacara-pengacara negara atau pengacara-pengacara-pengacara-pengacara distrik.

(9)

Supreme Court

Court of Appeals

District Courts

Federal Circuits

Court of Int’l Trade

Claim Court, adn Court of Veterans Appeals

Pa te nt c as es

Sistem hukum di Amerika Serikat menggunakan proses pertentangan. Peran pembela-pembela hukum sangatlah penting dalam proses ini. Para pembela hukum bertanggung jawab terhadap pengajuan alat-alat bukti dari klien mereka pada saat melakukan pembelaan di depan sidang pengadilan. Berdasarkan penyajian-penyajian alat bukti yang disampaikan oleh pembela hukum, hakim sidang dan dewan juri akan menilai dan memastikan alat bukti yang diajukan dalam persidangan untuk mengambil keputusan bersama sebelum memasuki saat keputusan hakim.

Setiap individu bebas mewakili dirinya sendiri di pengadilan-pengadilan Amerika Serikat, namun pembela hukum sering dibutuhkan keberadaannya untuk menghadapkan kasus-kasus secara lebih efektif. Bagi perorangan yang tidak sanggup membayar seorang pembela hukum, ia dapat mencoba untuk mendapatkannya tanpa membayar melalui sebuah perhimpunan bantuan hukum lokal. Bagi para tertuduh

kejahatan yang tidak sanggup membayar seorang pembela hukum, mereka akan diwakili oleh seorang pembela hukum yang ditunjuk oleh pengadilan atau oleh kantor pembela masyarakat federal atau negeri.

(10)

H. Penjabaran Sistem Pengadilan di Amerika Serikat dengan Menggunakan Dewan Juri

Dalam persidangan di negara Amerika dan negara-negara barat lainnya, selain hakim yang memutuskan suatu hasil persidangan adalah Juri. Mereka dipilih dari beberapa orang yang berkompeten dalam bidang hukum dan terdiri dari kelompok orang yang ganjil (9 orang) untuk memvoting keputusan bersalah atau tidak bersalahnya seorang pesakitan.

Dewan Juri dipilih melalui 3 proses; pertama, pengadilan melakukan pendaftaran penduduk yang dapat dipilih atau yang berkompeten dalam bidang hukum dan perspektif lainnya. Kedua, pengadilan mencoba mendapatkan sample yang representatif, dilakukan dengan pemilihan yang random. Ketiga, setelah calon juri terdaftar maka langkah selanjutnya adalah dengan melakukan seleksi dengan wawancara terhadap minat, kemampuan, pengetahuan dan wawasan mereka dalam bidang hukum dan perspektif lainnya.

Juri dipilih oleh pengadilan dari masyarakat umum di wilayah yurisdiksi kejadian perkara. Nama-nama calon juri dipilih secara acak (random) dari daftar nama pembayar pajak, atau bisa juga dari daftar pemberi suara dalam pemilihan umum, atau dari buku telepon. Calon-calon ini dikirimi surat panggilan untuk diwawancarai hakim, jaksa penuntut, dan pembela terdakwa. Jaksa penuntut dan pembela dapat menolak calon juri dengan mengemukakan alasan. Misalnya orang tersebut ada hubungan keluarga atau persahabatan dengan pihak yang terlibat perkara. Jaksa dan pengacara juga bisa menolak calon juri tanpa alasan yang jelas, tapi ada batas jumlahnya. Biasanya juri yang dipilih 12 orang, dengan 1 atau 2 cadangan kalau ada yang berhalangan. Tetapi sekarang sejumlah negara bagian sudah mengurangi anggota jurinya sampai hanya 6 orang saja. Juri selama bekerja diberikan honorarium, dan jika

(11)

dia bekerja, maka atasannya diberi surat agar pegawainya dibebaskan dari pekerjaan selama menjadi juri.

