BAB II
TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori
1. Realistic Mathematics Education (RME)
Realistic Mathematics Education (RME) merupakan pendidikan yang berpaham bahwa matematika sebagai kegiatan siswa, yang di Indonesia diadaptasi menjadi Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) atau Pendidikan Matematika Realistik secara operasional sering disebut Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) yang telah diselaraskan dengan kehidupan masyarakat Indonesia (Suryanto, 2010: 1). Didalam Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) siswa bukan diberi tahu bahwa 5+2=7, melainkan dibantu untuk menemukan jawabannya sendiri bahwa “jika Andi memiliki 5 kelereng dan ditambahkan 2 kelereng oleh Ayah, maka kelereng Andi ada 7”.
Pendidikan matematika dihasilkan dari temuan murid itu sendiri dengan bimbingan guru, sehingga pembelajaran lebih berkesan dan menyenangkan. Suryanto (2010: 1) menyatakan bahwa pelajaran matematika merupakan kegiatan diskusi siswa sehingga pembelajaran bersifat humanistic, karena siswa berperan aktif dalam pembelajaran. Suryanto (2010: 2) mengemukakan bahwa upaya reformasi pendidikan matematika di Indonesia dilakukan oleh Tim PMRI memutuskan untuk mengirim beberapa dosen pendidikan matematika dibeberapa Pendidikan Tinggi Negri (PTN) untuk melanjutkan studi profesornya (S3) di Belanda.
Ujicoba RME dilakukan dibeberapa sekolah. Selanjutnya RME diterapkan dibeberapa sekolah Indonesia dan mulai dikenalkan melalui workshop. a. Definisi Realistic Mathematic Education (RME)
Realistic Mathematic Education (RME) atau dalam bahasa Indonesia Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) merupakan salah satu teori pembelajaran matematika. Isrok’atun (2018: 71) “pembelajaran matematika realistik didasarkan pada anggapan dari Hans Frudenthal bahwa matematika merupakan suatu kegiatan manusia”. Zarkasyi (2017: 40) menyatakan bahwa Hans Freudenthal merupakan tokoh yang melahirkan Pembelajaran Matematika Realistik (PMR), yang berasal dari Belanda.
Menurut Freudenthal dalam Suryanto (2010: 9) menyatakan bahwa “matematika sebaiknya diajarkan dengan mengaitkan realitas sejalan dengan pengalaman siswa, serta relevan dengan masyarakat”. Dihubungkannya dengan pengalaman nyata, agar siswa berpeluang menemukan pengetahuan matematika atau rumus-rumus matematika. Maka dari itu matematika bukan suatu produk siap pakai. Suryanto (2010: 9) menyatakan bahwa matematika ada kegiatan dalam setiap menemuka pengetahuannya, ada proses mematematisasi. Suryanto (2010: 9) menyatakan bahwa:
Gagasan ini kemudian dirumuskan secara eksplisit dalam dua jenis matematisasi, yaitu matematisasi ‘horisontal’ dan matematisasi ‘vertikal’. Dalam matematisasi horizontal, masalah dalam kehidupan sehari-hari (real) oleh siswa diusahakan untuk dirumuskan atau diterjemahkan ke dalam bahasa atau simbol-simbol matematika; sedangkan matematisasi vertical berarti bekerja dalam system matematika itu sendiri; yaitu memecahkan
masalah yang sudah dirumuskan dalam bahasa atau simbol-simbol matematika itu secara matematika.
Pembelajaran RME bertitik tolak dari pengalaman atau peristiwa atau kehidupan nyata siswa. Peristiwa siswa dijadikan sebagai sumber munculnya suatu konsep matematika dan itu termasuk masalah-masalah realistik. Misalkan seorang guru mencontohkan dengan berbagi makanan. Seorang siswa memiliki 1 pizza. Siswa tersebut berbagi dengan temannya yang berjumlah 8 orang, maka dipotonglah pizza tersebut menjadi 8 bagian.
Gambar 1 Pecahan 𝟏
𝟖 Menggunakan Pizza
(Sumber: Pixabay) Gambar diatas menunjukan pecahan 1
8. Satu merupakan angka jumlah
pizza, dan 8 menunjukkan jumlah potongan pizza.
Menurut Maulana dalam Isrok’atun (2018: 71) menyatakan bahwa “matematika sebagai suatu kegiatan manusia berarti matematika dapat dipelajari dengan mengerjakannya (doing mathematics)”. Oleh karna itu,
RME dalam pelaksanaannya belajar dengan melakukan suatu kegiatan sebagai upaya menemukan suatu konsep matematika dari pengalamannya dalam kegiatan tersebut. Gravemeijer (1994: 83) “He advocates mathematics education organized as a process of guided reinvention, where students can experience a (to same extent) similar process as the process by which mathematics was inveted”. Pendidikan yang diselenggarakan sebagai proses penemuan kembali, dimana siswa dapat mengalami proses yang sama seperti proses pembuatan konsep matematika tersebut.
RME menggunakan dunia nyata sebagai pembelajaran. Menurut Slettenhar dalam Isrok’atun (2018: 71), realistik itu tidak mengacu pada segala sesuatu yang ada atu real, namun bisa juga dengan segala yang dapat dibayangkan oleh siswa. Maka dari itu, RME ini harus berkaitan dengan kehidupan nyata, sehingga menambah dan mempermudah siswa dalam memahaminya, mudah pula dalam pengaplikasiannya dalam kehidupannya. Menurut Sumirattana, Makanong, dan Thipkong dalam Isrok’atun (2018: 71) bahwa “mathematics had to be connected reality, stay close to children’s experiencesand be relevant to society”. Pembelajaran matematika di terapkan melalui peristiwa nyata dalam kehidupannya, dekat dengan pengalaman anak dan relevan dikehidupan masyarakat sehingga dapat dibayangkan oleh siswa. Hal ini senada dengan pendapat Grevemeijer dalam Isrok’atun (2018: 71) “bahwa pendidikan mateatika realistik berakar pada interpretasi Frudenthal, yakni matematika sebagai suatu kegiatan berupa matematisasi”.
Menurut Isrok’atun (2018: 72) dalam matematisasi terdapat dua proses yaitu matematika horizontal dan vertikal. Proses matematika horizontal yaitu proses kontekstual dari dunia nyata siswa yang berkaitan dengan matematika. Siswa menyelesaikan masalah matematika sendiri dengan cara, bahasa dan simbol sendiri sesuai dengan pengalamannya. Dengan kata lain, matematika horizontal berawal dari konteks dunia nyata menuju simbol matematika yang abstrak. Sedangkan matematika vertikal merupakan proses pembelajran menggunakan simbol matematika yang bersifat abstrak tetapi berkaitan dengan dunia nyata. Dengan demikian, matematika vertikal menggunakan simbol matematika itu sendiri.
