• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

Atresia bilier ditandai tidak ada atau kecilnya lumen pada sebagian atau keseluruhan traktus bilier ekstrahepatik yang menyebabkan hambatan aliran empedu.Akibatnya di dalam hati dan darah terjadi penumpukan garam empedu dan peningkatan bilirubin direk. Atresia bilier merupakan hasil akhir destruksi, idiopatik dan proses inflamasi yang mempengaruhi intra dan ekstrahepatik saluran empedu, menyebabkan fibrosis dan obliterasi saluran empedu dan akhirnya berkembang menjadi sirosis bilier. Saat ini, tidak ada terapi khusus yang efektif menghentikan atau membalikkan kolestasis dan kerusakan hati pada anak dengan atresia bilier. Satu-satunya pilihan terapi untuk meningkatkan aliran empedu dan menghentikan ikterus adalah hepatoportoenterostomy. Karena itu diagnosis dini atresia bilier sangat penting terhadap hasil pengobatan.1

Hanya tindakan bedah yang dapat mengatasi atresia bilier. Bila tindakan bedah dilakukan pada usia 8 minggu, angka keberhasilannya adalah 86%, tetapi bila pembedahan dilakukan pada usia > 8 minggu maka angka keberhasilannya hanya 36%. Sehingga diagnosis atresia bilier harus ditegakkan sedini mungkin, sebelum usia 8 minggu (< 2 bulan).2,3 Standar acuan untuk diagnosis atresia bilier adalah laparotomi dengan cholangiography intraoperatif karena hanya prosedur ini yang dapat mengkonfirmasi atau menyingkirkan diagnosis atresia bilier dengan pasti.4

Ultrasonografi merupakan salah satu alat diagnostik untuk diferensiasi awal atresia bilier terhadap penyebab lain dari kolestasis neonatal. Ultrasonografi merupakan modalitas radiologis non invasive yang paling umum digunakan untuk diagnosis preoperatif atresia bilier.4 Telah dilaporkan bahwa Triangular Cord Sign (TACS) pada pemeriksaan ultrasonografi merupakan tanda yang dapat diandalkan untuk diagnosis atresia bilier.1 TACS didefinisikan sebagai adanya suatu segitiga abnormal atau daerah echogenic tubular di wilayah porta hepatis pada pemindaian ultrasonografi (USG) melintang atau longitudinal.5

Sebuah penelitian menunjukkan ultrasonografi pra operasi memiliki akurasi yang sangat tinggi (lebih dari 98%) untuk diagnosis atresia bilier.6 Oleh karena itu, tujuan dari

(2)

penulisan referat ini adalah untuk mengetahui peran ultrasonografi dalam diagnosis atresia bilier preoperatif secara akurat sehingga temuan dari pemeriksaan ultrasonografi dapat membantu klinisi dalam memberikan terapi bedah yang tepat.

BAB II

(3)

A. DEFINISI

Atresia bilier merupakan proses peradangan progresif idiopatik pada saluran empedu ekstrahepatik dengan obliterasi dan kerusakan yang sedang berlangsung bersamaan dari saluran empedu intrahepatik mengakibatkan kolestasis kronis, fibrosis progresif, dan akhirnya sirosis bilier.7

B. EPIDEMIOLOGI

Angka kejadian atresia bilier sekitar 5-32 kasus per 100.000 kelahiran hidup, itu merupakan hampir sepertiga dari semua kasus neonatal kolestasis. Insiden yang dilaporkan adalah tertinggi di Asia dan Pasifik. Perkiraan di Taiwan dan Jepang berkisar 1,1-3,7 kasus per 10.000 kelahiran hidup, sementara itu di Eropa Barat terjadi pada sekitar 1 dari 18.000 kelahiran hidup. DiAmerika Serikat, atresia bilier terjadi dengan frekuensi yang diperkirakan 1 dalam 8000 sampai 15.000 kelahiran hidup, kira-kira 250-400 kasus baru per tahun.7 Wanita sedikit lebih sering daripada laki-laki. Rasio atresia bilier pada anak perempuan dan anak laki-laki.(1,4:1,5). Dari 904 kasus atresia bilier yang terdaftar di lebih 100 institusi, atresia bilier didapat pada ras Kaukasia (62%), berkulit hitam (20%), Hispanik (11%), Asia (4,2%) dan Indian Amerika (1,5%).8

C. ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI

Etiologi atresia bilier masih belum diketahui dengan pasti. Sebagian ahli menyatakan bahwa faktor genetik ikut berperan, yang dikaitkan dengan adanya kelainan kromosom trisomi 17,18 dan 21 serta terdapatnya anomali organ pada 10-30% kasus atresia bilier. Namun, sebagian besar penulis berpendapat bahwa atresia bilier adalah akibat proses inflamasi yang merusak duktus bilier, bisa karena infeksi atau iskemi.7

Patofisiologi atresia bilier juga belum diketahui dengan pasti. Berdasarkan gambaran histopatologik, diketahui bahwa atresia bilier terjadi karena proses inflamasi berkepanjangan yang menyebabkan duktus bilier ekstrahepatik mengalami kerusakan secara progresif. Pada keadaan lanjut proses inflamasi menyebar ke duktus bilier intrahepatik, sehingga akan mengalami kerusakan yang progresif pula.7

(4)

D. ANATOMI DAN FISIOLOGI SISTEMA BILIER

Sistema biliaris terdiri dari ductus hepaticus kanan dan kiri, duktus cysticus, ductus kholedokus dan kandung empedu. Empedu yang dihasilkan hepatosit akan disekresikan ke dalam kanalikuli dalam suatu saluran kecil empedu yang terletak di dalam hati yang secara perlahan akan membentuk saluran yang lebih besar dan selanjutnya ditampung di dalam kandung empedu (Gallbladder). Saluran kecil ini memiliki epitel kubis yang bisa mengembang secara bertahap bila saluran empedu membesar. Saluran empedu intrahepatik secara perlahan menyatu membentuk saluran yang besar yang dapat menyalurkan empedu ke delapan segmen hati. Di dalam segmen hati kanan, gabungan cabang-cabang ini membentuk sebuah saluran di anterior dan superior yang kemudian bergabung membentuk duktus hepatikus kanan. Pada beberapa orang, duktus hepatikus kanan berada ± 1 cm di luar hati. Duktus ini kemudian bergabung dengan 3 segmen dari segmen hati kiri (duktus hepatikus kiri) menjadi duktus hepatikus komunis.9,10

