• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PENDAPATAN PETANI PENGGARAP PAD

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ANALISIS PENDAPATAN PETANI PENGGARAP PAD"

Copied!
120
0
0

Teks penuh

(1)

SIAMBAK KECAMATAN KOTANOPAN KABUPATEN

MANDAILING NATAL

SKRIPSI

OLEH

ERWIN SYAHWIL NASUTION 1210223065

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS ANDALAS

(2)

SIAMBAK KECAMATAN KOTANOPAN KABUPATEN

MANDAILING NATAL

OLEH

ERWIN SYAHWIL NASUTION 1210223065

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS ANDALAS

(3)

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Saya mahasiswa/dosen/tenaga kependidikan* Universitas Andalas yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama lengkap : Erwin Syahwil Nasution No. BP/NIM/NIDN : 1210223065

Program Studi : Agribisnis Fakultas : Pertanian

Jenis Tugas Akhir : TA D3/Skripsi/Tesis/Disertasi/...**

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Andalas hak atas publikasi online Tugas Akhir saya yang berjudul:

“Analisis Pendapatan Petani Penggarap Pada Usahatani Padi Sawah (Oryza sativa) di Desa Muara Siambak Kecamatan Kotanopan Kabupaten Mandailing Natal”

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Universitas Andalas juga berhak untuk menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola, merawat, dan mempublikasikan karya saya tersebut di atas selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Padang

Pada tanggal 1 September 2016 Yang menyatakan,

(Erwin Syahwil Nasution)

* pilih sesuai kondisi

(4)
(5)
(6)

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu lah yang paling pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak

diketahui. (Q.S. Al- ‘alq ayat 1-5)”.

Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? (Q.S. Ar-Rahman ayat 13). Syukur Alhamdulillah Ya Allah....

Sebuah perjuangan telah kulalui. Bersujudku kehadapanMu.. Ya Allah... Sebagai rasa syukurku atas semua Rahmat dan KaruniaMu...

Kupersembahkan karya kecil ini kepada :

Ayah dan Umakku yang telah memberikan dukungan yang sangat besar kepada anak sulungmu ini, jasamu takkan tergantikan. Adik-adikku tersayang (Rizki & Farhan) yang

memberiku semangat dengan senyuman kalian. Tiada kekuatan yang lebih hebat selain keluarga.

Terima kasih buat tempatku berproses keluarga besar AgITC FP-Unand, HMI Komisariat Pertanian dan Himagri FP-Unand.

Tak lupa juga kepada kawan kontrakan (Rifki, Rozy, Andri, Jefri, Yudi, Sakban), dan juga kepada Rival, Vindo, Randhi, Farras, Ridho, Dika, Fandi, Fadhli, Eki, Joni, Tifany dan

(7)

Penulis dilahirkan di Tangerang pada tanggal 30 Mei 1994 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara, dari pasangan Eddi Darwin dan Siti Khodijah. Pendidikan Sekolah Dasar (SD) ditempuh di SD Negeri Kadu 1 Curug Tangerang (2000-2006). Sekolah Menengah Pertama (SMP) ditempuh di SMP Negeri 1 Curug Tangerang (2006-2008), kemudian penulis pindah ke SMP Negeri 1 Kotanopan (2008-2009). Sekolah Menengah Atas (SMA) ditempuh di SMK Negeri 1 Kotanopan, lulus pada tahun 2012. Pada tahun 2012 penulis diterima di Fakultas Pertanian Universitas Andalas Program Studi Agribisnis.

Padang, 24 Juni 2016

(8)

vii

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, karena atas izin-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Analisis Pendapatan Petani Penggarap Pada Usahatani Padi Sawah (Oryza sativa) di Desa Muarasiambak Kecamatan Kotanopan Kabupaten Mandailing Natal”. Shalawat beriring salam tidak lupa disampaikan buat Rasulullah Muhammad SAW sebagai suri tauladan dalam kehidupan.

Pada kesempatan ini penulis dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Lora Triana S.P.,M.M selaku dosen pembimbing I dan Bapak Cipta Budiman S.Si.,M.M selaku dosen pembimbing II yang telah memberikan arahan dan bimbingan selama proses penyusunan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada dosen undangan Bapak Ir. Muhammad Refdinal M.S, Bapak Ir. Yusri Usman M.S, dan Ibu Ir. Zelfi Zakir M.Si atas petunjuk dan saran yang diberikan. Kemudian ucapan terima kasih kepada Dekan Fakultas Pertanian Universitas Andalas, Bapak Ketua dan Sekretaris Jurusan Agribisnis, karyawan tata usaha, teman-teman dan pihak-pihak yang telah banyak membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini. Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih seluruh petani sampel di Desa Muara Siambak yang telah meluangkan waktunya untuk wawancara dengan penulis. Kemudian ucapan terima kasih kepada kedua orangtua dan kedua adikku yang selalu memberikan semangat dan motivasi kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan.

Padang, 24 Juni 2016

(9)

viii

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

ABSTRAK ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9

A. Deskripsi Padi Sawah ... 9

B. Teknik Budidaya Padi Sawah ... 9

C. Panen dan Pasca Panen ... 11

D. Konsep Usahatani dan Manajemen Usahatani ... 12

E. Klasifikasi Petani ... 17

F. Struktur Penguasaan Lahan ... 19

G. Sistem Bagi Hasil Pertanian ... 22

H. Penelitian Terdahulu ... 29

BAB III METODE PENELITIAN ... 31

A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 31

B. Metode Penelitian ... 31

C. Metode Pengambilan Sampel ... 32

D. Metode Pengumpulan Data ... 32

E. Variabel yang Diamati ... 33

F. Analisis Data ... 34

(10)

ix

A. Gambaran Umum Daerah Penelitian... 36

B. Identitas Petani Responden... 37

C. Gambaran Umum dan Kultur Teknis Petani Responden ... 42

D. Deskripsi Sistem Kerjasama dan Bagi Hasil ... 53

E. Analisis Pendapatan Petani Penggarap ... 58

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 64

A. Kesimpulan ... 64

B. Saran ... 65

DAFTAR PUSTAKA ... 66

(11)

x

Tabel Halaman

1. Informan Kunci 32

2. Luas Lahan Berdasarkan Penggunaannya di Desa Muara

Siambak Kec. Kotanopan Kab. Mandailing Natal 37 3. Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian di Desa

Muara Siambak Kec. Kotanopan Kab. Mandailing Natal 37 4. Identitas Petani Sampel di Desa Muara Siambak Kec.

Kotanopan Kab. Mandailing Natal 39

5. Kelemahan dan Kelebihan Padi Varietas Ciherang Menurut

Petani Sampel 42

6. Pengolahan Tanah Oleh Petani Sampel Serta Anjuran 43 7. Pelaksanaan Penyemaian Oleh Petani Sampel Serta Anjuran

45 8. Pelaksanaan Penanaman Oleh Petani Sampel Serta Anjuran 46 9. Penyiangan dan Penyulaman Oleh Petani Sampel Serta

Anjuran 47

10. Pelaksanaan Panen Oleh Petani Sampel 49

11. Penggunaan Sarana Produksi Pupuk Oleh Petani Sampel

Pada Musim Tanam Juli-Oktober 2015 51

12. Rata-rata Penggunaan Tenaga Kerja Pada Usahatani Padi dengan Sistem Kerjasama dan Bagi Hasil di Desa Muara

Siambak Kec. Kotanopan Kab. Mandailing Natal 52 13. Bentuk Sistem Kerjasama dan Bagi Hasil di Desa Muara

Siambak Kec. Kotanopan Kab. Mandailing Natal 54 14. Bentuk Perjanjian Bagi Hasil di Desa Muara Siambak Kec.

Kotanopan Kab. Mandailing Natal 57

15. Lama perjanjian Bagi Hasil di Desa Muara Siambak Kec.

Kotanopan Kab. Mandailing Natal 57

16. Analisa Pendapatan Petani Penggarap Pada Usahatani Padi Sawah di Desa Muara Siambak Kec. Kotanopan Kab.

(12)

xi

Lampiran Halaman

1. Data Luas Lahan, Produksi, dan Rata-rata Produksi

Padi Sawah 2004-2014 di Provinsi Sumatera Utara 68 2. Data Luas Lahan, Produksi, dan Rata-rata Produksi

Padi Sawah 2004-2014 Menurut Kecamatan di

kabupaten Mandailing Natal 69

3. Luas Panen dan Produksi Padi dan Palawija Menurut

Jenis Tanaman tahun 2014 70

4. Keadaan Penduduk Menurut Mata Pencaharian 71

5. Data Petani Penggarap Berdasarkan Luas Lahan

Garapan dengan sistem kerjasama dan bagi hasil 72 6. Kultur Teknis Petani Penggarap Di Desa Muara

Siambak Kec. Kotanopan Kab. Mandailing Natal

Musim Tanam Juli-Oktober 2015 73

7. Identitas Petani Penggarap Di Desa Muara Siambak

Kec. Kotanopan Kab. Mandailing Natal 75

8. Deskripsi Padi Varietas Ciherang dan Inpari Sidenuk 76 9. Jumlah Pemakaian Benih Petani Penggarap Di Desa

Muara SiambaknKec. Kotanopan Kab. Mandailing

Natal Musim Tanam Juli-Oktober 2015 77

10. Jumlah Pemakaian Pupuk Petani Penggarap Di Desa Muara SiambakKec. Kotanopan Kab. Mandailing

Natal Musim Tanam Juli-Oktober 2015 78

11. Biaya Pupuk Yang Dibayarkan Petani Penggarap Di Desa Muara Siambak Per Musim Tanam Pada Musim

Tanam Juli-Oktober 2015 79

12. Pemakaian Tenaga Kerja Dalam Keluarga Pada Kegiatan Pengolahan Lahan Permusim Tanam di Desa Muara SiambakKec. Kotanopan Kab. Mandailing

