• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Hukum Islam Dalam Membangun Sistem (3)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Peran Hukum Islam Dalam Membangun Sistem (3)"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN HUKUM ISLAM DALAM PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL DI INDONESIA

A. PENDAHULUAN

Paradigma Sistem Hukum Indonesia pada hakekatnya

merupakan suatu system, yang terdiri dari unsur - unsur atau

bagian - bagian yang satu sama lain saling berkaitan dan

berhubungan untuk mencapai tujuan yang didasarkan pada UUD

l945 dan dijiwai oleh falsafah Pancasila.1

Menurut Abdul Gani Abdulllah, Pancasila dalam kerangka

teori ilmu hukum menempati posisi ganda, yaitu :

- Pertama, Pancasila merupakan perwujudan dari cita hukum

dan kesadaran hukum bangsa Indonesia yang tumbuh dan

lahir dari runtutan pandangan hidup serta cita moral mereka.

Jika runtutan itu ditarik kebelakang, akan terlihat hamparan

religiusitas sosial yang meracik pandangan hidup dan cita

moral tersebut. Dengan demikian, cita hukum dan kesadaran

hukum bangsa Indonesia tidak dapat terlepas dari potensi

nilai religiusitasnya.

- Kedua, Pancasila merupakan sumber dari segala sumber

hukum. Kedudukan seperti itu bagaimanapun menyebabkan

setiap norma di dalam hukum Indonesia mengandung

dimensi transedental dan horizontal. Selain itu norma atau

1

(2)

hukum yang akan dibentuk yang dinyatakan berlaku harus

mendukung pandangan hidup yang menghendaki

pertanggung-jawaban vertikal kepada Tuhan atas segala

aktifitas norma hukumnya.2

Dalam kehidupan politik hukum Indonesia, obsesi Islam

dianggap terumuskan dalam Piagam Jakarta dan dimaknakan

sebagai bakal pembuahannya secara bertahap, dan adanya dua

sudut pandang akan berhadapan tatkala pembentukan hukum

berproses : Pertama, tafsiran luas dari Pasal 29 ayat (2) UUD 1945

serta salah satu makna obsesi politik Islam di atas menempatkan

hukum Islam sebagai bagian dari ajaran Islam. Kedua, tafsiran

organik Pasal 24 dan 25 UUD 1945 menempatkan hukum Islam

sebagai sesuatu yang harus dipertahankan di luar atau di depan

pengadilan yang terlingkup dalam pelaksanaan kekuasaan

kehakiman.3

Hukum agama islam masuk ke dalam sistem hukum

Indonesia bersamaan dengan datangnya agama Islam. Oleh karena

itu, sebagai mayoritas beragama Islam, maka hukum Islam

merupakan salah satu sistem yang berlaku di Indonesia, walaupun

memang diakui masih ada agama lain selain agama Islam yang

dianut sebagian kecil masyarakat Indonesia. Namun, perlu juga

2

Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, cet I (Jakarta : Gema Insani Press, l994), h. 11.

(3)

dicatat, Bahwa hukum Islam ini mempunyai pengertian yang

dinamis sebagai hukum yang mampu memberi jawaban terhadap

perubahan sosial dan pembangunan hukum serta dapat

ditransformasikan dengan perjalanan waktu dan tempat.

Hukum Islam dengan karakteristiknya mampu sejalan dengan

pembangunan hukum di Indonesia dan perubahan sosial. T. M.

Hasbi as-Shiddiqy mengemukakan bahwa hukum Islam mempunyai

3 (tiga) karakter yang merupakan ketentuan yang tidak pernah

berubah, yakni :

1. Takamul yaitu sempurna dan tuntas. Maksudnya bahwa

hukum Islam membentuk umat Islam dalam suatu kesatuan

yang bulat, walaupun mereka berbeda-beda suku bangsa dan

berlainan suku tetapi mereka bersatu padu.

2. Wasathiyyah (harmoni, moderat), yakni hukum Islam

menempuh jalan tengah, jalan yang imbang yang tidak

terlalu berat ke kanan mementingkan kejiwaan dan tidak pula

ke kira mementingkan kebendaan. Hukum Islam selalu

menyelaraskan antara fakta dengan cinta-cita hukum.

