BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dewasa ini, masalah kesehatan merupakan topik yang cukup sering
diperbincangkan. Kesehatan juga merupakan hal penting yang harus dijaga
agar dapat menjalani aktivitas sehari-hari. Bila seseorang menderita sakit,
banyak hal yang terganggu untuk dilakukan dalam hidupnya. Misalnya,
kehilangan kesempatan bersosialisasi dengan orang-orang disekitarnya dan
keluarga, bahkan dapat kehilangan kesempatan untuk bekerja. Masalah
kesehatan yang sering dijumpai saat ini adalah penyakit kronis atau penyakit
yang tidak dapat disembuhkan (terminally illness), salah satunya adalah
kanker.
Kanker adalah suatu proses pelipatgandaan sel yang tidak terkendali
dan menghasilkan tumor yang menyerang jaringan-jaringan yang ada
didekatnya dan bermetastatis (Kiple, 2003). Dengan demikian, kanker tidak
mengacu pada penyakit tunggal, tetapi puluhan bentuk penyakit yang berbagi
karakteristik tersebut (ACS, 2009). Karakteristik penting dari sel kanker
adalah bahwa mereka tidak menempel satu sama lain sekuat sel normal.
Sebagai akibatnya, mereka mungkin terpisah dan menyebar ke bagian lain
Data WHO tahun 2013 menyatakan bahwa terdapat insiden kanker
sebanyak 14,1 juta kasus pada tahun 2012. Sedangkan jumlah kematian 8,2
juta pada tahun 2012. Di Indonesia, prevalensi penyakit kanker juga cukup
tinggi. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013,
prevalensi kanker di Indonesia adalah sekitar 330.000 orang. Kanker menjadi
penyebab kematian nomor dua di dunia sebesar 13% setelah penyakit
kardiovaskular (Depkes RI, 2014).
Kanker dapat menimpa semua orang, pada semua bagian tubuh,
dan pada semua golongan umur. Menurut Sarafino (2011), prognosis pada
kanker tergantung pada seberapa cepat kanker tersebut terdeteksi dan
lokasinya. Kanker disebabkan oleh interaksi dari faktor genetik, lingkungan,
perilaku, dan psikososial (Foulkes, 2008). Mulai dari saat terdiagnosa
mengidap kanker, menjalani treatment baik alternatif maupun medis, sampai
pasrah dan tidak melakukan apapun terhadap penyakit tersebut, pasien kanker
tetap merasakan efek dari penyakitnya baik fisik maupun psikologis
(Sarafino, 2011).
Secara fisik, pasien kanker mengalami nyeri. Seumur hidupnya
pasien akan merasakan nyeri bahkan nyerinya akan bertambah seiring
meningkatnya stadium (Yulianta, 2010). Hal ini didukung oleh hasil
penelitian Melzack & Wall (dalam Sarafino, 2011) yang menyatakan bahwa
ketika penyakit berkembang, dapat menghasilkan rasa sakit dengan intensitas
tinggi karena tumor tersebut menekan jaringan normal dan saraf, serta
Efek fisik yang dirasakan tersebut tentunya akan mempengaruhi
kondisi psikologis pasien. Pasien kanker yang mengalami disable secara fisik
atau mengalami nyeri yang berkepanjangan sering sekali ditemukan lebih
depresi (Burish et al., 1987; Spiegel, Sands, & Koopman, 1994). Menurut
Kubler-Ross (1969) ada lima tahapan bagi individu mengatasi atau
berhadapan dengan kedukaan, terutama saat didiagnosa memiliki penyakit
kronis yaitu, denial, anger, bargaining, depression, dan acceptance. Hal
tersebut didukung pula dengan pernyataan Hawari (2004) yang menyatakan
bahwa ada tiga fase reaksi emosional penderita ketika diberitahu bahwa
penyakit yang dideritanya adalah kanker yang sudah lanjut. Fase pertama,
penderita akan merasakan shock mental kemudian diliputi oleh rasa takut dan
depresi. Muncul reaksi penolakan, setelah fase ini berlalu, akhirnya penderita
akan sadar dan menerima kenyataan bahwa jalan hidupnya telah berubah.