Suatu proses matematika horizontal dan matematika vertikal merupakan alur pembelajaran RME. Pembelajaran diawali dengan konteks dunia nyata sehingga dapat dibayangkan dan dipahami oleh siswa, selanjutnya pembelajaran melakukan pengarahkan dari konteks dunia nyata pada simbol matematika. Dengan menggunakan konteks nyata, pembelajaran akan lebih bermakna dan mudah untuk diingat. Gravemeijer (1994: 11) “in realistic education both horizontal and vertical mathematizing are used to shape the long term learning process”. Dalam pendidikan matematika realistik, baik matematisasi horizontal maupun matematisasi vertikal digunakan untuk membentuk proses pembelajaran jangka panjang.
RME merupakan pembelajaran yang menjadikan pengalaman siswa sebagai titik awal pembelajaran. Masalah realistik yang muncul digunakan
sumber munculnya konsep-konsep matematika atau pengetahuan matematika.
b. Karakteristik Realistic Mathemathics Education (RME)
Suryanto (2010: 33) menyatakan bahwa “Pendidikan Matematika Realistik mempunyai 5 dasar plikatif, yang sekaligus merupakan karakteristik pendidikan matematika realistik”. Kelima karakteristik tersebut adalah:
1) Menggunakan Konteks
Konteks yang dimaksud adalah lingkungan siswa yang nyata. Hal yang konkrit tersebut tidak harus konkrit, asalakan dapat dipahami dan dibayangkan oleh siswa. Masalah kontekstual dapat diberikan di awal pembelajaran bermaksud agar membangun siswa menemukan konsep, definisi atau pengetahuan dan cara pemecahan masalah tersebut. Masalah konteks disajikan ditengah bermaksud untuk memperkuat pemahaman yang dimilikinya. Masalah konteks disajikan di akhir bermaksud agara siswa mampu mengaplikasikan apa yang telah ditemukan.
2) Menggunakan Model
Model yang dimaksud dadalah hal yang dapat membantu menyampaikan yang abstrak sehingga lebih konkrit. Model itu ada beberapa macam diantaranya, yang konkrit berupa benda dan semi konkrit berupa gambar atau skema yang dimaksudkn untuk membantu hal yang konkrit sampai abstrak. 3) Menggunakan Kontribusi Siswa
Dalam pembelajaran sangat penting kontribusi siswa baik berupa ide, variasi jawaban atau cara pemecahan masalah. Dengan adanya kontribusi siswa dapat memperluas pemahaman yang berhubungan dengan pemecahan masalah tersebut.
4) Menggunakan Format Interaktif
Adanya interaksi baik antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru sebagai fasilitator. Bentuk interaksi dapat bermacam-macam, bisa dengan diskusi, tanya jawab, penjelasan, dan lain-lain.
5) Intertwinning (Memanfaatkan Keterkaitan)
Matematika merupakan ilmu yang terstruktur. Adanya keterkaitan antara konsep, topik, operasi, dan lainnya sangat kuat. Bahkan memungkinkan adanya keterkaitan dengan bidang pengetahuan lain untuk menunjukkan kebermanfaatan matematika bagi kehidupan.
c. Prinsip-prinsip Realistic Mathemathics Education (RME)
Ada beberapa prinsip Pembelajaran Matematika Realistikmenurut Suryanto (2010: 31):
1) Guided reinvention dan Progressive Mathematization
Guided reinvention (penemuan kembali secara terbimbing) ialah prinsip yang menekankan penemua kembali terhadap suatu hal. Melalui masalah-masalah kontekstual yang realistik (dapat dibayangkan siswa), yang mengandung topik matematis, siswa diberi kesempatan untuk menemukan kembali ide dan konsep matematis. Pembelajaran tidak diawali dengan pemberi tahuan tentang definisi, cara, dan lain sebagainya, namun diawali
dengan masalah kontekstual yang realistik (yang dapat dipahami siswa karna diambil dari kehidupan siswa). Selanjutnya dengan adanya kegiatan pembelajara, siswa mampu menemukan definidi, cara, dan lain sebgainya meskipun pengungkapannya masih dalam bahasanya sendiri.
Progressive mathematization (mematematisasi progresif) ialah upaya yang mengarah pada pemikiran matematis. Disebut progresif karena ada dua langkah, yaitu matematisasi horizontal (berawal dari kontekstual dan berakhir dengan matematika formal), dan matematisasi vertikal (dari matematika formal ke matematika formal yang lebih luas.
2) Didactical Phenpmenology
Prisip ini menekankan fenomena yang disajikan harus mendidik dan memiliki masalah kontekstual untuk memperkenakan konsep matematika. Masalah kontekstual harus cocok dengan materi yang akan diajarkan, konsep, cara, dan model matematis tidak diberi tahukan oleh guru, melaikan siswa yang mencari sendiri. Yang harus ditekankan bahwa tujuan utama Pembelajaran Matematika Realistik bukan diketahuinya beberapa konsep, cara, atau seberapa banyak siswa mampu menyelesaikan persoalan. Melainkan pengalaman pembelajaran yang bermakna.
3) self-developed Model
Prinsip ini menunjukkan adanya jembatan berupa model. Karena bertitik tolak pada masalah kontekstual, maka siswa akan mengembangkan caranya sendiri, dengan hal itu harus ada jembatan agar siswa mampu mengembangkan caranya.
d. Sintak Realistic Mathemathics Education (RME)
Pembelajaran matematika ini memiliki beberapa tahapan atau sintak pembelajaran yang berguna sebagai jalan bagi siswa untuk memahami konsep matematika secara utuh dan bermakna. Menurut Hobri dalam Isrok’atun (2018: 74) ada lima tahapan Pembelajaran Matematika Realistik (PMR), yaitu sebagai berikut:
1) Memahami masalah kontekstual, tahap ini adalah pemberian masalah bersifat kontekstual yang berasal dari peristiwa nyata dalam kehidupan siswa.
2) Menjelaskan masalah kontekstual, guru menjelaskan masalah yang diberikan dengan petunjuk yang telah direncanakan serta melakukan tanya jawab agar siswa paham permasalahan yang diberikan.
3) Menyelesaikan kontekstual, dalam tahap ini siswa menyelesaikan permasalahan kontekstual yang telah dipahaminya. Kegiatan penyelesaian masalah kontekstual yang telah diberikan ini dikerjakan dengan caranya sendiri dengan pemahaman dan pengetahuan awal yang dimiliki. Guru berperan untuk memberi motivasi agar siswa mengerjakan permasalahan yang diberikan.
4) Membandingkan dan mendiskusikan jawaban, setelah semua siswa menyelesaikan permasalahannya, selanjutnya siswa memaparkan hasil pengerjaannya. Tahap ini dapat dilakukan dengan cara berkelompok.
5) Menyimpulkan, dalam tahap ini siswa diarahkan untuk menyimpulkan konsep dan cara penyelesaian permasalahan yang telah didisusikan bersama.
Zarkasyi (2017: 40) menyatakan bahwa “pembelajaran ini dilandasi oleh teori belajar kontruktivisme dengan memprioritaskan enam prinsip yang tercermin dalam tahapan belajarnya”. Enam tahapan menurut Zarkasyi (2017: 40) yang dilandasi teori kontruktivisme tersebut yaitu sebagai berikut:
Tabel 1
Tahapan Realistic Mathemathics Education (RME)
Tahapan Deskriptif
Aktivitas Siswa belajar melalui aktivits doing dengan mengerjakan masalah-masalah yang telah diberikan guru. Siswa harus berperan aktif dalam proses pembelajaran.
