• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISA KASUS PERSELISIHAN PERBURUHAN Diah Lestari Pitaloka S.H.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISA KASUS PERSELISIHAN PERBURUHAN Diah Lestari Pitaloka S.H."

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISA KASUS PERSELISIHAN PERBURUHAN

Diah Lestari Pitaloka S.H.

Istilah PHK atau pemutusan hubungan kerja tentu sudah tidak asing di

telinga para pekerja. Tentu saja, para pekerja berusaha sebisa mungkin menghindari

PHK. Di lihat dari sudut hukum perburuhan PHK termasuk kedalam perselisihan

perburuhan. Ada tiga kategori perselisihan perburuhan, yaitu : Pertama dilihat dari

sudut pihak yang berselisih (subjek) ada perselisihan perseorangan dan perselisihan

kolektif. Perselisihan perseorangan atau individual terjadi antara seorang pekerja

dengan pengusaha/majikan sedangkan perselisihan kolektif terjadi antara serikat

pekerja dengan pengusaha/majikan.

Kedua dilihat dari sudut masalahnya, yaitu perselisihan hak dan perselisihan

kepentingan. Perselisihan hak atau hukum adalah perselisihan yang terjadi karena

salah satu pihak pada perjanjian kerja atau perjanjian perburuhan tidak memenuhi

isi perjanjian tersebut ataupun menyalahi ketentuan hukum yang berlaku bagi

hubungan kerja. Perselisihan kepentingan adalah perselisihan mengenai

syarat-syarat yang diinginkan atau yang akan datang dan atau keadaan perburuhan. Dalam

perselisihan kepentingan terdapat perbedaan mengenai hal-hal yang akan

dicantumkan dalam kontrak kerja bersama, baik dalam hal pembuatan baru,

perpanjangan ataupun perubahan dari kontrak kerja bersama.

Terakhir, perselisihan perburuhan dilihat dari sudut prakteknya terdapat

perselisihan hubungan industrial dan pemutusan hubungan kerja, yang akan dibahas

lebih lajut pada sub-bab berikut.

Masalah perselisihan perburuhan diatur dalam Undang-undang No. 22 tahun

1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan. Menurut pasal 1 ayat 1c yang

dimaksud dengan perselisihan perburuhan adalah pertentangan antara majikan atau

perkumpulan majikan dengna serikat buruh atau gabungan serikat buruh,

berhubung dengan tidak adanya persesuaian paham mengenai hubungan kerja,

(2)

syarat-syarat kerja dan atau keadaan perburuhan. Jadi, yang menjadi subjek adalah

serikat pekerja dan yang menjadi objek perselisihan adalah hubungan kerja,

syarat-syarat kerja dan/atau keadaan perburuhan. Perselisihan kolektiflah yang diatur oleh

Undang-undang ini, baik itu merupakan perselisihan hak ataupun perselisihan

kepentingan. Penyelesaian perselisihan hak menurut UU No.22/1957 dapat melalui

Pengadilan Negeri atau melalui Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (P4)

sedangkan penyelesaian perselisihan kepentingan hanya dapat melalui P4.

PHK termasuk kedalam perselisihan perburuhan individual dimana pekerja

tidak menjadi anggota serikat pekerja, sehingga untuk penyelesaiannya tidak diatur

oleh UU No.22 tahun 1957. Dasar hukum dari PHK adalah Undang-undang no.12

tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta dan

Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 150/2000 tentang Penyelesaian PHK dan

Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Ganti Kerugian di

Perusahaan.

Sebenarnya ada dua cara untuk menyelesaikan konflik antara pekerja/buruh

dengan pengusaha/majikan, yaitu melalui cara damai atau dengan cara paksaan. Cara

damai dapat dibagi menjadi dua, yaitu melalui Pengadilan atau Luar Pengadilan.

Melalui luar pengadilan (

out court

) bisa berupa negosiasi (tanpa pihak

ketiga/bipartite) atau dengan pihak ketiga/tripartite yaitu melalui konsiliasi, mediasi

atau arbitrasi. Sedangkan penyelesaian konflik melalui cara paksaan disebut juga

industrial action, yaitu dengan cara

lock-out

(hak pengusaha untuk menutup

perusahaan) dan cara mogok (hak buruh untuk menghentikan pekerjaan).

Menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja No.1108/Men/1986 tentang Tata

Cara Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, ada 3 cara penyelesaian di tingkat

perusahaan yaitu: pertama,

keluh kesah

yang disampaikan pada atasan langsung atau

yang lebih tinggi atau meminta bantuan dari serikat pekerja. Kedua,

perselisihan

hubungan perburuhan

yang dirundingkan secara musyawarah antara serikat pekerja

dengan majikan/pengusaha atau dapat ke kantor Departemen Tenaga Kerja. Ketiga,

(3)

pemutusan hubungan kerja

yang rencana mengenai PHK tersebut harus

dirundingakan antara pengusaha dengan serikat pekerja dan harus meminta ijin dari

Panitian Penyelesaian Perselisihan Perburuhan tingkat Pusat (P4P) untuk PHK

massal dan ijin dari Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan tingkat Daerah

(P4D) untuk PHK perseorangan. Tapi, ijin dari P4 tidak diperlukan jika PHK

tersebut dilakukan pada masa percobaan kerja, pekerja/buruh menyetujui PHK,

masa kerja yang diperjanjikan sudah habis, buruh/pekerja yang bersangkutan telah

memasuki masa pension, PHK tersebut telah disetujui oleh serikat pekerja yang

bersangkutan dan PHK dilakukan karena keadaan darurat (misalnya perusahaan

pailit, pengusaha meninggal dunia, dan sebagainya).

Prosedur /tahap penyelesaian perselisihan perburuhan menurut UU

No.22/1957 yang merupakan jalur penyelesaian secara wajib jika terjadi perselisihan

(baik hak maupun kepentingan) antara pengusaha dengan serikat pekerja, yaitu

sebagai berikut: pertama, dilakukan musyawarah diantara para pihak atau secara

damai melalui perundingan (pasal 2 ayat 1). Persetujuan yang dicapai dapat disusun

menjadi perjanjian perburuhan. Jika tidak dapat diselesaikan maka para pihak

meminta bantuan kepada arbitrase/dewan pemisah (pasal 19 ayat 1) atau kepada

Pegawai Perantara Departemen Tenaga Kerja.

Jika telah melalui jalur ini, perselisihan masih juga tidak dapat diselesaikan

maka kasus diberikan kepada P4D (pasal 4 ayat 2) sebagai arbitrase wajib. P4D akan

memanggil para pihak untuk melakukan dengar pendapat dan mengadakan

perundingan dengan damai. Persetujuan yang dicapai dapat disusun menjadi

perjanjian perburuhan yang mempunyai kekuatan hukum tetap (pasal 7). P4D

berhak memberi putusan yang dapat bersifat anjuran (pasal 8 ayat 2) atau bersifat

mengikat (pasal 8 ayat 3). Atas putusan P4D, jika para pihak puas maka dapat

dimintakan fiat executie ke pengadilan negeri (pasal 10 ayat 3) tapi jika para pihak

tidak puas maka dapat mengajukan banding ke P4P.

(4)

Menurut pasal 11 ayat 1, terhadap putusan P4D yang mengikat dapat

dimintakan banding dalam waktu 14 hari. Sebagai lembaga banding, P4P dapat

melakukan pemeriksaan yang didasarkan kepada berkas-berkas dari P4D dan isi

memori banding. Putusan dari P4P bersifat final atau tidak dapat dibanding karena

P4p merupakan lembaga tertinggi dalam proses perselisihan perburuhan. Terhadap

putusan P4P dapat dimintakan fiat executie ke Pengadilan Negeri (pasal 16). Namun,

terhadap putusan P4P, Menteri Tenaga Kerja dapat melakukan veto untuk

membatalkannya dengan alasan memelihara ketertiban umum atau melindungi

kepentingan Negara. Meskipun putusan P4p tidak dapat dibanding, namun terhadap

putusan tersebut pihak yang tidak puas dapat menggugat ke Pengadilan Tinggi Tata

Usaha Negara dan selanjutnya kasasi ke Mahkamah Agung.

Hal-hal tersebut diatas, merupakan penyelesaian perselisihan perburuhan

yang diatur dalam UU No.22/1957 yaitu hanya mengenai perselisihan antara

majikan/pengusaha dengan serikat pekerja. Bagaimana jika perselisihan yang terjadi

antara seorang buruh/pekerja yang tidak tergabung ke dalam serikat pekerja dengan

majikan/pengusaha?