Natal Musim Tanam Juli-Oktober 2015 81

(13)

xii

Siambak Kec. Kotanopan Kab. Mandailing Natal Pada

Musim Tanam Juli-Oktober 2015 83

15. Pemakaian Tenaga Kerja Dalam Keluarga Pada Kegiatan Penanaman Permusim Tanam Di Desa Muara Siambak Pada Musim Tanam Juli-Oktober

2015 84

16. Pemakaian Tenaga Kerja Luar Keluarga Pada Kegiatan Penanaman Permusim Tanam Di Desa Muara Siambak Pada Musim Tanam Juli-Oktober

2015 85

17. Pemakaian Tenaga Kerja Dalam Keluarga Pada Kegiatan Pemupukan Permusim Tanam Di Desa Muara Siambak Pada Musim Tanam Juli-Oktober 2015

86

18. Pemakaian Tenaga Kerja Dalam Keluarga Pada Kegiatan Penyiangan Dan Penyulaman Di Desa Muara Siambak Permusim Tanam Pada Musim Tanam

Juli-Oktober 2015 87

19. Pemakaian Tenaga Kerja Dalam Keluarga Pada Kegiatan Pengendalian HPT Di Desa Muara Siambak Permusim Tanam Pada Musim Tanam Juli-Oktober

2015 88

20. Pemakaian Tenaga Kerja Dalam Keluarga Pada Kegiatan Pemanenan di Desa Muara Siambak Permusim Tanam Pada Musim Tanam Juli-Oktober

2015 89

21. Pemakaian Tenaga Kerja Luar Keluarga Pada Kegiatan Pemanenan Di Desa Muara Siambak Permusim Tanam Pada Musim Tanam Juli-Oktober

2015 90

22. Pemakaian Tenaga Kerja Dalam Keluarga Dan Tenaga Kerja Luar Keluarga Perluas Lahan Per Musim Tanam Di Desa Muara Siambak Pada Musim Tanam

Juli-Oktober 2015 91

(14)

Juli-xiii

Pestisida Petani Penggarap Di Desa Muara Siambak Perluas Lahan dan Per-Hektar Pada Musim Tanam

Juli-Oktober 2015 93

25. Biaya Panen Petani Penggarap Di Desa Muara Siambak Perluas Lahan dan Perhektar Pada Musim

Tanam Juli-Oktober 2015 94

26. Biaya Angkut Petani Penggarap Di Desa Muara Siambak Perluas Lahan dan Perhektar Pada Musim

Tanam Juli-Oktober 2015 95

27. Biaya Irigasi Petani Penggarap Di Desa Muara Siambak Perluas Lahan dan Perhektar Pada Musim

Tanam Juli-Oktober 2015 96

28. Biaya Dibayarkan Petani Penggarap Di Desa Muara Siambak Perluas Lahan Pada Musim Tanam

Juli-Oktober 2015 97

29. Biaya Dibayarkan Petani Penggarap Di Desa Muara Siambak Per-Hektar Pada Musim Tanam Juli-Oktober

2015 98

30. Produksi, Penerimaan, dan Pendapatan Petani Penggarap Perluas Lahan Di Desa Muara Siambak

Pada Musim Tanam Juli-Oktober 2015 100

31. Produksi, Penerimaan dan Pendapatan Petani Penggarap Per Hektar Di Desa Muara Siambak Pada

(15)

xiv

SIAMBAK KECAMATAN KOTANOPAN KABUPATEN

MANDAILING NATAL

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan sistem kerjasama dan bagi hasil pada usahatani padi sawah dan menganalisis pendapatan petani penggarap di Desa Muara Siambak Kecamatan Kotanopan Kabupaten Mandailing Natal. Penelitian ini menggunakan metode survey dengan data primer dan sekunder. Analisa data dilakukan secara deskriptif untuk tujuan pertama, yaitu: mendeskripsikan sistem kerjasama dan bagi hasil pada usahatani padi sawah dan secara kuantitatif untuk tujuan kedua, yaitu: untuk menganalisis pendapatan petani penggarap di Desa Muara Siambak Kecamatan Kotanopan Kabupaten Mandailing Natal. Hasil penelitian menunjukkan terdapat tiga bentuk sistem kerjasama dan bagi hasil antara petani penggarap dengan pemilik lahan, yaitu a) mardua (biaya ditanggung petani penggarap), b) mardua (biaya ditanggung bersama), dan marduaparlima (biaya ditanggung bersama). Hasil analisa pendapatan, rata-rata pendapatan petani penggarap sebesar Rp.5.752.079/Ha/MT dan rata-rata pendapatan petani penggarap perluas lahan sebesar Rp.1.720.637/Ha/MT. Pendapatan petani penggarap menurut sistem bagi hasil, yaitu sistem mardua (biaya ditanggung bersama) sebesar Rp.6.159.833/Ha/MT, sistem mardua (biaya ditanggung petani penggarap) sebesar Rp.5.898.302/Ha/MT dan sistem marduaparlima (biaya ditanggung bersama) sebesar Rp.3.611.235/Ha/MT. Saran yang diberikan adalah agar petani dapat mengikuti budidaya yang dianjurkan oleh PPL dan memperbaiki teknik budidaya yang dilakukan selama ini sehingga produksi padi dapat meningkat. Pemerintah beserta akademisi memberikan edukasi mengenai bagi hasil pertanian kepada pemilik lahan dan petani penggarap sehingga dalam praktik bagi hasil pertanian memberikan manfaat yang seharusnya bagi pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaan bagi hasil pertanian.

(16)
(17)

xv

KOTANOPAN SUBDISTRICT OF MANDAILING NATAL

DISTRICT

Abstract

This study was aimed at describing the system of cooperation and profit-sharing of rice farming, and analyzing the income of tenant farmers in the village of Muara Siambak Kotanopan Subdistrict of Mandailing Natal District. This study used survey method and collected primary and secondary data. The data were analyzed descriptively to describe the system of cooperation and profit-sharing of the rice farming, while quantitative analysis was applied to achieve the second objective of analyzing tenant farmers’ income in the village of Muara Siambak Kotanopan Subdistrict of Mandailing Natal District. The results showed that there were three forms of cooperation and profit-sharing systems existed between tenant farmers and landowners namely; a) Mardua (costs borne by tenant farmers), b) Mardua (costs were shared), and marduaparlima (costs were shared). Income analysis showed the average income of tenant farmers per cropping season was Rp. 5.752.079/Ha and the average income of tenant farmers for cultivated area per cropping season was Rp. 1.720.637. Income of tenant farmers for each cropping season from a) Mardua (costs were shared) profit sharing system was Rp. 6.159.833/Ha, b) Mardua (costs borne by tenant farmers) profit sharing system was Rp. 5.898.302/Ha, and c) marduaparlima (cost were shared) profit sharing system was Rp. 3.611.235/Ha. In order to increase farmers’ trincome and to get higher productivity the study suggested that farmers should be guided by extension worker to improve rice farming techniques. Local governments and academicians were expected to provide education about the profit-sharing in agriculture to the landowners and tenant farmers so in practical profit-sharing in agriculture would provide benefits to the parties involved.

(18)

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Indonesia merupakan negara agraris yang artinya bahwa pertanian memegang peranan penting dari keseluruhan perekonomian nasional. Hal ini dapat ditunjukkan dari banyaknya penduduk dan tenaga kerja yang hidup atau bekerja disektor pertanian atau dari produk nasional yang berasal dari pertanian. Dengan ciri perekonomian agraris, maka lahan pertanian merupakan faktor produksi yang sangat besar artinya bagi petani. Perbedaan penguasaan terhadap jumlah dan mutu lahan mengakibatkan perbedaan produksi dan pendapatan dalam sektor pertanian. Pendapatan yang diterima oleh petani menentukan pola konsumsi dan tabungan petani (Mubyarto, 1994:8).

Bagi bangsa Indonesia, tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa dan sekaligus merupakan kekayaan Nasional. Sebagian besar rakyatnya menggantungkan hidup dan kehidupannya pada tanah, terutama bidang pertanian. Tanah dalam masyarakat agraris mempunyai kedudukan yang sangat penting sehingga harus diperhatikan peruntukkan dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, baik secara perorangan maupun gotong royong. Dinyatakan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa : “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang banyak memberikan sumber kehidupan bagi rakyat Indonesia dan penting dalam pertumbuhan perekonomian. Hal tersebut diantaranya berkaitan dengan letak geografis dan jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian, sehingga memungkinkan pengembangan sektor ini sebagai salah satu usaha dalam memacu pembangunan nasional. Salah satu sektor pertanian yang masih akan terus dikembangkan adalah tanaman pangan. Sektor pertanian ini diharapkan dapat berperan dalam penyediaan pangan terutama tanaman padi yang cukup bagi kehidupan masyarakat bangsa ini (Soekartawi, 2003:10).

(19)

pangan pokok yaitu berupa beras. Beras berkaitan erat dengan kebutuhan rakyat banyak dan dapat dijadikan sebagai alat politik. Jumlah penduduk yang semakin meningkat menyebabkan kebutuhan akan beras pun semakin meningkat. Namun, produksi padi cenderung stagnan bahkan menurun dan kondisi kesejahteraan petani itu sendiri juga terus mengalami penurunan (Mariyah, 2008 dalam Pane 2014:1).

