• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEBIJAKAN PEMERINTAH MENGENAI IMPOR TERN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KEBIJAKAN PEMERINTAH MENGENAI IMPOR TERN"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh: Astra Hansel 110620170037

Dosen:

Prof. Dr. H. Rukmana Amanwinata, S.H., M.H. Dr. Hernadi Affandi, S.H., LL.M.

Diajukan untuk Memenuhi Ujian Tengah Semester Mata Kuliah Politik Hukum

PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN

FAKULTAS HUKUM

(2)

i DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... i

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 3

BAB II TINJAUAN PETERNAKAN, POLITIK HUKUM DAN KAITANNYA DENGAN KEBIJAKAN PEMERINTAH MENGENAI IMPOR TERNAK A. Tinjauan Umum Tentang Peternakan di Indonesia dan Kebijakan Impor Daging atau Ternak ... 4

1. Tinjauan umum tentang peternakan ... 4

2. Subjek-Subjek dalam Peternakan ... 5

3. Permasalahan dan kondisi pembangunan peternakan ... 6

4. Strategi mencapai sasaran dan upaya pemerintah untuk meningkatkan hasil dan mutu peternakan di Indonesia... 7

5. Dasar Hukum impor Hewan dan Produk Hewan ... 8

B. Politik Hukum dan kaitannya dengan Kebijakan Pemerintah Mengenai Impor Ternak ... 8

1. Pengertian Politik Hukum ... 8

2. Peranan hukum dalam pengembangan sektor peternakan di Indonesia ... 9

3. Dampak dari adanya kebijakan impor daging atau ternak bagi usaha ternak di Indonesia ... 11

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan ... 13

B. Rekomendasi ... 13

(3)

1 A. Latar Belakang

Peternakan merupakan sektor yang cukup penting bagi kehidupan manusia.

Keberadaannya yang merupakan sumber makanan bagi manusia harus mendapat

perhatian lebih dari pemerintah karena pada masa ini tingkat konsumsi terhadap

olahan-olahan hewan ternak (daging, susu, dan sebagainya) cukup tinggi. Di

negara-negara maju seperti Amerika dan Australia, konsumsi daging mencapai 120

kilogram dan 111 kilogram per-kapita per-tahun. Dibandingkan dengan Indonesia,

tingkat konsumsi daging nasional masih tergolong rendah, yakni berada pada

jumlah 11,6 kilogram per kapita per tahun.1 Alasan dari rendahnya konsumsi daging nasional adalah karena harga daging yang relatif mahal sehingga hanya

dapat dijangkau oleh golongan tertentu. Hal tersebut disebabkan karena kurang

berkembangnya sektor peternakan di Indonesia sehingga produksi daging sapi serta

olahan lain menjadi rendah, penanganan penyakit hewan menular belum optimal

dan masih rendahnya jaminan keamanan pangan asal ternak.2 Sehingga untuk tetap

memenuhi kebutuhan masyarakat akan produk-produk olahan hewan ternak maka

pemerintah harus mengimpor hewan dan produk olahan hewan ternak seperti

daging, susu dan sebagainya.

1 Gumanti Awaliyah, Peneliti IPB: Tingkat Konsumsi Daging Nasional Masih Rendah ,

http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/17/09/02/ovn6wn-peneliti-ipb-tingkat-konsumsi-daging-nasional-masih-rendah, diakses pada tanggal 15 November 2017 pukul 19.15.

2 Sjamsul Bahri, Kebijaka da “trategi Pe ge ba ga Ter ak , diprese tasika pada “e i ar

(4)

2

Kebijakan pemerintah mengenai impor daging atau ternak merupakan

implementasi dari salah satu kebijakan dari paket kebijakan ekonomi jilid IX yakni

kebijakan tentang pasokan ternak dan/atau produk hewan dalam hal tertentu.3 Meskipun tingkat konsumsi daging nasional masih tergolong rendah dibandingkan