Kanker juga menciptakan sebuah stresor yang unik bagi
penderitanya dan keluarga (Sarafino, 2011). Kata "kanker" itu sendiri
menakutkan banyak orang dan mereka sering menyatakan bahwa kematian
sebagai akibat dari kanker. Oleh karena itu, kerap kali pasien kanker dikenal
sebagai seorang yang menderita penyakit mematikan (Sarafino, 2011).
Kesedihan dan kekhawatiran akan masa depan merupakan respon yang kerap
timbul, karena adanya suatu arti tertentu yang melekat pada penyakit kanker,
yakni ketakutan akan ketidakmampuan atau kematian (Holland dan Evcimen,
Menurut Lazslo (dalam Sarafino, 2011), penyakit kanker dapat
menyebabkan kematian secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung,
kanker menyebar dari waktu ke waktu ke organ vital, seperti otak, hati, atau
paru-paru; kemudian bersaing untuk mengambil sebagian besar nutrisi yang
dibutuhkan jaringan organ untuk bertahan hidup, sehingga menyebabkan
organ akan gagal. Kanker membunuh secara tidak langsung dalam dua cara:
penyakit itu sendiri melemahkan korban, dan yang kedua penyakit dan
pengobatan dapat mengganggu nafsu makan dan kemampuan pasien. Bagi
keluarga, memiliki anak atau saudara yang menderita kanker bukan hal yang
mudah untuk dijalani. Keluarga harus memberikan waktu, tenaga, serta
finansial untuk perawatan pasien kanker tersebut.
Angka harapan kesembuhan penyakit kanker sangat kecil, pengobatan
mungkin terus dilakukan tetapi bukan untuk mengobati penyakitnya
melainkan hanya untuk mengurangi atau menghilangkan simptom (Brunner
& Suddarth, 2002). Keputusan menjalani pengobatan yang dibuat pasien
kanker bersifat kompleks. Mereka harus menyeimbangkan antara manfaat
kesehatan yang diperoleh dengan efek samping yang distressing dan dapat
menyebabkan masalah penyesuaian jika hasil tidak seperti yang diharapkan
(Stanton et al, 1998).
Sarafino (2011) menyatakan bahwa terdapat dua efek pengobatan
kanker yang sangat sulit. Pertama, kebanyakan orang yang menjalani radiasi
berulang atau kemoterapi mengalami kelelahan yang berat dan
Kedua, kemoterapi dan radiasi sering menghasilkan periode mual dan muntah
selama dan setelah setiap perawatan. Mual dan muntah dapat memiliki efek
yang serius. Misalnya, mereka bisa menghentikan pengobatan dan hal
tersebut bisa memperpendek hidup mereka. Sarafino (2011) juga menyatakan
bahwa pengobatan kanker tidak hanya bisa tidak menyenangkan, namun
dapat juga menjadi kompleks dan menuntut. Kebanyakan pasien kanker juga
harus minum obat di rumah dan banyak dari mereka yang harus sering
kembali ke klinik untuk uji laboratorium, menjaga asupan makanan mereka,
atau mematuhi perubahan pola makan dan perubahan lainnya dalam
kebiasaan hidup. Kepatuhan terhadap anjuran medis tergantung pada dan
mempengaruhi faktor psikologis dalam kehidupan pasien.
Reaksi psikologis dominan yang ditunjukkan pasien kanker adalah
emosi-emosi negatif seperti rasa tidak berdaya, kecemasan tentang apa yang
akan terjadi, sedih, marah, putus asa, dan sebagainya (Oetami et al, 2014).
Jika hal tersebut dibiarkan, pasien kanker akan mengalami stres yang
berkepanjangan. Menurut Sarafino (2011), stres dan penyakit sangat erat
hubungannya. Jika stres memainkan peran timbal balik dalam pengembangan
kanker, hal tersebut dapat terjadi dengan mempengaruhi kemampuan sistem
imun untuk memerangi penyakit ini (Antoni et al., 2006). Emosi-emosi
negatif tersebut dapat berdampak pada kesehatan pasien.
