METODE MENDIDIK ANAK DALAM PERSPEKTIF TAFSIR HADIST DAN AL-QURAN SEBAGAI ALTERNATIF ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN
Oleh: Muhammad Faizal Dzulqarnain Abstract
The age of the children is divided into two stages until it reaches its baligh period. The first stage is before tamyiz and the second stage is after tamyiz. The tamyiz is a time where children have been able to distinguish something well, which is good for him and what is bad or dangerous for
him. And the achievement of the age of tamyiz will be greatly influenced by the parents' lessons, warnings and directives that can be understood by the child well and in accordance with the
child's sense of growth.
The best method of education for children aged before tamyiz and after tamyiz is by listening and listening. Because at that age, a child has a very strong memory of everything he sees and hears.
That is why children of ancient times were known to have a remarkable memory, call it like Imam Ash-Shafi'i, Imam Bukhari, and others.
Keyword:Education, Islam, Hadist, interpretation of the Qur'an, early age
A. Pendahuluan.
Anak yang menjadi dambaan setiap keluarga adalah rizki sekaligus ujian dari Allah Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya. Bahkan Allah Ta’ala menyebutkan dalam firman-Nya bahwa anak adalah salah satu kesenangan dan perhiasan dunia,
اـيينن دددـلا ةةاييحيـلنا ةدنيينزة نيوندبيلناوي لداـميلنا.
Artinya: “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia.” (Qs. Al-Kahfi: 46)
Mendidik anak dengan baik adalah salah satu cara untuk menjaga harta yang paling berharga. Dibekali dengan pengetahuan agama, orang tua dituntut mampu membimbing putra-putrinya ke jalan yang telah diajarkan oleh Al-Quran dan Hadist Rasulullah SAW. Setiap rumah tangga haruslah memiliki keinginan untuk mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Dan untuk menjalankan amanah tersebut maka setiap anggota keluarga mesti memiliki peranan dan tanggung jawab yang dijalankan sebaik-baiknya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
،هةدةليويوي اهيجةونزي تةينبي ىليعي ةةييعةاريةدأيرنميلناوي ،هةتةينبي لةهنأي ىليعي ععاريلدجدرديلاوي ،ععاريردينمةأيلناوي ،هةتةيديعةري ننعي لةوؤدسنمي منكدلددكدوي ،ععاريمنكدلددكد هةتةيديعةري ننعي لةوؤدسنمي منكدلددكدوي ،ععاريمنكدلددكدفي .
keluarganya, dan istri juga pemimpin bagi rumah suaminya dan anak-anaknya. Setiap kalian adalah pemimpin dan kamu sekalian akan diminta pertanggung jawaban atas apa yang dipimpinnya.”
[Hadits shahih, diriwayatkan oleh Bukhari (no. 893, 5188, 5200), Muslim (no. 1829), dan Ahmad (II/5, 54-55, 111), dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma]
Suami dan istri haruslah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memelihara keluarganya, dalam hal ini adalah anak-anaknya yang akan menjadi generasi penerus mereka kelak. Sebab anak merupakan usaha orang tuanya, yang dapat menjadi “simpanan” di akhirat, sebagaimana sabda Rasulullah SAW,
هةبةسنكي ننمة هدديليوي نديإة وي ،هةبةسنكي ننمة لدجدرديلا ليكيأي امي بيييطنأي نديإة .
Artinya: “Sesungguhnya sebaik-baik yang dimakan oleh seseorang adalah makanan yang dihasilkan dari usahanya sendiri. Dan sesungguhnya anak itu termasuk dari usahanya.”
