HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Suami Isteri Umur ContohPada Tabel 2 dapat dilihat sebaran contoh menurut umur, dengan rentang berada antara 18 sampai 69 tahun. Teori Papalia dan Olds (1981) membagi kategori umur manusia dewasa menjadi tiga, yaitu dewasa awal (20-40 tahun), dewasa madya (41-65 tahun) dan dewasa lanjut (>65 tahun). Sedangkan usia remaja diperkirakan dalam rentang usia 15-19 tahun. Sebaran umur memiliki rata-rata 41,31 tahun, dengan mayoritas usia ibu menyebar pada rentang dewasa awal, sebanyak 54,29%.
Tabel 2 Sebaran contoh berdasarkan umur
Jumlah Umur (Tahun) n % Remaja 1 2,88 Dewasa Awal 19 54,29 Dewasa Madya 12 34,29 Dewasa Lanjut 3 8,58 Total 35 100 Rata-Rata 41,31
Kecenderungan pernikahan di usia muda terlihat dalam Tabel 3. Usia contoh waktu pertama kali menikah berada pada rentang 15-32 tahun. Dengan jelas diperlihatkan bahwa sebagian besar contoh menikah pada usia muda, yang menurut teori Papalia dan Olds dikategorikan sebagai usia remaja, yakni sebesar 54,29%.
Tabel 3 Sebaran contoh berdasarkan umur waktu pertama kali menikah Jumlah Umur (Tahun) n % Remaja 18 51,43 Dewasa Awal 17 48,57 Total 35 100 Rata-Rata 20,54
Fenomena ini dapat diterjemahkan bahwa para ibu yang berusia muda tersebut masih memiliki kemungkinan besar untuk memiliki anak lagi sebab masih berada pada usia subur. Selain itu, perbandingan usia yang jauh antara contoh dan suaminya mengindikasikan kemungkinan untuk konflik lebih besar sebab masing-masing memiliki kemampuan mengontrol emosi yang berbeda.
Jumlah Anak
Pada Tabel 4, dapat dilihat bahwa rentang jumlah anak pada pernikahan sekarang adalah antara 1 sampai 8 orang anak. Sebaran contoh mayoritas memiliki 1 orang anak dari pernikahan terakhir dengan persentase 40%. Untuk ringkasnya dapat dilihat pada Lampiran 2.
Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan jumlah anak dari pernikahan sekarang Jumlah Jumlah Anak (Pernikahan Sekarang) n % 1 14 40 2 9 25,71 3 4 11,43 4 4 11,43 5 1 2,86 6 2 5,71 8 1 2,86 Total 35 100 Rata-Rata 2,54
Pada Tabel 5 mayoritas suami contoh tidak mempunyai anak dari pernikahan sebelumnya (85,71%). Sebanyak 14,29% pasangan contoh mempunyai anak bawaan dari pernikahan sebelumnya (lihat Lampiran 2). Dapat dilihat juga bahwa sua mi yang pernah menikah mayoritas membawa 1 orang anak dari pernikahan sebelumnya, yaitu sebanyak 8,59%. Adapun alasan contoh memilih untuk menikah dengan pria yang sudah pernah menikah adalah karena pertimbangan ekonomi (memiliki pendapatan yang cukup untuk membiayai keluarga) dan karena kematangan emosi maupun mental. Isteri atau contoh dalam penelitian ini sebesar 100% tidak pernah menikah sebelumnya.
Tabel 5 Sebaran contoh berdasarkan jumlah anak bawaan suami dari pernikahan sebelumnya
Jumlah Jumlah Anak Bawaan Suami
Dari Pernikahan Sebelumnya n %
0 30 85,71 1 3 8,59 3 1 2,86 4 1 2,86 Total 35 100 Rata-Rata 0,28
Tingkat Pendidikan Contoh
Tingkat pendidikan contoh dalam penelitian ini bervariasi, mulai dari tingkat Sekolah Dasar (SD) sampai denga n Strata 1 (S1). Tabel 6 menjelaskan bahwa
kebanyakan contoh memiliki latar belakang tamat SMU, yakni sebesar 42,86%. Penjelasan selengkapnya dapat dilihat di Lampiran 2.
Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan pendidikan
Jumlah Pendidikan Contoh n % Tamat SD 4 11,43 Tamat SMP 5 14,28 Tamat SMU 15 42,86
Tidak Tamat Kuliah 1 2,86
Tamat Kuliah 5 14,28
S1 5 14,28
Total 35 100
Alasan Pernikahan
Menurut Brennen (1999), kegagalan pernikahan bisa saja dipengaruhi oleh frustrasi dari salah satu pihak yang menyebabkan perasaan insekuritas mereka yang merujuk pada ketidakpercayaan pada kelanggengan pernikahan. Namun pada penelitian ini, berdasarkan pengisian kuesioner yang diisi contoh, ditemukan bahwa alasan pernikahan mereka memiliki kemungkinan negatif me mpengaruhi keputusan untuk bercerai. Alasan pernikahan yang paling banyak adalah harapa n untuk menjadi bahagia (100%)
Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan alasan pernikahan
Alasan Pernikahan n %
1. Mengalami tekanan saat menikah 12 34
2. Menikah dengan orang yang berbeda keyakinan 1 2
3. Karena kesepian dan frustrasi 5 14
4. Demi pemenuhan kebutuhan seksual 6 17
5. Demi mengisi kekosongan spiritual anda 12 34
6. Menikah dengan orang yang sudah berpengalaman dalam
hubungan seksual 5 14
7. Harapan menjadi orang yang bahagia 35 100
8. Menikah dengan orang yang sudah mempunyai anak dari
pernikahan terdahulu 10 28
9. Menikah dengan orang yang anda rasa berbeda dari segi
intelegensi 13 37
Keinginan untuk memiliki pasangan yang berbeda dari segi intelegensi— dapat dikaitkan dengan tingkat pendidikan yang dimiliki—menduduki posisi alasan terbanyak kedua (37%). Hal ini dapat diterjemahkan sebagai keinginan contoh yang menginginkan suami yang berpendidikan lebih tinggi daripada dirinya supaya bisa mendapat pekerjaan dan pendapatan yang baik pula. Dari Tabel 7 dapat dilihat juga bahwa tekanan saat menikah dan menikah demi mengisi
kekosongan spiritual menduduki alasan terbanyak ketiga (34%). Selengkapnya bisa dilihat pada Lampiran 3. Angelis, diacu dalam Brennen (2005a) menyatakan bahwa ada yang mengalami kekosongan emosional sehingga benar-benar putus asa, berharap siapapun akan menikahinya. Namun pada akhirnya orang-orang tersebut berakhir pada perceraian juga.
Riwayat Pernikahan Orangtua
Tabel 8 memperlihatkan riwayat pernikahan dari orangtua suami dan isteri. Anonim (2004) menyebutkan teori bahwa anak yang berasal dari pasangan suami isteri yang bercerai kemungkinan besar akan mengalami riwayat pernikahan yang bermasalah seperti orangtua mereka.
Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan riwayat pernikahan orangtua (pernah bercerai atau tidak) Contoh Suami Orangtua Bercerai n % n % Ya 4 11,43 3 8,57 Tidak 31 88,57 32 91,43
Dari Tabel 8 dapat dilihat bahwa sebanyak 88,57% contoh menjawab bahwa mereka tidak berasal dari keluarga broken home (bercerai). Hal ini juga ditemukan pada suami contoh, malah dengan persentase yang lebih besar yakni 91, 43% tidak berasal dari keluarga yang memiliki riwayat perceraian. Selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 2.
Karakteristik Isteri
Yang dimaksud dengan karakter isteri adalah karakteristik contoh setelah perceraian, terdiri dari pekerjaan dan pendapatan.
Pekerjaan
Pada Tabel 9 disebutkan bahwa sebaran contoh yang memutuskan untuk bekerja adalah sebesar 62,86% (bandingkan dengan yang memilih untuk tidak bekerja/sebagai ibu rumah tangga, sebesar 37,14%). Sebesar 25,71 % contoh memilih pekerjaan sebagai pengusaha/wiraswasta.
Selain jam kerja yang fleksibel, bekerja sebagai pengusaha atau wiraswasta juga memungkinkan contoh untuk menengok anaknya sewaktu-waktu. Gambaran selengkapnya mengenai pekerjaan contoh dapat dilihat dalam Lampiran 2. Contoh yang memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga
memperoleh nafkah dari santunan suami, pendapatan anak-anaknya atau bergantung pada orangtua nya.
Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan
Jumlah Pekerjaan Contoh n % Pedagang/Pemilik Toko 3 8,57 Pengusaha/Wiraswasta 9 25,71 Pegawai Swasta 4 11,43 Pegawai Negeri 4 11,43
Ibu Rumah Tangga 13 37,14
Pembantu RT 1 2,85
Buruh Pabrik 1 2,86
Pendapatan Perkapita
Pendapatan per kapita per bulan diperoleh dari total pendapatan ibu, santunan mantan suami dan anggota keluarga lain dibagi dengan jumlah anggota keluarga. Dalam penelitian ini total pendapatan per kapita tiap bulan berkisar antara Rp 31.108 hingga Rp 634.419.
Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan pendapatan perkapita
Jumlah Pendapatan perkapita n % Kecil (< Rp 467.880) 29 82.9 Sedang (Rp 467.880 - Rp 931.680) 6 17.1 Rata-rata Rp 311.224
Menurut BPS (2003) rata-rata pendapatan per kapita per bulan untuk rumah tangga bukan pertanian golongan rendah kota sebesar Rp 467.880 sedangkan untuk rumah tangga bukan pertanian golongan atas kota sebesar Rp 931.680. Pendapatan perkapita terbanyak pada penelitian ini adalah <Rp 467.880 yaitu termasuk pendapatan kecil. Rata -rata pendapatan per kapita per bulan keluarga contoh adalah Rp 311.244.
