• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Konsumen Terhadap Keterlambatan Pengiriman Barang Melalui Angkutan Darat (Studi Pada CV. Sinar Makmur Abadi) Chapter III V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perlindungan Konsumen Terhadap Keterlambatan Pengiriman Barang Melalui Angkutan Darat (Studi Pada CV. Sinar Makmur Abadi) Chapter III V"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

KAJIAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

A. Pengertian Perlindungan Konsumen

Pembangunan dan perkembangan perekonomian umumnya dan khususnya

di bidang perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai

variasi barang dan atau jasa yang dapat dikonsumsi, yang ditunjang dengan

perkembangan zaman dan kemajuan teknologi. Kondisi yang demikian pada satu

pihak mempunyai manfaat bagi konsumen karena akan barang dan atau jasa yang

diinginkan dapat terpenuhi sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen.

Pelaku usaha tentu ingin meraih keuntungan yang besar yang tentunya dengan

biaya produksi yang rendah. Sedangkan konsumen tentunya ingin mendapatkan

pelayanan yang maksimal. Kedua belah pihak pasti akan berpegang teguh pada

prinsip masing-masing untuk mendapatkan apa yang hendak dicapai atau

diinginkan.22

Posisi konsumen pada dasarnya lebih lemah dari pelaku usaha. Posisi

konsumen yang lemah ini menyebabkan pelaku usaha memiliki kecenderungan

untuk melecehkan hak-hak konsumen. Menurut David Oughton dan Jhon Lowry,

dalam Abdul halim Barkatullah, posisi konsumen yang lemah ini didasarkan pada

beberapa argumentasi yaitu:23

22 http//www.scribd.com/doc/51106383/10/Pengertian-Hukum-Perlindungan-Konsumen, diakses pada tanggal 15 Januari 2017, Pukul 13:15 WIB

(2)

1. Dalam masyarakat modern, pelaku usaha menawarkan berbagi

jenis produk baru hasil kemajuan teknologi dan manajemen.

Barang-barang tersebut diproduksi secara missal.

2. Terdapat perubahan-perubahan mendasar dalam pasar konsumen,

dimana konsumen sering tidak memiliki posisi tawar untuk

melakukan evaluasi yang memadai terhadap produksi barang

dan/atau jasa yang diterimanya. Konsumen hampir-hampir tidak

dapat diharapkan memahami sepenuhnya penggunaan

produk-produk canggih yang tersedia.

3. Metode periklanan modern melakukan disinformasi kepada

konsumen dari pada memberikan informasi secara objektif.

4. Pada dasarnya konsumen berada dalam posisi tawar yang tidak

seimbang, karena kesulitan-kesulitan dalam memperoleh informasi

yang memadai.

5. Gagasan paternalism melatar belakangi lahirnya undang-undang

perlindungan konsumen hukum bagi konsumen, dimana terdapat

rasa tidak percaya terhadap kemampuan konsumen melindungi diri

sendiri akibat risiko keuangan yang dapat diperkirakan atau risiko

kerugian fisik.24

Menurut Troelstrup dalam Abdul Halim Barkatullah, posisi tawar

konsumen yang lemah disebabkan:

a. Terdapat lebih banyak produksi, merk, dan cara penjualannya;

(3)

b. Daya beli konsumen makin meningkat;

c. Lebih banyak merk yang beredar di pasaran, sehingga belum banyak

diketahui oleh semua orang;

d. Model-model produk lebih cepat berubah;

e. Kemudahan transportasi dan komunikasi sehingga membuka akses yang

lebih besar kepada bermacam-macam pelaku usaha;

f. Iklan yang menyesatkan;

g. Wanprestasi pelaku usaha.

Lemahnya posisi tawar dari konsumen tersebut menyebabkan hukum

perlindungan konsumen menjadi penting. Sebagai bentuk perlindungan bagi

konsumen dibentuk Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Perlindungan

Konsumen. Perlindungan konsumen merupakan masalah penting manusia, oleh

karenanya menjadi harapan bagi semua bangsa di dunia untuk dapat

mewujudkannya. Mewujudkan perlindungan konsumen adalah mewujudkan

hubungan berbagai dimensi yang satu sama lain mempunyai keterkaitan dan

saling ketergantungan antara konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah.25

Prinsip-prinsip mengenai kedudukan konsumen dalam hubungan dengan

pekalu usaha berdasrkan doktrin atau teori yang dikenal dalam perkembangan

sejarah hukum perlindungan konsumen, antara lain:26

a. Let the buyer beware (caveat emptor)

Merupakan dasar dari lahirnya sengketa dibidang transaksi konsumen.

Asas ini berasumsi bahwa pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak yang

25 Husni Syawali dan Neni S M, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Bandung, 2000, hlm. 7

(4)

sangat seimbang, sehingga konsumen tidak memerlukan perlindungan. Prinsip ini

mengadung kelemahan, bahwa dalam perkembangan konsumen tidak

mendapatkan informasi yang memadai untuk menetukan pilihan terhadap barang

dan atau jasa yang dikonsumsinya. Hal tersebut dapat disebabkan oleh

keterbatasan pengetahuna konsumen atau ketidak keterbukaan pelaku usaha

terhadap produk yang ditawarkannya. Dengan dimikian, apabila konsumen

mengalami kerugian, maka pelaku usaha dapat berdalih bahwa kerugian tersebut

akibat dari kelalaian konsumen sendiri.

b. The due care theory

Doktrin ini menyatakan bahwa pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk

berhati-hati dalam memasarkan produk, baik barang maupun jasa. Selama pelaku

usaha berhati-hati dengan produknya, maka ia tidak dapat dipersalahkan. Pada

prinsip ini berlaku pembuktian siapa mendalilkan maka dialah yang

membuktikan. Hal ini sesuai dengan jiwa pembuktian pada hukum privat di

Indonesia yaitu pembuktian ada pada penggugat, sesuai dengan pasal 1865 BW

yang secara tegas menyatakan bahwa barangsiapa yang mendalilkan mempunyai

suatu hak atau untuk meneguhkan haknya atau membantah hak orang lain, atau

menunjuk pada suatu peristiwa, maka diwajibkan membuktikan adanya hak atau

peristiwa tersebut.

c. The pivity of contract

Doktrin ini menyatakan pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk

melindungi konsumen, tetapi hal itu baru dapat dilakukan jika di antara mereka

(5)

diluar hal-hal yang diperjanjikan. Dengan demikian konsumen dapat menggugat

berdasarkan wanprestasi. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam pasal 1340 BW

yang menyatakan tentang ruang lingkup berlakuknya perjanjian hanyalah antara

pihak-pihak yang membuat perjanjian saja.

Penegakan hukum perlindungan konsumen merupakan bagian penting

yang tidak dapat dipisahkan dari negara Indonesia, sebab hukum sebagai tolak

ukur dalam pembangunan nasional diharapkan mampu memberikan kepercayaan

terhadap masyarakat dalam melakukan pembaharuan secara menyeluruh di

berbagai aspek. Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menyatakan secara tegas

bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Kaidah ini mengandung makna

bahwa hukum di negara ini ditempatkan pada posisi yang strategis didalam

ketatanegaraan. Hal ini bertujuan agar hukum dapat berjalan dengan baik dan

benar didalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat, maka

diperlukan institusi-institusi penegak hukum sebagai instumen penggeraknya.

Untuk mewujudkan negara hukum tidak saja diperlukan norma-norma hukum atau

peraturan perundang-undangan sebagai subtansi hukum, tetapi juga diperlukan

lembaga atau badan penggeraknya sebagai struktur hukum dengan didukung oleh

perilaku hukum masyarakat sebagai budaya hukum. Selain itu, berdasarkan Pasal

1 Angka 1 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, menyatakan bahwa

perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian

(6)

B. Sejarah Perlindungan Konsumen

Perkembangan ekonomi yang pesat telah menghasilkan berbagai jenis

barang dan atau jasa yang dapat dikonsumsi. Barang dan atau jasa tersebut pada

umumnya merupakan barang dan atau jasa yang sejenis maupun yang bersifat

komplementer satu terhadap yang lainnya. Bervariasinya produk yang semakin

luasnya dan dengan dukungan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi,

jelas terjadi perluasan ruang gerak arus transaksi barang dan atau jasa yang

ditawarkan secara variatif, baik yang berasal dari produksi domestik maupun yang

berasal dari luar negeri.

