• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEBIJAKAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP TERKAIT PENGELOLAAN LIMBAH B3 TANPA IZIN DI DITRESKRIMSUS POLDA JATENG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEBIJAKAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP TERKAIT PENGELOLAAN LIMBAH B3 TANPA IZIN DI DITRESKRIMSUS POLDA JATENG"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Jurnal Reformasi Hukum Vol. 1. No. 1 September 2017

Kebijakan Penyidikan Tindak Pidana Lingkungan Hidup … (Turyono) KEBIJAKAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP

TERKAIT PENGELOLAAN LIMBAH B3 TANPA IZIN DI DITRESKRIMSUS POLDA JATENG

(Studi Terhadap Kedudukan Sanksi Pidana Sebagai Primum Remedium)

Turyono, Rakhmat Bowo**

* Mahasiswa Magister (S-2) Ilmu Hukum UNISSULA Semarang, email: turyono1980@gmail.com ** Dosen Fakultas Hukum UNISSULA Semarang

ABSTRACT

Rapid polulation growth is being tackled with development and industrialization. But industrialization has e negative impact on people due to environmental pollution. One of these pollutants is hazarddous and toxic waste (B3 waste) which has a very serious impact and the losses incurred can not be recovered in a short time. The purpose of this study is to Firstly analyze whether the principle of primum remedium (the main drug) is appropriately applied to criminal sanctions related to the management of B3 waste without permission according to RI Law No. 32 of 2009. Secondly, is the investigation of the criminal act of B3 waste management without permission by the investigator Ditreskrimsus Polda Jateng using instrument of RI Law No. 32 of 2009 can provide a boost for environmental protection. Third, what obstacles are face in the process of investigation and the solution.

This study uses an empirical legal approach (empirical juridical). The type of data used is primary data and secondary data, with free guided interviews, direct sampling aiming to related institutions, and reviewing secondary data. After the data obtained then analyzed by qualitative normative method, namely fact facts obtained from primary data compared with secondary data study.

Research result first, the application of criminal sanction of B3 waste management without permission according to RI Law No. 32 of 2009 is apporopriate using the principle of primum remedium (the main drug) because it has a very serious impact and a lot of victims; the losses incurred can not be recovered in a short time; and other lighter enforcement mechanisms are not effective or perceived by the perpetrators. Second, that the investigation of the criminal act of unlicensed B3 waste management conducted by the investigator Ditreskrimsus Polda Jateng using the instrument of RI Law No. 32 of 2009 can provide some suport for environmental protection, but it is still less than optimal due to obstacles. Third, the obstacles face by the investigator include the legal substance of the regulation in the criminal provisions related to a maximum of 3 years of criminal penalty so that no detention can be made because it is stuck with the rules of Article 21 paragraph (4) a of KUHAP (detention can only be executed if threatened with criminal prison five years or more).

Keywords: Investigation, B3 Waste Management Without Permission.

1. Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah

Tonggak sejarah masalah lingkungan hidup di Indonesia dimulai dengan diselenggarakannya Seminar Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pembangunan Nasional

(2)

oleh Universitas Pajajaran Bandung pada tanggal 15 – 18 Mei 1972. Faktor terpenting dalam permasalahan lingkungan adalah besarnya populasi manusia (laju pertumbuhan penduduk). Pertumbuhan penduduk yang pesat menimbulkan tantangan yang dicoba diatasi dengan pembangunan dan industrialisasi. Namun industrialisasi disamping mempercepat persediaan segala kebutuhan hidup manusia juga memberi dampak negatif terhadap manusia akibat terjadinya pencemaran lingkungan.

Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.1 Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan berdasarkan asas : tanggungjawab negara; kelestarian dan keberlanjutan; keserasian dan keseimbangan; keterpaduan; manfaat; kehati-hatian; keadilan; ekoregion; keanekaragaman hayati; pencemar membayar; partisipatif; kearifan lokal; tata kelola pemerintahan yang baik; dan otonomi daerah.2

Seiring meningkatnya pertumbuhan ekonomi nasional, maka meningkat juga semua kegiatan manusia dalam skala besar yang berujung dengan masuknya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup terutama dari sektor industri yang menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan hidup yaitu dilampauinya baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan. Dari kegiatan – kegiatan industri yang ada bisa dipastikan mayoritas akan menghasilkan limbah, baik limbah padat, limbah cair ataupun limbah gas yang mana jika tidak dilakukan pengelolaan dengan baik akan berdampak langsung terhadap kerusakan lingkungan hidup secara umum dan ekosistem di lingkungan perusahaan secara khusus.