3. Harakah (dinamis), yakni hukum Islam mempunyai

kemampuan bergerak dan berkembang, mempunyai daya

hidup, dapat membentuk diri sesuai dengan perkembangan

dan kemajuan.4

4

(4)

Ketiga karakteristik itu menjadikan hukum Islam mampu

beradaptasi dengan hukum dunia mana pun, termasuk dalam

tatanan hukum nasional Indonesia. Keluwesan hukum Islam akan

mampu menjawab permasalahan yang sedang terjadi sekaligus

mengisi kekosongan hukum yang tidak diatur dalam

perundang-undangan di Indonesia.

Adapun pokok pembahasan dalam makalah ini berdasarkan

deskripsi di atas adalah :

a. Bagaimana penerapan hukum islam di indonesia?

b. Bagaimana peran hukum Islam dalam pembangunan hukum

nasional Indonesia?

c. Sejauh mana orientasi hukum islam dalam tatanan hukum di

Indonesia?

d. Bagaimana strategi legislasi hukum Islam dalam

(5)

B. PEMBAHASAN

1. Teori Penerapan hukum Islam

Secara konseptual, sungguhnya telah banyak teori pemikiran

mengenai penerapan hukum Islam (syari’at) di Indonesia, antara

lain:

a. Teori pemikiran formalistik-legalistik. Berpendapat Bahwa

penerapan syari’at Islam harus melalui institusi negara. Hal

ini disampaikan oleh Habib Riziq Shihab, ketua Front Pembela

Islam. Berkaitan dengan pertanyaan: apakah syari’at Islam

harus diformulasikan dalam sebuah konstitusi, Rizik

menjawab: ”Ya.” Negara itu nantinya dapat menjaga

berjalannya syari’at. karena itu formalisasi syari’at melalui

konstitusi atau undang-undang harus diusahakan untuk

menjaga subtansi syari’at agar agama bisa dijalankan secara

baik. Oleh karena itu beliau tidak setuju memisahkan antara

subtansi dan formal.5

Kelompok Hizbut Tahrir yang dianggap getol

meneriakkan perlunya Islamisasi melalui ideologi negara

sebagai salah satu prasyarat tegaknya syari’at Islam di

wilayah hukum Indonesia. Dalam pandangan Hizbut Tahrir,

memperjuangkan tegaknya syari’at Islam bagi seorang

muslim adalah sebuah keharusan. Haruslah menjadi

5

(6)

keyakinan bahwa tidak akan ada kemuliaan kecuali dengan

Islam; tidak ada Islam kecuali dengan syari’at; dan tidak ada

syari’at kecuali dengan daulah (negara). Pemikiran ini

disampaikan dengan mengemukakan suatu argumentasi

berdasarkan fakta sejarah dan keyakinan bahwa aturan Allah

pastilah yang terbaik. Hanya syari’at sajalah yang mampu

menjawab segala persoalan yang tengah membelit umat

Islam Indonesia baik di lapangan ekonomi, politik, sosial,

budaya, maupun pendidikan.

b. Teori Pemikiran Strukturalistik. Pendekatan ini menekankan

transformasi dalam tatanan sosial dan politik agar bercorak Islami, sedangkan pendekatan kultural menekankan

transformasi dalam prilaku sosial agar bercorak Islami. Namun hubungan timbal balik keduanya sangatlah sinergis.

Karena transformasi melalui pendekatan struktural

dimaksudkan dapat mempengaruhi transformasi prilaku

sosial sehingga lebih Islami. Sebaliknya transformasi prilaku

sosial diharapkan dapat mempengaruhi transformasi

institusi-institusi sosial dan politik menjadi lebih Islami.

Pendekatan struktural mensyaratkan pendekatan politik, lobi

atau melalui sosialisasi ide-ide Islam, kemudian menjadi

masukan bagi kebijakan umum. Salah seorang pendukung

(7)

