• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENYUSUNAN PROFIL GENDER KOTA SEMARANG TAHUN 2020

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENYUSUNAN PROFIL GENDER KOTA SEMARANG TAHUN 2020"

Copied!
141
0
0

Teks penuh

(1)

DINAS PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK

Jalan Prof. Soedarto SH No.116, Banyumanik, Kota Semarang, Jawa Tengah 50269. Telp (024) 76402252

LAPORAN AKHIR

PENYUSUNAN

PROFIL GENDER KOTA SEMARANG

TAHUN 2020

(2)

Hal-i

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... Hal-i BAB I PENDAHULUAN ... Hal I-1

1.1. Latar Belakang ... Hal I-1 1.2. Landasan Hukum ... Hal I-4 1.3. Maksud dan Tujuan ... Hal I-5 1.4. Output ... Hal I-5 1.5. Sistematika Laporan Akhir ... Hal I-5

BAB II METODE PELAKSANAAN PEKERJAAN ... Hal II-1

2.1. Perspektif Teori ... Hal II-1 2.2. Kerangka Pikir ... Hal II-14 2.3. Metode ... Hal II-17

BAB III ANALISIS KONDISI KOTA SEMARANG ... Hal III-1

3.1. Kondisi Geografis ... Hal III-1 3.2. Kondisi Demografis ... Hal III-7 3.3. Aspek Sosial Budaya ... Hal III-12

BAB IV ANALISIS DATA GENDER ... Hal IV-1

4.1 Bidang Kesehatan ... Hal IV-1 4.2 Bidang Bidang Pendidikan ... Hal IV-15 4.3 Bidang Ekonomi dan Ketenagakerjaan ... Hal IV-28 4.4 Bidang Politik dan Pengambilan Keputusan ... Hal IV-42 4.5 Bidang Hukum dan Sosial Budaya ... Hal IV-49 4.6 Kekerasan Terhadap Perempuan ... Hal IV-57 4.7 Rumah Tidak Layak Huni ... Hal IV-62

BAB V PERMASALAHAN GENDER PADA MASING-MASING BIDANG

PEMBANGUNAN ... Hal V-1

5.1. Bidang Kesehatan ... Hal V-1 5.2. Bidang Pendidikan ... Hal V-1 5.3. Bidang Ekonomi dan Ketenagakerjaan ... Hal V-1 5.4. Bidang Politik dan Pengambilan Keputusan ... Hal V-2 5.5. Bidang Hukum dan Sosial Budaya ... Hal V-2

(3)

Hal-ii

(4)

I-1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Gender merupakan karakteristik sosial yang membedakan antara perempuan dan laki-laki dalam peran, status relasi yang didapat dengan cara belajar yang memiliki sifat beragam dan dinamis sesuai budaya dan status sosial. Terbentuknya stigma perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan oleh karena disosialisasikan dan dikonstruksikan secara sosial atau kultural melalui proses perkembangan pola berfikir masyarakat.

Kesenjangan gender di Indonesia relatif masih sangat tinggi. Secara nyata tampak dari kondisi ketimpangan gender masih terjadi pada berbagai aspek bidang pembangunan seperti di bidang pendidikan, ekonomi, sosial, budaya dan bidang politik. Tingkat pendidikan perempuan masih tertinggal jauh dengan jenjang pendidikan yang di capai laki-laki. Ketertinggalan perempuan dalam bidang ekonomi terlihat dari kemiskinan yang dialami oleh perempuan yang ditunjukkan dengan rendahnya kualitas hidup dan peran perempuan. Maraknya kasus tindak kekerasan serta rendahnya indeks pembangunan dan pemberdayaan gender adalah indikator ketertinggalan perempuan dibidang sosial dan budaya. Sedangkan masih terbatasnya perempuan yang menjadi anggota legislatif merupakan indikasi masih rendahnya partisipasi perempuan dalam bidang politik. Kondisi ini menggambarkan bahwa permasalahan gender masih menjadi isu strategis yang memerlukan penanganan serius.

Dalam rangka meningkatkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara perlu melakukan strategi pengarusutamaan gender kedalam seluruh proses pembangunan nasional. Pengarusutamaan gender kedalam seluruh proses pembangunan

(5)

I-2 merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kegiatan fungsional semua instansi dan lembaga pemerintah di tingkat Pusat dan Daerah. Isu strategis pengarustamaan gender dituangkan dalam visi pembangunan nasional melalui penghapusan diskriminasi gender. Inpres Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan gender juga menginstruksikan kepada semua pejabat pemerintah baik pusat maupun daerah untuk melaksanakan pengarusutamaan gender guna terselenggaranya perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan yang berspektif gender sesuai bidang tugas dan fungsi, serta kewenangan masing-masing. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 mencantumkan sasaran pembangunan berperspektif gender yaitu peningkatan kualitas hidup perempuan; peningkatan peran perempuan di berbagai bidang kehidupan; pengintegrasian perspektif gender di semua tahapan pembangunan; dan penguatan kelembagaan pengarusutamaan gender, baik di level pusat maupun daerah.

Evaluasi hasil pembangunan perspektif gender menggunakan beberapa indikator, diantaranya adalah Indeks Pembangunan Gender (IPG) dan Indeks Pemberdayaan Gender (IDG). Angka IPG menggambarkan kesenjangan atau gap pembangunan manusia antara laki-laki dan perempuan. IPG merupakan rasio antara Indeks Pembangunan Manusia (IPM) perempuan dan laki-laki. Pembangunan manusia diukur melalui beberapa indikator yaitu angka harapan hidup, rata-rata lama sekolah, harapan lama sekolah, dan pendapatan. Sedangkan IDG mengukur kesetaraan dalam partisipasi politik dan pemberdayaan gender dalam bidang ekonomi.

Berbagai upaya telah dilakukan dalam rangka mengupayakan kesataraan gender. Namun masih terdapat banyak permasalahan yang perlu ditemukan solusi terkait dengan kesenjangan laki-laki dan perempuan dalam memperoleh akses,

(6)

I-3 partisipasi, kontrol berbagai program pembangunan, terutama pendidikan perempuan, penanggulangan kemiskinan dan pengangguran.

Perhatian terhadap isu gender ini sejalan dengan pergeseran paradigma pembangunan dari pendekatan keamanan dan kestabilan (security) menuju pendekatan kesejahteraan dan keadilan (prosperity) atau dari pendekatan produksi ke pendekatan kemanusiaan dalam suasana yang lebih demokratis dan terbuka. Terjadinya perubahan paradigma pembangunan seperti ini, menjadi dasar untuk mengatasi persoalan gender.

Pengarusutamaan Gender mengamanatkan tujuh prasyarat yaitu 1) komitmen politik dan kepemimpinan lembaga, misalnya komitmen yang tertuang dalam renstra; 2) kerangka kebijakan sebagai wujud komitmen pemerintah yang ditujukan bagi perwujudan kesetaraan gender di berbagai bidang pembangunan. (kebijakan, strategi, program, panduan, Juklak/juknis); 3) Struktur dan mekanisme pemerintah yang mendukung pelaksanaan PUG, seperti Pokja PUG, focal point, forum, dan tim; 4) sumber daya yang memadai yaitu sumber daya manusia yang memiliki kepekaan, pengetahuan, dan ketrampilan analisis gender dan sumber dana yang memadai untuk pelaksanaan PUG dan ARG; 5) sistem informasi dan data terpilah menurut jenis kelamin; 6) alat analisis, untuk perencanaan penganggaran, serta monitoring dan evaluasi 7) dorongan masyarakat madani kepada pemerintah dalam pelaksanaan PUG.

Ketujuh prasyarat ini saling berhubungan dan tidak berdiri sendiri. Komitmen untuk melaksanakan PUG menjadi prasyarat utama dari PUG. Untuk dapat merespon kesenjangan gender, perlu dilakukan analisis gender yang didukung dengan data terpilah dan data spesifik gender yang memadai. Sehubungan dengan hal tersebut dan dalam rangka mendorong, mengefektifkan serta mengoptimalkan upaya pengarusutamaan gender secara terpadu dan terkoordinasi, dipandang perlu

(7)

I-4 melakukan penyusunan data statistik berbasis gender. Karenanya, Pemerintah Kota Semarang perlu menyusun data terpilah berdasarkan jenis kelamin dalam berbagai aspek pembangunan yang berbasis teknologi informasi yang dapat memberikan petunjuk secara lebih jelas kepada para penentu kebijakan dan penyusun program kegiatan sehingga penanganan isu gender dapat dilakukan secara cermat dan tepat.