Limbah dikelompokan menjadi beberapa jenis yaitu : berdasarkan sumbernya, berdasarkan jenis senyawanya, dan berdasarkan wujudnya. Limbah berdasarkan jenis senyawanya terdiri dari :

a. limbah organik, yaitu : limbah yang berasal dari makhluk hidup (alami) dan sifatnya mudah membusuk/terurai;

b. limbah anorganik, yaitu : segala jenis limbah yang tidak dapat atau sulit terurai/membusuk;

1 UU RI No. 32 Tahun 2009 tentang PPLH, BAB I Ketentuan Umum, Pasal 1 angka 2. 2 UU RI No. 32 Tahun 2009 tentang PPLH, BAB II Asas, Tujuan dan Ruang Lingkup, Pasal 2.

(3)

Jurnal Reformasi Hukum Vol. 1. No. 1 September 2017

Kebijakan Penyidikan Tindak Pidana Lingkungan Hidup … (Turyono)

c. limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), yaitu : limbah yang secara langsung maupun tidak langsung dapat mencemarkan, membahayakan lingkungan, kesehatan dan kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya.3

Sebagian besar undang – undang yang ada di Indonesia menempatkan sanksi pidana sebagai ultimum Remedium atau obat terakhir yaitu sedapat mungkin dibatasi, artinya kalau bagian lain dari hukum itu tidak cukup untuk menegakan norma-norma yang diakui oleh hukum, barulah hukum pidana diterapkan. Namun berbeda pada Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, khususnya terkait dengan pengelolaan limbah B3 tanpa izin menempatkan sanksi pidana sebagai Primum

Remedium yaitu hukuman bukan lagi menjadi obat terkahir melainkan menjadi obat

pertama untuk membuat jera orang yang melakukan pelanggaran yang bersifat pidana. Hukuman pidana dijadikan hal yang paling penting untuk menghukum pelaku yang dapat merugikan ataupun mengganggu ketentraman umum. Dari perspektif sosiologis hal ini dikarenakan perbuatan yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2009 khususnya terkait dengan pengelolaan limbah B3 tanpa izin tersebut merupakan tindakan yang “luar biasa” dan besar dampaknya bagi lingkungan hidup dan bagi masyarakat. Sehingga dalam hal ini tidak lagi mempertimbangkan penggunaan sanksi lain, karena dirasa sudah tepat apabila langsung menggunakan atau menjatuhkan sanksi pidana terhadap para pelaku tindak pidana tersebut.

Kepolisian sebagai salah satu komponen Criminal Justice System merupakan ujung tombak dalam penegakan hukum yang diawali dengan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana lingkungan hidup terkait pengelolaan limbah B3 tanpa izin dengan menempatkan sanksi pidana sebagai Primum Remedium (obat pertama) diharapkan bisa memberikan efek jera kepada pelaku dan juga orang lain agar tidak melakukan hal yang sama sehingga dengan adanya penyidikan tersebut secara tidak langsung ikut mendorong/menyokong terhadap perlindungan lingkungan hidup.

Bahwa setiap pengelola limbah B3 wajib dilengkapi dengan izin pengelolaan limbah B3, setiap penghasil limbah B3 wajib melakukan pengelolaan, dan setiap dumping (pembuangan) limbah wajib dilengkapi dengan izin, dimana dalam izin tersebut mensyaratkan kewajiban- kewajiban teknis pemegang izin untuk mengedepankan perlindungan lingkungan hidup. Namun fakta di lapangan berkata lain, banyak orang yang

(4)

melakukan pengelolaan limbah B3 (pengurangan, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan, dan/atau penimbunan) enggan melengkapinya dengan izin pengelolaan limbah B3, kemudian orang yang menghasilkan limbah B3 juga enggan melakukan pengelolaan limbah B3 dengan alasan akan memakan banyak biaya jika harus mengolah sendiri karena harus dilengkapi dengan izin pengolahan limbah B3 yang mana untuk mengurusnya sulit dan memakan banyak biaya, dan jika akan diserahkan kepada pihak lain yang telah memiliki izin pemanfaatan/pengumpulan limbah B3 juga harus mengeluarkan banyak biaya juga, sehingga fakta dilapangan banyak penghasil limbah B3 yang langsung membuang limbah B3 yang dihasilkannya ke media lingkungan hidup tanpa izin.