dengan negara-negara maju, tetapi kebutuhan daging sapi dalam negeri terus

meningkat dari tahun ke tahun sehingga hal tersebut menjadi dasar dibentuknya

kebijakan ini. Kebijakan pemerintah untuk mengimpor daging atau ternak

bertujuan untuk menstabilkan pasokan dan harga daging di pasar. Dibuatnya

kebijakan mengenai impor daging ini menimbulkan pro dan kontra. Asosiasi

Pengusaha Importir Daging Indonesia (Aspidi) menganggap kebijakan pemerintah

itu tidak efektif karena sebagian besar anggotanya kesulitan mendapatkan izin

impor dari Menteri Perdagangan. Sedangkan, Asosiasi Produsen Daging dan

Feedlot Indonesia (Apfindo) justru menilai langkah stabilisasi pasokan daging

cukup berdampak positif bagi kelangsungan bisnis perdagangan daging dan

penggemukan sapi.4

Dalam perspektif politik hukum, kebijakan pemerintah mengenai impor daging

atau ternak tersebut merupakan salah satu instrumen untuk membentuk hukum

dalam sektor peternakan. Mengembangkan aspek hukum dalam sektor peternakan

dilakukan dengan cara meningkatkan kualitas kebijakan dan program yang

mengarah pada pemanfaatan sumber daya lokal untuk membangun peternakan

yang berdaya saing dan berkelanjutan serta membangun sistem peternakan nasional

yang mampu memenuhi kebutuhan terhadap produk peternakan dan

3 Paket Ekonomi IX: Pemerataan Infrastruktur Ketenagalistrikan dan Stabilisasi Harga Daging

Hingga ke Desa, diakses di https://www.bappenas.go.id/id/berita-dan-siaran-pers/paket-ekonomi-ix-pemerataan-infrastruktur-ketenagalistrikan-dan-stabilisasi-harga-daging-hingga-ke-desa/, pada tanggal 15 November 2017, pukul 23.15.

4 Yuliyanna Fauzi, Kebijakan Impor Daging Tidak Pro Peternak Lokal. , diakses di

(5)

mensejahterakan peternak.5 Menurut Satjipto Rahardjo, politik hukum sebagai aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial

dan hukum tertentu dalam masyarakat6 jadi, kebijakan mengenai impor daging atau ternak merupakan sebuah produk hukum untuk mengembangkan sektor

peternakan. Dan sebagai produk hukum, kebijakan tersebut diposisikan sebagai alat

untuk mencapai tujuan negara.7 Jadi berdasarkan pendapat di atas, instrumen hukum yakni regulasi, kebijakan pemerintah merupakan sebuah alat untuk

mengatur sekaligus mencapai tujuan negara.

B. Identifikasi Masalah

1. Bagaimanakah peranan hukum dalam mengembangkan sektor peternakan di

Indonesia ditinjau dari perspektif politik hukum?

2. Apa dampak dari dibuatnya kebijakan impor daging atau ternak bagi usaha

peternakan di Indonesia?

5 Sjamsul Bahri, Loc. Cit.

6 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000, hlm. 35.

7 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Ed. Revisi, Cet. 2, Jakarta: Rajawali Pers, 2009,

(6)

4 BAB II

TINJAUAN PETERNAKAN, POLITIK HUKUM DAN KAITANNYA DENGAN KEBIJAKAN PEMERINTAH MENGENAI IMPOR TERNAK A. Tinjauan Umum Tentang Peternakan di Indonesia dan Kebijakan Impor

Daging atau Ternak

1. Tinjauan umum tentang peternakan

Menurut Pasal 1 Butir ke-1 Undang-Undang Nomor Nomor 41 Tahun 2014

Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (selanjutnya disebut sebagai UU

Peternakan):

“Peternakan adalah segala urusan yang berkaitan dengan sumber daya fisik, Benih, Bibit, Bakalan, Ternak Ruminansia Indukan, Pakan, Alat dan Mesin Peternakan, budi daya Ternak, panen, pascapanen, pengolahan, pemasaran, pengusahaan, pembiayaan, serta sarana dan prasarana.”

Dalam UU Peternakan, yang dimaksud dengan peternakan yakni segala bentuk

kegiatan yang berhubungan dengan ternak. UU Peternakan mengatur mulai dari

cara pengembangbiakan ternak sampai kepada proses pemasarannya. Dalam

Kamus Besar Bahasa Indonesia Peternakan diartikan sebagai sebuah usaha

pemeliharaan dan pembiakan ternak.