[Hadits shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud (II/108), An-Nasa’i (II/211), At-Tirmidzi (II/287), Ad-Darimi (II/247), Ibnu Majah (II/2-430), Ath-Thayalisiy (no. 1580), dan Ahmad (VI/41, 126, 162, 173, 193, 201, 202, dan 220), dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha]
B. Cara Nabi Muhammad SAW Mendidik Anak dengan Implementasi Al-Quran.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan uswah bagi orang-orang beriman. Untuk itulah, kita diperintahkan untuk mencontoh beliau dalam berbagai perkara syari’at, salah satunya adalah tarbiyatul aulad (mendidik anak). Ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh setiap orang tua, berkaitan dengan pendidikan anak, antara lain:
1. Memberikan pendidikan agama kepada anak, terutama ‘aqidah yang akan menjadi
pondasi ke-Islamannya. Perhatikan bagaimana perkataan Luqman kepada anaknya,
,
مةيظةعي مةلنظدلي كيرنشدةلا نديإة لةلابة كنرةشنـتد لي ىدينيبديي هدظدعةيي ويهدوي هةنةبنآلة ندميقنلد لياقي ذنإةوي 
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, ‘Hai anakku, janganlah kamu menyekutukan Allah. Sesungguhnya kesyirikan itu merupakan kezhaliman yang besar.” (Qs. Luqman: 13)
lembaran (takdir) telah mengering. Dan ketahuilah, sesungguhnya bersabar atas apa-apa yang tidak engkau sukai itu memiliki kebaikan yang amat banyak. Dan sesungguhnya pertolongan itu (ada) bersama kesabaran. Dan sesungguhnya kelapangan itu (datang) bersama kesulitan, dan sesungguhnya kesulitan itu bersama kemudahan.”[Hadits shahih, diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (no. 2516), Ahmad (I/292, 303, 307) dan ini lafazhnya, Al-Hakim (III/541), Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Kabir (XII/12988, 12989), Abu Ya’la (no. 2549), Ibnus Sunni (hal. 427), Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah (no. 316), dan Al-Ajurri dalam Asy-Syari’ah (hal. 198)]
2. Membiasakan anak-anak untuk berakhlak baik dan menasihatinya ketika melakukan
kesalahan. Karena akhlak mulia menjadi pemberat timbagan pada hari Kiamat nanti, sebagaimana disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
نعسيحي قعلدخد ننمة ةةمياييقةلنا ميونيي نةمةؤنمدلنا نةازيينمة يفة لدقيثنأي ءةينشي امي .
Artinya: “Tidak ada sesuatupun yang paling berat dalam timbangan seorang Mukmin pada hari Kiamat nanti daripada akhlak mulia.”
[Hadits shahih, diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (IV/2002) dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ (no. 5632), dari Abud Darda’ radhiyallahu’anhu]
Selain itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia, sebagaimana sabda beliau,
قةلي خنأيلنا حيلةاصي ميمدةتي أيلة تدثنعةبد امينديإة .
Artinya: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang shalih.”
[Hadits shahih, diriwayatkan oleh Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad(no. 273), Ahmad (III/381), dan Al-Hakim (II/613), dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir dalam syarahnya untuk Al-Musnad (XVII/79, no. 8939), dan dishahihkan pula oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Adabul Mufrad (no. 207) dan Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah (no. 45)]
tuanya tidak memiliki otoritas untuk mengaturnya, sebab kesalahan yang dilakukan olehnya ternyata dilakukan pula oleh orang tuanya.
3. Mengajarkan adab dan etika kepada anak. Para Salaf telah menaruh perhatian yang
sangat besar terhadap adab Islami. Simak saja perkataan seorang Salaf kepada anaknya ini, “Wahai anakku, engkau mempelajari satu bab tentang adab lebih aku sukai daripada engkau mempelajari tujuh puluh bab dari ilmu.” [Lihat Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim (hal. 2) dan Ensiklopedi Adab Islam (I/10)]
Imam Sufyan ats-Tsauri rahimahullah pun pernah berkata tentang kebiasaan para Salaf mengirimkan anak-anaknya untuk mempelajari adab dan ibadah selama 20 tahun sebelum mereka dapat menuntut ilmu. [Lihat Hilyatul ‘Auliya’ (VI/361), Min Hadyis Salaf fi Thalabil ‘Ilm(hal. 23), dan Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga (hal. 130)]
Hal serupa juga digambarkan oleh Imam Adz-Dzahabi rahimahullahberikut ini, “Bahwasanya majelis Imam Ahmad dihadiri oleh lima ribu orang. Lima ratus (orang) diantara mereka mencatat, sedangkan selebihnya mengambil manfaat dari perilaku, akhlak dan adab beliau (Imam Ahmad).” [Lihat Siyar A’lamin Nubala’ (XI/316) dan Ensiklopedi Adab Islam (I/10)] Dan inilah kesaksian seorang Abu Bakar Al-Mithwa’i rahimahullah, “Aku bolak-balik kepada Abu ‘Abdillah –yakni Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah– selama sepuluh tahun. Beliau membacakan kitab Al-Musnad kepada anak-anaknya. Aku tidak menulis satupun hadits darinya, aku hanya melihat adab dan akhlak beliau (pada anak-anaknya).” [Lihat Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim (hal. 3) dan Ensiklopedi Adab Islam (I/10)]
Ada banyak macam adab yang mesti diajarkan kepada anak, namun secara garis besar, pembahasan tentang masalah adab, etika, dan akhlak terbagi kepada:
a. Adab dan akhlak terhadap Allah ‘Azza wa Jalla, seperti penghambaan, tidak melakukan syirik, mentaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, ridha terhadap takdir-Nya, dan bersyukur atas semua nikmat-Nya.