Berdasarkan hasil Sensus Pertanian (ST2013) padi merupakan komoditas unggulan Sumatera Utara. Ini dapat dilihat dari perkembangan luas panen dan produksi padi di Sumatera Utara selama tahun 2004-2014 rata-rata mengalami kenaikan per tahun. Pada tahun 2004 produksi padi sawah sebesar 3.214.782 ton dan pada tahun 2014 mencapai 3.490.516 ton (lampiran 1) (Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara, 2015).

Perkembangan luas lahan dan produksi padi sawah di Kabupaten Mandailing Natal dari tahun ke tahun secara umum mengalami peningkatan. Pada tahun 2013 produksi sebesar 177.858,51 ton, menjadi 181.013 ton pada tahun 2014 (Lampiran 2) (Badan Pusat Statistik Kabupaten Mandailing Natal, 2015).

Padi sawah di Kecamatan Kotanopan Kabupaten Mandailing Natal, merupakan komoditas dengan produksi tertinggi, yaitu 8.003,94 ton pada tahun 2014 dibandingkan dengan tanaman pangan lainnya, dengan luas panen 1.646,90 Ha (lampiran 3) dibandingkan dengan produksi tanaman pangan lainnya, seperti jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, kacang hijau dan kacang kedelai. Ini menunjukkan bahwa padi sawah merupakan usahatani yang paling banyak diusahakan oleh masyarakat.

(20)

mendapatkan bagian dari hasil sawah sesuai dengan cara pembagian yang telah disepakati.

Petani di dalam mengelola lahan usahataninya lebih menitikberatkan pertumbuhan pada tingkat kesesuaian lahan dan agroekosistem dengan komoditi yang akan diusahakan dan penekanan pada usaha untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. Dengan semakin meningkatnya biaya kebutuhan hidup menuntut mereka untuk mempertimbangkan untung ruginya terhadap komoditi yang mereka usahakan untuk memperoleh pendapatan dalam berusahatani. Pendapatan adalah penerimaan bersih petani setelah dikurangi oleh pengeluaran petani selama kegiatan usatani. Oleh karenanya analisis usahatani di dalam setiap kegiatan usahatani merupakan bahan pertimbangan penting di dalam menetapkan suatu usaha (Jafar, 2003:66).

Seperti yang dikemukakan oleh Wiradi dan Makali (1984) dalam Winarso (2012:144), bahwa hubungan antara besarnya pendapatan hasil usahatani dengan tingkat penguasaan lahan menunjukkan distribusi pendapatan yang dikaitkan dengan strata luas pemilikan tanah semakin besar luas tanah milik semakin besar pula pendapatan rata-rata rumah tangga. Dengan demikian, rumah tangga yang memiliki tanah luaslah yang mempunyai jangkauan lebih besar ke sumber non-pertanian.

Besarnya kontribusi pendapatan usahatani padi sawah dipengaruhi oleh beberapa faktor: 1) Adanya kontinyuitas usahatani sawah dengan pola tanam dua kali setahun, 2) Sistem pengairan sawah, sebagian besar adalah irigasi teknik sehingga memungkinkan tanaman padi lebih dominan dibanding tanaman lainnya, 3) Kesempatan untuk memperoleh pendapatan diluar sektor pertanian rendah Darwis (2008:12).

(21)

Usahatani dikatakan efektif bila petani produsen dapat mengalokasikan sumberdaya yang mereka miliki (yang kuasai) sebaik-baiknya. Usahatani dikatakan efisien bila pemanfaatan sumber daya tersebut menghasilkan keluaran (output) yang melebihi masukan (input) (Soekartawi, 1995:1). Komponen biaya di dalam usahatani senantiasa dievaluasi karena komponen biaya tersebut selalu berubah setiap saat. Perubahan penggunaan teknologi otomatis mengubah biaya produksi. Dengan demikian analisis usahatani harus secara terus menerus dilakukan agar diperoleh suatu hasil yang menguntungkan (Jafar, 2003:67).

B.Rumusan Masalah

Sektor pertanian merupakan sektor unggulan di Kecamatan Kotanopan terutama subsektor tanaman pangan dan perkebunan. Komoditas utama pada subsektor tanaman pangan adalah padi sawah. Desa Muara Siambak merupakan salah satu desa di Kecamatan Kotanopan Kabupaten Mandailing Natal yang 93% penduduknya adalah petani (lampiran 4). Tanaman yang paling banyak diusahakan di desa ini adalah padi. Usahatani padi sawah yang diusahakan oleh petani merupakan usahatani subsisten, dimana semua hasil dari usahatani digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.

Petani di Desa Muara Siambak Kecamatan Kotanopan, merupakan petani yang melakukan dua kali tanam dalam setahun. Pada musim tanam satu, yaitu pada bulan Desember sampai bulan April. Musim tanam dua, yaitu pada bulan Juni sampai Oktober. Pada musim tanam satu, lahan diberakan (diistirahatkan) selama 1 bulan, yaitu bulan Mei. Sedangkan pada musim tanam dua, lahan diberakan (diistirahatkan) selama 2 bulan, yaitu bulan November dan Desember.

(22)

dimana terjadi pengalihan hak garap dari pemilik lahan kepada orang lain (Pakpahan dalam Mardiyaningsih, 2010:121).

Bagi hasil merupakan salah satu sarana tolong menolong bagi sesama manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pihak yang mempunyai lahan menyerahkan lahannya kepada pihak petani atau penggarap untuk diusahakan sebagai lahan yang menghasilkan, sehingga pihak pemilik lahan dapat menikmati dari hasil lahannya, dan petani yang sebelumnya tidak memiliki lahan untuk bercocok tanam juga dapat berusaha serta dapat memperoleh hasil yang sama dari lahan tersebut.

Dalam bagi hasil pertanian sawah, bukan tanah yang menjadi tujuan utamanya, akan tetapi mengenai pekerjaan dan hasil dari tanah tersebut. Objek dari perjanjian bagi hasil pertanian sawah ini adalah hasil dari tanah tersebut, juga tenaga dari orang yang mengerjakannya, sedangkan subjek dari bagi hasil pertanian sawah adalah pemilik tanah dan penggarap sawah.

Dalam perjanjian bagi hasil yang dilakukan oleh petani penggarap dengan pemilik lahan di Desa Muara Siambak dilakukan berdasarkan dengan saling percaya, tidak memerlukan surat perjanjian antara petani penggarap dengan pemilik. Petani penggarap dengan pemilik bersama-sama dalam menentukan bagi hasil dan kemudian untuk pembagian bagi hasil dilakukan setelah musim panen.

Imbangan bagi hasil yang umumnya dilakukan antara petani penggarap dan pemilik lahan di Desa Muara Siambak adalah 50:50 (maro). Petani penggarap menggarap lahan mulai dari pengolahan tanah sampai dengan panen dan pemilik lahan berkontribusi tanah dan sarana produksi (bibit, pupuk, dan pestisida). Ketika panen, pemilik lahan datang secara langsung ke lahan yang digarap oleh petani penggarap. Sehingga pembagian hasil dilakukan secara langsung di lahan garapan.

(23)

maka akan berdampak pada imbangan bagi hasil yang pada akhirnya mempengaruhi pendapatan petani penggarap. Dalam perbedaan sistem kepemilikan lahan ini tentunya akan menimbulkan perbedaan dalam tingkat penerimaan dan pendapatan petani. Imbangan bagi hasil antara penggarap dengan pemilik lahan adalah dalam bentuk gabah.

Petani di Desa Muara Siambak merupakan petani penggarap dengan luas lahan garapan yang relatif kecil, yaitu <0,5 ha (lampiran 5). Pada musim tanam petani hanya menanam padi, tidak ada melakukan melakukan tumpang sari atau pergiliran tanaman. Pada saat lahan diberakan (diistirahatkan), petani tidak ada yang memanfaatkan lahan garapannya. Sehingga selama masa pemberaan lahan sawah tersebut dibiarkan saja. Dengan melakukan tumpang sari dan pergiliran tanaman sesungguhnya akan menguntungkan bagi petani, seperti memutus siklus perkembangbiakan hama dan penyakit tanaman, dan menjaga kesuburan tanah, sehingga petani dapat mengoptimalkan dalam pemanfaatan lahan garapannya yang akan meningkatkan produktivitas petani baik dari segi produktivitas lahan dan segi ekonomis, yaitu pendapatan petani. Perjanjian bagi hasil yang disepakati antara pemilik lahan dengan petani penggarap, tidak ada mencakup kesepakatan bagi petani untuk dapat menggarap lahan tersebut setelah masa panen.

Bagi petani penggarap kesempatan kerja dan peluang berusaha relatif lebih terbatas dibanding petani pemilik lahan. Setidaknya kesempatan kerja di usahatani, bagi petani yang menguasai lahan sumber pendapatan lain dapat dilakukan melalui beragamnya komoditas atau pola tanam yang diusahakan. Selain itu dengan lahan yang dikuasai petani pemilik lahan dapat melakukan akumulasi nilai tambah dari hasil usaha untuk kegiatan yang lebih beragam. Sementara itu pada petani penggarap di Desa Muara Siambak yang 93% penduduknya merupakan petani penggarap dengan modal utama tenaga kerja yang dimiliki maka peluang seperti yang dimiliki pemilik lahan kurang dapat diakses.

(24)

sehingga kurang akses petani penggarap terhadap sektor non-pertanian. Dengan demikian, pendapatan petani penggarap di Desa Muara Siambak yang berasal dari usahatani padi sawah dengan sistem bagi hasil adalah untuk pemenuhan kebutuhan keluarga sehari-hari. Sehingga petani penggarap dalam menggarap lahan milik orang lain tidak berorientasi pada keuntungan.