Sebuah studi John Hopkins yang diterbitkan pada tahun 2012 (dalam
Deppe, 2013) menunjukkan bahwa orang dengan gangguan berpikir depresi
mungkin untuk menderita cedera yang membutuhkan rawat inap, dan 4,5 kali
lebih mungkin untuk meninggal akibat cedera mereka. Selain itu, emosi
negatif juga dapat mempengaruhi motivasi individu untuk menjalani
treatment (Sarafino, 2011). Pasien kanker dapat menolak untuk menjalani
pengobatan yang akhirnya berakibat pada kesehatannya.
Masalah emosional yang dialami oleh pasien kanker mungkin
tampak tinggi, tetapi perlu diingat bahwa rawat inap itu sendiri juga
meningkatkan kesulitan emosional pasien (Sarafino, 2011). Selain masalah
emosional, pasien kanker juga mengalami masalah psikososial. Menurut
Sarafino (2011), pasien kanker banyak mengalami masalah psikososial yang
berasal dari perubahan dalam hubungan mereka dengan anggota keluarga dan
teman-teman. Pasien mungkin menarik diri dari kontak sosial karena mereka
merasa canggung secara sosial atau malu dengan kondisi mereka (Bloom,
Kang, & Romano, 1991). Selain itu, kondisi fisik pasien dan pengobatan
dapat mengganggu mereka bertemu teman-teman dan keluarga (Lepore &
Helgeson, 1998; Manne, 1999). Orang juga mungkin mulai menghindari
pasien, misalnya, karena mereka mungkin khawatir bahwa mereka akan
mengatakan hal yang salah di depan pasien (Sarafino, 2011; Wortman &
Dunkel-Schetter, 1979; Lepore et al 2008).
Meskipun demikian, tidak semua penderita kanker merasa hopeless
dan depresi. Ada juga penderita kanker yang dapat bangkit dan menerima
keadaan dirinya dan dapat menjalankan kehidupannya dengan baik. Bahkan
keyakinan bahwa penyakitnya hanya bersifat sementara dan dapat
disembuhkan (Shally, 2013). Keseimbangan kondisi psikis pasien juga sangat
berperan penting dalam proses pengobatan (Purwati, dalam Karyono et al.,
2008).
Strategi penanganan stres yang baik juga dapat menurunkan tingkat
stres dan pasien akan mengalami emosi positif seperti perasaan bahagia dan
keinginan yang kuat untuk sembuh, serta keberadaan emosi negatif tidak akan
muncul dalam skala yang besar (Prokop, dalam Karyono et al., 2008).
Terdapat dua penanganan stress yang kerap dijumpai pada pasien kanker,
yaitu active problem-focused dan avoidance coping. Orang-orang dengan
kanker yang mengatasi masalah dengan menggunakan strategi active
problem-focused menunjukkan penyesuaian yang lebih baik setelah akhir
pengobatan daripada mereka yang menggunakan avoidance coping.
Sebaliknya, mereka yang menyalahkan diri sendiri karena penyakit mereka
mengalami lebih banyak distress (Bellizzi & Blank, 2006; Roesch et al.,
2005; Friedman et al., 2007). Selain itu, pasien kanker yang lebih terlibat saat
membuat keputusan untuk menjalani pengobatan dan memiliki kontrol diri
yang baik ditemukan memiliki tingkat stress yang tidak terlalu tinggi
(Andersen et al., 2009; Barez et al., 2009). Meskipun demikian, pasien kanker
yang mengalami emosi positif tidak dapat dipastikan akan memiliki kualitas
hidup yang positif pula. Hal ini dapat dipengaruhi oleh kondisi kesehatan
pasien yang tidak stabil dibandingkan orang sehat pada umumnya (Brown,
Efek yang dirasakan pasien kanker dari penyakitnya tersebut, baik
secara fisik maupun psikologis, tentunya akan berdampak pada keberfungsian
pasien kanker dalam menjalani kehidupan. Keberfungsian pasien kanker
tersebut pada akhirnya akan berpengaruh pada kualitas hidupnya. Kualitas
hidup menurut World Health Organization Quality of Life (WHOQOL)
Group (dalam Rapley, 2003), didefinisikan sebagai persepsi individu
mengenai posisi individu dalam hidup dalam konteks budaya dan sistem nilai
dimana individu hidup dan hubungannya dengan tujuan, harapan, standar
yang ditetapkan seseorang. Terdapat empat aspek yang menentukan apakah
hidup seseorang berkualitas atau tidak, antara lain aspek psikologis, sosial,
fisik dan lingkungan. Aspek yang dominan dalam pembentukan kualitas
hidup penderita kanker adalah aspek psikologis, meliputi spiritualitas,
dukungan sosial, perasaan positif (Prastiwi, 2012).