Berdasarkan fenomena di atas maka penulis melaksanakan penelitian dan menuangkannya dalam tesis berjudul : “Kebijakan Penyidikan Tindak Pidana Lingkungan Hidup Terkait Pengelolaan Limbah B3 Tanpa Izin di Ditreskrimsus Polda Jateng (Studi Terhadap Kedudukan Sanksi Pidana Sebagai Primum Remedium)”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut :

1. Mengapa sanksi pidana lingkungan hidup terkait pengelolaan limbah B3 tanpa izin ditempatkan sebagai Primum Remedium menurut UU No. 32 Tahun 2009 ?

2. Apakah penyidikan tindak pidana lingkungan hidup terkait pengelolaan limbah B3 tanpa izin di Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Jateng dalam hukum positif saat ini dapat memberikan dorongan bagi perlindungan lingkungan hidup ?

3. Hambatan apa yang ditemukan dalam penyidikan tindak pidana lingkungan hidup terkait pengelolaan limbah B3 tanpa izin di Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Jateng dan solusi apa yang diperlukan agar pelaksanaan penyidikan tersebut dapat mendorong perlindungan lingkungan hidup di masa yang akan datang ?

2. Pembahasan

A. Sanksi Pidana Lingkungan Hidup Terkait Pengelolaan Limbah B3 Tanpa Izin Ditempatkan Sebagai Primum Remedium Menurut UU No. 32 Tahun 2009.

Masalah sanksi menjadi isu penting dalam hukum pidana karena dipandang sebagai pencerminan sebuah norma dan kaidah yang mengandung tata nilai yang ada di dalam sebuah masyarakat. Adanya pengaturan dan penjatuhan sanksi muncul akibat adanya reaksi

(5)

Jurnal Reformasi Hukum Vol. 1. No. 1 September 2017

Kebijakan Penyidikan Tindak Pidana Lingkungan Hidup … (Turyono)

dan kebutuhan masyarakat terhadap pelanggaran/kejahatan yang terjadi. Untuk itu, Negara sebagai perwakilan dari masyarakat menggunakan kewenangannya dalam mengatasi permasalahannya melalui kebijakan pidana (criminal policy). Mengutip pendapat dari H.G de Bunt dalam bukunya strafrechtelijke handhaving van miliue recht, hukum pidana dapat menjadi Primum Remedium jika korban sangat besar, tersangka/terdakwa merupakan recidivist, dan kerugian tidak dapat dipulihkan (irreparable).4

Bahwa mengacu pada beberapa pendapat ahli di atas mengenai penggunaan hukum pidana, maka Syarat Hukum Pidana/Sanksi Pidana dapat dijadikan sebagai suatu Primum remedium yaitu :

1) Apabila sangat dibutuhkan dan hukum yang lain tidak dapat digunakan (mercenary); 2) Menimbulkan korban yang sangat banyak;

3) Tersangka/terdakwa merupakan recidivist;

4) Kerugiannya tidak dapat dipulihkan (irreparable);

5) Apabila mekanisme penegakan hukum lainnya yang lebih ringan telah tiada berdaya guna atau tidak dipandang.

Penegakan hukum pidana di dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 memperkenalkan ancaman hukuman minimum di samping hukuman maksimum, perluasan alat bukti, pemidanaan bagi pelanggaran baku mutu, keterpaduan penegakan hukum pidana, dan pengaturan tindak pidana korporasi. Penegakan hukum pidana lingkungan terkait pengelolaan limbah B3 di dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 menggunakan asas

Premum Remedium disebabkan antara lain :

1) Bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sangat dibutuhkan baik ditingkat nasional maupun global dan tidak ada hukum yang lain yang dapat digunakan (mercenary) untuk menjerat para pelaku tindak pidana lingkungan hidup;

2) Bahwa tindak pidana lingkungan hidup khususnya pengelolaan limbah B3 dapat menimbulkan korban yang sangat banyak (masyarakat luas);

