U A N G P ER LI N D U N G A
UANG
P
Bagaimana rencana ekspansi industri akan
E
R
L
I
N
D
U
N
G
AN
menggunakan dana iklim untuk membiayai deforestasi,
dan mengabaikan komitmen Presiden SBY untuk
U A N G P ER LI N D U N G A November 2010
Diterbitkan oleh Greenpeace Internasional Ottho Heldringstraat 5
1066 AZ Amsterdam The Netherlands
[email protected] www.greenpeace.org/forests
Greenpeace adalah organisasi kampanye
independen global yang bertindak untuk
merubah sikap dan tindakan, untuk
melindungi dan mengkonservasi lingkungan
dan mempromosikan perdamaian.
Greenpeace berkomitmen menghentikan
perubahan iklim.
Kami berkampanye untuk melindungi hutan
alam asli dunia yang tersisa dan tumbuhan,
satwa dan masyarakat yang bergantung
padanya.
Kami menyelidiki, menyorot, dan
mengkonfrontasi perdagangan produk
yang menyebabkan kerusakan hutan dan
perubahan iklim.
Kami menantang pemerintah dan industri
untuk mengakhiri peran mereka dalam
perusakan hutan dan perubahan iklim.
Kami mendukung hak-hak masyarakat yang
PR O TE C TI O N M
Riau, 2010: Greenpeace, Jikalahari dan Forum Masyarakat untuk Penyelamatan Semenanjung Kampar (FMPKS) membangun kebun pembibitan tanaman dan pohon lokal untuk melindungi dan merestorasi hutan gambut Semenanjung Kampar yang kaya karbon.
Ringkasan EksEkutif:
INDONESIA BERADA DI
PERSIMPANGAN JALAN
Saya percaya bahwa kami dapat mencapai tujuan ini [target pengurangan emisi gas rumahkaca], sementara memastikan pertumbuhan yang berkelanjutan dan adil secara ekonomi untuk masyarakat kami.’
Presiden susilo Bambang Yudhoyono, 26 april 2010
Untuk pembangunan manusia agar menjadi benar-benar berkelanjutan, kaitan erat antara pertumbuhan ekonomi dan emisi gas rumahkaca harus diputus.
unDP, ‘Laporan Pembangunan Manusia 2010’ november 2010
Jadi layak bagi pemerintah untuk menargetkan [untuk melipat dua produksi menjadi] 40 juta ton minyak kelapa sawit tanpa memperluas perkebunan.’
Wakil Menteri Pertanian Bayu krisnamurthi, 28 september 2010
Saya pikir baik untuk istirahat sejenak. Sejak [1980] sampai 2010, kami menerima banyak sekali kritik dari seluruh dunia. Jadi biarkan kami menghentikan semua, katakan di mana kami melakukan kesalahan dan mari kita analisa, lihat di mana kami dapat memperbaikinya menurut peraturan nasional dan kemudian membuat sekumpulan peraturan atau sistem baru.
aida greenbury, divisi pulp sinar Mas, 22 Oktober 2010
TuJuAN PEMBANGuNAN RENDAh
KARBON INDONESIA TIDAK hARuS
BERGANTuNG PADA DEfORESTASI
Dokumen-dokumen kebijakan dari Kementerian Kehutanan, Pertanian dan Kementrian ESDM mengungkapkan rencana ekspansi sektor-sektor industri pulp, kelapa sawit, pertanian, biofuel dan batubara yang akan mengakibatkan tambahan sekitar 63 juta ha lahan untuk produksi pada tahun 2030. Hal ini setara dengan semua lahan di luar zona lindung dan konservasi yang belum diidentifikasi penggunaan ekonominya.
Data Kementerian Kehutanan menunjukkan bahwa wilayah yang dicanangkan untuk ekspansi pada sektor-sektor di atas termasuk 40% hutan, atau sekitar 37 juta ha – sebuah wilayah seluas gabungan negara Norwegia dan Denmark; 80% lahan gambut Indonesia, seluas 16 juta ha; dan 50% hutan yang merupakan habitat orangutan. Angka pemerintah menunjukkan bahwa karbon dalam hutan dan lahan gambut yang berisiko untuk di korbankan adalah sejumlah 38GtC – setara dengan sekitar empat tahun emisi gas rumahkaca global.
Rencana pengurangan gas rumahkaca Indonesia mengidentifikasi sektor-sektor pulp, kelapa sawit dan pertanian sebagai pendorong utama deforestasi di masa depan – yang berpotensi mengakibatkan hilangnya 28 juta ha hutan (75% hutan dalam wilayah yang masuk zona untuk ekspansi sektor) pada tahun 2030.
Tapi pernyataan industri dan dokumen kebijakan pemerintah mengindikasikan bahwa – dengan peningkatan produktivitas sebagai objektif utama – tidak diperlukan lahan tambahan untuk mencapai target-target pemerintah untuk ekspansi sektor-sektor ini.
Angka yang secara konsisten digunakan oleh Kementerian Kehutanan dan dokumen pemerintah lainnya menunjukkan bahwa industri yang ada ‘menyimpan’ lahan yang dapat mengakomodasi kenaikan empat kali lipat dari produktivitas perkebunan kayu dan melipat dua produktivitas kelapa sawit. Sebuah versi rancangan strategi REDD Indonesia menyatakan bahwa pada jangka menengah, tidak diperlukan lahan tambahan untuk pertanian.
Ini mendemontrasikan bahwa, bila didukung dengan benar melalui kebijakan dan peraturan pemerintah, jalur pembangunan rendah karbon yang secara ekonomi memakmurkan tidak harus dibayar dengan hutan dan lahan gambut. Pendanaan internasional untuk perlindungan hutan sejatinya mendorong agenda pembangunan rendah karbon Presiden SBY, dan akan memberi insentif untuk praktik terbaik industri, perbaikan tata kelola pemerintahan, dan perbaikan dalam praktik pertanian masyarakat dan hasil panen. Data Indonesia sendiri dari DNPI menempatkan Indonesia sebagai negara pengemisi gas rumahkaca ketiga terbesar di dunia; 85% di antaranya berasal dari penggunaan lahan – hampir seluruhnya
akibat deforestasi dan degradasi lahan gambut. Pemerintah Norwegia telah menjanjikan $1 milyar yang dirancang untuk mengurangi deforestasi dan emisi gas rumahkaca di Indonesia. Bagian dari kesepakatan ini termasuk moratorium dua tahun untuk tambahan akokasi lahan gambut dan hutan alam untuk ekspansi sektor.
Grup Sinar Mas adalah produsen pulp dan kelapa sawit terbesar di Indonesia. Divisi pulp mereka telah menyatakan bahwa sebuah moratorium akan memberikan kesempatan bagi industri dan pemerintah untuk menghitung stok, memperbaiki praktik dan merancang kebijakan-kebijakan baru. Kepala divisi kelapa sawit grup ini telah menyatakan bahwa sektor ini sejatinya tidak memerlukan lebih banyak lahan untuk memenuhi target produksinya. Tetapi, walau dukungan model pembangunan rendah karbon dinyatakan dalam bentuk moratorium, kebijakan yang lebih baik dan perbaikan produktivitas, terdapat risiko besar akan diberlakukannya sebuah model ekspansi alternatif tinggi karbon yang saat ini didorong oleh sebagian elemen dalam pemerintahan dan industri. Model semacam ini tidak menentang pemborosan praktik industri atau korupsi yang diakui dalam sektor kehutanan. Misalnya, Kementerian Kehutanan telah secara eksplisit mencari sokongan pendanaan iklim internasional untuk mendukung ekspansi pulp dan kelapa sawit, dan ‘memperkuat stok karbon melalui [perkebunan kayu] dan restorasi hutan. Sebagian pejabat-pejabat senior dalam Kementerian Kehutanan telah menyatakan bahwa moratorium
U A N G P ER LI N D U N G A
pada pembukaan hutan akan merusak ekonomi, dan telah menuntut renegosiasi kesepakatan Norwegia. Pendukung model tinggi karbon ini berusaha untuk melabel ulang kegiatan industri yang mendorong deforestasi sebagai ‘rehabilitasi lahan kritis’. Dalam praktiknya, dengan lemahnya definisi ‘hutan’ dan ‘lahan kritis’ atau istilah kunci lainnya, hal ini berakibat berlanjutnya pembabatan habis hutan alam dan lahan gambut. Konsekuensinya, dana internasional yang dirancang untuk mendukung perlindungan hutan dan lahan gambut Indonesia akan dimanfaatkan justru untuk penghancurannya. Apapun dinamakannya kegiatan ini, hasilnya sama: hilangnya hutan alam, emisi tinggi dan praktik industri yang buruk.
Ini bukan model pembangunan yang harus dibanggakan siapapun.
Biaya dari tak adanya tindakan – atau lebih buruknya, salah perhitungan – dalam menghentikan deforestasi dan degradasi lahan gambut adalah perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, dan gagalnya pembangunan rendah karbon sebenarnya untuk masyarakat Indonesia. Berikut ini adalah elemen kunci untuk membawa Indonesia pada jalur yang benar-benar rendah karbon: (a) visi yang jelas akan apa yang diperlukan dan diinginkan pembangunan; (b) kebijakan untuk membuat membuat hal ini prioritas antar sektor, mengintegrasikan perubahan iklim, perlindungan keanekaragaman
hayati dan ekonomi; (c) tata kelola pemerintahan yang kuat untuk memastikan penerapan; (d) kepemimpinan industri dan inisiatif untuk mencapai standar produksi kelas dunia; dan (e) dukungan keuangan internasional untuk perlindungan hutan dan pembangunan bersih.