1.2. Landasan Hukum

1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of

Discrimination Against Women) (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 1984 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3277);

2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005–2025 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4700);

3. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4593);

4. Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional;

5. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di Daerah; (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 927)

(8)

I-5

1.3. Maksud dan Tujuan

1.3.1. Maksud

Penyusunan Profil Gender di Kota Semarang disusun dengan maksud untuk memberikan informasi data statistik terpilah berbasis gender serta melihat tingkat keberhasilan pembangunan pemberdayaan perempuan

1.3.2. Tujuan

Tujuan dari penyusunan Profil Gender di Kota Semarang adalah;

1. Tersedianya data terpilah yang dapat menggambarkan kondisi pembangunan gender di bidang kesehatan, pendidikan, Ekonomi dan ketenagakerjaan, Politik dan pengambilan keputusan, hukum dan sosial budaya, serta kekerasan terhadap perempuan di Kota Semarang

2. Tersedianya analisis kondisi capaian pemberdayaan perempuan di Kota Semarang.

1.4. Output

Output yang diharapkan dari kegiatan penyusunan Profil Gender Kota Semarang adalah tersusunya Profil Gender Kota Semarang Tahun 2020.

1.5. Sistematika Laporan Akhir

Sistematika laporan Akhir Pekerjaan Penyusunan Profil Gender Kota Semarang Tahun 2020 adalah sebagai berikut :

1. Bab I Pendahuluan

Pada bab I menguraikan tentang latar belakang, maksud dan tujuan dan output pekerjaan Profil Gender dan Anak Kota Semarang.

(9)

I-6 2. Bab II Metode Pelaksanaan Pekerjaan

Pada bab II menguraikan tentang Kajian Teoritis, Kerangka Pikir, Instrumen Pelaksanaan Kegiatan dan Sistematika Laporan Akhir

3. Bab III Gambaran Umum Kota Semarang

Pada bab III menguraikan tentang Kondisi Geografis dan Astronomis, Kondisi Demografis, Kondisi Pembangunan Manusia dan Kondisi Pembangunan Gender Kota Semarang. 4. Bab IV Jadwal Pelaksanaan Pekerjaan

Pada bab IV menguraikan tentang Jangka Waktu Pelaksanaan Pekerjaan yang digambarkan secara rinci.

5. Bab V Tenaga Ahli

Pada bab V menguraikan tentang Tenaga Ahli dan Lingkup Pekerjaan Profil Gender dan Anak Kota Semarang

(10)

II-1

BAB II

METODE PELAKSANAAN PEKERJAAN

2.1. PERSPEKTIF TEORI

2.1.1. Konsep dan Definisi

1. Gender

Pengertian gender dengan penafsiran berbeda-beda kerap menimbulkan respon yang tidak proporsional. Secara etimologis, kata gender dalam bahasa Indonesia dipinjam dari bahasa Inggris yang secara harfiah “gender” berarti jenis kelamin1.

Kamus Inggris Indonesia, kata Gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat2. Dalam Webster‟s New World

Dictionary, Edisi 1984 „gender‟ diartikan sebagai „perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku‟. Sementara itu dalam Concise Oxford

Dictionary of Current English Edisi 1990, kata „gender‟ diartikan

sebagai penggolongan gramatikal terhadap kata-kata benda dan kata-kata lain yang berkaitan 3 dengannya, yang secara garis besar berhubungan dengan jenis kelamin serta ketiadaan jenis kelamin (atau kenetralan).

Mengacu pada pendapat Mansour Faqih, Gender adalah suatu sifat yang melekat pada laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya bahwa perempuan itu lemah lembut, cantik, emosional, dan sebagainya. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional,

1

John M.Echols dan Hasan Sadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia, cet XII, 1983), h.265

2

(11)

II-2 jantan, perkasa, dan tidak boleh menangis. Ciri dan sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Perubahan ciri dan sifat tersebut dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ketempat yang lain, juga perubahan tersebut bisa terjadi dari kelas ke kelas masyarakat yang berbeda. Semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat perempuan dan laki-laki yang bisa bisa berubah, baik itu waktu maupun kelas.

Masih dalam buku yang sama, Mansour faqih mengungkapkan bahwa sejarah perbedaan gender terjadi melalui proses yang sangat panjang. Perbedaan Gender terbentuk oleh banyak hal yang disosialisasikan, diajarkan, yang kemudian diperkuat dengan mengkonstruksinya baik secara sosial maupun kultural. Melalui proses panjang tersebut pada akhirnya diyakini sebagai sesuatu yang kodrati baik bagi kaum laki-laki maupun perempuan, hal ini kemudian direfleksikan sebagai sesuatu yang dianggap alami dan menjadi identitas gender yang baku. Identitas gender adalah definisi seseorang tentang dirinya, sebagai laki-laki atau perempuan, yang merupakan interaksi kompleks antara kondisi biologis dan berbagai karakteristik perilaku yang dikembangkan sebagai hasil proses sosialisasi3.

Pengertian gender yang lebih kongkrit dan lebih operasional dikemukakan oleh Nasarudin Umar bahwa gender adalah konsep kultural yang digunakan untuk memberi identifikasi perbedaan dalam hal peran, perilaku dan lain-lain antara laki-laki dan perempuan yang berkembang di dalam masyarakat yang didasarkan pada rekayasa sosial4.

Lebih lanjut Nasarudin Umar menjelaskan bahwa penentuan peran gender dalam berbagai sistem masyarakat,

3

Mansour Faqih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 8-9

4

Nasarudin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an, Jakarta : Paramadina, 2001,h.35

(12)

II-3 kebanyakan merujuk kepada tinjauan biologis atau jenis kelamin. Masyarakat selalu berlandaskan pada diferensiasi spesies antara laki-laki dan perempuan. Organ tubuh yang dimiliki oleh perempuan sangat berperan pada pertumbuhan kematangan emosional dan berpikirnya. Perempuan cenderung tingkat emosionalnya agak lambat. Sementara laki-laki yang mampu memproduksi dalam dirinya hormon testosterone membuat ia lebih agresif dan lebih obyektif.

Istilah gender menurut Oakley (1972) berarti perbedaan atau jenis kelamin yang bukan biologis dan bukan kodrat Tuhan. Sedangkan menurut Caplan (1987) menegaskan bahwa gender merupakan perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan selain dari struktur biologis, sebagian besar justru terbentuk melalui proses sosial dan kultural. Gender dalam ilmu sosial diartikan sebagai pola relasi lelaki dan perempuan yang didasarkanpada ciri sosial masing-masing (Zainuddin, 2006: 1).

Menurut para ahli lainnya seperti Hilary M. Lips mengartikan gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan (cultural expectations for women and

men). H. T. Wilson mengartikan gender sebagai suatu dasar

untuk menentukan perbedaan sumbangan laki-laki dan perempuan pada kebudayaan dan kehidupan kolektif yang sebagai akibatnya mereka menjadi laki-laki dan perempuan. Sedangkan Linda L. Lindsey menganggap bahwa semua ketetapan masyarakat perihal penentuan seseorang sebagai laki-laki dan perempuan adalah termasuk bidang kajian gender (What a given society defines as masculine or feminim is a

component of gender). Elaine Showalter menegaskan bahwa

gender lebih dari sekedar pembedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari konstruksi sosial-budaya (NasaruddinUmar, 2010: 30).

(13)

II-4 Dari pengertian gender menurut para ahli di atas dapat diambil kesimpulan bahwa gender adalah seperangkat sikap, peran, tanggung jawab, fungsi, hak, dan perilaku yang melekat pada diri laki-laki dan perempuan akibat bentukan budaya atau lingkungan masyarakat tempat manusia itu tumbuh dan dibesarkan. Artinya perbedaan sifat, sikap dan perilaku yang dianggap khas perempuan atau khas laki-laki atau yang lebih populer dengan istilah feminitas dan maskulinitas, terutama merupakan hasil belajar seseorang melalui suatu proses sosialisasi yang panjang di lingkungan masyarakat, tempat ia tumbuh dan dibesarkan.

2. Pengarusutamaan Gender

Pengarusutamaan gender adalah strategi yang digunakan untuk mengurangi kesenjangan antara penduduk laki-laki dan perempuan Indonesia dalam mengakses dan mendapatkan manfaat pembangunan, serta meningkatkan partisipasi dan mengontrol proses pembangunan. Pengarusutamaan gender berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional adalah strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional. PUG bertujuan untuk menurunkan kesenjangan antara perempuan dan laki-laki Indonesia dalam mengakses dan memperoleh manfaat pembangunan, serta meningkatkan partisipasi dalam dan penguasaan terhadap proses pembangunan.

Pelaksanaan PUG berdasarkan amanat dari Instruksi Presiden (Inpres) No. 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender mengharuskan semua instansi pemerintah di tingkat nasional dan daerah, untuk mengarusutamakan gender ke dalam perencanaan, implementasi, monitoring dan evaluasi

(14)

II-5 seluruh kebijakan dan program. Menurut Inpres tersebut, Kementrian dan lembaga ditingkat nasional dan lokal harus mengatasi persoalan ketidak-setaraan gender dan menghapuskan dikriminasi gender.

Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarustamaan Gender di Daerah Permendagri 67 Tahun 2011, Pengarustamaan gender (PUG) adalah strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan di daerah. Pengarustamaan gender mengalami perkembangan secara bertahap dari kesepakatan internasional menjadi kebijakan pembangunan di tingkat pemerintah pusat, hingga menjadi kebijakan pembangunan pada semua lini pemerintahan dari pusat hingga provinsi dan kabupaten/kota.

Istilah tentang PUG pertama kali dikemukakan oleh PBB melalui The Jakarta Plan of Action (JPA) for The Advancement of

Women in Asia and Pacific pada bulan Juni 1994 yang

kemudian diadopsi dalam pembahasan pada Konferensi Tingkat Menteri Asia Pasifik II mengenai Wanita Dalam Pembangunan5.

Istilah PUG muncul dalam sebuah rencana aksi yang disusun oleh PBB dalam rangka meningkatkan perhatian terhadap kebijakan dan program yang mengandung pengarusutamaan gender (mainstreaming gender concern public policy and

program). Diseminasi tentang PUG pertama kali dikemukakan

oleh PBB dalam Konferensi PBB untuk Perempuan ke IV di Beijing tahun 1995. Konferensi yang dihadiri oleh Negara-negara anggota PBB tersebut menetapkan rekomendasi tekait dengan peningkatan akses dan partisipasi perempuan dalam

5

Biro perencanaan dan Keuangan Sekretariat Jenderal Departemen Keuangan. Diakses melalui

http://www.rocankeu.depkeu.go.id/www/web-datacontent-baca.asp.28.html pada tanggal 27 Mei

(15)

II-6 berbagai bidang pembangunan yang disebut sebagai Beijing

Declaration and Platform for Action atau Deklarasi Beijing dan

Kerangka Tindak. Pemikiran ini didasari oleh fenomena yang terjadi secara global tentang kesenjangan gender dalam berbagai bidang pembangunan yaitu masih belum terintegrasikannya pendekatan sensitive gender (masih bias gender) sehingga rentan meninmbulkan permasalahan gender dalam implementasinya.

Deklarasi Beijing mengangkat beberapa isu global yang saat itu terjadi hampir diseluruh belahan dunia. Beberapa isu yang diangkat dalam penyusunan Deklarasi Beijing6, adalah:

1) Perempuan dan Kemiskinan,

2) Pendidikan dan Pelatihan Bagi Perempuan, 3) Perempuan dan Kesehatan,

4) Kekerasan Terhadap Perempuan, 5) Perempuan dan Konflik Bersenjata, 6) Perempuan dan Ekonomi,

7) Perempuan dan Kekuasaan serta Pengambilan Keputusan, 8) Mekanisme Kelembagaan Untuk Kemajuan Perempuan, 9) Hak Asasi Perempuan,

10) Perempuan dan Media,

11) Perempuan dan Lingkungan Hidup, serta 12) Anak Perempuan.

Deklarasi Beijing mendapatkan respon yang cukup positif baik dalam lingkup Nasional maupun Internasional. Pemerintah Indonesia menindaklanjuti dengan mengitegrasikan PUG kedalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) pada Tahun 1999-2004. Kondisi ini diperkuat dengan diterbitkannya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembanunan Nasional yang mengamanatkan kepada jajaran pemerintah, baik pusat, provinsi maupun kabupaten/kota untuk melaksanakan pengarusutamaan gender guna terselenggaranya perencanaan,

6

Kementerian Negara PemberdayaanPerempuandanPerlindunganAnak.Pembangunan ManusiaBerbasis Gender 2012. 2012.

(16)

II-7 penyusunan, pelaksanaan, pemantauan,dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional yang berperspektif gender sesuai dengan bidang tugas dan fungsi, serta kewenangan masing-masing.

Pada tahun 2000 sebanyak 189 negara anggota PBB menyepakati tentang sebuah Dokumen Perencanaan Pembangunan yang disebut dengan Millenium Development Goals (MDGs). Dokumen ini berisi tentang komitmen masing-masing Negara dalam mengentaskan 8 permasalahan yang menjadi focus dalam MDGs, yang salah satunya adalah Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan (tujuan ke 3).Tujuan ketiga MDGs tersebut memiliki target mengurangi ketidaksetaraan dan diskriminasi gender dalam pendidikan dasar dan menengah terutama untuk tahun 2005 dan untuk semua tingkatan pada tahun 2015.

Meskipun telah dikumandangkan dalam waktu yang relatif lama, tindak lanjut terhadap pelaksanaan PUG di daerah masih belum memiliki prestasi yang signifikan. Sejak diterbitkan Inpres Nomor 9 Tahun 2000 dan dilanjutkan dengan Kepmendagri 132 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan PUG dalam Pembangunan Daerah, pemerintah daerah masih belum memiliki komitmen yang kuat dalam melaksanakan PUG didaerah. Pergerakan terhadap pelaksanaan PUG ditunjukkan sejak diterbitkannya Permendagri 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan di Daerah yang diperbaharui dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 67 Tahun 2011. Permendagri 15 Tahun 2008 jo Peremendagri 67 Tahun 2011 mengamanatkan kepada seluruh pemerintah daerah untuk mengintegrasikan PUG kedalam dokumen perencanaan daerah meliputi, RPJMD, RKPD, Renstra OPD, dan Renja OPD.

(17)

II-8

3. Kesenjangan Gender

Dikatakan terjadi kesenjangan gender apabila salah satu jenis kelamin berada dalam keadaan tertinggal dibandingkan jenis kelamin lainnya (Laki-laki lebih banyak dari perempuan atau sebaliknya)

4. Kesetaraan Gender

Kesetaraan Gender diartikan sebagai kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan nasional, dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut (Permendagri 15 tahun 2008). Kesetaraan gender mengacu pada tujuan agar perempuan dan laki-laki memiliki status yang setara dalam hal keberadaan mereka di berbagai bidang pembangunan, diantaranya untuk: (1) Berpartisipasi mencapai haknya mengambil keputusan di dalam rumah maupun di ruang publik; (2) Memberi kontribusi pada ranah politik, ekonomi, dan sosial, dan (3) Menikmati manfaat partisipasinya.

Saat ini konsep kesetaraan gender mengacu pada upaya memberikan kondisi yang adil bagi perempuan dan memberikan perlakuan yang adil seperti bila mereka pada status yang sama. Kesetaraan gender berarti mengakui perbedaan perempuan dan laki-laki dan perbedaan peran mereka di masyarakat. Oleh karenanya, kesetaraan gender menggarisbawahi bahwa perbedaan perempuan dan laki-laki seharusnya tidak memberi dampak negatif pada kehidupan mereka. Bahkan mereka dapat untuk saling berbagi dan bertukar peran dan kekuasaan dalam berbagai aspek kehidupan. Kesetaraan gender berbasis pada upaya menjawab persoalan ketidakadilan perempuan dan laki-laki, tidak terbatas pada penetapan angka quota keterwakilan semata, seperti yang dibayangkan banyak orang.

(18)

II-9 Kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional (hankamnas) serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan. Terwujudnya kesetaraan gender ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, dan dengan demikian mereka memiliki akses, kesempatan berpartisipasi, kontrol atas pembangunan dan memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan. Adapun indikator kesetaraan gender adalah sebagai berikut:

(1) Akses

Aspek akses merupakan peluang atau kesempatan dalam memperoleh atau menggunakan sumber daya tertentu. Mempertimbangkan bagaimana memperoleh akses yang adil dan setara antara perempuan dan laki-laki, anak perempuan dan laki-laki terhadap sumberdaya yang akan dibuat. Sebagai contoh dalam hal pendidikan bagi anak didik adalah akses memperoleh beasiswa melanjutkan pendidikan untuk anak didik perempuan dan laki-laki diberikan secara adil dan setara atau tidak.

(2) Partisipasi

Aspek partisipasi merupakan keikutsertaan atau partisipasi seseorang atau kelompok dalam kegiatan dan atau dalam pengambilan keputusan. Dalam hal ini perempuan dan laki-laki apakah memiliki peran yang sama dalam pengambilan keputusan di tempat yang sama atau tidak.

(3) Kontrol

Aspek kontrol merupakan penguasaan atau wewenang atau kekuatan untuk mengambil keputusan. Dalam hal ini apakah pemegang jabatan tertentu sebagai pengambil keputusan didominasi oleh gender tertentu atau tidak.

(19)

II-10

(4) Manfaat

Aspek manfaat merupakan kegunaan yang dapat dinikmati secara optimal. Keputusan yang diambil oleh sekolah memberikan manfaat yang adil dan setara bagi perempuan dan laki-laki atau tidak.

5. Keadilan Gender

Keadilan Gender adalah suatu proses untuk menjadi adil terhadap laki-laki dan perempuan (Permendagri 15 tahun 2008). Keadilan gender dapat terwujud apabila terdapat perlakuan adil antara perempuan dan laki-laki. Sebaliknya, ketidakadilan atau diskriminasi gender merupakan kondisi tidak adil yang dialami oleh perempuan maupun laki-laki akibat dari sistem dan struktur sosial yang berlaku di masyarakat. Ketidakadilan gender ini terjadi karena adanya keyakinan dan pembenaran yang ditanamkan sepanjang peradaban manusia dalam berbagai bentuk. Ketidakadilan gender ini tidak hanya menimpa perempuan, tetapi juga banyak dialami oleh laki–laki.