b. Adab dan akhlak terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti mengimani beliau sebagai Nabi dan Rasul terakhir bagi seluruh manusia, mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mentaati apa yang beliau perintahkan dan menjauhi apa yang beliau larang,
mengikuti Sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjauhi segala bentuk bid’ah. c. Adab dan akhlak terhadap diri sendiri dan sesama manusia, seperti adab makan dan minum, adab tidur, adab berpakaian, adab bertamu, adab meminta izin, adab berdo’a dan adab-adab lainnya.
d. Adab dan akhlak terhadap hewan dan tumbuhan yang sesuai dengan tuntunan syari’at, seperti tidak menyakitinya, tidak menyiksanya, memberinya makan dan minum, merawatnya, dan tidak membunuhnya dengan cara-cara yang dilarang oleh agama. [Lihat Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga (hal. 131-161) dan Menanti Buah Hati (hal. 396)]
4. Orang tua hendaknya menyertakan anak-anak dalam beribadah, bukan hanya sekedar memerintahkannya saja. Karena pendidikan anak akan lebih berhasil manakala setiap inderanya diberdayakan. Jadi, orang tua tidak hanya memberdayakan indera pendengaran anak saja untuk memerintahnya melakukan ini dan itu, tapi orang tua juga perlu memberdayakan indera penglihatannya untuk mencontoh sikap dan perilaku baik dari orang tua. Tidak hanya itu, orang tua juga dapat mengajak anak untuk memberdayakan perasaannya ketika beribadah, yakni menghadirkan rasa cinta dalam menjalankan suatu ibadah, sekaligus mengajarkan kepadanya bagaimana menghadirkan hati yang khusyu’ ketika beribadah. Sebagai contoh, ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu’anhuma pernah shalat disamping Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam disebelah kiri, kemudian beliau memegang telinganya dan memindahkannya ke sebelah kanan beliau. [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Bukhari (no. 6316) dan Muslim (no. 763)]
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Tidak diragukan lagi bahwa urutan shaf terdepan bagi anak-anak adalah dibelakang shaf laki-laki dewasa, kecuali jika keadaan tersebut (dikhawatirkan) akan mengganggu jama’ah. Karenanya pada saat itu, perlu bagi kita untuk menempatkan anak-anak laki-laki diantara shaf laki-laki dewasa agar jama’ah dapat mengerjakan shalat secara khusyu’.” [Lihat Asy-Syarhul Mumti’ (IV/391)
5. Bersikap lemah lembut kepada anak dan bersikap tegas manakala diperlukan. Karena
anak bukanlah benda yang tidak memiliki rasa. Sehingga, orang tua sesekali dianjurkan untuk mencandai anak, bermain dengannya, dan mencium mereka sebagai bentuk kasih sayang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada Aqra’ yang memiliki 10 orang anak, tetapi dia belum pernah mencium mereka sekalipun,
منحيرنيد لي منحيرنيي لل ننمي .
Artinya: “Barang siapa yang tidak menyayangi, tidak akan disayangi.”
[Hadits shahih, diriwayatkan oleh Bukhari (no. 5997) dan Muslim (no. 2318), dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu]
Sikap tegas orang tua kepada anak juga perlu dilakukan sesekali, manakala anak melanggar ketentuan syar’i. Namun, sikap tegas yang dimaksudkan bukanlah sikap kasar dan menganiaya anak, karena sikap tegas disini ditujukan sebagai metode pendidikan anak yang memberikan efek jera, bukan “efek luka”.
Contoh sikap tegas yang dapat dilakukan oleh orang tua kepada anaknya adalah memukul anaknya yang tidak melaksanakan shalat ketika sudah menginjak usia 10 tahun, sebagaimana disabdakan olehNabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
(I/230), Al-Khathib (II/278), dan Al-‘Uqaili (II/167), dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu’anhuma. Lihat juga Shahihul Jami’ (no. 5868)]
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi berkaitan dengan pukulan kepada anak ini, yaitu: a. Anak mengerti atas alasan apa dia dipukul.
b. Orang yang memukulnya adalah walinya, misalkan ayahnya. c. Tidak boleh memukul anak secara berlebihan.
d. Kesalahan yang dilakukan oleh sang anak memang patut untuk mendapatkan hukuman. e. Pukulan dimaksudkan untuk mendidik anak, bukan untuk melampiaskan kemarahan.
