• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. kepribadian. Setelah menikah, pasangan akan mempelajari dan menyadari bahwa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. kepribadian. Setelah menikah, pasangan akan mempelajari dan menyadari bahwa"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menjalin hubungan yang lebih intim dan menikah dengan lawan jenis merupakan salah satu tugas perkembangan individu dewasa awal (Papalia, Olds & Feldman, 2001). Setiap perkawinan pada dasarnya adalah pencampuran dari dua kepribadian. Setelah menikah, pasangan akan mempelajari dan menyadari bahwa mereka tidak sama dan begitu banyak perbedaannya. Memutuskan untuk menikah bukan hanya sekedar menyadari bahwa pasangan akan berbagi perabotan yang sama, tetapi juga berbagi masa depan bersama. Ini adalah harapan setiap pasangan yang menikah. Dengan kata lain “perkawinan adalah komitmen tanpa batas dengan pasangan yang tidak dikenali” (Pease & Pease, 2003).

Perkawinan biasanya memuat berbagai macam perbedaan, misalnya ras dan usia, status, kepercayaan politik, agama dan tentu saja kepribadian (Roberts & Roberts, 2000). Hal ini juga sesuai dengan pernyataan Duvall (2002) bahwa dalam perkawinan terdapat komitmen antara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama atas dasar saling mencintai, saling membantu, melengkapi dan mendukung dalam menjalani hidup.

Menurut Bowner & Spanier (dalam Rahmi, 2003), ada beberapa alasan yang mendorong seseorang memutuskan untuk menikah. Alasan-alasan tersebut seperti

(2)

mendapatkan jaminan ekonomi, membentuk keluarga, mendapatkan keamanan emosi, harapan orangtua, melepaskan diri dari kesepian, menginginkan kebersamaan, daya tarik seksual, mendapatkan perlindungan, memperoleh posisi sosial dan prestise, dan karena cinta. Tittle (dalam Duvall & Miller, 1985) menyatakan bahwa tujuan wanita menikah adalah untuk mendapatkan keamanan secara finansial, dukungan emosi, serta meningkatkan prestise. Sementara pria menikah karena alasan untuk mendapatkan kehidupan keluarga yang normal, memiliki rumah sendiri, dan menjadi pemimpin dalam keluarga.

Setiap pasangan yang menikah tentunya mengharapkan bahwa perkawinan tersebut akan membawa kebahagiaan dan berlangsung selamanya. Sebuah perkawinan akan berhasil ketika pasangan mampu menyesuaikan diri satu sama lain dengan semua perbedaan yang mereka miliki. Hal ini sesuai dengan tujuan perkawinan yang tertuang dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Pasal 1 yang mendefinisikan perkawinan sebagai :

”Ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa”

Namun pada kenyataannya banyak pasangan yang gagal mengatasi perbedaan di antara mereka, sehingga berakhir dengan penderitaan satu sama lain atau bahkan dengan perceraian (Pease & Pease, 2003).

Realitas memperlihatkan bahwa angka perceraian semakin meningkat setiap tahunnya. Fenomena perceraian ini telah tersebar dan banyak sekali terjadi di seluruh penjuru dunia. Hampir 50% pernikahan di Amerika akan berakhir dengan

(3)

perceraian (Sorentino, 1990). Di Kota Medan sendiri, seperti data yang diperoleh dari Pengadilan Agama Medan bahwa pada tahun 2005 terjadi perceraian sebanyak 685 kasus. Beberapa kota di Indonesia juga mengalami kenaikan jumlah kasus perceraian. Seperti di Kabupaten Nganjuk, Kediri, kasus perceraian meningkat dari 99 kasus tiap bulannya di tahun 2007, menjadi 112 kasus tiap bulannya di awal tahun 2008. Menurut salah seorang anggota DPRD kota tersebut, Gigi Satria Rahendra, beberapa penyebab utama kasus-kasus perceraian tersebut adalah tidak adanya tanggung jawab, ketidak harmonisan, dan gangguan pihak ketiga. Beberapa penyebab lainnya adalah krisis akhlak, cemburu, kawin paksa, masalah ekonomi, kawin di bawah umur, penganiayaan, dan cacat biologis (Jawa Pos Online).