Pemutusan Hubungan Kerja

Pemutusan Hubungan Kerja atau PHK dapat dibagi menjadi 4 kelompok,

yaitu:

1. PHK demi hukum

2. PHK oleh pihak pekerja

3. PHK oleh pihak pengusaha

4. PHK oleh putusan pengadilan

PHK demi hukum yaitu PHK yang terjadi tanpa perlu adanya suatu tindakan,

terjadi dengan sendirinya misalnya karena berakhirnya waktu atau karena

meninggalnya pekerja. PHK oleh pihak pekerja terjadi karena keinginan dari pihak

(5)

pekerja dengan alasan dan prosedur tertentu. PHK oleh pihak pengusaha terjadi

karena keinginan dari pihak pengusaha dengan alasan, persyaratan dan prosedur

tertentu. Sedangkan PHK oleh putusan pengadilan terjadi karena alasan-alasan

tertentu yang mendesak dan penting, misalnya terjadinya peralihan kepemilikan,

peralihan asset atau pailit.

Ketentuan hukum PHK dapat bersifat perdata, yaitu mengenai

pemberitahuan, tenggang waktu dan saat PHK yang diatur oleh Kitab

Undang-undang Hukum Perdata bab 7a bagian 5 dan bersifat publik yaitu mengenai ijin

untuk memutuskan hubungan kerja yang diatur dalam Undang-Undang No.12/1964,

Undang-Undang No. 22/1957 dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No.150/2000

(selanjutnya disingkat KMTK No.150/2000).

Akibat dari PHK dapat ditinjau dari pihak majikan dan dari pihak buruh. Dari

pihak majikan/pengusaha PHK dapat menyebabkan terganggunya proses produksi

yang akibatnya perusahaan merugi, pengeluaran biaya tambahan akibat harus

memberikan pesangon dan perusahaan dapat kehilangan tenaga yang terampil. Jika

dilihat dari sudut pekerja/buruh, PHK dapat mengakibatkan kehilangan nafkah dan

kehilangan status. Kehilangan nafkah dapat dikompensasikan dengan pemberian

uang pesangon, uang jasa/penghargaan masa kerja dan ganti kerugian.

Kesalahan ringan yang dilakukan terus menerus atau melakukan kesalahan

yang sama setelah mendapat peringatan terakhir yang masih berlaku, menurut

KMTK No.150/2000, juga dapat menjadi kesalahan berat.

Jadi, jika buruh/pekerja di PHK karena melakukan kesalahan berat dan sudah

terbukti, maka ia hanya mendapat uang ganti kerugian dan uang jasa tanpa

mendapatkan uang pesangon. Sebaliknya, jika buruh di PHK dan kesalahannya

ringan maka prosedur PHKnya harus memenuhi ketentuan pasal 6, pasal 7, dan pasal

8 KMTK No.150/2000 yaitu harus ada unsur pembinaan. Unsur pembinaan ini

disujudkan dengan teguran dan peringatan. Kalau terjadi kesalahan prosedur dalam

hal ini, maka majikan dapat dianggap melawan hukum.

(6)

Namun ada juga PHK yang dilakukan oleh majikan tanpa ada unsur kesalahan

dari buruh/pekerja. Hal ini diatur dalam pasal 27 KMTK No.150/2000 dan akibatnya

buruh/pekerja mendapatkan dua kali uang pesangon, satu kali uang penghargaan

masa kerja dan uang ganti kerugian.

Menurut pasal 2 ayat (1) KMTK No.150/2000, setiap PHK di perusahaan harus

mendapat ijin dari Panitia Daerah (P4D,pen) untuk PHK perorangan dan dari

Panitia Pusat (P4P) untuk PHK massal. Pengecualian terdapat pada ayat (2), yaitu

ijin tidak diperlukan dalam hal:

a. pekerja dalam masa percobaan kerja;

b. pekerja mengajukan permintaan mengundurkan diri secara tertulis atas

kemauan sendiri tanpa mengajukan syarat;

c. pekerja telah mencapai usia pension yang ditetapkan dalam perjanjian kerja

atau peraturan perusahaan atau kesepakatan kerja bersama; atau

d. berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu;

e. pekerja meninggal dunia.