Pengambilan Keputusan dalam Fungsi-fungsi Keluarga
Pada Tabel 11 terlihat bahwa persentase terbesar berada pada kategori pengambilan keputusan secara bersama, yakni sebesar 65,71% (Lampiran 5). Menyesuaikan dengan teori Turner dan Helms (1986) yang membagi jenis hubungan dalam perkawinan berdasarkan alokasi kekuasaan dalam rumah tangga, disimpulkan bahwa rumah tangga mayoritas contoh termasuk dalam jenis perkawinan yang egalitarian. Jenis perkawinan egalitarian adalah jenis yang
kontemporer karena menghendaki kesamaan hak dan kewajiban dalam mengambil keputusan menyangkut kepentingan rumah tangga.
Tabel 11 Sebaran contoh berdasarkan pengambilan keputusan dalam keluarga Jumlah Pengambilan Keputusan n % Bersama 23 65,7 Dominan 11 31,4 Sepihak 1 2,86
Rata-rata skor untuk fungsi agama adalah sebesar 0,43 (Lampiran 4), yang artinya kecenderungan pengambilan keputusan dalam fungsi agama dilakukan secara bersama-sama . Berdasarkan Tabel 12, diperoleh bahwa persentase contoh terbesar (54,3%) untuk yang menjawab bersama adalah pelaksanaan ibadah agama. Persentase terbesar contoh untuk yang dilakukan secara dominan (31,4%) adalah perayaan hari besar agama. Untuk pengambilan keputusan secara sepihak, persentase terbesar contoh adalah pada aktivitas memberi pemahaman mengenai perbedaan agama.
Berdasarkan total skor, mengajarkan anak mengenai agama yang dianut memiliki total skor tertinggi, sedangkan yang tere ndah diperoleh perayaan ibadah agama dan perayaan hari besar agama.
Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan skor fungsi agama Bersama (skor 0) Dominan (skor 1) Sepihak (skor 2) Fungsi Agama n % n % n %
Mengajarkan anak mengenai agama
yang dianut 12 34,3 8 22,9 5 14,3
Memberi pemahaman mengenai
perbedaan agama 17 48,6 4 11,4 14 31,4
Pelaksanaan ibadah agama 19 54,3 7 20 9 25,7
Perayaan hari besar agama 17 48,6 11 31,4 7 20
Rata-rata skor untuk fungsi sosial budaya adalah 0,52 (Lampiran 4), yang artinya pengambilan keputusan untuk fungsi ini kecenderungannya menga rah ke dominan salah satu pihak. Berdasarkan Tabel 13 diperoleh bahwa persentase terbesar contoh yang menjawab bersama (45,8%) adalah aktivitas terkait dengan pergaulan anak. Persentase terbesar untuk yang menjawab dominan (42,9%) adalah aktivitas menyangkut disiplin, sedangkan yang persentase terbesar contoh yang menjawab sepihak adalah aktivitas menyangkut disiplin dan tata krama.
Berdasarkan total skor , total skor terbesar adalah mengajarkan anak mengenai disiplin, sedangkan yang terendah adalah mengenai pergaulan anak. Tabel 13 Sebaran contoh berdasarkan skor fungsi sosial budaya
Bersama (skor 0) Dominan (skor 1) Sepihak (skor 2) Fungsi Sosial Budaya
n % n % n % Disiplin 5 14,3 15 42,9 15 42,8 Tata krama 8 22,9 12 34,3 15 42,8 Kejujuran 12 34,3 10 28,6 13 37,1 Tolong- menolong 15 42,8 9 25,7 11 31,4 Pergaulan anak 16 45,8 9 25,7 10 28,6
Diantara delapan fungsi keluarga, fungsi reproduksi memiliki rata-rata total skor terendah, yakni sebesar 0,32 (Lampiran 4), artinya pengambilan keputusan fungsi ini kecenderungan dilakukan secara bersama. Berdasarkan hasil yang diperlihatkan Tabel 14, dengan jelas terlihat bahwa persentase terbesar contoh yang menjawab bersama adalah pada aktivitas penentuan waktu untuk mempunyai anak. Ada dua aktivitas yang mendapat persentase terbesar untuk kategori contoh yang menjawab dominan, yaitu persiapan menkelang kelahiran anak dan waktu ber-KB. Sedangkan persentase terbesar untuk yang menjawab sepihak adalah menyangkut jenis KB yang dipergunakan.
Berdasarkan Lampiran 4, dapat dilihat bahwa persiapan menjelang kelahiran anak memiliki total skor terbesar, sedangkan yang terendah adalah aktivitas menentukan jumlah anak.