Keadilan gender adalah suatu proses dan perlakuan adil terhadap perempuan dan laki-laki. Dengan keadilan gender berarti tidak ada pembakuan peran, beban ganda, subordinasi, marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan maupun laki-laki. Ketidakadilan gender (gender inequalities) merupakan sistem dan struktur di mana baik kaum laki-laki dan perempuan menjadi korban dari sistem tersebut. Ketidakadilan gender menurut beberapa pakar timbul dalam bentuk:

(1) Stereotype

Pelabelan atau penandaan yang seringkali bersifat negatif secara umum dan melahirkan ketidakadilan. Sebagai contoh, perempuan sering digambarkan emosional, lemah, cengeng, tidak rasional, dan sebagainya. Stereotype tersebut yang kemudian menjadikan perempuan selama ini

(20)

II-11 ditempatkan pada posisi domestik, kerapkali perempuan di identikan dengan urusan masak, mencuci, dan seks (dapur, sumur, dan kasur).

(2) Kekerasan (Violence)

Kekerasan berbasis gender, kekerasan tersebut terjadi akibat dari ketidak seimbangan posisi tawar (bargaining position) atau kekuasaan antara perempuan dan laki-laki. Kekerasan terjadi akibat konstruksi peran yang telah mendarah daging pada budaya patriarkal yang menempatkan perempuan pada posisi lebih rendah. Cakupan kekerasan ini cukup luas, diantaranya eksploitasi seksual, pengabaian hak-hak reproduksi, trafficking, perkosaan, pornografi, dan sebagainya.

(3) Marginalisasi

Peminggiran terhadap kaum perempuan terjadi secara multidimensional yang disebabkan oleh banyak hal bisa berupa kebijakan pemerintah, tafsiran agama, keyakinan, tradisi dan kebiasaan, atau pengetahuan (Mansour Faqih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h.14). Salah satu bentuk paling nyata dari marginalisasi ini adalah lemahnya peluang perempuan terhadap sumber-sumber ekonomi. Proses tersebut mengakibatkan perempuan menjadi kelompok miskin karena peminggiran terjadi secara sistematis dalam masyarakat.

(4) Subordinasi

Penomorduaan (subordinasi) ini pada dasarnya merupakan keyakinan bahwa jenis kelamin tertentu dianggap lebih penting atau lebih utama dibanding jenis kelamin lainnya (Leli Nurohmah dkk, Kesetaraan Kemajemukan dan Ham, Jakarta: Rahima, h. 13). Hal ini berakibat pada kurang diakuinya potensi perempuan sehingga sulit mengakses

(21)

II-12 posisi-posisi strategis dalam komunitasnya terutama terkait dengan pengambilan kebijakan.

(5) Beban Kerja Lebih Panjang Dan Lebih Banyak (Double Burden)

Adanya anggapan bahwa perempuan memiliki sifat memelihara dan rajin serta tidak cocok untuk menjadi kepala keluarga berakibat bahwa semua pekerjaan domestik rumah tangga menjadi tanggung jawab perempuan (Mansour Faqih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007, h.21). Untuk keluarga miskin perempuan selain bertanggung jawab terhadap pekerjaan domestik, mereka juga mencari nafkah sebagai sumber mata pencarian tambahan keluarga, ini menjadikan perempuan harus bekerja ekstra untuk mengerjakan kedua bebannya.

6. Data Terpilah

Data adalah kumpulan nilai variabel yang dinyatakan dalam bentuk kuantitatif atau kualitatif. Data adalah keterangan mengenai sesuatu hal yang sudah sering terjadi dan berupa himpunan fakta, angka, grafik, tabel, gambar, lambang, kata, huruf-huruf yang menyatakan sesuatu pemikiran, objek, serta kondisi dan situasi. Data dapat digunakan untuk menilai tentang sebuah kondisi berdasarkan nilai yang dihasilkan oleh data tersebut, tidak terkecuali tentang kondisi pembangunan gender. Kondisi tentang ketimpangan ataupun keseteraan dan keadilan gender dapat dianalisis dan dinilai melalui sebuah data terpilah atau disebut dengan data gender. Data gender, berdasarkan jenisnya, dapat diklasifikasi kedalam dua jenis yaitu data kualitatif dan data kuantitatif. Data gender yang dinominasikan dalam sebuah satuan yang rigid, dihasilkan melalui sebuah formula perhitungan, serta bernominasikan angka disebut dengan data kuantitatif. Adapun data yang

(22)

II-13 bersifat keterangan atau pendapat yang menggambarkan tentang sebuah kondisi ketimpangan atau kesetaraan dan keadilan gender disebut dengan data kualitatif.

Penyediaan data, analisis dan pelaporan terpilah menurut jenis kelamin dimaksudkan untuk menyajikan data dan informasi tentang pengalaman khusus perempuan dan laki-laki. Data terpilah berdasarkan jenis kelamin menjadi inti dalam menghasilkan Profil Gender yaitu informasi yang mengandung isu gender sebagai hasil dari analisis gender. Data gender menjadi elemen pokok bagi terselenggaranya pengarusutamaan gender (PUG) diberbagai urusan pembangunan. Sumber data pilah dapat berasal dari Hasil studi baseline (idealnya harus dilakukan studi baseline sebelum kebijakan/program/kegiatan dimulai) maupun hasil intervensi kebijakan/program/kegiatan yang sedang dan sudah dilakukan ataupun data yang berupa pencatatan pelaporan internal K/L/SKPD tentang intervensi, baik yang sudah dan/atau yang sedang dilakukan.

Data pilah berdasarkan fungsinya terbagi kedalam 3 (tiga) kategori, yaitu:

1. Merupakan data atau informasi untuk memperlihatkan adanya kesetaraan gender yang tidak membedakan laki-laki dan perempuan terhadap akses, partisipasi, manfaat, kontrol terhadap sumber daya dan pembangunan;

2. Merupakan data yang dibedakan menurut isu siklus kehidupan masyarakat menurut jenis kelamin dan kelompok usia baik usia anak, usia remaja, usia dewasa/produktif dan lansia secara spasial (kewilayahan), kelompok masyarakat dan statifikasi sosial ekonomi.

3. Merupakan data insiden khusus yang tidak bisa diperbandingkan antar jenis kelamin.

(23)

II-14

7. Profil Gender

Profil gender diperlukan untuk memberikan bukti sebagai dasar penelitian dan pengembangan permasalahan dan isu gender di daerah. Profil gender, yaitu informasi yang mengandung data gender termasuk didalamnya data anak, sebagai bahan dalam analisis gender. Data gender dan anak menjadi elemen pokok bagi terselenggaranya pengarusutamaan gender (PUG) dan pemenuhan hak anak diberbagai bidang pembangunan agar responsif gender dan responsif terhadap pemenuhan hak anak. Profil gender memiliki peran penting dalam meningkatkan sistem statistik keseluruhan, mendorongnya untuk menggambarkan lebih akurat secara penuh kegiatan dan karakteristik seluruh penduduk, yang terdiri dari perempuan dan laki-laki.

2.1.2. Indikator Gender

Kebutuhan penggambaran data gender dan anak-pun tidak mungkin dibatasi hanya yang terkait dengan kewenangan urusan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, namun juga amanat lainya atau yang muncul setelah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah diundangkan, antara lain adalah : CEDAW, Beijing Platform for Action 1995, Konvensi Hak Anak (KHA), Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB)/SDGs, Indikator Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA), Indikator Anugerah Parahita Ekapraya (APE), dan Indikator Kinerja Kunci (IKK) yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk urusan PPPA, serta indikator lainnya yang masih relevan.

2.2. KERANGKA PIKIR

Pengarusutamaan Gender mengamanatkan tujuh prasyarat yaitu 1) komitmen politik dan kepemimpinan lembaga, misalnya komitmen yang tertuang dalam renstra; 2) kerangka kebijakan

(24)

II-15 sebagai wujud komitmen pemerintah yang ditujukan bagi perwujudan kesetaraan gender di berbagai bidang pembangunan. (kebijakan, strategi, program, panduan, Juklak/juknis); 3) Struktur dan mekanisme pemerintah yang mendukung pelaksanaan PUG, seperti Pokja PUG, focal point, forum, dan tim; 4) sumber daya yang memadai yaitu sumber daya manusia yang memiliki kepekaan, pengetahuan, dan ketrampilan analisis gender dan sumber dana yang memadai untuk pelaksanaan PUG dan ARG; 5) sistem informasi dan data terpilah menurut jenis kelamin; 6) alat analisis, untuk perencanaan penganggaran, serta monitoring dan evaluasi 7) dorongan masyarakat madani kepada pemerintah dalam pelaksanaan PUG.