Realitas Pada tahap ini, pembelajaran dikaitkan dengan realitas kehidupan sehari-hari. siswa mampu mengaplikasikan pembelajaran dalam kehidupannya.
Pemahaman Pada tahapan ini, pembelajaran mencakup berbagai tahapan. Mualai dari kemampuan menemukan solusi yang berkaitan denga konteks masalah, menemukan rumus, sampai dengan menemukan prinsip-prinsip yang berkaitan.
Intertwinement siswa diberikan kesempatan untuk menyelesaikan konteks permasalahan dengan menerapkan berbagai konsep. Interaksi Ditahap ini siswa diberikan kesempatan
diskusi, saling tukar pendapat tentang solusi yang dikerjakan terhadap permasalahan yang diberikan. Interaksi ini memungkinkan siswa mendapatkan berbagai pendapat dan pemahaman, yang pada akhirnya mendapatkan pemahaman yang luas dari sebelumnya.
Tahapan Deskriptif
Bimbingan Bimbingan ini dilakukan dengan
memberikan kesempatan kepadasiswa untuk menemukan konsep, prinsip, atau rumus-rumus matematika melalui pembelajaran yang dirancang oleh guru.
Secara umum ada beberapa langkah RME yang dikemukakan oleh Suryanto (2010: 39), sebagai berikut:
1) Persiapan Kelas
a) Persiapan sarana dan prasarana yang diperlukan, misalkan alat peraga, buku siswa, dan sebagainya.
b) Pengelompokkan siswa, jika diperlukan.
c) Penyampaian tujuan pembelajaran dan kompetensi dasar yang diharapkan.
2) Persiapan Pembelajaran
a) Siswa diberikan masalah kontekstual, baik secara lisan atau tulisan untuk dipahami siswa.
b) Siswa yang belum memahami masalah kontekstual yang disajikan, diberi penjelasan seperlunya. Penjelasan diberikan secara individual atau kelompok (penjelasan tidak menunjuk penyelesaian, walaupun memuat pertanyaan agar siswa memahaminya).
c) Siswa mengerjakan masalah kontekstual secara individual atau kelompok dengan ide dan caranya sendiri.
d) Jika dalam waktuyang sudah ditentukan, belum ada siswa yang menemukan cara pemecahannya, guru memberikan bimbingan atau
petunjuk seperlunya. Petunjuk tersebut dapat berupa gambar atau lainnya.
e) Setelah selesai, beberapa siswa atau perwakilan dari setiap kelompoknya mempresentasikan hasil pengerjaannya.
f) Siswa lain diberi kesempatan untuk menanggapi hasil yang disajikan temannya didepan kelas.
g) Guru mengarahkan siswa untuk membuat kesepakatan tentang cara yang dianggap mudah untuk menyelesaikan persoalan.
Dalam penerapannya langkah tersebut dapat dipersingkat sesuai enga kebutuhan dan sesuai dengan rancangan guru yang telah dibuat. Misalkan ingin menggunakan model pembelajaran, maka ada beberapa yang dihilangkau atau ditambahkan.
e. Kelebihan dan Kelemahan Realistic Mathemathics Education (RME) Menurut Suwarsono dalam Iarok’atun (2018: 75) ada beberapa kelebihan dari RME. Beberapa kelebihan tersebut yaitu:
1) RME memberikan pengertian yang jelas dan mudah dipahami siswa tentang materi matematika karna menggunakan konteks yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut dapat membuat siswa mengerti tentang kegunaan matematika untuk kehidupannya dan keterkaitan matematika dengan kehidupan. RME membuka wawasan siswa mengenal keterkaitan matematika dengan kehidupan, sehingga siswa menyadari penerapan matematika yang bermanfaat untuk kehidupan dan berguna untuk menyelesaikan persoalan diberbagai bidang.
2) Memberikan pengertian yang jelas dan oprasional kepada siswa bahwa matematika merupakan bidang yang dapat dikembangkan sendiri. RME memberikan kepada siswa untuk menemukan dan membangun sendiri konsep matematika. Dengan demikian, siswa akan banyak melakukan kagiatan mandiri yang berdampak positif untuk selalu mengingat konsep matematika.
3) Memberikan pengertian kepada siswa bahwa cara menyelesaikan persoalan tidak dengan satu cara saja, melainkan dengan berbagai cara. Selama proses pembelajaran, siswa diberikan kesempatan untuk menyelesaikan masalah dengan berbagai caranya sendiri sesuai dengan pengalamannya. Kegiatan ini menghasilkan beberapa ide, sehingga menambah wawasan siswa dalam menyelesaikan persoalan.
4) Dalam pembelajaran matematika, proses matematika merupakan suatu hal yang utama. RME lebih menekankan pada proses pembelajaran dibandingkan hasil. Proses pembelajaran menjadikunci utama dalam memahami matematika. Dengan demikian, proses pembelajaran matematika dilakukan secara mandiri melalui kegiatan pembelajaran. Dengan demikian pembelajaran akan lebih bermakna.
5) RME memadukan kelebihan-kelebihan dari berbagai pendekatan pembelajaran yang juga dianggap unggul. Berbagai pembelajaran matematika memiliki kelebiannya masing-masing, kelebihan pembelajaran tersebut dipadukan menjadi satu dalam RME.
6) RME bersifat lengkap dan operasional. Prmbelajaran matematika tidak terlepas dari topik bahasan materi dengan kehidupan nyata. Pembelajaran juga dilakukan dengan berbagai kegiatan yang jelas dan terstruktur sehingga mencapai tujuan pembelajaran yang operasional.
Selain mempunyai kelebihan, RME memiliki kekurangan. Hobri dalam Isrok’atun (2018: 77) mengemukakan beberapa kekurangan RME sebagai berikut:
1) Pengimplementasian RME membutuhkan paradigma, yaitu perubahan pandanganuntuk berbagai hal. Guru yang awalnya mentransfer materi langsung kepada siswa berubah menjadi fasilitator yang menyediakan sarana belajar, serta membimbing dalam melakukan kegiatan siswa. Siswa yang semula hanya mendengarkan penjelasan guru, kini menjadi aktif dalam kegiatan pembelajaran. Perubahan tersebut tidak mudah dan cepat dilakukan. Pemilihan penyajian soal kontekstual juga mempengaruhi perubahan paradigma tersebut. Penyajian persoalan harus mampu memotivasi dan mengajak siswa aktif dalam kegiatan pembelajaran.
2) Upaya mendorong siswa agar menemukan dan mengerjakan dengan caranya sendiri itu merupakan hal yang tidak mudah. Saat pembelajaran siswa dituntut untuk berperan aktif dan menyelesaikan masalahnya denga cara sendiri. Hal ini jarang dilakukan karena membutuhkan waktu yang tidak sebentar.
