• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II RONA WILAYAH PESISIR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II RONA WILAYAH PESISIR"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

RONA WILAYAH PESISIR

2.1 Geo-Administrasi

Sejarah Oesapa Barat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kelurahan induk (Oesapa), karena baru pada tahun 2006 Kelurahan Oesapa Barat mekar dari Kelurahan Oesapa. Nama Oesapa berasal dari bahasa Rote yang terdiri dari dua suku kata yaitu Oe (air) dan sapa (haik = tempat air yang dianyam dari daun lontar). Dengan demikian, Oesapa berarti menimba air dengan menggunakan haik. Dalam kehidupan sehari-hari di kenal sebutan Oesapa Besar dan Oesapa Kecil (sekarang Oesapa Barat). Penambahan kata Kecil dan Besar pada Kata Oesapa, dikarenakan adanya perbedaan penggunaan ukuran Haik pada saat menimba air. Di lokasi Oesapa Besar, masyarakat menimba air menggunakan Haik yang relatif besar sedangkan di Oesapa Kecil, masyarakat menimba air menggunakan Haik yang relatif lebih kecil (Laporan SSNRMP/MCRMP Kota Kupang, PT. Perencana Indah Engineering, 2004).

Kelurahan Oesapa Barat masuk dalam wilayah Kecamatan Kelapa Lima terbentuk berdasarkan Peraturan Daerah Kota Kupang Nomor 6 Tahun 2006, terdiri dari 7 RW dan 19 RT. Selanjutnya pada tahun 2009 dengan mempertimbangkan pendekatan pelayanan, maka dilakukan pemekaran 3 wilayah RT menjadi 6 RT, sehingga jumlahnya bertambah menjadi 21 RT. Kelurahan Oesapa Barat mempunyai luas wilayah 6 KM (6.000 M²), dengan batas-batas sebagai berikut :

Utara berbatasan dengan : TWAL Teluk Kupang

Selatan berbatasan dengan : Kelurahan Tuak Daun Merah (TDM) dan Kelurahan Kayu Putih

Timur berbatasan dengan : Kelurahan Oesapa Barat berbatasan dengan : Kelurahan Kelapa Lima

Kondisi batimetri perairan di Kelurahan Oesapa Barat cenderung landai. Pada jarak 100 m dari garis pantai, kedalaman dasar laut sebesar 1 meter. Pada jarak sampai 1 km dari garis pantai, kedalaman perairan hanya 10-24 meter.

(2)

Suhu perairan pesisir Kelurahan Oesapa Barat berada pada kisaran umum suhu perairan tropis (27,70C). Tidak ada pencemaran termal di Kelurahan Oesapa Barat.

Salinitas laut di pesisir Kelurahan Oesapa Barat menunjukkan ciri khas perairan laut (340/00). Pengukuran yang dilakukan pada akhir Bulan September dimana pada saat

tersebut Kelurahan Oesapa Barat sedang mengalami musim kemarau menyebabkan pengaruh air tawar sangat rendah terhadap laut. Akibatnya salinitas perairan pesisir cenderung tinggi.

Kecerahan perairan laut di pesisir Kelurahan Oesapa Barat pada jarak sekitar 100-200 meter dari garis pantai umumnya rendah (1 m). Rendahnya tingkat kecerahan ini karena keping sechi masih terlihat sampai dasar perairan. Nilai kekeruhan (26,72 NTU) di Kelurahan Oesapa Barat telah melampaui ambang batas baku mutu kualitas air laut bagi organisme. Namun nilai kekeruhan tersebut tidak mencerminkan adanya pencemaran, melainkan merupakan karakteristik perairan setempat yang cenderung dangkal, landai bahkan datar, dan terbuka. Indikator belum terjadinya pencemaran dilihat dari sisi kekeruhan adalah dengan rendahnya nilai kekeruhan pada perairan yang berjarak 1 km dari garis pantai (0,00 NTU).

Sebagaimana nilai kekeruhan, pada nilai partikel padatan terlarut (Total Suspended Solid/TSS) sebesar 76,5 mg/l menunjukkan bahwa kondisi perairan pesisir pada Kelurahan Oesapa Barat sudah tidak layak dalam mendukung kehidupan beragam biota perairan berdasarkan Kep.Men.LH No.51/2004 untuk wisata bahari dan biota air laut. Nilai TSS di bawah 20 mg/l menunjukkan perairan yang masih baik untuk mendukung beragam kehidupan biota air laut.

Nilai pH di Kelurahan Oesapa Barat menunjukkan ciri khas perairan laut karena nilai pH mencapai 8,29. Untuk konsentrasi oksigen terlarut (Dissolved Oxygen/DO) di perairan pesisir Kelurahan Oesapa Barat menunjukkan kondisi perairan yang masih baik (8,02 mg/l). Syarat perairan laut yang layak bagi kehidupan organisme harus memiliki nilai oksigen terlarut minimal 5 mg/l

Batas baku mutu perairan laut yang layak bagi kehidupan organisme laut dilihat dari sisi hara berdasarkan Kep.Men.LH No.51/2004 untuk wisata bahari dan biota air laut yaitu maksimum 0,008 mg/l untuk nitrat, 0,3 mg/l untuk amonia, dan 0,015 mg/l untuk

(3)

fosfat. Pada Kelurahan Oesapa Barat konsentrasi nitrat sebesar 0,008 mg/l, amoniak 1,550 mg/l, dan orthofosfat 0,060 mg/l. Dilihat dari sisi konsentrasi amoniak dan orthofosfat, Kelurahan Oesapa Barat telah mengalami pencemaran perairan.

