• Tidak ada hasil yang ditemukan

INFO BPK MANADO Vol. 1 No. 1, November Tahun 2011

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "INFO BPK MANADO Vol. 1 No. 1, November Tahun 2011"

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

i

ISSN 2252-4401

INFO BPK MANADO

Vol. 1 No. 1, November Tahun 2011

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN

BALAI PENELITIAN KEHUTANAN MANADO MANADO – SULAWESI UTARA

INFO BPK

MANADO VOL. 1 No. 1 Hal 1-87

Manado, November 2011

ISSN 2252-4401

(3)

ii

UCAPAN TERIMA KASIH

Dewan Redaksi INFO BPK MANADO mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada mitra bestari (peer reviewers) yang telah menelaah analisa/naskah yang dimuat pada edisi Vol. 1 No. 1 tahun 2012:

1. Dr. Ir. Martina Langi, M.Sc.

(Program Studi Kehutanan UNSRAT, Manado) 2. Dr. Ir. John S. Tasirin, M.Sc.

(Program Studi Kehutanan UNSRAT, Manado) 3. Ir. Hengky Walangitan, MP.

(4)

iii

ISSN 2252-4401

INFO BPK MANADO

Vol. 1 No. 1, November 2011

DAFTAR ISI

Avifauna Penghuni Hutan Kobe Kawasan Taman Nasional Aketajawe Lolobata Provinsi Maluku Utara

Diah Irawati Dwi Arini ... 1-20 Potensi Permudaan Alami Jenis-jenis Eboni (Diospyros spp.)

di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Ady Suryawan, Julianus Kinho dan Anita Mayasari ... 21-34 Karakteristik Morfologi Zingiberaceae di Cagar Alam

Gunung Ambang Sulawesi Utara

Julianus Kinho ... 35-50 Keterkaitan Struktur dan Komposisi Vegetasi terhadap

Keberadaan Anoa di Kompleks Gunung Poniki Taman Nasional Bogani Nani Wartabone Sulawesi Utara

Arif Irawan ... 51-70 Karakteristik Pemanfaatan Lahan Hutan oleh Masyarakat

Sekitar Kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone

(5)

iv

INFO BPK MANADO

ISSN 2252-4401 Vol. 1 No. 1, November 2011

ABSTRAK

Diah Irawati Dwi Arini (Balai Penelitin Kehutanan Manado)

Avifauna Penghuni Hutan Kobe Kawasan Taman Nasional Aketajawe Lolobata Provinsi Maluku Utara

INFO BPK MANADO. November. 2011, Vol.1 No. 1, hlm. 1 – 20

Melalui pengamatan langsung dengan menggunakan metode jalur dan pemasangan jaring kabut (Mistnet), diperoleh hasil sebanyak 39 jenis burung, dimana 14 jenis diantaranya merupakan jenis endemik, 23 diantaranya adalah burung penetap dan dua lainnya merupakan jenis burung pengunjung. Habitat alami sebagai tempat hidup jenis-jenis burung di kawasan ini umumnya berada pada hutan sekunder serta pinggiran hutan dan hanya sebagian kecil saja yang dijumpai pada hutan-hutan primer.

Kata kunci : Avifauna, habitat, hutan kobe, taman nasional, Maluku Utara

Ady Suryawan, Julianus Kinho & Anita Mayasari (Balai Penelitian Kehutanan Manado) Potensi Permudaan Alami Jenis-jenis Eboni (Diospyros spp.) di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

INFO BPK MANADO. November. 2011, Vol.1 No. 1, hlm. 21 – 34

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi permudaan alami jenis-jenis eboni yang ada di CA Tangkoko. Hasil penelitian diketahui ada 90 jenis anakan yang didominasi oleh jenis Drypethes neglecta dan Koordersiodendron pinnatum. Potensi permudaan alam D. minahassae 197 pohon/ha, D. pilosanthera 178 pohon/ha, D.

cauliflora 104 pohon/ha, D. marritima 32pohon/ha, D. hebecarpa 16 pohon/ha, D. malabarica 10 pohon/ha, dan D. ebenum 5 pohon/ha. Jumlah permudaan ini relatif

rendah. Beberapa faktor yang mempengaruhinya antara lain sifat biji rekalsitran, persaingan /kompetisi yang kuat oleh jenis-jenis yang lain dan sebaran daerah yang cukup spesifik, sehingga keberhasilan permudaan eboni menjadi rendah.

(6)

v Julianus Kinho (Balai Penelitian Kehutanan Manado)

Karakteristik Morfologi Zingiberaceae di Cagar Alam Gunung Ambang Sulawesi Utara INFO BPK MANADO. November. 2011, Vol.1 No. 1, hlm. 35 – 50

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik morfologi jahe-jahean di sekitar Danau Alia di Kabupaten Bolaang Mongondow sampai Danau Iloloi di Kabupaten Minahasa Selatan pada kawasan Cagar Alam Gunung Ambang di Sulawesi Utara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 6 (enam) jenis jahe-jahean yang merupakan tumbuhan herba terrestrial dari famili Zingiberaceae. Jenis-jenis tersebut adalah Alpinia rubricaulis K. Schum., Etlingera heliconiifolia (K. Schum.) A.D. Poulsen., Etlingera sp., Alpinia eremochlamys K. Schum., Etlingera sp., dan Alpinia monopleura K. Schum.

Kata kunci : Jahe, jenis, morfologi, melindungi, identifikasi, menjelajah

Arif Irawan (Balai Penelitian Kehutanan Manado)

Keterkaitan Struktur dan Komposisi Vegetasi terhadap Keberadaan Anoa di Kompleks Gunung Poniki Taman Nasional Bogani Nani Wartabone Sulawesi Utara

INFO BPK MANADO. November. 2011, Vol.1 No. 1, hlm. 51 – 70

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur dan komposisi vegetasi di Kompleks Gunung Poniki, Taman Nasional Bogani Nani Wartabone serta kaitannya dengan keberadaan anoa pada kawasan ini. Dari hasil uji korelasi dapat diketahui bahwa ketiga variabel struktur dan komposisi vegetasi memiliki nilai signifikansi lebih besar dari 0,05, sehingga dapat dikatakan bahwa variabel kerapatan, dominasi, dan keragaman pohon tidak mempengaruhi keberadaan anoa di kawasan ini.

Kata kunci :Vegetasi, struktur, komposisi, anoa

Lis Nurrani (Balai Penelitian Kehutanan Manado)

Karakteristik Pemanfaatan Lahan Hutan oleh Masyarakat Sekitar Taman Nasional Bogani Nani Wartabone

INFO BPK MANADO. November. 2011, Vol.1 No. 1, hlm. 71 – 87

Pola pemanfaatan lahan yang diterapkan oleh masyarakat sekitar Taman Nasional Bogani Nani Wartabone berupa kebun polikultur (85%) dan ladang monokultur maupun polikultur. Kebun didominasi oleh tanaman tahunan seperti kelapa, coklat, cengkeh, kopi dan vanili, sedangkan ladang didominasi oleh tanaman musiman jagung dan kedelai. Hasil analisis tabulasi silang yang dilanjutkan dengan uji chi square test menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara variabel asal-usul penduduk dengan status kepemilikan lahan demikian juga untuk variabel luas lahan dengan pendapatan petani. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pendapatan masyarakat masih dibawah UMP Sulawesi Utara sebanyak 72%. Kebun polikultur memberikan fungsi produksi dan fungsi relatif seimbang sedangkan ladang hanya memiliki fungsi produksi.

(7)
(8)

Avifauna Penghuni Hutan Kobe…… Diah Irawati Dwi Arini

1

AVIFAUNA PENGHUNI HUTAN KOBE

KAWASAN TAMAN NASIONAL AKETAJAWE LOLOBATA

PROVINSI MALUKU UTARA

Avifauna of Kobe Forest in Aketajawe Lolobata National Park North Maluku Province

Diah Irawati Dwi Arini

Balai Penelitian Kehutanan Manado

Jl. Raya Adipura Kel. Kima Atas Kec. Mapanget Kota Manado Telp : (0431) 3666683 Email : [email protected]

ABSTRACT

Halmahera is the second largest island in the Maluku Province keeps potential wildlife diversity that has characterized the characters closer to the fauna Australia. The presence of Aketajawe Lolobata National Park is a concept of the conservation of species of forest ecosystems which is devoted to the conservation of species of birds beak is hooked in the province of North Maluku. Lack of data and information on the potential of biodiversity in the region make this research is important in order to obtain the validation data related to diversity of fauna, especially species of avifauna. Through direct observation method using line and installation of fog nets (Mistnet), retrieved results by as much 39 species of birds, of which 14 are endemic species, among species, of which 23 are bird and two other settlers is a type of bird visitors. Natural Habitat as a place of living species of birds in the area is generally located in the secondary forest and forest edges and only a small percentage are found in old-growth forests

Keywords : Avifauna, habitat, kobe forest, national park, NorthMaluku

ABSTRAK

Halmahera merupakan pulau terbesar kedua di Kepulauan Maluku menyimpan potensi keanekaragaman satwa yang memiliki ciri lebih dekat dengan karakter fauna di kawasan Australia. Kehadiran Taman Nasional Aketajawe Lolobata merupakan sebuah konsep pelestarian ekosistem hutan yang dikhususkan pada konservasi terhadap jenis-jenis burung paruh bengkok di Provinsi Maluku Utara. Minimnya data dan informasi mengenai potensi hayati di wilayah ini membuat penelitian ini penting guna memperoleh validasi data terkait keanekaragaman fauna terutama jenis-jenis avifauna. Melalui pengamatan langsung dengan menggunakan metode jalur dan pemasangan jaring kabut (Mistnet), diperoleh hasil

(9)

Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011

2

sebanyak 39 jenis burung, dimana 14 jenis diantaranya merupakan jenis endemik, 23 diantaranya adalah burung penetap dan dua lainnya merupakan jenis burung pengunjung. Habitat alami sebagai tempat hidup jenis-jenis burung di kawasan ini umumnya berada pada hutan sekunder serta pinggiran hutan dan hanya sebagian kecil saja yang dijumpai pada hutan-hutan primer.