Ketujuh prasyarat ini saling berhubungan dan tidak berdiri sendiri. Untuk dapat merespon kesenjangan gender, perlu dilakukan analisis gender yang didukung dengan data terpilah dan data spesifik gender yang memadai. Sehubungan dengan hal tersebut dan dalam rangka mendorong, mengefektifkan serta mengoptimalkan upaya pengarusutamaan gender secara terpadu dan terkoordinasi, dipandang perlu melakukan penyusunan Profil Gender.

Penyusunan Profil Gender Kota Semarang dilakukan dengan memperhatikan Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Data Gender dan Anak dan Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Data Gender Dan Anak. Kerangka pikir penyusunan Profil Gender Kota Semarang dapat dilihat pada bagan berikut.

(25)

II-16

Grafik 2.1 Kerangka Pikir Penyusunan Profil Gender Kota Semarang

Identifikasi Indikator Gender

1. CEDAW (Konvensi

Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan)

2. Beijing Platform for Action 1995

3. Konvensi Hak Anak (KHA) 4. Tujuan Pembangunan

Berkelanjutan (TPB)/Sustainable

Development Goals (SDGs) 5. Indikator Kabupaten/Kota

Layak Anak (KLA)

6. Indikator Anugerah Parahita Ekapraya (APE)

7. Indikator Kinerja Kunci (IKK) Urusan PPPA

Data Sekunder/Data Primer

Situasi

Pengarustamaan

Gender

Analisis Data Gender (Triangulasi)

1. PENDAHULUAN 2. GAMBARAN UMUM 3. KERANGKA TEORI

4. SITUASI PENGARUSTAMAAN GENDER: 1) KELEMBAGAAN PENGARUSTAMAAN

GENDER DAN HAK ANAK 2) BIDANG KESEHATAN 3) BIDANG PENDIDIKAN 4) BIDANG EKONOMI DAN

KETENAGAKERJAAN

5) BIDANG POLITIK DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN

6) BIDANG HUKUM DAN SOSIL BUDAYA 7) PEMENUHAN HAK ANAK MENUJU

KABUPATEN/KOTA LAYAK ANAK 8) PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN

PERLINDUNGAN KHUSUS ANAK 5. PENUTUP

Statistik dan Analisis Gender

(26)

II-17

2.3. METODE

2.3.1. Teknik Pegumpulan Data

Pengumpulan data sekunder dan data primer dalam penyusunan profil gender dilakukan melalui beberapa aktivitas, meliputi studi pustaka dan wawancara dengan perangkat daerah terkait melalui desk data realisasi atau data target.

1. Studi Pustaka.

Data yang diperlukan dikumpulkan dari berbagai publikasi atau dokumen yang relevan seperti Provinsi dan Kota Semarang Dalam Angka, serta Data dan Informasi Kemiskinan yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), baik di tingkat Kota Semarang, Provinsi Jawa tengah, maupun Nasional.

2. Wawancara.

Wawancara dalam hal ini menggunakan instrumen tabulasi data gender dan anak melalui desk dengan Perangkat Daerah terkait.

2.3.2. Teknis Penyajian Data

Penyajian data dapat dilakukan sesudah kegiatan pengolahan atau kegiatan analisis data, terdapat berbagai teknik statistik yang dapat diterapkan mulai dari yang sederhana sampai yang kompleks untuk menganalisis data tergantung jenis data serta tujuan penelitian. Bentuk umum cara penyajian data/hasil analisis, yaitu:

1. TEKS atau NARASI (N)

Penyajian data dalam bentuk narasi adalah cara penyajian yang paling konvensional. Tidak ada satu aturan yang ketat mengenai hal ini. Tujuannya adalah agar kita mampu mengambil intisari atau ringkasan dari sekelompok data yang tersedia untuk disajikan dalam bentuk narasi agar para pengguna data dapat memahaminya dengan baik.

(27)

II-18

2. TABEL (T)

Tabel adalah model penyajian data yang disusun dalam baris dan kolom. Tabel berupa kumpulan angka-angka atau data berdasarkan kategori tertentu. Suatu tabel minimal memuat: judul tabel, judul kolom, judul baris, nilai pada setiap baris dan kolom, serta sumber yang menunjukkan dari mana data tersebut diperoleh.

Berdasarkan pengaturan baris dan kolom, suatu tabel dapat dibedakan dalam beberapa bentuk, misalnya tabel satu arah, tabel dua arah atau lebih (tabel silang).

3. DIAGRAM atau GRAFIK (G)

Diagram/Gambar adalah bentuk penyajian secara visual lebih atraktif dibanding tabel, terdapat bentuk diagram/grafik antara lain diagram garis, diagram batang dan diagram lingkaran.

Diagram garis atau line chart digunakan untuk melihat perkembangan suatu variabel terhadap waktu, sehingga secara jelas tampak ke arah mana perkembangan variabel tersebut apakah menaik, mendatar, atau menurun.

Diagram batang atau column chart digunakan untuk melihat perbandingan besaran nilai data yang ditunjukkan oleh panjang batang dalam diagram.

Digram lingkaran atau pie chart digunakan untuk melihat komposisi data dalam berbagai kelompok atau kategori yang disajikan dalam persentase.

2.3.3. Teknis Analisis Data

Sifat analisis dari kegiatan penyusunan Profil Gender Kota Semarang ini adalah analisis deskriptif, yaitu berusaha untuk menggambarkan stuasi pembangunan gender yang sudah berjalan saat ini serta melakukan analisis atas tantangan dan keberhasilan yang ada untuk dapat memberikan rekomendasi untuk

(28)

II-19 pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di masa mendatang. Teknik analisis menggunakan teknik analisis triangulasi.

Mentriangulasi (triangulate) sumber-sumber data yang berbeda dengan memeriksa bukti-bukti yang berasal dari sumber-sumber tersebut dan menggunakannya untuk membangun justifikasi tema-tema secara koheren. Tema-tema yang dibangun berdasarkan sejumlah sumber data atau perspektif dari partisipan akan menambah validitas penelitian.

William wiersma dalam Sugiyono7 (2016: 372-374),

mengartikan triangulasi sebagai pengecekan data dari berbagai sumber, cara dan waktu sehingga terdapat tiga (3) cara triangulasi yakni triangulasi sumber, triangulasi teknik dan triangulasi waktu, yang diuraikan sebgai berikut:

a. Triangulasi sumber, merupakan uji validitas dengan cara mengecek data yang diperoleh dari sumber yang berbeda. b. Triangulasi teknik, merupakan uji kredibilitas dengan

mengecek data kepada sumber yang sama melalui teknik yang berbeda, bisa menggunakan wawancara, yang dilanjutkan dicek dengan studi kepustakaan, dokumentasi, dan observasi. c. Triangulasi waktu, merupakan uji data dengan sumber yang

sama pada waktu yang berbeda.

Teknik triangulasi yang digunakan pada penyusunan Profil Gender Kota Semarang kali ini lebih mengacu kepada teknik triangulasi sumber yakni menguji validitas atau keabsahan data yang diperoleh dari sumber berbeda pada masing-masing perangkat daerah terkait dengan permasalahan pengarusutamaan gender di Kota Semarang.

7 Sugiyono. 2016. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan

(29)

II-20

2.3.4. Identifikasi Indikator Gender

Dari hasil telaahan beberapa amanat yang meliputi CEDAW (Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan), Beijing Platform for Action 1995, Konvensi Hak Anak (KHA), Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB)/Sustainable Development Goals (SDGs), Indikator Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA), Indikator Anugerah Parahita Ekapraya (APE), dan Indikator Kinerja Kunci (IKK) yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk urusan PPPA, sehingga teridentifikasi indikator-indikator yang menjadi gambaran data gender dan anak sebagai berikut:

(30)

II-21

Tabel 2.1

Hasil Identifikasi Indikator Gender

Dalam Rangka Penyusunan Profil Gender Kota Semarang

No. Sub Urusan Indikator Kinerja Data/Produsen Sumber

Data

Keterangan 1. CEDAW, 2. BPFA,

3. KHA, 4. SDGs, 5. KLA, 6. APE, 7. IKK Urusan PPPA

(1) (2) (3) (4) (6)

1. Kualitas Hidup Perempuan Impact:

Pelembagaan PUG pada lembaga pemerintah

tingkat kabupaten/kota. Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) Badan Pusat Statistik 1,2,7

Pemberdayaan perempuan bidang politik, hukum, sosial dan ekonomi pada organisasi

kemasyarakatan tingkat Daerah

kabupaten/kota.