Tabel 14 Sebaran contoh berdasarkan skor fungsi reproduksi Bersama (skor 0) Dominan (skor 1) Sepihak (skor 2) Fungsi Reproduksi n % n % n %
Waktu mempunyai anak 28 80 6 17,1 1 2,8
Jumlah anak 29 82,8 6 17,1 0 0
Persiapan menjelang kelahiran anak 12 34,3 11 31,4 12 34,3
Waktu ber- KB 14 40 11 31,4 10 28,6
Jenis KB 14 40 8 22,8 13 37,1
Frekuensi berhubungan seks 25 71,4 3 8,6 7 20
Mengatasi ketegangan akibat
ketiadaan anak 21 60 4 11,4 10 28,6
Fungsi cinta kasih mempunyai rata-rata skor sebesar 0,52 (Lampiran 4), artinya pengambilan keputusan fungsi ini kecenderungan mengarah ke dominan salah satu pihak. Berdasarkan Tabel 15, ditemukan bahwa menjaga keharmonisan suami isteri (54,3%) adalah aktivitas yang memiliki persentase sebaran contoh
terbesar yang melakukannya secara bersama, metode mengasuh anak (34,3%) sebagai aktivitas yang memiliki persentase sebaran contoh terbesar yang dominan dan merawat anak-anak untuk yang sepihak (54,3%).
Berdasarkan Lampiran 4, ditemukan bahwa merawat anak-anak mempunyai total skor terbesar dan menjaga keharmonisan suami isteri adalah yang terendah. Tabel 15 Sebaran contoh berdasarkan fungsi cinta kasih
Bersama (skor 0) Dominan (skor 1) Sepihak (skor 2) Fungsi Cinta Kasih
n % n % n %
Merawat anak-anak 8 22,8 8 22,8 19 54,3
Menjaga keharmonisan suami isteri 19 54,3 3 8,6 13 37,1
Hubungan keluarga dengan kerabat
dan handai taulan 16 45,7 4 11,4 15 42,8
Hubungan dengan tetangga 16 45,7 5 14,3 14 40
Metode mengasuh anak 10 28,6 12 34,3 13 37,1
Kesepakatan tentang baby sitter 11 31,4 9 25,7 15 42,8
Rata-rata skor untuk fungsi melindungi adalah 0,58 (Lampiran 4), artinya pengambilan keputusan fungsi ini kecenderungan mengarah ke dominan salah satu pihak. Berdasarkan Tabel 16, dapat dilihat bahwa terdapat tiga jenis aktivitas yang mempunyai persentase terbesar sebaran contoh yang menjawab bersama: mengawasi kegiatan anak di luar rumah, memantau kegiatan anak di sekolah, dan tempat berobat. Sedangkan persentase terbesar sebaran contoh yang menjawab dominan adalah keamanan di luar rumah, dan yang persentase terbesar untuk yang sepihak adalah membawa anak imunisasi.
Tabel 16 Sebaran contoh berdasarkan fungsi melindungi Bersama (skor 0) Dominan (skor 1) Sepihak (skor 2) Fungsi Melindungi n % n % n %
Keamanan dalam rumah 6 17,1 13 37,1 16 45,7
Keamanan di luar rumah 7 20 14 40 14 40
Mengawasi kegiatan anak di luar
rumah 13 37,1 8 22,8 14 40
Memantau anak di sekolah 13 37,1 8 22,8 14 40
Menjelaskan tentang pentingnya
proteksi orangtua 6 17,1 11 31,4 18 51,4
Perawatan gigi 10 28,6 8 22,8 17 48,6
Imunisasi/Posyandu 7 20 9 25,7 19 54,3
Tempat berobat 13 37,1 9 25,7 13 37,1
Berdasarkan Lampiran 4, ditemukan bahwa total skor tertinggi diperoleh aktivitas menjelaskan tentang pentingnya proteksi orangtua, sedangkan yang terendah adalah mengenai preferensi tempat berobat.
Fungsi ekonomi memiliki rata-rata skor tertinggi diantara delapan fungsi keluarga, yaitu sebesar 0,67 (Lampiran 4), artinya fungsi ekonomi memiliki kecenderungan dominan diputuskan oleh satu pihak. Sebaran contoh terbesar untuk yang menjawab bersama adalah sumber nafkah (31,4%), sedangkan sebaran contoh terbesar yang menjawab dominan adalah aktivitas mengalokasi keuangan. Contoh paling banyak memilih penataan perabotan rumah tangga (65,7%) sebagai aktivitas yang sebaiknya dilakukan oleh satu orang saja.
Tabel 17 Sebaran contoh berdasarkan fungsi ekonomi Bersama (skor 0) Dominan (skor 1) Sepihak (skor 2) Fungsi Ekonomi n % n n % n Sumber nafkah 11 31,4 11 31,4 13 37,1 Pemegang uang 5 14,3 8 22,8 22 62,8 Pengeluaran uang 6 17,1 16 45,7 13 37,1 Alokasi keuangan 5 14,3 17 48,6 13 37,1
Waktu pembelian perabot rumah tangga 7 20 11 31,4 17 48,6
Model perabot rumah tangga 3 8,6 10 28,6 22 62,8
Penataan perabot rumah tangga 3 8,6 9 25,7 23 65,7
Pengeluaran makanan 5 14,3 9 25,7 21 60
Menentukan menu 5 14,3 9 25,7 21 60
Distribusi makanan dalam keluarga 5 14,3 10 28,6 20 57,1
Makan di luar 6 17,1 11 31,4 18 51,4 Pembelian/penjualan/penyewaan rumah 7 20 10 28,6 18 51,4 Perbaikan rumah 8 22,8 10 28,6 17 48,6 Pakaian suami 3 8,6 16 45,7 16 45,7 Pakaian isteri 3 8,6 14 40 18 51,4 Pakaian anak 7 20 16 45,7 12 34,3
Berdasarkan Lampiran 4, ditemukan bahwa penataan perabotan rumah tangga memiliki total skor tertinggi, sedangkan sumber nafkah memiliki total skor terendah.