Klorin merupakan salah satu bahan dasar yang digunakan sebagai desinfektan dan pemutih pakaian. Meskipun pemakaian klorin memberikan dampak yang baik sebagi desinfektan dan pemutih pakaian, namun konsentrasi klorin yang berlebih dapat memberi efek toksik, malformasi, bahkan lethal (mematikan) terhadap organisme lain yang bukan sasaran, seperti ikan dan organisme bentik. Beberapa penelitian menunjukkan efek mematikan dari keberadaan klorin bagi mikroorganisme dari 0,25 mg/l, 1,5 mg/l, dan 0,75-0,90 mg/l pada suhu lebih tinggi dari 25-300C (GESAMP, 1984). Nilai klorin yang masih cukup rendah di perairan pesisir Kelurahan Oesapa Barat sebesar 0,08 mg/l untuk Cl total dan 0,18 mg/l untuk Cl bebas menunjukkan masih rendahnya pemakaian berbagai merek cairan pemutih pakaian berbahan dasar klorin.

2.2 Kondisi Sosial Budaya 2.2.1 Kependudukan

Jumlah Penduduk Kelurahan Oesapa Barat pada Desember 2013 sebanyak 9.062 jiwa terdiri dari laki-laki: 4.679 jiwa dan perempuan : 4.383 jiwa. Dengan jumlah kepala keluarga sebanyak: 1.971 kk. Jumlah kepala keluarga miskin (KKM) yang terdata oleh BPS Kota Kupang sebanyak 429 KKM (sebagai penerima Raskin Nasional), yang terdata sebagai penerima Raskin Daerah sebanyak 83 KKM, hasil rekapan dari masing-masing RT (21 RT) jumlah KKM sebanyak : 838 KKM. Berdasarkan data tersebut, maka jumlah KKM terbanyak ada di wilayah pesisir pantai yaitu di RT. 01, 02, 07, 08, dan 09 dengan jumlah 200 KKM atau 39,06 % (sebagai penerima raskin). Data KKM hasil rekapan RT di 5 wilayah RT tersebut berjumlah 330 KKM (39,38%).

2.2.2 Budaya

Dari perspektif antropologis, masyarakat pesisir (terutama nelayan) berbeda dari masyarakat lain, seperti masyarakat petani, perkotaan atau masyarakat di dataran tinggi. Perspektif antropologis ini didasarkan pada realitas sosial bahwa masyarakat nelayan

(4)

interaksi mereka dengan lingkungan berserta sumberdaya yang ada di dalamnya. Pola-pola kebudayaan itu menjadi kerangka berpikir atau referensi perilaku masyarakat nelayan dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

Adat budaya masyarakat yang berkembang merupakan adat budaya dari etnis yang mendiami daerah tersebut. Keragaman budaya masyarakat pesisir di Kelurahan Oesapa Barat cukup tinggi. Hingga saat ini terdapat 8 suku, yaitu: Rote, Timor, Sabu, Helong, Flores (suku asli Nusa Tenggara Timur) dan suku Bugis, Jawa, Bajo (suku dari luar Nusa Tenggara Timur). Etnis Rote dan Timor mendominasi di Kelurahan Oesapa Barat.

Kearifan lokal merupakan nilai budaya, pengetahuan, dan pengalaman yang menjadi entitas suatu kelompok masyarakat yang digunakan oleh masyarakat dalam mengelola interaksi antar sesama manusia serta manusia dengan alam. Beberapa kearifan lokal di Indonesia yang memberikan sumbangsih dalam pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan diantaranya: Sasi di Maluku, Mane’e di Sangihe Talaud (Sulawesi Utara), Awig-awig di Lombok (NTB), Panglima Laot di Aceh, sementara di Provinsi NTT sendiri ada Penangkapan Paus secara tradisional di Lamalera (Lembata) dan Lamakera (Flores Timur) dan Lilifuk di Bolok dan Kuanheun (Kabupaten Kupang). Sementara di Kelurahan Oesapa Barat sendiri nilai budaya/kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut telah hilang.

2.3 Aktivitas Ekonomi Masyarakat

Kondisi ekonomi rumah tangga nelayan di Kelurahan Oesapa Barat tidak jauh berbeda dengan kondisi rumah tangga nelayan di Kecamatan Kelapa Lima pada umumnya, yang berbeda adalah alat tangkap yang dipakai oleh nelayan Oesapa Barat dimana sebanyak 90% adalah pengguna gillnet. Nelayan di Kelurahan Oesapa Barat 80% adalah buruh nelayan dan hanya 20% yang memiliki alat tangkap sendiri untuk penangkapan ikan pelagis besar dan kecil (tembang, tongkol, cakalang, dll), serta ikan demersal (gargahing, kakap, dll).

Keluarga nelayan di Oesapa Barat juga memiliki usaha sebagai penjual ikan segar di pasar Oeba maupun di Pasar Oesapa serta sebagai penjual keliling. Terdapat kelompok usaha pengolahan yang sudah memiliki unit usaha sehingga membutuhkan dorongan peningkatan produksi dan kualitas, sedangkan pemasar ikan perlu didorong untuk tetap

(5)

menjaga kualitas ikan selama distribusi sehingga nelayan atau pemasar ikan memiliki kemampuan untuk menentukan harga pasar.

