• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kampung Warsambin Lokasi Penelitian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kampung Warsambin Lokasi Penelitian"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

53

Bab Empat

Kampung Warsambin

Lokasi Penelitian

Pengantar

Perjalanan 1 jam 40 menit adalah jarak tempuh yang harus dilalui ketika penulis berangkat dari Kota Waisai ke lokasi penelitian di Kampung Warsambin, Distrik Teluk Mayalibit. Jarak tempuh itu jika penulis memacu kendaraan dengan kecepatan 60km/jam dan disaat cuaca cerah.Tetapi jarak tempuh bisa menjadi lebih lama ketika perjalanan dilakukan dibawah guyuran hujan. Hal ini disebabkan kondisi jalan dari Waisai ke Warsambin bukanlah jalan aspal seperti di Kota Waisai. Kondisi jalan masih terbuat dari tumpukan sirtu (batu kerikil) sehingga ketika hujan beberapa kondisi jalan sangat licin dan berbahaya. Kondisi jalan sirtu ini pun tidak sampai di Kampung Warsambin, melainkan hanya seperempat perjalanan. Sisanya kondisi jalan adalah tumpukan tanah dan bebatuan besar yang cukup tajam namun tetap masih bisa dilewati baik kendaraan roda 4 dan roda 2.

Namun ketika melihat pada saat awal pemekaran Kabupaten Raja Ampat, tidak ada akses dengan menggunakan kendaraan darat jika ingin ke Teluk Mayalibit. Satu-satunya cara jika ingin ke Teluk Mayalibit adalah melalui laut. Semenjak dilakukan mega proyek Trans-Waigeo, akses jalan mulai dibangun pada tahun 2009 untuk

(2)

menghubungkan Teluk Mayalibit dengan kota Waisai. Pembukaan akses Trans-Waigeo ini akhirnya secara langsung memberikan dampak kepada masyarakat di Teluk Mayalibit. Perubahan ini akan penulis sampaikan pada sub-bab selanjutnya. Yang menjadi pengalaman penulis dalam perjalanan ketika menuju ke lokasi penelitian adalah siapapun yang hendak melakukan perjalanan ini, harus mempersiapkan mental dan keberanian seperti yang penulis alami.

Namun perjalanan yang cukup menegangkan tersebut rasanya lenyap seketika saat mata ini memandang sebuah pereng putih di Gunung Nok yang menjadi tanda bahwa penulis telah sampai di Kampung Warsambin, Distrik Teluk Mayalibit.

Gambar 4.1. Pemandangan Pintu Masuk Teluk Mayalibit (Sumber A.F. Binter)

Panorama ciri khas perkampungan mulai terasa ketika memasuki Kampung ini. Karakter wilayah pesisir merupakan ciri khas yang tidak terlepas dari keberadaan kampung Warsambin. Rumah panggung yang dibangun dengan menancapkan kaki-kaki rumah di pinggiran pantai, katinting dan body58 masyarakat ditambatkan di

58

Katinting sebutan masyarakat lokal di Raja Ampat untuk perahu kecil.Dan untuk menjalankannya menggunakan dayung oleh tenaga manusia. Sedangkan body sebutan masyarakat lokal di Raja Ampat untuk perahu yang berukuran lebih besar. Dan menggunakan mesin untuk menggerakkannya. Body pun terbagi dalam 2 jenis, yaitu yang terbuat dari kayu dan fiber. Kebanyakan yang dimiliki masyarakat adalah dari kayu, sedangkan yang terbuat dari fiber biasanya dimiliki oleh instansi pemerintahan yang bertugas di Kampung-Kampung pedalaman. Seperti Camat, Dokter/Mantri yang bertugas di Puskesmas.

(3)

55 pinggiran pantai, dan beberapa tambak ikan untuk penyimpanan sementara ikan hasil tangkapan masyarakat.

Gambar 4.2. Kondisi Kampung Warsambin (Sumber A.F. Binter)

Gambar 4.3. Body Fiber milik masyarakat yang sedang ditambatkan (Sumber A.F. Binter)

Kampung Warsambin adalah ibu kota distrik Teluk Mayalibit dan kampung pertama yang akan kita temui ketika ingin berkunjung di Teluk Mayalibit. Sebagai ibu kota distrik, Warsambin cukup berkembang dibandingkan dengan kampung-kampung lainnya yang berada di wilayah administratif distrik Teluk Mayalibit. Dalam perkembangannya terjadi perubahan-perubahan pada perilaku masyarakatnya. Bab ini akan mendeskripsikan tentang kampung Warsambin, mulai dari sejarah pembentukan kampung sampai kondisi Warsambin kekinian.

(4)

Sejarah Kampung Warsambin

Agus, seorang bapak dengan perawakan berbadan kurus dan pendek adalah seorang tokoh masyarakat Teluk Mayalibit yang terkenal asal kampung Warsambin. Diusianya yang tak lagi muda, beliau masih tampak bersemangat dalam menjalani aktifitasnya. Bekerja sebagai nelayan dalam waktu tertentu sekaligus juga menjadi petani beliau menghidupi keluarganya. Ditengah aktifitas yang dilakukan beliau, penulis mendapatkan kesempatan untuk berbincang-bincang tentang sejarah Kampung Warsambin. Sebagai saksi hidup, beliau dengan fasih dan lancar menceritakan bagaimana kampung Warsambin terbentuk. Perbincangan yang sangat hangat, dapat dirasakan ketika beliau memanggil penulis dengan sebutan anak. Terkadang tawa menghiasi setiap perbincangan kami, tentu tetap ditemani beberapa buah pinang, sirih dan kapur serta rokok sebagai makanan ringan menemani obrolan kami.