Duktus hepatis komunis ini bergabung dengan duktus cystikus dari kandung empedu untuk membentuk Common bile duct (CBD) atau disebut juga duktus kholedokus, yang memasuki duodenum melalui ampulla vateri. Kandung empedu menerima suplai darah terbesar dari jalinan pembuluh darah cabang arteri hepatika kanan. Empedu mengalir dari hati melalui duktus hepatikus kiri dan kanan. Kandung empedu dapat menampung ± 50 ml cairan empedu dengan ukuran panjang 8 – 10 cm dan terdiri atas fundus, korpus, dan kolum. Lapisan mukosanya membentuk cekungan kecil dekat dengan kolum yang disebut kantong Hartman, yang bisa menjadi tempat tertimbunnya batu empedu.9,10

Sebelum makan, garam-garam empedu menumpuk di dalam kandung empedu dan hanya sedikit empedu yang mengalir dari hati. Makanan di dalam duodenum memicu serangkaian sinyal hormonal dan sinyal saraf sehingga kandung empedu berkontraksi. Sebagai akibatnya, empedu mengalir ke dalam duodenum dan bercampur dengan makanan. Empedu memiliki 2 fungsi penting yaitu membantu pencernaan dan penyerapan lemak, berperan dalam pembuangan limbah tertentu dari tubuh terutama hemoglobin yang berasal dari penghancuran sel darah merah dan kelebihan kolesterol.2,9,10

Secara spesifik empedu berperan dalam berbagai proses yakni garam empedu meningkatkan kelarutan kolesterol, lemak dan vitamin yang larut dalam lemak untuk

(5)

membantu proses penyerapan; garam empedu merangsang pelepasan air oleh usus besar untuk membantu menggerakkan isinya; bilirubin (pigmen utama dari empedu) dibuang ke dalam empedu sebagai limbah dari sel darah merah yang dihancurkan; obat dan limbah lainnya dibuang dalam empedu dan selanjutnya dibuang dari tubuh; berbagai protein yang berperan dalam fungsi empedu dibuang di dalam empedu.9,10

Garam empedu kembali diserap ke dalam usus halus, disuling oleh hati dan dialirkan kembali ke dalam empedu. Sirkulasi ini dikenal sebagai sirkulasi enterohepatik.Seluruh garam empedu di dalam tubuh mengalami sirkulasi sebanyak 10-12 kali/hari. Dalam setiap sirkulasi, sejumlah kecil garam empedu masuk ke dalam usus besar (kolon). Di dalam kolon, bakteri memecah garam empedu menjadi berbagai unsur pokok. Beberapa dari unsur pokok ini diserap kembali dan sisanya dibuang bersama tinja.2,9,10

E. KLASIFIKASI

Secara klinis atresia bilier di bagi menjadi dua klasifikasi yaitu embrionik dan perinatal. Perinatal, (acquired atau non-sindromik) merupakan bentuk atresia bilier yang menyumbang sekitar 90% bayi. Pasien dengan tipe ini tidak menunjukkan gejala, tidak ikterik saat lahir, dan mengembangkan penyakit kuning pada minggu pertama setelah dilahirkan. Embrio (sindromik) merupakan bentuk atresia bilier pasien dengan penyakit kuning tidak bebas interval dan menderita satu atau lebih kelainan kongenital.7

Kasai mengajukan klasifikasi atresia bilier sebagai berikut :2,7

I. Atresia (sebagian atau total) duktus bilier komunis, segmen proksimal paten.

IIa. Obliterasi duktus hepatikus komunis (duktus bilier komunis, duktus sistikus, dan kandung empedu semuanya normal.

IIb. Obliterasi duktus bilier komunis, duktus hepatikus komunis, duktus sistikus. Kandung empedu normal.

III. Semua sistem duktus bilier ekstrahepatik mengalami obli-terasi, sampai ke hilus.

Tipe I dan II merupakan jenis atresia bilier yang dapat dioperasi (correctable), sedangkan tipe III adalah bentuk yang tidak dapat dioperasi (non-correctable). Sayangnya dari semua kasus atresia

(6)

bilier, hanya 10% yang tergolong tipe I dan II.2

F. DIAGNOSIS

Diagnosis atresia bilier ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Manifestasi klinis utama atresia bilier adalah tinja akolik, air kemih seperti air teh, dan ikterus. Ada empat keadaan klinis yang dapat dipakai sebagai patokan untuk membedakan antara kolestasis intrahepatik dan ekstrahepatik, yaitu: berat badan lahir, warna tinja, umur penderita saat tinja mulai akolik, dan keadaan hepar. Langkah pertama dalam diagnosis adalah identifikasi hiperbilirubinemia terkonjugasi pada bayi dengan ikterus yang berkepanjangan (lebih dari 2 minggu usia), pucat tinja, atau urin gelap. Pemeriksaan warna dari spesimen tinja segar mungkin berguna dalam membedakan kolestasis (tinja tanah liat) dari hiperbilirubinemia indirek (tinja kuning cerah). Riwayat pemeriksaan fisik dapat memandu studi diagnostik untuk mengidentifikasi penyebab spesifik dari kolestasis intrahepatik.7

.

G. MANIFESTASI KLINIS

Bayi dengan kolestasis ditandai hiperbilirubinemia terkonjugasi dalam waktu lama (berlangsung lebih dari dua minggu kehidupan) yang secara klinis tinja tampak pucat (acholic), urin berwarna gelap dan hepatomegali. Namun, tidak ada satu pun gejala atau tanda klinis yang patognomonik untuk atresia bilier. Keadaan umum bayi biasanya baik. Tidak ada gagal tumbuh, setidaknya dalam bulan-bulan pertama. Setelah itu, penurunan berat badan dan mudah tersinggung muncul, disertai dengan peningkatan level penyakit kuning. kemudian tanda-tanda splenomegali (menunjukkan portal hipertensi), asites dan perdarahan (dapat intrakranial, gastrointestinal atau dari pusar ) karena gangguan penyerapan vitamin K. Jika tidak diobati, kondisi ini menyebabkan sirosis dan kematian dalam tahun pertama kehidupan.7

Dalam pengalaman kami, perdarahan intrakranial mungkin presentasi awal bahkan sebelum munculnya penyakit kuning. Kolestasis ekstrahepatik hampir selalu menyebabkan tinja yang akolik. Sehubungan dengan itu sebagai upaya penjaring kasar tahap pertama, dianjurkan melakukan pengumpulan tinja 3 porsi. Bila selama beberapa hari ketiga porsi

(7)

tinja tetap akolik, maka kemungkinan besar diagnosisnya adalah kolestasis ekstrahepatik. Sedangkan pada kolestasis intrahepatik, warna tinja dempul berfluktuasi pada pemeriksaan tinja 3 porsi.7,8

.