Model manajemen usaha yang lebih spesifik sesuai usaha yang dikembangkan perlu mendapat perhatian khusus untuk meningkatkan ekonomi keluarga, sehingga mampu membiaya kebutuhan keluarga, kesehatan maupun pendidikan anak.

2.4 Potensi Sumberdaya Alam dan Jasa Lingkungan 2.4.1 Ekosistem Mangrove

Berdasarkan hasil kajiandi Kelurahan Oesapa Barat, terdapat 5 jenis spesies mangrove yakni: Soneratiaalba, Avicennia alba, Rhizophoraapiculata, Rhizophorastylossa, danRhizophoramucronatayang penyebarannya terdapat hampir di setiap lokasi dengan kondisi substrat yang berbeda. Luasan mangrove di Oesapa Barat seluas 17,58 Ha.

Kerapatan tertinggi dengan kategori pohon terdapat pada jenis S. alba dengan kerapatan 0,096 ind/m2, dan kerapatan relatifnya 69%, sedangkan nilai kerapatan terendah berada pada jenis R. apiculata dengan nilai kerapatan jenis 0,002 ind/m2 dengan nilai kerapatan relatifnya 2%.Untuk kategori anakan nilai kerapatantertinggi terdapat pada jenis mangrove S. alba dengan nilai kerapatannya 0,011 ind/m2 dan nilai kerapatan relatifnya 66%, sedangkan nilai terendah terdapat pada jenis A. Albadengan nilai kerapatan jenis dan kerapatan relatifnya adalah 0,006 ind/m2 dan 10%. Untuk kategori semai, nilai kerapatan jenis dan kerapatan relatif tertinggi terdapat pada jenis S. Albadengan nilai 1,116 ind/m2 dan nilai kerapatan relatifnya 33% dan untuk nilai terendah terdapat pada jenis A. Albadengan nilai kerapatan jenisnya 0,083 ind/m2 dan nilai kerapatan relatif jenis10%.

S. alba memiliki nilai kerapatan jenis dan kerapatan relatif jenis tertinggi untuk kategori pohon, anakan dan semai. Hal ini di duga karenapenyesuian jenis individu mangrove pada tipe substrat di kedua lokasi yang terdiri dari substrat berlumpur, berpasir, lumpur berpasir dan berbatu. Hasil tersebut sesuai dengan pendapat Fachrul (2007) yang mengemukakan bahwa nilai kerapatan menunjukkan pola penyesuaian suatu jenis dengan lingkungannya. Jenis dengan nilai kerapatan tinggi memiliki pola penyesuaian yang besar.

(6)

Beberapa lokasi di wilayah Kelurahan Oesapa Barat terdapat ekosistem mangrove yang masih relatif stabil, tetapi semakin tipis jika dibandingkan dengan keadaan beberapa puluh tahun silam, dan pada bagian tertentu, ekosistem pantai di Kelurahan Oesapa Barat telah mengalami degradasi sehingga turut mempengaruhi tingginya laju sedimentasi yang terjadi wilayah tersebut. Semakin menipisnya sumberdaya hutan mangrove akibat pengaruh faktor alam dan faktor buatan manusia, seperti dieksploitasi untuk kebutuhan kayu bakar dan bahan bangunan, kegiatan pengambilan/penambangan batu karang, sehingga oleh Pemerintah Kota Kupang telah menjadikannya sebagai kawasan yang perlu dilakukan penanaman kembali sebagai daerah perkembang-biakan biota laut dan dan secara fisik, mencegah abrasi pantai.

Hasil kajian menunjukkan pemanfaatan mangrove secara langsung dengan memanfaatkan kayu yang telah benar-benar kering atau terbawa arus di pesisir pantai, karena adanya peraturan dari pemerintah setempat dan kesepakatan dari mereka sendiri. Jikalau peraturan ini dilanggar, maka mereka akan dikenakan sanksi seperti yang telah disepakati bersama. Namun, biasanya daun dan anakan mangrove yang masih muda dapat dijadikan sebagai pakan ternak. Hal ini terlihat dengan adanya ternak seperti kambing dan babi yang berkeliaran disekitar hutan mangrove untuk memanfaatkan daun dan anakan mangrove sebagai bahan makanan.

Selain itu, masyarakat sering menjadikan hutan mangrove sebagai tempat tambatan untuk perahu mereka ketika mereka pulang melaut atau pada saat musim barat, hal ini karena keberadaan hutan mangrove merupakan daerah yang terlindung. Namun, akibat dari pemanfaatan seperti ini dapat mengakibatkan kelestarian hutan mangrove di Pantai Paradiso terancam. Hal ini dilakukan karena menurut mereka hutan mangrove dapat memberikan banyak manfaat yang secara langsung dirasakan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Hal ini didukung oleh Murdiyanto (2003) bahwa hutan mangrove dapat memberikan manfaat baik secara langsung maupun secara tidak langsung bagi kehidupan manusia. Beberapa kegunaan pohon bakau yang langsung dapat dirasakan dalam kehidupan sehari-hari antara lain adalah sebagai tempat tambat kapal, obat-obatan, pengawet, pakan dan makanan dan juga sebagai bahan bakar dan bangunan. Bentuk

(7)

Kayu bakar

Pakan ternak

Tempat tambat kapal

Kayu bakar, Pakan ternak & Tempat tambat kapal

pemanfaatan hutan mangrove secara langsung menurut kategori responden disajikan pada Tabel 8.2.1.