Perkembangan yang demikian tersebut, pada satu sisi memberikan manfaat

bagi konsumen karena kebutuhan akan barang dan atau jasa yang diinginkan dapat

terpenuhi, serta semakin terbukanya kesempatan dan kebebasan untuk memilih

aneka jenis dan kualitas barang dan atau jasa sesuai dengan keinginan dan

kemampuan konsumen. Kondisi dan fenomena tersebut, pada sisi lainnya dapat

mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang,

dimana konsumen berada di posisi yang lemah. Konsumen menjadi objek

aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku

usaha melalui jalan promosi, cara penjualan, serta perjanjian standar yang

merugikan konsumen.27

Hal tersebut bukan hanya gejala regional saja, tetapi menjadi permasalahan

yang mengglobal dan melanda seluruh konsumen di dunia. Timbulnya kesadaran

konsumen, telah melahirkan salah satu cabang baru dalam ilmu hukum yaitu

(7)

hukum Perlindungan Konsumen yang dikenal juga dengan hukum konsumen

(consumers law). Hukum Perlindungan Konsumen merupakan cabang hukum

yang bercorak Universal. Sebagian besar perangkatnya diwarnai hukum asing,

namun kalau dilihat dari hukum positif yang sudah ada di Indonesia ternyata

dasar-dasar yang menopang sudah ada sejak dulu termasuk hukum adat.28

Fokus gerakan perlindungan konsumen (konsumerisme) dewasa ini

sebenarnya masih pararel dengan gerakan-gerakan pertengahan abad ke-20.

Gerakan perlindungan konsumen di Indonesia mulai dikenal dari gerakan serupa

di Amerika Serikat. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) yang secara

populer dipandang sebagai perintis advokasi konsumen di Indonesia berdiri pada

kurun waktu itu, yakni 11 Mei 1973. Gerakan di Indonesia ini cukup responsive

terhadap keadaan, bahkan mendahului Resolusi Dewan Ekonomi dan Sosial PBB

(ECOSOC) No. 2111 Tahun 1978 Tentang Perlindungan Konsumen.29

Setelah YLKI kemudian muncul organisasi-organisasi serupa, antara lain

Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen (LP2K) di Semarang tahun

1985, Yayasan Bina Lembaga Konsumen Indonesia (YBLKI) di Bandung dan

beberapa perwakilan di berbagai propinsi tanah air. Keberadaan YLKI sangat

membantu dalam upaya peningkatan kesadaran akan hak-hak konsumen karena

lembaga ini tidak hanya sekedar melakukan penelitian atau pengujian, penerbitan

dan menerima pengaduan, tapi juga sekaligus mengadakan upaya advokasi

langsung melalui jalur pengadilan.

28 Ibid. hal. 12.

(8)

YLKI bersama dengan BPHN (Badan Pembinaan Hukum Nasional)

membentuk Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Namun

Rancangan Undang-Undang ini ternyata belum dapat memberi hasil, sebab

pemerintah mengkhawatirkan bahwa dengan lahirnya Undang-Undang

Perlindungan Konsumen akan menghambat laju pertumbuhan ekonomi.

Pada awal tahun 1990-an, kembali diusahakan lahirnya Undang-undang

yang mengatur mengenai perlindungan konsumen. Salah satu ciri pada masa ini

adalah pemerintah dalam hal ini Departemen Perdagangan sudah memiliki

kesadaran tentang arti penting adanya Undang-undang Perlindungan Konsumen.

Hal ini diwujudkan dalam dua naskah Rancangan Undang-undang Perlindungan

Konsumen.

Pada akhir tahun 1990-an, Undang-Undang Perlindungan Konsumen tidak

hanya diperjuangkan oleh lembaga konsumen dan Departemen Perdagangan,

tetapi adanya tekanan di lembaga keuangan internasional (IMF/International

Monetary Fund). Berdasarkan desakan dari IMF itulah akhirnya Undang-Undang

Perlindungan Konsumen dapat dibentuk.30 Keberadaan Undang-undang

Perlindunga Konsumen merupakan simbol kebangkitan hak-hak sipil masyarakat,

sebab hak konsumen pada dasarnya juga adalah hak-hak sipil masyarakat.

Undang-undang Perlindungan Konsumen juga merupakan penjabaran lebih detail

dari hak asasi manusia, khususnya hak ekonomi.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

mulai berlaku sejak tanggal 20 April 2000. Undang-Undang Perlindungan

(9)

Konsumen ini, walaupun judulnya mengenai perlindungan konsumen tetepi

materinya lebih banyak membahas mengenai pelaku usaha dengan tujuan

melindungi konsumen. Hal ini disebabkan pada umumnya kerugian yang diderita

oleh konsumen merupakan akibat perilaku dari pelaku usaha, sehingga perlu

diatur agar tidak merugikan konsumen.

Hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen merupakan dua

bidang hukum yang sulit dipisahkan dan ditarik batasannya. Az Nasution

berpendapat bahwa hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari

hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah bersifat mengatur,

dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen. Sedangkan

hukum konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah

hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak atau satu

sama lain berkaitan dengan barang dan/atau jasa di dalam pergaulan hidup.31

Undang-undang Perlindungan Konsumen ini pun memiliki segi positif dan

negatif yaitu:32

Segi positif adalah:

1. Dengan adanya Undang-Undang ini maka hubungan hukum dan

masalah-masalah yang berkaitan dengan konsumen dan penyedia barang dan atau

jasa dapat ditanggulangi.

2. Kedudukan konsumen dan penyedia barang dan atau jasa adalah sama

dihadapan hukum.

Segi negatif dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah :

31 Az Nasution, Konsumen dan Hukum: Tinjauan Sosial, Ekonomi dan Hukum pada Perlindungan Konsumen Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995, hal. 72

(10)

1. Pengertian dan istilah yang digunakan di dalam peraturan

perundang-undangan yang ada tidak selalu sesuai dengan kebutuhan konsumen dan

perlindungan konsumen.

2. Kedudukan hukum antara konsumen dan penyedia produk (pengusaha)

jadi tidak berarti apa-apa, karena posisi konsumen tidak seimbang, lemah

dalam pendidikan, ekonomis dan daya tawar, dibandingkan dengan

pengusaha penyedia produk konsumen.

3. Prosedur dan biaya pencarian keadilannya, belum mudah, cepat dan

biayanya murah sebagaimana dikehendaki perundang-undangan yang

berlaku.

C. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen

Menurut Satjipto Rahardjo yang ditulis dalam buku karangan Rachmadi

Usman, menyebutkan asas hukum merupakan “jantung” peraturan hukum. Asas

merupakan landasan paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum.

Peraturan-peraturan hukum itu pada akhirnya dikembalikan kepada asas-asas hukum

tersebut, kecuali disebut landasan, asas hukum ini layak disebut sebagai alasan

bagi lahirnya peraturan hukum atau merupakan ratio legis dari suatu peraturan

hukum. Dengan demikian, dengan adanya asas hukum, hukum itu bukan sekedar

kumpulan peraturan-peraturan, karena asas itu mengandung nilai-nilai dan

tuntutan etis, merupakan jembatan antara peraturan-peraturan hukum dengan

cita-cita sosial dan pandangan etis masyarakatnya.33

Adapun Asas perlindungan konsumen antara lain :

(11)

1. Asas Manfaat; mengamanatkan bahwa segala upaya dalam

penyelenggaraan perlindungan ini harus memberikan manfaat

sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara

keseluruhan,

2. Asas Keadilan; partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara

maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku

usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara

adil,

3. Asas Keseimbangan; memberikan keseimbangan antara kepentingan

konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun

spiritual,

4. Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen; memberikan jaminan atas

keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalarn penggunaan,

pemakaian dan pemanfaatan barang dan atau jasa yang dikonsumsi atau

digunakan,

5. Asas Kepastian Hukum; baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati

hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan

konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.

Sebagai asas hukum, dengan sendirinya menempatkan asas ini yang

menjadi rujukan pertama, baik dalam pengaturan perundang-undangan maupun

dalam berbagai aktivitas yang berhubungan dengan gerakan perlindungan

(12)

Menurut Gustav Radbruch yang tertulis dalam buku,34 menyebutkan

keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum sebagai tiga ide dasar hukum atau

tiga nilai dasar hukum, yang berarti dapat dipersamakan dengan asas hukum

dalam perlindungan konsumen. Di antara ketiga asas tersebut yang sering menjadi

sorotan utama adalah masalah keadilan, di mana menurut Friedman yang tertulis

dalam buku Peter Mahmud menyebutkan bahwa: “in terms of law, justice will be

judge as how law treats people and how it distributes its benefits and cost”, dan

dalam hubungan ini Friedman juga menyatakan bahwa “every function of law,

general or specific, is allocative”.

Keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum juga oleh banyak jurist

menyebut sebagai tujuan hukum. Persoalannya sebagai tujuan hukum baik

menurut Radbruch maupun Achmad Ali mengatakan adanya kesulitan dalam

mewujudkan secara bersamaan.35 Mengatakan, kalau dikatakan tujuan hukum

sekaligus mewujudkan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum, apakah hal

itu tidak menimbulkan masalah. Dalam kenyataannya sering antara tujuan yang

satu dengan yang lainnya terjadi benturan. Sebelumnya telah disebutkan bahwa

tujuan dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 adalah melindungi kepentingan

konsumen, lebih lengkapnya Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

menyebutkan bahwa tujuan perlindungan konsumen adalah:

a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk

melindungi diri;

34 Achmad Ali, Menguak Takbir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Cetakan Kedua, PT. Toko Gunung Agung Tbk, Jakarta, 2002, hal. 34.

