• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sistem Bagi Hasil Pertanian

Dalam dokumen ANALISIS PENDAPATAN PETANI PENGGARAP PAD (Halaman 39-46)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

G. Sistem Bagi Hasil Pertanian

Sebelum menjelaskan pengertian perjanjian Bagi Hasil, perlu kiranya diketahui pemakaian istilah dari perjanjian bagi hasil, karena ditiap daerah berbeda-beda penyebutannya seperti:

a. Mempaduoi (Minang kabau) b. Toyo (Minahasa)

c. Tesang (Sulawesi)

d. Maro (1:1), Mertelu (1:2), ( Jawa Tengah). e. Nengah (1:1), Jejuron (1:2), (Priangan)

Menurut Sudiyat (1981) dalam iko (2008:12) selain tersebut di atas masih ada istilah lain dibeberapa daerah antara lain:

a. Untuk daerah Sumatera

i. Aceh memakai istilah “mawaih” atau “Madua laba”(1:1)”bagi peuet” atau “muwne peuet”, “bagi thee”, bagi limong “dimana berturut-turut pemilik memperoleh bagian 1/4,2/3,1/5.

ii. Tanah gayo memakai istilah “mawah”(1:1), tanah alas memiliki istilah “Blah duo” atau “Bulung Duo”(1:1).

iii. Untuk Di Sumatera Utara, seperti Tapanuli Selatan memakai istilah “marbolam”,”mayaduai”.

iv. Sumatera Selatan untuk jambi memakai istilah “bagi dua”, “bagi tiga“, Palembang memakai istilah “ separoan “.

b. Untuk daerah Kalimantan

i. Banjar memakai istilah “ bahakarun”. ii. Lawang memakai istilah “ sabahandi”. iii. Nganjuk memakai istilah “bahandi”.

c. Daerah Bali

Istilah umum yang dipakai adalah “nyakap”, tetapi variasi lain dengan menggunakan sebutan “nondo” atau “nanding “ yang berarti “maro”, “nilon “, berarti mertelu (1:2),”muncuin”atau “ngepat-empat” berarti mrapat” (1:3) dan seterusnya, dimana merupakan bagian terkecil untuk penggarap .

d. Daerah Jawa

Memakai istilah “nengah” untuk “maro”,”mertelu” . e. Madura

Memakai istilah “paron” atau “paroa” untuk separo dari produksi sebidang tanah sawah sebagai upah untuk penggarap. Saragih (1984) dalam Iko (2008:14) menyatakan bahwa bagi hasil adalah hubungan hukum antara seorang yang berhak atas tanah dengan pihak lain (kedua), dimana pihak kedua ini diperkenankan mengolah tanah yang bersangkutan dengan ketentuan, hasil dari pengolahan tanah dibagi dua antara orang yang berhak atas tanah dan yang mengolah tanah itu.

Fungsi perjanjian bagi hasil ini menurut Saragih adalah untuk memelihara produktifkan dari tanah yang mengerjakan sendiri, sedang bagi pemaruh fungsi dari perjanjian adalah untuk memproduktifkan tenaganya tanpa memiliki tanah.

Sedangkan menurut Muhammad (2000) dalam Iko (2008:15) perjanjian bagi hasil adalah apabila pemilik tanah memberi izin kepada orang lain untuk mengerjakan tanahnya dengan perjanjian bahwa yang mendapat izin itu harus memberikan sebagian (separo kalo memperduai atau maro serta sepertiga kalo mertelu atau jejuron) hasil tanahnya kepada pemilik tanah.

Berdasarkan pengertian tersebut, dapat ditarik kesimpulan mengenai pengertian perjanjian bagi hasil, yaitu:

a. Terdapat hubungan hukum antara pemilik lahan dengan pihak penggarap tanah, sehingga timbul hak dan kewajiban para pihak.

b. Pemilim tanah dalam perjanjian bagi hasil memberi izin kepada orang lain sebagai penggarap untuk mengusahakan lahan dan hasilnya dibagi sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati bersama.

c. Penggarap juga berkewajiban untuk mengerjakan atau mengusahakan lahan tersebut sebaik-baiknya.