Gambar 4.4. Penulis bersama salah satu narasumber (Sumber A.F. Binter)

Pertanyaan pertama dari penulis tentang bagaimana awal mula Kampung Warsambin ini terbentuk, sepertinya membangunkan kembali memori Agus pada tahun 1970-an dimasa mudanya.

“Sa lahir tahun 1953 dan besar di Kampung lama Lensok” begitu ujar Agus memulai menjawab pertanyaan penulis. “Sa masih ingat sekitar tahun 70-an pemerintah pernah menyelenggarakan program yang disebut pembangunan Kampung Gaya Baru, dan waktu itu torang yang ada di kampung Lensok diminta pindah ke tempat yang

(5)

57 pemerintah dorang buat” lanjut Agus.59 Ketika menulis kembali isi

wawancara ini, penulis kemudian mencoba untuk mencari informasi tentang program pemerintah seperti yang dimaksudkan oleh Agus dalam wawancara. Kemudian penulis menemukan dokumen ini disalah satu situs resmi milik Dinas Pekerjaan Umum Pemerintah Pusat60 :

“P3KT yang mulai disiapkan sejak tahun 1970-an, terus diperluas pelaksanaannya ke seluruh wilayah Indonesia. Dimulai dengan P3KT generasi pertama, yaitu program perbaikan kampung (Urban I). Kemudian generasi kedua, berupa proyek pembangunan perkotaan gaya lama (Urban II, Bandung, Medan, Urban III, Urban IV dan Urban V). Disusul generasi ketiga, yaitu program pembangunan perkotaan untuk melancarkan P3KT secara nasional (tidak terbatas pada proyek dengan bantuan luar negeri, tetapi juga proyek APBN dan APBD). Lantas generasi keempat dengan proyek pembangunan perkotaan gaya baru (Surabaya, East Java Bali, Kalimantan, Sulawesi Irian Jaya, Bali tahap kedua, Sumatera dan Jawa Barat, Botabek, JUDP I,II dan III). Akhirnya, generasi kelima berupa program sektor pembangunan perkotaan yang ditandai dengan pinjaman Urban Sector Loan pada tahun 1987. Persiapan semua proyek P3KT melibatkan konsultan luar dan dalam negeri. Hal ini menjadi pendorong kuat bagi peran konsultan untuk membantu pemerintah dalam penataan ruang.”

P3KT (Program Pembangunan Prasarana Kota Terpadu) adalah sebuah program pemerintah pusat pada era pemerintahan orde baru tahun 1970-1990. Program ini dibawah pengawasan dan pelaksana Kementerian Pekerjaan Umum yang bertujuan untuk menata kembali tata ruang kota di daerah-daerah guna memperpendek rentang kendali pemerintahan. Program ini dilakukan dengan cara memindahkan penduduk yang berada di pedalaman ke daerah yang lebih mudah di jangkau. Dan kampung Warsambin adalah satu kampung bentukan

59

Wawancara dengan Agus, Sabtu, 17 Januari 2015, Pukul. 15.00 WIT.

60

(6)

dari program tersebut yang saat itu dikenal dengan program Kampung Gaya Baru.

Jika dilihat secara geografis memang perpindahan masyarakat dari Kampung lama yang bernama Lensok ke kampung Warsambin sangat beralasan.

Gambar 4.5. Peta Pulau Waigeo

Pada gambar peta di atas memang kampung Lensok sudah tidak tercantum di distrik Teluk Mayalibit. Letak kampung Lensok itu tepat berdampingan dengan kampung Kalitoko yang jaraknya memang lebih masuk ke dalam teluk. Sehingga memang sangat beralasan dalam program Kampung Gaya Baru masyarakat dari Lensok dipindahkan lebih dekat dengan pintu masuk Teluk Mayalibit.

“Tepat pada tahun 1973, torang dapa suruh pindah dari kampung Lensok ke kampung yang sekarang tong sebut Warsambin itu. Sa ingat persis dulu kepala kampung itu Bapa Lambert Metansan asli orang teluk suku Maya. Dia yang bawa torang semua pindah kesini. Tempo itu juga bukan torang sendiri dari Lensok saja, tapi ada juga masyarakat dari kampung Mumes yang datang juga ikut tinggal sama torang di Warsambin. Saat itu kepala kampung Mumes, bapa Lambert pu anak mantu, jadi pace bilang sudah kam datang juga tinggal deng katong disini saja.” Cerita Agus.61

(7)

59 Dari cerita yang disampaikan Agus, itu berarti kampung Warsambin adalah kampung baru yang berisi penduduk dari 2 kampung yaitu kampung Lensok dan Mumes. Namun ada perbedaan dari 2 kampung asal ini. Masyarakat dari kampung Lensok seluruhnya pindah ke Warsambin, tetapi kampung Mumes tidak seluruh masyarakatnya pindah, ada yang memilih untuk menetap di Mumes. Kini kampung lama Lensok kini hanya berisi dusun sagu yang tidak terurusi dan tidak berpenghuni. Perpindahan masyarakat dari Lensok ke Warsambin ternyata juga berpengaruh pada mata pencaharian dan kondisi sosial masyarakat yang akan dijelaskan penulis pada sub-bab setelah ini.