Kata kunci : Avifauna, Habitat, Hutan Kobe, Taman Nasional, Maluku Utara

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Kawasan Wallacea yang terdiri dari ribuan pulau termasuk wilayah Maluku Utara memiliki keanekaragaman hayati yang mengagumkan. Keragaman ini dicirikan oleh tingkat endemisitas spesies yang begitu tinggi terutama pada jenis burung (avifauna). Avifauna kawasan Wallacea sangat kaya, paling sedikit ada 249 jenis yang terdapat di kawasan ini, yang merupakan 36 % dari 698 jenis yang tercatat di kawasan ini, selain itu terdapat 27 jenis endemik Indonesia (Coates et al, 2000).

Sebagai bagian dari wilayah paling timur garis Wallace, Kepulauan Maluku khususnya Maluku Utara menjadi tempat hidup berbagai satwa campuran Oriental dan Australia serta menjadi arena evolusi berbagai jenis burung endemik. Kekayaan jenis fauna endemik Maluku Utara dan pulau-pulau lainnya di Indonesiai merupakan sebuah kebanggaan tersendiri, namun di sisi lain menjadi sebuah amanah besar untuk dikelola dengan baik agar dapat dinikmati oleh generasi yang akan datang.

Sebagai bagian dari upaya melestarikan kekayaan burung-burung endemik khususnya burung paruh bengkok (Psittacidae) dan habitatnya di Maluku Utara, Pemerintah telah menetapkan hutan Aketajawe-Lolobata sebagai kawasan Taman Nasional berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 397/Kpts-II/2004 tanggal 18 Oktober 2004. Taman Nasional Aketajawe-Lolobata (TNAL) merupakan kawasan konservasi di Indonesia yang mewakili keanekaragaman hayati Bioregion Wallacea bagian timur. Kawasan ini menyimpan variasi kekayaan fauna yang sangat beragam dan potensial, namun hingga kini belum banyak informasi dan publikasi terkait potensi hayati utamanya penyebaran jenis-jenis burung endemik di

(10)

Avifauna Penghuni Hutan Kobe…… Diah Irawati Dwi Arini

3 kawasan ini. Oleh karena itu dipandang perlu untuk melakukan kajian terkait keanekaragaman fauna khususnya jenis-jenis avifauna endemik di kawasan TN. Aketajawe-Lolobata. Penunjukan kawasan Aketajawe-Lolobata menjadi Taman Nasional, selain sebagai tempat pelestarian bagi flora dan fauna juga secara langsung ditujukan untuk menjaga kesejahteraan masyarakat sekitar melalui perlindungan kawasan sebagai water catchment

area, setidaknya puluhan sungai dan anak sungai berhulu di kawasan ini

menjadi pasokan air bersih bagi masyarakat sekitar kawasan.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh data dan informasi keragaman jenis fauna khususnya jenis-jenis burung endemik di Kawasan Hutan Blok Aketajawe pada Taman Nasional Aketajawe Lolobata yang diharapkan dapat menambah khasanah dan informasi guna melengkapi database bioekologi di kawasan ini serta dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pengelolaan kawasan konservasi berbasis kesejahteraan masyarakat dan kelestarian hutan bagi kehidupan jenis-jenis burung Maluku.

II. METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Kawasan Hutan Blok Aketajawe yang merupakan wilayah Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah (SPTNW) I Weda. Secara administrasi lokasi ini masuk dalam wilayah pemerintahan Desa Kobe Kecamatan Weda Kabupaten Halmahera Tengah Provinsi Maluku Utara. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2009, di sekitar Desa Kobe dan Sungai Kaligoro pada ketinggian tempat 150-380 m dpl.

(11)

Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011

4

Gambar 1. Peta lokasi penelitian

B. Bahan dan Alat

Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain teropong/binoculer, jaring kabut (mistnet), jaring perangkap nylon, Global

Positioning System (GPS), kamera digital dilengkapi dengan lensa tele

dengan ukuran 55 – 200 mm, handycam, alat ukur diameter/kaliper, mistar, tali tambang, meteran, tali rafia, bambu, lembar isian data, alat tulis menulis, larutan alkohol 70 % dan 95 % untuk pengawetan spesimen, toples, minor surgery set. Buku Panduan Lapang Burung Wallacea (Coates

et al, 2000).

C. Prosedur Penelitian

Jenis data yang dikumpulkan terdiri atas data primer dan sekunder. Data primer berupa jenis burung, aktivitas dan waktu perjumpaan diperoleh melalui pengamatan langsung di lapangan. Metode yang digunakan adalah metode jalur dibantu dengan pemasangan jaring kabut (mistnet) (Boer, 1993). Data sekunder berupa kondisi umum kawasan serta data-data

: TN. Aketajawe - Lolobata

(12)

Avifauna Penghuni Hutan Kobe…… Diah Irawati Dwi Arini

5 hasil penelitian dan kajian diperoleh dari Balai TN. Aketajawe-Lolobata maupun penelusuran literatur lainnya.

Penempatan jalur pengamatan dilakukan secara purposive random

sampling yaitu pada lokasi-lokasi yang menjadi habitat utama burung.

Pengumpulan data dilakukan dengan dua cara yaitu pengamatan secara langsung atau visual dan pemasangan jaring kabut yang berfungsi untuk menangkap burung guna pengukuran morfometri tubuh satwa. Jenis-jenis burung yang terjaring selanjutnya dilakukan pengukuran sampel tubuh mencakup panjang paruh, lebar paruh, tebal paruh, panjang kepala, lebar kepala, lebar badan, panjang sayap, lebar sayap, panjang tungkai, panjang total, panjang ekor, lebar ekor, panjang sayap, lebar sayap. Setelah dilakukan pengukuran kemudian burung tersebut dilepaskan kembali. Pemasangan jaring kabut dilakukan sepanjang 50 meter untuk lima buah mistnet yang dipasang sejajar dengan menggunakan tiang bambu atau diikat pada pohon. Pengamatan dengan metode jalur dilakukan pada pagi hingga sore hari yang dimulai pukul 07.00 - 17.00 WITA, dan merekam setiap jenis satwa yang dijumpai. mencakup jenis burung, jumlah individu burung, serta aktivitas burung.

D. Analisis Data

Metode analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dan data yang telah dikumpulkan kemudian disajikan dalam bentuk tabel serta grafik.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Aketajawe Lolobata adalah Taman Nasional pertama yang berada di wilayah administrasi Provinsi Maluku Utara, merupakan wilayah daratan yang terdiri dari ekosistem dengan tipe hutan hujan dataran rendah, hutan hujan perbukitan, hutan hujan sub montana dan hutan rawa air tawar. Ditetapkan sebagai Taman Nasional berdasarkan Keputusan Menteri

(13)

Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011

6

Kehutanan Nomor : 397/Kpts-II/2004 tanggal 18 Oktober 2004 tentang Perubahan Fungsi Sebagian Kawasan Hutan Lindung, Hutan Produksi Terbatas, dan Hutan Produksi Tetap seluas ± 167.300. Taman Nasional Aketajawe-Lolobata (TNAL) merupakan kawasan konservasi yang mengkombinasikan dua kawasan inti yang terpisah yaitu kawasan hutan Aketajawe (77.100 Ha) sebagai bagian dari administrasi pemerintahan Kota Tidore Kepulauan, Kabupaten Halmahera Tengah dan Halmahera Timur. Sedangkan kawasan hutan Lolobata (90.200 Ha) seutuhnya menjadi bagian administrasi Kab. Halmahera Timur. Perlindungan yang diharapkan dari kombinasi dua kawasan ini adalah perlindungan terhadap perwakilan keanekaragaman ekosistem dan rangkaian habitat yang lengkap mulai dari dataran rendah sampai pegunungan, perlindungan daerah resapan air yang penting bagi kawasan sekitarnya atau di bawahnya untuk kebutuhan air masyarakat, pertanian, industri dan lainnya (Dephut, 2009).

