• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Yuridis Terjadinya Kepemilikan Atas Apartemen Oleh Orang Asing di Indonesia dan di Australia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tinjauan Yuridis Terjadinya Kepemilikan Atas Apartemen Oleh Orang Asing di Indonesia dan di Australia"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan nasional di Indonesia bertujuan untuk menciptakan

masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang Undang

Dasar 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945). Hal ini berarti setiap keputusan,

ketetapan, penetapan, peraturan, dan sebagainya yang dilakukan oleh

pemerintah Indonesia, ditujukan untuk perwujudkan masyarakat yang adil dan

makmur, tidak hanyadalam sandang, pangan dan papan saja tetapi justru harus

diartikan sebagai cara bersama untuk memutuskan masa depan yang

dicita-citakan dan juga turut bersama mewujudkannya masa depan tersebut1

Lebih jauh lagi pada Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 tersebut

menyebutkan bahwa: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,

bertempat tinggal, dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat serta

berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”, begitu juga dengan Pasal 33 UUD . Hal

tersebut sesuai dengan Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (

selanjutnya disebut NKRI) yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea

keempat yaitu “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah

Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh

tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,

mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia

yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial …”.

(2)

1945.2

Maka dari itu, adanya pembangunan perumahan dan pemukiman

(papan) merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi,

bukan saja sebagai sarana kebutuhan hidup tetapi lebih dari itu, yaitu

merupakan proses bermukim manusia dalam menciptakan tatanan hidup untuk

masyarakat dan dirinya dalam menempatkan jati dirinya.3Untuk merealisasi

kebutuhan tersebut, dalam Peraturan Presiden (selanjutnya disebut Perpres)

No.7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah

(selanjutnya disebut RPJM) 2004-2009, salah satu agenda krusialnya adalah

upaya percepatan pembangunan infrastruktur, dimana salah satu problemanya

adalah pembangunan perumahan dan pemukiman guna memenuhi kebutuhan

masyarakat akan papan yang layak dalam lingkungan sehat. Perpres No.7

Tahun 2005 tersebut berisikan upaya untuk membangun 60 ribu unit Rumah

Susun Sederhana Sewa (selanjutnya disebut Rusunawa) dan juga 25 ribu unit

Rumah Susun Milik (selanjutnya disebut Rusunami) bagi kebutuhan

masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah dengan tingkat penghasilan di

bawah Rp. 4,5 juta per bulan, upaya ini melibatkan sektor swasta untuk

mewujudkannya (Public Private Partnership)4

Pembangunan Rusunawa dan Rusunami selanjutnya didorong dengan

dikeluarkannya Keputuran Presiden (selanjutnya disebut Keppres) No.22

Tahun 2006 tentang Tim Koordinasi Percepatan Pembangunan Rumah Susun

di Kawasan Perkotaan khususnya pembangunan Rusunawa dan Rusunami .

2Lihat alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945, Pancasila, sila ke-5, dan Pasal 33 UUD 1945 3Lihat penjelasan UU No.4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman

(3)