Outcome:

Penguatan dan pengembangan lembaga penyedia layanan pemberdayaan perempuan tingkat Daerah kabupaten/kota

Berdasarkan Kewenangan PPPA:

1. Persentase perangkat daerah yang telah

melembagakan dan melaksanakan PUG Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

1,2,4 (5.1.1*),7 2. Jumlah kebijakan dalam rangka

peningkatan keterwakilan perempuan di lembaga legislatif

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

1,2,4 (5.1.1*),7 3. Jumlah kebijakan dalam rangka

peningkatan proporsi perempuan sebagai pengambil keputusan di lembaga eksekutif

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

1,2,4 (5.1.1*),7 4. Jumlah kebijakan dalam rangka

peningkatan proporsi perempuan di posisi manajerial

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

1,2,4 (5.1.1*),7 Keseteraan Gender Bidang Pendidikan

1. Harapan Lama Sekolah Badan Pusat Statistik

1,2,7 2. Rata-Rata Lama Sekolah Badan Pusat

Statistik

(31)

II-22

No. Sub Urusan Indikator Kinerja

Sumber Data/Produsen Data Keterangan 1. CEDAW, 2. BPFA, 3. KHA, 4. SDGs, 5. KLA, 6. APE, 7. IKK Urusan PPPA

(1) (2) (3) (4) (6)

3. Angka Partisipasi Sekolah Badan Pusat

Statistik 1,2,7

4. Angka Partisipasi Murni Pendidikan 1,2,4 (1.4.1.g/h/i),7 5. Angka Partisipasi Kasar Pendidikan 1,2,4 (4.1.1.d/e/f),7 6. Angka Putus Sekolah Pendidikan 1,2,7

7. Penduduk Usia Kerja 15 tahun ke atas menurut tingkat pendidikan terakhir yang ditamatkan

Tenaga Kerja 1,2,7 8. Peyandang Disabilitas Berdasarkan

Karakteristik Pekerjaan Kesehatan 1,2,4,7 9. Akses Penggunaan Internet Pada

Perempuan Komunikasi dan Informatika 1,2,4 (4.4.1*),7 Keseteraan Gender Bidang Kesehatan

1. Angka Harapan Hidup (AHH) Badan Pusat

Statistik 1,2,7

2. Perempuan Penderita HIV/AIDS Kesehatan 1,2,4 (3.3.1.a),7 3. Angka Kematian Ibu Melahirkan Kesehatan 1,2,4 (3.1.1*),7 Kesetaraan Gender Bidang Ketenagakerjaan

1. Proporsi perempuan yang berada di posisi managerial

Badan Pusat Statistik

1,2,4 (5.5.2*),7 2. Sumbangan Perempuan dalam Pendapatan

Kerja

Badan Pusat Statistik

1,2,7 3. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Badan Pusat

Statistik

1,2,7 4. Tingkat Pengangguran Terbuka Badan Pusat

Statistik 1,2,4 (8.5.2*),7 5. Setengah Penganggur Badan Pusat

Statistik 1,2,7 6. Tingkat Kesempatan Kerja Badan Pusat

Statistik 1,2,4 (8.5.2.a),7 7. Perempuan Bekerja di Sektor Formal & Tenaga Kerja 1,2,4 (8.3.1*/a/b),7

(32)

II-23

No. Sub Urusan Indikator Kinerja

Sumber Data/Produsen Data Keterangan 1. CEDAW, 2. BPFA, 3. KHA, 4. SDGs, 5. KLA, 6. APE, 7. IKK Urusan PPPA

(1) (2) (3) (4) (6)

Informal

8. Pekerjaan Rentan Tenaga Kerja 1,2,4 (8.3.1.b),7 9. Pekerja Migran Tenaga Kerja 1,2,4 (10.7.2.a/b),7 Kesetaraan Gender Bidang Politik

1. Proporsi kursi yang diduduki perempuan di parlemen tingkat pusat

Badan Pusat Statistik

1,2,4 (5.5.1*),7 2. Persentase keterwakilan perempuan sebagai

pengambilan keputusan di lembaga eksekutif.

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

1,2,4 (16.7.1.b ),7 Kesetaraan Gender Bidang Hukum

 Perempuan di Yudikatif Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

1,2,7 Kesetaraan Gender Bidang Ekomomi

1. Pengeluaran Per Kapita Badan Pusat Statistik

1,2,7 2. Pelaku Usaha Perempuan

(wirausaha/pengusaha)

Koperasi dan UKM 1,2,4 (8.3.1*/a/b),7 3. Perempuan Anggota Koperasi Koperasi dan UKM 1,2,4

(8.3.1*/a/b/c),7

4. Perempuan Miskin Sosial 1,2,4

(1.2.1*/10.1.1.a),7 Kesetaraan Gender Bidang Sosial Budaya

 Perkawinan Anak Pemberdayaan

Perempuan dan Perlindungan Anak

1,2,4

(3.7.2*/5.3.1.b),7 Kelembagaan dan Pelembagaan PUG

1. Jumlah Kebijakan dan Peraturan Perundangan tentang Pengarustamaan Gender tingkat Nasional

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

1,2,4 (5.1.1*),6 2. Jumlah Kebijakan dan Peraturan Pemberdayaan 1,2,4 (5.1.1*),6

(33)

II-24

No. Sub Urusan Indikator Kinerja

Sumber Data/Produsen Data Keterangan 1. CEDAW, 2. BPFA, 3. KHA, 4. SDGs, 5. KLA, 6. APE, 7. IKK Urusan PPPA

(1) (2) (3) (4) (6)

Perundangan tentang Pengarustamaan Gender tingkat Provinsi dan

Kabupaten/Kota

Perempuan dan Perlindungan Anak 3. Jumlah Provinsi dan Kabupaten/Kota

mempunyai rencana pencapaian PUG yang disahkan dengan Keputusan atau Edaran Sekretaris Daerah atau Kepala Badan yang mebidangi urusan penunjang perencanaan

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

1,2,4 (5.1.1*),6

4. Jumlah Kelompok Kerja (POKJA) PUG di Provinsi dan Kabupaten/Kota yang terbentuk

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

1,2,6 5. Jumlah Kelompok Kerja (POKJA) PUG di

Provinsi dan Kabupaten/Kota yang aktif

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

1,2,6 6. Persentase Perangkat Daerah yang terwakili

dalam Kelompok Kerja (POKJA) PUG di Provinsi dan Kabupaten/Kota

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

1,2,6 7. Persentase focal point perangkat daerah Pemberdayaan

Perempuan dan Perlindungan Anak

1,2,6 8. Persentase perencana perangkat daerah

yang terlatih dan tersertifikasi untuk melaksanakan PPRG

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

1,2,6 9. Jumlah SDM (inspektur pembantu dan

auditor) pada Inspektorat yang sudah terlatih PUG

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

1,2,6 10. Jumlah fasilitator PUG yang telah mendapat

sertifikat pelatihan sebagai fasilitator Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

1,2,6 11. Jumlah Gender Champion di

Kabupaten/Kota

Pemberdayaan Perempuan dan

(34)

II-25

No. Sub Urusan Indikator Kinerja

Sumber Data/Produsen Data Keterangan 1. CEDAW, 2. BPFA, 3. KHA, 4. SDGs, 5. KLA, 6. APE, 7. IKK Urusan PPPA

(1) (2) (3) (4) (6)

Perlindungan Anak 12. Persentase alokasi anggaran Dinas PPPA

atau sejenisnya untuk Fasilitasi PUG

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

1,2,6 13. Persentase alokasi anggaran di Badan yang

menangani urusan penunjang perencanaan untuk fasilitasi PUG

Perencanaan 1,2,6 14. Persentase alokasi anggaran

Biro/Badan/Dinas Keuangan Daerah atau sejenisnya untuk Fasilitasi PUG

Keuangan 1,2,6 15. Persentase alokasi anggaran di Inspektorat

untuk Fasilitasi PUG

Pengawasan 1,2,6 16. Persentase perangkat daerah (diluar

lembaga drivers) Kabupaten/Kota yang sudah memiliki alokasi anggaran untuk kegiatan pelembagaan PUG (sosialisasi, Advokasi, KIE, Bimbingan teknis ARG, dll)

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

1,2,6

17. Jumlah Lembaga Masyarakat, Perguruan Tinggi dan Dunia Usaha yang termasuk dalam Pokja PUG

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

1,2,6 18. Jumlah Forum Koordinasi Lembaga

Masyarakat (PUSPA) yang terbentuk dan di sahkan

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

1,2,6 19. Jumlah Lembaga Masyarakat, Perguruan

Tinggi dan Dunia Usaha yang terlibat dalam kegiatan PUG dan PPPA

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

1,2,6 20. P2TP2A dan UPTD PPA Pemberdayaan

Perempuan dan Perlindungan Anak

1,2,3,5,6

2. Perlindungan Perempuan Impact:

(35)

II-26

No. Sub Urusan Indikator Kinerja

Sumber Data/Produsen Data Keterangan 1. CEDAW, 2. BPFA, 3. KHA, 4. SDGs, 5. KLA, 6. APE, 7. IKK Urusan PPPA

(1) (2) (3) (4) (6)

yang melibatkan para pihak lingkup Daerah

kabupaten/kota. Perempuan dan Perlindungan Anak (5.2.1*/a/5.2.2*/a),7

Penyediaan layanan bagi perempuan korban kekerasan yang memerlukan koordinasi tingkat Daerah Kabupaten/kota.

