• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berasrama. Sekolah berasrama merupakan sekolah yang dimana siswa tinggal di

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berasrama. Sekolah berasrama merupakan sekolah yang dimana siswa tinggal di"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

1

A. Latar Belakang Masalah

Terdapat berbagai macam jenis sekolah yang dapat menjadi wadah bagi siswa untuk mengambil manfaat dari pendidikan. Salah satunya adalah sekolah berasrama. Sekolah berasrama merupakan sekolah yang dimana siswa tinggal di sebuah asrama. Sekolah berasrama dapat menjadi sekolah pilihan bagi orang tua untuk menjamin dan mengawasi pendidikan anak-anak di era globalisasi ini. Menurut kemdikbud (2018), 7% dari 13.776 jumlah sekolah SMA di Indonesia menyelenggarakan pendidikan dengan model asrama atau boarding school dan selebihnya menyelenggarakan pendidikan secara reguler. Artinya, sebagian dari orang tua memilih untuk menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah berasrama.

Sekolah berasrama memiliki pengelolaan yang berbeda dengan sekolah reguler. Sekolah berasrama memiliki banyak dampak positif bagi siswa. Dampak positif tersebut yaitu siswa mendapatkan sarana belajar yang memadai dan intensif, siswa dapat menjadi lebih memahami dan menghargai orang lain dengan latar belakang yang berbeda melalui interaksi serta dengan pendidikan di sekolah berasrama yang dikenal ketat, siswa dapat menjadi lebih mandiri dan disipin (Kemdikbud, 2018).

Ketika menyebut sekolah berasrama, umumnya yang dapat dibayangkan adalah sekolah berbasis pondok pesantren. Berbeda dengan sekolah reguler, pendidikan di sekolah yang berbasis pondok pesantren memiliki kurikulum

(2)

sekolah reguler dan kurikulum asrama tersendiri. Perpaduan antara kurikulum sekolah reguler dan kurikulum asrama menjadikan siswa harus mampu meregulasi diri mereka dalam belajar, mengingat padatnya jadwal antara pendidikan di sekolah dan pendidikan di asrama. Oleh karena itu, regulasi diri menjadi hal yang penting dalam proses pembelajaran siswa guna memperoleh manfaat dari pendidikan itu sendiri.

Belajar berdasarkan regulasi diri adalah belajar yang mana siswa memiliki tujuan untuk menambah ilmu dan menjaga motivasi, menyadari keadaan emosi mereka dan memiliki strategi untuk mengelola emosinya (Santrock, 2007). Siswa dengan regulasi diri dalam belajar secara teratur memantau perkembangan belajar ke arah tujuannya, menyesuaikan atau membenahi strategi belajar berdasarkan perkembangan yang mereka buat serta mengevaluasi halangan yang mungkin muncul dan melakukan adaptasi yang diperlukan (Santrock (2007). Siswa yang dapat bertanggung jawab dalam kegiatan belajarnya juga merupakan ciri dari siswa yang memiliki regulasi diri dalam belajar yang tinggi sehingga prestasi yang diharapkan tercapai (Febrianela, 2013).

Kemampuan siswa dalam meregulasi sendiri belajarnya tidak hanya berdampak positif terhadap prestasi akademiknya saja. Siswa yang tidak bisa melakukan regulasi diri dalam belajar dengan optimal kurang memiliki kepercayaan terhadap kemampuannya sendiri sehingga untuk mencapai tujuannya, siswa memutuskan untuk melakukan kecurangan akademik demi meraih tujuan yang diharapkan (Bintoro dkk, 2013). Tingkat kecemasan akademis menjadi rendah apabila siswa mampu melakukan regulasi diri dalam belajar yang

(3)

baik (Nugraha, dkk, 2018). Jika siswa dapat menerapkan regulasi diri dalam belajar dengan baik, maka tugas-tugas akademik dapat diselesaikan dengan baik. Hal ini akan menjadikan tingkat kecemasan akademis menjadi rendah (Etiafani dan Anita Listiara, 2015). Tingkat kecemasan yang rendah membuat siswa akan memiliki kesejahteraan psikologis yang baik. Kesejahteraan psikologis dan regulasi diri dalam belajar yang memiliki hubungan yang signifikan yang mana siswa mampu dalam berpikir positif terhadap dirinya dan masa lalu, mampu menyadari potensinya, dan mampu menciptakan lingkungan yang bermanfaat (Karimah dan Siswati, 2016).