Rata-rata skor fungsi sosialisasi dan pendidikan adalah 0,52 (Lampiran 4), artinya pengambilan keputusan fungsi ini kecenderungan mengarah ke dominan salah satu pihak. Berdasarkan hasil pada Tabel 18, dapat dilihat bahwa persentase sebaran contoh paling banyak memilih menentukan tempat sekolah (31,4%) sebagai aktivitas yang dilakukan secara bersama-sama. Aktivitas dominan yang paling banyak dipilih adalah menentukan pilihan sekolah anak (57,1%),
sedangkan aktivitas yang paling banyak dipilih sebagai aktivitas yang sebaiknya dilakukan oleh satu pihak saja adalah menentukan tempat sekolah (34,3%).
Berdasarkan Lampiran 4, ditemukan bahwa pilihan sekolah dan tempat sekolah memiliki skor tertinggi, sedangkan skor terendah diperoleh jenis sekolah. Tabel 18 Sebaran contoh berdasarkan fungsi sosialisasi dan pendidikan
Bersama (skor 0) Dominan (skor 1) Sepihak (skor 2) Fungsi Sosialisasi dan Pendidikan
n % n n % n
Jenis sekolah 8 22,8 16 45,7 11 31,4
Pilihan sekolah 7 20 20 57,1 8 22,8
Tempat sekolah 11 31,4 12 34,3 12 34,3
Rata-rata skor fungsi pembinaan lingkungan adalah 0,58 (Lampiran 4), artinya pengambilan keputusan fungsi ini kecenderungan mengarah ke dominan salah satu pihak. Berdasarkan Tabel 19, ditemukan bahwa biaya rekreasi adalah aktivitas yang oleh contoh paling banyak dipilih sebagai aktivitas yang dilakukan secara bersama (34,3%) maupun dengan salah satu pihak yang dominan (42,8%). Sedangkan persentase terbesar sebaran contoh yang memilih aktivitas sepihak adalah menjaga kebersihan dalam rumah.
Berdasarkan Lampiran 4, ditemukan bahwa total skor tertinggi didapat aktivitas penentuan biaya rekreasi, sedangkan total skor terendah adalah tanggung jawab kebersihan di dalam rumah.
Tabel 19 Sebaran contoh berdasarkan fungsi pembinaan lingkungan Bersama (skor 0) Dominan (skor 1) Sepihak (skor 2) Fungsi Pembinaan Lingkungan
n % n n % n
Kebersihan dalam rumah 3 8,6 13 37,1 19 54,3
Kebersihan luar rumah 6 17,1 12 34,3 17 48,6
Jenis rekreasi 9 25,7 12 34,3 14 40
Waktu rekreasi 11 31,4 13 37,1 13 37,1
Biaya rekreasi 12 34,3 15 42,8 8 22,8
Ketegangan Suami Isteri
Tabel 20 menunjukkan bahwa persentase terbesar (85,72%) ketegangan suami isteri adalah rendah (Lampiran 9). Hal ini dapat dijelaskan sebagai keadaan rumah tangga yang mampu menetralisir perasaan-perasaan negatif yang dapat memicu konflik.
Tabel 20 Sebaran contoh berdasarkan ketegangan suami isteri Jumlah Ketegangan Suami Isteri
n %
Sedang 5 14,28
Rendah 30 85,72
Rata-rata skor untuk penolakan dan pengkhianatan adalah 0,52 (Lampiran 6), artinya dalam perkawinan contoh terjadi kecenderungan adanya penolakan dan pengkhianatan. Dari Tabel 21 dapat dilihat bahwa sebagian besar contoh (62,9%) mengalami perasaan tersisih akibat kesibukan suami. Selain itu, dapat dilihat bahwa dari 54,3% contoh yang mengaku merasa dikhianati, sebesar 40% contoh membuktikan bahwa suaminya berkhianat. Selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 6.
Tabel 21 Sebaran contoh berdasarkan penolakan dan pengkhianatan Ya (skor 0)
Tidak (skor 1) Penolakan dan Pengkhianatan
n % n %
Pasangan mempunyai kesibukan yang tinggi sehingga
contoh merasa tersisih 22 62,9 13 37,1
Contoh merasa dikhianati pasangan 19 54,3 16 45,7
Pasangan terbukti berkhianat 14 40 21 60
Rata-rata skor untuk berkurangnya kepercayaan adalah 0,22 (Lampiran 7), artinya dalam perkawinan contoh berkurangnya kepercayaan cenderung tidak pernah terjadi. Berdasarkan hasil yang ditunjukkan oleh Tabel 22, persentase contoh yang paling banyak menjawab tidak pernah adalah untuk pernyataan apakah contoh merasa pasangan tidak jujur atau menyeleweng. Persentase terbesar contoh yang menjawab jarang adalah pernyataan mengenai perasaan cemburu jika pasangan dekat dengan orang lain. Persentase contoh yang paling banyak menjawab sering adalah untuk pernyataan bahwa contoh merasa pasangan tidak jujur atau menyeleweng.