2. Ketentuan Perjanjian Bagi Hasil dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil

a. Pengertian Bagi Hasil

Perjanjian bagi hasil, ialah perjanjian dengan nama apapun juga yang diadakan antara pemilik pada satu pihak dan seseorang atau badan hukum pada lain pihak yang dalam undang-undang ini disebut "penggarap" berdasarkan perjanjian mana penggarap diperkenankan oleh pemilik tersebut untuk menyelenggarakan usaha pertanian di atas tanah pemilik, dengan pembagian hasilnya antara kedua belah pihak.

b. Latar Belakang Pengaturan Perjanjian Bagi Hasil

Latar belakang terjadinya bagi hasil di kalangan masyarakat adalah karena: i. Bagi pemilik tanah, yaitu (1) Mempunyai tanah atau lahan tetapi tidak mampu atau tidak mempunya kesempatan untuk mengerjakan tanah sendiri, (2) Keinginan mendapat hasil namun tidak mau susah payah dengan memberi kesempatan orang lain untuk mengerjakan tanah miliknya.

ii. Bagi penggarap, yaitu (1) Tidak atau belum mempunyai tanah garapan dan atau belum mempunyai pekerjaan, (2) Kelebihan waktu bekerja karena memiliki tanah terbatas luasnya tanah sendiri tidak cukup dan , (3) Keinginan mendapatkan tambahan hasil garapan.

c. Hak dan Kewajiban Para Pihak

i. Pemilik tanah berhak (1) bagi hasil tanah ditetapkan menurut besarnya imbangan yang telah ditetapkan bagi tiap-tiap daerah oleh Bupati Kepala Daerah yang bersangkutan. (2) Menerima kembali tanahnya dari penggarap bila jangka waktu perjanjian bagi hasil tersebut telah berakhir. Kewajiban pemilik tanah adalah menyerahkan tanah yang

dibagi hasilkan untuk diusahakan oleh penggarapnya serta membayar pajak atas tanah tersebut.

ii. Hak penggarap adalah selama perjanjian berlangsung penggarap mengusahakan tanah yang bersangkutan dan menerima bagian dari hasil tanah sesuai dengan imbangan yang ditetapkan. Sedangkan kewajiban penggarap adalah menyerahkan bagian yang menjadi hak milik pemilik tanah kepadanya dan mengembalikan tanah pemilik apabila jangka waktu perjanjian bagi hasil berakhir.

d. Cara Pembagian Bagi Hasil

i. Sistem Maro (perjanjian bagi hasil dengan perbandingan 1:1)

Ada beberapa macam sistem bagi hasil untuk penggarapan tanah: (Roll, 1983:103)

a. Para pemilik tanah menerima sejumlah uang sebelum tanah garapan diserahkan kepada para penggarap, dalam sistem ini biasanya disebut pemaro. Selain mendapat uang muka dari penggarap tanah yang merasakannya terlalu berat karena penghasilannya memang sedikit sekali, untuk setiap bidang tanah yang disewakan, pemilik tanah menerima 50% dari hasil panen dari tiap-tiap musim pemanenen. Ini berarti dalam jangka waktu setahun untuk tanah sawah menerima tiap kali 50% dari 2 kali hasil panen padi dan 50 % dari hasil panen palawija. Bagi si penggarap tanah, yang biasanya harus menyediakan alat-alat produksi lainnya, memperoleh sisa bagian 50% dari tiap hasil panen. Karena itu cara ini merupakan perpaduan dari sistem sewa tanah yang sebagiannya dibayar dengan setengah dari hasil panen dan sebagiannya lagi dengan uang.