Sedangkan pengertian ternak terdapat pada Pasal 1 Butir ke-5 yang

menyebutkan bahwa:

“Ternak adalah Hewan peliharaan yang produknya

(7)

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ternak diartikan sebagai binatang

yang dipiara (lembu, kuda, kambing, dan sebagainya) untuk dibiakkan dengan

tujuan produksi.

Pengertian mengenai produk hewan terdapat pada Pasal 1 Butir 13 UU

Peternakan yang menyebutkan:

“Produk Hewan adalah semua bahan yang berasal dari Hewan yang masih segar dan/atau telah diolah atau diproses untuk keperluan konsumsi, farmakoseutika, pertanian, dan/atau kegunaan lain bagi pemenuhan kebutuhan dan kemaslahatan manusia.”

2. Subjek-Subjek dalam Peternakan

Dalam peternakan subjek yang melakukan kegiatan peternakan terbagi atas

Perseorangan, korporasi dan pemerintah. Orang yang melakukan kegiatan

dalam bidang peternakan disebut sebagai Peternak, menurut Pasal 1 Butir 14

UU Peternakan:

“Peternak adalah orang perseorangan warga negara Indonesia atau korporasi yang melakukan usaha Peternakan.”

Dalam kegiatan peternakan, perseorangan juga dapat melakukan kegiatan

peternakan dalam ruang lingkup yang cukup besar yakni berbentuk korporasi

atau perusahaan. Perusahaan peternakan yang dimaksud oleh UU Peternakan

menurut Pasal 1 Butir 15 adalah:

Perusahaan Peternakan adalah orang perseorangan atau

korporasi, baik yang berbentuk badan hukum maupun yang

bukan badan hukum, yang didirikan dan berkedudukan

(8)

6

mengelola usaha Peternakan dengan kriteria dan skala

tertentu.

Sedangkan pemerintah merupakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah

yang memiliki wewenang untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan di

bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Dalam hal ini pemerintah sebagai

pihak yang berwenang membuat regulasi, kebijakan untuk mengatur kegiatan

usaha peternakan di Indonesia.

3. Permasalahan dan kondisi pembangunan peternakan

Permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan peternakan saat ini adalah:8

1. Belum ada peningkatan yang signifikan dalam produksi daging sapi. Saat

ini impor ternak dan daging sapi mencapai 30% dan cenderung

meningkat;

2. Produksi daging dan telur ayam ras “sudah swasembada”, tapi proses

produksi masih tergantung pada produk impor yang mencapai 65%

(terdiri dari bibit, DOC, vaksin, dan bahan pakan);

3. Produksi susu dalam negeri masih jauh dari harapan untuk memenuhi

permintaan yang mana lebih dari 70% bahan baku susu masih diimpor;

4. Belum optimalnya penanganan penyakit hewan menular strategis: Rabies,

Hog Cholera, Anthrax, Brucellosis dan AI;

(9)

5. Masih rendahnya jaminan keamanan pangan hewan. Sekitar 18% yang

memenuhi persyaratan Aman, Sehat, Utuh, dan Halal (ASUH) dari target

80% pada akhir tahun 2009.

4. Strategi mencapai sasaran dan upaya pemerintah untuk meningkatkan hasil dan

mutu peternakan di Indonesia

a. Untuk mencapai sasaran dan mengatasi permasalahan dalam

pembangunan peternakan tersebut, maka pemerintah melakukan beberapa

program aksi, antara lain:9

1. Pelaksanaan 7 langkah operasional P2SDS (IB, Kawin Alam,

Penyediaan Bibit, Pakan lokal/Integrasi, Gangguan Reproduksi/

Keswan, Kelembagaan dan SDM) di 18 Propinsi.

2. Pelaksanaan Program Aksi Perbibitan sampai dengan 2008: 7836 ekor.

3. Optimalisasi penggunaan bahan baku pakan lokal (bungkil sawit,

onggok, jerami dll) dan padang penggembalaan di 27 Propinsi.

4. Penerapan kompartemen dan zoning perunggasan, pengendalian dan

pemberantasan penyakit hewan menular strategis flu burung dan

PHMU lainnya serta perlindungan hewan dari penyakit eksotik (PMK

dan BSE).