Menurut Soekartawi (2006:32), adanya kewajiban-kewajiban dan kemungkinan keuntungan yang diterima oleh masing-masing pihak dalam hal status kepemilikan lahan tersebut menyebabkan adanya perbedaan motivasi petani dalam mengerjakan lahannya. Dalam hal upaya meningkatkan produksi misalnya, antara petani pemilik penggarap dengan petani penggarap dapat terjadi motivasi yang berbeda karena perbedaan sistem penguasaan lahan. Petani penggarap termotivasi untuk meningkatkan produksi. Karena tidak seluruh produksi akan dinikmati sendiri, karena harus berbagi dengan pemilik lahan. Oleh karena itu, petani penggarap berusaha untuk mengoptimalkan lahan yang digarapnya untuk memperoleh pendapatan dalam berusahatani. Seringkali perbedaan kepemilikan lahan petani mempunyai pengaruh penting terhadap hasil usahatani di suatu wilayah. Perbedaan kepemilikan lahan ini berhubungan erat dengan penggunaan masukan dan pendapatan yang diperoleh.

Mengingat pada umumnya petani penggarap di Desa Muara Siambak dalam mengolah lahan garapannya dengan sistem bagi hasil dan hasil yang didapatkan dari usahatani padi sawah adalah pemenuhan kebutuhan sehari-hari, bukan untuk tujuan komersial. Pendapatan padi sawah merupakan selisih dari penerimaan dengan biaya yang dibayarkan, dengan demikian dapat dilihat sejauh mana peranan usahatani padi sawah dengan sistem kerjasama dan bagi hasil terhadap pendapatan rumah tangga petani penggarap di Desa Muara Siambak.

(25)

1. Bagaimana sistem kerjasama dan bagi hasil antara pemilik lahan dengan petani penggarap Di Desa Muara Siambak Kecamatan Kotanopan Kabupaten Mandailing Natal?

2. Seberapa besar pendapatan petani penggarap dengan sistem kerjasama dan bagi hasil?

C.Tujuan Penelitian

Untuk menjawab rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian adalah: 1. Mendeskripsikan sistem kerjasama dan bagi hasil pada usahatani padi

sawah di Desa Muara Siambak Kecamatan Kotanopan Kabupaten Mandailing Natal.

2. Menganalisis pendapatan petani penggarap dengan sistem kerjasama dan bagi hasil.

D.Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini yaitu:

1. Hasil penelitian ini di harapkan dapat sebagai dasar guna penelitian selanjutnya dan untuk memberikan gambaran pelaksanaan perjanjian Bagi Hasil (tanah pertanian), dalam praktek serta memberikan sumbangan pemikiran bagi pengambil kebijakan mengenai bagi hasil. 2. Sebagai informasi bagi petani untuk pengambilan keputusan dalam

(26)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A.Deskripsi Padi Sawah

Klasifikasi botani padi sawah sebagai berikut: Kingdom : Plantae (tumbuhan)

Divisi : Spermatophyta (menghasilkan biji) Sub Divisi : Angiospermae

Kelas : Monocotyledoneae (berkeping satu/monokotil)

Ordo : Poales

Famili : Graminae

Genus : Oryza Linn.

Spesies : Oryza sativa L.

Padi merupakan tanaman pangan berupa rumput berumpun. Tanaman pertanian kuno ini berasal dari dua benua, yaitu Asia dan Afrika Barat tropis dn subtropis. Bukti sejarah menunjukkan bahwa penanaman padi di Zheijiang (Cina) dimulai pada 3.000 tahun SM (Purwono, 2013:9).

Terdapat 25 spesies Oryza. Jenis ini dikenal dengan O. sativa dengan dua subspesies. Pertama, yaponica (padi bulu) yang ditanam di daerah subtropis. Kedua, indica (padi cere) yang ditanam di Indonesia. Berdasarkan sistem budidaya, padi dibedakan menjadi dua tipe, yaitu padi kering (gogo) dan padi sawah. Daerah sentra produksi padi adalah Pulau Jawa, seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Selatan (Purwono, 2013:13).

B.Teknik Budidaya Padi Sawah 1. Penyiapan Lahan

(27)

perataan. Pada tanah berat, pengolahan tanah terdiri dari 2 kali bajak, 2 kali garu, kemudian diratakan (Purwono, 2013:17).

2. Pemilihan Benih

Benih yang digunakan disarankan bersertifikat/berlabel biru. Pada setiap musim tanam perlu adanya bergiliran varietas benih yang digunakan dengan memperhatikan ketahanan terhadap serangan wereng dan tungro (Purwono, 2013:17). Kebutuhan benih berkisar 20-25 kg/ha. sebelum disemai, benih direndam terlebih dahulu dalam larutan air garam (200 g garam per liter air) (Purwono, 2013:17).

3. Penyemaian

Lahan penyemaian dibuat bersamaan dengan penyiapan lahan untuk penanaman. Untuk luas tanam satu hektar, dibutuhkan lahan penyemaian seluas 500 m2. Pada lahan persemaian tersebut dibuat bedengan dengan lebar 1-1,25 m dan pajangnya mengikuti panjang petakan untuk memudahkan penebaran benih. Setelah bedengan diratakan, benih disebarkan diatas bedengan. Selanjutnya, disebarkan sedikit sekam sisa penggilingan padi atau jerami di atas benih. Tujuannya untuk melindungi benih dari hujan dan burung (Purwono, 2013:19). 4. Cara tanam

Saat penanaman, kondisi lahan dalam keadaaan tidak tergenang atau macam-macak. Jarak tanam yang dianjurkan adalah 25 cm x 25 cm atau 30 cm x 15 cm atau jarak tanam jejer legowo 40 cm x 20 cm x 20 cm. Bibit yang ditanam berkisar 3 batang per lubang. Setelah tiga hari penanaman, air dimasukkan ke dalam lahan (Purwono, 2013:1).

5. Pemupukan

Pupuk yang digunakan sebaiknya kombinasi antaa pupuk organik dan buatan. Pupuk organik yang diberikan dapat berupa pupuk kandang atau pupuk hijau dengan dosis 2-5 ton/ha. Pupuk organik diberikan saat pembajakan/cangkul pertama (Purwono, 2013:19).

(28)

14 H. Juka digunakan pupuk majemuk dengan perbandingan 15-1515, dosisnya 300 kg/ha. Penggunaan pupuk majemuk menguntungkan karena mengandung beberapa macam unsur hara yang dibutuhkan tanaman. Pupuk majemuk diberikan setengan dodis pada saat berumur 14 HST, sisanya saat menjelang primordia bungan (50 HST) (Purwono, 2013:19).

6. Pemeliharaan Tanaman

Pemberian air disesuaikan denga kebutuhan tanaman dengan mengatur ketinggian genangan. Ketinggian genangan dalam petakan cukup 2-5 cm. Genangan air yang lebih tinggi akan mengurangi pembentukan anakan. Prinsip pemberian air adalah memberikan air pada saat yang tepat, jumlah yang cukup dan kualitas air yang baik (Purwono, 2013:20).

C.Panen dan Pasca Panen 1. Waktu dan Cara Panen

Padi siap panen sekitar 30-40 hari setelah berbunga merata. Jika terlambat memanen padi, akan mengakibatkan banyak biji yang tercecer atau busuk sehingga mengurangi produksi. Waktu panen yang baik pada pagi hari, saat embun sudah menguap. Selain itu, lahan sebainya juga dalam kondisi kering, tidak baah atau tergenang air. Oleh karena itu, 10 hari menjelang panen sebainya sawah dikeringkan. Tujuan lain pengeringan sawah, yaitu untuk menyerempakkan pematangan gabah (Purwono, 2013:26).

2. Perontokan

(29)

3. Pembersihan

Pembersihan dilakukan dengan cara membuang benda-benda asing yang tidak diinginkan seperti aun, batang tanah dan lain-lain. Tujuannya agar benda-benda tersebut tidak terampur dengan hasil panen (Purwono, 2013:28).

4. Pengeringan

Gabah segera dikeringkan setelah dirontokan dengan kadar airnya 14%. Tujuannya agar bahan dapat disimpan lebih lama tanpa ada penurunan mutu yang berarti. Produk tanaman pangan akan aman disimpan pada kadar air maksimum berkisar 9-14%. Biji biasanya dipanen saat kadar airnya masih tinggi (lebih dari 20%) (Purwono, 2013:28).

Pengeringan dapat dilakukan dengan cara dijemur atau dengan mesin pengering (dryer). Ketebalan hamparan gabah 5-7 cm. Adapun ketebalan gabah dalam mesin pengering tergantung kapasitas mesin. Penjemuran sebainya di atas alas tikar, anyaman bambu, atau lantai semen (Purwono, 2013:28).

5. Pengangkutan

Pengangkutan adalah segala bentuk pemindahan bahan sejak panen hingga ke tempat tujuan akhir. Untuk memudahkan pengangkutan dan mengurangi bahan tercecer, perlu pengepakan yang baik (Purwono, 2013:29).

6. Penyimpanan

Penyimpanan adalah tempat bahan ditahan untuk sementara waktu dengan berbagai tujuan. Tempat atau ruang yang akan digunakan sebagai ruang simpan perlu memenuhi persyaratan tertentu seperi bersih, dan kering, tidak lembab, dan bebas dari serangan hama penyakit gudang. Gabah yang aman disimpan selama 6 bulan adalah gabah yang berkadar air maksimum 14% dan kadar kotorannya maksimum 3% (Purwono, 2013:29).