Tabel 8.2.1. Bentuk Pemanfaatan Hutan Mangrove Secara Langsung menurut Karakteristik Responden.

No Karakteristik Responden

Bentuk Pemanfaatan

A B C D

Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah %

1 PNS 1 6,25 - - - -

2 Swasta 7 43,75 5 40,45 4 57,14 3 50

3 Tani/Nelayan 8 50 6 50,54 3 42,85 3 50

Total 16 40 11 27,00 7 18,00 6 15,00

Keterangan: A= kayu bakar, B= pakan ternak, C= tempat tambat kapal, D= kayu bakar, pakan ternak dan tempat tambat kapal.

Berdasarkan karakteristik responden terlihat bahwa 16 responden mengunakan mangrove sebagai kayu bakar, 8 orang diantaranya atau sebesar 50% berprofesi sebagai tani/nelayan dan sisanya 7 orang atau sebesar 6,25%. Pemanfaatan mangrove sebagai pakan ternak umumnya dilakukan oleh tani/nelayan (50,54%) diikuti oleh swasta (40,45%). Untuk tempat tambat perahu dari kalangan swasta (57,14%) dan dari tani/nelayan (42,85%) sedangkan pemanfaatan mangrove untuk kayu bakar, pakan ternak, tempat tambat perahu dan kayu bakar biasanya dilakukan oleh tani/nelayan, nelayan dan swasta. Pemanfaatan hutan mangrove secara langsung disajikan pada Gambar 8.2.1.

Gambar 8.2.1. Pemanfaatan Hutan Mangrove Secara Langsung 40%

15%

27% 18 %

(8)

Lahan tambak Tempat mencari ikan

Tempat rekreasi

Pemanfaatan hutan mangrove secara langsung oleh masyarakat di Pantai Paradiso umumnya dijadikan sebagai kayu bakar (40 %), untuk pakan ternak (27 %), untuk tempat tambat perahu (18 %) gabungan antara ketiganya yaitu (15 %). Hal ini menunjukan bahwa aktivitas yang dilakukan dapat membahayakan keberadaan hutan mangrove. Dampak yang dirasakan yaitu hutan mangrove mulai gersang, biota-biota penghuni hutan mangrove mulai berkurang seperti kerang-kerangan dan berbagai jenis ikan mulai menghilang.

Sementara bentuk pemanfaatan hutan mangrove secara tidak langsung oleh masyarakat di Kelurahan Oesapa Barat dapat dilihat pada Gambar 8.2.2.

Gambar 8.2.2. Pemanfaatan Hutan Mangrove Secara Langsung

Pemanfaatan mangrove secara tidak langsung oleh masyarakat Kelurahan Oesapa Barat sebagai lahan tambak (23%), serta tempat mencari ikan (69%) dan sisanya 8% digunakan sebagai tempat rekreasi oleh masyarakat. Lahan tambak yang dibuka adalah untuk budidaya ikan bandeng dan tambak garam. Daerah tambak yang ada adalah milik Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi NTT, selain itu masyarakat pesisir memanfaatkan lahan tambak garam dengan mengusahakan garam, hasil pengolahan air laut tersebut, lalu dipasarkan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Mata pencaharian masyarakat sebagai nelayan dan petani garam ini, ada hubungannya dengan hutan mangrove yang ada di Pantai Paradiso. Keberadaan hutan mangrove dengan fungsi ekonomisnya, memudahkan masyarakat untuk memperoleh hasil-hasil laut dengan jarak tangkapan yang dekat dan dengan hasil tangkapan yang memuaskan, disamping fungsi lainnya. Demikian pula dengan pertambakkan. Lokasi tambak, harus selalu berada dibelakang hutan mangrove. Dengan demikian hutan mangrove merupakan sumberdaya

69% 8%

(9)

alam yang sangat membantu dan menolong manusia dalam mempertahankan hidup khususnya masyarakat pesisir.

Selain itu menurut responden mereka sering memanfaatkan ekosistem tersebut untuk melakukan aktifitas penangkapan ikan di zona terdepan dengan menggunakan alat tangkap jala, pukat pantai (beachseine) dan pancing, sedangkan keong, kepiting dan kerang-kerangan biasanya diambil disekitar daerah mangrove terutama pada substrat lumpur pada saat air laut surut.

2.4.2 Ekosistem Terumbu Karang

Hasil analisis luasan terumbu karang di perairan Oesapa Barat seluas 7,65 Ha. Terumbu karang di Perairan Pantai Paradiso tumbuh pada zona intertidal bagian depan dan tengah. Lebar daerah sebaran vertikal terumbu karang di zona intertidal pada 3 (tiga) stasiun pengamatan bervariasi. Stasiun I memiliki sebaran yang luas dibagian depan dan tengah dibanding pada stasiun II dan III. Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat sekitar diketahui bahwa kondisi sebaran terumbu karang ± 10 tahun yang lalu lebih luas dibanding dengan kondisi sekarang, hal ini terjadi oleh perubahan secara alamiah dan tekanan dari aktivitas masyarakat pada daerah tersebut.

Hasil identifikasi terhadap 8055 individu karang batu yang dijumpai dalam transek pengamatan di Perairan Pantai Paradiso Oesapa Barat diklasifikasikan kedalam 26 genus (Tabel 8.2.2).

(10)

Tabel 8.2.2. Komposisi Jenis dan Frekuensi Kehadiran genus Karang Batu pada Stasiun dan Sub stasiun Pengamatan di Perairan Pantai Paradiso Oesapa.

