BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Olahraga
2.1.1. Definisi Olahraga
Menurut European Sports Charter, Olahraga adalah segala bentuk aktivitas fisik yang dilakukan begitu saja maupun teratur dengan tujuan untuk mengekspresikan dan meningkatkan kesehatan fisik dan psikis, membentuk hubungan sosial ataupun sebagai sarana kompetisi dalam berbagai tingkat (NHS, 2013).
2.1.2. Klasifikasi olahraga
Menurut panduan Physical Activity and Your Heart oleh departemen kesehatan Amerika Serikat pada tahun 2006, olahraga secara garis besar dapat dibagi menjadi 3, yaitu:
1. Olahraga Aerobik
Merupakan aktivitas fisik yang menggunakan sekelompok otot dan mengakibatkan tubuh untuk menggunakan oksigen dalam jumlah yang lebih besar daripada saat beristirahat. Jenis olahraga ini sangat menguntungkan bagi kesehatan jantung. Olahraga ini meliputi berjalan kaki, jogging dan bersepeda.
2. Olahraga Anaerobik
Sering juga disebut sebagai resistance training atau strength
training. Dapat mengencangkan, memperkuat dan membesarkan otot.
Selain itu juga dapt meningkatkan kekuatan tulang, keseimbangan dan koordinasi. Olahraga ini meliputi push-up dan angkat beban.
3. Olahraga Kelenturan
Jenis olahraga ini berfungsi untuk meregangkan dan memperpanjang otot, selain itu juga membantu meningkatkan
fleksibilitas sendi dan mempertahankan kelenturan otot sehingga dapat mengurangi resiko terjadinya cedera. Contoh gerakan peregangan adalah duduk bersila di lantai dan secara perlahan menekan bagian atas kaki kebawah untuk meregangkan otot paha bagian dalam.
Berbagai kuesioner dapat digunakan untuk mengklasifikasikan derajat olahraga menurut frekuensinya, sebagai contohnya adalah kuesioner yang dikembangkan oleh Gaston Godin Ph.D. dan Dr. Roy Shepard yang lebih sering disebut sebagai The Godin-Shephard
Leisure-Time Physical Activity Questionnaire. Kuesioner tersebut akan
digunakan pada penelitian ini dan dibahas lebih dalam pada bab 3.
Tabel 2.1. Klasifikasi olahraga berdasarkan intesitas (ACSM, 1998).
2.1.3. Manfaat Olahraga
Aktif berolahraga atau beraktivitas memiliki peran yang penting dalam kesehatan. Olahraga menguntungkan berbagai bagian tubuh seperti jantung, otot, tulang, darah, sistem imun dan sistem saraf. Olahraga juga dapat mengurangi banyak faktor resiko dari non-communicable diseases (NCD) meliputi menurunkan tekanan darah, memperbaiki kadar kolesterol
darah dan menurunkan indeks massa tubuh. Selain keuntungan dari segi fisik, olahraga juga menguntungkan bagi kesejahteraan psikis dengan memberikan efek seperti meningkatkan suasana hati dan rasa percaya diri, mengurangi gejala dari stres, marah dan depresi, meringankan kegelisahan dan memperlambat penurunan fungsi kognitif (C3, 2011).
Data dari Parliementary Office of Science and Technology menyatakan bahwa olahraga ringan yang rutin seperti berjalan kaki dapat mengurangi angka kematian sebesar 14% pada kasus penyakit jantung koroner. Selain itu olahraga yang rutin dapat meningkatkan sensitivitas insulin sebesar 25% dan memperbaiki kadar gula darah sehingga mengurangi resiko munculnya diabetes tipe 2. Pada kasus Stroke, olahraga yang rutin dapat mengurangi tekanan darah pada penderita hipertensi, meningkatkan kadar high-density lipoprotein (HDL) dan menurunkan kadar low-density lipoprotein (LDL) sehingga mengurangi resiko terkena stroke. Kebiasaan berolahraga yang dimulai sejak usia dini akan membantu pertumbuhan tulang yang baik sehingga dapat mengurangi resiko terkena osteoporosis pada usia lanjut. Data ini juga menyatakan bahwa orang yang rajin berolahraga memiliki resiko yang lebih rendah terkena beberapa jenis kanker, contohnya orang yang tidak suka berolahraga lebih beresiko terkena kanker usus besar 3 kali lipat dibandingkan orang yang rutin berolahraga (POST, 2001).