Di Kota Medan, dari kasus-kasus perceraian yang dilaporkan juga diperoleh gambaran tentang penyebab-penyebab terjadinya perceraian tesebut. Menurut Harahap, selaku ketua Dinas Pemberdayaan Kota Medan, beberapa penyebab perceraian adalah masalah kekerasan dalam rumah tangga, perselingkuhan, dan masalah ekonomi. Selain itu, kurangnya komunikasi, masalah keuangan dan perbedaan kepribadian dan latar belakang, masalah seksualitas, serta ketidak setiaan juga berperan dalam memicu perceraian

Gallagher (2002) menyatakan bahwa ada perbedaan alasan bercerai yang diajukan oleh pria dan wanita. Para wanita biasanya meminta cerai dengan alasan kurangnya keintiman dan kasih sayang yang mereka rasakan dari pasangannya, sedangkan pria biasanya menuntut cerai karena kurangnya kepuasan seksual dan merasa bahwa istrinya terlalu cerewet. Menurut Levinger et al (dalam Duvall,

(4)

1985), suami biasanya mengajukan perceraian dengan alasan ketidakcocokan dengan keluarga mertua serta masalah seksual. Sementara istri mengajukan perceraian karena alasan kekerasan verbal dan fisik, masalah keuangan, perilaku suami yang peminum, pengabaian dan kurangnya rasa cinta dari suami. Pada kasus-kasus adanya kekerasan domestik, alasan sebenarnya terjadi perceraian bukan karena ingin melepaskan diri dari lingkaran kekerasan tersebut, tetapi karena salah satu pasangan tersebut sudah merasa kesepian, bosan, depresi dan tidak puas lagi dengan perkawinannya (Gallagher, 2002). Hal ini sesuai dengan pernyataan yang disampaikan seorang wanita berinisial Wi yang bercerai karena kasus kekerasan dalam rumah tangga :

”Sebenarnya apa ya, ini mikirnya kalo dianya cuman marah gitu, lemparin barang-barang gitu, mungkin apa ya, masih bisa nahan gitu. Kan ya kalo masak suami marah dikit langsung minta cere, ya nggak kan ya. Cuman karena udah sering, saya mikirnya udah gak bener ini, udah bosan saya gini-gini terus, mikirnya kok ngga, apa nggak bisa berubah lagi dia ya, ternyata nggak berubah. Ditahan-tahanin lama-lama mikirnya jangan-jangan apa saya bisa gila juga nanti”

(Komunikasi Personal, 8 Maret 2013).

Pada tahun 2010 diperoleh data bahwa dari 285.184 perceraian di seluruh Indonesia, 59% diajukan oleh istri, dan 29% diajukan oleh suami dan sisanya oleh pihak lain, ujar Mahkamah Agung (MA) dalam releasenya. Dalam keterangan pers itu, Badan Peradilan Agama (Badilag MA) menyebutkan, permohonan gugatan cerai yang dilayangkan pihak istri sebanyak 190.280 kasus perceraian. Sedangkan yang dilayangkan oleh laki-laki hanya setengahnya yaitu 94.099 kasus perceraian. Angka tersebut nampaknya berbanding lurus dengan hasil penelitian yang dilakukan AARP awal tahun lalu. Penelitian itu menemukan pasangan yang

(5)

akan atau telah bercerai, 66% keinginan cerai berasal dari wanita. Sedangkan pria yang menginginkan perceraian sebanyak 41%. (skalanews.com)

Dari beberapa penelitian diperoleh gambaran bahwa kebanyakan kasus perceraian diajukan oleh wanita. Secara kuantitatif, jumlah wanita yang minta cerai dari pasangannya dua kali lebih besar dari pria (Kincaid & Caldwell, 1995; Pettit & Bloom, 1984 dalam Baum 2006). Pada penelitian Nielsen (1999) diperoleh data bahwa di Amerika, 75% dari seluruh kasus perceraian diajukan oleh istri. Sedangkan penelitian Walthall (2005) menjelaskan bahwa pada masa sekarang, kebanyakan perceraian di Jepang diajukan oleh wanita. Hal ini merupakan salah satu efek dari modernitas, dimana pada masa sekarang sudah banyak wanita yang berpendidikan dan memiliki karir dalam pekerjaannya sehingga tidak tergantung secara ekonomi pada suaminya.