Gambaran Umum Distrik Teluk Mayalibit

Geografi Teluk Mayalibit

Distrik Teluk Mayalibit merupakan salah satu dari 24 distrik di Kabupaten Raja Ampat. Wilayah Teluk Mayalibit di bagian Selatan berbatasan dengan distrik Waigeo Selatan, di bagian Utara berbatasan dengan distrik Waigeo Utara, di bagian Barat berbatasan dengan distrik Tiplol Mayalibit dan di bagian Timur berbatasan dengan Waigeo Timur. Luas wilayah Teluk Mayalibit 917,05 Km². Kampung Kalitoko merupakan kampung terluas di distrik Teluk Mayalibit (51%), sedangkan kampung yang wilayahnya paling kecil adalah kampung Mumes (11%). Berdasarkan topografi wilayah semua kampung di distrik Teluk Mayalibit merupakan kampung pesisir atau berbatasan langsung dengan laut. Keadaan tinggi air laut dari daratan pada umumnya sekitar satu meter dari permukaan laut. Dimana letak kampung Warsambin yang paling tinggi yaitu sekitar 3 meter. Pada umumnya bentuk permukaan tanah kampung-kampung di distrik ini adalah dataran. Hanya kampung Warsambin yang sebagian kecil keadaan tanahnya adalah perbukitan yaitu 5%.62

62

BPS Kabupaten Raja Ampat, “Statistik Daerah Distrik Teluk Mayalibit 2014”, Hal 1-2, Raja Ampat, 2014.

(8)

Pemerintahan

Distrik Teluk Mayalibit adalah distrik pemekaran dari Waigeo Selatan. Pemekaran distrik ini berdasarkan Perda No. 3 Tahun 2006 yang terdiri dari 10 Kampung. Sekarang distrik Teluk Mayalibit terdiri dari 4 Kampung, karena mengalami pemekaran distrik sesuai dengan Perda No. 2 Tahun 2012. Enam kampung yang mengalami pemekaran tersebut antara lain Arawai, Beo, Kabilol, Go, Waifoi dan Warimak menjadi distrik sendiri yaitu distrik Tiplol Mayalibit. Sedangkan distrik Teluk Mayalibit terdiri dari Warsambin, Lopintol, Kalitoko dan Mumes.

Dan untuk melengkapi organisasi pemerintahan di tingkat kampung maka disediakan aparat pemerintah sekaligus juga pembagian wilayahnya. Di distrik Teluk Mayalibit setiap kampung dipimpin oleh kepala kampung yang membawahi Rukun Warga (RW) dan Rukun Tetangga (RT). Demi ketertiban dan keamanan kampung, juga disediakan hansip pada setiap kampung bersama dengan sarana pos keamanannya.Tapi untuk pos keamanannya hanya terdapat di 2 kampung saja. Berikut data yang diperoleh dari statistik yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik kabupaten Raja Ampat :

Tabel 4.1

Jumlah Rukun Warga (RW) dan Rukun Tetangga (RT) di Distrik Teluk Mayalibit63 Tahun 2013

Kampung Rukun Warga (RW) Rukun Tetangga (RT)

Warsambin 2 4 Lopintol 2 4 Kalitoko 2 2

Mumes 1 2

Jumlah 7 12

Sumber : Kantor Kelurahan

63 Sda,

(9)

61

Tabel 4.2

Jumlah Personil Hansip dan Pos Keamanan di Distrik Teluk Mayalibit64

Tahun 2013

Kampung Hansip Pos Keamanan

Warsambin 4 1 Lopintol 3 - Kalitoko 5 -

Mumes 4 -

Jumlah 16 1

Sumber : Kantor Kampung

Dalam menjalankan tugas dan tanggungjawab sebagai bagian dari pemerintahan, Kepala Kampung, RW, RT, maupun hansip lebih cenderung pada persoalan-persoalan administratif. Seperti halnya pembuatan KTP atau Kartu Keluarga. Sedangkan jika terjadi persoalan didalam kehidupan bermasyarakat lebih cenderung diselesaikan secara kekeluargaan ataupun memakai pendekatan adat. Dan selama melakukan penelitian lapangan, tidak ada gejolak yang terjadi dalam masyarakat.

Penduduk dan Kondisi Sosial Masyarakat

Ada hal yang memang menarik ketika penulis berkunjung ke beberapa kampung di distrik Teluk Mayalibit. Yang menarik adalah dari 3 kampung yaitu Warsambin, Lopintol dan Kalitoko lebih terlihat banyak penduduk laki-laki dibandingkan perempuan. Misalnya ketika penulis berada di Kalitoko akhir Agustus 2011, dalam amatan penulis yang terlihat beraktifitas di luar rumah kebanyakan penduduk laki-laki. Kebetulan ketika itu ada juga dilaksanakan pelepasan tim pendidik dari Kapal Kalabia yang hendak meninggalkan Kampung Kalitoko. Semua masyarakat terlibat dalam acara pelepasan itu dengan diiring suling tambur. Dan dalam amatan penulis dari lokasi acara tersebut berlangsung memang jumlah laki-laki lebih banyak dibanding jumlah perempuan.