3) Proses membangun kemampuan berfikir siswa dengn persoalan kontekstual, proses matematisasi horizontal, dan matematisasi vertikal bukan suatu yang sederhana.
4) Pemilihan alat peraga harus cermat. Pemilihan alat peraga harus sesuai dengan materi ajar. Alat peraga harus membantu dan memudahkan siswa memahami pembelajaran.
5) Penilaian RME rumit. Kegiatan penilaian bukan hanya hasil pengerjaan soal, namun penilaian dilihat dari proses pembelajaran.
2. Model Pembelajaran
Adanya tuntutan kompetensi yang harus dicapai oleh siswa, perlu adanya kecakapan khusus dan strategi yang mampu membantu siswa mencapai kompetensinya dengan baik. Guru harus menciptakan suasana belajar yang kreatif, maka strategi atau model yang digunakan diharapkan mampu membantu dalam menyampaikan pembelajaran sehingga siswa mampu memahami pembelajaran dengan mudah.
Soekamto dalam Shoimin (2014: 23) menyatakan bahwa model pembelajaran adalah kerangka yang dibuat secara sistematis dalam mengatur jalannya suatu pembelajaran sehingga memberikan pengalaman pembelajaran untuk membantu tercapainya tujuan dan berfungsi sebagai pedoman guru dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Bruce Joyce dan Marsha dalam Maolani (2017: 53):
A model of teaching is a plan or pattern that can be used to shape curriculum (long term coumes of studies), to design intructional materials, and to guide intruction in the classroom and other setting. (suatu model pembelajaran adalah suatu
rencana atau pola yang digunakan dalam menyusun kurkulum, mengatur pelajaran, dan memberi petunjuk kepada pengajar di kelas dalam setting pengajaran maupun setting lainnya.
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran adalah pola yang dibuat oleh guru sebagai pedoman untuk mempermudah menyampaikan pembelajaran, menciptakan suatu kegiatan atau pengalaman pembelajaran, dan petunjuk kegiatan pembelajaran bagi siswa sehingga tercapai suatu tujuan pembelajaran. Ada banyak inovasi model pembelajaran diantaranya adalah model Realistic Mathematic Education (RME) dan pair checks.
3. Model Pembelajaran Pair Checks
Shoimin (2014: 119) menyatakan bahwa model pair checks (pasangan mengecek) merupakan model pembelajaran saling berpasangan dalam menyelesaikan persoalan. Model ini termasuk model pembelajaran kooperatif karna adanya kerjasama dalam pelaksanaannya. Model ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpendapat, menuangkan ide, dan pengalamannya. Dengan model pair checks memungkinkan siswa saling bertukar pendapat dan saran.
Model pembelajaran kooperatif tipe Pair Check adalah suatu tipe pembelajaran kooperatif yang berpasangan yang memiliki tujuan untuk mendalami atau melatih materi yang dipelajari. Model ini menerapkan pembelajaran berkelompok yang menuntut kemandirian dan kemampuan peserta didik dalam menyelesaikan persoalan yang diberikan, sehingga dapat
melatih rasa sosial peserta didik, kerja sama dan kemampuan memberi penilaian.
a. Langkah-langkah Model Pembelajaran Pair Checks
Ada beberapa langkah dalam pelaksanaan model pembelajaran pair checks menurut Shoimin (2014: 119), yaitu:
1) Siswa dibagi kelompok yang terdiri dari 4 orang.
2) Kelompok yang berjumlahkan 4 orang lalu dibagi kedalam 2 kelompok sehingga berpasangan.
3) Setiap pasangan diberikan LKS atau soal.
4) Cara pengerjaan soal yaitu dengan bergiliran. Misalnya A mengerjakan soal nomor 1dan B mengamati, memberi saran.
5) Selanjutnya bertukar peran, B yang mengerjakan soal nomor 2 sedangkan A yang mengamati dan lainnya.
6) Setelah pengerjaan selesai, pasangan tersebut mengecek hasil pekerjaannya dengan pasangan lainyang satu kelompok dengan mereka.
7) Setiap kelompok mendapatkan kesepakatan dari hasil diskusi (kesamaan pendapat, cara penyelesaian). Guru dapat melakukan bimbingan apabila siswa tidak menemukan kesepakatan.
b. Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Pair Checks
Ada beberapa kelebihan model pembelajaran menurut Shoimin (2014: 121), yaitu:
1) Melatih siswa memberi dan menerima saran, motifasi dan pendapat.
3) Memberikan kesempatan kepada siswa untuk membimbing teman yang kan bantuan.
4) Melatih siswa untuk bertanya atau meminta bantuan. 5) Memberikan kepada siswa untuk menawarkan bantuan. 6) Belajar menjadi pelatiah.
7) Menciptakan kerja sama antar siswa. 8) Melatih dalam komunikasi.
Sedangkan kekurangan dari pembelajaran pair checks, yaitu sebagai berikut:
1) Membutuhkan waktu yang lebih lama
2) Membutuhkan keterampilan siswa untuk jadi pembimbing, dan pada kenyataannya terkadang sulit mengarahkan siswa untuk menjadi pembimbing.
4. Matematika di Sekolah Dasar (SD)
Siswa SD dalam masa perkembangannya harus dibimbing oleh orang dewasa atau guru. Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) No. 20 Tahun 2003 Bab 1 Pasal 1 ayat 4 dalam Maolani (2017: 149) menyatakan bahwa “peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu”.
Matematika sebagai ilmu mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin dan diterapkan untuk memajukan pola pikir manusia. Pada kenyataannya menunjukkan bahwa pelajaran matematika diberikan di
semua jenjang pendidikan, mulai dari sekolah dasar sanpai pendidikan menengah. Cakupan matematika sebagai suatu mata pelajaran memang sangat luas. Kemampuan matematika bukan hanya sekedar kemampuan berhitung atau menggunakan rumus, akan tetapi mencakup beberapa kompetensi yang menjadikan siswa tersebut mampu memahami tentang konsep dasar matematika. Siswa tidak hanya mampu memahaminya, namun siswa mampu memanfaatkan pelajaran matematika dalam kehidupannya sehari-hari.
Matematika merupakan salah satu pelajaran yang penting dipelajari oleh siswa, karna matematika merupakan mata pelajaran yang bermanfaat bagi kehidupan khususnya bagi siswa SD. Karso (2014: 1.5) menyatakan bahwa “matematika bagi siswa SD berguna untuk kepentingan hidup pada lingkungannya, untuk mengembangkan pola pikirnya, dan untuk mempelajari ilmu-ilmu yang kemudian”.