Individu yang mengajukan perceraian akan merasakan dampak psikologis yang berbeda daripada individu yang diceraikan. Individu yang mengajukan perceraian akan berpikir bahwa dialah yang memulai semua permasalahan. Individu tersebutlah yang memunculkan masalah akan kehilangan pasangan hidup, keutuhan keluarga, rutinitas dalam keluarga, dan harus berjuang demi hidupnya sendiri serta membentuk hubungan interpersonal yang baru (Baum, 2006). Selain itu, wanita yang minta cerai akan merasakan perasaan bersalah yang sangat mendalam, apalagi jika dikaitkan dengan dampak perceraian baik pada dirinya, anak-anaknya dan keluarganya. (Baum,2006)

(6)

Wallerstein dan Kelly (dalam Baum, 2006) meneliti bahwa individu yang telah bercerai akan merasa bersalah terhadap semua masalah yang muncul akibat perceraian tersebut, misalnya terhadap anak-anak, penilaian lingkungan terhadap status mereka, bahkan merasa telah merusak kehidupan mantan pasangannya. Bahkan rasa bersalah ini dapat mengarah kepada gangguan depresi (Walters-Chapman, Price, and Serovich,1995 dalam Baum, 2006). Hal ini sesuai dengan pernyataan yang disampaikan seorang wanita berinisial Na yang telah bercerai selama 2 tahun :

”Kadang kalo lagi liat anak-anak rasanya sedih. Gimana ya, mereka kan gak ada bapaknya lagi. Gak ada yang ngajak maen juga. Ya mikirnya kadang saya ya, mikir kok jadi ngerasa salah gitu, apa saya yang salah gak mikir panjang dulu cerai, gitu. Kalo liat tetangga, apa kawan-kawan lagi ya ngiri juga lah, mereka rukun sama suaminya. Ada yang jagain, ngemong, ngelindungin gitu. Kayak saya kan udah cerai, ya semua-semuanya sendirian aja...”

(Komunikasi Personal, 7 Maret 2013).

Sedangkan Wi, seorang janda yang baru bercerai selama 6 bulan dan belum memiliki anak merasakan dampak negatif dari penilaian lingkungan terhadapnya. Berikut ini penuturannya:

”...ya gak enaklah jadi janda. Gimana rasanya, kayak diliatin kalo lagi jalan, apa diomongin orang gitu kali yah. Apalagi saya kan masih muda juga, jadi jandanya juga baru. Saya kok ngerasa banyak yang nyalahin gitu, minta cerai sama suami, apa iya saya yang salah, apa mau dimau-mauin aja suami gila, tukang pukul kayak gitu.

”...biasanya sih ibu-ibu, takut kali suaminya kegoda (tertawa). Apalagi saya kan pulang kerjanya malam, maklumlah cuma penjaga swalayan. Masak kemaren ada ibu-ibu pengajian ngingatin saya supaya gak pulang malam, katanya gak enak sama tetangga yang laen, trus saya mau makan apa, suami juga udah gak punya...”

(7)

Perceraian memiliki dampak positif dan negatif. Segi positifnya adalah adanya perasaan bebas dari tekanan, mengurangi tekanan batin dan merasa memiliki kesempatan untuk membangun kehidupan lain yang lebih baik. Akan tetapi ternyata hanya sebagian kecil yang merasakan dampak positif ini. Penelitian Hetherington (dalam Gallagher, 2002) menyatakan bahwa baik wanita dan pria tidak merasakan peningkatan kualitas kehidupan yang mereka harapkan setelah bercerai. Dari penelitiannya pada beberapa responden yang telah bercerai selama 20 tahun, hanya 20 % diantara individu tersebut yang merasakan kualitas hidupnya meningkat setelah bercerai, dan kebanyakan diantaranya adalah wanita.