sebanyak 1000 Tower Apartemen Murah Pro Rakyat (Pro Populis) sampai

dengan tahun 2011 dengan mendapatkan bantuan subsidi dan insentif dari

Pemerintah/Pemda yang diprioritaskan di kawasan perkotaan dengan jumlah

penduduk di atas 1,5 juta jiwa.5Kesan tergesa-gesa daripada dikeluarkannya

Keppres No.22 Tahun 2006 ini bukan tidak mendasar, populasi di perkotaan

tiap tahunnya meningkat akibat adanya kecenderungan urbanisasi oleh

masyarakat desa, dalam Perpres No.7 Tahun 2005 telah disebutkan bahwa

jumlah rumah tangga yang belum memiliki rumah tinggal meningkat

sebanyak 4.338.864 di tahun 2000, angka tersebut hanya akan bertambah

setiap tahunnya. Menurut A.P Parlindungan, pembangunan Rumah Susun,

terutama di wilayah perkotaan, merupakan suatu kemutlakan sebagai akibat

terbatasnya tanah untuk perumahan tersebut dan permintaan akan papan

semakin tinggi6. Rusunawa dan Rusunami juga digunakan sebagai daerah

relokasi bagi masyarakat miskin yang tinggal di daerah kumuh, seperti di

Jakarta, Pemprov DKI merelokasi masyarakat yang tinggal di bantaran sungai

yang kerap dibandang banjir ke Rusunawa, salah satunya yaitu masyarakat

bantaran sungai Kampung Pulo direlokasi ke Rusunawa Kampung Pulo. 7

Selain daripada Rusunawa dan Rusunami yang berunsur pemenuhan

kebutuhan pokok, adapula pembangunan Rumah Susun Mewah/Apartemen

Mewah yang menggunakan mekanisme pasar bebas tanpa subsidi dari

Pemerintah, Apartemen Mewah ini diperuntukkan untuk masyarakat menegah

ke atas yang berpenghasilan di atas Rp. 4,5 juta per bulan. Apartemen

5M.Rizal Alif, Op.Cit., 14

6A.P. Parlindungan. Komentar Atas Undang-undang Perumahan dan Pemukiman dan Undang-undang Rumah Susun, Mandar Maju, 2001, Bandung, hlm.91.

7Robertus Belarminus, “Relokasi Ciliwungm 930 KK di Kampung Pulo Bakal Direlokasi”,

(4)

Mewah/Condominium ini diberi kepastian hukumnya juga dalam Peraturan

Pemerintah (selanjutnya disebut PP) No.4 Tahun 1998 tentang Rumah Susun.

Adanya kepastian hukum daripada kepemilikan hak atas tanah Satuan Rumah

Susun (selanjutnya disebut Sarusun) inilah yang membuka jalan bagi investor,

baik dari dalam negeri maupun luar negeri, untuk memiliki apartemen di

Indonesia.

Dalam era globalisasi sekarang, sudah banyak orang asing dan badan

hukum asing yang merambah ke negara-negara tetangga untuk meningkatkan

kegiatan usahanya. Indonesia, sebagai salah satu negara di Asia yang kaya

akan sumber daya manusia dan sumber daya alamnya, tentu saja menjadi

sorotan pasar penanaman modal untuk para pengusaha asing tersebut. Begitu

juga sebaliknya, para pengusaha Indonesia juga kerap mencari cara-cara baru

untuk meningkatkan taraf kehidupan mereka. Salah satu bentuk penanaman

modal yang dapat dilakukan oleh para pengusaha tersebut adalah investasi

dalam bidang industri, pariswisata, serta real estate. Apabila membicarakan

real estate atau property, maka kita akan membicarakan tentang tanah. Lebih

tepatnya lagi, yaitu mengenai investasi tanah dalam bentuk kepemilikan tanah

tersebut oleh orang asing dan juga sebaliknya oleh warga negara Indonesia di

negara asing.

Bagi Indonesia yang dulunya adalah negara jajahan, tanah adalah

sesuatu topik yang sensitif. Beratus-ratus tahun hak warga negara Indonesia

dirampas, maka dari itu pada saat akhirnya Indonesia merdeka, salah satu

agenda utamanya adalah memberi kepastian hukum kepemilikan tanah

(5)

mengikuti Hukum Adat yang dinilai sudah tidak dapat memadai untuk

dipakai. Untuk itu, disusunlah Hukum Tanah Nasional dalam bentuk

Undang-Undang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960 (selanjutnya disebut UUPA).