64 Sda,

(10)

Gambar 4.6. Tarian Yosim Pancar dengan iringan musik Suling Tambur di Kalitoko

(Sumber A.F. Binter)

Amatan penulis tersebut ternyata senada dengan data yang dipaparkan oleh BPS Kabupaten Raja Ampat tentang jumlah penduduk di distrik Teluk Mayalibit.

Tabel 4.3

Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin di Distrik Teluk Mayalibit65

Kampung Laki-Laki Perempuan Jumlah Sex Rasio

Warsambin 294 300 594 98 Lopintol 97 74 191 131,08 Kalitoko 223 161 384 138,50 Mumes 50 45 95 111,11

Jumlah 664 580 1.244 114,48

Sumber : Pendataan Potensi Kampung 2013

Pada sub-bab sebelumnya penulis menyampaikan bahwa perpindahan masyarakat dari kampung Lensok dan Mumes ke kampung Warsambin dalam program Kampung Gaya Baru, ternyata memberikan perubahan besar pada kondisi sosial masyarakat. Perubahan ini semakin nampak terlebih ketika dibangun akses transportasi darat dari kota Waisai ke ibu kota distrik Teluk Mayalibit yaitu kampung Warsambin.

65 BPS Kabupaten Raja Ampat, “Statistik Daerah Distrik Teluk Mayalibit 2014”, Hal 4,

(11)

63

“Sekarang mata pencaharian masyarakat itu nelayan. Padahal dulu tra ada yang nelayan, semua itu tokok sagu. Cari ikan itu hanya untuk makan setiap hari saja tapi tra jual. Karna waktu di kampung lama, Lensok, itu semua hanya hidup dari sagu saja. Dulu itu tong pu makanan pokok itu sagu yang nanti tong olah jadi papeda, sagu kering, sinole. Sisa dari tong pu hasil kebun itu yang tong pi bawa ke Sorong untuk jual akang di pasar. Tapi semenjak tong pindah ke Warsambin sini su jarang yang tokok sagu lagi, semua pi lobe ikan lema.” terang bapa Agus.66

Perubahan pertama yang terjadi dalam masyarakat adalah berubahnya mata pencaharian masyarakat yang sebelumnya mereka tokok sagu kini hampir semuanya menjadi nelayan. Alasan perubahan mata pencaharian masyarakat ini karena 2 hal: yang pertama, jarak dari kampung Warsambin ke kampung lama

(Lensok) yang juga kebun sagu cukup jauh dan hanya bisa ditempuh dengan menggunakan perahu. Yang kedua, oleh karena alasan ekonomi yaitu hasil dari penjualan ikan lebih banyak daripada hasil menjual sagu. Belakangan ini, alasan ekonomi adalah motif yang paling kuat mendukung perubahan mata pencaharian dari tokok sagu menjadi nelayan.

Perubahan selanjutnya yang terjadi dan juga dirasakan masyarakat Kampung Warsambin adalah berubahnya konsumsi makanan pokok dari sagu ke beras. Perubahan ini mulai dirasakan semenjak program Kampung Gaya Baru dilaksanakan. Pada awalnya masyarakat mengkonsumsi sagu sebagai bahan makanan pokok yang kemudian diolah menjadi olahan makanan jadi seperti papeda, sagu kering, sinole. Namun ketika masyarakat dipindahkan, konsumsi makanan pokok sagu mulai menjadi berkurang dan beralih ke beras walau tidak serutin seperti sekarang ini.

(12)

“Sa dari kecil itu orang tua su kasih makan sagu. Torang ini, Sa deng anak-anak pu mama, tong besar cuma dengan makan sagu yang orang tua dong ambil di kebun. Dulu tu juga dirumah itu mo makan nasi itu sangat jarang sekali. Biasa torang makan nasi itu kalau misalnya ada acara-acara besar di kampung. Misalnya acara gereja ka, acara adat, atau pesta nikah. Jadi kadang tu liat beras dalam karung di rumah jarang sekali. Semua makan sagu yang dong bikin jadi macam-macam, ada papeda, sinole, dan sagu kering. Apalagi sekarang ini? Sekarang tong liat sagu yang jarang, setiap hari su makan nasi. Mo pi ke Waisai lebih gampang to, su ada jalan darat. Jadi kapan saja mo beli beras gampang.” tukas Agus.67