Dampak dari perceraian, terutama dampak negatif seringkali membuat individu kembali ke belakang dan mempertanyakan keputusannya. Dampak negatif yang paling sering terjadi adalah munculnya masalah keuangan. Cochrane (2007) menyatakan bahwa wanita yang bercerai akan merasakan dampak keuangan yang lebih besar dibandingkan pria. Hal ini dikarenakan oleh beberapa faktor. Misalnya saja jika wanita tersebut memiliki hak asuh atas anaknya, maka walaupun ia bekerja, ia harus membagi perhatian antara pekerjaan dan keluarga sehingga otomatis karirnya akan terhambat. Selain itu wanita memiliki kecenderungan untuk menyimpan uangnya dan digunakan untuk keluarganya, sementara pria biasanya menyimpan uangnya dan menghabiskannya hanya untuk dirinya sendiri.

Dampak yang tidak kalah penting terjadi pada anak-anak pasangan yang bercerai tersebut. Menurut Clarke-Stewart (2007), orang dewasa bisa saja mendapatkan manfaat dari adanya perceraian, namun tidak demikian dengan

(8)

anak-anak. Beberapa tahun setelah perceraian kedua orang tuanya, anak-anak ini akan tetap menyimpan rasa sedih dan rasa marah yang tidak dapat mereka ungkapkan dengan mudah. Anak-anak ini merasa bingung dan seolah-olah dikhianati oleh kedua orang tuanya yang berpisah, seolah-olah mereka adalah anak-anak yang tidak disayangi dan diabaikan sementara orangtua mereka sibuk mengatasi masalah mereka sendiri. Beberapa emosi lainnya juga akan muncul, seperti ketidakpastian, rasa duka cita karena munculnya perasaan kehilangan, harapan yang tidak rasional bahwa suatu saat orang tua mereka akan rujuk kembali, cemas akan kesejahteraan orang tuanya, khawatir dirinya hanya akan setia pada satu orang tua saja, serta ketidak jelasan mengenai hubungan romantis. Selain itu anak-anak yang berasal dari keluarga bercerai tenyata memiliki masalah dalam prestasi belajar, kesulitan dalam penyesuaian sosial serta harga diri yang rendah.

Namun selain dampak-dampak negatif tersebut, terdapat juga beberapa dampak positif pada anak ketika orang tuanya bercerai antara lain adalah:

Anak korban perceraian memiliki orientasi yang baik bagi masa depannya. Anak akan berfikir bahwa kegagalan orang tuanya dapat dijadikan pelajaran agar ia tidak seperti orang tuanya yang memilih jalan perceraian, dan ini juga akan menjadi bekal mereka untuk menuju masa depan yang lebih baik.

Pengalaman traumatik dapat menjadikan anak menjadi tangguh, berkepribadian matang maupun sebaliknya. Sebanyak 75% anak korban perceraian mampu bangkit dan berprestasi. Menurut Bonnie Benard, anak yang

(9)

resilien memiliki karakteristik tersendiri yaitu kompetensi sosial, kemampuan memecahkan masalah, otonomi dan juga keinginan akan tujuan dan masa depan.

Selain itu, anak korban perceraian mendapatkan pengalaman yang memberdayakan. Orang tua yang berasal dari keluarga yang religius sering dipaksa menikah terlalu muda dan ternyata mereka menikah dengan orang yang salah sehingga timbullah kasus perceraian. Hal tersebut membuat anak korban perceraian berfikir bahwa itu merupakan pengalaman yang memberdayakan. Jadi kesimpulannya adalah perceraian orang tua ternyata membawa dampak yang baik bagi anak. Hal ini bergantung kepada orang tuanya, lingkungan, dan komunitasnya.