2.2. Stres
2.2.1. Definisi Stres dan Stresor
Stres merujuk kepada respon fisiologis yang terjadi ketika suatu organisme gagal untuk menanggulangi ancaman emosional maupun fisik dengan baik. Dalam keadaan ekstrim atau berkepanjangan, stres dapat menyebabkan masalah kesehatan yang cukup serius (Stangor, 2010). Sedangkan stresor merupakan segala stimulus yang dapat membebani kapasitas fisik maupun pikiran seseorang. Stres dan stresor memiliki hubungan sebab-akibat (Lemma, 2005).
Stres muncul saat tubuh terpapar pada stressor, yang dapat terbagi menjadi beberapa kategori, antara lain: fisik (trauma, panas, dingin), kimia (kurangnya kadar oksigen, kadar asam-basa yang tidak seimbang), fisiologis (olahraga berat dan berlebihan, syok hemoragik, nyeri), psikologis atau emosional (cemas, takut, sedih) dan sosial (konflik personal, perubahan gaya hidup) (Sherwood, 2010).
2.2.2. Klasifikasi Stres
American Psychological Association (APA) membagi stres atas 3
tipe, yaitu : 1. Stres akut
Merupakan tipe stres yang paling umum ditemukan. Muncul karena tuntutan atau tekanan dari masa lalu atau masa kini dan antisipasi atas tuntutan atau tekanan di masa depan. Pada awalnya dapat menjadi motivasi untuk bekerja dan beraktivitas, tetapi jika berlebihan akan menimbulkan rasa kesulitan secara psikologis. Tanda-tandanya meliputi rasa cemas, sedih, marah, nyeri otot, masalah pencernaan, palpitasi dan pusing.
2. Stres akut episodik
Terjadi kepada orang-orang yang sering mengalami stres akut. Kehidupan penderita biasanya tidak teratur, selalu terburu-buru, selalu terlambat, mengerjakan atau mengurus terlalu banyak hal dalam waktu yang sempit dan tidak mampu mengatur waktu dengan baik. Stres akut episodik ini sendiri pada akhirnya terbagi atas 2 tipe sesuai kepribadian penderitanya, yaitu :
a. “Type A”
Cenderung agresif, tidak sabaran dan memiliki hasrat kompetisi yang tinggi.
b. “Worry Warts”
Lebih mengarah kepada rasa cemas dan depresi, sehingga selalu berpandangan buruk terhadap segala situasi.
Tanda-tandanya meliputi migren, nyeri dada, penyakit jantung, hipertensi dan persistent tension headaches.
3. Stres kronis
Berkebalikan dari stres akut yang dapat menjadi motivasi, stres kronis akan menghancurkan tubuh, pikiran dan kehidupan penderita. Aspek terburuk dari stres kronis ini adalah orang yang mengalaminya akan menjadi terbiasa dengan keadaan stres dan mulai tidak memperdulikannya dan tidak mencari solusi. Berawal dari stres akut yang tidak kunjung hilang, penderita akan merasa segala aspek kehidupan menjadi beban pikirannya dan pada akhirnya penderita dapat mengakhiri hidupnya sendiri untuk mencari jalan keluar.
Selain pembagian diatas, stres juga dapat dibagi tingkatannya berdasarkan pengalaman seseorang selama beberapa waktu tertentu dengan menggunakan berbagai jenis kuesioner, sebagai contohnya adalah
Kessler Psychological Disstress Scale. Kuesioner tersebut akan digunakan
pada penelitian ini dan dibahas lebih dalam pada bab 3.
2.2.3. Fase Stres
Hans Selye mendeskripsikan respon fisiologis tubuh terhadap stres yang berkepanjangan dalam sebuah konsep yang disebut General
Adaptation Syndrome (GAS), yang terbagi menjadi 3 fase :
1. The Alarm Reaction: Tubuh memberikan respon bertahan, yang di
stimulasi oleh hormon dari korteks kelenjar adrenal, terhadap stresor yang datang. Jika Stresor tidak dihilangkan pada tahap ini maka akan berlanjut kepada tahap berikutnya.