D.Konsep Usahatani dan Manajemen Usahatani

(30)

memperoleh keuntungan yang tinggi pada waktu tertentu. Dikatakan efektif apabila petani atau produsen dapat mengalokasikan sumberdaya yang dimiliki (yang kuassai) sebaik-baiknya dan dikatakan efisien apabila pemanfaatan sumberdaya tersebut menghasilkan keluaran (output) yang melebihi masukan (input) (Soekartawi, 1995:1).

Salah satu ukuran keberhasilan usahatani adalah pendapatan dan keuntungan. Produksi yang tinggi bukanlah satu-satunya hal yang penting, tetapi juga peningkatan pendapatan. Harga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pendapatan sedangkan keuntungan dipengaruhi oleh pendapatan dan biaya yang dikeluarkan selama berusahatani (Mubyarto, 1986).

Pentingnya analisa usahatani dilakukan adalah mengingat umumnya petani tidak mempunyai catatan usahatani sedangkan informasi tentang keragaman atau usahatani yag dilihat dari berbagai aspek. Hal ini sangat penting karena tipe-tipe usahatani pada setiap skala usaha dan tiap lokas berbeda satu sama lainnya arena adanya perbedaan karakteristik yang dimiliki usahatani yang bersangkutan (Soekartawi dkk, 1995). Fungsi analisa ini penting sebagai salah satu dasar upaya peningkatan produksi dan pendapatan daerah, juga penting untuk menyusun peluang investasi (Warisno, 1998:81).

1. Tenaga Kerja Dalam Usahatani

Tenaga kerja dalam usahatani memiliki karakteristik yang sangat berbeda dengan tenaga kerja dalam usaha bidang lain yang bukan pertanian. Karakteristik tenaga kerja bidang usahatani menurut Tohir (1983) dalam Suratiyah, 2011:21) adalah sebagai berikut : a) Keperluan akan tenaga kerja dalam usahatani tidak kontinyu dan tidak merata, b) Penyerapan tenaga kerja dalam usahatani sangat terbatas, c) Tidak mudah distandarkan, dirasionalkan, da dispesialisasikan, d) Beranekaragam coraknya dan kadang kala tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

(31)

2. Produksi Usahatani

Produksi adalah total fisik yang diperoleh produsen dalam melakukan kegiatan usahatani. Dalam memperoleh produksi yang maksimal, seorang petani akan mengalokasikan input dan faktor produksi seefisien mungkin guna tercapainya keuntungan yang maksimal. Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dibedakan menjadi dua, yaitu: (1) Faktor biologi, seperti lahan pertanian dengan maam tingkat kesuburannya, bibit, varietas, pupuk, obat-obatan, gulma dan sebagainya. (2) Faktor soial ekonomi, seperti biaya produksi, harga, tenaga kerja, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, resio ketidakpastian, kelembagaan, tersedianya kredit dan sebagainya (Soekartawi: 1995:4).

3. Biaya Usahatani

Biaya usahatani merupakan nilai semua korbanan ekonomi yang diperlukan dan dapat diukur ataupun diperkirakan untuk menghasilkan suatu produk. Petani sebagai pelaksana mengharap produksi yang lebih besar lagi agar memperolehpendapatan yang besar pula. Untuk itu, petani menggunakan tenaga, modal dan sarana produksinya sebagai umpan untuk mendapatkan produksi yang diharapkan. Adakalanya produksi yang diperoleh lebih besar (Suratiyah, 2011:60).

Fator-faktor yang mempengaruhi besarnya biaya dan pendapatan sangatlah kompleks. Namun demikian, faktor tersebut dapat dibagi ke dalam dua golongan sebagai berikut: (1) Faktor internal, seperti umur petani, pendidikan, pengetahuan, pengalaman, keterampilan, jumlah tenaga kerja keluarga, luas lahan, modal. Faktor eksternal seperti, ketersediaan input, harga input, permintaan output, harga output . (2) faktor manajemen (Suratiyah, 2011:67).

(32)

kecilnya dipengaruhi oleh produksi yag diperoleh. Contohnya biaya untuk sarana produksi.

4. Penerimaan Usahatani

Penerimaan usahatani adalah perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual. Penerimaan usahatani dapat dirumuskan sebagai berikut:

(Suratiyah, 2011:61) Dimana:

TR = Total Penerimaan (Rp/ha/MT) Py = Jumlah Produksi (Kg/ha/MT) Y = Harga Jual (Rp/kg)

5. Pendapatan Usahatani

Pendapatan terdiri dari pendapatan kotor dan pendapatan bersih. Menurut Soekartawi (1995) pendapatan kotor usahatani (gross farm income) didefinisikan sebagai nilai produksi total usahatani dalam jangka waktu tertentu baik yang dijual atau yang tidak dijual. Pendapatan bersih (net farm income) didefinisikan sebagai selisih pendapatan kotor usahatani dengan pengeluaran total usahatani. Untuk meningkatkan pendapatan pendapatan petani, diperlukan beberapa syarat antara lain: (1) Penggunaan tenaga kerja yang intensif, (2) Keterampilan yang memadai, (3) Peralatan dan sarana produksi yang memadai, (4) Perbaikan sistem pemasaran hasil pertanian. Pendapatan usahatani adalah selisih antara penerimaan dan biaya yang dibayarkan. Pendapatan usahatani dapat dirumuskan sebagai berikut:

(Soekartawi, 1995:58) Dimana:

Pd = Pendapatan usahatani (Rp/ha/MT) TR = Total penerimaan (Rp/ha/MT) Bt = Biaya yang dibayarkan (Rp/ha/MT)

TR = (Py.Y)

(33)

6. Keuntungan Usahatani

Keuntungan petani atau pendapatan bersih adalah selisih antara penerimaan dengan biaya total. Biaya total adalah seluruh biaya yang digunakan dalam berproduksi dari biaya yang dibayarkan, biaya yang diperhitungkan.

(Soekartawi, 1995:60) K = Keuntungan usahatani padi sawah (Rp/ha/MT) Xi = Jumlah produksi (Kg/ha/MT)

Hx = Harga jual (Rp/kg/MT) BT = Biaya total (Rp/kg/MT)

Manajemen usahatani adalah kemampuan petani menentukan, mengorganisisr, dan mengkoordinasikan faktor-faktor produksi yang mereka miliki (yang dikuasai) sebaik-baiknya dan mampu memberikan produksi pertanian sebagaimana yang diharapkan. Ukuran dari keberhasilan pengelolaan itu adalah produktivitas dari usahanya (Hernanto, 1993).

Sejalan dengan majunya pertanian, para petani lebih banyak lagi mengembangkan kemampuannya dalam mengelola usahataninya. Ia harus menentukan apakah ia akan membeli benih tunggal, pupuk, pestisida, atau alat baru serta apakah perlu menambah tenaga kerja untuk pekerjaan di lapangan (Mosher, 1973).

Menentukan Hernanto (1993), untuk dapat menjadi pengelola yang berhasil maka pemahaman terhadap prinsip teknik dan prinsip ekonomi menjadi syarat bagi seorang pengelola. Pemahaman prinsip teknik meliputi: (a) perilaku cabang usaha yang diputuskan, (b) perkembangan teknologi, (c) tingkat teknologi yang dikuasai, (d) daya dukung faktor yang dikuasai, (e) cara budidaya dan alternatif cara lain berdasar pengalaman orang lain. Pemahaman prinsip ekonomi meliputi (a) penentuan perkembangan harga, (b) kombinasi cabang usaha, (c) pemasaran hasil, (d) pembiayaan usahatani, (e) pengelolaan modal dan pendapatan, (f) ukuran-ukuran keberhasilan yang lazim. Perpaduan kedua prinsip itu tercermin dari keputusan yang diambil, agar resiko tidak menjadi tanggungan pengelola. Kesediaan menerima resiko akan sangat tergantung pada tersedianya modal, status

(34)

petani, umur, lingkungan sosial, perubahan serta pendidikan dan pengalaman petani.

E.Klasifikasi Petani

Petani adalah orang yang mengusahakan/mengelola usaha pertanian baik pertanian tanaman pangan, perkebunan, peternakan, kehutanan, perburuan dan perikanan. Petani tanaman dapat merupakan petani pemilik atau petani penggarap sesuai dengan yang dikemukakan Patong (1986) dalam (Hamidah, 2014:14) tentang klasifikasi petani :

1. Petani pemilik

Petani pemilik ialah golongan petani yang memiliki tanah dan ia pulalah yang secara langsung mengusahakan dan menggarapnya. Semua faktor-faktor produksi,baik berupa tanah, peralatan dan sarana produksi yang digunakan adalah milik petanisendiri. Dengan demikian ia bebas menentukan kebijaksanaan usahataninya, tanpa perlu dipengaruhi atau ditentukan oleh orang lain.

Golongan petani yang agak berbeda statusnya ialah yang mengusahakan tanahnya sendiri dan juga mengusahakan tanah orang lain (part owner operator). Keadaan semacam ini timbul karena persediaan tenaga kerja dalam keluarganya banyak. Untuk mengaktifkan seluruh persediaan tenaga kerja ini, ia mengusahakan tanah orang lain.

2. Petani penyewa

(35)

3. Petani Penggarap

Petani penggarap ialah golongan petani yang mengusahakan tanah orang laindengan sistem bagi hasil. Dalam sistem bagi hasil, resiko usahatani ditanggung olehpemilik tanah dan penggarap. Besarnya bagi hasil tidak sama untuk tiap daerah. Biasanya bagi hasil ini ditentukan oleh tradisi daerah-daerah masing-masing, kelas tanah, kesuburan tanah, banyaknya permintaan dan penawaran, dan peraturan negara yang berlaku. Menurut peraturan pemerintah, besarnya bagi hasil yang menjadi hak penggarap dan pemilik untuk tiap-tiap daerah Swatantara tingkat II ditetapkan oleh Bupati/Kepala Daerah yang bersangkutan, dengan memperhatikan jenis tanaman, keadaan tanah, kepadatan penduduk, zakat yang disisihkan sebelum dibagi dan faktor-faktor ekonomis serta ketentuan-ketentuan adat setempat (UU No.2 Tahun 1960).