Anak usia SD merupakan masa perkembangan cara berfikirnya, dan pada masa itu memiliki karakter berfikir konkrit. Sedangkan pembelajaran matematika dipenuhi dengan simbol-simbol dan lainnya. Karso (2014: 1.4) menyatakan bahwa siswa SD masih ada pada tahap konkrit, sedangkan matematika merupakan ilmu ilmu deduktif, abstrak dan dipenuhi bahasa yang menggunakan simbo-simbol. Karso (2014: 1.8):
Jean Piaget dengan teori belajar yang disebut teori perkembangan mental anak (mental atau intelektual atau kognitif) atau ada pula yang menyebutnya teori teori tingat perkembangan berpikir anak tahapan kemampuan berfikir anak menjadi empat tahapan, yaitu tahap sensori motorik (dari lahir sampai usia 2 tahun) tahap operasional awal/pra konkrit (usia 2 sampai 7 tahun),
tahap operasional/opera konkrit (usia 7 sampai 11 atau 12 tahn), tahap operasional formal/operasi formal (usia 12 tahun keatas).
Mengingat adanya perbedaan antara karakteristik anak SD dan matematika, maka dibutuhkan strategi dan kemampuan khusus guru dalam mengajarkan matematika kepada anak SD. Guru harus mampu menggabungkan dua karakteristik tersebut sehingga menyatu dan dapat masuk pada pemahaman anak SD. Segala hal yang guru sampaikan harus masuk pada daya pikir anak SD. Karso (2014: 1.4) menyatakan bahwa “apa yang dianggap logis dan jelas oleh para ahli dan apa yang dapat diterima oleh orang yang berhasil mempelajarinya, merupakan hal yang tidak masuk akal dan hal yang membingungkan bagi anak-anak”.
Proses penyampaiannya memerlukan kecakapan khusus. Dengan demikian perlu penguasaan terhadap metode penyampaian agar siswa aktif dalam interaksi belajar mengajar. UU RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional BAB XI pasal 40 ayat 2, dalam buku Drajat (2017: 76) bahwa “pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis”.
Upaya yang dilakukan guru dalam menyampaikan pembelajarannya itu menggunakan strategi, model, atau metode yang dirancang dengan baik dan mempermudah dalam penyampaian pembelajaran. Salah satu model pembelajaran yang digunakan guru dalam pembelajaran khususnya pembelajaran matematika yaitu Realistic Mathematic Education (RME) atau Pembelajaran Matematika Realistik (PMR). Pembelajaran Matematika
Realistik (PMR) ini pembelajaran yang mengutamakan pengalaman dikehidupan nyata. Pembelajarannya dihubungkan dengan dunia nyata siswa, hal ini membantu siswa SD yang memiliki karakter konkrit. Dengan membawa pengalaman nyata siswa pada pembelajaran akan membantu pemahaman siswa dalam pembelajaran.
5. Materi Pecahan a. Arti Pecahan
Menurut Karso (2014: 7.2) Pecahan adalah bagian-bagian yang sama dari keseluruhan. Sebagai contoh bilangan 1
2, 2 menunjukkan banyaknya
bagian-bagian yang sama dari suatu keseluruhan dan disebut penyebut; 1 menunjukkan banyaknya bagian yang menjadi perhatian pada saat tertentu dan disebut pembilang.
Dari pendapat diatas maka dapat disimpulkan, pecahan adalah bagian yang sama dari keseluruhan. Kegiatan mengenal pecahan akan lebih berarti bila didahului dengan soal cerita yang menggunakan objek-objek nyata misalnya buah, kue. Setelah itu dapat menggunakan bangun datar. Pecahan
3
4 dapat diperagakan dengan cara menyekat kertas yang berbentuk persegi
panjang menjadi 4 bagian yang sama, warnailah 3 bagian dari 4 bagian yang sama suatu keseluruhan. Bila diilustrasikan sebagai berikut:
Gambar 2 Ilustrasi Bilangan 1 (Sumber: Sumarmi, 2010: 117)
Gambar 3 Ilustrasi Pecahan 𝟑
𝟒
(Sumber: Sumarmi, 2010: 117) Pecahan 3
4 dibaca tiga perempat. Tiga disebut pembilang karena
merupakan 3 bagian yang diperhatikan. Empat disebut penyebut karena merupakan empat bagian yang sama suatu keseluruhan. Makna pecahan 3
4
adalah 3 bagian dari 4 bagian yang sama suatu keseluruhan.
Contoh yang lain: Sekatlah kertas yang berbentuk segienam menjadi 6 bagian yang sama, warnailah 5 bagian dari 6 bagian yang sama suatu keseluruhan. Tentukan pecahan yang diragakan 5 bagian yang diwarnai dari 6 bagian yang sama suatu keseluruhan.
Gambar 4
Bentuk Segienam Ilustrasi Bilangan 1 (Sumber: Sumarmi, 2010: 118)
Gambar 5 Ilustrasi Pecahan 𝟓
𝟔
Pecahan 5
6 dibaca lima perenam. Lima disebut pembilang karena
merupakan lima bagian yang diperhatikan. Enam disebut penyebut karena merupakan enam bagian yang sama dari suatu keseluruhan. Makna pecahan
5
6 adalah 5 bagian dari 6 bagian yang sama dari suatu keseluruhan.
b. Menyajikan Pecahan Melalui Gambar
Setelah menggunakan benda konkret, siswa juga bisa menggunakan media gambar. Menunjukkan pecahan 2
4 , siswa menggambar lingkaran atau
persegi panjang. Gambar lingkaran atau persegi panjang disekat menjadi 4 bagian yang sama besar. Dua bagian diwarnai. Gambar yang dihasilkan sebagai berikut Gambar 6 Lingkaran Ilustrasi 𝟐 𝟒 (Sumber: Sumarmi, 2010: 119) Gambar 7
Persegi Panjang Ilustrasi 𝟐
𝟒
Pecahan 2
4 dibaca dua perempat. Dua disebut pembilang karena
merupakan dua bagian yang diperhatikan. Empat disebut penyebut karena merupakan empat bagian yang sama dari suatu keseluruhan. Makna pecahan
2
4 adalah 2 bagian dari 4 bagian yang sama dari suatu keseluruhan.
Berikut contoh yang lain menunjukkan pecahan 3
6, siswa menggambar
lingkaran atau persegi panjang. Gambar lingkaran atau persegi panjang disekat menjadi 6 bagian yang sama besar. Tiga bagian diwarnai. Gambar yang dihasilkan sebagai berikut
Gambar 8
Lingkaran Ilustrasi Pecahan 𝟑
𝟔
(Sumber: Sumarmi, 2010: 119)
Gambar 9
Persegi Panjang Ilustrasi Pecahan 𝟑
𝟔
(Sumber: Sumarmi, 2010: 117) Pecahan 3
6 dibaca tiga perenam. Tiga disebut pembilang karena
merupakan enam bagian yang sama dari keseluruhan. Makna pecahan
3
6 adalah 3 bagian dari 6 bagian yang sama dari suatu keseluruhan.
c. Menuliskan Letak Pecahan pada Garis Bilangan
Meletakkan pecahan pada garis bilangan berdasarkan jarak satuan dari titik 0. Contoh menulis letak pecahan 1
4, 2 4, 3 4, 4
4 pada garis bilangan.