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Belum ada satu pun pemeriksaan penunjang yang dapat sepenuhnya diandalkan untuk membedakan antara kolestasis intrahepatik dan ekstrahepatik. Secara garis besar, pemeriksaan dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu pemeriksaan :7

1) Laboratorium rutin dan khusus untuk menentukan etiologi dan mengetahui fungsi hati (darah, urin, tinja);

2) Pencitraan, untuk menentukan patensi saluran empedu dan menilai parenkim hati;

3) Biopsi hati, terutama bila pemeriksaan lain belum dapat menunjang diagnosis atresia bilier.

1) Pemeriksaan laboratorium a) Pemeriksaan rutin

Pada setiap kasus kolestasis harus dilakukan pemeriksaan kadar komponen bilirubin untuk membedakannya dari hiperbilirubinemia fisiologis. Sclain itu dilakukan pemeriksaan darah tepi lengkap, uji fungsi hati, dan gamma-GT. Kadar bilirubin direk < 4 mg/dl tidak sesuai dengan obstruksi total. Peningkatan kadar SGOT/SGPT> 10 kali dengan pcningkatan gamma-GT < 5 kali, lebih mengarah ke suatu kelainan hepatoseluler. Sebaliknya, peningkatan SGOT< 5 kali dengan peningkatan gamma-GT > 5 kali, lebih mengarah ke kolestasis ekstrahepatik. Menurut Fitzgerald, kadar gamma-GT yang rcndah tidak menyingkirkan kemungkinan atresia bilier. Kombinasi peningkatan gamma-GT, bilirubin serum total atau bilirubin direk, dan alkali fosfatase mempunyai spesifisitas 92,9% dalam menentukan atresia bilier.2

b) Pemeriksaan khusus

Pemeriksaan aspirasi duodenum (DAT) merupakan upaya diagnostik yang cukup sensitif, tetapi penulis lain menyatakan bahwa pemeriksaan ini tidak lebih baik dari

(8)

pemeriksaan visualisasi tinja. Karena kadar bilirubin dalam empedu hanya 10%, sedangkan kadar asam empedu di dalam empedu adalah 60%, maka asam empedu di dalam cairan duodenum dapat menentukan adanya atresia bilier.5

2) Pencitraan a. Foto polos

Foto polos dapat mengungkapkan situs inversus atau dekstrokardia terkait dengan beberapa kasus atresia bilier, mungkin juga mengungkapkan etiologi yang berbeda dari kolestasis. Alagille sindrom dapat diduga jika gambar vertebral menunjukkan butterfly wing. Toksoplasmosis kongenital, atau CMV dapat menyebabkan kalsifikasi serebral, periostitis dan osteochondritis sangat indikasi sifilis.7

b. Pemeriksaan ultrasonografi

Ultrasonografi merupakan metode investigasi non-invasif, cepat dan bila dilakukan oleh seorang profesional terlatih, akan memberikan hasil yang sangat baik. Diagnostik atresia biliaris melalui USG menggunakan linear transducer frekuensi tinggi 3-12 MHz dan dapat ditingkatkan bila pemeriksaan dilakukan dalam 3 fase, yaitu pada keadaan puasa, saat minum dan sesudah minum. Bayi di puasakan selama 4 jam. Diagnosis yang akurat dari atresia bilier sangat mungkin apabila dilakukan analisis dari beberapa gambaran USG dengan hati-hati. Hal ini sangat berguna dalam diagnosis kista koledokus dan juga dalam memastikan tidak adanya kandung empedu yang mengarah pada diagnosis atresia bilier.7

USG berperan dalam skrining pasien infantil kolestasis terutama berfokus pada ukuran, bentuk dan kontraktilitas kandung empedu. Namun demikian, jika perubahan volume kandung empedu terjadi postfeeding dalam analisis serial USG, atresia bilier belum dapat dikesampingkan. Meskipun kesulitan dalam identifikasi karena volume yang kecil, kontraktibilitas kandung empedu pada atresia bilier bisa diamati dalam persentase kasus saluran empedu yang paten. USG dapat mengevaluasi kelainan kongenital yang terkait dengan atresia bilier.7

Bila pada saat atau sesudah minum kandung empedu berkontraksi, maka atresia bilier kemungkinan besar (90%) dapat disingkirkan. Dilatasi abnormal duktus bilier, tidak ditemukannya kandung empedu, dan meningkatnya ekogenitas hati, sangat mendukung

(9)

diagnosis atresia bilier. Namun demikian, adanya kandung empedu tidak menyingkirkan kemungkinan atresia bilier, yaitu atresia bilier tipe I/distal.7

TACS berupa massa fibrotic berbentuk segitiga (coneshaped) di kranial dari bifurkasi vena portal juga merupakan kriteria diagnostik yang berguna. Hasil negatif palsu pada temuan TACS dapat terjadi dalam beberapa kasus atresia bilier karena radikula hati, seperti duktus hypoplasic atau duktus aplasic atau duktus fibrous hepatika, bahkan pada tahap awal. Namun, tanda ini tidak ada atau tidak dapat ditemukan pada setiap pasien, dan itu sangat tergantung pada teknik dan pengalaman operator. Selain itu, akan sulit untuk memvisualisasikan TACS jika pasien sangat muda dengan gangguan perkembangan hati atau resolusi ultrasonik yang jelek. Abnormal kandung empedu dapat diamati pada bayi dengan fibrosis kistik.