STASIUN / SUB STASIUN

Genus I II III Frekuensi

A B A B A B (%) Acanthastrea √ √ √ √ √ √ 100 Acropora √ √ √ √ √ - 83,3 Coeloseris √ - √ - √ - 50 Cyphastrea √ √ √ √ √ √ 100 Echinomorpha √ - √ - √ - 50 Echinophyllia √ - √ - √ √ 66,7 Favia √ √ √ √ √ √ 100 Favites √ √ √ √ √ √ 100 Fungia √ - √ - √ - 50 Galaxea √ √ √ √ √ - 83,3 Goniastrea √ √ √ √ √ √ 100 Goniopora √ √ - - - √ 50 Hydnophora √ - - - 16,7 Leptastrea √ √ √ - √ √ 83,3 Merulina √ - √ - √ - 66,7 Montastrea √ √ √ √ √ √ 100 Montipora √ - √ - √ - 50 Oxypora √ - √ - √ - 50 Pavona √ √ √ - √ - 66,7 Platygyra √ √ √ √ √ √ 100 Pocillopora √ - √ √ √ - 66,7 Porites √ √ √ √ √ √ 100 Scolymia √ - √ - √ - 50 Stylophora √ - √ √ √ - 66,7 Symphyllia √ √ √ √ √ √ 100 Turbinaria - - - - √ √ 33,3 Jumlah 25 14 23 13 24 13 1883.4

Keterangan : √ = ditemukan A = sub stasiun bagian depan - = tidak ditemukan B = sub stasiun bagian tengah

Kajian tersebut menunjukkan bahwa genus karang batu Ordo Scleractiniayang paling umum ditemukan pada zona intertidal Pantai Paradiso adalah genus Acanthastrea, Cyphastrea, Favia, Favites, Goniastrea, Montastrea, Platygyra, Porites dan Symphylia, sedangkan yang jarang ditemukan adalah genus Hydnophora dan Turbinaria. Jumlah genus karang batu OrdoScleractinia pada lokasi pengamatan ditemukan 26 genus. Pada

(11)

setiap stasiun pengamatan bervariasi, pada stasiun I dominan ditemukan 14 genus, stasiun II 13 genus dan stasiun III 13 genus sedangkan pada masing-masing sub stasiun memiliki komposisi jenis yang bervariasi pula yakni untuk sub stasiun A (bagian depan) ditemukan 26 genus dan sub stasiun B (bagian tengah) 18 genus.

Genus karang batu yang umum ditemukan memiliki kemampuan bertahan hidup yang lebih baik pada kondisi ekstrim dibandingkan dengan genus karang yang jarang ditemukan. kompetisi dalam komunitas juga menjadi salah satu penyebab penyebaran populasi karang batu pada zona intertidal.

Adanya perbedaan komposisi jenis karang batu OrdoScleractinia pada masing-masing stasiun dan sub stasiun diduga karena dipengaruhi oleh perbedaan tipe substrat, limbah, laju sedimentasi dan aktivitas masyarakat pada daerah tersebut. Selain itu pada sub stasiun A (bagian depan) jenis karang batu OrdoScleractinia masih mendapatkan sebagian air akibat dari gerakan arus sehingga mempermudah proses penyerapan makanan.

2.4.3 Ekosistem Lamun

Jenis lamun yang ditemukan baik dalam transek pengamatan maupun koleksi bebas di lima lokasi terdapat empat jenis yaitu: Halodule universis, Thalassia hemprichii, dan Cymodocea rotundata. Komposisi kepadatan (prosentasi cover) tertinggi di Stasiun1 dengan nilai 42% dan terendah di Stasiun 3 sebesar 23,91% (Gambar 8.2.3).

42,00 30,55 23,91 0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 30,00 35,00 40,00 45,00

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

R ata -R ata Pr o sen tasi Co ve r

(12)

Surjadi (2002), menyatakan bahwa ekosistem lamun baik yang luas maupun sempit merupakan habitat yang penting bagi bermacam-macam spesies ikan. Sebagian besar asosiasi ikan dengan padang lamun karena adanya plankton, zooplankton dan epifauna krustasea sebagai makanan utama dari spesies-spesies ikan yang berasosiasi dengan lamun. Hasil penelitian yang menunjukkan nilai persentasi tutupan yang cukup besar menyediakan ruang bagi ikan (termasuk ikan pelagis kecil) untuk memanfaatkan lamun baik dalam rantai makanan maupun sebagai tempat hidup. Dan hal ini diperkuat oleh pendapat Dahuri (2003), yang menyatakan bahwa ekosistem lamun berfungsi sebagai penyuplai energi, baik pada zona bentik maupun pelagis. Detritus daun lamun yang tua didekomposisi oleh sekumpulan jasad bentik seperti teripang, kerang, kepiting, dan bakteri, sehingga menghasilkan bahan organik, baik yang tersuspensi maupun yang terlarut dalam bentuk nutrien. Nutrien tersebut tidak hanya bermanfaat bagi tumbuhan lamun, tetapi juga bermanfaat untuk pertumbuhan fitoplankton dan selanjutnya zooplankton, dan juvenil ikan/udang.