Topografi TNAL berdasarkan klasifikasi USDA Soil Taxonomy (1998) memiliki kemiringan lereng di wilayah ini terdiri dari datar (0-3 %), bergelombang (8-15 %), hingga bergunung (15-30 %). Topografi merupakan salah satu faktor penentu terhadap variasi vegetasi, hal ini dapat dibuktikan dari variasi hutan yang membentuk Halmahera khususnya Kawasan Aketajawe mulai dari hutan mangrove, hutan dataran rendah dan pegunungan (Dephut, 2007).

Tanah utama pembentuk Pulau Halmahera adalah jenis-jenis tanah vulkanis yang terbentuk dari endapan lava beberapa gunung berapi. Tanah vulkanis (inceptisol) adalah tanah yang terbentuk akibat sedimentasi vulkanik dan berasal dari endapan batu berlapis-lapis, bahan organik jumlahnya berubah tidak teratur dengan kedalaman. Vulkanis yang sangat subur merupakan pusat utama industri rempah-rempah di Wilayah Maluku, hal ini jugalah yang membuat vegetasi pembentuk hutan Halmahera tumbuh dengan cepat dengan tegakan-tegakan besar. Tanah disini mengandung banyak batu kapur koral dan batuan ultrabasa yang sekarang membentuk bukit-bukit karst dan gunung-gunung batuan beku yang tinggi (Coates et al., 2000).

(14)

Avifauna Penghuni Hutan Kobe…… Diah Irawati Dwi Arini

7 Dalam hal iklim, Wilayah Maluku Utara dipengaruhi oleh iklim laut tropis dan iklim musim, oleh karena itu iklimnya sangat dipengaruhi lautan dan bervariasi antara wilayah, yaitu daerah iklim Halmahera Utara, iklim Halmahera Tengah/Barat, iklim Bacan dan daerah iklim Kepulauan Sula. Kawasan Aketajawe dan Lolobata berada pada wilayah iklim Halmahera Tengah dan Barat dengan musim hujan pada bulan Oktober-Maret dengan musim pancaroba pada bulan April, dan musim kemarau pada bulan April-September yang diselingi angin Timur dan perubahan cuaca pada bulan September. Curah hujan rata-rata antara 2.000 – 2.500 mm per tahun (Dephut, 2009).

B. Keragaman Jenis Burung Hutan Kobe Kawasan TNAL

Hasil penelitian para ahli ornithologi terhadap kelompok avifauna menyimpulkan bahwa sebanyak 213 jenis burung yang tercatat di Halmahera, 126 jenis diantaranya merupakan burung penetap. Burung penetap dianggap penting bagi konservasi dan saat ini diperkirakan terancam punah secara global (Poulsen et al, 1999).

Pulau Halmahera adalah pulau terbesar kedua di Maluku setelah Seram dan merupakan miniatur yang secara fisik paling mirip dengan Sulawesi. Kemiripan tidak saja dalam hal sejarah terbentuknya kedua pulau yang notabene sebuah busur pulau, tetapi fisiografi dan bentuknya juga sangat mirip. Walaupun kekayaan jenisnya tidak setinggi di sub kawasan Sulawesi, namun Kepulauan Maluku mendukung enam marga endemik dan 64 jenis endemik (Coates & Bishop, 2000).

Hasil eksplorasi jenis avifauna dan mamalia pada hutan kawasan TN. Aketajawe-Lolobata menemukan sebanyak 39 jenis burung yang dijumpai melalui perjumpaan secara langsung. Dari semua jenis tersebut dikelompokkan ke dalam 22 famili, sebanyak 17 jenis merupakan burung endemik, 20 jenis burung penetap dan dua jenis burung pengunjung. Perjumpaan didominasi oleh kelompok julang irian (Rhyticeros plicatus) dan dua jenis burung paruh bengkok yaitu nuri pipi merah (Geoffroyus

geoffroyi) serta nuri bayan (Eclectus roratus) dengan frekuensi perjumpaan

(15)

Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011

8

Columbidae merupakan marga dengan jenis yang paling banyak ditemukan, sebanyak tujuh spesies dijumpai dan tiga diantaranya adalah endemik Maluku Utara yaitu walik dada merah (Ptilinopus bernsteinii), walik kepala kelabu (Ptilinopus hyogaster) dan pergam boke (Ducula basilica). Sedangkan empat jenis lainnya bersifat umum antara lain pergam mata putih (Ducula perspicillata), uncal ambon (Macropygia amboinensis

amboinensis), pergam laut (Ducula bicolor) dan tekukur biasa (Streptopelia chinensis).

Dari keluarga Pssitacidae sebanyak enam jenis terdiri atas nuri Kalung ungu (Eos squamata), nuri pipi merah (Geoffroyus geoffroyi), nuri bayan (Ecletus roratus) dan kakatua putih (Cacatua alba) yang sesekali terlihat melintas di lokasi pengamatan. Perjumpaan dengan Cacatua alba pada lokasi penelitian di hutan Kobe, agak berbeda karena hanya terlihat beberapa kali saja, berbeda dengan dua tempat penelitian sebelumnya yaitu Kawasan Tayawi dan hutan di sekitar sungai Yomoyomoto dimana intensitas pertemuan dengan jenis endemik ini sangat tinggi. Lokasi penelitian yang masih dekat dengan wilayah pantai menjadi alasan mengapa jenis burung Cacatua alba jarang ditemukan pada kawasan ini. Marga Pssitacidae merupakan penciri khusus dari avifauna kawasan timur Indonesia, marga ini juga dikenal sebagai keluarga burung paruh bengkok dan merupakan ekosistem asli Taman Nasional Aketajawe Lolobata. Jenis endemik lain dari marga Pssitacidae yaitu kasturi ternate (Lorius garulus), ciri khusus sebagai indikator untuk mengenali jenis ini adalah bulu dominan merah dan sayap berwarna hijau.

Dari famili Campephagidae juga ditemukan sebanyak tiga jenis, dimana satu jenis adalah endemik yaitu kapasan halmahera (Lalage aurea) dan dua lainnya terdiri atas Kepudang Sungu Kartula (Coracina papuensis) dan kepudang sungu miniak (Coracina tenuirostris). Perbandingan jumlah jenis berdasarkan familinya dapat dilihat dalam Gambar 2.

(16)

Avifauna Penghuni Hutan Kobe…… Diah Irawati Dwi Arini

9 Gambar 2. Grafik perbandingan jumlah jenis burung berdasarkan famili yang

dijumpai di TNAL.

Jenis-jenis burung endemik lainnya yang dijumpai pada lokasi pengamatan antara lain cikuakua halmahera (Melitograis gilolensis), brinji emas (Ixos affinis), bubut goliath (Centropus goliath), elang alap halmahera (Accipiter henicogrammus), cendrawasih halmahera (Lycocorax

pyrrhopterus), bubut kai (Centropus spilopterus), cikuakua hitam (Philemon fuscicapillus), cikuakua halmahera (Melitograis gilolensis), kepudang

halmahera (Oriolus phaeochromus) dan paok halmahera (Pitta maxima). Jenis-jenis burung yang dijumpai dalam pengamatan disajikan dalam Gambar 3.

Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat sekitar, beberapa jenis burung maupun satwa terestrial tertentu diburu untuk keperluan konsumsi atau diperjual belikan, terutama yang mudah ditangkap dengan jerat. Jenis burung berukuran besar seperti pergam (Ducula sp) dan julang irian (Aceros plicatus) jarang diburu karena sebagian besar masyarakat tidak memiliki senapan angin sedangkan perburuan burung-burung kecil biasanya hanya menggunakan lem perekat atau jaring perangkap. Masalah yang kini menjadi kekhawatiran adalah meningkatnya penggunaan pestisida komersial untuk meracuni ikan pada sungai-sungai yang notabene sebagai

(17)

Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011

10

tempat dimana satwa mencari air. Fakta yang cukup mengejutkan lagi adalah jenis burung paruh bengkok terutama kasturi ternate (Lorius

garulus), kakatua putih (Cacatua alba), nuri bayan (Eclectus roratus) dan

nuri kalung ungu (Eos squamata) banyak ditangkap oleh Suku Togutil untuk dijual kepada para penambang emas. Kondisi ini diperparah dengan perilaku ma

Masyarakat di desa-desa sekitar yang juga sering kali menangkap jenis tersebut untuk binatang peliharaan ataupun untuk diperdagangkan secara ilegal baik domestik maupun internasional. Burung dijual dengan harga antara Rp. 10.000 - 45.000 per ekor atau terkadang hanya ditukar dengan jam tangan, rhum, dan komoditi lainnya kepada nelayan Filipina. Kemungkinan tingkat penangkapan burung paruh bengkok telah melebihi kuota dan sistem perijinan legal.