sebagaimana dikutip oleh Rahmat Rosyadi dan Rais Ahmad,

bahwa transformasi nilai-nilai Islam melalui kegiatan dakwah

harus mencakup segala dimensi kehidupan manusia. Dengan

kata lain, kegiatan-kegiatan politik, ekonomi, sosial, budaya,

ilmiah, dan lainnya harus menjadi sarana untuk

merealisasikan nilai-nilai Islam. Konsekuensi dari pandangan

ini, Amin mendukung perumusan dan implementasi sistem

sosial Islam termasuk melegislasi hukum Islam dalam tata

hukum negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD

1945.6

c. Teori Pemikiran Kulturalistik. Pendekatan ini hanya

mensyaratkan sosialisasi dan internalisasi syari’at Islam oleh

umat Islam sendiri, tanpa dukungan langsung dari otoritas

politik dan institusi negara. Para pendukung pendekatan

kultural ini ingin menjadikan Islam sebagai sumber etika dan

moral; sebagi sumber inspirasi dan motivasi dalam

kehidupan bangsa bahkan sebagai faktor komplementer

dalam pembentukan struktur sosial. Pendukung teori ini

adalah Abdurrahman Wahid (Gusdur). Menurut beliau bahwa

tidak semua ajaran Islam di legislasi oleh negara. Banyak

hukum negara yang berlaku secara murni dalam bimbingn

moral yang terimplementasikan dalam kesadaran penuh

6

(8)

masyarakat. Kejayaan hukum agama tidak akan hilang

dengan fungsinya sebagai sebuah sistem etika sosial.

Kejayaannya bahkan akan tampak karena pengembangannya

dapat terjadi tanpa dukungan dari negara. Karena alasan ini,

Beliau lebih cenderung untuk menjadikan syariat’at Islam

sebagai sebuah perintah moral (moral injuction) daripada sebagai sebuah tatanan legalistik-formalistik.7

d. Teori Pemikiran Subtantialistik-Aplikatif. Di kalangan

akademis, pemikiran penerapan syari’at Islam lebih cendrung

kepada analisis akademis yang tidak menunjukan pro dan

kontra karena mereka tidak memihak kepada pendapat

siapapun dan pihak manapun. Pemikiran ini hanya lahir dari

sudut teoritik ajaran Islam yang bersifat dogmatis dan

aplikatif. Penerapannya diserahkan kepada umat Islam

sendiri; apakah harus berdasarkan otoritas negara atau

bersifat struktural, kultural, substansial, individu, atau

kolektif. Misalnya komentar Juhaya S. Praja, Guru Besar

Hukum Islam IAIN Sunan Gunung Jati Bandung, atas wacana

bagaimana menjadikan hukum Islam sebagai penunjang

pembangunan dalam kerangka sistem hukum Pancasila.

Menurutnya, walaupun dalam praktik tidak lagi berperan

secara penuh dan menyeluruh, hukum Islam masih memiliki

7

(9)

arti besar bagi kehidupan para pemeluknya. Setidak-tidaknya

ada tiga faktor yang menyebabkan hukum Islam masih

memiliki peran besar dalam kehidupan bangsa.

o Pertama, hukum Islam telah turut serta menciptakan

tata nilai yang mengatur kehidupan umat Islam,

minimal menetapkan apa yang harus dianggap baik

dan buruk; apa yang menjadi perintah, anjuran,

perkenaan, dan larangan agama.

o Kedua, banyak putusan hukum dan yurisprudensial dari

hukum Islam telah diserap menjadi hukum positif yang

berlaku.

o Ketiga, adanya golongan yang masih memiliki aspirasi

teokratis di kalangan umat Islam dari berbagai negeri

sehingga penerapan hukum Islam secara penuh masih

menjadi slogan perjuangan yang masih mempunyai

daya tarik cukup besar.8

Berdasarkan teori-teori di atas dapat disimpulkan

bahwa proses penerapan hukum Islam di Indonesia dapat

ditempuh melalui beragam cara, bisa melalui formalistik

legalitas, kultur, analisis akademis, dan prilaku (moral).

Semuanya cara tersebut telah ada sejak masa pra proklamasi

dan pasca reformasi.

(10)

2. Bagaimana peran hukum Islam dalam Pembangunan Hukum

Nasional Indonesia

Satjipto Raharjo menyatakan :

“Pembinaan hukum meliputi pemberi pelayanan dan penegak hukum, pembinaan administrasi atau manajemen pengelolaan pembentukan, pelayanan, dan penegakan hukum, termasuk hal-hal tersebut diperlukan perencaan komprehensif pembinaan atau pembangunan hukum nasional. Hanya dengan cara demikian, hukum akan mempengaruhi tatanan masyarakat menuju masyarakat Indonesia baru dan modern”.9

Sesuai dengan yang diungkapkan Satjipto tentang

pembangunan hukum nasional, paling tidak hukum islam

bisa andil dalam pembangunan hukum nasional dari

beberapa hal, yaitu :

o Mengisi kekosongan hukum yang belum ada aturannya

dalam peraturan atau perundang-undangan di

Indonesia;

o Memberikan pendidikan moral terhadap penegak

hukum dan masyarakat.