Di samping kewajiban terhadap usahataninya, di beberapa daerah terdapat pula kewajiban tambahan bagi penggarap, misalnya kewajiban membantu pekerjaan di rumah pemilik tanah dan kewajiban-kewajiban lain berupa materi. Dalam usahataninya petani juga bertindak sebagai “manajer”. Keterampilan bercocok tanam atau menggembalakan ternak pada umumnya merupakan hasil kerja dari kemampuan fisiknya yang meliputi alat, tangan, mata dan kesehatan. Keterampilan sebagai “manajer” mencakup juga kegiatan-kegiatan otak yang didorong oleh kemauan Di dalamnya tercakup masalah pengambilan keputusan atau penetapan pilihan-pilihan dari alternatif-alternatif yang ada.

(36)

Dalam menyelenggarakan usahatani, tentunya terdapat perbedaan status penguasaan lahan yang berbeda seperti petani pemilik penggarap, petani penyakap (bagi hasil), dan petani penyawa. Didalam usahatani padi terdapat perbedaan alokasi faktor yang yang dilalui oleh ketiga status petani tersebut, maka akan dapat menyebabkan perbedaan produksi yang dihasilkan oleh usahatani padi sawah mereka. Hal ini ternyata akan menyebabakan perbedaan pendapatan yang diterima petani diantara ketiga status lahan tersebut.

Seringkali perbedaan kepemilikan lahan petani atau kelompok petani mempunyai pengaruh penting terhadap hasil usahatani di suatu wilayah. Perbedaan kepemilikan lahan ini berhubungan erat dengan penggunaan masukan dan keuntungan yang diperoleh. Pada kasus-kasus tertentu dimana pemilikan lahan mempunyai pengaruh terhadap proses produksi, sering dijumpai bahwa proporsi biaya yang dipikul oleh masing-masing pembuat keputusan (pemilik lahan) tidak proporsional dengan keuntungan yang dibagi. Keputusan yang diberikan tentu saja tidak akan sama di antara status kepemilikan lahan yang berbeda tersebut, sekalipun besarnya biaya dan keuntungan yang diterima adalah proporsional.

Menurut Soekartawi (2006), adanya kewajiban-kewajiban dan kemungkinan keuntungan yang diterima oleh masing-masing pihak dalam hal status kepemilikan lahan tersebut menyebabkan adanya perbedaan motivasi petani dalam mengerjakan lahannya. Dalam hal upaya meningkatkan produksi misalnya, antara petani pemilik penggarap dengan penyewa dapat terjadi motivasi yang sama kuatnya karena semua keuntungan akan mereka nikmati. Sedangkan bagi petani penyakap, mungkin saja merasa tidak seluruh produksi akan dinikmati sendiri, karena harus berbagi dengan pemilik lahan. Sistem pembagian hasil antara petani pemilik lahan dan petani penggarap

F. Struktur Penguasaan Lahan 1. Sistem Sewa

(37)

tanggungan sendir dan berbuat seakan-akan sebagai hak miliknya sendiri. Akan tetapi, ia tidak boleh menjual atau menyewakan tanpa seizin pemilik tanah (Rachmat, 2010:99).

Nilai sewa dicerminkan oleh mekanisme pasar lahan dan mencerminkan produkstivitas lahan. Ada bentuk hak sewa tanah menurut adat di beberapa daerah di Indonesia, sewa tanah pertanian dikenal dengan beberapa istilah yang berbeda seperti di Tapanuli Selatan disebut “mengasi”, di Sumatera Selatan disebut “sewa bumi”, di Kalimantan disebut “cukai”, di Ambon disebut “sewa ewang”, dan di Bali disebut “paje”. Umumnya praktek sewa-menyewa tanah pertanian ini masih terjadi di daerah pedesaan dan pelaksanaannya didasarkan pada hukum adat msing-masing (Rachmat, 2010:99).

2. Sistem Gadai

Menurut Sudiyat (1984) dalam Rachmat (2010:100), gadai adalah penyerahan tanah untuk menerima sejumlah pembayaran uang secara tunai dengan ketentuan si penjual tetap berhak atas pengembalian tanahnya dengan jalan menebusnya kembali. Sedangkan dari aspek hukum, gadai tanah adalah hubungan hukum seseorang dengan tanah kepunyaan orang lain yang telah menerima uang gadai daripadanya. Selama uang gadai belum dikembalikan, tanah tersebut dikuasai oleh pemegang gadai. Selama itu hasil tanah seluruhnya menjadi hak pemegang gadai. Pengembalian uang gadai atau yang lazim disebut penebusan tergantung pada kemauan dan kemampuan pemilim tanah yang menggadaikan.

3. Sistem Sumbatan/Gotong Royong

Pada sistem gotong royong/sambatan, pemilik tanah umumnya menggarap lahannya sendiri dan untuk memenuhi kebutuhan teaga kerja dilakukan dengan sistem sambat sinambat, gotong royong atau tukar tenaga yang tidak memerlukan uang tunai. Sambatan dilakukan oleh masyarakat dengan sukarela tanpa mengharapkan upah atas pekerjaannya itu karena didasari oleh asas principle of reciprocity, yaitu siapa yang membantu tetangganya yang membutuhkan maka

(38)

Dalam perkembangannya, terjadi pergeseran sistem gotong royong/sambatan menjadi sistem upah. Pergeseran ini tidak terlepas dari perkembangan kondisi dimana lapangan kerja semakin sempit dan tuntutan hidup makin tinggi, sehingga masyarakat/buruh membutuhkan uang tunai. Warga masyarakat yang dulunya murni bergotong royong menggarap sawah, kini sawah dijadikan lapangan pekerjaan dengan bekerja sebagai buruh tunai (Rachmat, 2010:102).

4. Sistem sakap/Bagi Hasil

Sistem sakap adalah sistem perjanjian penggarapan lahan antara pemilik dengan buruh dimana pembayaran dilakukan dengan sistem bagi hasil. Sistem sakap merupakan penyerahan sementara hak garap atas tanah kepada orang lain dengan perjanjian. Perjanjian dimaksud meliputi pembagian dalam beban biaya produksi terutama sarana produksi, curahan tenaga kerja, dan bagi hasil antara pemilik dan penyakap/penggarap (Rachmat, 2010:104).

Seiring dengan semakin tingginya nilai ekonomi lahan (land rent), kedudukan pemilik lahan semakin kuat dalam relasi sistem bagi hasil. Pemilik lahan yang lebih berkuasa untuk memutuskan sistem bagi hasil yang akan digunakan. Sistem bagi hasil yang berkembang di masyarakat bervariasi antar wilayah dan antar waktu, tergantung dari nilai relatif sumber daya lahan terhadap sumber daya manusia (Rachmat, 2010:102).

(39)

G.Sistem Bagi Hasil Pertanian 1. Pengertian Bagi Hasil

Sebelum menjelaskan pengertian perjanjian Bagi Hasil, perlu kiranya diketahui pemakaian istilah dari perjanjian bagi hasil, karena ditiap daerah berbeda-beda penyebutannya seperti:

a. Mempaduoi (Minang kabau) b. Toyo (Minahasa)

c. Tesang (Sulawesi)

d. Maro (1:1), Mertelu (1:2), ( Jawa Tengah). e. Nengah (1:1), Jejuron (1:2), (Priangan)

Menurut Sudiyat (1981) dalam iko (2008:12) selain tersebut di atas masih ada istilah lain dibeberapa daerah antara lain:

a. Untuk daerah Sumatera

i. Aceh memakai istilah “mawaih” atau “Madua laba”(1:1)”bagi peuet” atau “muwne peuet”, “bagi thee”, bagi limong “dimana berturut-turut pemilik memperoleh bagian 1/4,2/3,1/5.

ii. Tanah gayo memakai istilah “mawah”(1:1), tanah alas memiliki istilah “Blah duo” atau “Bulung Duo”(1:1).

iii. Untuk Di Sumatera Utara, seperti Tapanuli Selatan memakai istilah “marbolam”,”mayaduai”.

iv. Sumatera Selatan untuk jambi memakai istilah “bagi dua”, “bagi tiga“, Palembang memakai istilah “ separoan “.

b. Untuk daerah Kalimantan

(40)

c. Daerah Bali

Istilah umum yang dipakai adalah “nyakap”, tetapi variasi lain dengan menggunakan sebutan “nondo” atau “nanding “ yang berarti “maro”, “nilon “, berarti mertelu (1:2),”muncuin”atau “ngepat-empat” berarti mrapat” (1:3) dan seterusnya, dimana merupakan bagian terkecil untuk penggarap .

d. Daerah Jawa

Memakai istilah “nengah” untuk “maro”,”mertelu” .

e. Madura

Memakai istilah “paron” atau “paroa” untuk separo dari produksi sebidang tanah sawah sebagai upah untuk penggarap. Saragih (1984) dalam Iko (2008:14) menyatakan bahwa bagi hasil adalah hubungan hukum antara seorang yang berhak atas tanah dengan pihak lain (kedua), dimana pihak kedua ini diperkenankan mengolah tanah yang bersangkutan dengan ketentuan, hasil dari pengolahan tanah dibagi dua antara orang yang berhak atas tanah dan yang mengolah tanah itu.