(13)

BAB III. PERENCANAAN PENGELOLAAN

3.1 Isu-isu Prioritas Pengelolaan Pesisir dan Laut Aspek SDA dan Lingkungan Pesisir dan Laut

a. Kerusakan terumbu karang di wilayah perairan Kelurahan Oesapa Barat

b. Semakin bertambahnya pengunjung di Pantai Paradiso tanpa memperhatikan aspek kelestarian pantainya

c. Keberadaan sarana olahraga dan bermain d. Banyaknya sampah yang berserakan

e. Tiadanya lampu penerangan di lokasi pantai

Aspek Sosial-Budaya

Tata tertib penempatan perahu nelayan agar teratur.

Aspek Sosial-Ekonomi

Tidak ada pasar ikan dan garam di lokasi Oesapa Barat

Aspek Kelembagaan

a. Rendahnya pengawasan masyarakat terhadap pemanfaatan wilayah pesisir

b. Kota Kupang telah memiliki Koperasi Bahari Sejahtera. Keterlibatan masyarakat pesisir dalam aktivitas koperasi tersebut sangat penting dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir.

3.2 Strategi Pengelolaan Aspek SDA dan Lingkungan Tujuan:

a. Memulihkan kembali ekosistem terumbu karang yang ada di pantai paradiso b. Meminimalisasi kerusakan ekosistem yang ada di pantai paradiso

c. Mengembangkan ekowisata Strategi:

(14)

c. Pembangunan lopo-lopo sebanyak 35 unit sebagai salah satu langkah awal untuk mengembangkan potensi ekowisata

d. Membangun fasilitas dan sarana olahraga tempat bermain anak-anak (Volley, bola kaki mini)

e. Membanguntempat penampungan sampah di dekat pantai

f. Membanguntiang dan lampu penerangan pantai, khususnya patai paradiso Indikator:

a. Semakin bertambahnya luasan terumbu karang

b. Tersedianya ruang publik untuk kegiatan olahraga dan tempat bermain c. Terdapat tempat sampah di beberapa titik di wilayah pesisir

d. Terdapat tiang-tiang lampu di beberapa titik jalan ke arah dan di sepanjang pantai

Aspek Sosial-Budaya Tujuan:

a. Menghindari konflik pemanfaatan lokasi berlabuh di perairan Kelurahan Oesapa Barat

b. Meminimalisasi kerusakan ekosistem, khususnya ekosistem terumbu karang di perairan kelurahan oesapa barat

Strategi:

a. Membangun dermaga/pelabuhan rakyat sebagai tempat pengaturan keluar masuk perahu nelayan (lokasi RT 07)

b. Sosialisasi tata tertib penggunaan tempat berlabuh di wilayah pesisir Indikator:

a. Semakin berkurangnya hingga tidak ada lagi konflik kepentingan dalam penggunaan lokasi berlabuh perahu nelayan

b. Semakin berkurangnya kerusakan ekosistem di wilayah pesisir

Aspek Sosial-Ekonomi Tujuan:

(15)

a. Masyarakat nelayan yang ada di Kelurahan Oesapa Barat dapat menjual hasil tangkapannya dan SDA lainnya yang bernilai ekonomi di pasar ikan yang disediakan

b. Selain menciptakan lapangan perkerjaan, masyarakat dapat memproduksi garam sendiri

Strategi:

a. Membangun tempat pemasaran ikan serta garam b. Membangun rumah produksi garan

Indikator:

a. Meningkatnya nilai ekonomis hasil tangkapan nelayan b. Terpusatnya tempat penjualan hasil tangkapan di pasar ikan c. Tersedianya garam secara mandiri

Aspek Kelembagaan Tujuan:

a. Meningkatkan peran serta masyarakat dan lembaga atau kelompok masyarakat VWG dan Pokmaswas untuk mengawasi pemanfaatan sumberdaya di wilayah pesisir.

b. Memfasilitasi lembaga simpan pinjam bagi masyarakat pesisir Strategi:

a. Pelatihan keterampilan dasar mengenai perencanaan penanggulangan kerusakan ekosistem pesisir, keterampilan tentang dasar-dasar manajemen organisasi, peran serta masyarakat dalam pemantauan dan pengawasan wilayah pesisir.

b. Melibatkan masyarakat pesisir dalam Koperasi Bahari Sejahtera di Kota Kupang Indikator:

a. Meningkatnya peran serta masyarakat dan lembaga atau kelompok masyarakat VWG dan Pokmaswas untuk mengawasi pemanfaatan sumberdaya di wilayah pesisir.

b. Bertambahnya keterlibatan masyarakat pesisir dalam kegiatan Koperasi Bahari Sejahtera di Kota Kupang

(16)

3.3 Rencana Aksi

Tabel 8.2. 3.Tabulasi Isu, Program dan Kegiatan Perencanaan Pengelolaan Lingkungan Pesisir dan Laut di Kelurahan Oesapa Barat

Issue Prioritas Program Kegiatan Pelaksana

Waktu Pelaksanaan (tahun) Pembiayaan 20 16 20 17 20 18 20 19 20 20 Aspek SDA dan Lingkungan

a. Kerusakan terumbu karang di wilayah perairan Kelurahan Oesapa Barat b. Semakin bertambahnya pengunjung di pantai paradiso tanpa memperhatikan aspek kelestarian pantainya

c. Tidak adanya sarana

olahraga dan bermain

d. Keberadaan sampah yang

berserakan

e. Tidak ada pnerangan di

lokasi pantai a. Transplantasi terumbu karang, khususnya di PerairanParadiso b. Mengembangkan potensi ekowisata c. Pengembangan ruang publik di wilayah pesisir d. Sanitasi di wilayah pesisir e. Penerangan Di lokasi pantai a. Pelatihan transplantasi

karang berbasis mayarakat b. Pelatihan pemantauan ekosistem terumbu karang berbasis masyarakat c. Pembangunan lopo-lopo sebanyak 35 unit d. Pembangunan Fasilitas

dan sarana olahraga

Tempat bermain anak-anak (Volley, bola kaki mini)

e. Pengadaan tempat

sampah di sekitar pantai

f. Pemasangan lampu di

lokasi pantai, khususnya di pantai paradiso DKP Provinsi, DKP Kota, Bapeda, Dinas PU, PT. PLN √ √ √ √ √ √ Aspek Sosial-Budaya