Selanjutnya, peran hukum Islam dalam pembangunan

hukum nasional harus ditempuh melalui proses legislasi dari

penegak hukum. Walau pun, ada sebagian hukum Islam

yang sulit untuk ditegakkan oleh penguasa, seperti

9

(11)

kewajiban shalat dan puasa. Secara teori hukum Islam,

negara bisa memaksa pelaksanaan shalat dan puasa bagi

pemeluk agama Islam dan menjatuhkan sanksi bagi yang

melanggarnya. Penegakan hukum kewajiban shalat dan

puasa sulit terealisasi, disebabkan :

- Secara teknis peraturan seperti ini sulit ditegakkan.

Bagaimana mungkin negara bisa memantau selama 24

jam hanya sekedar mengetahui apakah warganya

melakukan shalat dan puasa atau tidak?

- Shalat dan puasa merupakan ritual individual. Tentunya

kurang berkolerasi dengan ‘kepentingan umum’.

Negara menegakkan hukum untuk kepentingan umum,

bukan kepentingan individual.

Adapun Ketentuan hukum Islam yang perlu dilegislasi

adalah ketentuan hukum yang memiliki kategori:

1. Penegakannya memerlukan bantuan kekuasaan negara.

2. Berkorelasi dengan ketertiban umum.10

Apabila upaya pembinaan dan pengembangan hukum

Islam di Indonesia melaui jalur legislasi mengalami

hambatan-hambatan, maka alternatifnya dapat ditempuh

melalui jalur non legislasi. Untuk kondisi Indonesia, menurut

10

(12)

Warkum Sumitro, alternatif non legislasi lebih memungkinkan

karena beberapa alasan:

- Pertama, tidak terkesan ”dominasi mayoritas,” karena

wujudnya tidak menempatkan label Islam, cukup

memasuKkan nilai-nilai yang dianggap prinsip.

- Kedua, dukungan dari struktur politik tidak perlu dilakukan

dengan terang-terangan sehingga yang berperan adalah

suara hati nurani. Artinya, komitmen para tokoh Islam yang

ada di struktur terhadap perjuangan nilai-nilai keislaman

(hukum Islam) sangatlah penting.

- Ketiga, persoalan bentuk dan proses bukan merupakan hal

yang penting. Hal yang penting masalah subtansi.

- Keempat, karena bentuk dan proses tidak terlalu penting,

maka bisa dilakukan terhadap bidang hukum di sekitar publik

dan dalam hal ini lebih startegis.11

3. Orientasi hukum islam dalam tatanan pembangunan hukum

di Indonesia

Kedamaian, kebahagiaan hidup, perlindungan hukum,

jaminan hukum dan kepastian hukum dalam tertib hidup

pribadi dan masyarakat, bangsa dan negara, kedamaian

11

(13)

dunia adalah tujuan dan fungsi hukum dalam sistem hukum

nasional yang berfalsafah Pancasila.12

Menurut Masykuri Abdillah, dilihat dari segi orientasi

penerapan hukum Islam dapat diklasifikasikan menjadi tiga

kelompok, yaitu : Pertama, adalah orentasi yang berupaya

memperjuangkan implementasi ajaran secara komprehensif

(kaffah), baik bidang akidah, syari’ah, maupun etika-moral.

Kedua, adalah orentasi yang hanya berupaya

memperjuangkan implementasi akidah dan etika-moral

Islam. Ketiga, adalah orentasi yang hanya berupaya

memperjuangkan sedapat mungkin implementasi syari’ah

-disamping akidah serta etika-moral -atau minimal

prinsip-prinsipnya, yang terintegrasi ke dalam sistem nasional.

Orentasi pertama menjadikan Islam sebagai ideologis, kedua

menjadikan Islam sebagai sumber etika, dan ketiga

Ichtijanto, Sistem Hukum Pancasila, (Bandung : Rosdakarya, l991), hal. 155 -156.