3) Bahwa tersangka/terdakwa pelaku tindak pidana lingkungan hidup khususnya pengelolaan limbah B3 mayoritas merupakan recidivist yaitu perbuatan tersebut dilakukan secara berulang dan terus-menerus;

4) Bahwa kerugian yang ditimbulkan dari perbuatan tindak pidana lingkungan hidup

4 Romli Atmasasmita, 2010, Globalisasi dan Kejahatan Bisnis, Cetakan Ke-1, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,

(6)

khususnya pengelolaan limbah B3 tidak dapat dipulihkan (irreparable) dalam waktu yang singkat;

5) Bahwa mekanisme penegakan hukum lainnya yang lebih ringan seperti teguran/surat peringatan dari instansi terkait tiada berdaya guna atau tidak dipandang oleh para pelaku tindak pidana lingkungan hidup khususnya pengelolaan limbah B3.

Dan delik lingkungan hidup khususnya pengelolaan limbah B3 menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia, dan dalam penegakannya sudah memenuhi 3 (tiga) unsur fundamental hukum, antara lain : kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemanfaatan (Zweckmassigkeit) dan keadilan (Gerechtigkeit).

Berdasarkan uraian tersebut di atas, pemberian sanksi pidana lingkungan hidup khususnya pengelolaan limbah B3 menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 sudah tepat menempatkannya sebagai Primum Remedium.

B. Penyidikan Tindak Pidana Lingkungan Hidup Terkait Pengelolaan Limbah B3 Tanpa Izin Di Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Jateng Dalam Hukum Positif Saat Ini Dapat Memberikan Dorongan Bagi Perlindungan Lingkungan Hidup.

Setelah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mulai diundangkan tanggal 3 Oktober 2009, untuk penanganan perkara tindak pidana dibidang lingkungan hidup pun belum mengalami banyak perubahan. Sejak tahun 2011 yaitu sejak terbentuknya Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Jateng, ada kebijakan dari pimpinan Polri bahwa Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Jateng hanya khusus menangani perkara tindak pidana di luar KUHP, dan sejak saat itu di Unit III Subdit IV / Tipidter yang salah satu tugas pokoknya menangani perkara di bidang lingkungan hidup mulai aktif melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana di bidang lingkungan hidup menggunakan payung hukum Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Di tahun awal terbentuknya Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Jateng khususnya di Unit III Subdit IV/Tipidter mengalami banyak hambatan dalam pelaksanaan tugasnya, antara lain : kurangnya personil, bidang tugas yang menjadi tanggungjawabnya banyak, wilayah hukum yang harus diampu terlalu luas meliputi wilayah Provinsi Jawa Tengah, sehingga berdampak juga terhadap penanganan tindak pidana lingkungan hidup

(7)

Jurnal Reformasi Hukum Vol. 1. No. 1 September 2017

Kebijakan Penyidikan Tindak Pidana Lingkungan Hidup … (Turyono)

yang menjadi salah satu tugas tanggungjawabnya tidak maksimal.

Hasil interview dengan para penyidik Unit III Subdit IV/Tipidter Ditreskrimsus Polda Jateng yang menangani perkara tindak pidana pengelolaan limbah B3 tanpa izin, bisa disimpulkan bahwa dengan adanya penyidikan tindak pidana pengelolaan limbah B3 tanpa izin di Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Jateng menggunakan instrumen Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sedikit banyak dapat memberikan dorongan bagi perlindungan lingkungan hidup, namun demikian dalam pelaksanaan penyelidikan dan penyidikannya penyidik masih mengalami hambatan sehingga hasilnya kurang optimal, adapun hambatannya akan dibahas lebih lanjut.

C. Hambatan Yang Ditemukan Dalam Penyidikan Tindak Pidana Lingkungan Hidup Terkait Pengelolaan Limbah B3 Tanpa Izin Di Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Jateng Dan Solusi Yang Diperlukan Agar Penyidikan Tersebut Dapat Mendorong Perlindungan Lingkungan Hidup Di Masa Yang Akan Datang.