Pecahan 1
4 diletakkan di sebelah kanan titik 0 serta berjarak satuan
dari titik 0, 2
4 diletakkan di sebelah kanan titik 0 serta berjarak satuan dari
titik 0, 3
4 diletakkan di sebelah kanan titik 0 serta berjarak satuan dari titik 0, 4
4 diletakkan di sebelah kanan titik 0 serta berjarak satuan dari titik 0.
Hasil pengerjaanya sebagai berikut
d. Membandingkan Pecahan Berpenyebut Sama
Contoh membandingkan pecahan berpenyebut sama sebagai berikut. Siswa dibagikan 2 kertas lipat yang berbentuk segienam beraturan. Siswa diminta untuk memperagakan pecahan 1
6 dengan cara siswa menyekat kertas
yang berbentuk segienam beraturan menjadi 6 bagian yang sama besar dan mewarnai 1 bagian. Siswa diminta untuk memperagakan pecahan 2
menyekat kertas berbentuk segienam beraturan menjadi 6 bagian yang sama besar dan mewarnai 2 bagian.
Hasil pengerjaannya sebagai berikut.
Gambar 10 Ilustrasi Pecahan 𝟏 𝟔 (Sumber: Sumarmi, 2010: 118) Gambar 11 Ilustrasi Pecahan 𝟐 𝟔 (Sumber: Sumarmi, 2010: 118)
Dari gambar diatas maka dapat dilihat bahwa luas bagian yang diwarnai pada peragaan pecahan 1
6 lebih sempit dari pada luas bagian yang
diwarnai pada peragaan pecahan 2
6 maka 1 6 <
2 6 .
Contoh lain: pecahan yang lebih kecil dari 2
3 dan 1 3 . Gambar 12 Ilustrasi Pecahan 𝟐 𝟑 (Sumber: Sumarmi, 2010: 117)
Gambar 13 Ilustrasi Pecahan 𝟏
𝟑
(Sumber: Sumarmi, 2010: 117)
Dari gambar 12 dan gambar 13 dapat dilihat bahwa luas bagian yang diwarnai pada ilustrasi 𝟐
𝟑 lebih sempit dari pada luas bagian yang diwarnai
pada ilustrasi 𝟐 𝟑, maka 𝟏 𝟑 < 𝟐 𝟑.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan, untuk pecahan yang penyebutnya sama, pecahan yang pembilangnya lebih besar maka pecahan itu lebih besar. Bila pembilangnya lebih kecil maka pecahannya lebih kecil. e. Mengurutkan Pecahan Berpenyebut Sama
Mengurutkan beberapa pecahan berpenyebut sama dapat menggunakan kesimpulan dari membandingkan pecahan berpenyebut sama. Untuk pecahan yang penyebutnya sama, pecahan yang pembilangnya lebih besar maka pecahan itu lebih besar. Bila pembilangnya lebih kecil maka pecahannya lebih kecil.
Contohnya mengurutkan pecahan berpenyebut sama dari yang terkecil dan terbesar: 2 8, 6 8, 4 8
Mula-mula bandingkan pecahan 2
8 dan 6 8 2 8 < 6
8, sebab kedua pecahan berpenyebut 8, dan 2 lebih kecil dari 6
Bandingkan pecahan 6
8 dan 4 8
6 8 >
4
8, sebab kedua pecahan berpenyebut 8, dan 6 lebih besar dari 4
Bandingkan pecahan 4 8 dan 2 8 4 8 > 2
8, sebab kedua pecahan berpenyebut sama, dan 4 lebih besar dari 2
Dari pengerjaan diatas 6
8 > 4 8 dan 4 8 > 2
8 maka dapat disimpulkan bahwa
pecahan terkeci dari 2
8, 6 8, 4 8 adalah 2 8, 4 8, 6
8. Sedangkan dari yang terbesar
adalah 6 8, 4 8, 2 8.
f. Menentukan Pecahan Senilai Kita akan menunjukkan bahwa 1
2 = 2
4 dengan menggunakan 3 lembar
kertas berbentuk lingkaran yang kongruen.
1) Sebuah kertas berbentuk lingkaran yang memperagakan bilangan satu.
Gambar 14 Ilustrasi Bilangan 1 (Sumber: Sumarmi, 2010: 120)
2) Kertas yang berbentuk lingkaran nomor dua disekat menjadi 2 bagian yang sama besar; 1 bagian yang diwarnai memperagakan pecahan 1
Gambar 15 Ilustrasi Pecahan 𝟏
𝟐
(Sumber: Sumarmi, 2010: 120)
3) Kertas berbentuk lingkaran nomor tiga disekat menjadi 4 bagian yang sama besar; 2 bagian yang diwarnai memperagakan pecahan 2
4.
Gambar 16 Iluatrasi 𝟐
𝟒
(Sumber: Sumarmi, 2010: 120) Peragaan di atas menunjukkan bahwa 1
2 senilai dengan 2
4 karena luas
bagian yang diwarnai pada Iluatrasi 1
2 sama luas dengan bagian yang
diwarnai pada Iluatrasi 2
Selain menggunakan peraga, menentukan pecahan senilai juga dapat menggunakan garis bilangan berikut ini.
Pecahan-pecahan yang terletak pada garis tegak lurus putus-putus yang sama adalah pecahan yang senilai. Dari garis bilangan di atas dapat diketahui pecahan senilai dari:
1 2 = 2 4 = 3 6 1 3 = 2 6 2 3 = 4 6 6. Prestasi Belajar
Menurut Oemar Hamalik dalam Azwar (2016: 8) “Prestasi belajar adalah hal-hal yang telah dicapai oleh seseorang setelah melakukan kegiatan belajar.” Azwar (2016: 15), “Prestasi belajar adalah usaha yang dilakukan siswa dengan
sebaik-baiknya dalam belajar”. Sedangkan menurut Depdiknas dalam Azwar (2016: 8) “Prestasi belajar adalah penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang dikembangkan melalui mata pelajaran, lazimnya ditunjukkan dengan nilai tes atau angka nilai yang diberikan oleh guru.” Dari pengertian prestasi belajar menurut beberapa ahli bahwa prestasi merupakan suatu hal yang diperlukan untuk mengetahui perubahan yang terjadi selama melakukan kegiatan belajar, prestasi yang diperoleh oleh siswa sangat berkaitan erat dengan kegiatan belajar yang dilakukan.
Dari beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar adalah hal-hal yang diperoleh oleh siswa setelah melakukan kegiatan belajar, hasil tersebut ditunjukkan dengan nilai tes yang diberikan oleh guru. Prestasi belajar merupakan suatu pencapaian pengetahuan, keterampilan atau kompetensi siswa yang dikembangkan melalui pembelajaran di sekolah untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Perubahan disadari dan timbul akibat praktek, pengalaman, dan latihan bukan secara kebetulan. Belajar merupakan sebuah perubahan yang diakibatkan oleh tingkah laku, atau kecakapan yang ditujukan dengan reaksi pada kebiasaan, dimana hasil tersebut berasal dari latihan atau terbentuk dari pengalaman.