Dalam ayat (3) disebutkan bahwa PHK tidak dapat diberikan apabila PHK di

dasarkan atas :

a. hal-hal yang berhubungan dengan kepengurusan dan atau keanggotaan

serikat pekerja yang terdaftar di Depnaker atau dalam rangka membentuk

serikat pekerja atau melaksanakan tugas-tugas atau fungsi serikat pekerja di

luar jam kerja atau di dalam jam kerja atas ijin tertulis pengusaha atau yang

diatur dalam kesepakatan kerja bersama.

b. Pengaduan pekerja kepada yang berwajib mengenai tingkah laku Pengusaha

yang terbukti melanggar peraturan Negara

c. Paham, agama, aliran, suku, golongan, atau jenis kelamin.

Sedangkan menurut ayat (4), PHK dilarang :

(7)

a. Pekerja berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter

selama waktu tidak melampaui 12 bulan terus menerus;

b. Pekerja berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban

terhadap Negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

c. Pekerja menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya dan yang

disetujui pemerintah;

d. Karena alasan pekerja menikah, hamil, malahirkan atau gugur kandungan;

e. Karena alasan pekerja wanita melaksanakan kewajiban menyusui bayinya

yang telah diatur dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau

kesepakatan kerja bersama atau peraturan perundang-undangan.

Selain itu, terdapat juga alasan-alasan PHK diluar hukum, maksudnya

alasannya tidak diatur dalam hukum tetapi akan melalui proses yang sama dengan

yang di dalam hukum. Alasan-alasan tersebut antara lain: alasan ekonomi, misalnya

terjadi pengurangan jumlah produksi, efisiensi, atau perusahaan ingin memperkuat

produksi di satu daerah sehingga di daerah lain ditutup; alasan solidaritas, misalnya

ketua serikat pekerjanya dipecat dan terakhir adalah alasan politik.

Studi kasus Jonedi B Ruskam vs PT.Garuda Indonesia

Kronologis perkara:

• Februari 1998

: Jonedi diperiksa oleh pihak kepolisian atas kasus tindak

pidana orang asing yang keluar wilayah Indonesia tanpa

pemeriksaan pejabat Imigrasi. Karena hal ini, Jonedi di

skorsing oleh Garuda selama 11 bulan.

• Mei 1998

: Pemeriksaan terhadap Jonedi yang dilakukan oleh pihak

kepolisian dinyatakan telah selesai dan Jonedi dapat

dipekerjakan kembali. (berdasarkan surat keterangan yang

dikeluarkan oleh Polda Metro Jaya selaku penyidik)

(8)

• 24

Feb

1999

:

Garuda mencabut skorsing terhadap Jonedi dan

mengaktifkan kerja kembali, yang berlaku mulai 1 Maret

1999. (surat No.CGKDM/2129.II/1999 yang diterima oleh

jonedi pada tanggal 3 Maret 1999)

• 1 Juni 1999

: Surat No.DHG/1429/I/V/1999 tentang daftar Penyelesaian

PHK Jonedi diberikan kepada pihak-pihak terkait untuk

ditandatangan. PHK mulai berlaku tanggal 1 Agustus 1999.

• 2 Juli 1999

: Surat No. DI/SKEP/5116/B.3/99 tentang pemberhentian

Jonedi, dan mulai berlaku tanggal 1 Agustus 1999.

• 5 Juli 1999

: Jonedi menyatakan keberatan atas PHK yang dijatuhkan

kepadanya, dengan mengirimkan surat kepada BPK.

(

menurut Jonedi, surat yang Ia kirimkan bukan merupakan

surat keberatan, namun hanya surat yang isinya

mempertanyakan kejelasan statusnya sebagai pegawai

Garuda

)

• 1 Nov 1999

: Surat No. BPK/SKEP/5225/99 tentang Penguatan Hukuman

Disiplin dikeluarkan oleh Badan Pertimbangan

Kepegawaian (BPK) Garuda, dengan dasar Jonedi telah

mengajukan keberatan kepada BPK atas PHK yang

dijatuhkan kepadanya.

• 5 April 2000

: SK 5116 dan SK 5225 diberikan kepada Jonedi dengan Berita

Acara Penyerahan.

• 7 Feb 2002

: Jonedi mendaftarkan gugatannya kepada Pengadilan TUN

Jakarta (Gugatan No.25/GTUN/2002/PTUN-JKT)

• 11 Maret 2002 : Pemeriksaan Persiapan (dismissal process) yang pertama

berdasarkan surat Penetapan Ketua majelis PTUN Jakarta

No.25/PEN-HS/PTUN-JKT/2002 tanggal 4 Maret 2002.