[Lihat Al-Qaulul Mufid (II/473-474) dan Bekal Menanti Si Buah Hati(hal. 55-56, cat. kaki no. 89)]
Adapun pukulan yang dimaksud adalah:
a. Pukulan yang dapat diterima oleh si anak, yakni pukulan yang ringan, b. Pukulan yang tidak menimbulkan bekas atau luka pada tubuh si anak, c. Pukulan di bagian tubuh, kecuali wajah.
[Lihat Menanti Buah Hati, hal. 347-348)
6. Bersikap adil kepada semua anak dan bersabar dalam menghadapi mereka. Orang tua
terkadang memiliki kecenderungan pada salah satu atau sebagian anak dibandingkan dengan anak-anak lainnya, baik dalam hal materi maupun imateri. Padahal, sikap orang tua yang demikian itu tidak akan memberikan dampak yang baik bagi kejiwaan anak-anaknya. Sebab akan ada anak yang merasa tidak disayangi dan tersisihkan, sementara dia melihat saudaranya mendapatkan perlakuan berbeda dari orang tuanya. Hal seperti ini akan sangat mungkin untuk memicu perselisihan bahkan permusuhan antar sesama saudara. Dan sikap seperti ini juga berarti menzhalimi mereka. [Lihat Ensiklopedi Adab Islam (I/201)]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
منكددةليونأي يفة اولددةـعناوي ،لي ا اوقدتدا ،رعونجي ىليعي ددـهيشنأي لي .
Artinya: “Aku tidak mau menjadi saksi atas perbuatan zhalim, bertakwalah kalian kepada Allah dan bersikap adillah kepada anak-anak kalian.”
[Hadits shahih, diriwayatkan oleh Bukhari (no. 2586, 2587) dan Muslim (no. 1623), dari Nu’man bin Basyir radhiyallahu’anhu]
Selain itu, orang tua juga harus menyadari bahwa anak adalah fitnah (ujian) bagi orang tua maka hendaknya orang tua dapat bersabar dalam menghadapi gangguan dari anak-anaknya.
Allah ‘Azza wa Jallaberfirman,
مةينظةعي رةجنأي هدديننعة لي ا نديأيوي ةةنيتنفة منكدددليونأيوي منكدلد ويمنأي آمينديأي آومدليعناوي 
Artinya: “Dan ketahuilah! Sesungguhnya harta-hartamu dan anak-anakmu adalah fitnah (ujian/cobaan bagimu). Dan sesungguhnya Allah (yang) disisi-Nyalah terdapat ganjaran yang besar.” (Qs. Al-Anfal: 28)
مةينظةعي رةجنأي هدديننعة لد اوي ةةنيتيفة منكدددليونأيوي منكدلد ويمنأي آمينديإة 
Terutama bagi pasangan orang tua yang memiliki anak perempuan, hendaknya mereka bersabar dalam mengasuh dan mendidiknya, karena anak perempuan yang diasuh dengan baik oleh orang tuanya dapat menjadi penghalang bagi kedua orang tuanya dari api Neraka. Dan hal ini telah dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya berikut ini,
رةانديلا نيمة ارلتنسة هدلي نديكد ،نديهيينليإة نيسيحنأيفي ،ءعيشيبة تةانيبيلنا هةذةـهي ننمة ييلةتدبنا نةمي .
Artinya: “Barang siapa diuji dengan anak-anak perempuan lalu dia memberi asuhan yang baik kepada mereka, maka anak-anak perempuan itu akan menjadi penghalang antara dirinya dari Neraka.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Bukhari (no. 1418, 5998) dan Muslim (no. 2629), dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha]
Dan wajib bagi para orang tua untuk membiasakan anak-anak perempuannya untuk mengenakan jilbab. Jangan biasakan dia mengenakan pakaian tipis, ketat, dan pendek, meskipun dia belum baligh. Karena kebiasaan berpakaiannya sedari kecil akan mempengaruhi “model pakaiannya” ketika dewasa.
7. Memperhatikan kesehatan anak, baik secara jasmani maupun rohani, karena
sesungguhnya Allah lebih mencintai mukmin yang kuat daripada mukmin yang lemah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فةينعةضديلا نةمةؤنمدلنا نيمة لة ا ىليإة بددحيأيوي رةينخي يددوةقيلنا ندمةؤنمدلنا …
Artinya: “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang
lemah…” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Muslim (no. 2664), Ahmad (II/366, 370) dan Ibnu Majah (no. 79, 4168), dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu]
Itulah beberapa hal yang harus menjadi perhatian orang tua terkait dengan pendidikan anak. Tidak hanya menjadi bahan perhatian orang tua saja, tetapi juga menjadi kewajiban bagi orang tua, karena apa yang telah diuraikan diatas dapat dikategorikan sebagai hak anak yang harus dipenuhi oleh orang tuanya.