13

(14)

yang ajarannya tidak memisahkan antara agama dengan

negara. Tarikan yang kuat terhadap salah satu orientasi akan

mengakibatkan semakin kuatnya tarikan ke arah orientasi

yang berlawanan, dan bahkan akan menimbulkan konflik

internal yang lebih besar. Oleh karena itu, diperlukan jalan

tengah di antara keduannya, yakni menjadikan Islam sebagai

sub-ideologi bagi Pancasila.14

4. Strategi legislasi hukum Islam dalam pembangunan hukum di

Indonesia

Adapun strategi legislasi hukum Islam dalam

pembangunan hukum di Indonesia dapat dilakukan melalui

tiga sektor (mengutip teori Weiner Friedman) antara lain :

a. Substansi hukum

Dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 10 Tahun

2004 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan disebutkan bahwa dalam membentuk

peraturan perundang-undangan harus berdasarkan pada

asas yang meliputi: 1) Kejelasan tujuan; 2) Kelembagaan

atau organ pembentuk yang tepat; 3) Kesesuaian antara

jenis dan materi muatan; 4) Dapat dilaksanakan; 5)

14

(15)

Kedayagunaan dan kehasilgunaan; 6) Kejelasan rumusan;

dan 7) Keterbukaan.

Materi muatan peraturan perundang-undangan

sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor

10 Tahun 2004 mengandung asas-asas yang meliputi: 1)

Pengayoman; 2) Kemanusiaan; 3) Kebangsaan; 4)

Kekeluargaan; 5) Kenusantaraan; 6) Bhinneka tunggal ika;

7) Keadilan; 8) Kesamaan kedudukan dalam hukum dan

pemerintahan; 9) Ketertiban dan kepastian hukum;

dan/atau. 10) Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

Jika diperhatikan asas dan materi muatan

perundang-undangan dalam tatanan hukum Indonesia

terdapat banyak kesamaan dengan asas dan materi

muatan hukum Islam (fikih). Hukum Islam telah mengatur

hubungan umat dalam kehidupan beribadah (ubudiyah),

sosial (muamalat), kekeluargaan (munakahat),

kenegeraan (siyasah dan jinayah).

b. Struktur hukum

Struktur menurut teori ini mencakup lembaga atau

instansi pembentuk dan penegak hukum. Hukum Islam

dapat memberikan kontribusi dalam ajaran akhlak /moral

kepada pihak yang berwenang dalam pembentuk dan

(16)

penting dalam memperbaiki mental para penegak hukum.

Jika moral penegak hukum baik, maka implikasinya

penegakan hukum akan menjadi berwibawa dalam

masyarakat. Hal ini sesuai dengan butir pancasila sila

kedua, “Kemanusiaan yang adil dan beradab”.

c. Kultur / budaya hukum

Sekilas history perjalanan hukum islam di Indonesia

merupakan hukum yang hidup dalam masyarakat dan

menjadi bagian integral dari kesadaran hukum masyarakat

Indonesia. Meskipun dalam faktanya tidak seluruh aspek

hukum Islam berlaku sebagaimana hukum positif di

Indonesia.

Berlakunya hukum Islam dalam kancah hukum

nasional sangat ditentukan pula oleh sejauhmana

pendukung hukum Islam memiliki kesadaran untuk

menerima dan melaksanakannya. Kenyataan sementara

menunjukan bahwa pemeluk Islam sebagai pendukung

berlakunya hukum Islam baru merupakan potensi, belum

merupakan basis sosial yang efektif. Sikap pemeluk Islam

yang belum mendukung bagi berlakunya hukum Islam

dalam pembinaan hukum nasional tersebut perlu segera

dibenahi secara lebih intensif. Masih diperlukan upaya

(17)

sebagai penduduk mayoritas agar mereka betul-betul

mempunyai kesadaran hukum Islam yang tinggi yang

akhirnya diharapkan mematuhinya.

Dengan dukungan tiga komponen tersebut, yakni

komponen struktur, komponen subtansi, dan komponen

kultur dengan berbagai persyaratan, hukum Islam akan

mempunyai posisi tawar yang tinggi dalam proses

transformasi bagi pembinaan hukum nasional.

C. PENUTUP

1. Kesimpulan

Dalam upaya penerapan hukum Islam di Indonesia,

terdapat empat teori pemikiran mengenai penerapan

hukum Islam (syari’at) di Indonesia: a) Teori pemikiran

formalistik-legalistik; b) Teori Pemikiran Strukturalistik; c)

Teori Pemikiran Kulturalistik; c) Teori Pemikiran

Subtantialistik-Aplikatif.