Dalam wawancara bersama Agus juga terungkap bahwa, perubahan yang terjadi pada masyarakat salah satu kontribusinya adalah ketika Raja Ampat terbuka dan mudah diakses. Hal ini tebukti dengan apa yang dialami oleh masyarakat di kampung Warsambin. Ketika kampung Warsambin mulai terhubung dengan Waisai (ibu kota kabupaten Raja Ampat), perubahan demi perubahan mulai terjadi. Akses transportasi darat tanpa disadari memberikan dampak bagi masyarakat Warsambin, terlebih ketika masyarakatnya belum siap untuk menghadapi setiap perubahan yang terjadi. Perubahan-perubahan ini bisa memberikan dampak positif dan negatif, tergantung kearah mana perubahan itu. Sebenarnya, jikalau mau diperhatikan lebih seksama masyarakat kampung Warsambin masih termasuk masyarakat tradisional yang sangat memegang teguh nilai-nilai budaya yang ada. Dialektika agama dan budaya sangat nampak dalam pengambilan keputusan-keputusan dalam menyelesaikan persoalan yang dihadapi oleh masyarakat. Pemimpin adat dan pemimpin agama sangat memiliki peran yang penting dalam kehidupan masyarakat di kampung Warsambin. Nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat adalah hasil pikiran antara pemahaman budaya dan nilai-nilai agama.

Dari nilai-nilai yang berkembang lewat pemahaman budaya menghasilkan perilaku budaya yang kita sebut dengan

(13)

65 kearifan lokal. Selain itu pengetahuan lokal yang berkembang di masyarakat kampung Warsambin didapatkan dengan cara tradisional seperti membaca fenomena-fenomena alam. Seperti ketika ingin mengetahui apakah lautan berombak ataukah tidak? Masyarakat di Kampung Warsambin dapat mengetahuinya dengan melihat pohon bok (sejenis pohon pinang) yang tinggi dan biasanya ada di puncak dataran tinggi. Ketika daun dari pohon bok

menghempas kencang itu pertanda di laut sedang berombak kencang. Sampai sekarang ini masyarakat masih hidup dengan kearifan lokal lainnya yang terwujud dalam produk budaya lokal. Salah satunya adalah budaya Sasi.

Potensi Kampung Warsambin

Sebagai ibu kota distrik Teluk Mayalibit tentu Kampung Warsambin memiliki potensi yang kuat untuk menopang pembangunan Raja Ampat. Untuk melihat potensi apa yang dimiliki oleh Kampung Warsambin penulis hanya bisa mendapatkannya lewat pengamatan dan pengalaman ketika berada di tempat penelitian. Penulis mendefenisikan potensi kampung adalah suatu daya dalam bentuk materiil dan moriil yang dapat menunjang pembangunan di kabupaten Raja Ampat dan lebih khususnya dapat mendatangkan kemakmuran serta kesejahteraan bagi kemashalatan masyarakat. Dalam amatan dan pengalaman penulis mendapatkan dua potensi yang dimiliki oleh Kampung Warsambin. Dua potensi tersebut adalah budaya lokal dan sumber daya alam. Berikut penulis akan mendeskripsikan potensi-potensi yang dimiliki Kampung Warsambin:

a) Potensi Wisata Budaya Lokal

Pengalaman dalam melakukan penelitian dan hidup bersama masyarakat Kampung Warsambin, membawa penulis pada sebuah pengalaman yang baru. Meninggalkan sejenak hiruk-pikuk perkotaan ternyata menjadi sebuah pengalaman pribadi yang luar biasa. Karakteristik masyarakat perkampungan melekat dan

(14)

nampak pada perilaku masyarakat Warsambin. Memegang teguh nilai-nilai moral yang menjadi pranata kehidupan masyarakat merupakan sesuatu yang harus dimiliki sebagai masyarakat. Keteguhan terhadap nilai-nilai moral ini nampak dan terlihat jelas pada sudut pandang masyarakat untuk melihat relasi antara seorang manusia dengan leluhur, dengan alam, serta dengan sesama manusia. Dan juga sudut pandang dalam menyelesaikan suatu permasalahan yang terjadi dalam masyarakat. Demikian pula yang terjadi dengan masyarakat di kampung Warsambin.

Budaya tradisional sangat kental masih terasakan dalam kehidupan bermasyarakat di kampung Warsambin. Mulai dari bagaimana mereka berelasi antar sesama bahkan bagaimana mereka memperlakukan alam sebagai tempat mereka hidup. Yang pertama adalah bagaimana mereka memaknai sang pencipta kehidupan dan alam semesta. Sebelum mengetahui lebih jauh ke dalam, sebagai informasi bagi para pembaca, pemahaman yang ada pada masyarakat tidak lepas dari pengaruh masuknya salah satu agama besar di dunia yaitu Kristen Protestan. Datangnya para penginjil di kampung Warsambin, Teluk Mayalibit, ternyata memberikan kontribusi terhadap perkembangan peradaban dan budaya masyarakat Warsambin. Kontribusi yang paling besar dalam bagi masyarakat adalah ketika mereka diajarkan untuk lebih menghargai kehidupan dengan cara memaksimalkan kemampuan yang dimilikinya untuk berbuat baik bagi sesama dan juga bertanggungjawab terhadap alam yang sudah diberikan Tuhan bagi mereka.

Budaya yang adalah hasil cipta, rasa dan karsa, menjadi potensi yang besar dimiliki oleh masyarakat Kampung Warsambin. Budaya ini selain dilaksanakan untuk menjaga kestabilan akan kehidupan, juga agar manusia dapat hidup akur dengan alamnya. Selain itu budaya yang dibalut dengan cerita-cerita sejarah tempo dulu dan menyisakan jejak cerita berupa situs-situs khusus merupakan daya tarik tersendiri untuk dinikmati. Misalnya sebuah pulau kecil tak berpenghuni yang digunakan sebagai makam para leluhur.