Salah satu keunikan yang dijumpai pada saat penelitian adalah penemuan burung yang diperkirakan bubut kai (Centropus spilopterus) jenis ini dinyatakan endemik Pulau Kai, namun ditemukan pada kawasan pinggiran hutan di luar batas kawasan taman nasional. Bubut Kai memiliki karakteristik morfologi hampir sama dengan bubut goliath (Centropus

goliath) mulai dari warna bulu dan ukuran tubuhnya. Yang membedakan

adalah garis putih pada kedua sayap bagian samping sedangkan bubut kai yang dijumpai berbulu hitam pada seluruh bagian tubuhnya. Kegiatan eksplorasi fauna pada tahun 2008 juga menemukan jenis ini yaitu pada lokasi penelitian di Desa Tomares (S. Yomoyomoto) dan sekitarnya. Namun tentunya perlu dilakukan kajian lebih mendalam lagi untuk memastikan apakah jenis tersebut memang dapat dijumpai di luar Pulau Kai.

(18)

Avifauna Penghuni Hutan Kobe…… Diah Irawati Dwi Arini

11

Rhyticeros plicatus Geoffroyus geoffroyi Eclectus roratus

Cacatua alba Ptilinopus bernsteinii Lorius garulus

Centropus goliath Ixos affinis Lalage aurea

Eos squamata Heliastur indus Dicrurus bracteatus

(19)

Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011

12

C. Penggunaan Habitat Burung di Kawasan TNAL

Penutupan vegetasi pada lokasi penelitian didominasi oleh hutan primer yang sebagian telah terfragmentasi menjadi mosaik-mosaik kecil. Fragmentasi habitat disebabkan oleh adanya pembukaan hutan menjadi jalan logging oleh perusahaan-perusahaan kayu yang dulunya beroperasi di sekitar kawasan TNAL. Secara umum, tipe habitat di lokasi penelitian dapat dibagi ke dalam tiga kelompok yaitu habitat hutan primer, semak belukar, hutan sekunder serta pinggiran hutan. Hutan sekunder dan pinggiran hutan didefinisikan sebagai habitat yang sangat bervariasi, pada awalnya berupa lahan yang ditumbuhi semak sampai hutan-hutan berpohon tinggi, sering ditumbuhi banyak pohon tinggi yang diantaranya merupakan sisa hutan aslinya. Tipe hutan ini juga mencakup tumbuhan hasil regenerasi yang lebat di tepi hutan, seperti di sepanjang jalan, jalan setapak, jalur pembalakan, anak-anak sungai dan sungai-sungai cabang.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa sebagian besar burung dapat dijumpai pada bagian hutan sekunder dan pinggiran hutan dan hanya beberapa jenis saja yang dijumpai di habitat hutan primer diantaranya walik dada merah (Ptilinopus bernsteinii), julang irian (Rhyticeros plicatus), kakatua putih (Cacatua alba) dan lainnya. Jenis-jenis burung paruh bengkok seperti nuri pipi merah (Geoffroyus geoffroyi), nuri bayan (Eclectus roratus) banyak menggunakan pohon-pohon tinggi terutama bagian tajuk paling atas untuk melakukan aktivitas hariannya. Persentase penggunaan habitat berdasarkan perjumpaan oleh kelompok burung di lokasi penelitian dapat dilihat dalam Gambar 4.

(20)

Avifauna Penghuni Hutan Kobe…… Diah Irawati Dwi Arini

13 Gambar 4. Grafik perbandingan penggunaan habitat oleh burung pada kawasan

konservasi Taman Nasional Aketajawe Lolobata

D. Keragaman Satwa Lain di TNAL

Hutan Kobe kawasan TNAL juga menyimpan kekayaan satwa lain selain burung. Hasil perjumpaan menemukan sebanyak tiga jenis mamalia yang terdiri atas rusa sambar (Cervus timorensis), babi hutan (Sus scrofa) dan satu jenis kelelawar (Fooradoxous sp). Babi hutan (Sus scrofa) teramati ketika sedang mencari makan di sekitar bekas jalan sarad dengan mengagali-gali tanah untuk mendapatkan larva ataupun umbi-umbian. Jumlah individu yang teramati sebanyak tiga ekor, dimana dua ekor merupakan anak dan seekor lainnya adalah induk babi. Keberadaan Sus

scrofa juga terlihat dari jejak-jejak kaki yang banyak ditemukan dalam

kawasan taman nasional. Pada pemukiman warga yang berada di sekitar Taman Nasional, beberapa masyarakat terlihat melakukan penangkapan dengan tujuan untuk memelihara satwa tersebut.

Secara umum babi hutan maluku mempunyai ciri-ciri morfologi yang sama dengan Sus celebensis namun pada babi maluku terdapat janggut putih pada rahang. Satwa ini memiliki penciuman yang sangat tajam sehingga mampu mengidentifikasi kehadiran makhluk asing dengan cepat, sehingga babi hutan senang hidup pada hutan-hutan primer. Mamalia ini sering kali ditangkap oleh masyarakat sekitar untuk dipelihara kemudian

(21)

Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011

14

dikonsumsi oleh sebagian besar warga Desa Kobe yang beragama Kristen. Perburuan terhadap jenis ini akan meningkat ketika menjelang hari-hari besar keagamaan. Perburuan babi dan rusa semakin hari dirasakan semakin meningkat seiring dengan berkembangnya pasar lokal di lokasi-lokasi transmigrasi dan tempat pendulangan emas ilegal.

Mamalia lainnya yang ditemukan adalah rusa sambar (Cervus

timorensis). Indikasi keberadaan mamalia bertanduk indah ini dilihat dari

banyaknya jejak kaki yang ditemukan pada kawasan. Pengamatan dilakukan pada ketinggian tempat antara 150-380 mdpl. Rusa sambar (Cervus

timorensis) yang merupakan jenis introduksi sama dengan babi hutan (Sus scrofa) (Poulsen et al, 1999). Masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar

kawasan TNAL, biasanya melakukan perburuan kedua jenis tersebut untuk dikonsumsi dagingnya ataupun untuk dijual. Daging rusa biasanya dijual dengan harga Rp. 15.000 per lembarnya (rata-rata 1-2 kg). Jika masih hidup harga jualnya bisa mencapai Rp. 300.000 - 600.000 per ekor. Metode perburuan terhadap jenis ini dilakukan dengan cara memasang perangkap dan kadang kala menggunakan jasa anjing sebagai pemburu. Kobe merupakan salah satu daerah di Maluku Utara yang dikenal sebagai pemasok jenis Rusa sebagai satwa peliharaan maupun untuk kepentingan suplai daging rusa. Mamalia lainnya yang berada dalam kawasan Taman Nasional adalah kuskus beruang halmahera (Ailurops ornatus. Keberadaan satwa marsupialia ini diketahui berdasarkan informasi masyarakat sekitar yang sering kali menangkap satwa tersebut untuk dikonsumsi.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ditemukan sebanyak 39 jenis burung, 14 jenis merupakan jenis endemik Maluku Utara, 23 jenis dikelompokkan sebagai burung penetap dan dua lainnya adalah jenis burung pengunjung.

2. Berdasarkan penggunaan habitatnya, sebanyak 45% burung ditemukan pada habitat hutan sekunder dan pinggiran hutan, 23%

(22)

Avifauna Penghuni Hutan Kobe…… Diah Irawati Dwi Arini

15 ditemukan pada habitat semak belukar, 19% pada hutan primer, 8% ditemukan pada habitat lahan pertanian dan atau pemukiman serta 5% ditemukan di kawasan perairan (danau).

B. Saran

1. Melihat potensi yang ada, diperlukan suatu penetapan prioritas terkait dengan kegiatan penelitian satwa. Penelitian lebih lanjut mengenai populasi dan habitat khususnya bagi satwa-satwa endemik yang saat ini sudah mulai terancam keberadaannya sangat diperlukan guna mencegah kepunahannya di alam khususnya untuk jenis avifauna .

2. Kerusakan habitat dan perburuan satwa merupakan permasalahan utama yang dihadapi Taman Nasional Aketajawe Lolobata. Konsep pengelolaan kolaboratif dengan melibatkan beberapa pihak terutama masyarakat baik yang berada di dalam maupun disekitar kawasan diharapkan dapat menjadi alternatif solusi untuk dapat mempertahankan keberadaan hutan dan keberlangsungan satwa penghuninya.

DAFTAR PUSTAKA

Boer, Chandradewana. 1993. “Studi Tentang Keragaman Jenis Burung Berdasarkan Tingkat Pemanfaatan Hutan Hujan Tropis di Kalimantan Timur Indonesia”. Disertasi. Universitas Wuerzburg.

Coates, B.J. dan K.D. Bishop. 2000. Panduan Lapangan Burung-Burung di Kawasan Wallace. BirdLife International –Indonesia Programme & Dove Publication. Bogor.

Departemen Kehutanan. 2009. Buku Statistik Taman Nasional Aketajawe Lolobata. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Balai Taman Nasional Aketajawe Lolobata. Ternate.

. 2007. Buku Statistik Taman Nasional Aketajawe Lolobata. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Balai Taman Nasional Aketajawe Lolobata. Ternate.

. 2004. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 397/Kpts-II/2004 tanggal 18 Oktober 2004. Tentang Penetapan Kawasan Taman Nasional Aketajawe Lolobata di Maluku Utara. Jakarta.

(23)

Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011

16

Poulsen, Michael K., Frank R. L., dan Yusup C. 1999. Evaluasi Terhadap Usulan Taman Nasional Lalobata dan Ake Tajawe. BirdLife. Bogor.