5. Fasilitasi sarana dan prasarana serta pelaksanaan sertifikasi unit usaha

dan juru sembelih.

b. Usaha Pemerintah untuk meningkatkan hasil dan Mutu peternakan di

Indonesia antara lain:

(10)

8

1. Membuat pusat riset atau penelitian hewan ternak, yang memiliki

kegiatan seperti mutasi gen, perkawinan silang antar ternak,

pengembangan jenis ternak lokal dan masih banyak yang lainnya.

2. Memberikan pelatihan atau pendidikan tentang tata cara usaha ternak

yang baik dan benar serta produktif.

3. Pemberian bantuan bibit ternak unggul, obat-obatan untuk ternak,

pakan ternak yang kaya nutrisi dan bantuan modal untuk para peternak.

4. Pemberian tugas kepada dokter hewan di pedesaan atau daerah ternak

supaya dapat mengobati ternak yang sakit dan juga memberikan

penyuluhan kepada para peternak bagaimana cara beternak yang baik.

5. Dasar Hukum impor Hewan dan Produk Hewan

Dasar hukum dari dilakukannya impor hewan dan produk hewan adalah

Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor

59/M-DAG/PER/8/2016 Tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Hewan dan Produk

Hewan. Kebijakan pemerintah untuk mengimpor ternak adalah untuk

mengimplementasikan kebijakan ekonomi jilid IX pada masa pemerintahan

Presiden Joko Widodo yang salah satunya menyebutkan kebijakan mengenai

stabilisasi pasokan daging dan harga daging.

B. Politik Hukum dan kaitannya dengan Kebijakan Pemerintah Mengenai Impor Ternak

(11)

Menurut Padmo Wahjono politik hukum adalah kebijakan dasar yang

menentukan arah, bentuk maupun isi dari hukum yang akan dibentuk.10 Selanjutnya Padmo Wahjono memperjelas pendapatnya mengenai politik

hukum yakni politik hukum adalah kebijakan penyelenggara negara tentang apa

yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu. Dalam hal ini kebijakan

tersebut dapat berkaitan dengan pembentukan hukum, penerapan hukum dan

penegakannya sendiri.11

Menurut Soedarto, politik hukum adalah kebijakan dari negara melalui

badan-badan negara yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan

yang dikehendaki, yang diperkirakan akan digunakan untuk nengekspresikan

apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang

dicita-citakan12

Satjipto Rahardjo mendefinisikan politik hukum sebagai aktivitas

memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan

hukum tertentu dalam masyarakat13

2. Peranan hukum dalam pengembangan sektor peternakan di Indonesia

Hukum ada pada setiap masyarakat dan di berbagai bidang kehidupan.

Hal tersebut yang menjadikan hukum bersifat Universal.14 Akibat dari

eksistensi hukum tersebut, keberadaan hukum dianggap menjadi faktor yang

10 Padmo Wahyono, Indonesia Negara Berdasarkan Asas hukum, Cet. II, Ghalia Indonesia, Jakarta,

1986, hlm. 160.

11 Padmo Wahyono, Menyelisik Proses Terbentuknya Perundang-Undangan, Forum Keadilan, No.

29 April 1991, hlm. 65.

12 Soedarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat dalam Kajian Hukum Pidana, Sinar

Baru, Bandung, 1983, hlm: 20.

13 Satjipto Raharjo, Loc. Cit.

14 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Filsafat, Teori, dan Ilmu Hukum, Jakarta: Rajawali

(12)

10

cukup penting bagi perkembangan. Hukum setidaknya mempunyai tiga

peranan utama dalam masyarakat, yakni:

1. Sebagai sarana pengendalian sosial;

2. Sarana untuk memperlancar proses interaksi sosial

3. Sarana untuk menciptakan keadaan tertentu15

Dalam sektor peternakan, hukum diperlukan tidak hanya untuk mengatur

kegiatan usaha dalam bidang peternakan termasuk di dalamnya pengawasan

terhadap kualitas ternak, tetapi juga memperlancar kegiatan dan menciptakan

iklim usaha dalam bidang peternakan yang adil serta bermanfaat bagi

kebutuhan hidup orang banyak. UU Peternakan mengatur mengenai subjek,

objek, tata cara pengembangbiakan hewan ternak, pemilihan bibit, sampai pada

tata cara pemasaran. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan untuk menjaga

kualitas dari hewan ternak dan produk-produk yang dihasilkan dari hewan

ternak. UU Peternakan juga sabagai pedoman bagi pemerintah dalam membuat

kebijakan.