Tabel 22 Sebaran contoh berdasarkan berkurangnya kepercayaan Tidak Pernah (skor 0) Jarang (skor 1) Sering (skor 2) Berkurangnya Kepercayaan n % n % n %
Curiga jika pasangan pulang larut 22 62,9 9 25,7 4 11,4
Merasa tersaingi dengan rekan dekat berbeda
jenis dengan pasangan 24 68,6 10 28,6 1 2,9
Cemburu jika pasangan dekat dengan orang lain 16 45,7 18 51,4 1 2,9 Merasa pasangan tidak jujur/menyeleweng 25 71,4 5 14,3 5 14,3
Berdasarkan hasil yang diperlihatkan pada Lampiran 7, ditemukan bahwa perasaan cemburu jika pasangan dekat dengan orang lain mendapat total skor tertinggi, yakni sebesar 0,57, sedangkan total skor terendah diperoleh pada pernyataan menyangkut perasaan tersaingi dengan rekan yang berbeda jenis dengan pasangan.
Branden 1980, diacu dalam Bird dan Melville 1994 menjelaskan fenomena ini sebagai akibat dari karakter contoh yang memiliki kepercayaan diri rendah sehingga menyebabkan mereka menuntut kebutuhan intimacy yang lebih besar, bahkan melebihi kemampuan pasangannya.
Rata-rata skor pasangan ingin menang sendiri adalah 0,31 (Lampiran 8), artinya dalam perkawinan contoh pasangan yang ingin menang sendiri cenderung tidak pernah terjadi. Berdasarkan hasil pada Tabel 23, ditemukan bahwa persentase terbesar contoh yang menjawab tidak pernah adalah pernyataan bahwa pasangan mengungkit-ungkit masa lalu (65,7%). Sedangkan persentase terbesar contoh yang menjawab jarang adalah pernyataan mengenai pasangan yang melontarkan tuduhan balasan (31,4%) dan persentase terbesar untuk yang menjawab sering adalah pasangan bersikeras mempertahankan pendapat (34,3%).
Berdasarkan hasil yang diperlihatkan pada Lampiran 8, terlihat bahwa rata-rata skor tertinggi (0,86) didapat pada pernyataan pasangan bersikeras mempertahankan pendapatnya, sedangkan rata -rata skor terendah (0,54) didapat pada pernyataan pasangan melontarkan tuduhan balasan dan pasangan membesar-besarkan masalah.
Tabel 23 Sebaran contoh berdasarkan pasangan ingin menang sendiri Tidak Pernah (skor 0) Jarang (skor 1) Sering (skor 2) Pasangan Ingin Menang Sendiri
n % n n % n
Pasangan bersikeras mempertahankan pendapat 17 48,6 6 17,1 12 34,3
Pasangan melontarkan tuduhan balasan 20 57,1 11 31,4 4 11,4
Pasangan membesar-besarkan masalah 22 62,9 7 20 6 17,1
Pasangan mengungkit-ungkit masa lalu 23 65,7 4 11,4 8 22,9
Pasangan menyela perkataan anda 20 57,1 9 25,7 6 17,1
Crouter 1982, diacu dalam Turner dan Helms 1986 menyarankan agar pertengkaran sebaiknya tetap dalam konteks yang sesuai dengan topik yang
didiskusikan. Sikap tidak mau kalah tidak akan menyelesaikan masalah, sebaliknya malah akan membawa pertengkaran ke arah yang destruktif.
Konflik
Tabel 24 di bawah menunjukkan bahwa persentase tertinggi (85,71%) contoh memiliki tingkat konflik yang rendah. Baik suami maupun isteri sepertinya sudah mengerti cara bertengkar yang sehat dan tidak saling menyakiti.
Tabel 24 Sebaran contoh berdasarkan konflik dalam keluarga Jumlah Konflik
n %
Konflik Sedang 5 14,28
Konflik Rendah 30 85,71
Kasus yang kebanyakan ditemukan dalam penelitian ini dikenal dengan istilah perceraian tanpa masalah (no-fault divorce). Pertama kali diperkenalkan di California tahun 1970 yang didefinisikan sebagai ‘perbedaan yang tak dapat dijelaskan yang menyebabkan gangguan yang tak terselesaikan yang mendorong ke arah kehancuran rumah tangga’.
Rata-rata skor konflik contoh adalah 0,32 (Lampiran 10), artinya dalam keluarga contoh cenderung tidak pernah terjadi konflik. Berdasarkan hasil pada Tabel 25, didapat bahwa sebaran contoh terbanyak menjawab tidak pernah adalah pernyataan tentang minggat dari rumah (71,4%).