Ketika kantong empedu terlihat, panjangnya diukur sepanjang sumbu panjang dari dinding terluar. Dinding diteliti untuk mengidentifikasi setiap penyimpangan kontur mukosa. Kantong empedu, jika terlihat, juga dievaluasi pada akhir pemeriksaan setelah bayi telah diberi makan selama 15 menit untuk melihat apakah kontraksi terjadi. Kantong empedu dianggap abnormal jika tidak tervisualisasi, panjang kurang dari 1,9 cm, atau jika lapisan mukosa echogenitasnya kurang halus dengan dinding tidak jelas atau tidak teratur atau kontur lobular.4

c. Skintigrafi hati

Sintigrafi hepatobilier merupakan suatu pencitraan radionuklir yang mengevualasi fungsi hepatoseluler dan patensi dari sistem biliaris dengan mengikuti aliran dari produksi kandung empedu dari hepar sampai ke usus kecil. Pemeriksaan sintigrafi sistem hepatobilier dengan isotop Technetium 99m mempunyai akurasi diagnostik sebesar 98,4%. Sebelum pemeriksaan dilakukan, kepada pasien diberikan fenobarbital 5 mg/kgBB/hari per oral, dibagi dalam 2 dosis selama 5 hari. Pada kolestasis intrahepatik pengambilan isotop oleh hepatosit berlangsung lambat tetapi ekskresinya ke usus normal, sedangkan pada atresia bilier proses pengambilan isotop normal tetapi ekskresinya ke usus lambat atau tidak terjadi sama sekali. Di lain pihak, pada kolestasis intrahepatik yang berat juga tidak akan ditemukan ekskresi isotop ke duodenum. Untuk meningkatkan sensitivitas

(10)

dan spesifisitas pemeriksaan sintigrafi, dilakukan penghitungan indeks hepatik (penyebaran isotop di hati dan jantung), pada menit ke-10. Indeks hepatik > 5 dapat menyingkirkan kemungkinan atresia bilier, sedangkan indeks hepatik < 4,3 merupakan petunjuk kuat adanya atresia bilier.7,11

d. Pemeriksaan kolangiografi

Pemeriksaan ERCP (Endoscopic Retrograde CholangioPancreaticography) merupakan upaya diagnostik dini yang berguna untuk membedakan antara atresia bilier dengan kolestasis intrahepatik. Bila diagnosis atresia bilier masih meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan kolangiografi durante operasionam. Sampai saat ini pemeriksaan kolangiografi dianggap sebagai baku emas untuk membedakan kolestasis intrahepatik dengan atresia bilier.Selain ERCP, pemeriksaan MRCP (Magnetic resonance cholangiopancreatography) sudah banyak digunakan memandangkan penggunaannya kurang invasif dibanding dengan ERCP. Meskipun demikian MRCP tidak cukup untuk menunjukkan saluran-saluran empedu intrahepatik pada neonatus dan bayi, tetapi dapat menunjukkan saluran empedu ekstrahepatik yang normal, dilatasi common bile duct dan adanya kista koledokus (15-20). MRCP dapat digunakan untuk mengecualikan empedu atresia sebagai penyebab kolestasis neonatal ketika saluran empedu ekstrahepatik dapat terdeteksi.12

3) Biopsi hati

Gambaran histopatologik hati adalah alat diagnostik yang paling dapat diandalkan. Di tangan seorang ahli patologi yang berpengalaman, akurasi diagnostiknya mencapai 95%. sehingga dapat membantu pengambilan keputusan untuk melakukan laparatomi eksplorasi, dan bahkan berperan untuk penentuan operasi Kasai. Keberhasilan aliran empedu pasca operasi Kasai ditentukan oleh diameter duktus bilier yang paten di daerah hilus hati. Bila diameter duktus 100 200 u atau 150 400 u maka aliran empedu dapat terjadi.

Gambaran histopatologik hati yang mengarah ke atresia bilier mengharuskan intervensi bedah secara dini. Yang menjadi pertanyaan adalah waktu yang paling optimal untuk melakukan biopsi hati. Harus disadari, terjadinya proliferasi duktuler (gambaran histopatologik yang menyokong diagnosis atresia bilier tetapi tidak patognomonik)

(11)

memerlukan waktu. Oleh karena itu tidak dianjurkan untuk melakukan biopsi pada usia < 6 minggu.7

I. DIAGNOSIS BANDING

Tantangan utama pada neonatal kolestasis adalah untuk membedakan atresia bilier dari penyebab non-atresia lainnya. Di negara berkembang terdapat masalah besar rujukan akhir kasus neonatal kolestasis dan tindakan operasi tanpa biopsi hati prelaparotomy yang memberikan kontribusi untuk proporsi tinggi terhadap laparotomi negatif dan peningkatan morbiditas. Penyebab medis dari neonatal kolestasis harus dikeluarkan. Diagnosis diferensial utama dari pola obstruktif empedu pada biopsi hati pada kolestasis neonatal termasuk kista koledokus, striktur saluran empedu, defisiensi antitrypsin alpha-1, total parenteral infus nutrition associated kolestasis, cystic fibrosis, progresif familial intrahepatik kolestasis tipe 3, North American Indian childhood cirrhosis (defisiensi cirhin), Alagille Sindrom, hepatitis, CMV dan sindrom inspissated empedu.7

J. TATALAKSANA

Selama evaluasi, pasien dapat diberi :

a. Terapi medikamentosa yang bertujuan untuk memperbaiki aliran bahan-bahan yang dihasilkan oleh hati terutama asam empedu (asam litokolat), dengan memberikan Fenobarbital 5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis, per oral. Fenobarbital akan merangsang enzim glukuronil transferase (untuk mengubah bilirubin indirek menjadi bilirubin direk); enzim sitokrom P-450 (untuk oksigenisasi toksin), enzim Na+ K+ ATPase (menginduksi aliran empedu). Kolestiramin 1 gram/kgBB/hari dibagi 6 dosis atau sesuai jadwal pemberian susu. Kolestiramin memotong siklus enterohepatik asam empedu sekunder. Juga bertujuan untuk melindungi hati dari zat toksik, dengan memberikan asam ursodeoksikolat, 310 mg/kgBB/hari, dibagi 3 dosis, per oral. Asam ursodeoksikolat mempunyai daya ikat kompetitif terhadap asam litokolat yang hepatotoksik.

(12)

b. Terapi nutrisi, yang bertujuan untuk memungkinkan anak tumbuh dan berkembang seoptimal mungkin, yaitu pemberian makanan yang mengandung medium chain triglycerides (MCT) untuk mengatasi malabsorpsi lemak dan penatalaksanaan defisiensi vitamin yang larut dalam lemak.

c. Terapi bedah

Bila semua pemeriksaan yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis atresia bilier hasilnya meragukan, laparatomi eksplorasi dianjurkan bila feses tetap akolik dengan bilirubin direk> 4 mg/dl atau terus meningkat, meskipun telah diberikan fenobarbital atau telah dilakukan uji prednison selama 5 hari; gamma-GT meningkat > 5 kali; tidak ada defisiensi alfa-1 antitripsin; dan pada sintigrafi hepatobilier tidak ditemukan ekskresi ke usus.