• 27 Maret 2002 : Pemeriksaan Persiapan II, Jonedi memperbaiki gugatannya

(9)

• 10 April 2002 : Eksepsi kompetensi relative dari pihak Garuda, yang

menyatakan bahwa PTUN secara relative tidak berwenang

memeriksa dan mengadili perkara dengan alasan bahwa

PHK Jonedi telah dikuatkan oleh BPK sebagai lembaga

banding administrative dan yang berwenang adalah

Pengadilan Tinggi TUN.

• 11 April 2001

: (

versi pihak Garuda

) Jonedi mengirimkan surat kepada

kantor Depnaker Jakarta yang isinya menyatakan bahwa

Jonedi mengakui telah melakukan upaya hukum untuk

membatalkan putusan BPK dengan mengajukan gugatan

kepada Pengadilan Tinggi TUN Jakarta, tetapi usaha

tersebut ditolak dengan alasan telah lewat waktu/daluarsa.

(

Jonedi menyangkal hal ini, dan mengatakan bahwa ia tidak

pernah mengajukan gugatan kepada Pengadilan Tinggi

TUN, berdasarkan wawancara dengan Jonedi

)

• 19 April 2002

: Jonedi mengajukan jawaban menolak kompetensi relative

dari Garuda yang isinya antara lain menyatakan bahwa Ia

tidak pernah diberi kesempatan untuk membela diri (

tidak

pernah mengajukan banding ke BPK,pen

)

• 29 April 2002 : Majelis Hakim memberikan keputusannya, yang isinya

antara lain menyatakan bahwa benar atas dasar Jonedi telah

melakukan pelanggaran disiplin berat dalam pelaksanaan

tugas, Garuda telah memberhentikannya sebagai pegawai;

bahwa benar Jonedi telah mengajukan keberatan kepada

BPK atas PHK tersebut dan BPK telah mengeluarkan surat

penguatan hukuman disiplin; dan berdasarkan Peraturan

Perusahaan Garuda, mengatur dalam hal pegawai keberatan

atas putusan BPK maka yang bersangkutan dapat

(10)

mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi TUN; dan

berdasarkan pertimbangan hukum tersebut maka meskipun

yang menjadi objek sengketa adalah SK 5116, namun karena

telah ada SK 5225 dari BPK sebagai lambang banding

administrative maka seharusnya yang menjadi objek

sengketa adalah SK 5225 tersebut dan hal tersebut menjadi

kewenangan Pengadilan Tinggi TUN untuk menguji

keabsahannya, sehingga beralasan hukum eksepsi

kompetentsi relative yang diajukan Garuda dikabulkan dan

dinyatakan diterima; dan PTUN menyatakan tidak

berwenang mengadili perkara a quo, dan oleh karenanya

gugatan dinyatakan tidak dapat diterima.

Analisa Kasus

• PT. Garuda Indonesia mempunyai Peraturan Perusahaan yang telah disahkan

oleh Depnaker. Peraturan Perusahaan yang terbaru adalah yang ditetapkan pada

tanggal 1 September 1998. Dalam Peraturan tersebut dibahas mengenai PHK

yaitu pada Bab X, yang isinya adalah mengenai jenis PHK, hak-hak pegawai

sehubungan dengan PHK, uang pesangon dan uang jasa, dan badan

pertimbangan kepegawaian (BPK). Pada pasal 72, alasan yang menyebabkan

Pegawai dapat berakhir hubungan kerjanya dengan Perusahaan antara lain:

1. Tidak cakap melakukan pekerjaan dalam masa percobaan (calon pegawai)

2. Atas permintaan sendiri

3. Kedinasan

4. Tidak memenuhi persyaratan jabatan

5. Melakukan pelanggaran disiplin

6. Melakukan pelanggaran terhadap Kode Etik Profesi di PT.Garuda Indonesia

7. Berakhirnya jangka waktu Perjanjian Kerja untuk waktu tertentu

(11)

8. Memenuhi persyaratan pensiun.

PHK yang dilakukan oleh Garuda terhadap Jonedi, dapat dikatakan, tanpa

adanya alasan yang jelas dan kuat. Pihak Garuda menyatakan dalam SK 2552

bahwa Jonedi telah melakukan pelanggaran disiplin berat dalam menjalankan

tugasnya, namun tidak dijelaskan jenis pelanggaran apa yang Jonedi lakukan.