PRESIDEN SuSILO BAMBANG
YuDhOYONO SEBAGAI PEMIMPIN GLOBAL
uNTuK AKSI IKLIM DAN PEMBANGuNAN
RENDAh KARBON
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyadari apa risiko yang diakibatkan perubahan iklim, dan perlunya tindakan: ‘Indonesia mengerti perlunya peran negri ini untuk menghadapi mendesaknya memerangi perubahan iklim. Sebagai negara berkembang, dan kepulauan dengan 17.000 pulau, masyarakat kami akan merasakan dampak buruk perubahan iklim.’
Patut dihargai usaha Presiden SBY untuk memelopori usaha global untuk mengurangi emisi gas rumahkaca dan berpindah ke model pembangunan rendah karbon. Dengan dukungan internasional, SBY telah berjanji untuk melakukan pemotongan dramatis emisi gas rumahkaca nasional dalam satu dekade ke depan. Pemerintah Norwegia berjanji membantu sebesar $1 milyar untuk agenda progresif Presiden SBY untuk menghentikan deforestasi. Kesepakatan ini termasuk moratorium alokasi hutan alam dan lahan gambut untuk ekspansi sektor ini lebih lanjut, serta kajian keadaan lahan yang dikuasai perusahaan dalam konsesi yang ada saat ini.
Dana yang diperuntukkan untuk mendukung perlindungan hutan alam, dengan demikian akan menguntungkan jasa ekonomi, keanekaragaman hayati dalam jangka panjang dan budaya dari masyarakat yang bergantung hutan Indonesia. Moratorium ketat adalah langkah kritis menuju penerapan rencana pembangunan rendah karbon yang berarti. Greenpeace, menyerukan perlindungan segera akan semua lahan gambut dan penghentian sementara semua penebangan hutan alam, tidak hanya dalam wilayah konsesi baru tetapi juga dalam perkebunan yang ada saat ini.
Sementara usulan dari beberapa orang dalam kementerian tertentu di Indonesia mendukung status quo, moratorium semacam ini akan menciptakan insentif untuk industri untuk secara dramatis meningkatkan produktivitas dalam wilayah perkebunan yang ada.
Kritis bagi pemerintah Indonesia, moratorium semacam ini akan memberi jendela yang diperlukan untuk merombak proses alokasi lahan untuk memastikan perlindungan nilai-nilai ekologi, keanekaragaman hayati, sosial, legal dan ekonomi. Ini akan merupakan ‘jalur pembangunan baru’.
PEMBANGuNAN RENDAh
KARBON SEBENARNYA
Sangat penting dalam langkah menentukan jalur pembangunan jangka panjang Indonesia adalah penentuan definisi dan peta yang transparan akan
lahan yang tersedia untuk pembangunan rendah karbon. Rancangan Strategi Nasional REDD+ bersama Bappenas–UN-REDD Oktober 2010 telah menetapkan batas teknis karbon untuk lahan yang cocok untuk pembangunan rendah karbon, serta lahan yang memerlukan konservasi murni karena potensi penyimpanan karbonnya. Kriteria karbon ini seharusnya diterjemahkan dalam kebijakan-kebijakan untuk pembangunan rendah karbon yang mendasari perlindungan lahan gambut dan hutan secara penuh.
Data Kementerian Kehutanan dan instansi lain yang digunakan oleh Pemerintah Indonesia dalam mengembangkan rencana pengurangan emisi gas rumahkaca menyatakan bahwa wilayah potensial yang tersedia untuk pembangunan rendah karbon hampir mencapai 14 juta ha.
Dalam rangka Indonesia mencapai ambisinya untuk tidak ‘terjebak dalam model pembangunan yang tidak berkelanjutan untuk lingkungan kita dan dunia’ jelas bahwa sektor-sektor seperti pulp dan kelapa sawit harus ‘bergeser ke model pembangunan yang tidak terlalu sensitif-karbon’. Yang mengejutkan adalah untuk sebuah rencana pengurangan emisi gas rumahkaca nasional yang bertujuan membawa Indonesia ke ‘jalur pembangunan rendah karbon’, biaya pembangunan rendah karbon yang sejalan dengan tujuan-tujuan sosial, ekonomi dan lingkungan yang jelas, belum diperkirakan. Tapi, pernyataan-pernyataan industri dan angka-angka pemerintah sendiri yang digunakan
U A N G P ER LI N D U N G A
dalam rencana pengurangan ini menunjukkan bahwa sektor-sektor pulp dan kelapa sawit tidak memerlukan tambahan lahan untuk mencapai tujuan produksi mereka – tentunya dengan kepemimpinan industri akan produktivitas dan kebijakan pemerintah yang ketat.
• Asumsi hasil kelapa sawit: melipat duakan hasil pada perkebunan baru dan yang sedang ditanami; tambahan wilayah yang diperlukan: tidak ada.
• Asumsi hasil perkebunan pulp: hasil sebanyak empat kali lipat; tambahan wilayah yang diperlukan: tidak ada.
Pada saat yang sama, sebuah rancangan strategi REDD Indonesia 2010 menyimpulkan bahwa tambahan lahan untuk pertanian juga tidak diperlukan dalam jangka menengah. Jadi, sebagai tambahan untuk mengarahkan pendanaan REDD kepada mereka yang bertanggung jawab melindungi hutan alam, apa yang diperlukan adalah melindungi secara penuh hutan alam dan lahan gambut Indonesia dari pendorong utama deforestasi agar berkomitmen kepada moratorium, menanami hanya wilayah non-gambut yang telah mereka gunduli, serta memperbaiki produktivitas sejalan dengan asumsi pemerintah dan mereka sendiri.
RENCANA EKSPANSI INDuSTRI
MENYANDERA huTAN INDONESIA
Berbagai kementrian merencanakan pembangunan industri untuk menggunakan tambahan sekitar 63 juta ha lahan untuk produksi pada tahun 2030:
•
Perkebunan kayu termasuk kayu untuk pulp: 28 juta ha•
Perkebunan industri termasuk kelapa sawit: 9 juta ha (total permintaan penggunaan lahan tidak diprakirakan)•
Pertanian: 13 juta ha wilayah hutan (total permintaan penggunaan lahan tidak diprakirakan)•
Perkebunan biofuel termasuk kelapa sawit: 9 juta ha•
Pertambangan: 4 juta ha dalam kawasan hutan (total permintaan penggunaan lahan tidak diprakirakan)Hal ini secara kasar setara dengan semua lahan yang saat ini belum dikembangkan di Indonesia, termasuk wilayah hutan yang luas di luar zona wilayah hutan lindung dan konservasi. Wilayah ini setara dengan setidaknya empat kali luas wilayah berkarbon rendah (yang disadur dari data Kementerian Kehutanan mencakup paling banyak 14 juta ha). Jika ekspansi ini terus berlangsung, ini akan menyebabkan:
•
Hilangnya 40% hutan alam Indonesia yang tersisa, sekitar 37 juta ha – wilayah seluas gabungan negara Norwegia dan Denmark.Angka pemerintah menyatakan bahwa wilayah hutan ini mengadung kurang lebih 10Gt karbon.•
Hilangnya separuh dari hutan habitat orangutan yang tersisa.•
Degradasi hampir 80% lahan gambutIndonesia yang kaya karbon. Angka-angka pemerintah menyatakan bahwa lahan gambut di wilayah berisiko mengandung kurang lebih 28Gt karbon.
•
Total karbon yang akan hilang untuk ekspansi sebanyak 38GtC, setara dengan empat kali emisi global gas rumahkaca tahun 2005.Lebih dari separuh wilayah yang direncanakan untuk ditebang habis adalah melalui ekspansi sektor-sektor pulp dan kelapa sawit. Rencana pemerintah untuk mengganda-tigakan produksi pulp dan kertas tahun 2025 dan melipat dua produksi kelapa sawit pada tahun 2020, dengan ekspansi tambahan untuk produksi biofuel.
Pabrik-pabrik pulp Indonesia tidak bisa memenuhi kebutuhan serat dari perkebunan yang ada dan terus bergantung pada deforestasi. Ekspansi perkebunan di sektor-sektor pulp dan kelapa sawit Indonesia bertanggung jawab akan lebih dari separuh deforestasi di masa mendatang. Operasi saat ini dalam sektor-sektor ini dicirikan dengan tata kelola yang buruk – dengan meluasnya dan jelas diabaikannya perijinan dan peraturan, analisis dampak lingkungan dan perlindungan gambut dalam – pengelolaan lahan yang buruk dan produktivitas rendah.
Walau demikian, rencana-rencana pengurangan gas rumahkaca Indonesia berusaha mencari pendanaan internasional atas nama mengatasi perubahan iklim. Misalnya sebagai bagian dari strategi ‘pembangunan hijau’, rencana pengurangan menyarankan International Finance
Corporation (IFC – bagian dari Bank Dunia) mendanai pembangunan dua pabrik pulp, yang akan meningkatkan kapasitas terpasang saat ini menjadi jauh lebih besar. Menteri Industri telah menyerukan untuk secara cepat melipat dua produksi dan ekspor dari sektor pulp, dan Menteri Kehutanan dilaporkan telah mempertimbangkan untuk pengoperasikan pabrik untuk mencapai ambisi ini.Bank Dunia, melalui Dana Teknologi Bersih, telah menyisihkan lebih dari $3 milyar untuk Indonesia, dengan sektor pulp yang berekspansi diidentifikasi sebagai kandidat kuat penerima dukungan ini.