Setelah diagnosis atresia bilier ditegakkan, maka segera dilakukan intervensi bedah portoenterostomi terhadap atresia bilier yang correctable yaitu tipe I dan II. Pada atresia bilier yang non-correctable terlebih dahulu dilakukan laparatomi eksplorasi untuk menentukan patensi duktus bilier yang ada di daerah hilus hati dengan bantuan frozen section. Bila masih ada duktus bilier yang paten, maka dilakukan operasi Kasai. Tetapi meskipun tidak ada duktus bilier yang paten, tetap dikerjakan operasi Kasai dengan tujuan untuk menyelamatkan penderita (tujuan jangka pendek) dan bila mungkin untuk persiapan transplantasi hati (tujuan jangka panjang). Ada peneliti yang menyatakan adanya kasus-kasus atresia bilier tipe III dengan keberhasilan hidup > 10 tahun setelah menjalani operasi Kasai. Di negara maju dilakukan transplantasi hati terhadap penderita atresia bilier tipe III yang telah mengalami sirosis, kualitas hidup buruk dengan proses tumbuh kembang yang sangat terhambat dan pasca operasi portoenterostomi yang tidak berhasil memperbaiki aliran empedu.7

K. PROGNOSIS

Keberhasilan portoenterostomi ditentukan oleh usia anak saat dioperasi, gambaran histologik porta hepatis, kejadian penyulit kolangitis, dan pengalaman ahli bedahnya sendiri. Bila operasi dilakukan pada usia < 8 minggu maka angka keberhasilannya 7186%,

(13)

sedangkan bila operasi dilakukan pada usia > 8 minggu maka angka keberhasilannya hanya 3443,6%. Bila operasi Kasai dilakukan pada usia 160 hari, 6170 hari, 7190 hari dan > 90 hari, maka masing-masing akan memberikan keberhasilan hidup > 10 tahun sebesar 73%, 35%, 23%, dan 11%. Sedangkan bila operasi tidak dilakukan, maka angka keberhasilan hidup 3 tahun hanya 10% dan meninggal rata-rata pada usia 12 bulan. Anak termuda yang mengalami operasi Kasai berusia 76 jam. Jadi, faktor-faktor yang mempengaruhi kegagalan operasi adalah usia saat dilakukan operasi > 60 hari, adanya gambaran sirosis pada sediaan histologik, tidak adanya duktus bilier ekstrahepatik yang paten, dan bila terjadi penyulit hipertensi portal.7

BAB III PEMBAHASAN

Pendekatan multidisiplin evaluasi penyakit kuning pada neonatal diperlukan untuk menentukan penyebab kondisi tersebut. Atresia bilier dan neonatal hepatitis merupakan penyebab umum dari hiperbilirubinemia terkonjugasi pada neonatus dan bayi muda. Tidak ada teknik pencitraan tunggal yang dapat menggambarkan penyebab semua kasus neonatal jaundice termasuk atresia bilier.12 Diagnosis dini atresia bilier sangat penting untuk keberhasilan pengobatan bedah terhadap pasien. Tingkat keberhasilan untuk membentuk aliran empedu setelah operasi jauh lebih tinggi (90%) jika prosedur ini dilakukan sebelum usia 2 bulan.1

Ada beberapa kendala yang menantang untuk diagnosis awal atresia bilier. Pertama, kurangnya pemahaman tentang pentingnya identifikasi awal para penyedia layanan kesehatan. Beberapa dokter perawatan primer melihat lebih dari 1 atau 2 kasus atresia bilier selama karir mereka, sedangkan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi sangat umum, terutama selama bayi diberi ASI. Kedua adalah kurangnya metode skrining yang nyaman. Kendala

(14)

ketiga adalah bahwa bayi kuning tidak dapat dilihat di waktu optimal saat identifikasi atresia bilier. Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi pada pemberian ASI dalam 2-3 minggu pertama kehidupan, dapat mengaburkan hiperbilirubinemia terkonjugasi atresia bilier sehingga muncul ikterus yang sebenarnya membaik. Karena itu bilirubin indirek turun selama bulan pertama kehidupan pada bayi dengan atresia bilier yang juga menyusui, akan terlihat adalah ada peningkatan secara keseluruhan dalam penyakit kuning.7

Munculnya ultrasonografi telah merevolusi pendekatan pada bayi dengan kolestasis dimana modalitas pencitraan ini bersifat non invasif, non-pengion dan berfungsi sebagai alat penting untuk diferensiasi awal atresia bilier dari penyebab lain kolestasis neonatal.1 Pada bayi dengan atresia bilier kantong empedu biasanya kecil atau tidak terlihat pada scan ultrasound. Choi et al adalah yang pertama untuk melaporkan kepadatan echogenic segitiga atau tubular terlihat segera kranial ke bifurkasi vena portal (Triangular Cord Sign-TACS) sebagai tanda yang dapat diandalkan untuk diagnosis atresia bilier dan sangat sugestif bila terukur TACS 3,5-4 mm atau lebih pada pemindaian melintang atau membujur terutama ketika kandung empedu tidak terdeteksi.13,14

Sensitivitas dan spesifisitas TACS untuk diagnosis atresia bilier adalah 100%.3 Penelitian lain mengatakan sensitivitas, spesifisitas dan akurasi TACS untuk diagnosis atresia bilier dilaporkan telah bervariasi masing-masing 80%-95,7%, 73.9%-98% dan 84.8%-95%.1,5 Sebuah penelitian lain menunjukkan sensitivitas, spesifisitas, akurasi dan nilai prediktif positif dari kelainan kandung empedu pada diagnosis atresia bilier masing-masing adalah 95,7%, 73,9%, 84.8% dan 78.6%.14 Nilai prediksi positif dari TACS dengan kelainan kandung empedu untuk diagnosis atresia bilier adalah 100%.1 Akurasi diagnostik, spesifisitas, dan sensitivitas TACS lebih unggul dibanding panjang kandung empedu dan kontraksi kandung empedu, sehingga TACS tampaknya menjadi sebuah temuan sonografi yang lebih berguna dalam diagnosis atresia bilier dari pada panjang dan kontraksi kandung empedu.14