Pasal 77 ayat (1) Peraturan Perusahaan menyebutkan bahwa perusahaan dapat

melakukan PHK bagi pegawai yang melakukan pelanggaran Peraturan Disiplin

Pegawai. Menurut Peraturan Disiplin Pegawai PT.Garuda, pelanggaran disiplin

dibagi menjadi 3 (tiga) tingkat, yaitu : Pelanggaran Tingkat I dengan hukuman

didiplin ringan, berupa peringatan tertulis; Pelanggaran Tingkat II dengan

hukuman disiplin sedang, berupa penurunan jabatan satu tingkat lebih rendah

untuk paling lama 1 tahun; Pelanggaran Disiplin Tingkat III dengan hukuman

disiplin berat, berupa pemutusan hubungan kerja.

Jika pelanggaran yang dimaksud adalah ketika Jonedi tersangkut masalah pidana

mengeluarkan orang asing dari wilayah Indonesia tanpa pemeriksaan imigrasi

dan atas hal tersebut Jonedi diperiksa oleh pihak kepolisian, seharusnya hal

tersebut tidak dapat dijadikan suatu alasan PHK karena telah ada surat

keterangan dari pihak kepolisian yang menyatakan pemeriksaan terhadap diri

Jonedi telah selesai dan Ia dapat dipekerjakan kembali. Hal ini juga diperkuat

dengan adanya surat dari Garuda sendiri yang menyatakan mencabut skorsing

terhadap diri Jonedi dan mengembalikan semua hak-haknya sebagai pegawai.

Pada masa tersebut, Garuda sedang melakukan restrukturisasi perusahaan yang

diantaranya adalah perampingan pegawai. Restrukturisasi organisasi, efisiensi

perusahaan, perusahaan mengalami kelebihan pegawai termasuk kedalam PHK

karena alasan kedinasan sebagaimana diatur dalam pasal 75 ayat (1) Peraturan

Perusahaan. Bukan hal yang aneh jika ternyata PHK Jonedi termasuk kedalam

usaha Garuda untuk merampingkan perusahaannya, karena pada saat ini

(12)

divisi/bagian tempat Jonedi pernah bekerja sudah tidak ada lagi alias semua rekan

kerja Jonedi di bagian Ramp Handling diberhentikan atau dipindahtugaskan

(

berdasarkan wawancara dengan Jonedi, pen

)

• PHK yang dialami Jonedi tidak termasuk kedalam perselisihan perburuhan

seperti yang diatur dalam UU No.22/1957 karena tidak adanya serikat pekerja.

Pada saat itu, Garuda belum mempunyai Serikat Pekerja. Sehingga perselisihan

perburuhan antara Jonedi dengan Garuda termasuk kedalam perselisihan

perburuhan individual. Meskipun Garuda mempunyai Peraturan Perusahaan dan

Peraturan Disiplin Pegawai sendiri, namun Garuda sebagai suatu perusahaan

milik Negara juga tunduk kedalam KMTK 150/2000.

• Terdapat kejanggalan dalam hal waktu pemberian SK 5116 dan SK 2552 kepada

Jonedi. Kedua SK tersebut diberikan dalam waktu yang bersamaan yaitu pada

tanggal 5 April 2000. Padahal SK 5116 telah ada sejak 2 Juli 1999 dan SK 2552

telah ada sejak 1 November 1999. Bagaimana mungkin Jonedi dapat mengajukan

keberatan atas SK 5116 jika SK tersebut baru Ia terima bulan April 2000 ? Atas

dasar apa Jonedi dapat mengajukan keberatan jika SK mengenai pemecatan

dirinya belum Ia terima? dan mengapa kedua SK tersebut baru diberikan kepada

yang bersangkutan beberapa bulan kemudian? Keterlambatan tersebut tentu saja

menyebabkan yang bersangkutan tidak dapat mengajukan banding (atau

keberatan apapun) karena adanya masa daluarsa. Hal lain yang menjadi

keanehan adalah surat tanggal 1 Juni 1999. Kenapa ada surat lain yang beredar

(yang isinya adalah penyelesaian PHK) sebelum adanya SK yang menyatakan

pemberhentian kerja Jonedi? Logikanya, penyelesaian PHK dilakukan jika SK

mengenai PHK memang sudah ada. Pasal 81 ayat 1 Peraturan Perusahaan Garuda

sendiri menyatakan bahwa pemberitahuan PHK disampaikan kepada pegawai

selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum PHK.