b. Sebelum tanah mereka digarap, maka para pemilik tanah meminta dari penggarap tanah bukan sewa dalam bentuk uang, melainkan sewa dalam bentuk hasil tanah. Cara pembagian hasil dan pengadaan alat-alat produksi yang diperlukan sama dengan tipe 1a.

c. Pada permulaan sekali pemilik tanah meminta sebagian tertentu dari hasil kotor panen, biasanya 1/8 bagian dari para penggarap tanah supaya mereka memperoleh hak sepenuhnya atas tanah garapan. Sisa dari bagian yang sudah dikurangi 1/8 bagian dibagi antara ke-2 belah pihak. Si penggarapa tanah biasanya menanggung semua biaya dan pekerjaan yang berhubungan dengan pembagian hasil panen ini.

ii. Sistem Mertelu (perjanjian bagi hasil dengan perbandingan 1:2) Atas penyerahan tanah garapan mereka para pemilik tanah menerima 2/3 bagian dari hasil panen. Kadang-kadang mereka menyediakan bibit. Si penggarap tanah yang kebanyakan menanggung alat-alat produksi serta biaya-biaya lainnya memperoleh sisanya, yaitu 1/3 bagian dari hasil panen.

iii. Sistem Mrapat (Perjanjian bagi hasil dengan perbandingan 1:3)

Tipe perjanjian bagi hasil ini mengikuti cara pembagian hasil panen antara pemilik tanah dengan penggarap tanah dengan perbandingan 3:1. Tunjangan para pemilik tanah bisa berupa berbagai macam alat produksi. Seringkali tunjangan mereka terbatas hanya pada tanah garapan dan bibit. Sebagian dari pemilik tanah juga menyediakan hewan penarik bajak dan menanggung biaya pekerjaan menanam dan panen. Dalam hal ini fungsi penggarap tanah terbatas pada pengaturan dan pelaksanaan penanaman dan panen serta pengawasan pada waktu tanaman sedang tumbuh. Oleh karena itu dalam keadaan demikian si penggarap tanah hanya merupakan buruh dengan kontrak kerja dengan pembagian hasil panen yang sedikit sekali.

Menurut Sudharyatmi, dkk (2000) dalam Iko (2008:16) besarnya imbangan bagi hasil yang menjadi hak pemilik atau penguasa tanah dan hak penggarap tidak ada ketentuan yang pasti dalam hukum adat. Hal ini tergantung pada persetujuan kedua belah pihak berdasarkan hukum adat yang berlaku didaerah itu, misalnya :

 Di daerah Minangkabau (Sumatera Barat) perjanjian bagi hasil dikenal dengan istilah “memperduai “ atau “babuek sawah urang “ dalam kenyataanya dilakukan secara lisan dihadapan kepala adat. Imbangan hasil tergantung pada kesuburan tanah, penyediaan bibit, jenis tanaman dan sebagainya. Apabila bibit disediakan oleh pemilik tanah maka hasilnya dibagi dua antara pemilik tanah dan penggarap tanpa memperhitungkan nilai, benih serta pupuk, lain halnya apabila tanah kering atau sawah ditanami palawija, dimana pemilik tanah menyediakan bibit dan pupuk, maka hasilnya di bagi dua, akan tetapi dengan memperhitungkan harga bibit dan pupuk. Perjanjian ini disebut dengan “ sadua bijo”.

 Di daerah jawa Tengah, perjanjian bagi hasil tergantung pada kualitas tanah, macam tanaman, yang akan dikerjakan, serta penawaran buruh tani. Jika kualitas tanah baik, maka pemilik tanah akan memperoleh bagian hasil yang lebih besar dari pada penggarap ketentuan bagi hasilnya sebagai berikut :

- Pemilik tanah dan penggarap mendapat bagian yang sama besar ”maro”.

- Pemilik tanah mendapat 2/3 bagian dari hasil panen, sedang penggarap memperoleh 1/3 bagian, yang disebut dengan “ mertelu”.