Berbeda dengan kenyataannya, hasil wawancara dengan AM (17 tahun) pada tanggal 7 Agustus 2019 menyebutkan bahwa dirinya masih sering bermalas-malasan dalam mengerjakan tugas sekolah, sering bermain dan merasa bosan ketika jam pelajaran berlangsung dan tidak mengikuti kegiatan yang diwajibkan oleh pondok. AM (17 tahun) juga menyatakan bahwa beberapa dari temannya juga terkadang melakukan hal yang sama. Hasil wawancara dengan NR (44 tahun) selaku guru pada tanggal 7 Agustus juga mengatakan hal yang mirip dengan AM. NR mengungkapkan bahwa beberapa siswa terkadang lalai dalam mengerjakan tugas sekolah, tidur saat jam belajar dan terlambat ketika mengikuti kegiatan pondok. Berdasarkan hasil wawancara tersebut, dapat disimpulkan bahwa regulasi diri dalam belajar siswa di pondok pesantren masih belum optimal.

Terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi tinggi atau rendahnya regulasi diri dalam belajar. Dukungan sosial dipercaya memiliki hubungan yang positif dengan regulasi diri dalam belajar siswa (Aziz, 2016). Siswa yang menerima dukungan sosial yang tinggi dari lingkungan akan membuat siswa memiliki

(4)

regulasi diri yang tinggi pula. Dukungan dari keluarga, teman sebaya dan dukungan dari lingkungan sekolah merupakan hal yang penting bagi proses belajar siswa (Syah, 2010).

Sebagian besar pondok pesantren mewajibkan siswanya untuk tinggal di asrama. Hal ini menjadikan seorang siswa akan menjalani aktivitas selama 24 jam bersama dengan siswa lain. Siswa yang tinggal di asrama pada umumnya adalah remaja SMP dan SMA akan lebih lekat dengan teman sebayanya dibandingkan dengan orang tua, mengingat bahwa remaja lebih cenderung mengikuti teman sebayanya.

Siswa yang tinggal di pondok pesantren lebih banyak bergaul dengan teman sebayanya. Ketika siswa tersebut membutuhkan sesuatu, baik secara material ataupun psikis, maka orang yang pertama kali dapat membantunya adalah dari kalangan yang tinggal di pondok pesantren yang sama. Utamanya adalah teman sebayanya. Artinya bahwa dukungan sosial dari teman sebaya berupa pertolongan secara material, penghargaan, informasi dan emosional memiliki peran penting terhadap regulasi diri dalam belajar siswa.

Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini dilakukan untuk mengetahui peran dukungan teman sebaya dalam regulasi belajar pada siswa SMA yang berasrama, dalam hal ini adalah pondok pesantren. Peneliti tertarik untuk menggali regulasi belajar siswa SMA yang tinggal di pondok pesantren menimbang pondok pesantren memiliki peran yang cukup besar bagi pendidikan anak Bangsa.

(5)

B. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara dukungan sosial teman sebaya dan regulasi diri dalam belajar pada siswa SMA yang berasrama.

C. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini berguna sebagai rujukan dalam ranah psikologi, terutama psikologi pendidikan dan psikologi sosial.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dalam bidang pendidikan, terutama untuk pengurus pondok pesantren supaya dapat membina santri dalam memberikan dukungan kepada santri lainnya.

D. Keaslian Penelitian

Penelitian dengan menggunakan variabel dukungan sosial teman sebaya dan regulasi diri dalam belajar telah banyak dilakukan. Apriani & Wahyuni (2015) melakukan penelitian dengan judul “pengaruh dukungan sosial teman sebaya dan regulasi diri terhadap penyesuaian diri santri”. Penelitian ini dilakukan terhadap 196 orang santri kelas 1 MTs di Pondok Pesantren Darus-Salam dan Darut-Taqwa. Penelitian ini menggunakan desain korelasional. Skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala Psychological Adjustment Scale dari teori Haber dan Runyon untuk mengukur penyesuaian diri, skala The Social Provisions Scale dari

(6)

teori Cutrona dan Rusell untuk mengukur dukungan sosial serta skala The Self Regulation Questionnaire dari teori Brown, Miller dan Lawendowsksi untuk mengukur regulasi diri. Penelitian ini membukatikan bahwa terdapat hubungan yang positif antara dukungan sosial teman sebaya, regulasi diri dan penyesuaian diri pada santri.