Peran hukum Islam dalam pembangunan hukum

Nasional untuk Mengisi kekosongan hukum yang belum

ada aturannya dalam peraturan atau

perundang-undangan di Indonesia dan memberikan pendidikan moral

terhadap penegak hukum dan kesadaran hukum

(18)

Oriensasi penegakan hukum Islam sejalan dengan

cita-cita hukum Nasional yang termuat dalam pembukaan

UUD 1945 yaitu mensejatahterakan, menjamin HAM,

menegakkan keadilan, kekeluargaan, musyawarah dan

mufakat dalam persoalan serta mencerdaskan kehidupan

masyarakat.

2. Saran

a. Bagi para cendikiawan, ilmuan, serjana, akademisi, dan

penegak hukum untuk menggali kembali hukum-hukum

yang lahir dari kesadaran masyarakat Indonesia dan

melegislisasikan nilai-nilai dan norma yang terkandung

dalam living low menjadi hukum berskala nasional.

b. Bagi pembentuk hukum agar memasukkan prinsip,

asas, sistem hukum Islam dalam

perundangan-undangan secara nasional. Sebab, jauh sebelum

Indonesia menjadi sebuah negara, hukum Islam

merupakan basis kesadaran hukum masyarakat dalam

bersikap dan bertingkah laku.

c. Melakukan unifikasi terhadap tiga sistem hukum di

(19)

dan sistem hukum kolonial) dalam pembentukan

(20)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Muliadi, Politik Hukum, (Padang : Akademi Permata, 2013).

Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, cet I (Jakarta : Gema Insani Press, l994).

Rahmat Rosyadi dan M. Rais Ahmad, Formalisasi Syariat Islam dalam Perspektif Tata Hukum Indonesia, Cet. I (Bogor: Ghalia Indonesia, 2006).

Ichtijanto, Sistem Hukum Pancasila, (Bandung : Rosdakarya, l991).

Juhaya S. Praja, Hukum Islam di Indonesia, Pemikiran dan Praktik, Cet. I (Bandung: Rosda karya, 1991).

Jazuni, Legislasi Hukum Islam di Indonesia, Cet. I (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005).

Masykuri Abdillah, at. al., Formalisasi Syari’at Islam di Indonesia; Sebuah Pergulatan Yang Tak Pernah Tuntas Cet. I (Jakarta: Renaisan, 2005).

Satjipto Raharjo, Sosiologi Hukum, Cet. I (Yogyakarta : Genta Publishing, 2010).

T. M. Hasbi as-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2001).

Referensi

Dokumen terkait

Selain tanggung jawab yang dijelaskan dalam ‘Tanggung jawab kita’ di bagian sebelumnya, eksekutif dan manajer perusahaan tidak hanya diharapkan untuk memimpin dengan memberi

Inspektorat BMKG menetapkan IKU Persentase Realisasi Pelaksanaan Tindak Lanjut Temuan Hasil Audit Dari Satker/ Unit Kerja Di Lingkungan BMKG sebagai amanat dari

Komersial, ukuran umum 60cm; tertangkap dengan alat tangkap Gill Nets, Seines, Perangkap dan Trawls; habitat: di Pantai, termasuk Perairan Payau(Ref. 12743); makanan: ikan-ikan

Dari uraian di atas, peneliti memandang bahwa akuntansi pertanggungjawaban merupakan hal yang penting untuk diterapkan karena dapat menunjang pencapaian tujuan umum

Selanjutnya menghitung nilai arus hubung singkat pada tempat tersebut dan menghitung parameter-parameter yang diperlukan dalam koordinasi rele (Birjandi, 2011).

Muyassaroh (2006) juga meneliti kubis yang telah dicuci sebanyak 2 kali masih terdapat telur cacing usus yaitu Ascaris lumbricuides, Trichuris trichiura, dan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Perubahan Peruntukan Kawasan Bekas Wilayah Pertambangan Rakyat menjadi Kawasan Pemukiman dan Kawasan Pariwisata di Kota Banjarbaru

Cengkeh ( Eugenia aromatica O.K) merupakan salah satu komoditas pertanian yang tinggi nilai ekonominya. Komoditi Cengkeh banyak digunakan dibidang industri sebagai bahan