Sebagai kelompok individu yang harus menentukan keputusan maka proses yang menarik untuk dipelajari adalah proses bagaimana mereka mengambil keputusan secara kompleks dan latar belakang pengambilan keputusan secara variatif. Hal inilah yang seharusnya menjadi kajian psikologi sosial karena ada pengaruh psikologis dalam proses pengambilan keputusan yang kompleks tersebut (Hans & Vidmar, 1986; Kassin & Wrightsman, 1988). Bagaimanapun dewan juri adalah kelompok individu yang dengan latar belakang sosialnya mereka pasti mempunyai tendesi yang berbeda-beda sehingga pengambilan keputusan secara individual mereka pun berberbeda-beda.

Bukanlah suatu hal yang mudah untuk mengambil keputusan ditengah tekanan argumentatif dari pembela dan jaksa. Bahkan juri harus mengambil keputusan yang tepat dan cepat untuk menyelesaikan suatu perkara dalam beberapa persidangan pada hari yang sama. Berdasarkan penelitian Fulero & Penrod (1990), menyimpulkan bahwa pembela atau pengacara dapat memprediksikan kemenangan kasusnya dengan memperhatikan demografis mayoritas dewan juri. Misalnya, pesakitan adalah ras negro, jika dewan juri mayoritas orang negro maka pengacara akan meyakinkan dewan juri dan memberikan tekanan secara demografis. Hal ini juga dilakukan oleh jaksa penuntut untuk menyakinkan dan untuk mendapatkan simpati dari dewan juri jika korban mempunyai demografis yang sama dengan demografis mayoritas dewan juri. Kondisi ini memberikan kajian bahwa latar belakang suatu perkara dan pelaku persidangan dapat mempengaruhi pengambilan keputusan.

Hal lainnya adalah adanya konformitas yang dilakukan oleh anggota dewan juri dalam pengambilan keputusan. Konformitas yang dimaksud adalah proses menyamakan pendapat anggota dewan juri terhadap keputusan mayoritas anggotanya. Kondisi ini bukanlah hal yang aneh karena individu yang terlibat dalam kelompok mencoba melakukan konformitas terlebih jika individu tersebut menginginkan penerimaan dan merasa sebagai minoritas. Berdasarkan beberapa hambatan dalam menjalankan tugasnya sebagai dewan juri yang dituntut untuk obyektif dalam mengambil keputusan maka pengadilan membuat suatu sistem seleksi yang ketat. Scientific Jury Selection, adalah metode seleksi juri yang mempertimbangkan faktor demografis dan faktor relevan lainnya dalam memilih juri pada suatu kasus tertentu. Hal ini digunakan untuk menjaga indepensi dan obyektivitas juri dalam menentukan keputusan. Sebagai suatu contoh, peradilan kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh

(12)

Mike Tyson terhadap kontestan Miss Black American maka dewan juri yang diseleksi berdasarkan keseimbangan demografis juri dan kepribadian yang kuat agar faktor demografis dan konformitas tidak mempengaruhi dalam pengambilan keputusan.

Kemudian apakah tugas hakim dalam sistem pengadilan dewan juri ini? Tugas hakim adalah memimpin sidang dan menjaga ketertiban jalannya persidangan. Hakim menjadi penengah pada saat tanya jawab antara jaksa, pembela, dengan para saksi atau terdakwa. Misalnya seorang jaksa mengajukan pertanyaan yang sangat tajam kepada saksi atau terdakwa yang oleh pihak pembela dianggap tidak ada kaitannya dengan perkara yang disidangkan, misalnya tentang kebiasaan buruk atau soal pribadi dari tersangka atau saksi-saksi. Si pembela akan tegak dari duduknya dan akan berteriak “objection your honor, the question is irrelevant!” Maksudnya adalah, “saya keberatan yang mulia, pertanyaan tersebut tidak ada kaitannya dengan perkara!”. Disini, hakim menjadi penentu apakah pertanyaan itu perlu atau tidak. Dan juga dalam hal perkara pidana, hakim memutuskan hukuman yang dijatuhkan bagi terdakwa. Jadi, dewan juri hanya memutuskan apakah terdakwa bersalah atau tidak. Sedangkan untuk vonis hukuman penjatuhannya tetap dilakukan oleh hakim.