Tabel 25 Sebaran contoh berdasarkan jawaban untuk pertanyaan konflik Tidak Pernah (skor 0) Jarang (skor 1) Sering (skor 2) Konflik n % n n % n
Memendam kekesalan terhadap pasangan 11 31,4 15 42,8 9 25,7
Memendam kekecewaan terhadap pasangan 17 48,5 11 31,4 7 20
Tertekan dengan perilaku pasangan 14 40 11 31,4 10 13,9
Terpikir untuk bercerai dan meninggalkan
pasangan 19 54,3 9 25,7 7 20
Meninggalkan rumah (mingga t) 25 71,4 6 17,14 4 11,4
Berteriak di tengah pertengkaran 21 60 9 25,7 5 14,3
Memaki pasangan 20 57,1 11 31,4 4 11,4
Untuk jawaban jarang, sebaran contoh terbanyak adalah mengenai perasaan kesal terhadap pasangan (42,8%), sedangkan sebaran contoh yang menjawab sering adalah mengenai perasaan tertekan terhadap perilaku pasangan (13,9%).
Berdasarkan Lampiran 10, ditemukan bahwa memendam kekesalan memiliki total skor tertinggi, sedangkan yang terendah adalah meninggalkan rumah demi menghilangkan perasaan tertekan.
Pasca Perceraian
Dari Tabel 26, dapat dilihat bahwa hubungan pasca perceraian berada pada rentang sedang, dengan persentase sebesar 48,6%—selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 11. Hal ini menunjukkan bahwa, ada beberapa hal yang tidak dilakukan oleh contoh dan pasangan ternyata mempengaruhi hubungan mereka sehingga menjadi agak renggang.
Tabel 26 Sebaran contoh berdasarkan hubungan suami isteri pasca perceraian Jumlah
Pasca Perceraian
n %
Hub. Pasca Perceraian Buruk 9 25,7
Hub.Pasca Perceraian Sedang 17 48,6
Hub.Pasca Perceraian Baik 9 25,7
Rata-rata skor pasca perceraian contoh adalah 1,4 (lampiran 11), artinya aspek-aspek pasca perceraian cenderung jarang dilakukan. Dapat dilihat pada Tabel 27, bahwa sebaran contoh terbanyak untuk yang menjawab sering adalah suami menafkahi keluarga sesuai dengan ketentuan (31,4%). Aktivitas bertemu berdua secara sengaja ternyata yang paling jarang (40%) dan yang paling tidak pernah dilakukan pasca perceraian—bersama -sama dengan aktivitas menghubungi lewat surat, telepon dan email yang sama-sama memiliki persentase 60%.
Tabel 27 Data sebaran contoh berdasarkan lima aspek dalam keadaan keluarga pasca perceraian Sering (skor 0) Jarang (skor 1) Tidak Pernah (skor 2) Pasca Perceraian n % n % n %
Suami berkunjung ke rumah 5 14,3 11 31,4 19 54,3
Suami kontak dengan anak 8 22,8 9 25,7 18 51,4
Suami menafkahi keluarga sesuai dengan
ketentuan 11 31,4 6 17,1 18 51,4
Bertemu berdua saja dengan sengaja 0 0 14 40 21 60
Hubungan Karakteristik Suami Isteri dan Isteri (contoh) dengan Pengambilan Keputusan berdasarkan Fungsi-fungsi Keluarga, Ketegangan Suami Isteri, Konflik dan Pasca Perceraian
Umur pertama kali menikah (Lampiran 12) memiliki hubungan positif dengan fungsi cinta kasih (0,387*) dan fungsi melindungi (0,472**). Pandangan masyarakat mengenai konsep ‘perawan tua’—wanita matang yang belum menikah sama dengan tidak laku—mendesak para wanita untuk cepat-cepat menikah. Semakin mendekati usia kepala tiga, desakan ini semakin besar membuat putus asa. Angelis 2005, diacu dalam Brennen 2005a menyatakan bahwa pernikahan yang dilatari sikap putus asa akan terus mengalami perasaan yang sama bahkan setelah menikah nanti. Sikap putus asa yang biasanya dibarengi dengan rasa rendah diri, akan membawa isteri dalam sikap pasrah dan meletakkan suami sebagai sentral pengambilan keputusan dalam keluarga. Posisi suami yang mutlak terlihat jelas pada saat keluarga menjalan fungsi cinta kasih dan fungsi melindungi. Suami merasa lebih berhak untuk memegang tanggung jawab proteksi keluarga, sedangkan isteri difungsikan sebagai pendukung suami dalam menjalankan tanggung jawab tersebut.
Jumlah anak (Lampiran 12) mempunyai hubungan negatif dengan fungsi sosialisasi dan pendidikan (-0,374*) . Dengan jumlah anak yang sedikit, isteri cenderung untuk mengambil keputusan mengenai pendidikan anak secara sepihak. Sebaliknya, semakin banyak anak mengindikasikan semakin banyaknya waktu yang diperlukan isteri untuk mengurusi masalah domestik rumah tangga. Karena itu isteri membutuhkan peran suami sebagai partner dalam memecahkan masalah terkait pendidikan anak-anaknya.