Dalam hal pendanaan REDD+ dan mitigasi iklim, ambisi ekspansi ini dapat menyebabkan dampak negatif untuk hutan dan lahan gambut Indonesia. Rencana-rencana pengurangan gas rumahkaca Indonesia secara tidak benar menyatakan bahwa perkebunan memegang peran dalam ‘rehabilitasi’ lahan ‘terdegradasi’, ‘kritis’ ‘tidur’ atau ‘tidak produktif’, dan mendukung ‘aforestasi/reforestasi’ (menanam pohon) adalah pilihan lebih murah daripada ‘menghindari deforestasi’ (menebangi pohon). Walau tampaknya lebih murah (atau lebih tidak menentang status quo industri) untuk menyerukan penggantian hutan alam dengan ‘rehabilitasi’ perkebunan dibandingkan dengan ‘deforestasi’, hasilnya akan sama saja. Ini berarti, dana internasional REDD yang dicanangkan untuk perlindungan hutan pada kenyataannya akan digunakan untuk mensubsidi pengrusakan, dengan biaya signifikan terhadap iklim, keanekaragaman hayati dan sosial.
Perubahan iklim dan ekonomi dianggap sebagai konsep yang tidak berhubungan di Indonesia, terutama oleh pasar modal dan masyarakat perbankan. Hal ini menghambat tercapainya pembangunan rendah karbon dan penerapan instrumen-instruman keuangan untuk mendukung pembangunan semacam ini.’
unfCCC (2010) ‘studi ekonomi, lingkungan dan pembangunan nasional untuk perubahan iklim: laporan ringkasan awal’
U A N G P ER LI N D U N G A
Angka-angka pemerintah sendiri menunjukkan bahwa perkebunan kayu dan industri (seperti kelapa sawit) memegang hanya sebagian kecil karbon bahkan dibanding hutan alam yang sangat terdegradasi. Selanjutnya, perkebunan tidak memberikan jasa ekosistem penting yang diberikan oleh hutan alam, menjaga siklus air bersih dan keuntungan lainnya untuk masyarakat setempat, dan tidak pula menyimpan keanekaragaman hayati yang sama kayanya.Ini artinya, mengganti hutan dengan perkebunan seharusnya tidak pernah menjadi bagian dari pembangunan yang benar-benar rendah karbon. Ditambah dengan tidak adanya akuntabilitas politik atau institusional, definisi lemah tentang lahan yang tersedia untuk pembangunan rendah karbon untuk mendukung tujuan REDD, rencana-rencana pengurangan emisi gas rumahkaca Indonesia dapat membuat insentif buruk untuk membabat habis hutan dan lahan gambut, menciptakan kesempatan untuk korupsi yang mengakibatkan tidak meratanya penyebaran keuntungan dan secara nyata memacu emisi gas rumahkaca. Yang merugi adalah masyatakat hutan Indonesia dan masyarakat rentan yang bergantung pada jasa ekosistem dan keuntungan adaptasi yang diberikan oleh hutan alam.
KORuPSI DALAM SEKTOR KEhuTANAN:
AKANKAh ‘uANG PERLINDuNGAN’
MENINGKATKAN EMISI GAS
RuMAhKACA?
Kementerian Kehutanan memiliki sejarah korupsi dan kebijakan-kebijakan yang diwarnai korupsi. Misalnya, penelitian Ernst & Young menemukan bahwa dalam periode lima tahun lebih dari $5 milyar hilang dari skema Dana Reboisasi yang secara khusus
dirancang untuk reforestasi dan rehabilitasi lahan hutan yang ‘terdegradasi’.Sebaliknya, Dana Reboisasi ini sendiri memberi insentif bagi pengelolaan buruk hutan dengan membiarkan para pemegang HPH untuk mengakses dana ini untuk mengkonversi lahan yang telah digunduli dan rusak menjadi perkebunan. Selanjutnya, sepertiga dari wilayah yang yang telah dikeluarkan dananya dan hampir tidak ada hutan pernah ditanami ulang.
Tujuan dan pendekatan Dana Reboisasi gaungnya sama dengan rencana-rencana pengurangan emisi gas rumahkaca Indonesia untuk sebab-sebab yang saling berhubungan berikut ini:
•
Kementerian Kehutanan adalah arsitek utama rencana pengurangan gas rumahkaca Indonesia.•
Diakui oleh Kementerian sendiri, korupsi dalam sektor kehutanan sangat parah.•
Kementerian memandang bahwa memajukan kepentingan industri adalah tujuan utama, dengan kegiatan mitigasi emisi gas rumahkaca ‘diintegrasikan’ sebagai rencana sektor kehutanan saat ini untuk membangun perkebunan.•
Dengan demikian strategi pengurangan gas rumahkaca bertujuan meredefinisi atau melabel ulang kegiatan industri sebagai kegiatan mitigasi emisi gas rumahkaca. Misalnya:- Kementerian merencanakan pembangunan 33 juta ha perkebunan kayu yang digambarkannya sebagai ‘penguatan pengikat karbon’.
Asumsinya adalah (a) bahwa perkebunan secara
permanen mengikat sejumlah besar karbon (ini tidak benar); dan (b) terdapat 33 juta ha lahan rendah karbon yang tersedia untuk kegiatan ini (lahan semacam ini tidak ada).
- Sejumlah luas hutan alam yang memiliki nilai karbon dan keanekaragaman hayati yang tinggi dikategorikan sebagai ‘terdegradasi’, ‘tidak produktif’. ‘tidur’ atau ‘kritis’ dan perlu di‘rehabilitasi’. Rencana pengurangan gas rumahkaca Indonesia berencana untuk mencari pendanaan internasional untuk mendanai ‘rehabilitasi hutan’ dari hutan ‘terdegradasi’ ini, serta memandang perkebunan sebagai cara tercepat, termurah untuk melaksanakan rehabilitasi tersebut.
Dikatakan bahwa dampak dari penggantian hutan dengan perkebunan akan mencapai hasil positif bagi iklim, keanekaragaman hayati, masyarakat loka, dan tujuan pembangunan rendah karbon. Pada kenyataannya, rencana semacam in akan mengakibatkan hilangnya hutan alam dan lahan gambut kaya karbon secara masif, selain juga menyebabkan hilangnya habitat satwa liar serta hutan yang memiliki nilai ekonomi dan sosial bagi masyarakat lokal.
JALAN KE DEPAN
Langkah-langkah nasional dan internasional untuk memastikan berhentinya deforestasi dan degradasi lahan gambut dan memajukan visi pembangunan rendah karbon berhasil diterapkan memerlukan kemauan yang baik, pemerintahan yang baik dan pengelolaan keuangan yang bersih oleh pemerintah, institusi dan industri yang terlibat.
hENTIKAN PERuSAKAN huTAN
SECEPATNYA BERLAKUKAN MORATORIUM:
Hentikan semua pembabatan hutan,
termasuk dalam wilayah konsesi yang ada,
dan pastikan segera perlindungan semua
lahan gambut.
BERLAKUKAN KEBIJAKAN
DEFORESTASI NOL: Lindungi hutan alam
dan lahan gambut secara permanen.
PROMOSIKAN PEMERINTAHAN YANG BAIK:
Terapkan langkah-langkah efektif untuk
mengatasi korupsi, kontrol indutsri, dan
lindungi hutan dan kepentingan nasional.
DuKuNG PEMBANGuNAN
RENDAh KARBON
BANGUN RENCANA TATAGUNA LAHAN
NASIONAL YANG BARU: Rencanakan jalur
pembangunan yang benar-benar rendah
karbon.
PROMOSIKAN KEPEMIMPINAN INDUSTRI:
Beri insentif bagi industri untuk mendukung
pembangunan bersih yang rendah karbon
termasuk peningkatan produktivitas.
KEMBANGKAN SEBUAH STRATEGI
PENGURANGAN KARBON YANG KREDIBEL:
Gunakan dan ungguli model Brazil untuk
memonitor dan menyediakan data tentang
tingkat deforestasi relatif terhadap garis dasar
yang jelas.
DANAI PERLINDuNGAN huTAN
PASTIKAN DANA REDD MENGUNTUNGKAN
MASYARAKAT DAN KEANEKARAGAMAN
HAYATI HUTAN: Dukung perlindungan hutan,
bukan perkebunan industri atau korupsi
sektor kehutanan.
U A N G P ER LI N D U N G A
Perubahan iklim boleh menjadi faktor tunggal
yang dapat membuat masa depan menjadi
sangat berbeda, memperlambat berlanjutnya
pembangunan manusia yang diharapkan
terjadi menurut sejarah. Sementara
kesepakatan internasional sangat sulit dicapai
dan respon kebijakan secara umum sangat
lambat, konsensus sangat jelas: perubahan
iklim sedang terjadi, dan dapat menjegal
pembangunan manusia.
unDP, ‘Human Development Report 2010’ november 2010
U A N G P ER LI N D U N G A
DAfTAR ISI
i
RINGKASAN EKSEKuTIf:
INDONESIA DI PERSIMPANGAN JALAN
ii Tujuan pembangunan rendah karbon Indonesia tidak harus bergantung pada deforestasi ii Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
sebagai pemimpin global untuk aksi iklim dan pembangunan rendah karbon
ii Pembangunan rendah karbon sebenarnya iii Rencana pembangunan industri menyandera
hutan Indonesia
iv Korupsi sektor kehutanan: akankah ‘uang perlindungan’ mendanai peningkatan emisi gas rumahkaca?
iv Jalan ke depan
1 PENGANTAR: ‘JALuR PEMBANGuNAN
BARu’ uNTuK INDONESIA
5 BRAzIL DAN INDONESIA:
PENGEMISI BESAR, POTONGAN BESAR,
RENCANA BESAR?