Penempatan dan berlabuh perahu yang belum teratur

a. Pembangunan infrastruktur di a. Membangun dermaga/pelabuhan DKP Provinsi, DKP Kota, √ √

(17)

Issue Prioritas Program Kegiatan Pelaksana Waktu Pelaksanaan (tahun) Pembiayaan 20 16 20 17 20 18 20 19 20 20 rakyat b. Musyawarah rutin masyarakat nelayan

perahu nelayan (lokasi RT 07)

b. Membuat kesepakatan

antara masyarakat dan

diketahui oleh Lurah

berkaitan dengan tata tertib penggunaan tempat berlabuh

Aspek Sosial-Ekonomi

Ketiadaan pasar ikan dan garam a. Pembangunan infrastruktur pemasaran ikan b. Pembangunan infrastruktur produksi garam dan pemasaran garam

a. Membangun pasar ikan

serta garam b. Membangun rumah produksi garam DKP Provinsi, DKP Kota, Bapeda, Dinas PU. √ √ √ Aspek Kelembagaan a. Rendahnya pengawasan masyarakat terhadap pemanfaatan wilayah pesisir b. Keberadaan koperasi Bahari Sejahtera di Kota Kupang

a. Meningkatkan peran serta masyarakat dan

lembaga atau kelompok masyarakat VWG dan Pokmaswas untuk mengawasi pemanfaatan sumberdaya di wilayah pesisir. a. Pelatihan ketrampilan dasar mengenai perencanaan penanggulangan kerusakan ekosistem pesisir, keterampilan tentang dasar-dasar manajemen organisasi,

peran serta masyarakat

DKP Provinsi,

DKP Kota,

Bapeda, PT

(18)

Issue Prioritas Program Kegiatan Pelaksana Waktu Pelaksanaan (tahun) Pembiayaan 20 16 20 17 20 18 20 19 20 20 pesisirsebagai anggota koperasi Bahari Sejahtera pesisir. b. Perekrutan masyarakat pesisir menjadi anggota Koperasi Bahari Sejahtera Kota Kupang

(19)

3.4 Rencana Monitoring dan Evaluasi

Monitoring dan evaluasi dari pelaksanaan rencana pengelolaan ini dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah kelurahan untuk menilai kegiatan dan hasil capaian dari setiap kegiatan. Proses dan pelaksanaan monitoring dan evaluasi ini telah diintegrasikan dalam dokumen rencana pembangunan dan pengelolaan. Review tahunan dilaksanakan oleh masyarakat dengan atau tanpa bantuan atau dukungan pemerintah setempat, dan dilaksanakan sebelum siklus pendanaan tahun anggaran berikutnya dimulai sebagai masukan bagi rencana kegiatan tahunan berikutnya.

Berdasarkan rencana pengelolaan ini maka akan dibuat rencana aksi tahunan oleh badan pengelola dimana penentuan prioritas kegiatan dan rencananya ditetapkan dan disetujui oleh masyarakat desa secara transparan dan terbuka yang dikoordinasi oleh badan pengelola, sedangkan petunjuk, kebijakan dan bantuan teknis serta dananya diperoleh dari pemerintah daerah (dinas dan instansi yang berkepentingan), APBD/APBN langsung, LSM, perguruan tinggi dan donatur, serta dari pendapatan dan usaha yang sah dari desa maupun lewat swadaya masyarakat.

Dalam memantau pelaksanaan kegiatan dalam rencana pengelolaan perlu dilakukan penilaian terhadap pelaksanaan kegiatan yang dilakukan. Kegiatan monitoring dan evaluasi ini dilaksanakan oleh pemerintah kelurahan dan Badan Pengelola, satu tahun sekali dan melaporkan hasilnya dalam suatu rapat musyawarah desa.

Laporan tersebut berisi meliputi :

a. Laporan keuangan, penerimaan dan pembelanjaan b. Laporan kegiatan

c. Laporan hasil yang dicapai

Tujuan Monitoring dan Evaluasi

Tujuan pelaksanaan monitoring dan evaluasi tersebut meliputi: a. Sejauh mana rencana Pengelolaan sudah dilaksanakan.

b. Kelemahan dan kekurangan dari rencana pengelolaandan untuk mengadakan perbaikan selanjutnya.

(20)

e. Aspek pembelajaran dan pemberdayaan masyarakat.

f. Aspek masyarakat dapat menilai dan melihat pelaksanaan rencana pengelolaan di desa.

g. Merancang program dan strategi pelaksanaan untuk tahun selanjutnya.

Hasil Yang Diharapkan

Hasil yang diharapkan berupa hasil yang dapat dirasakan secara fisik dan non-fisik, misalnya bangunan prasarana fisik yang telah dibangun (adanya daerah perlindungan laut, tanggul banjir, MCK, sarana air bersih, penyuluhan yang telah dilakukan, kelompok usaha yang dibentuk, dll.). Secara non-fisik hasil yang diharapkan adalah adanya kesadaran, kepedulian dan perubahan hidup masyarakat terhadap lingkungan dan sumberdaya alam yang ada di sekitar mereka.