Prestasi adalah hasil yang diberikan oleh guru kepada siswa berkaitan dengan kemampuan para siswa dalam menguasai isi bahan pelajaran. Jadi tinggi rendahnya prestasi belajar siswa dapat dilihat dari banyak tidaknya
materi pelajaran yang telah dikuasai setelah terjadinya proses belajar yang dapat dilihat dari hasil belajar.
Kata kunci dari pengertian belajar tersebut adalah perubahan tingkah laku. Perubahan disini diartikan bahwa seseorang yang telah mengalami proses belajar akan mengalami perubahan tingkah laku, baik dalam aspek pengetahuannya, keterampilannya, maupun dalam sikapnya. Perubahan tingkah laku dalam aspek pengetahuan ialah tidak mengerti menjadi mengerti, dari bodoh menjadi pintar; dalam aspek keterampilan ialah dari tidak bisa menjadi bisa, dari tidak terampil menjadi terampil; dalam aspek sikap ialah dari ragu-ragu menjadi yakin, dari tidak sopan menjadi sopan, dari kurang ajar menjadi terpelajar.
a. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar
Belajar adalah perubahan yang terjadi dalam diri seseorang. Perubahan yang terjadi dapat berupa penambahan ilmu pengetahuan, tingkahlaku, serta keterampilan. Semakin giat seseorang untuk belajar, semakin besar peluangnya untuk menjadi orang yang memiliki pengetahuan luas. Orang yang memiliki pengetahuan luas, maka semakin besar pula peluang menjadi orang yang berhasil.
Ada beberapa pendorong yang mempengaruhi belajar. Secara umum, ada 2 faktor yang mempengaruhi prestasi belajar siswa, yaitu faktor intern dan ekstern (Azwar, 2016: 54):
1) Faktor Intern
Faktor intern adalah faktor yang timbul dari dalam diri individu itu sendiri, faktor intern digolongkan menjadi:
a) Faktor jasmani yang meliputi kesehatan dan cacat tubuh.
b) Faktor kelelahan yang meliputi kelelahan jasmani dan maupun rohani. c) Faktor psikologi yang meliputi :
(1) Intelegensi (2) Perhatian (3) Minat (4) Bakat (5) Motif (6) Kematangan (7) Kesiapan
Penelitian ini menjelaskan cara untuk meningkatkan prestasi belajar melalui Pendidikan Matematika Realistik (PMR) dengan teknik pair checks maka faktor intern tidak dikaji lebih dalam, karena usaha untuk meningkatkan prestasi belajar dilakukan di sekolah dan usaha tersebut dilakukan oleh peneliti dalam proses pembelajaran.
2) Faktor Ekstern
Faktor ekstern adalah faktor-faktor yang dapat mempengaruhi prestasi belajar yang berasal dari luar, bukan dari dalam diri siswa. Menurut Azwar (2016: 60), faktor ekstern yang dapat mempengaruhi prestasi belajar adalah keadaan keluarga, keadaan sekolah dan lingkungan masyarakat.
Usaha meningkatkan prestasi belajar dilakukan oleh guru dalam proses mengajar di kelas. Usaha meningkatkan prestasi belajar melalui Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) masuk dalam faktor keadaan sekolah. Faktor-faktor keadaan sekolah meliputi:
a) Metode mengajar b) Kurikulum
c) Relasi guru dan siswa d) Relasi siswa dengan siswa e) Disiplin sekolah
f) Alat peraga g) Waktu sekolah
h) Standar pelajaran di atas ukuran i) Keadaan sekolah
j) Metode belajar k) Tugas rumah
Dari beberapa faktor yang mempengaruhi keadaan sekolah, peneliti akan membahas tentang relasi guru dan siswa karena usaha mempengaruhi prestasi belajar siswa pada mata pelajaran matematika melalui RME dengan teknik pair checks dilakukan oleh guru dalam proses mengajar siswa.
B. Kajian Penelitian yang Relevan
Ada beberapa penelitian yang menjadi acuan. Penelitian ini berkaitan dengan penelitian yang akan dilakukan. Diantara penelitian-penelitian yang relevan tersebut, yaitu:
1. Jailani (2014) dalam jurnalnya yang berjudul “Keefektifan Model Pembelajaran Matematika Realistik Ditinjau Dari Prestasi Belajar Dan Kreativitas Siswa Sekolah Dasar” menunjukkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ditinjau dari prestasi belajar dan kreativitas siswa: a. RME dan model cooperative learning tipe STAD sama-sama efektif. b. terdapat perbedaan kefektifan antara RME dengan cooperative
learning tipe STAD.
c. RME lebih efektif dari pada model cooperative learning tipe STAD. 2. Sopia (2015) dalam jurnalnya yang berjudul “Keefektifan Pendekatan
Realistik Ditinjau dari Prestasi Belajar, Kemampuan Pemecahan Masalah dan Kepercayaan Diri Matematika” menunjukkan hasil bahwa:
a. RME efektif ditinjau dari prestasi dan kepercayaan diri namun tidak efektif ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah.
b. RME lebih efektif dari pada pembelajaran konvensional ditinjau dari prestasi belajar, kemampuan pemecahan masalah, dan kepercayaan diri siswa terhadap matematika.
c. Berdasarkan hasil analisis despritif juga menunjukkan bahwa pembelajaran matematika dengan pendekatan RME berdampak positif terhadap prestasi belajar, kemampuan pemecahan masalah, dan kepercayaan diri siswa terhadap matematika.
d. Terdapat perbedaan keefektifan antara kelas eksperimen dan kelas kontrol sehingga menyebabkan pembelajaran matematika dengan pendekatan RME lebih efektif dari pembelajaran konvensional ditinjau
dari prestasi belajar, kemampuan pemecahan masalah, dan kepercayaan diri siswa terhadap matematika.
3. Supriatna (2018) dalam jurnalnya berjudul “Kemampuan Pemahaman Matematis Peserta Didik Melalui Cooperative Learning Tipe Pair Checks VS Problem Based Learning” menyatakan hasilnya bahwa:
a. Tidak terdapat perbedaan peningkatan kemampuana akhir yang signifikan antara peserta didik yang mendapatkan model pembelajaran kooperatif tipe Pair Checks dan model Problem Based Learning.
b. Model pembelajaran pair chacks memberikan hasil kemampuan pemahaman matematis siswa berinterpretasi tinggi.
c. Model problem based learning memberikan hasil kemampuan matematis siswa berinterpretasi tinggi.
d. Tanggapan siswa terhadap model pembelajaran pair checks berinterpretasi baik.
e. Tanggapan siswa terhadap model problem based learning berinterpretasi sangat baik
4. Sukri (2015) dalam jurnalnya yang berjudul “Pengaruh Pendekatan Rme Terhadap Motivasi dan Prestasi Belajar Siswa SD Melalui Pembelajaran Tematik-Integratif” terdapat hasil bahwa:
a. Terdapat pengaruh pendekatan RME terhadap motivasi dan prestasi belajar siswa melalui pembelajaran tematik-integratif.
b. Pembelajaran tematik-integratif dengan pendekatan RME ternyata memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap motivasi dan prestasi
belajar siswa, dalam arti bahwa motivasi dan prestasi belajar siswa dengan menggunakan pendekatan RME lebih besar dibandingkan dengan menggunakan pendekatan biasa (konvensional).