Atresia bilier dapat secara akurat didiagnosis dengan ultrasonografi menggunakan temuan TACS dikombinasikan dengan panjang (GBL) dan kontraksi (GBC) dari kandung empedu.16 Panjang kandung empedu <1,5 cm memiliki sensitivitas 77.4%, 69.8% spesifisitas untuk diagnosis atresia bilier.17 Penelitian lain mengatakan bahwa panjang

(15)

kandung empedu kurang dari 20,5 mm adalah 81.4% sensitif dan 70,3% khusus untuk atresia bilier. Selain itu, kandung empedu non-kontraktil memiliki sensitivitas tinggi (92,5%), tetapi spesifisitas rendah (51.9%) dalam membedakan atresia bilier.18

Pada sebuah penelitian terhadap 20 bayi dengan atresia bilier menyatakan tidak satupun bayi dengan kecurigaan atresia bilier memiliki kantong empedu yang normal secara ultrasonografi. Tujuh puluh tiga persen pasien atresia bilier memiliki pseudogallblader (PsGB) dan 27% tidak ada kantong empedu. Struktur menyerupai kandung empedu pada atresia bilier dapat disalah artikan sebagai kandung empedu normal sehingga dapat menunda diagnosis dan terapi. Gambaran PsGB didefinisikan sebagai struktur menyerupai kandung empedu berisi cairan terletak di wilayah lobar fissure utama dan berukuran kurang dari atau sama dengan 15 mm, dengan sekitar tepi terang, halus dan tidak teratur tetapi tanpa gambaran dinding kandung empedu yang terdefinisi secara baik.19

Karakteristik atresia bilier ditandai dengan adanya obliterasi fibrosa saluran empedu ekstrahepatik dengan fibrous ductal remnant pada porta hepatis. Saluran hepatik berubah menjadi fibrous ductal remnant yang biasanya anterior dan sedikit ke cranial dari arteri hepatik dan vena portal. Fibrous ductal remnant meempunyai jalur yang sama dengan duktus hepatikus communis dan meruncing halus di proksimal sepanjang kedua sisi saluran intrahepatik. Dengan demikian, lokasi fibrous ductal remnant dalam porta hepatis harus sama seperti duktus hepatikus communis. TACS didasarkan pada gagasan bahwa fibrous ductal remnant bisa dilihat sebagai kepadatan echogenic tubular tebal atau triangular sepanjang aspek anterior vena portal.5

TACS didefinisikan sebagai ketebalan EARPV (Echogenic Anterior wall of the Right Portal yang Vein) lebih dari 4 mm pada pemindaian longitudinal. Penggunaan kriteria ini pada diagnosis atresia bilier mempunyai sensitivitas 80%, spesifisitas 98%, nilai prediktif positif 94%, negatif nilai prediksi 94%, dan akurasi 94%. Kemampuan untuk mengidentifikasi TACS pada USG pasien atresia bilier tergantung pada pola dan ukuran fibrous ductal remnant di porta hepatis.5

Beberapa modalitas pencitraan telah digunakan dalam diagnosis atresia bilier. Meskipun beberapa temuan yang sangat sugestif penyakit, tidak ada yang patognomonik, dan ketergantungan pada lebih dari satu tes. Ultrasonografi sering di gunakan sebagai

(16)

investigasi awal pada pasien yang dicurigai atresia bilier, diikuti oleh skintigrafi hepatobilier, sebuah studi yang telah digunakan secara efektif selama bertahun-tahun. Jika sisa-sisa diagnosis sulit dipahami setelah studi ini, magnetik resonansi cholangiopancreatography (MRCP) dapat membantu, meskipun mereka memiliki keterbatasan. Berbeda dengan pasien atresia bilier, pasien dengan hepatitis neonatal tak memiliki triangular cord sign maupun daerah intensitas sinyal tinggi di porta hepatis pada T2-weighted juga tidak terlihat pada bayi atau anak-anak yang menjalani MRI pada penyakit hepatobilier lainnya, seperti hepatoblastoma, kista koledokus, atau penyakit Caroli. Oleh karena itu, dapat di percaya bahwa pola intensitas sinyal ini bersifat spesifik untuk atresia bilier.12,13

Endoscopic retrograde cholangiopancreatography adalah prosedur diagnostik yang paling berguna untuk pengamatan langsung saluran empedu ekstrahepatik, tetapi merupakan prosedur invasif yang memerlukan anestesi umum, yang harus dilakukan oleh endoscopist terlatih dengan instrumentasi dan teknik yang tepat.12 Ketika diameter saluran empedu terlalu kecil, dapat salah diagnosis sebagai atresia bilier.13 CBD dapat terlihat atau tidak terlihat pada USG yang didiagnosis dengan atresia bilier tipe IIIa. Ketika CBD terlihat, gambaran USG lainnya sehubungan dengan ketebalan triangular cord, panjang dan bentuk kandung empedu cenderung lebih sering menunjukkan hasil negatif palsu daripada saat tak terlihat sebagai aliran subkapsular pada USG Colour Doppler selalu dicatat pada pasien yang didiagnosis dengan atresia bilier Kasai type IIIa. Pemeriksaan USG colour Doppler harus dimasukkan dalam pemeriksaan USG rutin pasien kolestasis neonatal.20

Keuntungan dari ultrasonografi termasuk fakta bahwa dinding perut neonatal sangat tipis, proses ini dapat berulang tanpa efek merugikan, nyaman dan non-invasif. Namun, TACS mungkin absen jika (1) tidak ada TC di porta hepatis (2) TC terlalu kecil untuk dilihat dan (3) karena kurang berpengalaman sinologist. Ini karena itu menekankan perlunya pelatihan yang memadai di bidang ini. Pencitraan radionuklida hati dan kandung empedu kadang-kadang dapat memberikan hasil positif palsu.21 Biopsi hati sering digunakan untuk mengkonfirmasi diagnosis atresia bilier dan dapat dilakukan pada saat yang sama pada pembedahan atau percutaneous cholangiography.14

(17)

Skintigrafi hepatobilier dan ultrasonografi saat ini merupakan standar pencitraan pada pasien yang dicurigai atresia bilier. Peran mereka saling melengkapi di mana korelasi antara skintigrafi dan ultrasonografi adalah penting dan direkomendasikan untuk tindak lanjut pencitraan ulang sebelum membuat keputusan bedah definitif. Hal ini akan berfungsi untuk mengurangi frekuensi diagnosis pencitraan positif palsu atresia bilier dan menghindari tindakan operasi yang tidak perlu.11

BAB IV KESIMPULAN

Atresia bilier merupakan proses peradangan progresif idiopatik pada saluran empedu ekstrahepatik dengan obliterasi dan kerusakan yang sedang berlangsung bersamaan dengan saluran empedu intrahepatik dan dapat mengakibatkan kolestasis kronis, fibrosis progresif, dan akhirnya sirosis bilier.