C. Penutup.
Anak manapun, tentu saja mendambakan kasih sayang kedua orang tuanya. Karena meskipun dia telah mendapatkan kasih sayang dari kerabat dan teman-temannya, jauh di dalam lubuk hatinya dia rindu untuk mendekap sang ayah dan dibelai oleh sang bunda. Andaikan para orang tua mau sedikit lebih peka terhadap sikap dan perasaan sang anak, tentunya mereka dapat mewujudkan sebuah keluarga yang harmonis.
Sehingga, para orang tua menjerumuskan anak-anak mereka ke dalam lembah kenistaan tanpa sadar, dengan sebab sikap acuh tak acuh dengan pendidikan anak.
Allah Ta’ala berfirman dalam kitab-Nya yang mulia, ل نمكدايديإةوي منـهدـقدزدرنني ندحنندي ل عقليمنإة ةيييشنخي منكدديليونأي آولدتدـقنتيليوي …
Artinya: “Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut miskin. Kamilah yang akan memberi rizki kepada mereka dan juga kepadamu…” (Qs. Al-Isra’: 31)
Meskipun ayat diatas menyebutkan tentang larangan membunuh anak karena takut miskin, akan tetapi Allah Tabaraka wa Ta’ala telah menegaskan dalam ayat yang sama bahwa Allah-lah yang memberikan rizki kepada orang tua dan anak tersebut maka tidak ada alasan bagi setiap orang tua untuk mengabaikan hak anak dan hanya memberikan wewenang pada instansi formal untuk memberikan pendidikan kepada anak, tanpa orang tua turut terlibat di dalamnya, hanya karena alasan perekonomian.
Jadi, sesibuk apa pun aktifitas kedua orang tua, hendaknya orang tua dapat meluangkan waktu bersama anak untuk mengetahui sejauh mana pendidikan yang telah diterimanya dan mengamati hal-hal apa saja yang harus diperbaiki, ditambah, atau mungkin dikurangi dari “porsi” pendidikan si anak. Dengan demikian, hubungan antara orang tua dan anak tidak lagi berada dalam dua dunia yang berbeda dan terpisahkan oleh jurang yang sangat jauh dan dalam. Dan dalam hal ini diperlukan pendekatan yang komunikatif antara keduanya. Sepatutnya anak mendapatkan kasih sayang yang melimpah dari kedua orang tua dan kerabatnya. Dan yang terpenting dari semuanya adalah pendidikan yang menjadi hak anak dan prioritas bagi setiap orang tua, karena
Allah Ta’ala telah berfirman,
… ةدرياجيحةلناوي سدانديلا اهيددوقدوي ارلاني منكدينلةهنأيوي منكدسيفدننأي اوقد اوندمياءي نيينذةلديااهييددآيي 
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api Neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu…” (Qs. At-Tahrim: 6)
Daftar Pustaka:
1. Akhlak-Akhlak Buruk, Muhammad bin Ibrahim Al-Hamad, cetakan Pustaka Darul Ilmi, Jakarta 2. Al-Masaail Jilid 6, Abdul Hakim bin Amir Abdat, cetakan Darus Sunnah, Jakarta
3. Bekal Menanti Si Buah Hati, Yusuf bin Mukhtar As-Sidawi, cetakan Media Tarbiyah, Bogor 4. Dapatkan Hak-Hakmu Wahai Muslimah, Ummu Salamah As-Salafiyyah, cetakan Pustaka Ibnu Katsir, Bogor
5. Ensiklopedi Adab Islam Jilid 1, ‘Abdul ‘Aziz bin Fathi As-Sayyid Nada, cetakan Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Jakarta
6. Jangan Salah Mendidik Buah Hati, Muhammad bin Ibrahim Al-Hamad, cetakan Darus Sunnah, Jakarta
7. Menanti Buah Hati dan Hadiah Untuk yang Dinanti, Abdul Hakim bin Amir Abdat, cetakan Maktabah Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Jakarta
8. Menggapai Surga Tertinggi dengan Akhlak Mulia, Ummu Anas Sumayyah bintu Muhammad Al-Ansyariyyah, cetakan Pustaka Darul Ilmi, Jakarta
9. Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga, Yazid bin Abdul Qadir Jawas, cetakan Pustaka At-Taqwa, Bogor