Mengenai kepemilikan tanah oleh rakyat sendiri tersebut dituangkan

dalam Pasal 9 UUPA yang isinya yaitu:

(1) Hanya warga negara Indonesia dapat mempunyai hubungan yang

sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa, dalam batas-batas

ketentuan pasal 1 dan 2

(2) Tiap-tiap warga negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita

mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas

tanah serta untuk mendapat manfaat dari hasilnya, baik bagi diri sendiri

maupun keluarganya

Selanjutnya pada Pasal 21 dituliskan:

(1) Hanya warga-negara Indonesia dapat mempunyai hak milik.

(2) Oleh Pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat

mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya.

(3) Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-undang ini memperoleh

hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta

karena perkawinan, demikian pula warga-negara Indonesia yang

mempunyai hak milik dan setelah berlakunya Undang-undang ini

kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu didalam

jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau

(6)

lampau hak milik itu dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena

hukum dan tanahnya jatuh pada Negara, dengan ketentuan bahwa

hak-hak pihak-hak lain yang membebaninya tetap berlangsung.

(4) Selama seseorang di samping kewarganegaraan Indonesianya

mempunyai kewarganegaraan asing maka ia tidak dapat mempunyai

tanah dengan hak milik dan baginya berlaku ketentuan dalam ayat (3)

pasal ini.

Pada pasal-pasal tersebut telah jelas tertulis bahwa asas nasionalitas

berlaku untuk tanah Indonesia, yang adalah salah satu bentuk dari bumi, air dan

ruang angkasa (BAR) pada Pasal 33 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia

1945 (selanjutnya disebut UUDRI 1945), jadi warga negara asing tidak berhak

untuk mempunya hak milik atas tanah di Indonesia. Akan tetapi, ketentuan

tersebut tidak melar ang warga negara asing untuk membeli tanah di Indonesia.

Hal ini juga tercemin dalam Perpres No.36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang

Usaha Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang

Penanaman Modal yang intinya menyatakan bahwa warga negara asing dan/atau

badan hukum asing dapat mendirikan suatu badan hukum Indonesia yang

sepenuhnya dimiliki oleh warga negara asing atau badan hukum asing, yang

memiliki bisnis utama dalam pengembangan property.

Penerbitan Undang-Undang(selanjutnya disebut UU) No.1 Tahun 2011

tentang Perumahan dan Kawasan Perumahan serta UU No.20 Tahun 2011 tentang

Rumah Susun yang memberi penjelasan mengenai “asas kenasionalan” adalah

memberikan landasan agar hak kepemilikan tanah hanya berlaku untuk warga

(7)

hanya dimungkinkan dengan cara Hak Sewa atau Hak Pakai atas rumah. Hal ini

disokong dengan diundang-undangkan PPNo. 41 Tahun 1996 yang baru-baru ini

digantikan dengan PP No.103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat

Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan Di Indonesia.

Mengenai kepemilikan tanah oleh orang asing ini sudah sangat lama

menjadi bahan perbincangan di forum Internasional, bahkan negara-negara

tetangga seperti Malaysia, Singapura, serta Australia telah lama menawarkan

kemudahan bagi warga negara asing untuk berinvestasi properti di negara mereka.

Pemerintah negara-negara tersebut juga telah merumuskan sejumlah peraturan

untuk memberi kepastian hukum terhadap warga negara asing yang berinvestasi

tersebut. Di dalam penjelasan umum UU No.1 tahun 2011 juga telah ditegaskan

bahwa Kebijakan umum pembangunan perumahan diarahkan untuk:

1) Memenuhi kebutuhan perumahan yang layak dan terjangkau dalam

lingkungan yang sehat dan aman yang didukung prasarana, sarana dan

utilitas umum secara berkelanjutan serta yang mampu mencerminkan

kehidupan masyarakat yang berkepribadian Indonesia;

2) Ketersediaan dana murah jangka panjang yang berkelanjutan untuk

pemenuhan kebutuhan rumah, perumahan, pemukiman, serta lingkungan

hunian perkotaan dan perdesaan;

3) Mewujudkan perumahan yang serasi dan seimbang sesuai dengan tata

ruang serta tata guna tanah yang berdaya guna dan berhasil guna;

4) Memberikan hak pakai dengan tidak mengorbankan kedaulatan negara;

(8)

5) Mendorong iklim investasi asing.