(13)

b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara

menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan atau jasa;

c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan

menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur

kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk

mendapatkan informasi;

e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya

perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan

bertanggung jawab dalam berusaha;

f. Meningkatkan kualitas barang dan atau jasa yang menjamin kelangsungan

usaha produksi barang dan atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan,

dan keselamatan konsumen.

Achmad Ali mengatakan masing-masing Undang-Undang memiliki tujuan

khusus. Hal itu juga tampak dari pengaturan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1999, yang mengatur tujuan khusus perlindungan konsumen, sekaligus

membedakan dengan tujuan umum sebagaimana dikemukakan berkenaan dengan

ketentuan Pasal 2.

Keenam tujuan khusus perlindungan konsumen yang disebutkan di atas

bila dikelompokkan ke dalam tiga tujuan hukum secara umum, maka tujuan

hukum untuk mendapatkan keadilan terlihat dalam rumusan c, dan huruf e.

Sementara tujuan untuk memberikan kemanfaatan dapat terlihat dalam rumusan

(14)

diarahkan untuk tujuan kepastian hukum terlihat dalam rumusan huruf d.

Pengelompokan ini tidak berlaku mutlak, oleh karena seperti yang dapat kita lihat

dalam rumusan huruf a sampai f terdapat tujuan yang dapat dikualifikasikan

sebagai tujuan ganda.

Kesulitan memenuhi ketiga tujuan hukum (umum) sekaligus sebagaimana

dikemukakan sebelumnya, menjadikan sejumlah tujuan khusus dalam huruf a

sampai dengan huruf dari Pasal 3 tersebut hanya dapat tercapai secara maksimal,

apabila didukung oleh keseluruhan subsistem perlindungan yang diatur dalam

Undang-Undang ini, tanpa mengabaikan fasilitas penunjang dan konsisi

masyarakat. Unsur masyarakat sebagaimana dikemukakan berhubungan dengan

persoalan kesadaran hukum dan ketaatan hukum, yang seterusnya menentukan

efektifitas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, sebagaimana dikemukakan oleh

Achmad Ali bahwa kesadaran hukum, ketaatan hukum, dan efektifitas per

Undang-Undangan adalah tiga unsur yang saling berhubungan.36

(15)

BAB IV

PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP KETERLAMBATAN

PENGIRIMAN BARANG MELALUI ANGKUTAN DARAT

A. Pelaksanaan Pengiriman Barang Melalui Angkutan Darat Pada CV. Sinar

Makmur Abadi

Setelah peneliti melakukan wawancara dengan pihak CV. Sinar Makmur

Abadi, maka diketahui bahwa pelaksanaan pengiriman barang yang dilakukan

oleh CV. Sinar Makmur Abadi dalam pengangkutan barang melalui darat selama

ini telah dilaksanakan sesuai dengan apa yang disepakati oleh pihak yaitu CV.

Sinar Makmur Abadi dan pengirim.

Bapak Gunawan sebagai pimpinan yaitu CV. Sinar Makmur Abadi

mengungkapkan bahwa “selama ini pelaksanaan pengiriman paket barang melalui

darat harus sesuai dengan prosedur pengiriman barang yang dibuat oleh CV. Sinar

Makmur Abadi, sebelum yaitu CV. Sinar Makmur Abadi menerima barang yang

akan diangkut, pihak pengirim harus menyepakati perjanjian yang dibuat oleh CV.

Sinar Makmur Abadi. Perjanjian yang digunakan adalah konosemen. Konosemen

berisi merek dan nomor barang, banyaknya unit barang, jenis bungkusan barang,

ukuran barang, berat barang, harga tarif barang, biaya yang harus dikeluarkan

sebelum penyerahan barang dari muatan, dan tujuan.37 Setiap kali ada pengiriman

barang melalui CV. Sinar Makmur Abadi akan selalu dipantau dan dimonitor

secara ketat oleh pos pemantauan di sepanjang rute pengiriman dan dengan

pemberhentian wajib di kantor pusat kami di Medan untuk memeriksa status

(16)

pengiriman, keadaan truk (pengangkut) dan barang muatan.38 Pengiriman barang

atau muatan, driver atau pengemudi dibekali dengan surat angkutan atau surat

jalan,yang berguna selain sebagai alat bukti yang nantinya diserahkan kembali

pada perusahaan juga sebagai alat monitoring dari perusahaan, apabila terjadi

kecelakaan lalu lintas ataupun kerusakan truk maka surat angkutan yang akan

dikirim ke perusahaan dengan keterangan dari pengemudi, untuk selanjutnya

dibuatkan berita acara keterlambatan untuk diserahkan pada penerima barang

sebagai wujud tanggung jawab dari CV. Sinar Makmur Abadi, apabila ada

kerusakan maka perusahaan juga akan menggantinya dengan ketentuan ada tanda

tangan dari pengemudi yang menyatakan bahwa memang barang atau muatannya

itu mengalamai kerusakan.39

Perjanjian pengangkutan yang dibuat secara sah mengikat kedua pihak,

yaitu pengangkut dan pengirim. Antara kedua belah pihak tercipta hubungan

kewajiban dan hak yang perlu direalisasikan melalui proses penyelenggaraan

pengangkutan dan pembayaran biaya angkutan. Proses penyelenggaraan

pengangkutan melalui darat, meliputi tiga tahap, yaitu tahap pemuatan penumpang

atau barang di terminal pemberangkatan, tahap pelaksanaan angkutan, dan tahap

penurunan dan pembongkaran penumpang atau barang diterminal tujuan.40

(1) Tahap Pemuatan Barang

38 Hasil wawancara dengan Gunawan, Pimpinan CV. Sinar Makmur Abadi pada tanggal 20 September 2016

39 Hasil wawancara dengan Gunawan, Pimpinan CV. Sinar Makmur Abadi pada tanggal 20 September 2016

(17)

Pada tahap ini pengirim menyerahkan barang kepada CV. Sinar Makmur

Abadi, pihak pengirim harus melunasi biaya angkutan yang telah disepakati dan

CV. Sinar Makmur Abadi menerbitkan surat pengangkutan sebagai bukti bahwa

telah terjadinya perjanjian pengangkutan. Dokumen angkutan ini disebut dengan

surat angkutan barang. Agar pengirim juga memegang sekedar pembuktian,

baiknya ia minta turunan (duplikat) dari surat angkutan dengan disahkan oleh

pengangkut/nahkoda atau pengirim minta sepucuk tanda penerima barang-barang

dari pengangkut.41 Dalam surat angkutan yang harus menyebutkan antara lain :

1. Keterangan-keterangan mengenai barang yang akan dikirim seperti

jumlah, cara pengepakan, volume, berat brutonya dan lain sebagainya;

2. Nama stasiun tempat pengiriman dan tujuan;

3. Nama dan alamat pengiriman;

4. Nama dan alamat penerima;

5. Tempat dan tanggal surat angkutan;

6. Penyebutan surat-surat yang diperlukan dalam angkutan itu.

Setelah pengirim menyerahkan barang ke CV. Sinar Makmur Abadi,

barang tersebut ditimbang dahulu dan kemudian pengangkut memasukkan ke

dalam kendaraan yg diangkut dimana kendaraannya adalah truk. Setelah

pemuatan selesai, supir menyiapkan kendaraan untuk keberangkatan sesuai

dengan waktu yang telah ditentukan. Setiap kendaraan bermotor yang beroperasi

di jalan raya harus memenuhi ketentuan Pasal 48 ayat (1) Undang-Undang Lalu

Lintas dan Angkutan Jalan (UULLAJ). Menurut Pasal 48 ayat (1)

(18)

Undang tersebut, ”setiap kendaraan bermotor yang dioperasikan di jalan harus

memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan”. Dalam ayat (2) persyaratan teknis

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas susunan;

1) Perlengkapan; 2) Ukuran; 3) Karoseri;

4) Rancangan teknis kendaraan sesuai dengan peruntuknya; 5) Pemuatan;

6) Penggunaan

7) Penggandengan kendaraan bermotor; dan 8) Penempelan kendaraan bermotor.

(2) Tahap Pelaksanaan Angkutan

Dalam tahap ini CV. Sinar Makmur Abadi menyelenggarakan angkutan,

kegiatan memindahkan barang dari tempat pemberangkatan ke tempat tujuan

dengan menggunakan alat pengangkut sesuai dengan perjanjian pengangkutan.