2.2. Sistem Peradilan Pidana di Indonesia A. Dasar Hukum Pidana Indonesia

Sistem peradilan Indonesia berdasarkan sistem-sistem, undang-undang dan lembaga-lembaga yang diwarisi dari negara Belanda yang pernah menjajah bangsa Indonesia selama kurang lebih tiga ratus tahun. Seperti dikatakan oleh Andi Hamzah1:

Misalnya Indonesia dan Malaysia dua bangsa serumpun, tetapi dipisahkan dalam sistem hukumnya oleh masing-masing penjajah, yaitu Belanda dan Inggris. Akibatnya, meskipun

kita telah mempunyai KUHAP hasil ciptaan bangsa Indonesia sendiri, namun sistem dan asasnya tetap bertumpu pada sistem Eropa Kontinental (Belanda), sedangkan Malaysia,

Brunei, Singapura bertumpu kepada sistem Anglo Saxon.

Walaupun bertumpu pada sistem Belanda, hukum pidana Indonesia modern dapat dipisahkan dalam dua kategori, yaitu hukum pidana acara (formiil) dan hukum pidana materiil. Hukum pidana acara dapat disebut dalam Bahasa Inggris sebagai ‘procedural law’ dan hukum pidana materiil sebagai ‘substantive law’. Kedua kategori tersebut dapat 1 Prof. Dr. jur Andi Hamzah Hukum Acara Pidana Indonesia (Edisi Kedua Sinar Grafika, Jakarta 2008) Hal 33.

(13)

kita temui dalam Kitab masing-masing yaitu, KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) dan KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) berturut-turut.

Namun RUU KUHP baru memunculkan beberapa hal yang sangat menarik terkait dengan perubahan-perubahan yang dapat terjadi pada sistem hukum pidana dan patut didiskusikan, kenyataannya adalah sampai sekarang RUU tersebut belum dilaksanakan. Menurut keterangan dari beberapa sumber, RUU tersebut telah diajukan kepada DPR selama kurang lebih dua puluh tahun dan belum dapat disepakati apalagi disahkan.

Maka dari itu, untuk sementara KUHAP dan KUHP merupakan undang-undang yang berlaku dan digunakan oleh lembaga lembaga penegak hukum untuk melaksanakan urusan sehari-hari dalam menerapkan hukum pidana di Indonesia.

KUHAP (dibedakan dari KUHP), menentukan prosedur-prosedur yang harus dianut oleh berbagai lembaga yang terlibat dalam sistem peradilan misalnya hakim, jaksa, polisi dan lain-lainnya, sedangkan KUHP menentukan pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan yang berlaku dan dapat diselidiki ataupun dituntut oleh lembaga-lembaga tersebut.

B. Perkembangan Sistem Peradilan Pidana Indonesia

Upaya penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sanksi (hukum) pidana merupakan cara yang paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri, bahkan ada yang mengatakan bahwa hukum pidana merupakan the older philosophy of crime control2.

Sampai saat ini pun, hukum pidana masih digunakan dan “diandalkan” sebagai salah satu sarana politik kriminal3. Hal tersebut dapat dilihat dari adanya ancaman pidana

pada hampir setiap produk perundang-undangan yang dikeluarkan oleh badan legislatif negara ini, meskipun produk perundang-undangan tersebut tidak termasuk dalam perundang-undangan yang tidak mengatur secara spesifik tentang suatu tindak pidana, seperti UU Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (sebagaimana sekarang telah diubah menjadi UU Nomor 22 Tahun 2009), UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, 2 Herbert L. Packer, The Limits of Criminal Sanction”, 1968. hal. 3.

3 Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hal. 39.

(14)

UU Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dan sebagainya. Dengan demikian, hukum pidana hampir selalu digunakan untuk “menakut-nakuti” atau mengamankan berbagai kebijakan yang timbul di berbagai bidang terutama dalam menanggulangi kejahatan. Fenomena tersebut memberi kesan seolah-olah suatu peraturan akan kurang sempurna atau “hambar” apabila tidak disertai dengan ketentuan pidana.