2. The Stage of Resistance: Tubuh memberikan perlawanan secara
terus-menerus terhadap stresor. Jika Stresor tidak dihilangkan pada tahap ini maka akan berlanjut kepada tahap berikutnya.
3. The Stage of Exhaustion: Efek dari Stresor yang menetap
mengakibatkan berbagai kondisi yang berujung kepada kematian (Lemma, 2005).
Selain dari 3 fase GAS diatas, Hans Selye juga mengidentifikasi tingkat kinerja dan resistansi normal atau dalam batas homeostasis yang diberikan tubuh dalam keadaan sehari-hari mulai dari memecahkan masalah, mengatur waktu dan menjaga keadaan agar tetap bekerja dengan baik. Pada saat stresor yang muncul melampaui kemampuan adaptasi tubuh pada saat itu maka dimulailah fase alarm (Rice, 2012).
Gambar 2.1. Diagram of the General Adaptation Syndrome (GAS) Model (Rice, 2012)
2.2.4. Mekanisme Stres
Pada manusia stres diperantarai oleh 2 respon sistem endokrin, yaitu: Hypothalamic-Pituitary-Adrenocortisol (HPA) axis dan
Sympathetic-Adrenal-Medullary (SAM) system (Cohen et al., 2007).
Rangsangan pada sistem ini mengaktifkan respon “fight or flight” sebagai adaptasi tubuh yang menimbulkan efek sebagai berikut : peningkatan tekanan arteri, peningkatan aliran darah, peningkatan kadar metabolisme seluler, peningkatan kadar glukosa dalam darah, peningkatan glikolisis di hati dan otot, peningkatan kekuatan otot, peningkatan aktivitas psikis, peningkatan kadar koagulasi darah. Semua respon tersebut membantu
tubuh untuk dapat melakukan aktivitas fisik berat yang mungkin tidak dapat dilakukan dalam kondisi lain (Guyton & Hall, 2006).
Kortisol, efektor primer dari aktivasi HPA pada manusia, meregulasikan beberapa proses fisiologis, seperti respon anti-inflamasi, metabolisme karbohidrat, lemak dan protein serta glukoneogenesis. Katekolamin, yang dilepaskan dari aktivasi SAM, bekerja dengan sistem saraf otonom untuk meregulasikan sistem kardiovaskular, pulmonar, hepatis, otot skeletal dan imun. Aktivasi dari HPA dan SAM meningkatkan tingkat kewaspadaan dan kinerja tubuh tetapi aktivasi berulang atau berkepanjangan dapat mengganggu proses kerja mereka pada sistem fisiologis lain (Cohen et al., 2007). Aktivasi HPA berlebihan seperti pada stres kronis akhirnya akan melemahkan sistem imun sehingga tubuh rentan terhadap penyakit. Stres juga memperlambat tingkat penyembuhan luka dan merusak DNA yang pada akhirnya dapat menyebabkan penyakit akibat mutasi genetik seperti kanker. Stres kronis meningkatkan jumlah darah yang dipompa oleh jantung dan peningkatan kortisol secara terus menerus membentuk plak pada dinding arteri menyebabkan konstriksi pembuluh darah, hal ini dapat berujung kepada penyakit jantuk dan akhirnya kematian (Stangor, 2010).
2.2.5. Penanggulangan Stres
Penanggulangan stres adalah upaya untuk mengurangi atau mentoleransi tuntutan dari lingkungan maupun dari diri kita sendiri dan konflik antara keduanya yang melebihi batas kemampuan individu. Penanggulangan stres dapat terjadi sebelum munculnya stres itu sendiri dan disebut sebagai penanggulangan yang bersifat antisipasi (Everly, 2013). Cara menanggulangi stres berbeda bagi tiap orang, secara garis besar metode penanggulangan stres dapat dibagi menjadi 3, yaitu:
1. Task-oriented: Menganalisa masalah atau stresor yang ada lalu
melakukan tindakan positif yang sesuai untuk menangani keadaan secara langsung.