Untuk kelancaran dan keselamatan pengangkutan, dalam Pasal 77 ayat (1)

Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UULLAJ): ”Setiap orang yang

mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib memiliki Surat Izin

Mengemudi sesuai dengan jenis kendaraan bermotor yang dikemudikan”. Dalam

Pasal 90 ayat (1) Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UULLAJ),

”Setiap perusahaan Angkutan Umum wajib mematuhi dan memberlakukan

ketentuan mengenai waktu kerja, waktu istirahat, dan pergantian Pengemudi

Kendaraan Bermotor Umum sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan”. Dalam Pasal 162 ayat (1) Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan

Jalan (UULLAJ), Kendaraan bermotor yang mengangkut barang khusus wajib :

1. memenuhi persyaratan keselamatan sesuai dengan sifat dan bentuk

(19)

2. diberi tanda tertentu sesuai dengan barang yang diangkut;

3. memarkir kendaraan di tempat yang di tempat yang ditetapkan;

4. membongkar dan memuat barang di tempat yang ditetapkan dan

dengan menggunakan alat sesuai dengan sifat dan bentuk barang yang

diangkut;

5. beroperasi pada waktu yang tidak mengganggu keamanan,

keselamatan, kelancaran, dan ketertiban lalu lintas dan angkutan jalan;

dan

6. mendapat rekomendasi dari instansi terkait.

(3) Tahap Penurunan atau Pembongkaran Barang

Setelah kendaraan bermotor atau truk tiba, barang-barang tersebut

langsung diantar ke tempat tujuan atau di tempat yang disepakati seperti tertera

pada surat angkutan. Sesudah barang diterima, dilakukan pengecekan terhadap

barang yang diangkut tersebut. Apabila barang diantar ke tempat tujuan dan

penerimanya tidak ada di tempat, maka barang yang diangkut tersebut disimpan di

dalam gudang CV. Sinar Makmur Abadi yang berada di kota tersebut. Namun,

bila penerima tidak mengambil atau menghubungi pihak pengangkut dalam hal ini

CV. Sinar Makmur Abadi selama 15 hari, maka pihak pengangkut

mengembalikan barang tersebut ke pengirim dalam hal ini toko yang

bersangkutan dengan ongkos pengembalian dibebankan oleh pihak pengirim dan

CV. Sinar Makmur Abadi tidak bertanggung jawab lagi atas barang tersebut.

Dalam Pasal 195 ayat (2) Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

(20)

yang disimpan dan tidak diambil sesuai dengan kesepakatan”. Selanjutnya dalam

Pasal 196 Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UULLAJ)

disebutkan, ”Jika barang angkutan tidak diambil oleh pengirim atau penerima

sesuai dengan batas waktu yang telah disepakati, perusahaan angkutan umum

berhak memusnahkan barang yang sifatnya berbahaya atau mengganggu dalam

penyimpanannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

B. Perjanjian Pengiriman Barang Melalui Angkutan Darat Pada CV. Sinar

Makmur Abadi

Pelaksanaan perjanjian pengiriman barang yang dilakukan CV. Sinar

Makmur Abadi antara konsumen dengan menggunakan perjanjian baku.

a. Perihal Perjanjian Secara Umum

1. Pengertian Perjanjian

Pengaturan umum mengenai perjanjian di Indonesia terdapat di dalam Buku

III Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) tentang Perikatan. Buku

III KUHPerdata tersebut menganut sistem terbuka (open system), artinya setiap

orang bebas mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, baik perjanjian bernama

(nominaat) maupun perjanjian tidak bernama (innominaat), asalkan tidak

melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. ”Sedangkan pasal-pasal dari Hukum

Perjanjian yang terdapat dalam Buku III tersebut merupakan apa yang dinamakan

aanvulendrecht atau hukum pelengkap (optional law), yang berarti bahwa

(21)

pihakpihak yang membuat perjanjian”.42

Kemudian, ”sistem terbuka dalam KUHPerdata tersebut mengandung suatu

asas yang disebut asas kebebasan berkontrak, yang lazimnya disimpulkan dari

Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata, dan dengan melihat pada Pasal 1319 KUHPerdata

maka diakui 2 (dua) macam perjanjian dalam Hukum Perjanjian yaitu Perjanjian

Nominaat dan Perjanjian Innominaat”.43

Ketentuan tersebut menyatakan bahwa perjanjian apa saja, baik yang diatur

dalam KUHPerdata (nominaat) dan yang diatur di luar KUHPerdata (innominaat)

tunduk pada ketentuan-ketentuan umum dari Buku III KUHPerdata yang ada

dalam Bab I dan Bab II”.44

Perjanjian nominaat atau perjanjian bernama yaitu perjanjian-perjanjian

yang diatur di dalam Buku III KUHPerdata dari Bab V sampai dengan Bab XVIII,

seperti Perjanjian Jual-Beli, Perjanjian Sewa-Menyewa, Perjanjian

Tukar-Menukar, dan sebagainya. Sedangkan, perjanjian innominaat atau perjanjian tidak

bernama, yaitu perjanjian yang terdapat di luar Buku III KUHPerdata, yang

timbul, tumbuh, berkembang dalam praktik dan masyarakat, dengan kata lain

perjanjian tersebut belum dikenal saat KUHPerdata diundangkan. ”Timbulnya

perjanjian ini karena adanya asas kebebasan berkontrak sebagaimana tercantum

dalam Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata”.45

42 Subekti, Op.cit, hal. 13.

43 Salim HS., Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, cet. 3, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal. 6.

44 Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Cet. 1, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 73.

(22)

Pengertian perjanjian tersebut masih kurang jelas, oleh karena itu para

sarjana merumuskan pula definisi perjanjian, antara lain yaitu Subekti,

memberikan definisi perjanjian adalah sebagai, “suatu perjanjian adalah suatu

peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu

saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal”.46

Sedangkan pengertian perjanjian menurut Wirjono Prodjodikoro, yaitu:

“perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antar dua

pihak, di mana salah satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan

sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak

untuk menuntut pelaksanaan janji itu”.47

2. Hubungan Perikatan Dengan Perjanjian

Untuk pemahaman pengertian tentang perjanjian, maka tidak akan terlepas

hubungannya dengan perikatan, karena perjanjian adalah sumber yang terpenting

bagi lahirnya perikatan. Pasal 1233 Buku III KUHPerdata menyatakan bahwa:

”Tiap-tiap perikatan lahir baik karena persetujuan, baik karena Undang-undang”.

Sehingga dapat dikatakan, perikatan lahir melalui perjanjian yaitu dengan

dikehendaki oleh para pihak dan juga melalui Undang-undang, artinya perikatan

dapat lahir antara orang atau pihak yang satu dengan pihak yang lain baik dengan

atau tanpa orang-orang tersebut menghendakinya. Untuk pemahaman pengertian

tentang perjanjian, maka tidak akan terlepas hubungannya dengan perikatan,

karena perjanjian adalah sumber yang terpenting bagi lahirnya perikatan. Pasal

1233 Buku III KUHPerdata menyatakan bahwa: ”Tiap-tiap perikatan lahir baik

46 Subekti, Op.cit., hal. 1

(23)

karena persetujuan, baik karena Undang-undang”. Sehingga dapat dikatakan,

perikatan lahir melalui perjanjian yaitu dengan dikehendaki oleh para pihak dan

juga melalui Undang-undang, artinya perikatan dapat lahir antara orang atau pihak

yang satu dengan pihak yang lain baik dengan atau tanpa orang-orang tersebut

menghendakinya.

Mengenai pengertian atas perikatan, tidak satu pasalpun dalam KUHPerdata

yang menguraikan apa yang dimaksud dengan perikatan. Subekti berusaha

memberikan batasan atas apa yang dimaksud dengan pengertian perikatan ialah:

“suatu perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak,

berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang

lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.”48

Dalam perikatan, kewajiban tersebut disebut sebagai prestasi dapat dilihat

dalam Pasal 1234 KUHPerdata yang menyatakan bahwa: “Tiap-tiap perikatan

adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat

sesuatu.” Pihak-pihak dalam perikatan, sekurangnya ”terdiri dari 2 (dua) pihak

yaitu yang mempunyai kewajiban itu dinamakan juga pihak yang berhutang atau

debitur, sedangkan pihak yang mempunyai hak itu disebut juga pihak penagih

atau kreditur (pihak berpiutang)”.49

Menurut Mariam Darus Badrulzaman, perikatan adalah: “suatu hubungan

hukum di antara dua orang atau lebih, yang terletak dalam harta kekayaan, dengan

pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi

48 Subekti, Op.cit., hal. 1.

(24)

itu”.50 Sedangkan menurut Subekti, yang dimaksud dengan perikatan adalah:

“suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang, yang

memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari lainnya,

sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu”.51

Berdasarkan definisi tersebut dapat diuraikan unsur dari perikatan yaitu:

a. Adanya suatu hubungan hukum;

b. Biasanya mengenai kekayaan atau harta benda;

c. Antara dua orang/pihak atau lebih;

d. Memberikan hak kepada pihak yang satu, yaitu kreditur;

e. Meletakkan kewajiban pada pihak yang lain, yaitu debitur;

f. Adanya prestasi.52

b. Alasan Hukum CV. Sinar Makmur Abadi Menggunakan Perjanjian Baku

Dalam Pelaksanaan Pengangkutan Barang.