Aplikasi atau penegakan hukum pidana yang tersedia tersebut dilaksanakan oleh instrumen-instrumen yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk melaksanakan kewenangan dan kekuasaannya masing-masing dan harus dilakukan dalam suatu upaya yang sistematis untuk dapat mencapai tujuannya. Upaya yang sistematis ini dilakukan dengan mempergunakan segenap unsur yang terlibat di dalamnya sebagai suatu kesatuan dan saling berhubungan (interelasi), serta saling mempengaruhi satu sama lain. Upaya yang demikian harus diwujudkan dalam sebuah sistem yang bertugas menjalankan penegakan hukum pidana tersebut, yaitu Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice Sytem) yang pada hakikatnya merupakan “sistem kekuasaan menegakkan hukum pidana”4.

Oleh karena itu, setiap aparat dari sistem peradilan pidana (criminal justice system) harus selalu mengikuti perkembangan dari setiap perundang-undangan yang terbit karena aparat dalam sistem peradilan pidana tersebut “menyandarkan” profesinya pada hukum pidana dalam upaya mengantisipasi kejahatan yang terjadi. Sistem Peradilan Pidana ini diwujudkan/diimplementasikan dalam 4 (empat) sub sistem, yaitu:

- Kekuasaan penyidikan oleh lembaga penyidik; - Kekuasaan penuntutan oleh lembaga penuntut umum;

- Kekuasaan mengadili dan menjatuhkan putusan oleh badan pengadilan;

- Kekuasaan pelaksanaan putusan/pidana oleh badan/aparat pelaksana/eksekusi5.

C. Sistem Peradilan Pidana Indonesia

Masing-masing kekuasaan yang merupakan sub sistem dalam Sistem Peradilan Pidana tersebut merupakan kekuasaan yang merdeka/independent dalam arti bebas dari pengaruh penguasa atau dari tekanan dari pihak luar. Akan tetapi kemandirian tersebut

4 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Citra Adtya Bakti, Bandung, 2001, hal. 28.

(15)

tidak bersifat parsial (fragmenter), tetapi kemandirian dalam satu sistem, yaitu Sistem Peradilan Pidana yang integral (Integrated Criminal Justice System)6.

Adapun implementasi dari masing-masing sub sistem dalam Sistem Peradilan Pidana tersebut adalah sebagai berikut:

1. Kekuasan penyidikan oleh lembaga penyidik.

Berdasarkan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 angka 1, maka yang dimaksud dengan Penyidik adalah Pejabat Polisi Negera Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Dengan demikian, secara umum yang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan suatu tindak pidana adalah Kepolisian Republik Indonesia (POLRI), namun untuk tindak pidana tertentu ada juga lembaga lain yang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan, seperti:

- Kejaksaan untuk Tindak Pidana Korupsi dan Tindak Pidana HAM. - Aparat Dirjen Pajak untuk Tindak Pidana Perpajakan.

- Aparat Bea Cukai untuk Tindak Pidana Kepabeanan. - Aparat kehutanan untuk Tindak Pidana Kehutanan. 2. Kekuasaan penuntutan oleh lembaga penuntut umum.

Apabila dalam Kekuasaan Penyidikan, terdapat beberapa lembaga yang dapat melakukan penyidikan, maka dalam menjalankan kekuasaan penuntutan hanya satu lembaga yang berwenang melaksanakan yaitu lembaga Kejaksaan Republik Indonesia. Hal tersebut tertuang dalam Ketentuan Umum KUHAP angka 6 dan angka 7 serta tecantum pula dalam Undang Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia pada Pasal 2 ayat (1) yang menyebutkan bahwa “Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam Undang Undang ini disebut Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan Negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang.”

3. Kekuasaan mengadili dan menjatuhkan putusan oleh lembaga peradilan. Yang dimaksud dengan Kekuasaan mengadili sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 9 KUHAP adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan

6 Barda Nawawi Arief, Sistem Peradilan Pidana Terpadu dalam Kaitannya dengan Pembaruan

(16)

menurut cara yang diatur dalam undang undang ini. Selanjutnya berdasarkan Pasal 1 angka 8 KUHAP, yang diberi wewenang ini adalah Hakim sebagai Pejabat Peradilan Negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili.