5. Wahyuni (2017) dalam jurnalnya yang berjudul “Pengaruh Pendekatan Matematika Realistik terhadap Motivasi dan Prestasi Belajar Siswa SD” menunjukkan hasil penelitiannya adalah:
a. Ada pengaruh yang signifikan antara pendekatan RME terhadap motivasi siswa pada taraf signifikansi sebesar 0,000<0,05.
b. Ada pengaruh yang signifikan antara pendekatan RME terhadap prestasi belajar siswa pada tarafsignifikansi 0,042< 0,05. Perolehan gain untuk variabel motivasi dan prestasi pada kelas kontrol secara berturut-turut adalah 0,0045 dan 0,0897, sedangkan perolehan gain untuk variabel motivasi dan prestasi pada kelas eksperimen berturut-turut adalah 0,745 dan 0,434.
6. Permadi (2016) dalam jurnalnya yang berjudul “Memahamkan Konsep Pecahan Pada Siswa Kelas IV SDN Sumberejo 03 Kabupaten Malang” hasil belajar siswa pada tes siklus 1 sudah mencapai rata-rata 82,9 dan mengalami peningkatan pada siklus 2 yaitu 88,4. Pada ketuntasan secara klasikal mencapai pada siklus I mencapai 76,2 dan siklus II mencapai 90,5%. Hal ini menunjukkan bahwa pemahamna konsep pecahan pada siswa meningkat. C. Kerangka Berfikir
Pendekatan dan model pembelajaran yang diterapkan oleh guru kepada siswa sangat mempengaruhi kemajuan keberhasilan pembelajaran dan
berdampak pada kemajuan prestasi belajar. Guru harus selektif memilih pendekatan dan pembelajaran yang digunakan guna mempengaruhi prestasi siswa apalagi dalam pembelajaran matematika yang dianggap sulit oleh siswa.
Salah satu pendekatan yang dapat mempengaruhi prestasi siswa pada mata pelajaran matematika adalah RME. RME merupakan pendekatan yang memandang bahwa siswa tidak hanya sebagai penerima tetapi sebagai pengkonstruk konsep matematika. RME mencoba mengenalkan konsep dengan cara memberikan pertanyaan yang berupa masalah yang biasa dialami siswa, sehingga siswa dapat membayangkan situasi yang dihadapi. Siswa dituntut untuk memecahkan sendiri masalah yang diberikan dengan kemampuan dan pengalamannya. Siswa mempresentasikan hasil pengerjaannya. Siswa dibimbing oleh guru untuk memformalkan penyelesaian tersebut. Pendidikan matematika realistik dapat meningkatkan prestasi belajar, karena proses pembelajaran menjadi lebih bermakna sebab siswa memecahkan dan menemukan sendiri pemecahan masalah tersebut.
Salah satu model pembelajaran yaitu pair checks. Model pembelajaran ini salah satu pembelajaran kooperatif. Dalam pelaksanaannya model pembelajaran pair checks melatih siswa untuk bekerja sama, mengemukakan pendapat, dan saling bertukar pendapat.
Dalam penelitian ini pendekatan RME akan diaplikasikan dengan teknik pair checks. Langkah-langkah pembelajaran dalam penelitian ini antara lain:
1. Pembagian kelompok yang terdiri dari 4 orang disetiap kelompoknya. Dalam 4 orang tersebut, dibagi kedalam dua kelompok sehingga menjadi berpasangan.
2. Pemberian permasalahan kontekstual.
3. Dikerjakan dengan pasangannya, dan masing-masing memiliki perannya. Misalkan soal pertama dikerjakan oleh A dan B berperan sebagai penjelas jika A tidak mengerti, begitupun sebaliknya pada soal yang kedua.
4. Ketika selesai mengerjakan, maka hasilnya didiskusikan dengan kelompoknya yang berjumlah 4 orang.
5. Salah satu kelompok mempresentasikan hasilnya, dan kelompok lain memberikan tanggapan.
6. Jika selesai maka disimpulkan oleh guru dan memperkuat materi dengan menggunakan alat yang ada disekitar kelas, misalkan kertas lipat.
Prestasi belajar adalah hasil yang diperoleh oleh siswa setelah melakukan kegiatan belajar, hasil tersebut ditunjukkan dengan nilai tes yang diberikan oleh guru. Faktor yang mempengaruhi prestasi belajar ada dua, yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal yaitu sekolah, khususnya relasi guru dengan siswalah yang paling mempengaruhi peningkatan prestasi belajar.
Gambar 17 Kerangka Berfikir
(Sumber: Dokumentasi Peneliti)
Berdasarkan hasil wawancara yang dilaksanakan oleh peneliti, peneliti mendapatkan beberapa permasalahan. Kemudian peneliti mempelajari permasalahan tersebut dengan melakukan studi awal, membaca berbagai jurnal dan sumber lainnya dan melakukan kajian teori. Sehingga peneliti menyimpulkan bahwa RME dengan teknik Pair checks dapat mempengaruhi prestasi belajar siswa kelas IV SD Babakan Kadu pada materi pecahan.
D. Hipotesis Penelitian
Hipotesis merupakan dugaan sementara peneliti atas penelitiannya yang harus dibuktikan. Jakni (2016:42) bahwa “hipotesis adalah jawaban sementara terhadap hasil penelitian yang akan dilakukan, yang masih memerlukan suatu pembuktian dengan data-data dan fakta-fakta dilapangan, serta berlaku apabila sudah diuji kebenarannya. Ada jenis hipotesis menurut Jakni (2016: 4) yaitu hipotesis alternatif (Ha) dan hipotesis nihil/nol (Ho).
1. Hipotesis alternatif (Ha) merupakan dugaan sementara terhadap hasil penelitian yang dibuktikan dengan adanya kesimpulan setelah adanya
Hasil
Wawancara Studi Awal
Kajian Teori
Hipotesis Penelitian
penelitian yang menyatakan adanya pengaruh atau hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat.
2. Hipotesis nihil/nol (Ho) merupakan hipotesis yang menyatakan tidak adanya pengaruh atau hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat.
Berdasarkan kerangka berfikir, maka hipotesis penelitian ini yaitu: 1. hipotesis alternatif (Ha) yaitu terdapat pengaruh RME dengan teknik Pair
checks terhadap prestasi belajar siswa pada materi pecahan di kelas VI SDN Babakan Kadu.
2. Hipotesis nihil/nol (Ho) dalam penelitian ini yaitu tidak terdapat pengaruh RME dengan teknik Pair checks terhadap prestasi belajar siswa pada materi pecahan di kelas VI SDN Babakan Kadu.
Kriteria Ha dapat diterima yaitu RME dengan teknik Pair Checks dikatakan berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa dalam materi pecahan jika rata-rata postest kelas eksperimen berbeda secara signifikansi dari pada kelas kontrol.