Sistem hukum di Indonesia tidak mensyaratkan pembuatan perjanjian

pengangkutan itu secara tertulis, cukup dengan lisan saja, asal ada persetujuan

kehendak atau konsensus. Kewajiban dan hak pihak-pihak dapat diketahui dari

penyelenggaraan pengangkutan, atau berdasarkan dokumen pengangkutan yang

diterbitkan dalam perjanjian itu. Sementara itu, yang dimaksud dokumen pengangkutan ialah setiap tulisan yang dipakai sebagai bukti dalam pengangkutan,

berupa naskah, tanda terima, tanda penyerahan, tanda milik atau hak.

50 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Op.cit., hal. 3.

(25)

Mengenai saat perjanjian pengangkutan terjadi dan mengikat pihak-pihak,

sebagian ada ditentukan dalam undang-undang dan sebagian lagi tidak ada. Dalam

hal tidak ada ketentuan, maka kebiasaan yang hidup dalam praktek pengangkutan

diikuti oleh perusahaan pengangkutan.

Undang-Undang memberikan hak kepada setiap orang untuk secara bebas

membuat dan melaksanakan perjanjian. Pihak-pihak dalam perjanjian diberi

kebebasan dalam menentukan aturan yang mereka kehendaki dalam perjanjian

dan melaksanakannya sesuai dengan kesepakatan yang telah tercapai diantara

mereka selama para pihak tidak melanggar ketentuan mengenai klausula yang

halal, artinya ketentuan yang diatur dalam perjanjian tersebut tidak bertentangan

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, ketertiban umum,

kesusilaan, kepatutan dan kebiasaan yang berlaku didalam masyarakat. Walaupun

setiap orang diberi kebebasan untuk membuat perjanjian tetapi Undang-Undang

mengatur batasan-batasan dari kebebasan tersebut. Suatu perjanjian dikatakan

tidak boleh bertentangan dengan:

1. Pasal 1337 KUHPerdata yang mengatur bahwa suatu sebab adalah

terlarang, apabila dilarang oleh Undang-Undang atau apabila berlawanan

dengan kesusilaan atau ketertiban umum.

2. Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang mengatur bahwa suatu perjanjian

harus dilaksanakan dengan itikad baik.

3. Pasal 1339 KUHPerdata yang mengatur bahwa suatu perjanjian tidak

(26)

tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan

oleh kepatutan, kebiasaan atau Undang-Undang.

Berdasarkan ketiga pasal tersebut maka ada 2 (dua) hal yang harus

diperhatikan di dalam membuat suatu perjanjian baku, yaitu :

1) Tidak bertentangan dengan Undang-Undang, moral (kesusilaan),

ketertiban umum, kepatutan, dan kebiasaan (Pasal 1337 dan Pasal 1339

KUHPerdata).

2) Memiliki itikad baik (Pasal 1338 KUHPerdata).

Moral (kesusilaan) diartikan sebagai moral yang dalam suatu masyarakat

diakui oleh umum/khalayak ramai. Sedangkan ketertiban umum adalah

kepentingan masyarakat yang dilawankan dengan kepentingan perseorangan, yang

dalam berhadapan dengan kepentingan perseorangan itu dipermasalahkan apakah

kepentingan masyarakat itu dikesampingkan. Keadilan dapat dimasukan ke dalam

arti kepatutan. Dengan demikian sesuatu yang tidak adil berarti tidak patut.

Dengan kata lain bila dikaitkan dengan kepatutan dalam arti keadilan, maka

isi/klausula-klausula suatu perjanjian tidak boleh tidak adil. Klausula-klausula

perjanjian yang secara tidak wajar sangat memberatkan pihak lainnya adalah

syarat-syarat yang bertentangan dengan keadilan. Sedangkan kebiasaan pada

umumnya dapat diartikan sebagai kebiasaan setempat yaitu aturan-aturan yang

diindahkan dalam lingkungan tertentu. Itikad baik adalah niat dari pihak yang satu

dalam suatu perjanjian untuk tidak merugikan konsumen maupun tidak merugikan

kepentingan umum. Niat tersebut harus merupakan niat yang jujur untuk tidak

(27)

Dalam perjanjian pengangkutan di perusahaan CV. Sinar Makmur Abadi,

tidak semua unsur dalam asas kebebasan berkontrak terpenuhi. Hal ini

dikarenakan posisi tawar menawar (bargaining position) perusahaan pengangkut

lebih kuat dari pihak pengirim (konsumen). Pelaksanaan kebebasan berkontrak

akan tercapai bila para pihak mempunyai posisi seimbang. Jika salah satu pihak

lemah maka pihak yang memiliki posisi lebih kuat dapat memaksakan

kehendaknya untuk menekan pihak yang lemah demi kepentingannya sendiri. Jadi

kedudukan pengangkut lebih dominan daripada pengirim, karena pengangkut

mempunyai wewenang yang lebih untuk menentukan segala sesuatu yang

berhubungan dengan perjanjian pengangkutan, sehingga asas kebebasan

berkontrak tidak terpenuhi semuanya karena perjanjiannya sudah ditetapkan

dalam bentuk yang baku, dimana bentuk dan isi perjanjian telah ditentukan oleh

pihak perusahaan pengangkut secara sepihak tanpa mengikutsertakan pihak

pengirim.53

Perjanjian pengangkutan dikatakan tidak sejalan dengan asas kebebasan

berkontrak karena perjanjian pengangkutan menggunakan bentuk perjanjian baku

dimana perjanjian yang didalam pembuatannya hanya ditentukan oleh salah satu

pihak saja yaitu pengangkut, sementara pihak yang lain yaitu pengirim tidak

diikutkan dalam pembuatannya dan karena sesuatu hal mau tidak mau pengirim

harus memenuhi isi perjanjian pengangkutan tersebut yang sebetulnya tidak sesuai

dengan keinginan pengirim.

(28)

Banyak pengirim barang yang tidak memperdulikan dalam pelaksanaan

pengiriman barang menggunakan perjanjian dalam bentuk baku. Pada umumnya

pengirim hanya tinggal menandatangani bukti pengiriman barang tanpa pernah

membacakan isi dari hak-haknya. Menurut Hartono kondisi tersebut terjadi

dikarenakan: Beberapa pengirim barang mengatakan malas membaca

syarat-syarat perjanjian yang ada dalam surat muatan karena tulisannya yang terlalu

kecil, selain itu ada juga yang mengatakan tidak sempat membaca karena

terburu-buru dan ada yang menganggapnya bukan merupakan suatu hal yang penting

untuk dibaca, bahkan ada yang tidak tahu bahwa tulisan-tulisan yang ada dalam

surat muatan itu adalah suatu perjanjian.54

Alasan lainnya pihak perusahaan CV. Sinar Makmur Abadi menggunakan

perjanjian baku dikarenakan untuk mempermudah proses dalam pelaksanaan

perjanjian pengangkutan. Hal ini dikarenakan setiap orang yang menandatangani

perjanjian bertanggung jawab pada isi dan apa yang ditandatanganinya. ”Jika ada

orang yang membubuhkan tanda tangan pada formulir perjanjian standar (baku),

maka tanda tangan itu membangkitan kepercayaan bahwa yang bertanda tangan

mengetahui dan menghendaki isi formulir yang ditandatangani. Tidak mungkin

seseorang menandatangani apa yang tidak diketahui isinya”.55

Selain itu, alasan penggunaan perjanjian baku dalam pengangkutan barang

oleh pihak perusahaan CV. Sinar Makmur Abadi dikarenakan, ”penggunaan

perjanjian baku dapat diperkenankan untuk digunakan dalam setiap perjanjian

54 Hasil wawancara dengan Gunawan, Pimpinan CV. Sinar Makmur Abadi pada tanggal 20 September 2016

(29)

yang dibuat antara pelaku usaha dengan konsumen, asalkan isi/klausulnya tidak

bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum,

dan kesusilaan”.56

c. Alasan Ekonomi CV. Sinar Makmur Abadi Menggunakan Perjanjian Baku Dalam Pelaksanaan Pengangkutan Barang.