TACS pada pemeriksaan ultrasonografi merupakan tanda yang dapat diandalkan untuk diagnosis dini atresia bilier dan sangat sugestif bila terukur TACS 3,5-4 mm atau lebih pada pemindaian melintang atau membujur terutama ketika kandung empedu tidak terdeteksi. Atresia bilier dapat secara akurat didiagnosis dengan ultrasonografi menggunakan temuan TACS dikombinasikan dengan panjang dan kontraksi kandung empedu. Sensitivitas, spesifisitas dan nilai prediktif positif TACS untuk diagnosis atresia bilier adalah 100%.

(18)

DAFTAR PUSTKA

1. Jafari SA, Mehdizadeh M, Farahmand F, Fallahi GH, Kianifar HR. Ultrasonographic Triangular Cord Sign and Gallbladder Abnormality in Diagnosis of Biliary Atresia. IJN. 2012; 1(3): 14-8

2. Desmet VJ, Callca F. Cholestatic syndromes of infancy and childhood. In:Zakim, Boyer, Hepatology. A textbook of liver diseases. Philadelphia/Tokyo: Saunders 1990 3. Kotb MA, Kotb A, Sheha MF, et al. Evaluation of the triangular cord sign in the

diagnosis of biliary atreisa. Pediatrics. 2001; 108: 416-20

4. Mittal et al. Role of Abdominal Sonography in the Preoperative Diagnosis of Extrahepatic Biliary Atresia in Infants Younger Than 90 Days. AJR. 2011; 196: 438-45.

5. Hee-Jung Lee, Sung-Moon Lee, Woo-Hyun Park, Soon-Ok Choi. Objective Criteria of Triangular Cord Sign in Biliary Atresia on US Scans. Radiology. 2003; 229: 395-400.

6. Humphrey TM, Stringer M. Biliary Atresia:US Diagnosis. Radiology. 2007; 244(3): 845-51

7. Sira MM, Salem TAH, Sira AM. Biliary Atresia: A Challenging Diagnosis. GJGH. 2013: 34-45

8. Torrisi JM, Haller JO, Velcek FT. Choledochal cyst and biliary atresia in the neonate: imaging findings in five cases. Am J Roentgenol 1990

9. Lefkowitch JH. Anatomy and Function. In: Dooley JS, Sherlock’s Diseases of The Liver and Biliary System. 2011. 12th ed. Blackwell Publishing Ltd, p: 1-18

(19)

10. Lachman N, Pawlina W. The liver and Biliary Apparatus : Basic Structural Anatomy and Variations. Mayo clinic. 2010: 3-16

11. Tam HKY, Lui PPY, Lee RKL, Kwok WK, Choi FPT, Chu. WCW. Diagnostic Accuracy of Scintigraphy and Sonography for Biliary Atresia. Hong Kong J Radiol. 2013;16:278-85

12. K Myung-Joon , P Young Nyun , H Seok Joo , SY Choon , S Y Hyung , HH Eui , SC Ki . Biliary Atresia in Neonates and Infants: Triangular Area of High Signal Intensity in the Porta Hepatis at T2-weighted MR Cholangiography with US and Histopathologic Correlation. Radiology. 215, 2000, 395-401.

13. SO Choi , WH Park , HJ Lee , SK Woo. 'Triangular cord': a sonographic finding applicable in the diagnosis of biliary atresia. JPediatr Surg. 31(3), 1996, 363-366 14. Osuoji R.I, Akinola R.A, Sebanjo I.O, Ajayi O.I. Ultrasound evaluation of infants

suspected to have biliary atresia with emphasis on the triangular cord sign: The Lagos experience. IOSR-JDMS. 2013;3(6): 20-8

15. Kanegawa K, Akasaka Y, Kitamura E, Nishiyama S, Muraji T, Nishijima E, et al. Sonographic diagnosis of biliary atresia in pediatric patients using the "triangular cord" sign versus gallbladder length and contraction. AJR Am J Roentgenol 2003;181:1387-1390.

16.Takamizawa S, Zaima A, Muraji T, Kanegawa K, Akasaka Y, Satoh S, Nishijima E. Can biliary atresia be diagnosed by ultrasonography alone?. J Pediatr Surg. 2007 Dec;42(12):2093-6.

17. El-Guindi MA1, Sira MM, Konsowa HA, El-Abd OL, Salem TA. Value of hepatic subcapsular flow by color Doppler ultrasonography in the diagnosis of biliary atresia. J Gastroenterol Hepatol. 2013;28(5):867-72

18. Tiao MM1, Chuang JH, Huang LT, Hsieh CS, Lee SY, Liang CD, Chen CL. Management of biliary atresia: experience in a single institute. Chang Gung Med J. 2007;30(2):122-7.

19.Aziz S, Wild Y, Rosenthal P, Goldstein RB. Pseudo Gallbladder sign in biliary atresia - an imaging pitfall. Pediatr Radiol. 2011; 41:620–6

20. Kim SS, Kim MJ, Lee MJ, Yoon CS, Han SJ, Koh H. Ultrasonographic findings of type IIIa biliary atresia. Ultrasonography. 2014: 1-8

(20)

21. Shi-Xing Li, Yao Zhang, Mei Sun, Bo Shi, Zhong-Yi Xu, Ying Huang, and Zhi-Qin Mao Ultrasonic diagnosis of biliary atresia: a retrospective analysis of 20 Patients. World J Gastroenterol. 2008; 14 (22): 35

LAMPIRAN

Gambar 1. Anatomi sistema bilier (Lachman 2010)