Tentu saja apabila dibandingkan dengan PP No.103 Tahun 2015 di

Indonesia, peraturan dari negara tetangga, seperti Australia, mempunyai beberapa

perbedaan. Perbedaan-perbedaan tersebut perlu dicermati karena setiap negara

mempunyai sistem hukum dan asas hukum yang berbeda. Apalagi mengingat

bahwa Australia memiliki 3 (tiga) tingkat pemerintahan, yaitu:

1. Commonwealth

2. State-Territories

3. Local

The Commonwealth Australia memiliki beberapa Negara Bagian yaitu:

1. New South Wales

2. South Australia

3. Victoria

4. Western Australia

5. Tasmania

6. Queensland

7. Northern Territory

8. Australian Capital Territory

Setiap State tersebut memiliki asas hukum pertanahan yang berbeda.

Sistem hukum yang dianut oleh Indonesia dan Australia juga berbeda, dimana

(9)

Common Law. Perbedaan ini lebih jauh lagi menyebabkan adanya perbedaan

Hukum Tanah yang dianut kedua negara tersebut, termasuk juga dalam

pengaturan pemilikan apartemen, syarat, prosedur tertentu atas pemilikan properti

tersebut untuk Orang Asing.

Berdasarkan hal tersebut, penulis bermaksud memberikan pemahaman

tentang “Tinjauan Yuridis Terjadinya Kepemilikan Atas Apartemen Bagi Orang

Asing Di Indonesia Dan Di Australia”. Tema tersebut sengaja penulis angkat

untuk dapat memberikan informasi yang akurat pada masyarakat yang ingin

mengetahui aspek hukum kepemilikan apartemen bagi Orang Asing di Indonesia

dan di Australia.

B. Per masalahan

Fokus penelitian dari skripsi ini adalah menyangkut Terjadinya

Kepemilikan Apartemen Bagi Warga Negara Asing Di Indonesia Dan Di

Australia dengan meninjau secara yuridis peraturan-peraturan yang mengatur

mengenai hal tersebut.

Berkaitan dengan hal tersebut maka permasalahan yang akan dikaji dalam

penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana bentuk kepemilikan properti bagi Orang Asing di Indonesia

dan di Australia?

2. Bagaimana terjadinya kepemilikan apartemen bagi Orang Asing di

Indonesia dan di Australia?

3. Bagaimana dinamika perubahan pengaturan menyangkut kepemilikan

(10)

C. Tujuan Penulisan

Dalam rangka penyusunan dan penulisan skripsi ini, ada beberapa tujuan

yang hendak dicapai. Tujuan yang hendak dicapai tersebut yaitu sebagai berikut:

1. Untuk mendeskripsikan bagaimana bentuk kepemilikan hak atas tanah

oleh Orang Asing di Indonesia dan di Australia sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang mengaturnya.

2. Untuk mendeskripsikan bagaimana terjadi kepemilikan apartemen oleh

Orang Asing di Indonesia dan di Australia sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang mengaturnya.

3. Untuk mengetahui bagaimana dinamika perubahan pengaturan

kepemilikan properti bagi Orang Asing di Indonesia dan di Australia.

D. Manfaat Penulisan

Adapun yang menjadi manfaat dalam pembahasan skripsi ini antara lain

yaitu:

1. Secara Teoritis

Skripsi ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi ilmu pengetahuan,

memberikan sumbangan pemikiran, serta memberikan tambahan dokumentasi

karya tulis, literatur, dan bahan-bahan informasi ilmiah lainnya.

Secara khusus juga diharapkan skripsi ini dapat memberikan pengetahuan

tentang terjadinya Kepemilikan Apartemen bagi Orang Asing di Indonesia dan

di Australia.