Aktivitas bisnis merupakan fenomena yang sangat komplek karena

mencakup berbagai bidang baik hukum, ekonomi, dan politik. Dalam kehidupan

masyarakat, seringkali dapat dilihat bahwa aktivitas manusia dalam dunia bisnis

tidak lepas dari peran perusahaan pengangkutan selaku pemberi layanan dibidang

jasa pengangkutan barang bagi masyarakat. ”Peranan pengangkutan dalam dunia

perniagaan bersifat mutlak. Sebab nilai suatu barang itu tidak hanya tergantung

dari barang itu sendiri tetapi juga tergantung pada tempat dimana barang itu

berada”.57

Salah satu bentuk bentuk layanan dibidang pengakutan adalah kecepatan

dan ketepatan dalam pengiriman barang. Apabila angkutan terlambat atau macet

maka seketika itu masyarakat gelisah dan harga barang-barang pun menjadi

goncang. Pengangkutan bukan hanya berpengaruh terhadap sirkulasi barang tetapi

juga berpengaruh pada tinggi rendahnya harga barang tersebut. Peranan

pengangkutan disamping untuk melancarkan arus barang dan mobilitas manusia

juga untuk membantu tercapainya pengalokasian sumber-sumber ekonomi secara

optimal. Untuk itu jasa angkutan harus tersedia secara merata dan terjangkau daya

beli masyarakat.

56 Hasil wawancara dengan Gunawan, Pimpinan CV. Sinar Makmur Abadi pada tanggal 20 September 2016

(30)

Terjadinya perjanjian pengangkutan menunjuk pada serangkaian perbuatan

tentang penawaran dan penerimaan yang dilakukan oleh pengangkut dan pengirim

atau penumpang secara timbal balik. Serangkaian perbuatan semacam ini tidak

terdapat pengaturannya dalam undang-undang, melainkan ada dalam kebiasaan

yang hidup dalam praktek pengangkutan, oleh karena itu serangkaian perbuatan

tersebut perlu ditelusuri melalui kasus perjanjian pengangkutan.

Pada awal dimulainya sistem perjanjian, prinsip penting di dalam perjanjian

itu adalah kebebasan berkontrak di antara pihak dengan kedudukan seimbang dan

tercapainya kesepakatan bagi para pihak-pihak. “Namun berhubung aspek-aspek

perekonomian semakin berkembang, pihak perusahaan selanjutnya mencari

format yang lebih praktis dalam menjalankan operasionalnya dengan membuat

perjanjian pengangkutan dalam bentuk baku”.58

Dalam penyelenggaraan usaha jasa di bidang pengangkutan, pihak

perusahaan CV. Sinar Makmur Abadi telah menyiapkan atau menyediakan

blanko, formulir atau model yang isinya telah dibuat dalam bentuk baku. Blanko

tersebut kemudian disodorkan kepada setiap konsumen jasa pengangkutan, yang

isinya tidak diperbincangkan terlebih dahulu dengan konsumen. Pada tahap

tersebut konsumen hanya dimintakan pendapatnya apakah dapat menerima

syarat-syarat yang tercantum dalam formulir tersebut atau menolaknya.

Ketentuan-ketentuan yang sudah dibakukan ini dapat dilihat dibagian

belakang tanda bukti pengiriman (consigment note) ataupun pada tanda bukti

terima kiriman yang tertuang dalam point-point. Perjanjian baku yang ditetapkan

(31)

sepihak oleh pihak perusahaan pengangkutan dituangkan dalam bentuk formulir

dan ditandatangani oleh pengirim. ”Dimana formulir ini sudah terlebih dulu

disediakan dalam jumlah banyak sehingga memudahkan apabila sewaktu-waktu

akan dipergunakan dan dapat menghemat waktu dikarenakan isi dari perjanjian

baku ini berlaku bagi setiap konsumen pengguna jasa pengangkutan tanpa

terkecuali”.59

Klausula baku muncul dengan alasan kepraktisan atas perkembangan

ekonomi yang menuntut dilakukannya perjanjian, terutama untuk perjanjian

dengan melibatkan banyak pihak, termasuk dalam perjanjian pengangkutan

barang. ”Pihak perusahaan terlebih dahulu menyiapkan syarat-syarat yang sudah

distandarkan pada suatu format perjanjian yang telah dicetak, berupa kwitansi

yang dibelakangnya tercantum perjanjian pengangkutan dan kemudian diberikan

kepada pihak konsumen untuk disetujui dan ditandatangani”.60

Namun dalam kenyataannya penggunaan klausula baku dalam perjanjian

banyak merugikan konsumen. Hal ini karena posisi konsumen yang tidak

seimbang dengan posisi pelaku usaha. Dengan kondisi tersebut klausula yang

diperjanjikan lebih banyak berpihak pada kepentingan pelaku usaha. Atas alasan

tersebut maka diperlukan sebuah pengaturan tentang klausula baku, sehingga

penggunaannya dalam kontrak tetap dapat menguntungkan para pihak dan tidak

terdapat marginalisasi konsumen. Pengaturan mengenai klausula baku merupakan

konsekuensi dari upaya kebijakan untuk memberdayakan konsumen supaya dalam

59 Hasil wawancara dengan Gunawan, Pimpinan CV. Sinar Makmur Abadi pada tanggal 20 September 2016

(32)

kondisi seimbang, yakni terdapatnya suatu hubungan kontraktual antara pelaku

usaha dan konsumen dalam prinsip kebebasan berkontrak. ”Kebebasan berkontrak

adalah apabila para pihak dikala melakukan perjanjian berada dalam situasi dan

kondisi yang bebas menentukan kehendaknya dalam konsep atau rumusan

perjanjian yang disepakati”.61 Perjanjian baku memiliki kelebihan dan

kekurangannya. Kelebihan kontrak baku adalah lebih efisien, karena antara para

pihak tidak perlu lagi merumuskan klausula yang akan dipakai dalam perjanjian

tersebut, sedangkan kelemahan perjanjian baku adalah kurangnya salah satu pihak

(dalam hal ini adalah konsumen) untuk melakukan negosiasi atau mengubah

klausula-klausula dalam kontrak yang bersangkutan.

Perusahaan pengangkutan yang pekerjaannya melayani orang banyak, tidak

mungkin melakukan atau mengadakan perjanjian tertulis dengan tiap-tiap

konsumennya secara individual karena akan membutuhkan banyak waktu, uang,

dan tenaga. ”Hal ini juga dinilai tidak praktis dan kurang efisien. Karena itu pihak

perusahaan selanjutnya menggunakan perjanjian baku dalam perjanjian

pengangkutan yang dibuatnya”.62

Alasan lainnya perusahaan menggunakan perjanjian baku adalah

dikarenakan masalah biaya. Hal ini menyangkut dalam pembuatan perjanjian baku

tidak memerlukan biaya yang besar karena dibuat secara kolektif dan digunakan

untuk secara menyeluruh dalam kegiatan pengangkutan barang. Apabila

menggunakan perjanjian dalam pengangkutan yang masing-masing konsumen

61 N.H.T Siahaan, Hukum Konsumen Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk, Panta Rei, Jakarta, 2005, hal. 105.

(33)

saling berbeda atau juga menggunakan jasa Notaris, tentunya akan berdampak

bagi biaya pembuatan perjanjian yang akan dikeluarkan lebih tinggi. Oleh sebab

itu, untuk menyiasati agar biaya pengiriman tidak terlalumemberatkan konsumen

dan juga terkait dengan persaingan biaya pengiriman antara perusahaan, maka

pihak perusahaan membuat alternatif agar perjanjian pengangkutan dibuat dalam

bentuk yang telah baku.63 ”Penggunaan perjanjian baku yang dilakukan oleh

perusahaan CV. Sinar Makmur Abadi dalam kegiatan usahanya apabila dilihat

dari segi ekonomi dapat mengurangi beban pengeluaran, sehingga dengan

demikian dapat menekan biaya pengiriman”.64

C. Faktor-Faktor Penyebab Keterlambatan Dan Tanggung Jawab CV. Sinar Makmur Abadi Terhadap Keterlambatan Pengiriman Barang Melalui Angkutan Darat

Pelaksanaan pengangkutan barang melalui jalur darat merupakan salah

satu penyelenggaraan pengangkutan yang memiliki resiko tinggi. Hal ini

disebabkan oleh beberapa kendala yang dialami oleh penyelenggara pengangkutan

barang melalui jalur darat.

Faktor yang dihadapi dalam proses pengangkutan oleh CV. Sinar Makmur

Abadi yang menyebabkan terjadinya keterlambatan ataupun kerusakan barang

dalam proses pengangkutan dihadapi CV. Sinar Makmur Abadi dalam proses

pengangkutan barang melalui jalur darat adalah sebagai berikut :65

63 Hasil wawancara dengan Gunawan, Pimpinan CV. Sinar Makmur Abadi pada tanggal 20 September 2016

64 Hasil wawancara dengan Gunawan, Pimpinan CV. Sinar Makmur Abadi pada tanggal 20 September 2016

(34)

1. Faktor alam seperti cuaca yang buruk atau hujan. Dalam keadaan hujan

maka jarak pandang dari pengemudi sangat terbatas dan sangat rawan

terjadi kecelakaan, tidak jarang proses pengangkutan itu dihentikan dengan

tujuan untuk menjaga keselamatan barang.