6 Brazil: membangun dari inisiatif industri progresif 7 Indonesia: perlawanan institusional dan industri
mengakibatkan jejak emisi gas rumahkaca tak jelas
8 Jalur pembangunan mana yang akan diambil Indonesia?
11 PEMBAGIAN zONA: LAhAN
PENGEMBANGAN DAN RENCANA
TATAGuNA LAhAN 2030
11 zona-zona yang tersedia untuk pembangunan
12 Peta 1: zona pembangunan 12 Box 1: wilayah zona pembangunan
13 Rencana pembangunan industri dan tataguna lahan sampai 2030
U A N G P ER LI N D U N G A
13 Gambar 1: luas lahan yang belum dibangun dalam zona pembangunan dan tataguna lahan tambahan yang direncanakan
15 MERENCANAKAN KEhANCuRAN:
INDuSTRI INDONESIA BERAMBISI
TINGGI-KARBON
17 Rencana pengembangan sektor: ‘melipattigakan produksi pulp dan kertas pada tahun 2025’
17 Gambar 2: permintaan serat (saat ini, proyeksi) dan ketersediaan serat dari perkebunan berdasarkan tingkat capaian hasil panen perkebunan pada ‘kegiatan seperti biasa’.
18 Gambar 3: areal (juta ha) luas dan status konsesi HTI, 2008
18 Rencana pengembangan sektor: ‘merevitalisasi sektor kehutanan’
19 Rencana tataguna lahan untuk sektor kehutanan: 33 juta ha hutan tanaman industri pada tahun 2030
20 Rencana pengembangan sektor: menggandakan produksi kelapa sawit
21 Rencana pengembangan sektor: ‘industri pertanian yang kompetitif’
22 Rencana pengembangan sektor: peningkatan permintaan energi nasional delapan kali lipat
23 Produksi biofuel menyebabkan tekanan tambahan pada lahan
23 Batubara mendorong ekspansi tinggi karbon
24 MEMETAKAN KEhANCuRAN:
NILAI-NILAI YANG BERISIKO AKAN hILANG DI
DALAM zONA PEMBANGuNAN
24 Peta 2: nilai-nilai dalam pembangunan yang tersedia
Gambar 4: rincian karbon, hutan, gambut dan habitat satwa liar dalam zona pembangunan dalam zonasi Riau
24 Gambat 5, 6, 7: areal (juta ha), luas hutan habitat satwa liar dan zona pembangunan
26 Tabel 1: ringkasan nilai-nilai hutan, lahan gambut dan satwa liar dalam zona pembangunan dan lainnya
27 Data resmi pemerintah menunjukkan luas dan kualitas hutan
27 Temuan: nilai-nilai yang berisiko akibat tujuan pembangunan industri
27 Kesimpulan: ambisi pembangunan harus berkonsentrasi pada peningkatan produktivitas
28 Dampak ekspansi yang direncanakan pada lahan gambut dan emisi gas rumahkaca
28 Gambar 8: areal (juta ha), luas lahan gambut dan zona pembangunan
28 Gambar 9: karbon hutan dan lahan gambut (tC/ ha) dan tahun degradasi setelah konversi menurut kedalaman
30 Gambar 10: proses degradasi lahan gambut
31 DAMPAK EKSPANSI TERENCANA PADA
huTAN, EMISI DAN uSuLAN REDD+
INDONESIA
31 Gambar 11: areal (juta ha), luas hutan dan zona pembangunan
33 Gambar 12: perkebunan menutupi luas jangkauan deforestasi sebenarnya
34 Mengidentifikasi lahan yang tersedia untuk pembangunan rendah karbon
34 Apa definisi lahan terdegradasi? 34 Apa definisi lahan kritis?
34 Apa definisi lahan tidak produktif, tidur dan dizonakan
untuk pembangunan?
37 Meletakkan garis dasar untuk pembangunan rendah karbon
37 Gambar 13: areal (juta ha), luas tataguna lahan dalam zona pembangunan
39 Apakah perkebunan merupakan solusi untuk perubahan iklim?
39 Box 2: Asumsi karbon Indonesia
39 Gambar 14: Model Kemenhut untuk pengikatan karbon perkebunan
39 Gambar 15: Model UNFCCC untuk pengikatan karbon perkebunan (simpanan C rata-rata waktu)
40 Asumsi 1: tanaman perkebunan mengikat karbon dalam jumlah besar
40 Asumsi 2: perkebunan pada lahan kritis akan meningkatkan stok karbon hutan Indonesia 41 Gambar 16: simpanan karbon relatif dari jenis-jenis
hutan dan perkebunan yang berbeda 41 Asumsi 3: perkebunan mengurangi tekanan
deforestasi
42 Dapatkah sektor-sektor pulp dan kelapa sawit mendukung pembangunan rendah karbon?
42 Gambar 17: permintaan serat (saat ini, proyeksi) dan ketersediaan serat dari perkebunan berdasarkan tingkat capaian hasil panen perkebunan pada ‘kegiatan seperti biasa’ dan Skenario 1 laju penanaman dan panen yang ditingkatkan 42 Sektor pulp: berpotensi menggandakan
produktivitasnya empat kali lipat tanpa menambah wilayah perkebunan
43 Gambar 18: kegiatan seperti biasa vs praktik baik: areal yang dibutuhkan untuk memenuhi target pembangunan sektor pulp
43 Sektor kelapa sawit: berpotensi menggandakan
produktivitas, tanpa perlu tambahan wilayah perkebunan
43 Gambar 19: kegiatan seperti biasa vs praktik baik: areal yang dibutuhkan untuk memenuhi target pembangunan sektor kelapa sawit
45 MORATORIuM ADALAh KESEMPATAN
MENuJu KE JALuR PEMBANGuNAN
RENDAh KARBON
45 Industri dan pemerintah yang progresif menginginkan moratorium ketat
45 Suap dan pemerintahan yang buruk di sektor kehutanan mengancam pembangunan
47 Gambar 20: alokasi areal konsesi HTI per tahun dan tanggal-tanggal pemilihan umum
47 Pengalaman ‘reforestasi’ Indonesia mendanai hilangnya tata kelola pemerintahan
49 KESIMPuLAN: PERKARA BESAR
51 BERTINDAK uNTuK PEMBANGuNAN
hentikan perusakan hutan
Dukung pembangunan rendah karbon Danai perlindungan hutan
53 PENuTuP
54 Data dan metodologi
55 Akronim, istilah teknis dan satuan 56 Catatan akhir
61 Kredit gambar 62 Daftar pustaka
U A N G P ER LI N D U N G A Pada Mei 2010, norwegia menjanjikan $1 milyar untuk mendukung usaha indonesia mengurangi emisi akibat deforestasi.
U A N G P ER LI N D U N G A
PEngantaR:
‘JALuR PEMBANGuNAN
BARu’ uNTuK INDONESIA
Dengan dukungan masyarakat dunia, Indonesia mendapatkan jendela kesempatan untuk bergeser ke model pembangunan yang tidak intensif-karbon. Tanpa tindakan dini, Indonesia akan terjebak dalam model pertumbuhan […] yang tidak berkelanjutan untuk lingkungan kita dan dunia’
DnPi, agustus 2010
Perubahan iklim boleh menjadi faktor tunggal yang dapat membuat masa depan menjadi sangat berbeda, memperlambat berlanjutnya pembangunan manusia yang diharapkan terjadi menurut sejarah. Sementara kesepakatan internasional sangat sulit dicapai dan respon kebijakan secara umum sangat lambat, konsensus sangat jelas: perubahan iklim sedang terjadi, dan dapat menjegal pembangunan manusia.
unDP, ‘Laporan Pembangunan Manusia 2010’ november 2010
Komitmen iklim internasional saat ini tidak cukup, dan mengarahkan bumi ke peningkatan suhu rata-rata sebesar 4ºC di akhir abad ini.1 Menurut Panel
Internasional mengenai Perubahan Iklim (IPCC), peningkatan suhu sebesar itu membawa ancaman nyata pada ekosistem, keanekaragaman hayati dan ancaman sosial.2
Emisi gas rumahkaca harus mencapai puncaknya tidak lebih dari 2015 agar bumi mendapatkan kesempatan untuk membatasi pemanasan global menjadi kurang dari 2ºC.3
Deforestasi, termasuk emisi dari lahan gambut yang ditebangi habis, menyumbang sekitar seperlima emisi gas rumahkaca,4 jadi
menghentikan deforestasi sangat penting untuk memastikan pemangkasan emisi dengan cepat, agar bumi mendapatkan cukup waktu untuk bergeser ke jalur pembangunan rendah-karbon. Menghentikan deforestasi dan degradasi lahan gambut di Indonesia sangat mendesak untuk mencapai pemotongan emisi global yang berarti. Menurut perkiraan mereka sendiri, Cina dan Amerika Serikat adalah dua pengemisi gas rumahkaca terbesar dunia, sebagian besar berasal dari industri yang berkaitan dengan bahanbakar fosil; angka yang dikutip oleh Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) pada tahun 2010 menempatkan Indonesia sebagai posisi pengemisi gas rumahkaca terbesar ketiga di dunia, terutama diakibatkan oleh emisi yang berhubungan dengan deforestasi.5
Menurut DNPI, sekitar 85% dari emisi gas rumahkaca Indonesia berkaitan dengan
penggunaan lahan – hampir seluruhnya berasal dari deforestasi dan degradasi (1.006Mt gross, 760Mt net), serta degradasi dan kebakaran lahan gambut (850MtCO2).6 DNPI mengatribusi lebih
dari separuh kemungkinan deforestasi di masa depan adalah dari ekspansi sektor pulp dan kelapa sawit. Sebagaimana disimpulkan laporan DNPI, operasi perkebunan dicirikan oleh deforestasi ekstensif, tingkat pengembangan perkebunan yang rendah, serta produktivitas yang rendah jika dibandingkan secara relatif dengan kompetitor global dan potensi yang diperkirakan oleh industri.7
Di Indonesia, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan beberapa elemen pemerintah yang progresif berusaha untuk bergeser dari model ekspansi industri yang dimotori oleh deforestasi dengan produktivitas rendah menuju model pembangunan rendah karbon, bernilai tinggi.