(11)

Penulisan skripsi ini juga sebagai salah satu bentuk latihan dalam

menyusun suatu karya ilmiah meskipun masih sederhana. Pelaksanaan hasil

penelitian yang dilakukan juga dapat memberikan tambahan pengetahuan di

dalam bidang terjadinya Kepemilikan Apartemen bagi Orang Asing di

Indonesia dan di Australia.

Skripsi ini juga ditujukan kepada kalangan praktisi dan penegak hukum

serta masyarakat untuk lebih mengetahui dan memahami bagaimana cara

untuk memiliki Apartemen bagi Orang Asing di Indonesia dan di Australia.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Tanah menurut Hukum Tanah Indonesia dan Australia

Seperti yang telah dijelaskan dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA,

yang dimaksud dengan “tanah” adalah juga “permukaan bumi”, akan

tetapi pada ayat (2) diperluas hingga meliputi juga hak atas tubuh bumi

di bawah dan ruang udara di atasnya dalam batas-batas keperluan yang

wajar8

Dalam Hukum Tanah di Negara Bagian New South Wales Dengan demikian maka yang dipunyai dengan hak atas tanah itu

adalah tanahnya, dalam arti sebagian tertentu dari permukaan bumi.

Sedangkan terhadap hak atas tubuh bumi dan air serta ruang yang

dimaksudkan itu bukan kepunyaan pemegang hak atas tanah yang

bersangkutan, ia hanya diperbolehkan mempergunakannya dengan

batas-batas tertentu.

(12)

Australia, pengertian tanah (land) menurut Conveyancing Act 1919 No.

6: “ Land includes tenements and hereditaments, corporeal and

incorporeal, and every estate and interest therein whether vested or

contingent, freehold or leasehold, and whether at law or in equity.” .

Mengingat bahwa Australia menganut sistem pertanahan berbasis

feodal, maka Crown (raja) memiliki influensi yang sangat besar dalam

pengaturan tanah tersebut.

Mengenai hak atas tubuh bumi dan air serta ruang, Woodman

menyatakan bahwa semua minyak bumi dan helium adalah milik

Crown, yang penguasaannya ada pada Negara Bagian. Emas dan perak

juga milik Crown, selama belum secara tegas diberikan dengan grant

kepada pihgak lain. Pemilikan mineral dan bahan galian lainnya

tergantung pada apa yang ditentukan dalam grant pemberian hak atas

tanah yang bersangkutan. Jika tidak secara tegas dinyatakan, tetap

menjadi milik Crown, mineral dan bahan galian lainnya yang ada dalam

tubuh bumi di bawah tanah yang diberikan itu adalah milik pemegang

haknya.9

Pada prakteknya sekarang kepemilikan tanah seseorang tersebut

terbatas pada penggunaan biasa selama tidak melanggar batas-batas

tertentu. Contohnya di Australia, mengenai ruang di atas bumi diatur

dengan Air Navigation Acts, akan tetapi pemilik tanah masih berhak

untuk membangun bangunan tinggi di atas tanah tersebut. Ketentuan

yang sama juga berlaku di Indonesia.

(13)

Dengan melihat pengertian tanah secara yuridis serta contoh

dari Indonesia dan Australia di atas, terlihat bahwa mengenai “tanah”

tersebut dapat diperluas hingga meliputi juga hak atas tubuh bumi di

bawah dan ruang udara di atasnya. Sistem kepemilikan tanah di

Australia hampir mirip dengan Indonesia dalam hal ini, akan tetapi

mengingat berbedanya ketentuan hukum yang dianut, terdapat juga

perbedaan yang tercemin pada kepemilikan kekayaan alam yang

terdapat di dalam tubuh bumi serta ruang udara di atasnya.