Indikator

Indikator berupa penilai pencapaian hasil yang diharapkan misalnya luas daerah perlindungan laut, jumlah ikan di DPL dan sekitarnya, jumlah MCK yang dibangun, panjang tanggul yang dibangun, jumlah bak penampungan air bersih dan pompa yang sudah dibangun, banyaknya penyuluhan yang telah dilakukan, pendapatan, produksi, jumlah penduduk, dan lain-lain.

(21)

Tabel 8.2. 4. Matriks Rencana Monitoring dan Evaluasi Kelurahan Oesapa Barat

No. Rencana Monitoring Tujuan Monitoring dan

Evaluasi

Hasil Yang Diharapkan Indikator Waktu Pelaksa√naan

2016 2017 2018 2019 2020

1

Laporan keuangan, penerimaan dan pembelanjaan

Untuk Mengetahui Realisasi keuangan dan Fisik yang disesuaikan dengan target

Tertatanya manajemen keuangan

Penyampaian laporan

keuangan tiap bulan √ √ √ √ √

2 Laporan kegiatan

a. Menhetahui Sejauh mana rencana Pengelolaan sudah dilaksanakan.

b. Mengetahui Kelemahan dan kekurangan dari rencana pengelolaandan untuk mengadakan perbaikan selanjutnya.

c. Sejauh mana tujuan telah tercapai dan keinginan masyarakat telah terpenuhi

1. Diketahui jenis kegiatan dan lokasi kegiatan yang telah dilaksanakan 2. Mengetahui waktu

pelaksanaan dan berakhir suatu kegiatan 3. Diketahui komponen

dari suatu kegiatan

1. Adanya TOR dan RAB 2. Adanya Matrik pelaksanaan kegiatan 3. Laporan kemajuan √ √ √ √ √

3 Laporan hasil yang

dicapai

a. Mengetahui efektifitas dari kegiatan yang dipilih dan dilaksanakan. b. Mengetahui ketepatan waktu pelaksanaan kegiatan c. Mengetahui prosentase /tingkat keberhasilan suatu kegiatan. 1. Diketahui tingkat keberhasilan 2. Di ketahui permasalahan dan langkah tindak lanjut yang telah dilkasanakan

1. Laporan akhir 2. Laporan pelaksanaan kegiatan 3. Dokumentasi pelaksanaan kegiatan √ √ √ √ √

(22)

BAB IV LAMPIRAN-LAMPIRAN Lampiran 1. Peta Profil Kelurahan Oesapa Barat

(23)

Lampiran 2. Dokumentasi Kegiatan (Lokasi Kegiatan : Kantor Kelurahan Oesapa Barat)

(24)
(25)

Daftar Pustaka

Gesamp 1984. Thermal discharge in the environment. Report of studies GESAMP (24): 44 pp [MENLH] Menteri Negara Lingkungan Hidup. 2004. Keputusan Menteri Negara Lingkungan

Gambar

Tabel  8.2.1.  Bentuk  Pemanfaatan  Hutan  Mangrove  Secara  Langsung  menurut  Karakteristik Responden
Gambar 8.2.2. Pemanfaatan Hutan Mangrove Secara Langsung
Tabel 8.2.2.   Komposisi Jenis dan Frekuensi Kehadiran genus Karang Batu pada Stasiun  dan Sub stasiun Pengamatan di Perairan Pantai Paradiso Oesapa
Tabel 8.2. 3.Tabulasi Isu, Program dan Kegiatan Perencanaan Pengelolaan Lingkungan Pesisir dan Laut di Kelurahan Oesapa Barat
+2

Referensi

Dokumen terkait

Dari beberapa persyaratan sebagaimana yang telah diuraikan di atas, hal yang menjadi sorotan publik adalah berkaitan dengan persyaratan calon Gubernur dan calon Wakil

pembunuhan adalah pasal 342 KUHPidana yang merumuskan : “Seorang ibu yang untuk pelaksanaan suatu rencana yang ditentukan karena pengaruh ketakutan akan ketahuan

Kayu kulim mudah dikenali karena memberikan bau yang khas seperti bawang putih dari kulit dan buahnya.. Pohon ini mempunyai kekhasan yaitu kulit yang lepas dari irisannya

MAHASISWA DALAM PENGISIAN KRS HARUS MENGISI KELAS SUPAYA NAMANYA TERCANTUM DALAM DAFTAR ABSEN KULIAH MAUPUN DAFTAR ABSEN

Probiotik didefinisikan sebagai kultur bakteri tunggal atau campuran yang ketika dikonsumsi oleh ternak atau manusia akan memberikan efek yang menguntungkan bagi

Dalam pengamatan rata-rata panjang tunas yang tumbuh terlihat semakin besar ukuran umbi mikro panjang tunas akan semakin panjang, jumlah tunas yang tumbuh sesuai

Masalah yang sering terjadi pada heat exchanger ini adalah terjadinya erosi pada bagian dalam bengkokan tube yang disebabkan oleh kecepatan aliran dan tekanan di dalam tube,

Apabila tidak ada nama, dipilih nama kampung yang dianggap populer(terkenal), serta mempunyai aksesibilitas (sekolah dan fasilitas umum) terhadap mobilitas antarpermukiman.