2. Emotion-oriented: Menghadapi masalah atau stresor dengan menggunakan perasaan serta mencari dukungan sosial dari orang lain, seperti teman maupun keluarga.
3. Distraction oriented: Menggunakan sumber dari luar untuk
mengalihkan perhatian terhadap masalah atau stresor yang ada hingga akhirnya mendapatkan solusi. Tindakan yang bisa dilakukan sebagai pengalih perhatian bergantung kepada masing-masing orang, contohnya: mendengarkan musik, berolahraga, melukis, dam lain-lain (CMHA, 2009).
2.3.Hubungan Antara Olahraga dan Stres
Saat berolahraga dalam jangka panjang, ada pelepasan endorfin dalam jumlah besar dan mengakibatkan fenomena yang disebut runner’s high. Endorfin yang dilepaskan akan mengurangi rasa sakit yang diterima tubuh dengan cara menghalangi sinyal rasa sakit. Selain itu endorfin juga akan berikatan dengan reseptor opioid, yang akan menghalangi pelepasan neurotransmiter, dan dapat meningkatkan suasana hati. Pada sebuah eksperimen kepada pasien penderita kelainan kegelisahan, tablet endorfin oral yang diberikan rutin kepada pasien dihentikan secara tiba-tiba dan diganti dengan jadwal rutin olahraga yaitu jalan kaki selama 45 menit terus-menerus setiap pagi dan malam setiap hari. Hasilnya pasien tersebut tidak lagi memerlukan tablet endorfin oral dan merasa lebih percaya diri serta rasa cemas dan stresnya hilang begitu saja (Rokade, 2011).
Olahraga sebagai alternatif untuk menanggulangi atau menghilangkan stres cocok untuk semua orang, berbagai umur, kondisi dan latar belakang. Penelitian lain yang dilakukan pada wanita dewasa dengan gejala depresi juga menunjukkan bahwa olahraga yang rutin memberikan efek positif meringankan gejala depresi, meningkatkan kebugaran dan sosialitas subjek pada saat yang bersamaan (Nabsakorn et al., 2005). Ada pula penelitian yang menunjukkan bahwa pada wanita hamil olahraga aerobik yang dilakukan di air dapat membantu mengurangi stres sehingga pada akhirnya
memudahkan proses melahirkan (Parker & Smith, 2003). Selain daripada itu ada juga penelitian yang dilakukan untuk mencari efek dari aktivitas fisik terhadap perbaikan stres yang disebabkan oleh masalah sekolah atau akademik, walau hubungannya lemah tetapi aktivitas fisik terbukti membantu mengurangi efek stresor dan meningkatkan waktu pemulihan. Olahraga yang rutin dapat mengurangi tekanan pada otot yang berakibat kepada perbaikan kuantitas dan kualitas tidur yang dapat membantu meningkatkan mekanisme kognitif. Hal ini pada akhirnya akan mempertajam kemampuan atau insting seseorang terhadap kontrol dari tubuhnya dalam beraktivitas dan pola berpikir yang berperan terhadap proses pengalihan dari stres (Hauglan et al., 2003). Di Finlandia dilakukan survey untuk membandingkan keadaan psikologi antara orang dewasa yang rutin berolahraga dengan yang jarang berolahraga, hasil survey menunjukkan bahwa pada kelompok yang rajin berolahraga memiliki tingkat stres yang lebih rendah dan banyak efek positif lainnya (Hassmen
et al., 2000). Penelitian yang dilakukan pada mahasiswa kedokteran di
Pakistan menunjukkan bahwa 46.15% dari total mahasiwa kedokteran baik wanita maupun pria memilih untuk berolahraga sebagai cara mereka untuk menanggulangi atau menghilangkan stres (Shaikh et al., 2004).
Dari data diatas dampak olahraga terhadap stres dapat dilihat memberikan efek positif. Dengan kontrol yang baik, olahraga yang rutin dapat menjadi terapi alternatif yang murah dan cukup efektif untuk menanggulangi atau menghilangkan stres sehingga stres tidak berkembang menjadi sesuatu yang lebih parah yang dapat membahayakan.