Presentasi DNPI akan rencana pengurangan emisi gas rumahkaca 2010 menggambarkan hal ini sebagai ‘rencana pembangunan hijau’ bagi negeri.8 Tujuannya adalah untuk ‘memastikan
pengurangan emisi karbon mendukung dan bukan menghambat tujuan pembangunan nasional dan usaha jangka-panjang kami untuk memperbaiki standar hidup bagi seluruh penduduk Indonesia’.9 Bekerjasama
dengan DNPI, tiga propinsi – Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan Jambi – telah mengembangkan ‘strategi pembangunan hijau’, dengan mengidentifikasi langkah-langkah untuk ‘maju menuju kegiatan bernilai tambah tinggi dan sektor-sektor baru rendah karbon agar pembangunan di masa depan meninggalkan jejak karbon lebih kecil’.10
Motivasi Indonesia dalam hal ini adalah demi kepentingan global dan juga demi Indonesia sendiri, karena ancaman perubahan iklim kepada negeri ini: ‘Walaupun bila semua negara berkembang menurunkan emisi mereka ke tingkat tahun 1990 (sebagaimana ditargetkan oleh Protokol Kyoto), hal ini tidak akan cukup untuk menghindari perubahan iklim serius […]. Indonesia mengerti permasalahan ini dan memutuskan untuk bertindak.’11
Terdapat dukungan internasional cukup besar untuk tindakan mengatasi penyebab deforestasi dan degradasi lahan gambut, yang sekaligus mendukung model-model pembangunan rendah-karbon. Walaupun masyarakat internasional gagal mencapai kesepakatan multilateral untuk mengatasi perubahan iklim di Kopenhagen tahun 2009, ada dana badan-badan donor yang tersedia untuk proyek-proyek pilot dalam Mengurangi
U A N G P ER LI N D U N G A
Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD+) dan Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM), serta inisiatif-inisiatif untuk membantu mengembangkan dan menerapkan strategi nasional pengurangan emisi. Pada bulan Mei 2010, Norwegia menyatakan akan memberikan $1 milyar untuk mendukung usaha-usaha Indonesia untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan menggeser kegiatan kehutanan yang merusak ke lahan ‘kritis’. Kesepakatan ini termasuk moratorium pemberian konsesi baru pada lahan gambut dan hutan selama dua tahun.12
Dalam insiatif nasional dan internasional ini, arahan pembangunan rendah-karbon ini sangat jelas: bahwa strategi untuk memitigasi emisi yang berasal dari sektor-sektor pulp dan kelapa sawit harus memberi insentif pada perlindungan hutan alam dan lahan gambut Indonesia yang tersisa. Konsekuensinya, sektor pulp dan kelapa sawit harus mendukung moratorium yang ketat dan meningkatkan produktivitas dalam wilayah-wilayah perkebunan mereka yang sudah ada. Ekspansi tambahan terbatas pada lahan yang rendah karbon, tidak bernilai konservasi tinggi dan sosial.
Ambisinya memang patut dihormati dan retorika pengurangan emisi gas rumahkacanya juga sangat mengesankan. Namun kenyataan di balik angka-angka yang ada di permukaan perlu lebih diteliti, untuk melihat resiko lebih jauh untuk hutan alam dan pembangunan rendah karbon Indonesia, yang diakibatkan oleh keengganan institusional dari dalam industri dan elemen-elemen tertentu dalam pemerintah Indonesia untuk secara tulus mengatasi rencana ‘kegiatan seperti biasa’ (business-as-usual) ekspansi sektor-sektor pulp dan kelapa sawit. Greenpeace telah melakukan kajian mengenai submisi resmi pemerintah ke UNFCCC, dokumen-dokumen internal Kementerian Kehutanan, dan laporan-laporan industri dan pemerintah
yang relevan13 untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan berikut ini:
•
Apakah Indonesia memiliki rencana pembangunan rendah karbon dengan tujuan-tujuan sosial dan lingkungan yang jelas?•
Apakah rencana pengurangan emisi gas rumahkaca Indonesia memberi insentif bagi pilihan-pilihan pembangunan rendah-karbon atau menguntungkan yang tinggi-karbon?•
Apakah rencana pengurangan emisi gas rumahkaca Indonesia mengatasi operasi ‘kegiatan seperti biasa’ untuk penyebab utama deforestasi – sektor pulp dan kelapa sawit – dan memberi insentif pada peningkatan produktivitas?•
Apakah rencana pengurangan emisi gas rumahkaca Indonesia memprioritaskan perlindungan hutan alam daripada pembukaan untuk perkebunan?•
Apakah rencana pengurangan emisi gas rumahkaca Indonesia memprioritaskan perlindungan lahan gambut daripada memperbaiki tingkat emisi?•
Apakah rencana pengurangan emisi gas rumahkaca Indonesia menggunakan metodologi yang kredibel dan telah terbukti untuk memantau tingkat deforestasi dan menghitung emisi?•
Apakah definisi lahan ‘kritis’ yang diusulkan untuk inisiatif-inisiatif REDD+, dan apakah di dalamnya termasuk ukuran-ukuran karbon, ekologi, keanekaragaman hayati, tata kelola yang baik dan nilai sosial?TEMuAN-TEMuANNYA:
•
Tanpa pergeseran ke ‘jalur pembangunanbaru’,14 prioritas rencana pembangunan
Indonesia untuk sektor-sektor kunci diarahkan pada percepatan tingkat deforestasi, yang akan menyebabkan semua wilayah di luar zona hutan lindung/konservasi habis ditebangi dalam waktu 20 tahun.
•
Prioritas pembangunan pemerintah untuk sektor-sektor pulp dan pengolahan kayu lainnya, kelapa sawit, perkebunan dan bioenergi menggambarkan bahwa total sebesar kurang lebih 63 juta ha pembangunan baru direncanakan berada pada sektor-sektor ini di tahun 2030. Luasan ini kurang lebih sama dengan jumlah wilayah yang berada di luar zona hutan lindung/konservasi tanpa kegiatan ekonomi yang diketahui saat ini.•
Rencana-rencana ini akan mengakibatkan hilangnya 40% hutan alam yang tersisa di Indonesia, sekitar 37 juta ha – wilayah yang setara dengan luas Norwegia dan Denmark.15Angka-angka pemerintah menyatakan bahwa luas hutan di wilayah ini mengandung sekitar 10Gt karbon.16
•
Rencana-rencana ini akan mengakibatkan hilangnya separuh dari semua hutan habitat orangutan yang tersisa.17•
Rencana-rencana ini akan mengakibatkan degradasi hampir 80% lahan gambut Indonesia yang kaya karbon. Angka-angka pemerintah menggambarkan lahan gambut di wilayah beresiko ini mengandung kurang lebih 28Gt karbon.18•
Total karbon yang terkena resikopembangunan adalah 38GtC, setara dengan lebih dari empat kali emisi gas rumahkaca global pada tahun 2005.19
•
Penerima keuntungan utama dari rencana pengurangan emisi gas rumahkaca Indonesiadan dana internasional yang mendukung penerapannya, adalah sektor-sektor pulp dan kelapa sawit, yang tidak lain adalah industri penyebab hilangnya hutan alam. Melihat sejarahanya, dana yang diperuntukkan bagi ‘penghutanan kembali’ lahan yang ‘terdegradasi’ malah sebaliknya memberikan insentif untuk deforestasi dan memberikan kesempatan untuk korupsi. Laporan audit Ernst and Young menemukan bahwa, di bawah administrasi Kementerian Kehutanan, Dana Reboisasi merugi lebih dari $5 milyar dalam rentang waktu lima tahun.20
•
Berbagai rencana dalam kementrian dan sektor industri di Indonesia menyampaikan metodologi-metodologi yang tidak konsisten yang hanya tampak bagus di luar untuk mengkuantifikasi peran perkebunan dalam mengurangi deforestasi dan emisi gas rumahkaca.•
Bila moratorium yang diusulkan gagal untuk menghentikan hilangnya hutan dan lahan gambut dalam wilayah konsesi yang ada sekarang, definisi lemah yang diusulkan untuk lahan yang ‘terdegradasi’ akan mengakibatkan berjuta-juta hektar lahan gambut dan hutan yang kaya karbon juga tidak akan terlindungi dalam moratorium dua tahun yang telah dicanangkan. Analisis ini mengungkapkan resiko besar bahwa, paling tidak, dana $1 milyar dapat gagal untuk mendukung pembangunan rendah-karbon atau menghentikan deforestasi; pada skenario terburuk hal ini mungkin saja mendukung manipulasi besar dalam penghitungan yang sebaliknya malah membiayai peningkatan emisi di Indonesia. Langkah-langkah berikut ini sangat mendesak untuk memastikan bahwa komunitas donor internasional mendukung perlindungan hutan dan pergeseran Indonesia menuju jalurU A N G P ER LI N D U N G A
Papua, 2008: Hutan alam dekat pegunungan kebar.