Suyanto, A. 2001. Kelelawar di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Bogor.

Undang-Undang No 5 Tahun 1999. Tentang Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya. Jakarta

Monk, K.A., Y. D. Fretes, and G.R. Lilley. 2000. Ekologi Nusa Tenggara dan Maluku. Seri Ekologi Indonesia Buku V. Prenhallindo. Jakarta.

Whitten, A.J. Mustafa, F. and G.S. Hendersen. 1987. Ekologi Sulawesi. Gadjah Mada Press Yogyakarta.

(24)

Avifauna Pe nghu ni Hutan K obe…

Diah Irawati Dwi Ari

ni 17 Lampiran 1. D a ftar jenis -J

enis burung hasil

pengama tan pada T a man Nasi onal A k etaja we -L ol obata No Famili Nama Lokal Nama Ilmiah Sebaran Hab itat 1 Accipitridae 1 Elan g Alap Halmahera Accipiter henicogrammus E S 2 Elan g b o ndol Haliastur indus <R> S 2 Alc e dinidae 3 Ce kakak pita b iasa T anys ipter a galatea R> L 3 Ardeidae 4 Kuntu l Kerbau Bubulcus ibis < R, V? > Sb, A 4 Bucerotidae 5 Ju lang Irian Rhyticer o s p licatus R> P, S 5 Campephagidae 6 Ke

pudang Sungu Kartula

C o ra cina papuens is R S, A 7 Ke pudang s ungu miniak C o ra cina tenuir o st ri s R> S 8 Kapasan Halmahera La la ge aur e a E S, A 6 Colum bidae 9 Uncal Ambon M a cr opy g ia amboin ens is amb o in ens is R> P, S, A, Sb 10

Pergam Mata Putih

Ducula per spicilla ta R> S 11 Pergam Lau t Ducula bicolor <R> P, S 12 Walik Ke pala Kelab u Ptilinopus hyogas ter E S 13 Walik Dad a Merah Ptilinopus ber n st einii E P 14 Pergam b o ke Ducula basilica E P 15 Teku ku r biasa Str eptopelia chin ens is <R L

(25)

Info BPK Manado V o lume 1 No 1 , November 2011 18 No Famili Nama Lok a l Nama Ilmiah Sebaran Hab itat 7 Corv idae 16 Ce ndrawa sih h a lmahera Lycocor ax pyr rhopter us E (MU) S 8 Cuculidae 17 Bubut G o liath C entr o pus goliath E P, Sb 18 Bubut Kai C entr o pus spilopter us E Sb 9 Dicrurid a e 19 Srigun ting Lencan a Dicr ur us b racteatus <R> P, S 20 Walet Sap i Colloc a lia esculenta <R> S, Sb 10 He m iprocnidae 21 Tepekong Ku mis Hemiproc ne mys tacea R> S, Sb 11 Hirundinidae 22 Layan g -lay an g api Hir undo rustica <V> S, Sb 12 Megap odidae 23 Go so n g K e lam Megapodius fr eycinet R> S 13 Meliph a gidae 24 Ciku akua hitam Philemon fuscicapillus E S 25 Ciku akua Halmahera Melitogr a is gilolensis E Sb 14 Muscicap idae 26 Sikatan Belan g Ficedula w e st er manni <R S, Sb 15 Nectariniidae 27

Burung Madu Sriganti

Nectar inia jugulari s <R> S 28 Burung madu hitam Nectar inia as pas ia R> S, Sb 16 Oriolidae 29 Ke pudang Halmahe ra O riolus phaeochr o mus E S 17 Pittidae 30 Paok Halmahera Pitta m a xima E P, S

(26)

Avifauna Pe nghu ni Hutan K obe…

Diah Irawati Dwi Ari

ni 19 No Famili Nama Lokal Nama Ilmiah Sebaran Hab itat 18 Psittacidae 31

Nuri Pipi Merah

Geoff royus geoff royi R> P, S 32 Nuri Bayan Eclec tus roratus R> P,S 33

Nuri Kalung Ungu

Eos squamata R> S 34 Kastu ri T e rnate Lo ri us g a rr u lu s E S 35 Kakatua Putih Cacatua a lba E S, P 36 Perkici d agu merah C har mos yna placentis R> S 19 Pycnonotidae 37 Brinji E m as Ixo s a ffinis E S 20 Rhipiduridae 38 Kipasan Kebun Rhipidur a rufiventr is R> L, A 21 Sturnidae 39 Perling Ungu Aplonis m e tallica R> Sb, S Ke teran gan Sebaran : R : Penetap E : E n d emik V : Pengunju n g Int : Introduksi < : Sebaran d ijumpai pula di sebelah Barat Maluk u (Utara) > : Sebaran d ijumpai pula di sebelah Timur Maluku (Utara ) Ke teran gan Penutu p an Lah a n : P : Hutan Primer S

: Hutan Sekunder dan

Pinggiran Hutan A : Pem uki m an d a n Lah a n Perta nian L : Perairan (Danau /Sungai) Sb : Semak B e lukar

(27)

Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011

(28)

Potensi Permudaan Alami Jenis-Jenis Eboni….. Ady Suryawan, Julianus Kinho & Anita Mayasari

21

POTENSI PERMUDAAN ALAMI JENIS-JENIS EBONI (Diospyros spp.) DI

CAGAR ALAM TANGKOKO, BITUNG, SULAWESI UTARA.

Natural Regeneration of Diospyros species in Tangkoko Nature Reserve,

Bitung, North Sulawesi

Ady Suryawan,Julianus Kinho dan Anita Mayasari

Balai Penelitian Kehutanan Manado.

Jl Raya Adipura, Kel. Kima Atas, Kec. Mapanget, Manado, Sulawesi Utara. [email protected]

ABSTRACT

Ebony is a type of wood due to its beautiful luxury fiber and high quality wood and has become primadona export from Indonesia of Sulawesi. The conservation area is an area source of germplasm. However, deforestation, land use, and function of disaster are factor that threatens sustainability of biodiversity. This research aims to find out potential natural regeneration of diospyros species in tangkoko nature reserve. Data retrieval method is using the nedsted method of sampling with an area of 6 ha on two observation blocks. Research results known there are 90 kinds of chicks dominated by species of Drypethes and Koordersiodendron pinnatum neglecta. The potential of natural regeneration, D. minahassae 197 trees/ha, D.

pilosanthera 178 trees/ha, D. cauliflora 104 trees/ha, D. marritima 32 trees/ha, D. hebecarpa 16 trees/ha, D. malabarica 10 trees/ha, and D. ebenum 5 trees/ha. This

number regeneration is relatively low. Several factors influence it seeds rekalsitran, among others of the nature of competition/competition strong by the kinds of the other and to scatter an area sufficiently species, so the success of ebony regeneration is low.

Keywords: Ebony, Diospyros, Tangkoko Nature Reserve, natural regeneration

ABSTRAK

Eboni merupakan kayu jenis mewah karena seratnya indah dan kualitas kayunya tinggi serta telah menjadi primadona ekspor Indonesia yang berasal dari Sulawesi. Kawasan konservasi merupakan kawasan sumber plasma nutfah. Deforestasi, alih fungsi lahan, dan bencana merupakan faktor yang mengancam kelestarian jenis keanekaragaman hayati. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi

(29)

Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011

22

permudaan alami jenis-jenis eboni yang ada di CA Tangkoko. Metode pengambilan data menggunakan metode nedsted sampling dengan luas 6 ha pada dua blok pengamatan. Hasil penelitian diketahui ada 90 jenis anakan yang didominasi oleh jenis Drypethes neglecta dan Koordersiodendron pinnatum. Potensi permudaan alam D. minahassae 197 pohon/ha, D. pilosanthera 178 pohon/ha, D. cauliflora 104 pohon/ha, D. marritima 32pohon/ha, D. hebecarpa 16 pohon/ha, D. malabarica 10 pohon/ha, dan D. ebenum 5 pohon/ha. Jumlah permudaan ini relatif rendah. Beberapa faktor yang mempengaruhinya antara lain sifat biji rekalsitran, persaingan /kompetisi yang kuat oleh jenis-jenis yang lain dan sebaran daerah yang cukup spesifik, sehingga keberhasilan permudaan eboni menjadi rendah.

.

Kata kunci : Eboni, Diospyros, CA Tangkoko, permudaan alami

I. PENDAHULUAN

Salah satu jenis kayu perdagangan yang termasuk dalam kayu kelas mewah dan banyak tumbuh di Sulawesi adalah eboni. Menurut Suriarahardja dan Wasono (1996) dalam Hendromono (2007) eboni merupakan salah satu jenis pohon andalan di Sulawesi Selatan, Tengah dan Utara yang mulai langka dan merupakan jenis yang secara alami hanya tumbuh di Sulawesi serta sangat diminati oleh mancanegara sebagai mebel, hiasan, ukiran, konstruksi, alat rumah tangga dan alat musik.