4. Kekuasaan pelaksanaan putusan/pidana oleh badan/aparat pelaksana/eksekusi.

Kekuasaan ini dimiliki oleh Jaksa Penuntut Umum karena di samping berwenang melaksanakan penuntutan, Jaksa Penuntut Umum juga berwenang melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Hal tersebut diatur dalam Ketentuan Umum KUHAP Pasal 1angka 6 dan angka 7 serta juga diatur dalam Pasal 30 Undang Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

Dengan demikian dalam proses penegakan hukum pidana, unsur-unsur sistem peradilan pidana meliputi: Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Keempat unsur inilah yang merupakan sub-sistem dari sub-sistem peradilan pidana, sehingga keberhasilan upaya penegakan hukum sangat dipengaruhi oleh keterkaitan dan ketergantungan keempat unsur tersebut. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan sistem peradilan pidana dapat juga dikatakan sebagai sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Pemasyarakatan terpidana7.

D. Skema Pengadilan di Indonesia

2.3. Perbandingan Hak-Hak Tersangka di Indonesia dan Amerika Serikat A. Hak-hak tersangka dalam Sistem Peradilan Pidana Amerika Serikat

7 Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Pidato Pengukuhan Guru Besar tetap dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1993, hal.1.

(17)

Di Amerika Serikat, setiap proses pidana akan dimulai dengan Miranda Rule yang merupakan hak tersangka sebelum diperiksa oleh penyidik/instansi yang berwenang. Hak-hak tersebut antara lain:

1. Hak untuk diam dan menolak menjawab pertanyaan penyidik. 2. Hak untuk menghubungi Penasihat Hukum/Pengacara/Advokat. 3. Hak untuk memilih sendiri Penasihat Hukum/Pengacara/Advokat.

4. Hak untuk disediakan Penasihat Hukum/Pengacara/Advokat apabila Tersangka tidak mampu membayar sendiri.

B. Hak-hak tersangka dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia

Di Indonesia sendiri, hak-hak tersangka diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yaitu:

1. Berhak segera mendapatkan pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dilimpahkan ke penuntut umum (pasal 50 ayat 1).

2. Berhak perkaranya segera dimajukan ke pengadilan oleh penuntut umum (pasal 50 ayat 2).

3. Berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu pemeriksaan dimulai (pasal 51 a dan b).

4. Berhak memberikan keterangan secara bebas dan tanpa tekanan kepada penyidik pada saat pemeriksaan (pasal 52).

5. Berhak mendapatkan bantuan juru bahasa kapan saja dibutuhkan pada saat pemeriksaan (pasal 53 ayat 1).

6. Berhak memberikan keterangan tertulis apabila tersangka bisu (pasal 53 ayat 2 dan pasal 178).

7. Berhak mendapatkan bantuan penasihat hukum selama pemeriksaan oleh penyidik (pasal 54).

8. Berhak memilih sendiri penasihat hukum yang akan digunakannya (pasal 55).

9. Apabila diancam dengan pidana mati atau diatas 15 tahun, maka apabila tersangka tidak memiliki penasihat hukum sendiri, pejabat yang berwenang wajib menunjuk penasihat hukum bagi tersangka (pasal 56 ayat 1).

10. Penasihat hukum sebagaimana dimaksud point “i” disediakan secara cuma-cuma oleh pejabat yang berwenang (pasal 56 ayat 2).

(18)

12. Apabila tersangka adalah WNA, tersangka berhak menghubungi dan berbicara dengan perwakilan negaranya dalam menghadapi perkaranya (pasal 57 ayat 2).

13. Berhak menerima kunjungan dokter baik yang terkait dengan pidananya ataupun tidak (pasal 58).

14. Berhak mendapatkan pemberitahuan atas penahanannya oleh pejabat yang berwenang, keluarga atau penasihat hukum wajib diberitahu juga (pasal 59).