Para ahli hukum memiliki pandangan yang berbeda dalam menjelaskan

apa arti dari politik hukum, namun Mahfud MD menjabarkan politik hukum

dalam pengertian yang lebih umum dengan mengadopsi pengertian-pengertian

dari para ahli tersebut. Politik hukum dapat diartikan sebagai legal policy atau

garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan

pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam

rangka mencapai tujuan negara.16 Dibuatnya kebijakan-kebijakan mengenai impor daging atau ternak merupakan cara pemerintah untuk mencapai

15 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2008, hlm. 6-7.

(13)

menstabilkan pasokan ternak dan harga daging di Indonesia, dengan

tercapainya stabilitas pasokan ternak dan harga daging maka kesejahteraan

sosial bagi masyarakat dapat terpenuhi. Konkritnya, harga daging di pasaran

akan menjadi terjangkau sehingga daging dapat dikonsumsi oleh semua

masyarakat Indonesia serta peternak lokal akan berkembang sehingga angka

tingkat kesejahteraanpun dapat dipastikan meningkat.

3. Dampak dari adanya kebijakan impor daging atau ternak bagi usaha ternak di

Indonesia

Adanya kebijakan pemerintah dalam sektor peternakan yakni mengenai

impor daging atau ternak tentu menimbulkan dampak positif maupun negatif

bagi sektor peternakan di Indonesia. Dampak positifnya adalah bagi

kelangsungan perdagangan ternak di Indonesia, serta membebaskan Indonesia

dari krisis pasokan daging karena pada faktanya perusahaan lokal hanya dapat

memenuhi sekitar 70% (tujuh puluh persen) kebutuhan masyarakat. Dengan

dilakukannya impor daging, maka kekurangan tersebut dapat dipenuhi. Namun,

kebijakan impor tesebut pada faktanya belum cukup efektif untuk menekan

harga daging di pasar.

Dampak negatif dari adanya kebijakan tersebut adalah dengan

masuknya daging-daging impor maka pengusaha peternakan lokal sedikit demi

sedikit akan tergerus karena pemerintah saat ini hanya berfokus untuk menutupi

kekurangan sebesar 30% (tiga puluh persen) dengan kebijakan impor tersebut

sedangkan kendala yang dialami oleh pengusaha peternakan lokal seperti

dukungan permodalan dan penyediaan lahan ternak sangatlah minim sehingga

berdampak pada sulitnya meningkatkan produktivitas peternakan para peternak

(14)

12

Menurut C.F.G. Sunaryati Hartono, hukum merupakan alat atau sarana

dan langkah yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk menciptakan sistem

hukum nasional guna mencapai cita-cita bangsa dan tujuan negara.17 Berdasarkan pendapat dari Sunaryati Hartono tersebut maka menurut hemat

penulis, kebijakan mengenai impor daging atau ternak merupakan sebuah

instrumen hukum untuk mencapai sebuah tujuan negara atau cita-cita bangsa

yakni seperti yang tercantum di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar

1945. Dampak bagi kebijakan tersebut pada sektor peternakan tergantung dari

pelaksanaan kebijakan karena hukum pada dasarnya memuat hal-hal yang

bersifat idealis / das sollen. Namun pada dasarnya, dalam konfigurasi politik

demokratis rakyat diberi kebebasan untuk mengkritik pemerintah serta turut

aktif menentukan kebijaksanaan umum.18 Di negara demokrasi seperti halnya Indonesia, rakyat juga dapat memberikan pengawasan sekaligus menentukan

kebijakan yang akan dibentuk. Menurut Robert A. Dahl, di negara yang

menganut sistem demokrasi atau konfigurasinya demokratis terdapat pluralitas

organisasi di mana organisasi-organisasi penting relatif otonom.19

17 C.F.G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Bandung: PT.

Alumni, 1991, Hlm. 1.

18 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Op. Cit. hlm. 30.

19 Robert A. Dahl, Dilema Demokrasi Pluralis: Antara Otonomi dan Kontrol, Jakarta: CV Rajawali,

(15)

13

A. Kesimpulan

1. Peranan hukum dalam perkembangan sektor peternakan di Indonesia adalah

sebagai sarana untuk mengatur kegiatan usaha dalam bidang peternakan.