Eboni merupakan anggota suku Ebenacea, Marga Diospyros termasuk

Lissocarpa dan Maba, memiliki antara 400 hingga 500 jenis yang tersebar di

daerah pantropis (Sunaryo, 2003). Menurut catatan Holtus dan Lam (1942) , Clayton dkk (1991), Lee dkk (1998, 1999, 2000, 2001), dan Djamaludin (1999) dalam Kinho dkk (2010) di wilayah Sulawesi Utara terdapat sepuluh jenis eboni yaitu Diospyros celebica, Diospyros buxifolia, Diospyros

hebecarpa, Diospyros javanica, Diospyros korthalsiana, Diospyros macrophylla, Diospyros maritime, Diospyros minahassae, Diospyros rumphii

dan Diospyros sp yang tersebar di kawasan konservasi baik yang dikelola oleh BKSDA Sulawesi Utara maupun Taman Nasional Bogani Nani Wartabone.

Pemungutan eboni khususnya jenis D. celebica menurut Sanusi (2002) telah dilakukan sejak abad ke-18 dalam jumlah yang besar dan

(30)

Potensi Permudaan Alami Jenis-Jenis Eboni….. Ady Suryawan, Julianus Kinho & Anita Mayasari

23 mengalami penurunan sejak tahun 1955. Penurunan ini disebabkan oleh tegakan eboni di alam berkurang drastis karena pemungutan berlebihan dan tidak diimbangi dengan permudaannya. Volume tebangan kayu eboni yang berhasil tercatat selama kurun waktu 1969 sampai 1982 sebesar 114.341,678 m3. Hal ini menyebabkan populasi eboni semakin terbatas.

Kawasan konservasi merupakan sumber plasma nutfah berbagai keanekeragaman hayati. Adanya deforestasi, alih fungsi lahan, bencana alam dan berbagai aktivitas manusia lainnya telah menjadi ancaman bagi kelestariannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dinamika anakan dan potensi permudaan alam jenis – jenis eboni di Cagar Alam Tangkoko. Diharapkan kajian ini dapat memberikan gambaran kelestarian jenis eboni serta menjadi bahan pertimbangan dalam pengelolaan kawasan konservasi khususnya CA Tangkoko.

II. KONDISI UMUM CAGAR ALAM TANGKOKO

Cagar Alam Tangkoko dilindungi sejak pemerintah kolonial Belanda sebagai kawasan hutan dengan fungsi Cagar Alam berdasarkan Besluit Van

den Governeur Nederlands Indie (GB) No.6 Stbl.90 tanggal 12 Pebruari 1919

dengan luas 4.446 ha. Topografi landai sampai bergunung dengan ketinggian mencapai 1.109 m dpl. Berdasarkan Shcmidth dan Ferguson curah hujan 2.500 – 3.000 mm/tahun, dengan temperatur rata-rata 20o – 25o C. Bentang alam terdiri dari pantai hingga pegunungan dan tipe ekosistem hutan pantai, hutan dataran rendah, hutan pegunungan serta hutan lumut. Menurut Kinho dkk (2010) sedikitnya terdapat 140 jenis pohon yang tediri dari 102 marga dan 44 suku serta 8 jenis dari marga

Diospyros.

III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Kegiatan

Penelitian dilakukan di Cagar Alam Tangkoko pada tanggal 18 sampai 27 Agustus 2010 dengan metode nedsted sampling seluas 6 ha.

(31)

Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011

24

Pengamatan pertama berada pada ketinggian antara 127-194 meter dpl bertopografi landai sampai jurang dan kedua pada ketinggian 504 – 564 meter dpl dengan topografi yang relatif landai.

B. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah koran, alkohol 70 % dan tally sheet. Alat yang digunakan ialah meteran roll, solatip, plastik, tali, gunting stek, kamera, peta kerja, GPS, parang, kompas dan alat tulis.

C. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian menggunakan metode nedsted sampling seluas 6 ha. Pada setiap ketinggian dibuat 5 jalur pengamatan dengan base line searah garis kontur dan arah rintisan memotong kontur. Setiap jalur memiliki petak pengamatan 15 buah berukuran 5x5 meter diletakan pada kiri dan kanan arah rintisan. Pengamatan dilakukan dengan melihat semua jenis anakan tingkat semai sampai pancang dan dihitung jumlahnya. Jenis yang belum bisa diidentifikasi secara langsung, lebih lanjut diidentifikasi di Herbarium Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam Bogor. Selanjutnya data dianalisa menurut Indriyanto (2010) dengan indeks nilai penting (INP) dan indeks keanekaragaman Shannon (H) yaitu.

INP = DR+ FR + KR; DR (dominasi relatif), FR (Frekuensi relatif) dan KR (kerapatan relatif)

; H’ = Indeks Shannon, N = Total nilai penting, n.i = Nilai penting dari tiap spesies

(32)

Potensi Permud aa n Ala m i Jenis -Jeni s E bo ni….. Ady S urya w an , Julia nus Ki nh o & Anita M ay asa ri 25 IV . HASIL DA N PEM B A HASA N A. Keaneka ragaman Je nis - Jenis Per mud aan Jenis-jenis per m udaan yan g berhasi l dite mukan tersaj i dalam Tabel 1. Tabel 1. D a ftar j enis per m udaan alam di CA Tangk ok o No. N ama Jeni s No. N ama Jeni s No. N ama Jeni s 1 A cal y p ha cat u rus Bl. 31 D iospy ros m a la b a ri ca 61 Le o cos ic h e s a p it e la ta 2 Ag la ia c o rt a ls ia n a 32 D iospy ros m a ri ti m a Bl ume. 62 Li tsea sp. 3 Ag la ia m a cr o ca rp a 33 Di ospyros mina hassae Bakh. 63 Macar a ng a m a p a 4 Ale ct rio n sp. 34 D iospy ros pi lo sa nt her a Bl anco 64 Mal lo tus r ici noi des M u e ll. Ar g . 5 A ls toni a sc hol ar is R. Br. 35 D racontom e lo n da o M e rr.et Ro lf e 65 Mel a nol e p is m u lt ig la nd ul os a Ri ch.f.et.Zol l 6 A ls toni a sum a tr ana 36 Draco n tomelo n man g if erumBI 66 M a lo tu s c o lu m n a ris 7 A n ti desma ce le bi cu m M iq. 37 Drypetes n e g lect a 67 Mel iosma pi n n at a 8 A p ocyna ja smi n e 38 D y sox y lum m o li sim um 68 Mor in da br acteat a Rox b . 9 A rdi si a sp. 39 Er y thr in a su bum b ra ns (Hassk.) M e rr. 69 Ocroci a ac umi n at is ima 10 A rtoca rpus d a d a 40 Eugi ni a acum in ati si ma 70 P a la q u iu m o b tu si fo liu m 11 Ave ro be li m b ing 41 Ficus pub ine rvis B l. 71 Piper adu n cu m 12 Bar ingtoni a acut an gul a Gae rtn. 42 Fic u s sp. 72 Piptur us ar g e ntus 13 Buch a n a n ia arb o res cen s Bl 43 F ic us v a ri egata Bl . 73 Pisoni a u m bel li fera S eem. 14 C a lo p h yllu m s a u la tt ri Burm Bl . 44 G a rc inia da e d a lanthera Pierre 74 Po ly al thi a lateri cia 15 Cana ng a o d or ata Hook.f.et Th 45 Garcini a tetrand a 75 Po ly al thi a gl auc a Bo erl .

(33)

Info BPK Manado V o lume 1 No 1 , November 2011 26 No. N ama Jeni s No. N ama Jeni s No. N ama Jeni s 16 Canar ium a sper u m Benth. 46 G loch idi o n ph il ipi cum 76 Po ly al thi a lateri cia 17 C a nar ium chr y sanum 47 Gnetum g n emo n L. 77 Pol y sci as nodosa Seem 18 Canar ium hi rsut um W illd 48 Gy m n acr a nt her a for b esi i ( K in g) War b . 78 Po metia cu ri acea 19 Capari s mi craca n ta 49 Gy m n acr a nt her a p a ni cul a ta Wa rb. 79 Pr unus ar bor e a 20 Ch isoc heton kingee 50 Ho ma liu m ce leb icu m Kd s 80 Pterospermum cel e b icu m Mi q . 21 Cleroden dro n mi nah a sa 51 Ho ma liu m f o etid u m Benth. 81 S a ndori cum c o etjap i 22 Cratox yl on cel e b icu m Bl . 52 H o rs fi el di a br aceat a 82 Sa nt ir ia 23 C ra toxy lon s p . 53 Ioni m us jav a ni cum 83 Si phon od on cel a str in ew Gri ff. 24 Cryptoca rya bi co lo r 54 Ix ora sp. 84 Sp atu d ea 25 Cryptoca rya sp. 55 Kjell b ergi odendron cel e bi cum M e rr. 85 Ster cul ia i nsul ar is 26 D e ndr oni cde m icr osti k m a 56 Koor der si o den d ro n pi n n at um M e rr. 86 S y zigi um sp. 27 Di ll en ia o ch rea ta T.et B. 57 Lea ac ul ea ta Bl . 87 Termi nal ia cel e b ica 28 Di ospyros cau li fl o ra Bl . 58 Lea indi ca 88 Tr ic al ic hi a m inahasa 29 D iospy ros eb enum Ki n g . 59 Lea r u br a 89 V il e br uni a r u besce n s 30 D iospy ros he bec a rpa C unn. 60 Lea sp. 90 Vi tex qui nata F.N.Vi ll .