(15)

67

Gambar 4.7. Makam Leluhur Di Teluk Mayalibit (Sumber A.F. Binter)

Selain itu terdapat budaya lokal yang biasa disebut budaya

Sasi. Budaya Sasi adalah pelarangan ambil hasil alam baik yang di darat dan di laut berdasarkan dengan kesepakatan bersama masyarakat atau keputusan pemilik hak lahan serta diberlakukan dalam waktu tertentu. Sasi dalam pelaksanaannya secara substansi sama dengan proses yang kita sebut dengan konservasi. Dimana ketika Sasi dilakukan, sama dengan memberikan kesempatan bagi makhluk hidup seperti tumbuhan dan ikan di laut untuk bertumbuh dan berkembang. Pelaksanaan Sasi di era sekarang ini menarik untuk diikuti terlebih ketika semua pemerintahan sedang berbicara tentang sustainable development (pembangunan berkelanjutan). Inilah potensi budaya lokal yang kemudian nantinya bisa diangkat sebagai wisata budaya lokal dari kampung Warsambin.

b) Potensi Sumber Daya Alam

Seperti yang sudah dijelaskan diatas mengenai geografis kampung Warsambin memiliki karakteristik masyarakat pesisir pantai, tentu potensi sumber daya alamnya adalah laut. Ditambah lagi kampung Warsambin letaknya di pintu masuk Teluk Mayalibit tempat dimana pertemuan arus antara air dibeberapa aliran sungai yang terdapat di Teluk Mayalibit dan aliran air laut ketika pasang, mengakibatkan teluk dipenuhi oleh berbagai spesies ikan. Salah

(16)

satu spesies ikan yang paling banyak ditangkap nelayan dari kampung Warsambin adalah ikan Lema (Ikan Kembung). Dalam wawancara penulis bersama salah seorang pengepul ikan asal Makassar yang berdomisili di Waisai Daeng Agus68, beliau

mengungkapkan bahwa dalam semalam seorang nelayan bisa menangkap ikan Lema 800-1000 ekor. Dan dijual ke pengepul seharga Rp. 1000,-/ekor. Ini belum termasuk jenis ikan lain yang ditangkap oleh nelayan untuk dijual. Selain itu Kampung yang terletak di Teluk Mayalibit ini ternyata menyimpan puluhan spesies ikan langka dari ribuan spesies ikan yang hanya terdapat di perairan Teluk Mayalibit. Ribuan spesies ikan inilah yang menjadi potensi sumber daya alam laut yang bukan dilihat dari sisi ekonomis, melainkan juga ditinjau dari kekanekaragaman hayati. Daya tarik inilah yang mampu mendatangkan ilmuwan dari seluruh belahan dunia untuk meneliti dibidang perikanan.

Hanya laut saja kah? Tentu tidak. Sekalipun sebagian besar warga Kampung Warsambin adalah nelayan. Tetapi ketika musim angin selatan mulai berhembus, kebanyakan warga beralih untuk berkebun. Mengapa demikian? Pada musim angin selatan bagi masyarakat di Raja Ampat, itu saat dimana perahu ditambatkan, karena gelombang di laut mencapai tinggi maksimum dan tidak disarankan untuk mencari ikan. Potensi yang terdapat di darat pun bisa menjadi lahan pencarian sementara ketika gelombang di laut sedang bergelora. Walaupun warga mengakui hasilnya tidak seberapa karena mereka lebih fokus pada hasil di laut yang secara hitung-hitungan ekonomi lebih menguntungkan. Itu berbicara lahan kebun olahan warga, tetapi ketika berbicara hasil hutan maka jelas Kampung Warsambin juga memiliki potensi hasil hutan yang tidak sedikit.

Laut dan darat yang menyimpan potensi kekayaan sumber daya alam yang tidak sedikit. Dibutuhkan pemahaman yang baik dalam persoalan pemanfaatan sumber daya alam sehingga hasil sumber daya alam bisa menjadi berguna bagi kemasahalatan orang

68

(17)

69 banyak sekaligus juga adanya kesinambungan hasil sumber daya alamnya.

Ancaman Eksploitasi dan Kerusakan Lingkungan di

Kampung Warsambin

Ketika melihat potensi sumber daya alam yang dimiliki Kampung Warsambin, bersamaan itu pula disadari ada begitu banyak ancaman terhadap potensi tersebut. Baik itu potensi sumber daya alam yang ada di laut dan di darat. Secara garis besar ketika melihat ancaman yang ada, penulis dapat menyimpulkan ancaman itu oleh karena faktor internal dan eksternal. Berikut penulis akan memaparkan beberapa ancaman serius selama penulis berada di lapangan.

Penebangan Hutan dari Hutan Produksi kah?