pembangunan rendah karbon:
•
Moratorium komprehensif untuk deforestasi dan pengembangan lahan gambut termasuk semua wilayah konsesi baru dan lama.•
Hal ini akan mendorong industri untuk memperbaiki produktivitas dalam wilayah perkebunan yang ada, dan menanami wilayah dalam konsesi mereka yang telah ditebangi.•
Hal ini akan memberi waktu bagi pemerintah Indonesia untuk merombak rencana tata guna lahan dan alokasi konsesi.•
Definisi yang kredibel untuk lahan yang benar-benar terdegradasi untuk pembangunan rendah karbon dengan nilai sosial atau lingkungan yang dapat diabaikan.•
Rancangan Strategi Nasional REDD+ Indonesia Oktober 2010 memberikan awal dari definisi dasar teknis untuk lahan yang tersedia bagi pembangunan rendah karbon dan wilayah hutan untuk konservasi karbon. Bila secara logis diterjemahkan ke dalam kebijakan pemerintah, informasi dasar ini dapat menghasilkan deforestasi nol dan perlindungan lahan gambut secara penuh.•
Insentif kuat untuk peningkatanproduktivitas pulp dan minyak kelapa sawit dalam perkebunan yang sudah ada dan langkah-langkah pengaturan yang lebih ketat.
•
Angka-angka pemerintah dan industri menggambarkan potensi produktivitas empat kali lipat di sektor pulp dan hampir dua kali lipat dalam sektor kelapa sawit. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak atau sedikit sekali diperlukan lahan untuk ekspansi dalam sektor-sektor ini.U A N G P ER LI N D U N G A
U A N G P ER LI N D U N G A
BRaziL Dan inDOnEsia:
PENGEMISI BESAR,
POTONGAN BESAR,
RENCANA BESAR?
Tujuan yang dicanangkan dalam
[Rencana Perubahan Iklim Nasional]
ini sangat ambisius, jika dibandingkan
dengan rencana besar lainnya – malah
yang terbesar – di antara semua negara.
Presiden Brazil Lula da silva, 2008
[Pemerintah Indonesia] akan menurunkan emisi
kami sebesar 26% pada tahun 2020 dari Kegiatan
Seperti Biasa (Business As Usual). Dengan dukungan
internasional, kami percaya diri akan dapat menurunkan
emisi sebesar 41%. Target ini seluruhnya dapat dicapai
karena sebagian besar emisi kita berasal dari masalah
kehutanan, seperti kebakaran hutan dan deforestasi.’
Presiden indonesia susilo Bambang Yudhoyono, 2009
Sebagai akibat emisi yang berasal dari deforestasi, Indonesia dan Brazil menempati posisi ketiga dan keempat negara pengemisi gas rumahkaca terbesar, setelah Cina dan Amerika Serikat.21
Menurut perkiraan yang diterbitkan oleh pemerintah Indonesia dan Brazil, kedua negara masing-masing bertanggungjawab akan sekitar 5% emisi gas rumahkaca pada tahun 2005.22 Sementara Brazil memperkirakan bahwa
60% emisi brutonya (1,2 GtCO2) berasal dari deforestasi, 23
Indonesia memperkirakan 85% dari emisi yang dinyatakan adalah dari penggunaan lahan, yang sebagian besar berasal dari deforestasi dan kerusakan lahan gambut (yang mewakili 1,87GtCO2 emisi bruto gas rumahkaca).24
Dalam pertemuan internasional untuk mengatasi perubahan iklim, kedua presiden Brazil dan Indonesia telah menyatakan dirinya sebagai pemimpin global dalam tindakan untuk memangkas emisi gas rumahkaca dari deforestasi.25
2010: Presiden Lula da silva bersama susilo Bambang Yudhoyono.
U A N G P ER LI N D U N G A
Brazil:
membangun dari
inisiatif industri
progresif
sumber emisi gas rumahkaca terbesar di brazil adalah deforestasi amazon,26 dan penyebab-penyebab
utamanya adalah peternakan sapi 27 dan produksi
kedelai.28 dalam waktu empat tahun terakhir,
greenpeace telah mempelopori kesepakatan-kesepakatan industri untuk menghentikan peran sektor-sektor ini dalam menyebabkan hilangnya hutan amazon.29 dengan dukungan masyarakat
sipil, diharapkan tindakan pemerintah bisa mengkonsolidasikan keuntungan-keuntungan ini, melengkapinya dengan kebijakan dan pemantauan yang lebih ketat, agar unsur penyebab deforestasi lainnya tidak memperburuk keadaan. demi kemajuan upaya ini, adanya peta-peta kepemilikan wilayah di daerah yang disiapkan oleh pihak swasta adalah sangat penting. dengan dilengkapinya koordinat geografis yang tepat berikut batas-batas wilayah kepemilikan dan tatagunanya, peta-peta ini – yang sudah merupakan prasyarat dalam peraturan – adalah instrumen yang sangat penting untuk memperbaiki kapasitas pemantauan pemerintah. pada konferensi tingkat tinggi iklim internasional tahun 2008 di poznàn, presiden Lula da silva memaparkan rencana nasional perubahan iklim brazil,30 yang telah diperbaharui dan diperkuat pada
tahun 2010.31 rencana ini, yang diklaim brazil akan
mencegah emisi sebesar hampir 5gtCo2,32 akan
dicapai terutama melalui pengurangan drastis tingkat percepatan deforestasi amazon:33 pengurangan
target dari 1,9 juta ha/tahun pada periode 1999– 2005 menjadi 0,4 juta ha/tahun pada 2020,34 atau
pengurangan sebesar 80%. Komponen kunci dari inisiatif ini adalah pembentukan dana amazon,35
yang diawasi oleh panitia pengarah multipihak ( multi-stakeholder steering committee), yang menyediakan data transparan dan tak berbayar, serta audit eksternal independen untuk semua hasilnya. usulan ini kredibel. selama lebih dari dua dekade, Kementrian sains dan teknologi brazil telah menggunakan citra satelit untuk memantau tingkat percepatan hilangnya hutan alam amazon. rata-rata tingkat deforestasi historis digunakan sebagai dasar pengukuran (baseline), dan bukan proyeksi tekanan pada hutan. pemerintah brazil telah mencanangkan target jangka menengah untuk mengukur pengurangan aktual dari tingkat deforestasi tahunan. teknologi terus berkembang dan brazil sekarang juga memantau perubahan tutupan hutan amazon dalam waktu yang hampir langsung (‘near real’ time). data tersedia untuk umum agar bisa dikaji secara independen; organisasi non-pemerintah dan institusi ilmiah juga dapat mengakses citra-citra satelit, untuk mendukung pemerintah dengan memberikan analisis sekaligus atas data dan penyebab-penyebab deforestasi. dengan demikian, brazil membuktikan bahwa mereka telah mengakui pentingnya melindungi hutan alamnya yang tersisa, dan telah mengadopsi cara-cara sederhana dan transparan untuk mengukur keberhasilan atau kegagalannya untuk mencapai tujuan ini. brazil memiliki target absolut untuk mengurangi hilangnya hutan dan memantau tingkat deforestasi kasar yang dibandingkan dengan data historis sebagai proxy mudah untuk menghitung emisi karbon.
Walaupun pengurangan deforestasi semacam ini di Amazon merupakan target yang ambisius, tapi beberapa tahun terakhir negeri ini telah membuktikan kemampuannya untuk mencapainya. Dengan penurunan yang berturutan dalam tingkat deforestasi tahunan dari hutan Amazon dicapai oleh kebijakan REDD antara 2005 dan 2009, Brazil makin mendekati pencapaian target yang ditetapkan untuk lima tahun pertama (2006-2010).
Menteri lingkungan Brazil, 2010
Strategi pemerintah Brazil untuk mengurangi deforestasi berlandasan kuat:
1. Target jelas untuk mengurangi deforestasi pada tahun 2020 dibandingkan garis dasar yang jelas. 2. Pemantauan dalam waktu yang hampir langsung tingkat berkurangnya hutan alam dan publikasi data. 3. Strategi yang didukung pasar.
Sumber: Kementerian lingkungan Hidup Brazil (2010) 28; iNPE (2010) 13, 31.