- Pemilik tanah memperoleh 2/5 bagian, dari hasil panen, sedangkan penggarap memperoleh 1/3 bagian, dengan ketentuan bahwa yang menyediakan bibit pupuk dan obat-obatan serta mengolah tanahnya menjadi kewajiban penggarap. Perjanjian bagi hasil ini dikenal dengan sebutan “merlima”(hasil penelitian didaerah tegal tahun 1988).

 Di Bali Selatan khususnya perjanjian bagi hasil ini disebut dengan istilah “ sakap menyakap”. Ketentuan–ketentuannya adalah sebagai berikut :

- Pemilik tanah dan penggarap memperoleh bagian yang sama, masing-masing setengah (nandu).

- Pemilik tanah mendapat 3/5 bagian dan penggarap mendapat 2/5 bagian disebut dengan”nelon”.

- Pemilik tanah mendapat 2/3 bagian dan penggarap mendapat 1/3 bagian disebut dengan “ngapit”.

- Pemilik tanah mendapat 3/4 bagian dan penggarap mendapat 1/4 bagian disebut “mrapat”.

 Di Kabupaten Karo, Sumatera Utara, sistem bagi hasil dikenal dengan istilah “perbelahken atau melahi, yaitu perjanjian yang tidak tertulis dan dibuat hanya berdasarkan atas kepercayaan antara pemilik dengan penggarap. Di Tapanuli Selatan dikenal dengan sebutan “marbolah”, apabila bibit, pupuk dikeluarkan oleh penggarap, maka hasil dibagi 2 antara petani penggarap dengan pemilik tanah. Imbangan bagi hasil antara pemilik lahan dengan petani penggarap adalah dalam bentuk gabah.

Ketika panen, sebelum melakukan bagi hasil, biaya-biaya yang dibayarkan seperti benih, pupuk, obat-obatan, panen dikeluarkan terlebih dahulu. Setelah biaya yang dibayarkan dikeluarkan, pembagian hasil merupakan dari produksi yang didapatkan ketika panen. Perjanjian bagi hasil antara pemilik dengan penggarap adalah paroan atau bagi dua, maka jika produksi 100 kg, maka pembagian untuk pemilik adalah sebesar 50 kg dan penggarap 50 kg.

e. Jangka Waktu Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian

Jangka waktu atau lamanya perjanjian diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 yang menetapkan bahwa:

i. Perjanjian bagi hasil diadakan untuk jangka waktu yang dinyatakan didalam surat perjanjian bagi hasil. Dengan ketentuan bahwa untuk tanah sawah sekurang-kurangnya tiga tahun dan untuk tanah kering sekurang-kurangnya 5 tahun.

ii. Dalam hal-hal khusus yang ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri Muda Agraria, Camat dapat mengizinkan diadakannya perjanjian

bagi hasil dengan jangka waktu kurang dari ketetapan umum, yaitu untuk tanah yang biasanya dikerjakan sendiri oleh pemiliknya. iii. Jika pada waktu berakhirnya perjanjian bagi hasil, diatas tanah

yang bersangkutan masih terdapat tanaman yang belum dapat dipanen, maka perjanjian tersebut berlaku terus sampai tanaman itu dapat dipanen. Tetapi perpanjangan itu tidak boleh lebih dari satu tahun. Perpanjangan ini cukup diberitahukan kepada kepala desa setempat, tidak perlu hasrus mengadakan perjanjian baru.

Yang dimaksud “tahun” disini adalah tahun tanaman, bukan tahun kalender. Dengan adanya ketentuan mengenai jangka waktu ini maka penggarap akan memperoleh tanah garapan dalam waktu yang layak, sehingga penggarap upayanya guna mendapatkan hsil yang semaksimal mungkin.

Dalam dokumen ANALISIS PENDAPATAN PETANI PENGGARAP PAD (Halaman 39-46)

Dokumen terkait