Fungsi perjanjian bagi hasil ini menurut Saragih adalah untuk memelihara produktifkan dari tanah yang mengerjakan sendiri, sedang bagi pemaruh fungsi dari perjanjian adalah untuk memproduktifkan tenaganya tanpa memiliki tanah.

Sedangkan menurut Muhammad (2000) dalam Iko (2008:15) perjanjian bagi hasil adalah apabila pemilik tanah memberi izin kepada orang lain untuk mengerjakan tanahnya dengan perjanjian bahwa yang mendapat izin itu harus memberikan sebagian (separo kalo memperduai atau maro serta sepertiga kalo mertelu atau jejuron) hasil tanahnya kepada pemilik tanah.

Berdasarkan pengertian tersebut, dapat ditarik kesimpulan mengenai pengertian perjanjian bagi hasil, yaitu:

(41)

b. Pemilim tanah dalam perjanjian bagi hasil memberi izin kepada orang lain sebagai penggarap untuk mengusahakan lahan dan hasilnya dibagi sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati bersama.

c. Penggarap juga berkewajiban untuk mengerjakan atau mengusahakan lahan tersebut sebaik-baiknya.

2. Ketentuan Perjanjian Bagi Hasil dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil

a. Pengertian Bagi Hasil

Perjanjian bagi hasil, ialah perjanjian dengan nama apapun juga yang diadakan antara pemilik pada satu pihak dan seseorang atau badan hukum pada lain pihak yang dalam undang-undang ini disebut "penggarap" berdasarkan perjanjian mana penggarap diperkenankan oleh pemilik tersebut untuk menyelenggarakan usaha pertanian di atas tanah pemilik, dengan pembagian hasilnya antara kedua belah pihak.

b. Latar Belakang Pengaturan Perjanjian Bagi Hasil

Latar belakang terjadinya bagi hasil di kalangan masyarakat adalah karena: i. Bagi pemilik tanah, yaitu (1) Mempunyai tanah atau lahan tetapi tidak mampu atau tidak mempunya kesempatan untuk mengerjakan tanah sendiri, (2) Keinginan mendapat hasil namun tidak mau susah payah dengan memberi kesempatan orang lain untuk mengerjakan tanah miliknya.

ii. Bagi penggarap, yaitu (1) Tidak atau belum mempunyai tanah garapan dan atau belum mempunyai pekerjaan, (2) Kelebihan waktu bekerja karena memiliki tanah terbatas luasnya tanah sendiri tidak cukup dan , (3) Keinginan mendapatkan tambahan hasil garapan.

c. Hak dan Kewajiban Para Pihak

(42)

dibagi hasilkan untuk diusahakan oleh penggarapnya serta membayar pajak atas tanah tersebut.

ii. Hak penggarap adalah selama perjanjian berlangsung penggarap mengusahakan tanah yang bersangkutan dan menerima bagian dari hasil tanah sesuai dengan imbangan yang ditetapkan. Sedangkan kewajiban penggarap adalah menyerahkan bagian yang menjadi hak milik pemilik tanah kepadanya dan mengembalikan tanah pemilik apabila jangka waktu perjanjian bagi hasil berakhir.

d. Cara Pembagian Bagi Hasil

i. Sistem Maro (perjanjian bagi hasil dengan perbandingan 1:1)

Ada beberapa macam sistem bagi hasil untuk penggarapan tanah: (Roll, 1983:103)

a. Para pemilik tanah menerima sejumlah uang sebelum tanah garapan diserahkan kepada para penggarap, dalam sistem ini biasanya disebut pemaro. Selain mendapat uang muka dari penggarap tanah yang merasakannya terlalu berat karena penghasilannya memang sedikit sekali, untuk setiap bidang tanah yang disewakan, pemilik tanah menerima 50% dari hasil panen dari tiap-tiap musim pemanenen. Ini berarti dalam jangka waktu setahun untuk tanah sawah menerima tiap kali 50% dari 2 kali hasil panen padi dan 50 % dari hasil panen palawija. Bagi si penggarap tanah, yang biasanya harus menyediakan alat-alat produksi lainnya, memperoleh sisa bagian 50% dari tiap hasil panen. Karena itu cara ini merupakan perpaduan dari sistem sewa tanah yang sebagiannya dibayar dengan setengah dari hasil panen dan sebagiannya lagi dengan uang.

(43)

c. Pada permulaan sekali pemilik tanah meminta sebagian tertentu dari hasil kotor panen, biasanya 1/8 bagian dari para penggarap tanah supaya mereka memperoleh hak sepenuhnya atas tanah garapan. Sisa dari bagian yang sudah dikurangi 1/8 bagian dibagi antara ke-2 belah pihak. Si penggarapa tanah biasanya menanggung semua biaya dan pekerjaan yang berhubungan dengan pembagian hasil panen ini.

ii. Sistem Mertelu (perjanjian bagi hasil dengan perbandingan 1:2) Atas penyerahan tanah garapan mereka para pemilik tanah menerima 2/3 bagian dari hasil panen. Kadang-kadang mereka menyediakan bibit. Si penggarap tanah yang kebanyakan menanggung alat-alat produksi serta biaya-biaya lainnya memperoleh sisanya, yaitu 1/3 bagian dari hasil panen.

iii. Sistem Mrapat (Perjanjian bagi hasil dengan perbandingan 1:3)

Tipe perjanjian bagi hasil ini mengikuti cara pembagian hasil panen antara pemilik tanah dengan penggarap tanah dengan perbandingan 3:1. Tunjangan para pemilik tanah bisa berupa berbagai macam alat produksi. Seringkali tunjangan mereka terbatas hanya pada tanah garapan dan bibit. Sebagian dari pemilik tanah juga menyediakan hewan penarik bajak dan menanggung biaya pekerjaan menanam dan panen. Dalam hal ini fungsi penggarap tanah terbatas pada pengaturan dan pelaksanaan penanaman dan panen serta pengawasan pada waktu tanaman sedang tumbuh. Oleh karena itu dalam keadaan demikian si penggarap tanah hanya merupakan buruh dengan kontrak kerja dengan pembagian hasil panen yang sedikit sekali.

(44)

 Di daerah Minangkabau (Sumatera Barat) perjanjian bagi hasil dikenal dengan istilah “memperduai “ atau “babuek sawah urang “ dalam kenyataanya dilakukan secara lisan dihadapan kepala adat. Imbangan hasil tergantung pada kesuburan tanah, penyediaan bibit, jenis tanaman dan sebagainya. Apabila bibit disediakan oleh pemilik tanah maka hasilnya dibagi dua antara pemilik tanah dan penggarap tanpa memperhitungkan nilai, benih serta pupuk, lain halnya apabila tanah kering atau sawah ditanami palawija, dimana pemilik tanah menyediakan bibit dan pupuk, maka hasilnya di bagi dua, akan tetapi dengan memperhitungkan harga bibit dan pupuk. Perjanjian ini disebut dengan “ sadua bijo”.

 Di daerah jawa Tengah, perjanjian bagi hasil tergantung pada kualitas tanah, macam tanaman, yang akan dikerjakan, serta penawaran buruh tani. Jika kualitas tanah baik, maka pemilik tanah akan memperoleh bagian hasil yang lebih besar dari pada penggarap ketentuan bagi hasilnya sebagai berikut :

- Pemilik tanah dan penggarap mendapat bagian yang sama besar ”maro”.

- Pemilik tanah mendapat 2/3 bagian dari hasil panen, sedang penggarap memperoleh 1/3 bagian, yang disebut dengan “ mertelu”.

- Pemilik tanah memperoleh 2/5 bagian, dari hasil panen, sedangkan penggarap memperoleh 1/3 bagian, dengan ketentuan bahwa yang menyediakan bibit pupuk dan obat-obatan serta mengolah tanahnya menjadi kewajiban penggarap. Perjanjian bagi hasil ini dikenal dengan sebutan “merlima”(hasil penelitian didaerah tegal tahun 1988).

 Di Bali Selatan khususnya perjanjian bagi hasil ini disebut dengan istilah “ sakap menyakap”. Ketentuan–ketentuannya adalah sebagai berikut :

(45)

- Pemilik tanah mendapat 3/5 bagian dan penggarap mendapat 2/5 bagian disebut dengan”nelon”.

- Pemilik tanah mendapat 2/3 bagian dan penggarap mendapat 1/3 bagian disebut dengan “ngapit”.

- Pemilik tanah mendapat 3/4 bagian dan penggarap mendapat 1/4 bagian disebut “mrapat”.

 Di Kabupaten Karo, Sumatera Utara, sistem bagi hasil dikenal dengan istilah “perbelahken atau melahi, yaitu perjanjian yang tidak tertulis dan dibuat hanya berdasarkan atas kepercayaan antara pemilik dengan penggarap. Di Tapanuli Selatan dikenal dengan sebutan “marbolah”, apabila bibit, pupuk dikeluarkan oleh penggarap, maka hasil dibagi 2 antara petani penggarap dengan pemilik tanah. Imbangan bagi hasil antara pemilik lahan dengan petani penggarap adalah dalam bentuk gabah.

Ketika panen, sebelum melakukan bagi hasil, biaya-biaya yang dibayarkan seperti benih, pupuk, obat-obatan, panen dikeluarkan terlebih dahulu. Setelah biaya yang dibayarkan dikeluarkan, pembagian hasil merupakan dari produksi yang didapatkan ketika panen. Perjanjian bagi hasil antara pemilik dengan penggarap adalah paroan atau bagi dua, maka jika produksi 100 kg, maka pembagian untuk pemilik adalah sebesar 50 kg dan penggarap 50 kg.

e. Jangka Waktu Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian

Jangka waktu atau lamanya perjanjian diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 yang menetapkan bahwa:

i. Perjanjian bagi hasil diadakan untuk jangka waktu yang dinyatakan didalam surat perjanjian bagi hasil. Dengan ketentuan bahwa untuk tanah sawah sekurang-kurangnya tiga tahun dan untuk tanah kering sekurang-kurangnya 5 tahun.