(34)

Potensi Permudaan Alami Jenis-Jenis Eboni….. Ady Suryawan, Julianus Kinho & Anita Mayasari

27 Hasil pengamatan pada plot pertama ditemukan 88 jenis pancang dan 69 jenis tingkat semai, pada plot kedua 76 jenis pancang dan 58 jenis semai, hasil rekapitulasi jenis yang ditemukan telah tersaji pada Tabel 1 di atas. Perhitungan indeks Shannon (H) menunjukan bahwa plot di bawah 500 mdpl mempunyai nilai 2,868 sedangkan di atas 500 mdpl 2,777. Indeks Shannon merupakan indeks keanekaragaman dan sebagai indikator kestabilan ekosistem. Semakin tinggi nilai H maka mengindikasikan semakin tinggi jumlah spesies dan semakin tinggi kelimpahan relatifnya.

B. Dinamika Permudaan Alam di CA Tangkoko

Perhitungan INP dapat menunjukan dinamika populasi vegetasi dalam suatu ekosistem sebagaimana pada Tabel 2 dan 3 di bawah ini. Tabel 2. Hasil tabulasi INP tingkat semai disusun mulai dari yang tertinggi

Tinggi

(mdpl) Nama Ilmiah Famili

FR (%) KR (%) INP (%) < 500 Drypetes neglecta

(Koord.) Pax et Hoffim Euphorbiaceae 9,33 10,32 19,65

Koordersiodendron

pinnatum Merr. Anacardiaceae 7,18 7,57 14,75

Polyalthia glauca Boerl. Annonaceae 5,5 5,39 10,89

Baringtonia acutangula Gaertn. Lecythidaceae 4,78 4,36 9,14 Palaquium obtusifolium Burk Sapotaceae 5,26 3,67 8,93 > 501 Drypetes neglecta

(Koord.) Pax et Hoffim Euphorbiaceae 9,33 10,32 19,65

Koordersiodendron

pinnatum Merr. Anacardiaceae 7,18 7,57 14,75

Homalium foetidum

Benth. Flacourtiaceae 4,07 6,88 10,95

Polyalthia glauca Boerl. Annonaceae 5,5 5,39 10,89

Garcinia daedalanthera

Pierre Guttiferae 5,26 4,93 10,19

(35)

Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011

28

Tabel 3. Hasil tabulasi INP tingkat pancang disusun mulai dari yang tertinggi Tinggi

(mdpl) Nama Ilmiah Famili

FR (%) KR (%) INP (%) < 500

Drypetes neglecta (Koord.)

Pax et Hoffim Euphorbiaceae 9,33 10,32 19,65

Koordersiodendron pinnatum

Merr. Anacardiaceae 7,18 7,18 14,75

Polyalthia glauca Boerl. Annonaceae 5,5 5,39 10,89

Baringtonia acutangula

Gaertn. Lecythidaceae 4,78 4,36 9,14

Palaquium obtusifolium Burk Sapotaceae 5,26 3,67 8.93

> 501

Siphonodon celastrinew Griff. Celastraceae 7,62 10,43 18.06

Dysoxylum molisimum Meliaceae 6,93 9,42 16,35

Vilebrunia rubescens Urticaceae 5,77 6,38 12,15

Lea indica Leaceae 4,16 6,81 10,97

Achtonoides sp Mrtaceae 4,39 6,52 10,91

Keterangan : FR = Frekuensi relatif, KR = Kerapatan relatif, INP = Indek nilai penting

Berdasar hasil perhitungan di atas diketahui bahwa Drypetes neglecta merupakan jenis paling dominan dengan INP tertinggi disusul

Koordersiodendron pinnatum. Hasil analisis pada tingkat pancang

menunjukan D. neglecta dan K. pinnatum merupakan jenis dominan. Kedua jenis ini sebagai pohon dominan pada tingkat pancang dan semai. Hal ini menunjukkan bahwa permudaan alami CA Tangkoko didominasi oleh D.

nelecta dan K. pinnatum. Sebaran kedua jenis ini memiliki cukup luas pada

kedua plot pengamatan karena frekuensi perjumpaan petak ukur yang berisi kedua jenis relatif paling tinggi dibandingkan jenis lain. Berdasar nilai KR, kedua jenis tersebut memiliki kerapatan paling tinggi di setiap petak ukur. Dominasi akan memberikan sifat negatif terhadap jenis yang lainnya karena faktor persaingan akan semakin tinggi.

Tingkat dominasi pada tingkat anakan ini berbeda dengan dominasi pada tingkat pohon. Penelitian Kurniawan dkk (2008) menyebutkan bahwa asosiasi pohon di CA Tangkoko didominasi oleh pohon dengan jenis

Palaquium sp dan Cananga odorata. Palaquium sp atau dikenal dengan

nama lokal Nyatoh menurut Cendrawasih dalam Kurniawan dkk 2008 merupakan salah satu jenis yang berpotensi dan endemik di Sulawesi,

(36)

Potensi Permudaan Alami Jenis-Jenis Eboni….. Ady Suryawan, Julianus Kinho & Anita Mayasari

29 sehingga pada hutan alam dataran rendah di Sulawesi Utara banyak dijumpai dalam jumlah yang tinggi.

Penelitian ini memberikan informasi bahwa dinamika hutan di CA Tangkoko nampak jelas terjadi. Permudaan akan sangat mempengaruhi dinamika hutan di masa yang akan datang. Semakin tinggi jumlah atau kerapatan, sebaran dan penguasaan daerah suatu jenis anakan vegetasi, maka peluang keberhasilan menjadi pohon akan semakin tinggi. Hal ini seperti dikatakan oleh Soerianegara dan Indrawan, 1982 dalam Indriyanto (2010) bahwa komunitas hutan merupakan suatu sistem yang hidup dan tumbuh karena komunitas itu terbentuk secara berangsur-angsur melalui beberapa tahap invasi oleh tetumbuhan, adaptasi, agregasi, persaingan dan penguasaan, reaksi terhadap tempat tumbuh dan stabilisasi. Perubahan dalam komunitas selalu terjadi bahkan dalam komunitas hutan yang stabil pun akan selalu mengalami perubahan, misalnya ada pohon-pohon yang tumbang maka akan memberikan peluang dan ruang tumbuh bagi tumbuhan lain.

C. Potensi Permudaan Jenis-Jenis Eboni

Permudaan eboni yang berhasil dijumpai ada 8 jenis, 1 jenis berada di luar petak pengamatan yaitu Diospyros korthalsiana dan 7 jenis di dalam petak pengamatan yaitu Diospyros cauliflora, Diospyros ebenum, Diospyros

hebecarpa, Diospyros malabarica, Diospyros maritima, Diospyros minahassae dan Diospyros pilosanthera. Menurut Lee dkk (2001) di CA

Tangkoko ada 6 jenis eboni yang ditemukan yaitu D. celebica, D. javanica, D.

korthalsiana, D. maritima, D. minahassae dan D. rumphii, beberapa jenis

eboni yang tidak dijumpai yaitu D. celebica, D. javanica dan D. rumphii. Hal ini mengindikasikan bahwa ketiga jenis tersebut mengalami pengurangan populasi di habitat alaminya. Namun ada eboni jenis lain yang berhasil ditemukan yaitu D. malabarica, dan D. pilosanthera. Jumlah individu ketujuh jenis eboni dalam plot pengamatan disajikan dalam Gambar 1.

(37)

Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011

30

Gambar 1. Jenis dan jumlah permudaan eboni di Cagar Alam Tangkoko

Total permudaan didalam petak ukur yaitu D. minahassae 74 pohon,

D. pilosanthera 67 pohon, D. cauliflora 39 pohon, D. maritima 12 pohon, D. hebecarpa 6 pohon, D. malabarica 4 pohon dan D. ebenum 2 pohon.

Permudaan D. ebenum, D. hebecarpa dan D. malabarica sangat minim karena hanya ditemukan dalam kondisi tingkat vegetasi tertentu saja dan pada ketinggian tertentu di bawah 500 mdpl.

Ketinggian tempat tumbuh mempengaruhi populasi jenis, hal ini ditunjukkan dengan permudaan D. minahassae dan D. pilosanthera dimana populasi semai di atas 500 mdpl lebih banyak dibanding dengan populasi permudaan di bawah 500 mdpl. Ketinggian tempat akan mempengaruhi

kondisi iklim suatu tempat. Kemungkinan D. minahassae dan

D. pilosanthera lebih dapat beradaptasi pada daerah dengan kelembaban

yang lebih tinggi dan temperatur lebih rendah. D. hebecarpa, D. maritima dan D. malabarica merupakan jenis eboni yang hanya ditemukan di dataran rendah sedangkan D. cauliflora merupakan jenis yang memiliki tingkat permudaan paling lengkap dan tersebar merata di kedua ketinggian.