15. Berhak menerima kunjungan pihak yang mempunyai hubungan keluarga dan lainnya guna mendapatkan jaminan penangguhan penahanan atau usaha mendapatkan bantuan hukum (pasal 60).

16. Berhak secara langsung atau melalui penasihat hukum untuk menghubungi dan menerima kunjungan sanak keluarganya dalam hal hal yang tidak ada kaitan dengan perkaranya atau untuk kepentingan pekerjaan atau untuk kepentingan keluarga (pasal 61).

17. Berhak mengirim atau menerima surat baik oleh keluarga maupun penasihat hukumnya (pasal 62 ayat 1).

18. Berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari rohaniawan (pasal 63).

19. Berhak mengusahakan atau mengajukan saksi atau seseorang yang mempunyai keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya (pasal 65).

20. Berhak untuk tidak dibebani kewajiban pembuktian (pasal 66). 21. Berhak menuntut ganti rugi atau rehabilitasi (pasal 68).

22. Berhak untuk memberikan keterangan secara bebas tanpa tekanan dari siapapun atau dalam bentuk apapun (pasal 117 ayat 1).

23. Berhak untuk dicatat keterangan yang dibrikan dengan seteliti-telitinya sesuai dengan kata-kata yang dipergunakan oleh tersangka sendiri (pasal 117 ayat 2).

24. Berhak untuk meneliti dan membaca kembali hasil pemeriksaan sebelum tersangka menandatanganinya (pasal 118 ayat 1).

Sementara dalam perundangan lain,, yaitu UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia diatur tentang hak-hak tersangka, yaitu:

a.Hak untuk dianggap sama di depan hukum (pasal 17).

b. Hak untuk mendapatkan bantuan dan perlindungan yang adil dari pengadilan yang obyektif (pasal 5 ayat 2).

c. Hak untuk dianggap tidak bersalah sebelum diputuskan oleh hakim (pasal 18 ayat 1).

(19)

d. Hak untuk dituntut hanya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku (pasal 18 ayat 2).

e. Hak untuk mendapatkan ketentuan hukum yang paling menguntungkan tersangka, apabila ada perubahan aturan hukum (pasal 18 ayat 3). f. Hak untuk mendapatkan bantuan hukum dari awal penyidikan (pasal

18 ayat 4).

g. Hak untuk disangkakan pasal berdasarkan peraturan hukum yang telah ada sebelumnya (pasal 18 ayat 2).

h. Hak untuk tidak disidik dalam kasus yang sama untuk kedua kalinya (pasal 18 ayat 5).

i. Hak untuk mendapatkan jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya (pasal 18 ayat 1).

BAB III PENUTUP

3.1.Simpulan

Menurut Rene David, perbandingan hukum merupakan ilmu yang setua ilmu hukum itu sendiri, namun perkembangannya sebagai ilmu pengetahuann baru pada abad-abad terakhir ini.8 Suatu kajian perbandingan hukum menjadi sebuah hal yang menarik untuk

dikaji mengenai suatu perbedaan dari yang mulai fundamental hingga ke dalam hal yang lebih mendetail, serta baik hukum materiil maupun formiil (prosedur beracaranya).

Dalam tulisan saya di atas, dipaparkan mengenai perbandingan ‘sistem peradilan pidana’ dan ‘bagaimana hak-hak dari tersangka’ menurut negara kita yang termasuk ke dalam 8 Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana Edisi Revisi, Jakarta: Rajawali Pers, hal. 1.

(20)

sistem hukum civil law (Eropa Kontinental) dan Amerika Serikat yang sejatinya termasuk ke dalam sistem hukum common law (Anglo Saxon) yang mana hukum di masyarakat (tidak tertulis), serta Yurisprudensi Hakim menjadi suatu hal yang amat penting, Amerika Serikat merupakan negara yang berbentuk republik konstitusional federal, yang mana pada negara tersebut tidak dijumpai mengenai “provinsi”, melainkan “negara bagian”. Sedangkan Indonesia menurut konstitusi kita, Pasal 1 ayat (1) UUD NRI tahun 1945 menyatakan bahwa “Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik”.