Sikap bertahan dan tidak putus asa yang yang ditunjukkan
beberapa pasien kanker menggambarkan kualitas hidup positif yang
dimilikinya. Pasien yang lebih terlibat dalam keputusan tentang pengobatan
dan tindak lanjut perawatan, dan mereka yang memiliki level tinggi pada
penerimaan kontrol, melaporkan lebih sedikit mengalami distress (Andersen
et al., 2009). Pasien yang mengalami depresi pada saat diagnosis sering
memiliki kualitas hidup yang rendah di antara cancer survivor lainnya
(Howren et al., 2010).
Kriteria kualitas hidup yang positif ditentukan bahwa seseorang
emosional, memiliki kesehatan fisik dan mental yang baik, memiliki
kemampuan fisik untuk melakukan hal-hal yang ingin dilakukan, memiliki
hubungan yang baik dengan teman dan keluarga, dan sebagainya (Bowling,
2005). Pemahaman kualitas hidup yang positif akan menentukan sikap
subyek selanjutnya. Hal ini dipengaruhi oleh penerimaan diri yang baik, citra
tubuh positif, harga diri, hubungan sosial, lingkungan dan spiritualitas
subyek.
Menurut Brown (1996), terdapat dua faktor yang dapat mempengaruhi
kualitas hidup seseorang, yaitu faktor lingkungan dan pribadi. Faktor
lingkungan terdiri dari lingkungan makro dan lingkungan sekitar, sedangkan
faktor pribadi terdiri dari faktor biologis dan psikologis. Faktor psikologis
meliputi kebiasaan, kognisi, emosi, persepsi, dan pengalaman. Selain itu,
faktor psikologis lainnya yang tidak kalah penting mempengaruhi kualitas
hidup adalah happiness.
Kebahagiaan (happiness) menurut Seligman (2005) merupakan
konsep yang mengacu pada emosi positif yang dirasakan individu serta
aktivitas positif yang tidak mempunyai komponen perasaan sama sekali.
Selanjutnya, Diener et al (2008) menjelaskan happiness merupakan evaluasi
kognitif dan afektif seseorang terhadap hidupnya.
Menurut Myers (2002), emosi-emosi positif seperti optimis, memiliki
kontrol diri, dan menghargai dirinya sendiri merupakan karakteristik orang
bahagia. Penelitian yang menghubungkan antara kebahagiaan dengan
penelitian Veenhoven (2007) menyatakan bahwa kebahagiaan dapat
membantu kelancaran pengobatan orang sakit karena dapat meningkatkan
sistem imun, serta dapat juga melindungi orang-orang yang sehat dari
penyakit. Secara langsung, kebahagiaan memang tidak menyembuhkan
penyakit serius, melainkan hal tersebut muncul untuk melindungi kita supaya
tidak rentan jatuh sakit dan memperparah penyakit (Veenhoven, 2007).
Pernyataan Veenhoven tersebut didukung oleh hasil penelitian Karyono, et al
(2008) yang menyebutkan bahwa apabila emosi yang sering muncul adalah
emosi positif seperti kebahagiaan, pasien kanker akan lebih mampu bertahan
hidup serta dapat menjalin hubungan yang positif dengan orang lain.