1
2
U A N G P ER LI N D U N G A
pada september 2009, presiden susilo bambang Yudhoyono mengumumkan target pengurangan emisi gas rumahkaca indonesia di hadapan para pemimpin g20.36sbY berjanji bahwa indonesia akan mengurangi
emisi sebesar 26% pada 2020 dibandingkan kegiatan seperti biasa. ‘dengan dukungan internasional, kami percaya bahwa kami dapat mengurangi emisi sebesar 41%.’37 emisi gas rumahkaca untuk kegiatan seperti
biasa yang disampaikan dnpi pada tahun 2020 adalah 2,530mtCo2e,38 jadi pengurangan yang dijanjikan
sbY pada tingkat kegiatan seperti biasa pada tahun 2020 adalah sebesar 658mtCo2e (26%) atau 1.037mtCo2e (41%), yang berarti bahawa sisa emisi gas rumahkaca menjadi 1.493-1.872mtCo2e pada tahun 2020. Hal ini merupakan pengurangan antara 9% dan 27% pada tingkat emisi bersih tahun 2005 yaitu sebesar 2.055mtCo2e.39
rencana penurunan emisi nasional dan regional indonesia – yang dikembangkan dengan bantuan kurva biaya mcKinsey, seperti banyak skenario penurunan nasional lainnya – mengasumsikan penurunan emisi gas rumahkaca berjalan searah dengan target ekspansi untuk sektor-sektor industri kunci: ‘pengurangan emisi
karbon mendukung bukan menghambat tujuan pembangunan nasional kami’.40
satu tujuan yang ingin dicapai pemerintah adalah berlipat tiganya produksi pulp dan kertas pada tahun 2025: ‘laporan pengkajian Keperluan teknologi (bppt, 2009) […] memproyeksikan produksi pulp dan kertas akan meningkat sebesar 3,24 kali pada tahun 2025’ menjadi 55 juta ton.41 pada saat yang sama, rencana
penurunan emisi indonesia sebagian besar difokuskan pada sektor kehutanan, yang dimana sebagian besar potensi perbaikan emisi gas rumahkaca diidentifikasi.42
berdasarkan rencana-rencana ini, yang sebagian besar dikembangkan oleh Kementerian Kehutanan, presiden susilo bambang Yudhoyono mengumumkan: ‘Kami akan merubah status hutan kami dari sektor pengemisi netto menjadi pengikat netto pada tahun 2030.’43
sbY mendeklarasikan bahwa sektor kehutanan pada akhirnya akan mencapai penghematan emisi gas rumahkaca sebesar 1gtCo2. 44
Kementerian Kehutanan saat ini mencari dukungan dana iklim internasional untuk mendanai ’penguatan
stok karbon hutan melalui [perkebunan kayu] dan restorasi hutan’; dan Ketua Kelompok Kerja untuk perubahan iklim dari Kementerian Kehutanan telah menyatakan: ‘Kami akan merenegosiasi kesepakatan dengan norwegia. indonesia perlu lebih banyak dana untuk menanam pohon’45 pada saat yang
sama, Kementerian Kehutanan saat ini juga mencari dukungan dana iklim internasional untuk mendanai ekspansi pulp dan kertas.46 selanjutnya, rencana
‘pembangunan hijau’ dnpi-Kalimantan timur menyarankan international finance Corporation (ifC ) untuk mendanai konstruksi dua pabrik sebagai bagian dari strategi pembangunannya. Lebih lanjut, dana teknologi bersih bank dunia (World bank Clean technology fund, Ctf) mengusulkan pendanaan bersama sebesar as$400 juta dolar untuk mendukung inisiatif di indonesia termasuk ‘meningkatkan efisiensi energi sebesar 30% dari kegiatan seperti biasa pada tahun 2025’.47 investasi
ini kemudian akan ‘memobilisasi pendanaan […] dari pemberi dana multilateral, bumn, dan sektor swasta’48 dengan total sebesar $3,1 milyar pada
bulan maret 2010, menurut bank dunia.49 dana
ini mengidentifikasi ekspansi sektor pulp sebagai kandidat kuat untuk pendanaan.50
rencana pengurangan nasional sektor kehutanan menjagokan ‘penanaman (kembali) hutan lebih dari 10 juta ha di lahan tak berhutan dan hutan yang rusak’.51 Kementerian Kehutanan berencana
untuk merevitalisasi sektor kehutanan termasuk pembentukan sejumlah 33 juta ha perkebunan kayu pada tahun 2030/205052 – di bawah judul
‘integrasi masalah perubahan iklim ke dalam perencanaan sektor kehutanan’, yang sebagian besarnya akan dicapai pada tahun 2025. dokumen Kementerian Kehutanan tahun 2010 tentang ‘Kebijakan kehutanan untuk menjawab perubahan iklim di indonesia’ menggambarkan perkebunan ini sebagai ‘program pengikat karbon’ yang merupakan bagian inti dari ‘rencana tindakan perubahan iklim dalam sektor Kehutanan (renstra)’.53 Komunikasi
nasional indonesia Kedua kepada unfCCC menggambarkan program perkebunan ini sebagai ‘penguatan pengikat (karbon)’.54
teorinya, proposal untuk menanam pohon untuk mengikat karbon ini kedengarannya menguntungkan semua pihak untuk perlindungan iklim dan
pengembangan industri.
iNdoNESia:
perLaWanan
institusionaL dan
industri mengaKibatKan
jejaK emisi gas
Proyeksi emisi gas rumahkaca indonesia sampai dengan 2030, dikembangkan dari Kurva Biaya McKinsey. Sumber: dNPi (2010a)
U A N G P ER LI N D U N G A
Pada akhirnya, kebijakan-kebijakan REDD+ hanya dapat diandalkan dan efektif bila metodologi yang mendasari perhitungannya untuk perlindungan hutan dan pengurangan emisi gas rumahkaca juga kuat, serta adanya kemauan politik untuk menerapkan jalur pembangunan rendah karbon.
Sebelum rencana penurunan emisi Indonesia mulai diterapkan, semua kelemahan institusional, metodologis dan teknis harus diatasi terlebih dahulu, karena semua hal ini akan mengurangi kemampuan pemerintah memenuhi tujuan iklim Presiden atau agenda pembangunan rendah karbon.
Pertama-tama, DNPI telah mengidentifikasi sektor pulp dan kelapa sawit sebagai industri kunci pendorong hilangnya hutan dan kerusakan lahan gambut.55
Kedua sektor ini, serta kementerian-kementerian termasuk Kementerian Industri dan Kementerian Kehutanan, secara reguler menyatakan bahwa mereka memegang peran kritis dalam pembangunan ekonomi nasional dan pemberantasan kemiskinan.56 Pemerintah
tampaknya terbelah dalam bagaimana – dan apakah akan – mengatasi ekspansi pesat sektor pulp dan kertas ke dalam wilayah hutan dan lahan gambut yang kaya karbon, dan habitat penting bagi satwa liar. Operasi sektor pulp dan kertas saat ini dicirikan dengan pemerintahan yang lemah,57 dengan
pelanggaran undang-undang dan perijinan yang jelas, analisis dampak lingkungan, dan pengabaian perlindungan lahan gambut dalam – pengelolaan lahan yang lemah serta produktivitas yang rendah jika dibandingkan dengan kompetitor global seperti Malaysia atau Brazil. Misalnya, sebagaimana diakui dalam rencana ‘pembangunan hijau’ DNPI–Kalimantan Timur, kedua sektor telah
diberikan wilayah konsesi yang sangat luas. Banyak dari lahan ini hutan alamnya telah ditebangi, dan hanya sebagian kecil wilayah yang ditanami yang menghasilkan panen serat atau kelapa sawit yang relatif sangat rendah.58
Verifikasi independen pihak ketiga untuk memastikan pengurangan deforestasi yang diklaim di Indonesia sangat sulit. Data resmi seringkali tidak tersedia atau dapat diperoleh secara mudah oleh publik. Informasi yang dirilis oleh Kementerian Kehutanan seringkali ketinggalan waktu bertahun-tahun, dan metodologi yang digunakan tidak jelas atau kontradiktif. Industri telah menentang penggunaan pemantauan dengan citra satelit untuk operasinya,59 walaupun Sinar
Mas – produser pulp dan kelapa sawit terbesar Indonesia – sendiri menggunakan pemetaan radar yang mutakhir ‘untuk lebih efisien dalam mengelola sumberdaya tanaman kayunya’. Teknologi pemetaan ini memberikan hasil ‘setara dengan melakukan inventarisasi hutan 100% di lapangan’.60
Metodologi penurunan emisi Indonesia naik turun, dengan kontradiksi yang gamblang baik di dalam maupun di antara laporan-laporan resminya. Metodologi ini mencakup tentang asumsi potensi pengikatan karbon dari perkebunan, misalnya, yang menentukan nilai akhir karbon dalam perkebunan yang dipanen.
Sejalan dengan metodologi industri dan yang tampaknya dipilih oleh Kementerian Kehutanan, Komunikasi Nasional Kedua Indonesia November 2009 kepada UNFCCC melaporkan bahwa perkebunan kayu memberikan potensi pengikatan karbon kumulatif yang sangat besar – yaitu asumsi bahwa karbon dalam pohon-pohon dalam perkebunan disimpan selamanya.61 Tetapi, standar
UNFCCC mengasumsikan kayu yang dipanen
untuk produksi berumur pendek, dan studi yang mengindikasikan bahwa karbon yang diserap secara efektif akan dilepas setelah kayu dipanen.62
Rencana pengurangan emisi gas rumahkaca nasional DNPI 2010 merendahkan potensi pengikatan karbon perkebunan, tapi tetap menyarankan bahwa perkebunan memegang peran dalam hal rehabilitasi hutan.63 Laporan
regional DNPI juga mengakui bahwa karbon yang disimpan dalam tanaman perkebunan dilepas pada saat pemanenan;64 tapi, tampaknya mereka
mendasarkan sebagian proyeksinya dengan metodologi yang tidak jelas, yang sama dengan yang digunakan dalam laporan SNC Indonesia,65
dan menggambarkan rencana reforestasi mereka sebagai ‘meningkatkan pengikat karbon alami dengan memperbesar tutupan hutan lahan kering pada tanah mineral dengan spesies pohon yang cocok secara ekonomis, misalnya spesies khas setempat yang dapat menghasilkan produk kayu dan non-kayu serta spesies seperti akasia’.66 Akasia ditanam sebagai tanaman
perkebunan untuk rotasi jangka pendek dan digunakan dalam produksi pulp.