(46)

bagi hasil dengan jangka waktu kurang dari ketetapan umum, yaitu untuk tanah yang biasanya dikerjakan sendiri oleh pemiliknya. iii. Jika pada waktu berakhirnya perjanjian bagi hasil, diatas tanah

yang bersangkutan masih terdapat tanaman yang belum dapat dipanen, maka perjanjian tersebut berlaku terus sampai tanaman itu dapat dipanen. Tetapi perpanjangan itu tidak boleh lebih dari satu tahun. Perpanjangan ini cukup diberitahukan kepada kepala desa setempat, tidak perlu hasrus mengadakan perjanjian baru.

Yang dimaksud “tahun” disini adalah tahun tanaman, bukan tahun kalender. Dengan adanya ketentuan mengenai jangka waktu ini maka penggarap akan memperoleh tanah garapan dalam waktu yang layak, sehingga penggarap upayanya guna mendapatkan hsil yang semaksimal mungkin.

H.Penelitian Terdahulu

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dewi Mutia Handayani (2006) tentang Analisis Profitabilitas dan Pendapatan Usahatani Padi Sawah Menurut Luas dan Status Kepemilikan Lahan Di Desa Karacak Kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor Jawa Barat, tujuan dari penelitian ini (1) Menganalisis biaya-biaya usahatani padi sawah berdasarkan status kepemilikan lahan dan luas garapan usahatani, (2) Menganalisis pendapatan usahatani padi sawah pada usahatani milik dan usahatani bukan milik serta pada usahatani milik luas dengan usahatani milik lahan sempit, (3) Menganalisis profitabilitas usahatani padi sawah menurut status kepemilikan lahan dan luas garapan usahatani. Metode analisis data yang digunakan adalah analisis biaya, pendapatan dan profitabilitas (R/C rasio). Pada penelitian ini dibandingkan keadaan usahatani padi sawah menurut status kepemilikan lahan dan luas lahan garapan usahatani dengan data usahatani pada Musim Tanam II 2004/2005.

(47)
(48)

A.Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini telah dilaksanakan di Desa Muara Siambak Kecamatan Kotanopan Kabupaten Mandailing Natal. Pemilihan lokasi ini dilakukan secara sengaja (purposive) atas dasar bahwa 93% atau sebanyak 203 petani di desa ini merupakan petani penggarap dari total petani berjumlah 218 petani pada usahatani padi sawah dengan lahan yang digarap relatif kecil <0,5 ha dengan sistem bagi hasil sehingga diharapkan mudah untuk mengetahui dan memahami pelaksanaan bagi hasil pertanian (lampiran 5). Penelitian ini dilaksanakan selama satu bulan mulai dari 26 Februari sampai 26 Maret 2016.

B.Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey. Menurut Nazir (2005:56), metode survey adalah penyelidikan yang diadakan untuk memperoleh fakta-fakta dari gejala-gejala yang ada dan mencari keterangan-keterangan secara faktual, baik tentang institusi sosial, ekonomi, atau politik dari suatu kelompok ataupun suatu daerah. Metode survey membedah, menguliti dan mengenal masalah-masalah serta mendapatkan pembenaran terhadap keadaan dan praktik-praktik yang sedang berlangsung.

Dalam metode survey juga dikerjakan evaluasi serta perbandingan-perbandingan terhadap hal-hal yang telah dikerjakan orang dalam menangani situasi atau masalah yang serupa dan hasilnya dapat digunakan dalam perbuatan rencana dan pengambilan keputusan di masa mendatang. Penelitian survey merupakan suatu penelitian kuantitatif dengan menggunakan pertanyaan terstruktur sistematis yang sama kepada banyak orang, yang diperoleh peneliti dicatat, diolah dan dianalisis (Prasetyo:2005:143).

(49)

membuat kesimpulan yang didasarkan atas fakta-fakta empiris tentang sampel penelitiannya.

C.Metode Pengambilan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah petani penggarap yang mengusahakan tanaman padi sawah di Desa Muara Siambak Kecamatan Kotanopan Kabupaten Mandailing Natal yang berjumlah 203 orang. Dari populasi penelitian ini, untuk responden dipilih dengan cara simple random sampling. Menurut Sugiyono (2011:82), simple random sampling adalah teknik pengambilan sampel dari populasi yang dilakukan secara acak tanpa memperhatikan strata yang ada dalam populasi tersebut. Karena dalam penelitian ini, responden bersifat homogen, yaitu petani penggarap yang mengusahakan padi sawah dengan luas lahan yang relatif sama, yaitu <0,5 ha, maka peneliti mengambil sampel sebanyak 30 orang petani penggarap. Menurut Soekartawi (2003:198), sampel yang berjumlah paling sedikit 30 sampel dibutuhkan untuk menghindari bias pada perhitungan data dan agar variasi tersebut dapat ditangkap pengaruhnya.

Pihak-pihak terkait sebagai infrman kunci dipilih secara sengaja (purposive). Informan kunci yang digunakan dalam penelitian ini adalah Camat Kecamatan Kotanopan, Kepala Desa Muara Siambak, dan Tokoh Adat (hatobangon).

Tabel 1. Informan Kunci

No. Informan Kunci Jumlah Sampel (Orang)

1. Camat Kecamatan Kotanopan 1

2. Kepala Desa Muara Siambak 1

3. Tokoh Adat (hatobangon) 1

Total 3

D.Metode Pengumpulan Data 1. Data primer

(50)

Jenis data primer yang dikumpulkan dari petani sampel terdiri dari: sistem kerjasama dan bagi hasil antara petani penggarap dengan pemilik lahan ( latar belakang perjanjian bagi hasil, bentuk perjanjian (tertulis atau tidak tertulis), isi perjanjian yang mencakup hak dan kewajiban pihak-pihak (pengadaan bibit, saprodi), resiko, imbangan atau pembagian dari hasil panen, (penjualan hasil panen, bentuk imbangan atau bagi hasil dalam bentuk padi, beras atau uang), dan lamanya waktu atau berakhirnya perjanjian bagi hasil), teknik budidaya (pembibitan, penanaman, pemeliharaan, panen, dan sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam budidaya, biaya selama produksi sampai panen, yaitu pada musim tanam terakhir, yaitu bulan Juni-Oktober 2015 (biaya bibit, biaya pupuk, biaya pestisida, biaya transportasi, biaya panen).

2. Data sekunder

Data sekunder diperoleh dari pihak lain, tidak langsung diperoleh dari subyek penelitian: instansi yang berhubungan dengan penelitian antara lain Dinas Pertanian Peternakan Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Mandailing Natal, literatur serta sumber lain yang terkait dengan judul penelitian. Data sekunder yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi keadaan umum daerah penelitian (letak geografis, luas wilayah, topografi), dan kondisi ekonomi sosial masyarakat daerah penelitian (jumlah penduduk, mata pencaharian penduduk).

E.Variabel dan Data yang Diamati

Variabel yang diamati untuk mencapai tujuan penelitian ini adalah:

1. Variabel tujuan pertama, yaitu mendeskripsikan sistem bagi hasil pada usahatani padi sawah di Desa Muara Siambak Kecamatan Kotanopan Kabupaten Mandailing Natal, meliputi:

a. Identitas petani responden

Identitas petani yaitu, nama, umur, jenis kelamin, alamat, pendidikan terakhir, pekerjaan pokok dan pekerjaan sampingan, jumlah tanggungan keluarga, pengalaman berusahatani.

b. Model sistem kerja sama dan bagi hasil

Gambar

Tabel
Tabel 1. Informan Kunci
Tabel 2. Luas Lahan Berdasarkan Penggunaannya di Desa Muara Siambak Kecamatan Kotanopan Kabupaten Mandailing Natal 2015
Tabel 4. Identitas Petani Penggarap di Desa Muara Siambak Kecamatan Kotanopan Kabupaten Mandailing Natal Musim Tanam Juni – Oktober 2015
+7

Referensi

Dokumen terkait

Reliabilitas merupakann sesuatu yang dibutuhkan tetapi bukan persyaratan mutlak untuk validitas suatu instrument (Rasyid dan Mansur,2007).. Masalah dalam penelitian ini

Tingkat tutur bahasa Jepang mengenal konsep uchi dalam dan soto luar, artinya orang Jepang akan memperhatikan dengan siapa berbicara, dan siapa yang dibicarakan sedang

Dengan demikian, semakin tinggi nilai CAR semakin besar kemampuan modal yang dimiliki oleh bank untuk menanggung risiko dari setiap kredit yang berisiko dan mampu membiayai

Sintesis surfaktan stearil alkohol etoksilat dari bahan baku stearil alkohol derivat minyak kelapa sawit telah dilakukan dan produk yang dihasilkan memiliki

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kesadaran membayar pajak, persepsi yang baik atas sistem perpajakan, pengertian dan pemahaman tentang peraturan

Maka dari itu dibutuhkan sebuah media informasi yang mampu menaikkan kesadaran masyarakat untuk turut menjaga kelestarian alam , Perancangan ini bertujuan untuk

Uji aktivitas antibakteri dari ekstrak etanol, fraksi metanol, fraksi n-heksan, dan fraksi kloroform Bintang Laut Linckia laevigata terhadap bakteri Escherichia

Penelitian ini dilatar belakangi hasilpengamatan peneliti, bahwa pembelajaran Bahasa Indonesia di MI masih didominasi guru yang belum menggunakan atau memanfaatkan model