Ketika melakukan perjalanan dari ibu kota kabupaten Raja Ampat, Waisai sampai ke tempat penelitian di Kampung Warsambin, penulis menemukan banyak sekali tumpukan-tumpukan papan kayu (kayu olahan) di pinggiran jalan. Tidak hanya itu penulis juga melihat ada beberapa tumpukan kayu gelondongan yang dibiarkan dibahu jalan. Sejenak penulis memikirkan apakah semua kayu tebangan ini memiliki surat dan ijin resmi ataukah tidak? Sejenak penulis menunggu disekitar tumpukan kayu tersebut, berharap bertemu orang yang bisa ditanyakan perihal kayu-kayu tersebut. Namun setelah ditunggu lebih dari 1 jam, tak ada satupun orang yang nampak. Sesampainya Kampung Warsambin, penulis mampir sejenak di kantor distrik berharap mendapatkan informasi mengenai penebangan tersebut. Penulis bertemu dengan salah satu seorang pegawai yang belakangan diketahui adalah seorang Polisi Hutan yang ditempatkan bekerja di distrik Teluk Mayalibit. Setelah dikonfirmasi dengan PolHut tersebut, beliau juga tidak mengetahui bahwa ada beberapa tumpukan kayu gelondongan. Sebab ketika beliau patroli sehari sebelumnya beliau tidak menemukan seperti yang saya sampaikan. Sambil beliau berkata : “Saya akan patroli ke

(18)

tempat yang ade bilang. Tapi kalau melihat lokasi yang ade bilang, sepertinya daerah itu tidak boleh ada penebangan, karena masih masuk dalam kawasan hutan lindung dan bukan hutan produksi. Nanti saya cek ade…”.

Terlepas dari apakah kayu-kayu tersebut memiliki surat ataukah tidak, penebangan hutan tanpa sebuah perencanaan dan melakukan pemilahan manakah pohon yang sudah bisa ditebang atau pohon yang tidak boleh ditebang tetaplah menjadi sebuah ancaman yang serius bagi lingkungan. Memang harus dipahami Raja Ampat sedang memulai membangun dan membutuhkan sumber daya alam untuk pembangunan infrastruktur serta meningkatkan PAD. Tetapi bukan berarti itu harus mengabaikan ancaman terhadap kerusakan lingkungan. Terlebih ketika berhadapan dengan eksploitasi sumber daya alam yang mengabaikan keberlangsungan sumber daya alam itu sendiri.

Ancaman yang hampir sama juga dapat dilihat ketika terjadi pembukaan lahan baru, baik untuk pembangunan fasilitas pemerintah, perumahan ataupun pembangunan tempat usaha. Apakah semuanya itu dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan analisis dampak lingkungan ataukah tidak?

Rusaknya Terumbu Karang dan Ilegal Fishing

“Kalo dulu iyo, ada yang pake bom ikan deng akar bore untuk tangkap ikan. Sekarang su tra boleh lagi. Karna memang kalo deng bom lebih gampang, tong tra tunggu lama-lama. Tinggal ke laut, cari dimana karang banyak, sudah, lempar bom nanti ikan dong timbul semua” ungkap Marthinus Waropen.69

(Dahulu, ada yang menggunakan bom ikan dan akar boreuntuk tangkap ikan. Sekarang tidak boleh. Karena memang kalau dengan bom lebih mudah, kita tidak perlu menunggu lama. Pergi ke laut, lalu carilah dimana banyak karang, kemudian,

69 Wawancara dengan Marthinus Waropen, Kamis 1 September 2011, Pukul. 10.00

(19)

71 bomnya dilempar nanti ikan yang mati akan muncul ke permukaan). Waropen menceritakan bagaimana perilaku nelayan lokal melakukan penangkapan ikan yang ternyata memberikan dampak kerusakan yang besar bagi habitat ikan. Sekalipun dilarang, ternyata fakta dilapangan masih saja ada oknum-oknum masyarakat yang melakukan praktek penangkapan ikan dengan menggunakan bom ikan. Terumbu karang adalah rumah bagi ikan untuk berkembang biak, penggunaan bom ikan tentu akan merusak semua ekosistem laut termasuk terumbu karang. Rusaknya terumbu karang akan jelas sangat mempengaruhi jumlah produksi ikan. Kuantitas ikan akan berkurang seiring dengan meningkatnya jumlah kerusakan terumbu karang. Oleh sebab itu kerusakan terumbu karang merupakan ancaman paling besar yang dirasakan belakangan ini.Kekhawatiran ini hampir dirasakan diseluruh bagian kabupaten Raja Ampat termasuk kampung Warsambin di Teluk Mayalibit.

Sepertinya sumber daya alam laut yang kaya bagaikan dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan dengan illegal fishing.

Semakin kaya suatu wilayah perairan maka semakin rentan pula terjadinya illegal fishing.

Siang itu, 25 Agustus 2011, langit cerah matahari menampakan kegagahannya dengan sinar dan teriknya. Perairan di Teluk Mayalibit sangat tenang, terlihat beberapa orang sedang sibuk di dermaga Pos Conservation International, Side Teluk Mayalibit. “Ade, torang mo patroli dulu. Mo ikut ka trada?” teriak seorang diantara mereka kepada penulis. “Ok kaka sa mo ikut”

sahut penulis. Speedboat dinyalakan dan bergerak menuju arah dalam teluk. “Seharusnya tong patroli besok, tapi tadi pagi masyarakat ada yang datang ke pos kasi tau sa kalo subuh tadi ada kapal kecil satu yang masuk ke dalam. Dong tra kenal itu sapa pu kapal. Jadi ini tong mo pi cek dulu” ujar Dortheus Metansan salah satu petugas CI.