2. Kecelakaan lalu lintas, hal ini bisa terjadi karena kondisi dari kelalaian

pengemudi itu sendiri dan dari pengemudi lain.

3. Kurang siapnya kondisi armada yang digunakan sebagai alat pengangkut,

seperti ban atau rem yang sudah aus atau tipis, lampu depan atau belakang

yang mati atau tidak menyala yang dapat menyebabkan terjadinya

kecelakaan sehingga menimbulkan keterlambatan ataupun kerusakan

barang paket.

4. Kurang bagus atau sempurnanya pembungkusan barang atau paket yang

berakibat pada kerusakan barang paket.

5. Faktor sumber daya manusia, seperti kurang profesionalnya atau kurang

disiplinnya karyawan atau supir ataupun supervisor (pengawas) dalam

pengiriman atau pengangkutan barang.

Upaya yang dilakukan CV. Sinar Makmur Abadi untuk mengatasi kendala

dalam proses pengangkutan yaitu :66

1. Terhadap kendala berupa faktor alam, maka yang dilakukan adalah

kegiatan atau proses pengangkutan dihentikan sejenak sehingga dapat

mencegah terjadinya kecelakaan yang dapat menimbulkan keterlambatan

atau kerusakan barang.

(35)

2. Terhadap kendala yang berupa kecelakaan, maka untuk menghindarinya

maka perusahan meminta jangka waktu yang ukup untuk bisa mlakukan

pengiriman, agar ada waktu untuk pengemudi bisa beristirahat.

3. Terhadap kendala kurang siapnya armada maka yang dilakukan adalah

dengan melakukan monitor secara terpadu yaitu pengecekan kondisi dari

armada (truk) dan paket barang dikiriman di CV. Sinar Makmur Abadi,

sehingga kondisi dari armada tetap terjaga.

4. Terhadap kendala berupa sumber daya manusia maka pihak perusahaan

lebih sering melakukan pembinaan dalam penignkatan profesionalitas

kerja. Adanya peraturan kerja pengemudi juga sebagai upaya dalam

rangka peningkatan sumber daya manusia

Tanggung Jawab CV. Sinar Makmur Abadi Apabila Terjadi Keterlambatan Ataupun Kerusakan Paket Barang Atau Muatan

Hukum pengangkutan mengenal tiga prinsip tanggung jawab, yaitu

tanggung jawab karena kesalahan (fault liability), tanggung jawab karena praduga

(presumption liability), dan tanggung jawab mutlak (absolute liability). Hukum

pengangkutan Indonesia umumnya menganut prinsip tanggung jawab karena

kesalahan dan karena pradugam : 67

1) Tanggung Jawab Berdasarkan Kesalahan (Fault Liability),

Menurut prinsip ini, setiap pengangkut yang melakukan kesalahan dalam

penyelenggaraan pengangkutan harus bertanggung jawab membayar segala

kerugian yang timbul akibat kesalahannya itu. Pihak yang menderita kerugian

(36)

wajib membuktikan kesalahan pengangkut. Beban pembuktian ada pada pihak

yang dirugikan, bukan pada pengangkut.68

2) Tanggung Jawab Berdasarkan Praduga (Presumption Liability),

Menurut prinsip ini, pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab atas

setiap kerugian yang timbul dari pengangkutan yang diselenggarakannya. Akan

tetapi, jika pengangkut dapat membuktikan bahwa dia tidak bersalah, maka dia

dibebaskan dari tanggung jawab membayar ganti kerugian itu. Tidak bersalah

artinya tidak melakukan kelalaian, telah berupaya melakukan tindakan yang perlu

untuk menghindari kerugian, atau peristiwa yang menimbulkan kerugian itu tidak

mungkin dihindari. Beban pembuktian ada pada pengangkut, bukan pada pihak

yang dirugikan. Pihak yang dirugikan cukup menunjukkan adanya kerugian yang

diderita dalam pengangkutan yang diselenggarakan pengangkut.69

Prinsip tanggung jawab karena praduga ini juga diatur dalam KUHD yaitu,

Si pengangkut diwajibkan mengganti segala kerugian, yang disebabkan karena

barang tersebut seluruhnya atau sebagian tidak dapat diserahkannya, atau karena

terjadi kerusakan pada barang itu, kecuali apabila dibuktikannya bahwa tidak

diserahkannya barang atau kerusakan tadi disebabkan oleh suatu malapetaka yang

selayaknya tidak dapat dicegah maupun dihindarkannya, atau cacat daripada

barang tersebut, atau oleh kesalahan dari si yang mengirimkannya (Pasal 468 ayat

(2) Kitab Undang-undang Hukum Dagang ).

Dengan demikian, jelas bahwa hukum pengangkutan di Indonesia prinsip

tanggung jawab karena kesalahan dan karena praduga keduanya dianut. Prinsip

68 Ibid, hal. 49.

(37)

tanggung jawab karena kesalahan adalah asas, sedangkan prinsip tanggung jawab

karena kesalahan adalah pengecualian. Artinya, pengangkut bertanggung jawab

atas setiap kerugian yang timbul dalam penyelenggaraan pengangkutan, tetapi jika

pengangkut berasil membuktikan bahwa dia tidak bersalah/lalai, dia dibebaskan

dari tanggung jawab. 70

(3) Tanggung Jawab Mutlak (Absolute Liability)

Menurut prinsip ini, pengangkut harus bertanggung jawab atas setiap

kerugian yang timbul dalam pengangkutan yang diselenggarakannya tanpa

keharusan pembuktian ada tidaknya kesalahan pengangkut. Prinsip ini tidak

mengenal beban pembuktian dan unsur kesalahan tak perlu dipersoalkan.

Pengangkut tidak mungkin bebas dari tanggung jawab dengan alasan apa pun

yang menimbulkan kerugian itu. Prinsip ini dapat dirumuskan dengan kalimat,

”Pengangkut bertanggung jawab atas setiap kerugian yang timbul karena peristiwa

apa pun dalam penyelenggaraan pengangkutan ini”.71

Dalam perundang-undangan mengenai pengangkutan, ternyata prinsip

tanggung jawab mutlak tidak diatur. Hal ini tidak diatur mungkin karena alasan

bahwa pengangkut yang berusaha di bidang jasa angkutan tidak perlu dibebani

dengan resiko yang terlalu berat. Namun tidak berarti bahwa pihak-pihak tidak

boleh menggunakan prinsip ini dalam perjanjian pengangkutan. Pihak-pihak boleh

saja menjanjikan penggunaan prinsip ini untuk kepentingan praktis penyelesaian

tanggung jawab, berdasarkan asas kebebasan berkontrak. Jika prinsip ini

70 Ibid, hal. 55.

(38)

digunakan maka di dalam perjanjian pengangkutan harus dinyatakan dengan

tegas, misalnya pada dokumen pengangkutan.72

Apabila dihubungkan dengan prinsip-prinsip tanggung jawab pengangkut,

maka CV. Sinar Makmur Abadi menganut prinsip tanggung jawab karena praduga

yaitu pengangkut selalu bertanggung jawab atas setiap kerugian yang timbul dari

pengangkutan yang diselenggarakan, tetapi jika pengangkut dapat membuktikan ia

tidak bersalah, maka ia bebas dari kerugian.

Tanggung jawab pihak pengangkut diatur juga dalam Undang-Undang

Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diantaranya yaitu:

1. Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang

diakibatkan oleh segala perbuatan orang yang dipekerjakan dalam kegiatan

penyelenggaraan angkutan. (Pasal 191 Undang-Undang Nomor 22 Tahun

2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan).

2. Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang

diderita oleh penumpang yang meninggal dunia atau luka akibat

penyelenggaraan angkutan, kecuali disebabkan oleh suatu kejadian yang

tidak dapat dicegah atau dihindari atau karena kesalahan penumpang

(Pasal 192 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu

Lintas dan Angkutan Jalan).

1) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimulai sejak

penumpang diangkut dan berakhir di tempat tujuan yang disepakati (Pasal

(39)

192 ayat (3) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas

dan Angkutan Jalan).

2) Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang

diderita oleh pengirim barang karena barang musnah, hilang, atau rusak

akibat penyelenggaraan angkutan, kecuali terbukti bahwa musnah, hilang,

atau rusaknya barang disebabkan oleh suatu kejadian yang tidak dapat

dicegah atau dihindari atau kesalahan pengirim (Pasal 193 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan

Jalan).

3) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimulai sejak

barang diangkut sampai barang diserahkan di tempat tujuan yang

disepakati (Pasal 192 ayat (3) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009

tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan).

4) Perusahaan Angkutan Umum tidak bertanggung jawab jika kerugian

disebabkan oleh pencantuman keterangan yang tidak sesuai dengan surat

muatan angkutan barang (Pasal 192 ayat (4) Undang-Undang Nomor 22

Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan).