Dalam hal asumsi pembangunan nasional Indonesia, kalkulasi permintaan penggunaan lahan yang diproyeksikan untuk tahun 2025–2030 per sektor yang diprioritaskan oleh Kementerian Kehutanan, Energi, Pertanian dan Perdagangan mencapai sekitar 63 juta ha, yang setara dengan total wilayah yang ditetapkan untuk pembangunan.
Selanjutnya, sampai saat ini Kementerian Kehutanan belum mempublikasikan definisinya mengenai lahan kritis, termasuk juga peta lokasi dari lahan ‘kritis’ dimana pembangunan rendah karbon yang sejalan dengan tujuan nasional bisa
dilakukan. Definisi semacam ini sangat penting untuk memastikan pendanaan internasional REDD benar-benar mendukung perlindungan hutan dan lahan gambut untuk kepentingan nasional dan global. Serangkaian istilah digunakan dalam dokumen-dokumen pemerintah dan industri untuk menggambarkan lahan semacam ini – terdegradasi, kritis, menganggur, tidak produktif – untuk menggambarkan bahwa terdapat sejumlah besar lahan semacam ini yang dapat mendapatkan dana REDD untuk pengembangan perkebunan. Analisis Greenpeace, berdasarkan data yang ada dari Kementerian Kehutanan, menyatakan bahwa wilayah yang berpotensi tersedia untuk pembangunan rendah karbon adalah kurang dari seperempat dari total ekspansi yang direncanakan. Pada saat yang sama, rencana penurunan emisi nasional Indonesia 2010 gagal mencanangkan target produktivitas untuk memberi insentif pada peningkatan hasil panen dan pengelolaan lahan oleh para penyebab utama deforestasi. Walaupun ada rencana ‘pembangunan hijau’ DNPI, yang mengungkapkan ruang sangat besar untuk perbaikan (sampai dengan peningkatan empat kali lipat panen bahan pulp, dan hampir dua kali lipat panen kelapa sawit); angka yang menyarankan bahwa, dimana produktivitas ditingkatkan, wilayah konsesi lebih luas sebagian besar tidak diperlukan untuk mencapai tujuan pembangunan sektoral jangka panjang.
Tanpa adanya arahan strategis dan tujuan-tujuan pembangunan sosial dan lingkungan yang jelas, biaya untuk mengarahkan Indonesia ke jalur pembangunan rendah karbon yang sesungguhnya belum dihitung. Insentif produktivitas untuk merubah model ekspansi juga diperlukan. Pendanaan internasional
JALuR PEMBANGuNAN MANA YANG
AKAN DIAMBIL INDONESIA?
U A N G P ER LI N D U N G A
untuk mendukung pembangunan perkebunan pada ‘lahan kritis’ yang sampai saat ini belum didefinisikan dengan jelas dan belum dipetakan tidak akan dengan sendirinya mencegah rencana pengrusakan jutaan hektar hutan dan lahan gambut yang kaya karbon. Sudah jelas bahwa pada akhirnya tata guna lahan yang bersaing akan mendorong pembangunan ke dalam hutan dan lahan gambut. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
tampaknya menyadari bahwa ini akan menjadi tragedi untuk masyarakat Indonesia dan iklim global: ‘Indonesia mengerti kebutuhan untuk menyumbang perannya dalam menghadapi mendesaknya tantangan global dalam memerangi perubahan iklim. Sebagai negara berkembang, dan negara kepulauan dengan 17.000 pulau, masyarakat kami menghadapi buruknya dampak perubahan iklim.’67
Masyarakat Indonesia, lingkungan bisnis, dan ekosistem semua telah diidentifikasi berada pada ‘resiko tinggi’ karena dampak perubahan iklim.68
Perlindungan hutan tropis adalah strategi yang dikenal mumpuni untuk meningkatkan kapasitas adaptasi masyarakat dan mengurangi kerentanan ekosistem untuk menghadapi peristiwa alam ekstrim seperti banjir atau kemarau:69
•
hutan adalah penting untuk adaptasi terhadap perubahan iklim karena membantu melindungi dari peristiwa cuaca ekstrim seperti angin kencang dan banjir rob.70•
Melindungi ekosistem hutan alam seringkali adalah cara yang lebih efektif dan efisien dalam mendapatkan keuntungan adaptasi dibanding pembangunan prasarana baru.71•
hilangnya atau rusaknya hutan alammeningkatkan kerentanan ekosistem, keanekaragaman hayati dan sosial.72
•
Sebaliknya, perkebunan kayu dan tanamanindustri seperti kelapa sawit mengikat hanya sebagian kecil karbon dari hutan alam. hutan tanaman industri juga tidak memberikan jasa ekosistem penting seperti yang dimiliki oleh hutan, seperti mengikat siklus air bersih dan keuntungan lain bagi masyarakat lokal, atau tingkat keanekaragaman hayati yang sama.73
Juga sangat penting untuk jalur pembangunan jangka panjang Indonesia, definisi dan peta lahan yang tersedia untuk pembangunan rendah karbon. Rancangan strategi Nasional REDD+ bersama Oktober 2010 oleh Bappenas–UN-REDD menentukan batas karbon teknis bagi pembangunan rendah karbon yang sesuai, serta lahan yang perlu dikonservasi murni karena potensi simpanan karbonnya yang besar.74 Secara
logika, kriteria karbon ini akan menghasilkan kebijakan pembangunan rendah karbon berdasarkan perlindungan penuh lahan gambut dan hutan.75
Jambi, 1997: Pada tahun 1997, kebakaran hutan dan gambut yang tak terkendali di indonesia melepas sampai dengan 2,67gtC, setara dengan 40% rata-rata emisi global tahunan dari pembakaran bahan bakar fosil dalam periode yang sama. sumber: Page et al (2002).
PR O TE C TI O N M O N EY
PEMBagian zOna:
LAhAN uNTuK PEMBANGuNAN
DAN RENCANA TATAGuNA LAhAN
2030
zONA-zONA YANG TERSEDIA uNTuK
PEMBANGuNAN
Sejak tahun 1960an Indonesia telah membagi negri menjadi dua kategori lahan administratif: Lahan Non-Hutan dan Kawasan Hutan.76
Konsekuensinya adalah Indonesia memiliki Kawasan Hutan dengan pepohonan, Kawasan Hutan tanpa pepohonan, lahan Non-Hutan berhutan dan lahan Non-Hutan tanpa pepohonan. Lahan non-hutan atau disebut juga Areal Penggunaan Lain (APL) diatur oleh berbagai kementerian atau pemerintah daerah tergantung pada peruntukan lahannya. Kementerian Kehutanan secara administratif mengatur Kawasan Hutan. Banyak APL sudah diisi oleh lahan pertanian, industri dan kegiatan ekonomi atau pembangunan lain, seperti perkotaan atau prasarana transportasi. Namun, APL juga termasuk wilayah berhutan yang cukup signifikan, lahan gambut dan peruntukan lain untuk pembangunan ekonomi. Wilayah semacam ini seringkali berada di luar kendali pemerintah pusat, dan pembangunan industrinya dapat menjadi sumber penghasilan penting bagi pemerintah daerah. Kawasan Hutan dibagi menurut kategori
fungsionalnya, secara umum untuk konservasi dan pengembangan industri. Kategori yang tersedia untuk eksploitasi industri dikategorikan sebagai Hutan Produksi, dan meliputi wilayah seluas 82 juta ha – hampir dua pertiga luas Kawasan Hutan.77
Hutan produksi dibagi menjadi tiga zona:
•
hutan Produksi Terbatas (hPT):secara eksklusif disisihkan untuk konsesi tebang pilih atau hak pengusahaan hutan (HPH) karena jenis lahan dan faktor lingkungan membuatnya tidak cocok untuk penggunaan lain seperti hutan tanaman industri (HTI).
•
hutan Produksi Permanen (hP):tersedia untuk HPH dan perkebunan kayu atau pulp (HTI).
•
hutan Produksi Konversi (hPK):wilayah yang disisihkan untuk dikeluarkan dari Kawasan Hutan dan dikonversi menjadi penggunaan non-hutan, terutama untuk perkebunan kelapa sawit.78
Kedua zona terakhir tersedia untuk pembukaan hutan alam yang direncanakan, dan yang pertama untuk rencana pengrusakan atau degradasi hutan alam.
U A N G P ER LI N D U N G A
HP: Total wilayah: 36 juta ha.
Tidak ada kegiatan ekonomi yang teridentifikasi: 27 juta ha.
HPK: Total wilayah: 18 juta ha.
Tidak ad a kegiatan ekonomi yang teridentifikasi: 15 juta ha.
APL: Total wilayah: 59 juta ha
.
Tidak ada kegiatan ekonomi yang teridentifikasi: 18 juta ha.
80Zona untuk pembangunan
Zona untuk pembangunan:
79 HPHPK APL
Peta menunjukkan semua zona HP/HPK; bagian APL di sini adalah lahan yang tidak diidentifikasi guna ekonominya. Dalam gambaran ini, areal ini diklasifikasi oleh Kementerian Kehutanan sebagai hutan, rawa-rawa, semak belukar, semak rawa, savana dan tanah kosong. Termasuk areal HPH, yang nantinya akan tersedia untuk konversi.