Jumlah anak bawaan suami (Lampiran 12) mempunyai hubungan negatif dengan fungsi ekonomi (-0,352*). Karena pengalaman menjadi orangtua tunggal untuk sementara waktu bagi anak-anaknya, baik sadar maupun tidak suami mempunyai pengalaman dalam mengambil alih peran isteri dalam keluarga. Karena itu saat pernikahan kembali (remarried), suami terkadang mengambil beberapa tanggung jawab ekonomi yang biasanya ditangani oleh isteri—misalnya, pengolaan keuangan rumah tangga. Namun semakin banyak anak bawaan suami dari pernikahan sebelumnya, saat remarried suami merasa memerlukan peran
serta isteri, karena itu pengambilan keputusannya pun cenderung dilakukan secara bersama.
Orangtua isteri bercerai (Lampiran 12) memiliki hubungan negatif dengan fungsi sosialisasi dan pendidikan (-0,349*). Pengalaman pahit isteri yang orangtuanya berpisah, memberi pelajaran mengenai berkompromi dengan pasangan yang diaplikasikan pada pernikahannya sendiri. Memutuskan bersama dengan pasangan mengenai pendidikan anak adalah salah satunya.
Pendapatan perkapita (Lampiran 12) mempunyai hubungan negatif dengan fungsi sosialisasi dan pendidikan (-0,368*) dan dengan fungsi pembinaan lingkungan (-0,375*) . Semakin besar pendapatan perkapita maka alokasi pengeluaran untuk kebutuhan sekunder—dalam hal ini pendidikan anak dan kebutuhan untuk rekreasi—bisa diperbesar. Dengan budget yang cukup besar, pilihan juga akan lebih banyak sehingga membutuhkan pasangan sebagai pemberi masukan usulan. Namun sebaliknya, dengan budget terbatas, isteri yang pada umumnya sebagai pemegang uang, memilih untuk memutuskan sendiri setelah disesuaikan dengan kemampuan finansial yang dipunyai keluarganya.
Umur isteri (Lampiran 12) mempunyai hubungan negatif dengan penolakan dan pengkhianatan (-0,472**). Begitu juga dengan umur isteri waktu pertama kali menikah, yang mempunyai hubungan negatif dengan penolakan dan pengkhianatan (-0,409*). Contoh yang relatif menikah ketika usianya masih muda pada umumnya labil, cenderung untuk memiliki sifat ketergantungan yang tinggi dengan pasangan, sehingga saat contoh dihadapkan pada kenyataan bahwa suami tidak bisa selalu ada di rumah akibat kesibukan profesi dan sebagainya, perasaan ini mendorong contoh ke arah kecurigaan dan kecemburuan yang tidak sehat.
Fungsi reproduksi (Lampiran 12) mempunyai hubungan negatif dengan berkurangnya kepercayaan (-0,371*) dan dengan pasangan ingin menang sendiri (-0,364*) . Pengambilan keputusan secara bersama memang terbukti baik adanya, namun ada beberapa hal yang sebaiknya diserahkan kepada satu pihak saja. Dalam hal fungsi reproduksi, misalnya pemilihan jenis kontrasepsi, lebih baik isteri saja yang memilih sesuai dengan kenyamanan dirinya. Jika suami terlalu ikut campur pada pengambilan keputusan semacam itu, pertengkaran tidak dapat terhindarkan.
Fungsi ekonomi (Lampiran 12) mempunyai hubungan positif dengan berkurangnya kepercayaan (0,351*). Jika pasangan memutusan untuk menjalankan fungsi ekonomi secara sepihak, maka saat ditemukan kecurangan atau sikap yang yang tidak memuaskan terkait dengan pendapatan dan pengalokasiannya, maka akan muncul rasa curiga dan tidak percaya.
Fungsi reproduksi (Lampiran 12) mempunyai hubungan negatif dengan konflik (-0,358*) . Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, terlalu banyak campur tangan suami dalam fungsi reproduksi ternyata mendorong terjadinya konflik.
Konflik (Lampiran 12) mempunyai hubungan positif dengan fungsi sosialisasi dan pendidikan (0,399*) dan fungsi pembinaan lingkungan (0,386*). Masa depan anak adalah tanggung jawab bersama, jadi sudah sepantasnya suami dan isteri memutuskannya secara bersama-sama. Selain bersikap adil dengan pasangan, pengambilan keputusan bersama dalam hal ini ternyata memperkecil kemungkinan konflik. Demikian juga dengan tanggung jawab menjaga kebersihan dan perencanaan rekreasi keluarga, sebaiknya dilakukan secara bersama-sama.
Pasca perceraian (Lampiran 12) mempunyai hubungan positif dengan fungsi melindungi (0,405*) , fungsi sosialisasi dan pendidikan (0,467**) dan fungsi pembinaan lingkungan (0,372*). Jika fungsi-fungsi tersebut dijalankan tanpa memedulikan pendapat pasangan, maka akan muncul perasaan benci dan kesal karena diabaikan. Jika berlanjut dengan perceraian, kebencian akan berubah menjadi rasa tidak peduli dan memperkecil kemungkinan akan menjalin hubungan yang baik dengan mantan.