Perceraian merupakan salah satu keputusan penting dalam perjalanan hidup manusia. Memutuskan untuk bercerai bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Salah seorang praktisi yang memberikan panduan bagi wanita yang dalam proses perceraian, Sommer (2000) menyatakan bahwa tidak ada satu orangpun yang tidak akan melalui kesulitan baik pada saat proses perceraian maupun pada fase sesudahnya. Individu yang memutuskan untuk meminta cerai harus membuat keputusan yang cepat dan terkesan tepat. Sangat banyak hal yang harus dipikirkan dan dipertimbangkan, karena banyak aspek kehidupan yang akan berubah dan harus disusun ulang. Lebih lanjut ia menambahkan bahwa normal saja jika individu merasa stres, cemas, sedih, marah dan depresi selama proses perceraian. Bahkan semua emosi ini bisa berkumpul menjadi satu, ada saat-saat semuanya meningkat tiba-tiba dan lantas menurun, yang diibaratkan seperti sedang menaiki rollercoaster. Tentu saja hal ini membuat individu tidak nyaman.

(10)

Selain itu keputusan untuk bercerai ternyata akan memunculkan konflik yang lebih mendalam bagi wanita-wanita yang berasal dari budaya yang sangat ketat untuk menghalangi perceraian. Dalam budaya seperti ini keutuhan keluarga adalah yang paling penting. Hanya saja pada masa sekarang banyak kebudayaan sudah mendapat pengaruh dari budaya negara-negara Barat yang memiliki pandangan khusus mengenai romantisme dan kebebasan. Hal ini terlihat dari hasil penelitian Kung dkk (2004) pada wanita-wanita Hong Kong yang mengalami perceraian. Mengambil keputusan bercerai ternyata memunculkan konflik yang sangat besar dalam diri mereka.

Akibat adanya beberapa dampak negatif setelah bercerai, sebagian dari mereka bahkan ada yang menyesali keputusan tersebut. Dalam hal ini akan muncul beberapa pertanyaan seperti mengapa aku membuat keputusan yang demikian ? mengapa aku begitu bodoh ? mengapa aku mengambil keputusan yang salah ? (Janis & Mann, 1977 ).

Dalam kehidupan sehari-hari, baik melalui pengalaman sendiri ataupun pengalaman orang lain, kita melakukan proses pengambilan keputusan. Proses ini bisa terjadi dalam bentuk yang sederhana dan menghasilkan kepuasan atau justru merupakan suatu proses yang sulit dan memunculkan stres. Proses pengambilan keputusan akan menjadi sulit apabila indvidu dihadapkan pada berbagai macam alternatif yang justru memunculkan konflik. Selain itu pemenuhan tenggat waktu pengambilan keputusan, dampak dari keputusan yang akan diambil biasanya merupakan faktor pertimbangan yang justru memunculkan perasaan tertekan. (Janis & Mann, 1977).

(11)

Cox dan Klinger (dalam Nevid dkk, 1994) menyatakan bahwa suatu keputusan yang dibuat merupakan dasar pertimbangan untuk mengantisipasi konskuensi jangka panjang dan jangka pendek dari kehidupan yang akan dijalani akibat keputusan tersebut. Dapat dilihat bahwa mengambil keputusan yang benar menjadi sangat penting bagi setiap individu agar keputusan yang diambil tidak membawa dampak yang buruk atau dampak yang diberikan dapat diminimalkan.

Fenomena tersebut tentu saja terjadi pada para wanita yang memutuskan bercerai dari suaminya. Para wanita ini mengajukan perceraian dengan berbagai alasan yang sebenarnya merupakan hal-hal yang menyebabkan mereka tidak puas dengan perkawinannya. Memutuskan untuk bercerai tentu saja bukanlah hal yang mudah. Para wanita ini akan dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama memiliki pro dan kontra. Jika ia memilih bercerai, ia akan terbebas dari kungkungan masalah perkawinan yang memberatkannya. Akan tetapi, nyatanya tidak mudah bagi istri untuk meninggalkan suaminya karena beberapa faktor tertentu, terutama pertimbangan dampak negatif dari perceraian itu sendiri. Hal ini mengakibatkan pengambilan keputusan untuk bercerai menjadi sebuah proses yang sulit dan melibatkan berbagai emosi yang melelahkan. Hal inilah yang menjadikan proses pengambilan keputusan untuk bercerai menjadi topik yang menarik untuk diteliti lebih lanjut sehingga dapat terlihat lebih jelas bagaimana sebenarnya dinamika proses pengambilan keputusan untuk bercerai pada seorang wanita.