Bila dibandingkan jenis-jenis eboni dengan lima jenis permudaan dominan plot pengamatan sebelumnya, maka eboni pada plot pengamatan

(38)

Potensi Permudaan Alami Jenis-Jenis Eboni….. Ady Suryawan, Julianus Kinho & Anita Mayasari

31 ini berada dalam kondisi tertekan. Hasil perhitungan INP, ketujuh jenis eboni disajikan pada gambar 2.

Gambar 2. Hasil perhitungan INP jenis jenis eboni di CA Tangkoko.

Hasil perhitungan INP rata-rata menunjukkan D. minahassae saja yang memiliki nilai INP rata-rata paling tinggi, sedangkan yang lain relatif sangat kecil bila dibandingkan dengan jenis dominan seperti D. neglecta dan K. pinnatum. Faktor permudaan ini sangat mempengaruhi kelestarian suatu jenis di habitat aslinya. Menurut Mueller et. all (1974) kecenderungan jumlah yang tinggi pada tingkat permudaan menandakan terpeliharanya populasi di habitatnya, dan sangat mungkin di waktu yang akan datang jumlah populasi akan terus berkembang. Namun pada penelitian ini jenis-jenis eboni yang dijumpai cenderung memiliki permudaan dalam jumlah minim.

Kondisi permudaan alam yang minim menurut Hani dan Effendi (2009) disebabkan anakan yang tumbuh di bawah tegakan mengalami pertumbuhan yang kurang optimal, karena akan mengalami persaingan yang cukup ketat dalam mendapatkan unsur hara dan cahaya. Menurut Alrasyid (2002) biji eboni bersifat rekalsitran atau daya perkecambahan

(39)

Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011

32

cepat menurun dan mudah terserang jamur Penicillopsis clavariaeformis. Hal ini ditunjukkan pada waktu penelitian dilakukan banyak ditemukan buah eboni yang jatuh mengalami kebusukan. Sedangkan bila buah eboni dijemur menurut Alrasyid (2002) daya perkecambahan akan menurun hingga menjadi 0%. Upaya yang mungkin dilakukan menurut Yuniarti (2002) biji hendaknya disimpan menggunakan wadah yang porositasnya tinggi misalnya kantong kain blacu dengan ruangan bersuhu 18-20oC dan kelembaban 50-60%. Selain beberapa pendapat tersebut, Eboni merupakan jenis yang memiliki pertumbuhan lambat, sehingga untuk melakukan reproduksi menurut taksiran yang dilakukan Steup dan Beversluis dalam Alrasyid (2002) menyebutkan bahwa MAI (Mean Annual Increment) dari diameter dan volumenya berkisar 0,5 cm/th dan 0,5 m3/ha/th.

Populasi suatu jenis vegetasi dipengaruhi oleh kompetisi dan distribusi. Semai yang tumbuh pada daerah yang padat maka faktor kompetisi tinggi, kemungkinan keberhasilan berkembang menjadi pohon lebih rendah. Sedangkan distribusi wilayah yang luas akan memberikan kesempatan lebih tinggi bagi keberhasilan permudaan alam. Bila suatu jenis tumbuh hanya pada daerah yang spesifik maka bila tumbuh bukan pada daerahnya akan mengalami pertumbuhan yang tidak optimal.

Hasil kajian ini menunjukkan bahwa dinamika hutan menjadi penting karena ada beberapa jenis tertentu yang mengalami tekanan sehingga kelimpahan di alam mengalami penurunan serta adanya jenis-jenis dengan status kritis, langka dan atau terancam punah. Hal inilah yang perlu mendapatkan kajian dan pengelolaan yang lebih intensif, sehingga kelestarian jenis (conservasi species) dapat berhasil. Upaya pelestarian jenis dapat dilakukan dengan berbagai metode baik secara insitu maupun exsitu.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

Potensi permudaan alam jenis-jenis eboni sangat rendah yaitu

D. minahassae 197 pohon/ha, D. pilosanthera 178 pohon/ha, D. cauliflora

104 pohon/ha, D. marritima 32pohon/ha, D. hebecarpa 16 pohon/ha,

D. malabarica 10 pohon/ha, dan D. ebenum 5 pohon/ha. Faktor yang

(40)

Potensi Permudaan Alami Jenis-Jenis Eboni….. Ady Suryawan, Julianus Kinho & Anita Mayasari

33 oleh sifat biji eboni yang rekalsitran, daerah sebaran yang tidak luas dan adanya persaingan yang kuat dengan jenis lain. Perlu adanya upaya konservasi terhadap beberapa jenis eboni di CA Tangkoko.

DAFTAR PUSTAKA

Alrasyid, H. 2002. Kajian Budidaya Pohon Eboni. Berita Bilogi Volume 6, Nomor 2. Halaman 219-225. Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi-LIPI. Bogor. BKSDA, 2010. Profil Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Utara. Manado. BPKH Wil VI. 2009. Profil Kawasan Konservasi. Manado. Diakses dari

http://bpkh6.blogspot.com/ pada tanggal 17 januari 2011

Hani, A. dan Effendi, R. 2009. Potensi Permudaan Alam Tingkat Semai (Khaya antotecha) di Hutan Penelitian Pasir Hantap, Sukabumi, Jawa Barat. Bogor. Mitra Hutan Tanaman Vol 4 No 2 Hal 49-56

Hendromono. 2007. Teknik Pembibitan Eboni Dari Anakan Hasil Permudaan Alam. Jurnal Hutan Tanaman Vo 4 No 2 Halaman 91- 98. Pusat Litbang Hutan Tanaman. Bogor

Kinho, J., dkk. 2010. Kajian Habitat dan Populasi Eboni (Diospyros spp.) Pada Kawasan Konservasi di Cagar Alam Tangkoko, Taman Nasional Bogani Nani Wartabone dan Taman Nasional Aketajawe Lolobata. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Manado. Manado

Kurniawan, A., Undaharta, N.K.E. dan Pendit, I.M.R. 2008. Asosiasi Jenis-Jenis Pohon Dominan di Hutan Dataran Rendah Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara. Biodiversitas Vol 9 No 3 halaman 199-203

Lee, R.J., J. Riley, dan R. Merrill. 2001. Keanekaragaman Hayati dan Konservasi Di Sulawesi Bagian Utara. WCS-IP dan NRM. Jakarta.

Mueller-Dumbois, D. dan H. Ellenberg. 1974. Aims and Methods of Vegetation

Ecology. John Wiley & Sons, Inc. Canada

Sinombor, S.H. 2008. Kawasan Konservasi Tangkoko : Aset Sejarah Alam Dunia dan Rumah Satwa Sulawesi. Kompas 30 April 2008 | 01:51 WIB diakses dari http://nasional.kompas.com/read/2008/04/30/01515048/aset.sejarah.ala m.dunia.dan.rumah.satwa.sulawesi

Sunaryo. 2003. Tingkat Kualitas Kayu Eboni (Diospyros celebica Bakh.) Berdasarkan Komposisi Serat Gelap dan Terang. Pusat Penelitian Biologi-LIPI. Bogor.

(41)

Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011

Gambar

Gambar 1. Peta lokasi penelitian
Gambar 3. Jenis burung  yang dijumpai di Kawasan TNAL
Tabel 2. Hasil tabulasi INP tingkat semai disusun mulai dari yang tertinggi  Tinggi
Tabel 3. Hasil tabulasi INP tingkat pancang disusun mulai dari yang tertinggi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Jenis burung yang dijumpai di hutan mangrove Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai sebanyak 54 jenis, 8 jenis di antaranya merupakan jenis endemik Sulawesi dan paling sedikit 3

Di Kawasan Taman Nasional Danau Sentarum terdapat 310 jenis burung dan termasuk jenis burung bangau hutan rawa ( Ciconia stormi ) yang tergolong langka, dan beluk ketupa (

Jenis burung yang dijumpai di hutan mangrove Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai sebanyak 54 jenis, 8 jenis di antaranya merupakan jenis endemik Sulawesi dan paling sedikit 3

Di Kawasan Taman Nasional Danau Sentarum terdapat 310 jenis burung dan termasuk jenis burung bangau hutan rawa (Ciconia stormi) yang tergolong langka, dan beluk ketupa

Jenis burung yang dijumpai di hutan mangrove Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai sebanyak 54 jenis, 8 jenis di antaranya merupakan jenis endemik Sulawesi dan paling sedikit 3

Keanekaragaman jenis burung di Kawasan Penyangga Tahura Sultan Syarif Hasyim memiliki nilai tertinggi yaitu pada habitat hutan sekunder, dimana jenis burung yang ditemukan hutan

Salah satu habitat yang diduga memiliki kondisi baik untuk burung adalah Taman Hutan Raya Tahura Sultan Syarif Hasyim karena kondisi hutan alam yang cukup luas dan keanekaragaman jenis

Ikan yang ditemukan pada hutan mangrove dikawasan Teluk Pangpang Blok Jati Papak Taman Nasional Alas Purwo sebanyak 6 jenis spesies diantaranya spesies Valamugil Seheli, spesies