Perbedaan yang sangat signifikan pada sistem hukum Amerika Serikat dengan sistem hukum Republik Indonesia, ialah mengenai sistem peradilannya yang menggunakan Juri. Jika dalam negara kita Hakim menjadi garda terakhir dalam penentu putusan bersalah atau tidaknya terdakwa, namun pada sistem pengadilan Amerika Serikat terdapat Juri yang menentukan bahwa terdakwa bersalah, sedangkan hakim yang menentukan straafsoort dan straafmaat (jenis dan bobot pidana) yang dijatuhkan. Kemudian pada hak-hak tersangka, ada beberapa persamaan yang mendasar antara Amerika dan Indonesia mengenai apa yang disebut dengan Miranda Rule. Namun dalam hukum kita tidak dijelaskan secara ekplisit mengenai Miranda rule dalam KUHAP kita. Melainkan hanya dijelaskan secara implisit dalam beberapa Pasal di KUHAP.

3.2. Saran

Perbandingan ilmu hukum menjadikan para pengkaji atau orang yang mempelajarinya merasa memiliki kepuasan tersendiri. Selain dapat mengetahui sistem hukum apa saja yang diberlakukan negara lain, maka dapat dijadikan pula sebagai parameter, tolok ukur atau sebagai bentuk introspeksi mengenai sistem hukum yang berlaku di negara kita. Tanpa bermaksud merendahkan sistem hukum negara sendiri maupun negara lain, saran penulis tentunya adalah dalam rangka melakukan kajian perbandingan hukum di negara lain ini dapat dijadikan landasan mengenai nilai yang benar untuk kemudian diterapkan dan menjadikan hukum di negara kita semakin baik tanpa mengganti, menghapus, atau mengubah norma, landasan filosofis, serta nilai-nilai baik yang telah melekat di masyarakat atau dalam artian masyarakat kita tetap berjatidiri Pancasila.

(21)

DAFTAR PUSTAKA

Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998

Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001

Barda Nawawi Arief, Sistem Peradilan Pidana Terpadu dalam Kaitannya dengan Pembaharuan Kejaksaan, dalam Media Hukum Vol. 2 Nomor 1, 2003

Hamzah, Andi. Hukum Acara Pidana Indonesia (Edisi Kedua), Jakarta: Sinar Grafika, 2008 Herbert L Packer, The Limits of Criminal Sanction, 1968

Reksodiputro, Mardjono, Sistem Peradilan Pidana di Indonesi, Jakarta: Fakultas Hukum UI, 1993

Referensi

Dokumen terkait

[r]

tersebut dalam pasal 2 dengan jalan apa saja yang baik ; berikhtiaf memperbanyak madrasah - madrasah yang beragama Isla '.. memperhatikan hal- hal yang berhubungan dengan masjid -

Sebagai contoh, kualitas link dalam sel yang melayani bagus, tetapi terdapat sel tetangga yang mempunyai level yang lebih bagus, walaupun tidak diperlukan

Tanaman sawit dapat tumbuh dengan baik pada tanah yang memiliki kemasaman (pH) 5-6 tidak lebih tinggi dari 7 serta tidak lebih rendah dari 4, paling tidak pada kedalaman 1

Disajikan gambar percobaan Ingenhousz, siswa dapat menjelaskan proses yang terjadi pada percobaan tersebut. Butir

Berdasarkan dari hasil analisis data yang telah dilakukan, peneliti menyimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran Means Ends Analysis (MEA) dengan strategi

berpengaruh positif terhadap variabel keunggulan bersaing Menggunaka n variabel yang sama Membahas lebih luas tentang ukm 5 Siti Almaidah STIE Atma Bhakti ( 2019 )

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan minat membaca novel teenlit dengan sikap kreatif siswa di MTs Negeri 1 Bojonegoroi. Variabel dalam penelitian