Tunggadewi dan Indriana (2017) memberi judul “hubungan antara dukungan sosial dengan motivasi belajar pada santri di Pesantren Tahfidz Daarul Qur’an Jawa Tengah” pada penelitiannya. Subjek pada penelitian ini adalah santri di Pesantren Tahfidz Daarul Qur’an Jawa Tengah berjumlah 259 santri yang dibagi ke dalam 10 kelas. Penelitian ini menggunakan skala motivasi belajar yang didasari oleh teori Cherniss dan Goleman dengan aspek achievement drive, commitment, initiative, dan optimism. Skala dukungan sosial yang dibuat berdasarkan teori Sarafino dengan aspek yaitu emotional and esteem support, instrumental support, informational support, dan network companionship support. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara dukungan sosial dengan motivasi belajar pada santri di Pesantren Tahfidz Daarul Qur’an Jawa Tengah.

Penelitian yang cukup mirip dilakukan oleh Nisa, dkk (2018) dengan judul peran dukungan teman sebaya dan regulasi diri belajar terhadap penyesuaian akademis mahasiswa perguruan tinggi kedinasan berasrama XYZ. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini merupakan desain korelasional dengan teknik analisis regresi berganda. Sejumlah 97 mahasiswa tingkat awal berpartisipasi dalam penelitian ini. Skala yang digunakan dalam penelitian ini

(7)

merupakan adaptasi dari Academic Adjustment Questionnaire (AAQ) yang disusun oleh Cazan dan Clinciu (2013) untuk mengukur penyesuaian diri, skala Interpersonal Support Evaluation List (ISEL) College Version dari teori Cohen dan Hoberman (1983) untuk mengukur dukungan teman sebaya dan skala Motivated Strategies For Learning Questionnaire (MSLQ) oleh Pintrich untuk mengukur regulasi diri belajar. Hasil penelitian mendapati bahwa dukungan teman sebaya dan regulasi diri belajar berperan secara bersama-sama terhadap penyesuaian akademis mahasiswa Sekolah Tinggi Kedinasan Berasrama XYZ, dukungan teman sebaya memiliki peran lebih besar dari pada variabel regulasi diri belajar.

Adicondro dan Purnamasari (2011) melakukan penelitian dengan judul “efikasi diri, dukungan sosial keluarga dan self-regulated learning pada siswa kelas VIII”. Penelitian ini dilakukan pada 62 siswa kelas VIII SMP Muhammadiyah. Skala Efikasi Diri disusun sendiri oleh peneliti dengan didasari oleh teori Bandura, terdiri atas 33aitem dengan dimensi-dimensi efikasi diri yaitu magnitude, generality, dan strength. Dukungan Sosial Keluarga diukur dengan menggunakan skala dukungan sosial yang dikemukakan oleh House, terdiri atas 36 aitem dengan aspek dukungan emosi, penghargaan, informasi dan instrumen. Self-regulated learning diukur dengan menggunakan skala self-regulated learning yang dibuat dari teori Zimmerman terdiri atas 27 aitem dengan aspek-aspek self regulated learning yaitu; metakognisi, motivasi dan perilaku. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa terdapat hubungan antara efikasi diri dan dukungan sosial keluarga dengan self-regulated learning.

(8)

Kuspitasari (2018) melakukan penelitian dengan judul “pengaruh dukungan sosial kawan sebaya terhadap regulasi diri dalam belajar siswa sekolah berasrama”. Subjek dalam penelitian ini merupakan 139 orang siswa MAN 2 Malang kelas X yang tinggal di asrama. Skala yang digunakan dalam penelitian ini merupakan skala yang disusun oleh peneliti sendiri dengan berdasar pada teori regulasi diri dalam belajar oleh Zimmerman yang memiliki tiga aspek, metakognisi, motivasi intrinsik, dan perilaku aktif belajar. Dukungan kawan sebaya diukur menggunakan skala yang dimodifikasi oleh peneliti dari skala Sefitri yang berdasar pada teori dukungan sosial Sarafino. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dukungan kawan sebaya memiliki keterkaitan dengan regulasi diri dalam belajar.

Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya, maka dapat dikatakan penelitian ini memiliki keaslian dalam hal yakni:

1. Keaslian Topik

Topik penelitian ini memiliki kesamaan varibel dukungan sosial dengan penelitian yang dilakukan oleh Tunggadewi & Indriana (2017) dan Adicondro & Purnamasari (2011). Akan tetapi, penelitian ini berfokus kepada dukungan teman sebaya seperti penelitian Apriani & Wahyuni (2015), Nisa, dkk (2018) dan Kuspitasari (2018). Variabel self-regulated learning atau yang disebut juga dengan regulasi diri dalam belajar, dalam penelitian ini juga memiliki kesamaan variabel dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh Adicondro & Purnamasari (2011), Nisa, dkk (2018) dan Kuspitasari (2018). Akan tetapi, penelitian ini lebih

(9)

berfokus kepada dukungan sosial dari teman sebaya dan regulasi diri dalam belajar pada siswa SMA yang tinggal di asrama pondok pesantren. 2. Keaslian Konstruk/Teori

Penelitian ini mengangkat teori dukungan sosial yang pernah dikemukakan oleh House (1981). Aspek-aspek dari teori ini mencakup dukungan emosional emosional, bantuan instrumental, pemberian informasi dan adanya penilaian atau penghargaan dari orang lain. Teori ini pernah digunakan oleh Adicondro dan Purnamasari (2011). Teori ini memiliki perbedaan teori dalam penelitian Tunggadewi dan Indriana (2017), Apriani & Wahyuni (2015), Nisa, dkk (2018) dan Kuspitasari (2018).

Teori regulasi diri dalam belajar dalam penelitian ini menggunakan pendapat yang dikemukakan oleh Pintrich (1991). Terdapat kesamaan antara teori yang digunakan dalam penelitian ini dengan teori yang pernah digunakan oleh Nisa, dkk (2018). Adapun Adicondro dan Purnamasari (2011) dan Kuspitasari (2018) menggunakan teori regulasi diri dalam belajar yang dikemukakan oleh Zimmerman.

3. Keaslian Alat Ukur

Adicondro dan Purnamasari (2011) dalam penelitiannya menggunakan alat ukur dukungan teman sebaya berdasar pada teori House. Adapun dalam penelitian ini, dukungan teman sebaya diukur menggunakan skala yang disusun oleh Winarni (2014) yang menggunakan aspek-aspek dari teori House (1981). Nisa, dkk (2018)

(10)

menggunakan skala Motivated Strategies for Learning Questionnaire (MSLQ) untuk mengukur regulasi diri dalam belajar. Akan tetapi, regulasi diri dalam belajar dalam penelitian ini diukur menggunakan skala Revised Motivated Strategies for Learning Questionnaire (RMSLQ) oleh Liu, dkk (2012).

4. Keaslian Subjek

Secara garis besar, subjek dalam penelitian ini memiliki kesamaan dengan Nisa, dkk (2018) dan Kuspitasari (2018) yaitu siswa yang tinggal di asrama. Akan tetapi, subjek yang berpartisipasi dalam penelitian ini merupakan siswa SMA yang tinggal di asrama yang dalam hal ini dimaksudkan adalah santri yang tinggal di pondok pesantren. Subjek penelitian ini memiliki kesamaan dengan subjek dalam penelitian yang dilakukan oleh Tunggadewi & Indriana (2017) dan Apriani & Wahyuni (2015) yaitu santri.

Referensi

Dokumen terkait

dukungan sosial teman sebaya dengan penyesuaian diri pada peserta didik. Madrasah Tsanawiyah di Pondok Pesantren Modern Darul Mujahadah

Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang judul: Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas VI pada Materi Operasi

Untuk mengetahui dan mendeskripsikan bagaimana hasil belajar dalam pembelajaran berbasis tutor sebaya pada mata pelajaran Akuntansi Keuangan di SMK PGRI 1

Bagaimana fungsi teman sebaya sebagai motivator dalam ranah kognitif untuk meningkatkan hasil belajar pada mata pelajaran Kompetensi Kejuruan semester satuD.

Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan bahwa dalam penelitian ini secara khusus akan mencari keterkaitan antara keharmonisan keluarga dan dukungan sosial

Untuk mengetahui hasil belajar siswa yang diajar dengan menggunakan model pembelajaran Konstruktivis pada materi Gerak Dengan Analisis Vektor di Kelas XI IPA

Untuk mengetahui perbedaan hasil belajar geografi antara siswa kelas XI SMA Negeri 2 Gorontalo yang diajar dengan menggunakan modul berbasis lingkungan dengan siswa

Dalam hal ini upaya konselor yang digunakan untuk membantu siswa meningkatkan motivasi belajar yaitu melalui layanan bimbingan teman sebaya karena dalam bimbingan