(12)

B. Rumusan Masalah

Dengan melihat uraian pada latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk melihat bagaimana gambaran proses pengambilan keputusan yang dialami seorang wanita yang meminta cerai dari suaminya.

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran proses pengambilan keputusan yang dialami seorang wanita yang meminta cerai dari suaminya. Bagaimana langkah-langkah yang diambilnya, gambaran keadaan emosi dan psikologis yang dirasakannya saat proses pengambilan keputusan terjadi, dan bagaimana ia mengevaluasi keputusannya.

D. Manfaat Penelitian

Apabila identifikasi penelitian dalam penelitian ini sudah terjawab dan tujuan penelitian sudah tercapai, maka penelitian ini diharapkan akan membawa manfaat sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan teoritis bagi disiplin ilmu Psikologi, terutama yang mengkaji tentang masalah pengambilan keputusan dan juga bidang kajian wanita.

(13)

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan bahan pertimbangan ketika seorang wanita memutuskan bercerai. Selain itu juga penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan bagi profesional seperti pengacara, konselor maupun psikolog yang sedang menangani perceraian sehingga dapat lebih memahami kliennya.

E. Sistematika Penulisan

Penelitian ini disajikan dalam beberapa BAB dengan sistematika penulisan sebagai berikut:

BAB I : Pendahuluan

Pada bab ini akan digambarkan latar belakang masalah, tujuan, manfaat penelitian serta sistematika penulisan.

BAB II : Landasan Teori

Bab ini memuat tinjauan teoritiss yang menjadi acuan dalam pembahasan masalah. Teori-teori yang dimuatadalah teori yang berhubungan dengan pengambilan keputusan, langkah-langkah dan proses serta konflik yang dihadapi. Selain itu akan dijelaskan juga mengenai teori perceraian, faktor-faktor penyebab perceraian serta dampak perceraian.

(14)

Pada bab ini akan dijelaskan mengenai metode penelitian yang berisikan tentang metode penelitian kualitatif, partisipan, metode pengumpulan data, prosedur penelitian, dan metode analisis data.

BAB IV : Analisis Data dan Pembahasan

Pada bab ini akan diuraikan mengenai analisa data dan interpretasi data yang diperoleh. Yang terdiri dari data diri partisipan, observasi data wawancara dan pembahasan yang akan dibahas per partisipan. Serta analisis antar partisipan.

BAB V : Kesimpulan dan Saran

Pada bab ini akan diuraikan mengenai kesimpulan penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti dan saran peneliti terhadap penelitian.

Referensi

Dokumen terkait

Menguji faktor konsumsi ikan di masa kanak-kanak, sikap, kesadaran kesehatan, tekanan sosial, cara pengolahan dan penyajian, serta harga yang mempengaruhi perilaku

Dengan melihat kemajuan industri telekomunikasi selular maka penulisan tesis ini bertujuan untuk melihat kontribusi industri telekomunikasi selular dalam peningkatan PDB dari

Berdasarkan data dan analisis data yang telah dilakukan pada penelitian ini maka dapat disimpulkan bahwa Alat ukur kadar air pada gabah dengan sistem sensor yang terdiri dari LED,

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pinjaman dana bergulir dari Dinas Koperasi dan Usaha Mikro Kota Semarang dapat membantu meningkatkan produk, omzet penjualan,

Bahasa Inggris dasar memerlukan penerapan metode pembelajaran yang menyenangkan sehingga dapat menumbuhkan minat belajar siswa dan mempermudah dalam memahami materi

Walaupun Kabupaten Badung memiliki status kerusakan tanah yang tergolong ringan, akan tetapi langkah penanggulangan dan pemulihan perlu dipertimbangkan. BV, Porositas

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

Hidayat dan Nugroho (2010) meneliti tentang Studi Empiris Theory of Planned Behavior dan Pengaruh Kewajiban Moral pada Perilaku Ketidakpatuhan Pajak Wajib Pajak Orang Pribadi.Hasil