1) Hambatan

Pada tahap aplikasi/penerapan hukum di lapangan biasanya akan menghadapi banyak hambatan termasuk dalam hal penegakan hukum tindak pidana lingkungan hidup terkait pengelolaan limbah B3 tanpa izin yang dilakukan oleh penyidik Unit III Subdit IV/Tipidter Ditreskrimsus Polda Jateng juga mengalami hambatan secara teknis dan nonteknis pada unsur sistem hukum berupa struktur/kelembagaan, substansi/peraturan dan kultur/budaya hukum.

Bahwa hambatan yang dihadapi oleh penyidik antara lain substansi ancaman sanksi pidana pada Pasal 102, Pasal 103 dan Pasal 104 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 yaitu pidana penjara maksimal 3 (tiga) tahun, hal itu menjadi hambatan atau kendala dalam proses penyidikan oleh penyidik Unit III Subdit IV/Tipidter Ditreskrimsus Polda Jateng yaitu tidak bisa dilakukan penahanan jika tersangkanya dikhawatirkan akan melarikan diri karena terbentur aturan Pasal 21 ayat (4) huruf a KUHAP (Penahanan hanya dapat dikenakan terhadap tersangka yang melakukan tindak pidana atau percobaan maupun pemberi bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih).

Selain hambatan substansi hukum tersebut, penyidik juga mengalami hambatan struktur hukum yaitu hambatan di internal kepolisian berupa teknis dan nonteknis dalam pelaksanaan

(8)

penyidikan perkara tindak pidana pengelolaan limbah B3 tanpa izin antara lain : keterbatasan personil penyidik/penyidik pembantu, terlalu panjang pembuatan administrasi penyidikan, kurangnya sarana dan prasarana penyelidikan dan penyidikan, lamanya waktu uji laboratorium barang bukti, penanganan barang bukti limbah B3, dan lain-lain.

2) Solusi

Untuk hambatan substansi ancaman sanksi pidana pada Pasal 102, Pasal 103 dan Pasal 104 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 yaitu pidana penjara maksimal 3 (tiga) tahun sehingga tidak bisa dilakukan penahanan karena terbentur aturan Pasal 21 ayat (4) huruf a KUHAP, perlu segera diterbitkan Perpu yang merubah ancaman pidana penjara yang awalnya maksimal 3 tahun dirubah menjadi 5 tahun atau lebih sehingga pihak penyidik bisa melakukan penahanan jika dianggap perlu.

Untuk hambatan struktur hukum yaitu hambatan di internal kepolisian berupa teknis dan nonteknis dalam pelaksanaan penyidikan perkara tindak pidana pengelolaan limbah B3 tanpa izin, perlu adanya dukungan maksimal dari semua instansi terkait terutama dari pimpinan Polri untuk bisa mengatasi semua hambatan yang dihadapi oleh penyidik sehingga hasilnya akan optimal dalam mendorong perlindungan lingkungan hidup di masa yang akan datang.

3. Penutup Kesimpulan

1. Bahwa penerapan sanksi pidana pengelolaan limbah B3 tanpa izin menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sudah tepat menggunakan asas Primum Remedium (obat yang utama) karena tindak pidana pengelolaan limbah B3 tanpa izin dapat menimbulkan dampak yang sangat serius dan korban yang sangat banyak (masyarakat luas); para tersangkanya mayoritas merupakan recidivist yaitu perbuatan tersebut dilakukan secara berulang dan terus-menerus; dan kerugian yang ditimbulkan dari perbuatan tersebut tidak dapat dipulihkan (irreparable) dalam waktu yang singkat; dan mekanisme penegakan hukum lainnya yang lebih ringan seperti teguran/surat peringatan dari instansi terkait tiada berdaya guna atau tidak dipandang oleh para pelaku tindak pidana pengelolaan limbah B3 tanpa izin.

2. Bahwa penyidikan perkara tindak pidana pengelolaan limbah B3 tanpa izin yang dilakukan oleh penyidik Unit III Subdit IV/Tipidter Ditreskrimsus Polda Jateng dalam hukum positif

(9)