Pengaturan tersebut dilakukan untuk menjaga kualitas dari produk-produk

ternak yang beredar di pasaran serta sebagai pedoman bagi pemerintah dalam

membuat kebijakan bagi sektor peternakan;

2. Dampak dari adanya kebijakan mengenai impor daging atau ternak adalah

Indonesia terlepas dari krisis pasokan daging akibat dari kurangnya

produktivitas para peternak lokal, tetapi di sisi lain impor daging membawa

dampak negatif bagi persaingan antara daging impor dengan daging hasil

peternak lokal.

B. Rekomendasi

1. Kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dalam sektor peternakan

seharusnya lebih memperhatikan dan mengutamakan pengusaha peternakan

lokal, karena sesuai dengan pandangan politik hukum bahwa sebuah legal

policy dibentuk dalam rangka untuk mencapai tujuan negara;

2. Kebijakan yang akan atau telah dibuat harus berpedoman pada peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi. Serta agar kebijakan tersebut dapat

berlaku secara efektif maka diperlukan pengawasan dalam pelaksanaannya.

(16)

14

Daftar Pustaka A. Buku

C.F.G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional,

Bandung: PT. Alumni, 1991

Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Ed. Revisi, Cet. 2, Jakarta:

Rajawali Pers, 2009

Padmo Wahyono, Indonesia Negara Berdasarkan Asas Hukum, Cet. II, Ghalia

Indonesia, Jakarta, 1986

Padmo Wahyono, Menyelisik Proses Terbentuknya Perundang-Undangan, Forum

Keadilan, No. 29 April 1991

Robert A. Dahl, Dilema Demokrasi Pluralis: Antara Otonomi dan Kontrol, Jakarta:

CV Rajawali, 1985

Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000

Soedarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat dalam Kajian Hukum

Pidana, Sinar Baru, Bandung, 1983

Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Filsafat, Teori, dan Ilmu Hukum,

Jakarta: Rajawali Pers, 2014

Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana, Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2008

(17)

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan

Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor

59/M-DAG/PER/8/2016 Tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Hewan dan Produk

Hewan

C. Sumber Lain

Sjamsul Bahri, “Kebijakan dan Strategi Pengembangan Ternak”, dipresentasikan

pada Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Direktorat

Jenderal Peternakan Departemen Pertanian Jakarta Selatan, Jl. Harsono RM

No. 3, Jakarta Selatan, 2008

Paket Ekonomi IX: Pemerataan Infrastruktur Ketenagalistrikan dan Stabilisasi

Harga Daging Hingga ke Desa, <di https://www.bappenas.go.id>

Gumanti Awaliyah, “Peneliti IPB: Tingkat Konsumsi Daging Nasional Masih Rendah”, <http://www.republika.co.id>

Referensi

Dokumen terkait

digambarkan secara konkrit jumlah dan kualitas PNS yang diperlukan oleh suatu unit organisasi untuk melaksanakan tugasnya secara berdaya guna dan berhasil guna... Anggaran

Investasi pada modal bank, entitas keuangan dan asuransi diluar cakupan konsolidasi secara ketentuan, net posisi short yang diperkenankan, dimana Bank tidak memiliki lebih dari

Keberadaan Unit Pelaksana Teknis (UPT) di lingkup Dinas Peternakan telah diatur dalam Keputusan Gubernur Jawa Timur tanggal 22 Mei 1998 Nomor 62 Tahun 1998 tentang

Hasil pengukuran beban kerja mental dengan metode NASA-TLX dan RSME menunjukkan bahwa semua shift memiliki nilai beban mental yang tinggi sehingga perlu dilakukan usaha

Puji syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat-Nya maka penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “URGENSI PENERBITAN SURAT PERINTAH

Pada studi-studi sebelumnya diperoleh hasil bahwa metode yang paling baik untuk menentukan ketebalan sedimen adalah metode Nakamura, sedangkan pada penelitian ini

perbedaan laju respirasi yang berbeda nyata antara strain rentan dengan resisten pada kecoak jerman betina, jantan dan nimpa baik tanpa didedahkan maupun yang

Untuk dapat membaca simbol cultural / man made features pada peta RBI dapat melakukan pengamatan terhadap gedung dan bangunan lainnya yang pada umumnya digambarkan