Gambar 2. Skema ilustrasi klasifikasi atresia bilier. Type I, atresia of the common bile ducts with patent gallbladder (GB) and hepatic ducts (i.e. “distal” BA). Type II, atresia of the common hepatic ducts with patent right and the left hepatic ducts (i.e., “proximal” BA). Type II is subgrouped into two subtypes. Type IIa, where the GB, cystic duct and common bile ducts are patent (sometimes with a cyst in the hilum, i.e., “cystic BA”). Type IIb; with the cystic, common bile duct and common hepatic duct are all obliterated. Type III; is

(21)

characterized by atresia of the entire extrahepatic biliary tree (i.e., “complete” BA). (Sira, 2013)

Gambar 3. Normal gallbladder wall. Normal sonographic appearance of the gallbladder in a 2-day-old neonate with no known hepatobiliary disease demonstrates a well-defined measurable normal gallbladderwall. Note the central echogenic mucosal interface (arrow) andperipheral thin fibromuscular layer (arrowhead). (Aziz Seerat . 2011)

Gambar 4. The pseudo gallbladder sign (PsGB sign). Differentappearances (arrows) of the PsGB sign, which is defined as a fluid-filled structure <15 mm inlength in the region of theinterlobar fissure without a normal gallbladder wall (seeFig. 1 for a normal-appearingwall). a Notice the smooth contour of this PsGB comparedwith another PsGB (b) with an irregular margin. c Irregularcontour in another PsGB. d.PsGB appears as a very

(22)

small,focal, nonspecific fluidcollection. Note that a normal gallbladder wall is not seen inany of these cases. (Aziz Seerat . 2011)

Gambar 5. 64-day-old female infant with biliary atresia. A, Sonogram shows abnormal gallbladder (arrows). Gallbladder is 1.0 cm long. B, Sonogram obtained 1 hr after patient was fed shows that gallbladder (arrows) has not contracted. Contraction index was 0%. (Kanegawa et.all, 2003)

Gambar 6. The triangular cord sign (TC sign) in a BA patient. a The TC sign (arrowhead) measured 4.8 mm in this case of BA. b The PsGB sign in this case (arrow) is seen as a fluid-filled structure demonstrating an irregular contour but without a normal gallbladder wall. (Aziz Seerat . 2011)

(23)

Gambar 7. Algoritme pasien dengan kecurigaan atresia bilier (Kotb MA, 2001)

(24)

Gambar 9. A 27-day-old boy with visible common bile duct (CBD) on ultrasonography (US) (group A). A. Mucosa, wall, and outer margin of the gallbladder look normal. Gallbladder length was measured about 20.3 mm. B. After an oral feeding, the gallbladder contracts. C. CBD is visible, and its diameter is being measured (crosshairs). D. Triangular cord thickness is 3.4mm (crosshairs), which is less than the cut-off value of 4 mm. E. Hepatic subcapsular flow is evident on the color Doppler US. F. Operative cholangiogram shows patent CBD (arrow) without the filling of the common hepatic duct, confirming type IIIa biliary atresia.

(25)

Gambar 10. A 49-day-old boy with invisible common bile duct (CBD) on ultrasonography (US) (group B). A. Gallbladder length is 12.8 mm (crosshairs). The mucosal lining and the outer margin of the gallbladder are relatively smooth with a distinct wall. Postprandial gallbladder evaluation was not done. B. CBD is invisible in the pancreatic head portion. C. Triangular cord thickness is 5.3 mm (crosshairs), which is larger than the cut-off value of 4 mm. D. Hepatic subcapsular flow is evident on the color Doppler US. E. Operative cholangiogram shows a patent CBD (arrow) without a visible common hepatic duct, confirming type IIIa biliary atresia. (Kim SS, 2014)

Gambar 11. Surgical findings of biliary atresia. (a) Photograph of surgical specimen of obliterated extrahepatic bile ducts shows the fibrous ductal

remnant (black arrowheads) in the porta hepatis, atretic gallbladder (arrow), and fibrous common bile duct (white arrowhead). The fibrous ductal remnant is a triangular cone-shaped mass. (b) Schematic drawing represents the anatomic relationship between the fibrous ductal remnant and blood vessels around the porta hepatis. The triangular, cone-shaped, fibrous ductal remnant (black arrowheads, green) is positioned anterior and slightly superior to the

(26)

portal vein(long arrow, blue) and the hepatic artery (short arrow, red). (Lee HJ,

Gambar

Gambar 2. Skema ilustrasi klasifikasi atresia bilier. Type I, atresia of the common bile ducts with patent gallbladder (GB) and hepatic ducts (i.e
Gambar 4. The pseudo gallbladder sign (PsGB sign). Differentappearances (arrows) of the PsGB sign, which is defined as a fluid-filled structure &lt;15 mm inlength in the region of theinterlobar   fissure   without   a   normal   gallbladder   wall   (seeFi
Gambar 6. The triangular cord sign (TC sign) in a BA patient. a The TC sign (arrowhead) measured 4.8 mm in this case of BA
Gambar 7. Algoritme pasien dengan kecurigaan atresia bilier ( Kotb MA, 2001)
+3

Referensi

Dokumen terkait

Kromatografi kolom merupakan suatu metode pemisahan fisik, dimana komponen-komponennya dipisahkan dan didistribusikan diantara 2 fase, salah satu

Presiden Nomor 6 Tahun 2020 tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan Dalam Pencegahan dan Pengendalian Corona Virus Disease 2019 dan Instruksi Menteri

 Prinsip: memeriksa berat jenis urine dengan alat urinometer  Tujuan: mengetahui kepekatan urine.  Alat

Pembangunan koperasi sebagai lembaga ekonomi rakyat yang ber­ watak sosial harus semakin dikembangkan dan diperkuat khususnya dalam bidang organisasi dan manajemen dalam

LABORATORIUM STRUKTUR DAN MATERIAL Departemen Teknik Sipil - Fakultas Teknik..

3 Tourism Council (WTTC). Selain itu, berdasarkan Laporan The Travel &amp; Tourism Compettitiveness Report, pada World Economic Forum, pada tahun 2019 peringkat indeks daya

Dalam menentukan metode yang akan digunakan penulis menguji semua metode dalam hasil penambahan limbah semua puskesmas, lalu melihat MAPE (Mean Absolute Percentage

Dengan adanya penambangan pasir liar yang dilakukan oleh masyarakat di Desa Karangmojo Kecamatan Plandaan Kabupaten Jombang tidak hanya memiliki dampak positif