(13)

• Jika memang Jonedi telah mengetahui PHK atas dirinya, dan memang benar Ia

mengajukan keberatan kepada BPK, keputusan yang diambil oleh BPK tetap

tidak mempunyai alasan yang kuat karena BPK mendasarkan keputusannya pada

alasan pelanggaran disiplin berat yang dilakukan Jonedi. Dilihat dari Peraturan

Disiplin Perusahaan Garuda, wewenang BPK adalah memeriksa dan

memutuskan atas keberatan hukuman disiplin berupa pemberhentian dengan

hormat tidak atas permintaan sendiri atau pemberhentian dengan hormat yang

sebagai pegawai, BPK seharusnya tidak berwenang memutus keberatan Jonedi,

karena jika alasan yang dipakai oleh Garuda untuk PHK adalah pelanggaran

disiplin berat maka hukumannya adalah pemecatan tidak dengan hormat.

• Jika memang benar Jonedi mengajukan keberatan kepada BPK atas pemecatan

dirinya, dan Jonedi tidak puas akan keputusan yang diambil oleh BPK maka

seharusnya Jonedi mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi TUN. Hal tersebut

sesuai dengan Peraturan Perusahaan Garuda pasal 85 ayat 3 dan pasal 48 UU

No.5/1986, dimana dalam perusahaan Garuda telah terdapat suatu lembaga yang

berwenang

memeriksa dan memutus dalam hal dilakukannya upaya

administrative mengenai sengketa TUN yaitu lembaga BPK. (sebagai catatan:

keputusan yang dikeluarkan oleh Direktur Utama Garuda merupakan keputusan

tata usaha Negara sesuai dengan UU No.5/1986).

• Jika ternyata Jonedi tidak mengajukan keberatan kepada BPK, Jonedi tetap tidak

dapat langsung menggugat SK mengenai PHK dirinya ke PTUN karena hal ini

berarti Jonedi tidak mengerti Peraturan Perusahaan tempat Ia bekerja, dimana

dalam peraturan tersebut dengan jelas disebutkan jalur upaya apa saja yang dapat

dilakukan jika terjadi sengketa kepegawaian atau perselisihan perburuhan.

(14)

• Permasalahan lain dalam kasus ini adalah bagaimana mungkin gugatan Jonedi

yang telah melalui dismissal proses ternyata diputus oleh Majelis Hakim, tidak

dapat diterima? Jonedi telah melalui tahap dimana Ia harus memperbaiki

gugatannya, dan PTUN Jakarta menerima perkara tersebut hingga persidangan

jalan sampai pada pokok perkara, namun pada putusan akhir ternyata eksepsi

kompetensi relative dari pihak Garuda diterima dan gugatan Jonedi tidak dapat

diterima.

• Permasalahan lain dalam kasus ini adalah, bagaimana mungkin gugatan Jonedi

melewati tahap dismissal proses jika SK yang digugat dikeluarkan kurang lebih 2

tahun sebelum gugatan dibuat? Seharusnya gugatan tidak dapat diperiksa oleh

PTUN karena lewatnya masa/daluarsa.

Referensi

Dokumen terkait

Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah.. Departemen Pendidikan dan

Konsep pencahayaan yang aka diterapkan adalah Modern city, yang dimana memaksimalkan pencahayaan buatan, yang dimana secara psikologis pencahayaan buatan merupakan sebuah

Melalui penelitian ini, diharapkan dapat menghasilkan temuan-temuan baru yang akan berguna bagi perkembangan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), serta menambah wawasan

Proses terjadinya bunga dan buah kopi (terutama kopi robusta dan arabika) sangat dipengaruhi hujan. Saat musim hujan berakhir, cabang-cabang primer sudah mulai

Se)uah sistem harus sesuai $engan sistem nyata serta sesuai $engan &ro$uk  yang $ihasilkan% 2anyak &erusahaan $alam menjalankan sistemnya menggunakan a&likasi

Bahkan di penghujung kegiatan pada 21 September 2014, disaksikan ratusan peserta riungan dan ribuan pasang mata pengunjung lainnya ia tampil membacakan sebuah

Bukaan jendela/pintu relatif banyak pada sisi Selatan dan Timur, sedangkan sisi bagian Barat terdapat selasar bangunan yang menghubungi bangunan utama dengan