Selanjutnya, pasien juga akan lebih mampu menjalani proses pengobatan.
Hasil penelitian Wrosch (dalam Deppe, 2013) juga menyatakan bahwa
emosi yang destruktif seperti kepedihan dan kemarahan dapat menimbulkan
kerusakan pada sistem tubuh kita, secara negatif mempengaruhi metabolisme,
kekebalan dan respon organ, serta dapat mengantarkan penyakit. Selanjutnya
Eliaz (dalam Deppe, 2013) menambahkan bahwa pemikiran yang pesimis
dan stres memainkan peran aktif dalam perkembangan berbagai kanker.
Penelitian mengenai kualitas hidup bukanlah hal yang baru dalam
perkembangan ilmu pengetahuan saat ini. Cukup banyak penelitian yang
menggambarkan kualitas hidup pada perkembangan lansia maupun pada
individu yang mengalami sakit fisik atau psikologis. Saat ini, penelitian yang
menghubungkan antara happiness dengan kualitas hidup juga mulai
secara umum. Penelitian Suh (2014) mengenai hubungan antara kualitas
hidup dan happiness pada perkembangan kehidupan di Korea Selatan dan
didapatkan hasil bahwa happiness sangat erat kaitannya dengan
perkembangan ekonomi yang pada akhirnya perkembangan ekonomi tersebut
dapat meningkatkan kualitas hidup.
Berangkat dari pemaparan di atas peneliti tertarik untuk mengetahui
bagaimana hubungan antara happiness dengan kualitas hidup pasien kanker.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya,
maka rumusan masalah penelitian ini adalah apakah terdapat hubungan antara
happiness dengan kualitas hidup pada pasien kanker?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan
antara happiness dengan kualitas hidup pada pasien kanker.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat:
a. Memberi informasi untuk pengembangan ilmu Psikologi, khususnya di
bidang Psikologi Klinis, terutama happiness dan kualitas hidup pada
pasien kanker.
b. Memberikan masukan yang bermanfaat untuk penelitian-penelitian
yang berhubungan dengan happiness dan kualitas hidup pada pasien
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat:
a. Pada pasien kanker
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan informasi bagi pasien
kanker bahwa kebahagiaan (happiness) sangat erat hubungannya
dengan kesehatan fisik dan psikologis pasien, dimana kesehatan fisik
dan psikologis merupakan aspek penting yang dapat meningkatkan
kualitas hidupnya.
b. Pada penelitian selanjutnya
Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan data empirik
dari happiness dan kualitas hidup pada pasien kanker sehingga
penelitian ini diharapkan untuk dapat dijadikan acuan untuk penelitian
selanjutnya.
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan proposal penelitian ini adalah:
Bab I : Pendahuluan
Bab ini menguraikan tentang latar belakang masalah, perumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika
penulisan.
Bab II : Landasan Teori
Bab ini menguraikan tentang tinjauan teoritis yang menjadi acuan
dalam pembahasan permasalahan. Memuat landasan teori tentang
Bab III : Metode Penelitian
Dalam bab ini dijelaskan tentang identifikasi variabel penelitian,
definisi operasional, populasi dan metode pengambilan sampel,
jumlah sampel, metode pengumpulan data, uji validitas dan uji daya
beda aitem, uji reliabilitas alat ukur, prosedur pelaksanaan penelitian,
dan metode analisa data penelitian.
Bab IV : Hasil Penelitian dan Pembahasan
Pada bab ini akan diuraikan tentang gambaran umum dan karakteristik
dari subjek penelitian serta cara analisa data dilakukan dengan
menggunakan analisa statistik dengan bantuan program SPSS. Selain
itu, pada bab ini juga akan dibahas mengenai interpretasi data
hasil penelitian beserta pembahasan.
Bab V : Kesimpulan dan Saran
Bab ini kesimpulan dari hasil penelitian yang disusun berdasarkan
analisa dan interpretasi data serta dilengkapi dengan saran-saran bagi
perusahaan dan bagi peneliti lain berdasarkan hasil penelitian yang