Outcome:

Penguatan dan pengembangan lembaga penyedia layanan perlindungan perempuan tingkat Daerah kabuaten/kota.

Berdasarkan Kewenangan PPPA:

1. Jumlah kebijakan dalam rangka untuk pencegahan kekerasan terhadap perempuan

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

1,2,7 2. Jumlah perempuan korban kekerasan,

TPPO, dan pelanggaran hak-hak perempuan lainnya yang melapor ke lembaga layanan

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak 1,2,4 (5.2.1*/a/ 5.2.2*/a/16.2.3.a/ 16.3.1.a),7

3. Persentase perempuan korban kekerasan, TPPO, dan pelanggaran hak-hak perempuan lainnya yang mendapat layanan sesuai standart Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak 1,2,4 (5.2.1*/a/ 5.2.2*/a/16.2.3.a/ 16.3.1.a),7

Perlindungan Hak Perempuan

1. Cakupan kekerasan fisik yang dilakukan

oleh pasangan dan selain pasangan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

1,2,4

(5.2.1*/a/5.2.2*/a),7 2. Cakupan kekerasan seksual oleh pasangan

dan selain pasangan

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

1,2,4

(5.2.1*/a/5.2.2*/a)7 3. Cakupan kekerasan ekonomi oleh pasangan Pemberdayaan

Perempuan dan Perlindungan Anak

1,2,4

(5.2.1*/a/5.2.2*/a),7 4. Cakupan kekerasan emosional (psikis) oleh

pasangan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

1,2,4

(36)

II-27

No. Sub Urusan Indikator Kinerja

Sumber Data/Produsen Data Keterangan 1. CEDAW, 2. BPFA, 3. KHA, 4. SDGs, 5. KLA, 6. APE, 7. IKK Urusan PPPA

(1) (2) (3) (4) (6)

5. Cakupan kekerasan pembatasan aktivitas

oleh pasangan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

1,2,4

(5.2.1*/a/5.2.2*/a),7 6. Jumlah korban Tindak Pidana Perdagangan

Orang (TPPO)/trafficking Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak 1,2,4 (5.2.1*/a/5.2.2*/a)7 7. Jumlah korban pelanggaran Hak Asasi

Manusia (HAM) perempuan

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

1,2,4 (10.3.1.c),7

3. Kualitas Keluarga Impact:

Peningkatan kualitas keluarga dalam mewujudkan kesetaraan gender (KG) dan hak anak tingkat Daerah kabupaten/kota.

Indeks Ketahanan Keluarga (IKK) Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana

1,2,7

Penguatan dan pengembangan lembaga penyedia layanan peningkatan kualitas keluarga dalam mewujudkan KG dan hak anak yang wilayah kerjanya dalam Daerah Kabupaten/kota.

Outcome:

Penyediaan layanan bagi keluarga dalam mewujudkan KG dan hak anak yang wilayah kerjanya dalam Daerah kabupaten/kota.

Berdasarkan Kewenangan PPPA:

1. Kasus KDRT Pemberdayaan

Perempuan dan Perlindungan Anak

1,2,7 2. Angka Perceraian Kependudukan dan

Pencatatan Sipil

1,2,7 Keluarga Sejahtera

1. Persentase keluarga pra keluarga sejahtera Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana

1,2,4 (5.6.1*/ 5.6.2*),7 2. Persentase keluarga sejahtera I Pengendalian 1,2,4 (5.6.1*/

(37)

II-28

No. Sub Urusan Indikator Kinerja

Sumber Data/Produsen Data Keterangan 1. CEDAW, 2. BPFA, 3. KHA, 4. SDGs, 5. KLA, 6. APE, 7. IKK Urusan PPPA

(1) (2) (3) (4) (6)

Penduduk dan

Keluarga Berencana 5.6.2*),7 3. Persentase keluarga sejahtera II Pengendalian

Penduduk dan Keluarga Berencana

1,2,4 (5.6.1*/ 5.6.2*),7 4. Persentase keluarga sejahtera III Pengendalian

Penduduk dan Keluarga Berencana

1,2,4 (5.6.1*/ 5.6.2*),7 Landasan Legalitas dan Keutuhan Keluarga

1. Persentase rumah tangga yang memiliki buku nikah

Kependudukan dan Pencatatan Sipil

1,2,7 2. Persentase Penduduk Usia 0-17 Tahun yang

memiliki Akte Kelahiran

Kependudukan dan Pencatatan Sipil

1,2,3,4

(16.91*/b),5,7 3. Persentase Kepala Rumah Tangga yang

tinggal serumah dengan Pasangan

Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana

1,2,7 4. Persentase Rumah Tangga dengan

Kecukupan Waktu Luang Bersama Keluarga kurang dari 14 jam dalam seminggu

Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana

1,2,7 5. Persentase Istri Umur 15-49 Tahun sebagai

Penentu Keputusan Penggunaan Pendapatan Keluarga Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana 1,2,7 Ketahanan Fisik

1. Persentase Rumah Tangga yang Makan Minimal 14 Kali Seminggu

Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana

1,2,7

2. Persentase Balita Gizi Buruk Kesehatan 1,2,3,4 (2.1.1.a/ 2.2.2*/b),5,7 3. Persentase Balita Stunting Kesehatan 1,2,3,4 (2.1.1*/

2.2.1.a),5,7

(38)

II-29

No. Sub Urusan Indikator Kinerja

Sumber Data/Produsen Data Keterangan 1. CEDAW, 2. BPFA, 3. KHA, 4. SDGs, 5. KLA, 6. APE, 7. IKK Urusan PPPA

(1) (2) (3) (4) (6)

5. Persentase Kepala Rumah Tangga Menderita

Penyakit Kronis Sosial 1,2,7

6. Persentase Kepala Rumah Tangga

Peyandang Disabilitas Sosial 1,2,7

7. Persentase Rumah Tidak Layak Huni Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman

1,2,4 (11.1.1.a),7 Ketahanan Ekonomi

1. Pengeluaran Per Kapita Badan Pusat

Statistik 1,2,7 2. Persentase Penduduk Miskin Badan Pusat

Statistik 1,2,4 (1.2.1*/10.1.1.a),7 3. Persentase Kepala Rumah Tangga dengan

Status Kesejahteraan 40% Terendah Sosial 1,2,4 (10.2.1*),7 4. Persentase Penduduk Usia 20-24 Tahun

dengan Jenjang Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan di bawah 12 Tahun

Tenaga Kerja 1,2,7 5. Cakupan Penerima Program Indonesia

Pintar

Pendidikan 1,2,3,5,7 6. Cakupan Penerima Program Indonesia

Sehat

Kesehatan 1,2,4 (1.3.1.a),7 7. Persentase Rumah Tangga yang Memiliki

Tabungan Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana 1,2,7 Ketahanan Sosial-Psikologi

1. Perempuan Pernah Kawin yang Menikah Sebelum Usia 18 Tahun

Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana

1,2,3,4

(3.7.2*/5.3.1.b),5,7 2. Persentase Rumah Tangga dengan

Keberadaan Anggota Rumah Tangga yang Menjadi Korban Tindak Pidana

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

(39)

II-30

No. Sub Urusan Indikator Kinerja

Sumber Data/Produsen Data Keterangan 1. CEDAW, 2. BPFA, 3. KHA, 4. SDGs, 5. KLA, 6. APE, 7. IKK Urusan PPPA

(1) (2) (3) (4) (6)

Ketahanan Sosial Budaya

1. Persentase Kepala Rumah Tangga Lansia Kependudukan dan Pencatatan Sipil

1,2,7 2. Persentase Lansia Terlantar Sosial 1,2,7 3. Tingkat Partisipasi Rumah Tangga dalam

Kegiatan Sosial Keagamaan di Lingkungan Sekitar Tempat Tinggal

Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana

1,2,7

4. Sistem Data Gender dan Anak Impact:

Pengumpulan, pengolahan, analisis dan penyajian data gender dan anak dalam kelembagaan data di tingkat Daerah kabupaten/kota

Persentase ketersediaan data gender dan anak dalam perencanaan pembangunan daerah sesuai standar kebutuhan layanan data

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

1,2,3,5,6,7

Outcome:

Berdasarkan Kewenangan PPPA:

Persentase perangkat daerah yang memiliki data gender dan anak

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

1,2,6,7 Komitmen

Jumlah kebijakan atau peraturan perundangan daerah yang mengatur tentang sistem data gender dan anak

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

1,2,6,7 Lembaga

1. Jumlah Forum Data yang terbentuk dan ditetapkan melalui SK

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

1,2,5,6,7 2. Persentase Perangkat Daerah yang menjadi

Anggota Forum Data

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

1,2,5,6,7 3. Jumlah lembaga diluar perangkat daerah

yang menjadi Anggota Forum Data Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

(40)

II-31

No. Sub Urusan Indikator Kinerja

Sumber Data/Produsen Data Keterangan 1. CEDAW, 2. BPFA, 3. KHA, 4. SDGs, 5. KLA, 6. APE, 7. IKK Urusan PPPA

(1) (2) (3) (4) (6)

Mekanisme Kerja

1. Jumlah dokumen statistik/profil gender dan anak yang tersusun

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

1,2,5,6,7 2. Jumlah dokumen Daerah Dalam Angka

yang datanya terpilah menurut jenis kelamin

Badan Pusat Statistik

1,2,5,6,7 3. Persentase perangkat daerah yang memiliki

data terpilah Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

1,2,5,6,7 4. Jumlah website Pemda/Perangkat Daerah

yang dapat menyediakan akses data gender dan anak

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

1,2,5,6,7 Sumber Daya Manusia

Persentase SDM Perangkat Daerah yang sudah terlatih dan tersertifikasi tentang Modul

Pelatihan PUG/PPRG dan Metode Analisis Gender

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

1,2,5,6,7

5. Pemenuhan Hak Anak Impact:

Pelembagaan PHA pada lembaga pemerintah, nonpemerintah, dan dunia usaha tingkat Daerah kabupaten/kota.