Jurnal Reformasi Hukum Vol. 1. No. 1 September 2017

Kebijakan Penyidikan Tindak Pidana Lingkungan Hidup … (Turyono)

saat ini menggunakan instrumen Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sedikit banyak dapat memberikan dorongan bagi perlindungan lingkungan hidup, namun masih kurang optimal dikarenakan adanya hambatan substansi hukum yaitu regulasi peraturan dalam ketentuan pidana terkait ancaman pidana maksimal 3 tahun sehingga tidak dapat dilakukan penahanan dikarenakan terbentur dengan aturan Pasal 21 ayat (4) huruf a KUHAP (Penahanan hanya dapat dilaksanakan jika diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih) sehingga penyidik tidak bisa melakukan penahanan jika tersangkanya dikhawatirkan akan melarikan diri. 3. Selain hambatan substansi hukum tersebut, penyidik juga mengalami hambatan struktur

hukum yaitu hambatan di internal kepolisian berupa teknis dan nonteknis dalam pelaksanaan penyidikan perkara tindak pidana pengelolaan limbah B3 tanpa izin yang perlu segera diperbaiki dan ditingkatkan serta mendapatkan prioritas yang utama dari para pemangku kepentingan terutama pimpinan Polri.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Ahmad Rifai, 2010. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Persfektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta.

Andi Hamzah, 2010. Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta.

Andrisman, Tri, 2009, Asas-Asas dan Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia, Universitas Lampung, Bandar Lampung.

Barda Nawawi Arief, 2001, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan

Kejahatan, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Ediwarman, 2010, Monograf, Metodologi Penelitian Hukum, Program Pascasarjana Univ. Muhammadiyah Sumatera Utara, Medan.

Fuad Usfa. A dan Tongat, 2004, Pengantar Hukum Pidana, UMM Press, Malang.

Melda Kamil Ariadno, 2007, Hukum Internasional Hukum yang Hidup, Diadit Media, Jakarta. Moleong, lexy, 2008, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung.

Moeljatno, 1987, Azas-Azas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta.

Muhamad Erwin, 2008, Hukum Lingkungan dalam Sistem Kebijaksanaan Pembangunan

(10)

N.H.T Siahaan, 2004, Hukum Lingkungan Dan Ekologi Pembangunan, Erlangga, Jakarta. R.M. Gatot P. Soemartono, 1996, Hukum Lingkungan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.

Romli Atmasasmita, 2010, Globalisasi dan Kejahatan Bisnis, Cetakan Ke-1, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Satochid Kartanegara, 1998, Hukum Pidana, Kumpulan Kuliyah Bagian Dua, Balai Lektur Mahasiswa, Jakarta.

Satjipto Rahardjo, 1998, Bunga Rampai Permasalahan dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Jakarta, Jakarta.

Siti Sundari Rangkuti, 2011, Hukum Pidana Horizon Baru Pasca Reformasi, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Sodikin, 1997, Penegakan Hukum Lingkungan Tinjauan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun

1997, Djambatan, Jakarta.

Soerjono Soekamto dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif suatu Tinjauan

Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Sudikno Mertokusumo, 2005, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta.

Tongat, 2008, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan, UMM Press, Malang.

Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah

Bahan Berbahaya dan Beracun.

Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa 48 anakan alam ulin terdiri dari individu dengan kedekatan genetik tinggi dan beberapa individu klon.. Hal ini dapat menjadi salah satu

82 Tahun 2001, secara keseluruhan masih memenuhi baku mutu air kelas dua untuk air baku air minum, memenuhi baku mutu kelas tiga untuk perikanan, pertanian dan baku mutu kelas

Bengkalis dan Siak. Sebelah Selatan, berbatasan dengan Provinsi Sumatra Barat. Di Kabupaten Rokan Hulu memiliki banyak objek wisata, baik wisata alam maupun wisata

Besarnya peluang atau kecenderungan perubahan kualitas hidup, perilaku dan pengetahuan bahwa intervensi edukasi palliative care memberikan pengaruh (affect)

*Alat Peraga Pendidikan *Elektrikal Mekanikal *Komputer *Laboratorium *Percetakan.. Office : Jl.Maulana Hasanudin No.52

Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan positif yang signifikan antara kepemimpinan transformasional dengan disiplin kerja pada Pegawai Balai Rehabilitasi Sosial Mardi

Tujuan penyampaian materi ini adalah agar mitra memiliki wawasan dan pengetahuan tentang prosedur dan syarat pengajuan sertifikat halal dan sertifikat kesesuaian syariah serta

Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Hendratmo (2016) yang menitikberatkan pada peran kepuasan kerja sebagai perantara karakteristik individu,