Setelah menempuh perjalanan ± 20 menit dari Pos CI, terlihat sebuah kapal kecil bermesin dengan cabin tertutup oleh

(20)

terpal. Lalu seorang petugas CI pun berdiri dan menuju ke anjungan speedboat. Sambil menggunakan Binocular yang diarahkan ke kapal kecil tersebut, sepertinya ia sedang mengidentifikasi kapal tersebut dari kejauhan. “Itu bukan masyarakat pung kapal. Itu kapal dari luar. Dong ada buang jangkar itu. Tong merapat…” ujar dia sambil kembali ke bangku dan mempersiapkan beberapa kertas, yang kemudian penulis ketahui sebagai form pencatatan laporan patroli. Speedboat patroli pun mulai merapat secara perlahan mendekati kapal kecil tersebut.

“Selamat siang…” sapa seorang petugas.

“Siang bapa…” sahut seorang diantara mereka. Terdapat 3 orang diatas kapal tersebut. Dari tampilan fisik mereka adalah nelayan yang berasal dari luar Raja Ampat.

“Bapa dong ada keperluan apa masuk ke Teluk?” tanya petugas selidik.

“Kita cuma numpang mi bapa, abis diluar ombak besar jadi kita masuk sini” jawab nelayan tersebut.

“Kalau mau numpang kenapa tidak di kampung saja lebih aman to? Kenapa harus masuk kedalam sini. Itu dong bawa apa dalam kabin itu?” selidik petugas seperti melihat ada kejanggalan dari nelayan ini.

“Ini kita punya ikan hasil tangkap di luar (luar teluk) bapa,

su dalam es bapa” jawab nelayan itu tapi sambil terbata-bata. “Kami petugas dari CI yang sedang patroli disini. Bapak memasuki zona No Take Zone, aturannya daerah sini tidak boleh ada nelayan yang masuk untuk mencari ikan. Kami akan periksa muatan bapak” sambil menunjuk pada cabin yang tertutup terpal berwarna biru.

“Ah tidak ada apa-apa ji didalam mi bapa. Cuma ikan mi, yang kita tangkap di luar tadi bapa” jawab nelayan dengan suara yang bergetar.

Terlambat, karena beberapa petugas lainnya sudah melompat ke atas kapal tersebut dan langsung membuka cabin yang dimaksud. Di dalam kabin tersebut memang terdapat hasil tangkapan mereka. Namun sebagian besar hasil tangkapan tersebut

(21)

73 adalah ikan yang hidup seperti baru ditangkap. Dan ditemukan beberapa alat pancing dan jaring yang masih basah. Para nelayan tersebut sudah tidak bisa mengelak lagi.

“Kamorang angka jangkar dan ikut torang ke pos jaga” bentak petugas.

Ancaman illegal fishing kini terpampang jelas di depan mata. Setiap hari semakin bertambah potensi kehilangan ikan dengan cara yang ilegal. Akankah kampung Warsambin dapat menghilangkan resiko atas ancaman eksploitasi dan ancaman kerusakan lingkungan?

Pada bab selanjutnya penulis akan menyampaikan tentang kearifan lokal yang dimiliki masyarakat kampung Warsambin untuk melindungi dan memelihara sumber daya laut mereka. Kearifan lokal tersebut yang kemudian dikenal dengan Budaya Sasi yang sudah hadir dalam kehidupan masyarakat sejak dahulu.

Gambar

Gambar 4.1. Pemandangan Pintu Masuk Teluk Mayalibit  (Sumber A.F. Binter)
Gambar 4.2. Kondisi Kampung Warsambin  (Sumber A.F. Binter)
Gambar 4.4. Penulis bersama salah satu narasumber  (Sumber A.F. Binter)
Gambar 4.5. Peta Pulau Waigeo
+3

Referensi

Dokumen terkait

Di dalam penerapannya tujuan PPD Sumsel menerapkan data mining adalah PPD Sumsel ingin mengetahui tingkat penjualan tertinggi berada pada bulan apa dan PPD Sumsel

[r]

Pengembangan dalam program kurikulum (silabus, sistem penilaian, metode- metode pembelajaran, strategi pembelajaran, penerapan model-model pembelajaran) dengan dilaksanakan

28 Practical English Usage Global Access to the World of Work Person to Person English for SMK (Angkasa) 2.6 Memahami instruksi - instruksi sederhana  Ungkapan-ungkapan

batang sehari apabila menghentikan merokok selama 1 tahun akan memberikan risiko kanker paru yang akan lebih tinggi dibandingkan dengan perokok yang sudah 9 tahun atau lebih

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa strategi pembelajaran PROBEX lebih efektif daripada strategi pembelajaran eksperimen bila diterapkan pada materi Tekanan di

SSP untuk pembayaran PPN atas pemanfaatan BKP tidak berwujud atau JKP dari luar Daerah Pabean;. Nota Penjualan Jasa yang dibuat/dikeluarkan untuk penyerahan jasa

Tóibín manages to bring us through the gamut of human emotion in his short stories — often beginning a story with a death and ending with the prospect of a new life or vice versa..