Persentase kabupaten/ kota Layak Anak (KLA) Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

3,5,6,7

Penguatan dan pengembangan lembaga penyedia layanan peningkatan kualitas hidup anak tingkat Daerah kabupaten/kota.

Outcome:

Berdasarkan Kewenangan PPPA: 1. Jumlah kebijakan afirmatif dalam

pelembagaan PHA

a. Peraturan Perundangan/Perda terkait PHA

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

(41)

II-32

No. Sub Urusan Indikator Kinerja

Sumber Data/Produsen Data Keterangan 1. CEDAW, 2. BPFA, 3. KHA, 4. SDGs, 5. KLA, 6. APE, 7. IKK Urusan PPPA

(1) (2) (3) (4) (6)

b. Kebijakan teknis (perencanaan dan

penganggaran) PHA Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

3,5,6,7 c. Kebijakan terkait SDM dan

pengorganisasian PHA (pokja, gugus tugas dsb)

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

3,5,6,7 d. Kebijakan Partisipasi Anak, Masyarakat,

Dunia Usaha dan Media dalam PHA

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

3,5,6,7 2. Persentase lembaga penyedia layanan

peningkatan kualitas hidup anak sesuai standart Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak 3,5,6,7 Kelembagaan

1. Jumlah Peraturan/Kebijakan Daerah

Tentang Kabupate/Kota Layak Anak Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

3,5,6,7 2. Jumlah Gugus Tugas KLA yang terbentuk Pemberdayaan

Perempuan dan Perlindungan Anak

3,5,6,7 3. Jumlah Gugus Tugas KLA yang aktif Pemberdayaan

Perempuan dan Perlindungan Anak

3,5,6,7 4. Jumlah Provinsi dan Kabupaten/Kota yang

telah menyusun Rencana Aksi Daerah (RAD) KLA

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

3,5,6,7 5. Jumlah Provinsi dan Kabupaten/Kota yang

memiliki Data dan Informasi Profil Anak

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

3,5,6,7 6. Persentase Kecamatan Layak Anak

(KELANA) Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

(42)

II-33

No. Sub Urusan Indikator Kinerja

Sumber Data/Produsen Data Keterangan 1. CEDAW, 2. BPFA, 3. KHA, 4. SDGs, 5. KLA, 6. APE, 7. IKK Urusan PPPA

(1) (2) (3) (4) (6)

7. Persentase Desa/Kelurahan Layan Anak

(DEKELA) Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

3,5,6,7 8. Persentase desa/kelurahan yang

melaksanakan Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM)

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

3,5,6,7 9. Jumlah Media Promosi tentang KLA Pemberdayaan

Perempuan dan Perlindungan Anak

3,5,6,7 10. Jumlah Lembaga Masyarakat (LM) yang

berperan dalam mewujudkan KLA Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

3,5,6,7 11. Jumlah Dunia Usaha (DU) yang berperan

dalam mewujudkan KLA

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

3,5,6,7 12. Jumlah Asosiasi Perusahaan Sahabat Anak

Indonesia (APSAI) Daerah yang terbentuk Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

3,5,6,7 13. Jumlah Media yang berperan dalam

mewujudkan KLA

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

3,5,6,7 14. Jumlah Jaringan Media Peduli Anak (JMPA)

yang terbentuk

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

3,5,6,7 15. Jumlah Jaringan Lembaga Masyarakat

Peduli Anak (JLMPA) yang terbentuk

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

3,5,6,7 Klaster Hak Sipil dan Kebebasan

1. Persentase Kepemilikan Akta Kelahiran Kependudukan dan

Pencatatan Sipil 3,4 (16.91*/b),5,6,7 2. Cakupan Anak Usia 0-17 Tahun yang Kependudukan dan 3,4 (16.91*/b),5,6,7

(43)

II-34

No. Sub Urusan Indikator Kinerja

Sumber Data/Produsen Data Keterangan 1. CEDAW, 2. BPFA, 3. KHA, 4. SDGs, 5. KLA, 6. APE, 7. IKK Urusan PPPA

(1) (2) (3) (4) (6)

mendapatkan Kutipan Akta Kelahiran Pencatatan Sipil 3. Jumlah Provinsi dan Kabupaten/Kota yang

Memiliki Pusat Informasi Sahabat Anak (PISA)

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

3,5,6,7 4. Jumlah Provinsi yang Memiliki Telepon

Sahabat Anak (TeSA)

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

3,5,6,7 5. Jumlah Forum Anak tingkat

Kabupaten/Kota, Kecamatan, dan Desa/Kelurahan yang terbentuk

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

3,5,6,7 6. Jumlah Forum Anak tingkat

Kabupaten/Kota, Kecamatan, dan Desa/Kelurahan yang aktif

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

3,5,6,7 7. Jumlah Wilayah yang telah Melakukan

Model dan Pelatihan Partisipasi Anak dalm Perencanaan Pembangunan (PAPP)

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

3,5,6,7 8. Jumlah Wilayah yang telah Melakukan

Model dan Pelatihan Pelopor dan Pelapor (2P)

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

3,5,6,7 Klaster Lingkungan Keluarga dan

Pengasuhan Alternatif

1. Persentase Perkawinan Anak Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

3,4

(3.7.2*/5.3.1.b),5,6,7 2. Persentase anak perempuan usia 15-19

tahun yang telah menikah

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

3,4

(3.7.2*/5.3.1.b)5,6,7 3. Jumlah Provinsi dan Kabupaten/Kota yang

Memiliki PUSPAGA atau (Pusat Pembelajaran Keluarga)

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

3,5,6,7 4. Jumlah Lembaga Pengasuhan Alternatif Pemberdayaan 3,5,6,7

Gambar

Grafik 3.2  Perkembangan Demografi Kota Semarang 2015 – 2019  Berdasarkan  sebaran  atau  distribusi  penduduknya,  kecamatan  di  Kota  Semarang  yang  memiliki  jumlah  penduduk  tertinggi  dalam  kurun  waktu  enam  tahun  terakhir  (2015  –  2019)  ada
Grafik 3.4  Piramida Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur Kota  Semarang Tahun 2017  67.953 67.544 62.487  79.044  79.477 67.507 64.074 61.314 58.131 55.350 46.295 30.556 45.467 64.437 63.716 60.480 86.549 99.774 76.881 70.545 69.889 67.378 64.932 60.917 50.
Grafik 3.6  Perbandingan IPM Kota Semarang dengan Kota lainnya   di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2019
Grafik 3.7  Grafik Perbandingan Angka Harapan Hidup Kota  Semarang dengan Kota Lain di Provinsi Jawa Tengah  Tahun 2019
+7

Referensi

Dokumen terkait

Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga Skripsi dengan judul: “Pengaruh Pemetikanan Kuncup Bunga Terhadap Pertumbuhan Dan Produktivitas

Aksesi-aksesi durian yang mempunyai karakter unggul untuk panjang duri, bobot biji, kulit buah tipis, persentase biji kempes, dan porsi buah dapat dimakan >30%.. Nominal

yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “PENGARUH PELAYANAN, LOKASI DAN KUALITAS PRODUK TERHADAP MINAT

Pada kultur Chlorella sp pada kolam, laju pertumbuhannya tidak bagus dengan hanya mencapai fase eksponensial pada hari ke-2.Untuk variabel yang paling berpengaruh terhadap

publik sebagai apapaun yang dipilih pemerintah untuk dilakukan atau untuk tidak dilakukan. Definisi ini menekankan bahwa kebijakan publik adalah mengenai perwujudan

Dalam  Jurnal  “Bridging  the  Gap:  A  Genre  Analysis  of  Weblogs”  (2004),  Herring,   dkk mengatakan bahwa blog bisa menjadi populer karena membuat blog itu

Pelaksanaan Sosialisasi Yang Terkait Dengan Kesetaraan Gender, Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak. √