Luas tanggung jawab pengangkut tersebut dibatasi oleh Pasal 1247 KUH

Perdata dan Pasal 1248 KUH Perdata, yaitu :

1) Kerugian tersebut ialah kerugian yang dapat diperkirakan secara layak

pada saat timbulnya perikatan;

2) kerugian itu harus merupakan akibat yang langsung dari tidak

(40)

Bentuk-Bentuk Kerugian Pihak pengangkut berkewajiban mengangkut

barang-barang yang diserahkan ke tempat tujuan dan menyerahkannya tepat pada

waktunya dalam keadaan seperti pada waktu diterimanya pada pihak penerima. Ia

harus menjaga bahwa keadaan barang-barang itu dalam keadaan seperti pada

waktu diterimanya dari pihak pengirim. Apabila dalam hal ini terdapat

kekurangan, barang-barang itu dalam keadaan seperti pada waktu diterimanya dari

pihak pengirim. Apabila dalam hal ini terdapat kekurangan, barang-barang itu

terlambat datangnya, tidak ada penyerahan dari barang-barang itu atau terdapat

kerusakan dalam barang-barang yang diangkut itu terjadi selama

pengangkutannya, maka ia bertanggung jawab terhadap pihak pengirim dan pihak

penerima dan harus mengganti semua kerugian yang terjadi atas barang-barang

itu.

Adapun mengenai jumlah penggantian yang harus dibayarkan oleh pihak

pengangkut, ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1246 sampai dengan Pasal 1248

KUH Perdata dapat diperlakukan dan penggantian ini hanya meliputi kerugian

yang benar-benar diderita dengan kemungkinan ditambahkan

keuntungan-keuntungan yang dapat diharapkan semula.73

Adapun isi dari Pasal 1246 KUH Perdata, Biaya, rugi dan bunga yang oleh

si berpiutang boleh dituntut akan penggantiannya, terdirilah pada umumnya atas

rugi yang telah dideritanya dan untung yang sedianya harus dapat dinikmatinya,

dengan tak mengurangi pengecualian-pengecualian serta perubahan-perubahan

yang akan disebut di bawah ini (Pasal 1246 Kitab Undang-Undang Hukum

(41)

Perdata). Pada Pasal 1247 KUHPerdata, ”Si berutang hanya diwajibkan

mengganti biaya, rugi dan bunga yang nyata telah, atau sedianya harus dapat

diduganya sewaktu perikatan dilahirkan, kecuali jika hal tidak dipenuhinya

perikatan itu disebabkan sesuatu tipu daya yang dilakukan olehnya”.

Selanjutnya Pasal 1248 menyebutkan, ”Bahkan jika hal tidak dipenuhinya

prikatan itu disebabkan tipu daya si berutang, penggantian biaya, rugi dan bunga

sekedar mengenai kerugian yang dideritanya oleh si berpiutang dan keuntungan

yang terhilang baginya, hanyalah terdiri atas apa yang merupakan akibat langsung

dari tak dipenuhinya perikatan”. Cacat melekat pada barang-barang dimaksudkan

dengan pembawaan (eigneschap) dari barang-barang tertentu yang menyebabkan

kerusakan benda atau benda ini jadi terbakar di dalam perjalanan, pendeknya

pembawaan-pembawaan pada benda sendiri yang menyebabkan

benda-benda itu tidak tahan begitu lama dalam pengangkutan yang normal. Lain hal

adanya kalau rusak atau cacatnya barang-barang itu adalah akibat dari

penempatan tak kurang tepat dalam alat pengangkutan, jadi tidak dilakukan

dengan sekedar keahlian.

Kerusakan atau kemunduran nilai benda yang dimaksudkan jika terbukti

atas beban pengangkut, yaitu : 74

1. Kesalahan dan atau kelalaian sendiri pada pengirim/ekspeditur. Misalnya

peti-peti berisikan benda-benda pengiriman yang ternyata kurang kokoh;

atau peti-peti ternyata kurang rapat dan mudah dapat dimasuki air, dan

sebagainya;

(42)

2. Keadaan memaksa (overmacht) (dalam Pasal 91, 92 KUHD dan Pasal

1245 KUH Perdata).

Menurut Pasal 91 KUHD, pengangkut harus menganggung segala

kerusakan yang terjadi pada barang-barang setelah diterimanya untuk diangkut,

kecuali kerusakan-kerusakan yang diakibatkan karena cacat pada barang itu

sendiri, karena keadaan yang memaksa atau karena kesalahan atau kelalaian

pengirim atau ekspeditur. Dengan cacat ini dimaksudkan sifat pembawaan

(eigenschap) dari barang itu sendiri, yang menyebabkan rusak atau terbakarnya

barang dalam perjalanan. 75

Bentuk-bentuk kerugian yang terdapat di CV. Sinar Makmur Abadi, yaitu

keterlambatan, kehilangan, kerusakan pada barang dan apabila itu tejadi pihak

pengangkut, dalam hal ini CV. Sinar Makmur Abadi akan mengganti dan

bertanggung jawab atas barang-barang yang diangkutnya dari tempat

penyimpanan barang sampai dengan tempat tujuan. Barang-barang yang diangkut

oleh CV. Sinar Makmur Abadi tidak dimasukkan ke dalam asuransi, jadi apabila

barang-barang CV. Sinar Makmur Abadi itu terjadi terlambat datangnya barang,

kehilangan, musnah, atau terdapat kerusakan pada barang selama pelaksanaan

pengangkutan maka CV. Sinar Makmur Abadi sepenuhnya menanggung segala

biaya kerugian yang timbul. Adapun yang membebaskan CV. Sinar Makmur

Abadi dari tanggung jawab ganti rugi yaitu :

1) Barang-barang yang dilarang oleh pemerintah untuk diangkut, misalnya

senjata tajam, bom, narkotik dan obat-obat terlarang;

(43)

2) Tidak sempuranya pengepakan barang dari pihak pengirim;

3) Cacat bawaan atau sifat dari barang tersebut; dan

4) Barang kiriman yang hilang atau rusak kecuali jika hilang atau rusaknya

karena kesalahan dari CV. Sinar Makmur Abadi.

Mekanisme Pembayaran Ganti Rugi Tuntutan ganti rugi terhadap

pengangkut oleh pihak penerima jikalau pengangkut dalam

perselisihan-perselisihan antaranya dengan penerima/pengirim, ialah berdasarkan perjanjian

pengangkutan, ternyata tidak melaksanakan perjanjian itu secara wajar dan dalam

waktu yang ditetapkan tidak pula berhasil mendiskulpir dirinya, maka sudah

barang tentu pihak penerima/pengirim dapat menuntut penggantian kerugian yang

diderita, hak menuntut mana terbit dari perjanjian pengangkut tersebut. Siapa

mestinya antara penerima/pengirim yang duluan beraksi, pertama-tama

tertanggung dari dari faktor apakah penerima telah melahirkan kehendaknya untuk

menerima barangbarang angkutan, sehingga barang-barang itu harus diserahkan

kepadanya.76 Misalnya barang-barang angkutan itu telah dijual oleh pengirim

kepada pihak dialamati dan harga telah pula dibayar, tetapi barang-barang tak

sampai di tempat tujuan. Biaya pengiriman mungkin juga atas beban pembeli

tersebut. Kerugian yang harus diganti dalam hal ini ialah harga barang pembelian

itu, biaya pengiriman plus laba berapakah pembeli layak dapat harapkan

memperolehnya dengan penjualan lagi, andaikata pengiriman itu sempurna

terwujud dan dapat diterima barang-barangnya pada waktu yang ditetapkan dalam

perjanjian.77 Pada umumnya pihak yang dialamati tidak berhak untuk menolak

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Linux Mandrake 10.0 telah menyediakan server dan client DHCP sehingga dapat menjadikan Linux sebagai server DHCP yang menentukan konfigurasi jaringan clientnya sebagai DHCP

[r]

Visualisasi dalam bentuk animasi ini diharapkan dapat membantu pengguna dalam pembelajaran dan membuat pengguna lebih tertarik pada materi yang disampaikan, yaitu algoritma Merge

a) Pemahaman, yakni penerimaan yang cermat atas kandungan rangsangan seperti yang dimaksudkan oleh pengirim pesan. b) Kesenangan, yakni perasaan yang didapatkan diwaktu

Dalam dimensi responsivitas yaitu pengetahuan RTSM terhadap program PKH di Kecamatan Bogor Selatan ini telah menunjukkan bahwa peserta PKH sudah cukup puas

Genetic Algorithm for Solving Location Problem in a Supply Chain Network with Inbound and Outbound Product Flows.. Suprayogi 1* , Senator Nur Bahagia 1 , Yudi

Adapun indikator keberhasilan dalam penelitian ini adalah (1) adanya peningkatan persentase keaktifan belajar siswa dari siklus I ke siklus selanjutnya minimal 5% yang dapat dilihat