2. Asas Kepemilikan Bangunan dan Tanaman

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut

KUHPdt) Pasal 500 dan 571 disebutkan bahwa hak atas tanah dengan

sendirinya, karena hukum, meliputi juga kepemilikan bangunan dan

tanaman yang ada di atas tanah yang dihaki, kecuali kalau ada kesepakatan

lain dengan pihak yang membangun atau menanamannya. Maka dari itu

didapat bahwa bangunan dan tanaman yang ada di atas dan merupakan

satu kesatuan dengan tanah, merupakan “bagian” dari tanah yang

bersangkutan. Hal ini berarti disebut “Azas Accessie” atau “Asas

perlekatan”. Seperti negara-negara Barat lainnya, Australia yang Hukum

Tanahnya bersumber pada English Common Law menggunakan asas ini10

Akan tetapi, Hukum Tanah Indonesia menganut asas Hukum Adat

yang disebut “ Horizontal scheiding” atau “Asas Pemisahan Horizontal”,

maka artinya perbuatan hukum yang dilakukan bisa meliputinya

“tanahnya” saja, atau hanya bangunan dan/atau tanamannya saja, apabila

(14)

perbuatan hukumnya menyangkut tanah serta bangunan dan/atau

tanamannya, maka wajib secara tegas dinyatakan11

1) Bangunan dan tanaman tersebut secara fisik merupakan suatu kesatuan

dengan tanah yang bersangkutan, artinya bangunan yang berfondasi dan

tanaman merupakan tanaman keras;

. Tetapi biar pun

demikian, dalam praktik dimungkinkan suatu perbuatan hukum mengenai

tanah meliputi juga bangunan dan tanaman yang ada di atasnya, asal:

2) Bangunan dan tanaman tersebut milik yang empunya tanah; dan

3) Maksud demikian secara tegas disebutkan dalam akta yang

membuktikan dilakukannya perbuatan hukum yang bersangkutan. 12

Dengan adanya kemungkinan tersebut tidak berarti Hukum Tanah

Nasional meninggalkan asas Pemisahan Horizontal dan menggantinya

dengan asas Accessie (Perlekatan). Bangunan dan tanaman tersebut tetap

terpisah dari tanah dan untuk ikut dialihkan haknya harus secara tegas

dinyatakan dalam Akta Jual Beli atau Akta Pemberian Hak Tanggungan.

Berdasarkan UUPA, kepemilikan tanah di Indonesia pada prinsipnya

menganut Azas Pemisahan Horizontal. Artinya bahwa tanah yang dapat

dikuasai dan dimiliki hanyalah sebatas pada permukaan bumi saja beserta

ruang yang ada di atasnya setinggi sewajarnya dalam rangka penggunaan

tanah tersebut. Sedangkan benda-benda lain yang ada di atas tanah, dan

segala kandungan mineral dan lain-lain yang ada di bawahnya, tunduk pada

ketentuan hukum yang lain (tidak menyatu dengan tanah).

11Ibid

(15)

3. Hak atas tanah di Indonesia

Menurut Boedi Harsono, Hukum Adat dijadikan sumber utama dan

merupakan hukum aspiratif, dalam arti jika sesuatu hal belum diatur dalam

peraturan maka yang berlaku hukum adat, sepanjang tidak bertentangan

dengan jiwa dan ketentuan UUPA. Hukum Tanah Adat merupakan hukum

asli, mempunyai sifat yang khas, dimana hak-hak perorangan atas tanah

merupakan hak pribadi akan tetapi didalamnya mengandung unsur

kebersamaan, yang dalam istilah modern disebut “fungsi sosial”, seperti

yang dijelaskan dalam Pasal 6 UUPA.

UUPA mengatur macam-macam hak atas tanah pada Pasal 4 ayat 1

dan 2, 16 ayat 1, dan 53. Bunyi Pasal 4 ayat 1 dan 2 adalah sebagai berikut:

(1) Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam

pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi,

yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh

orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang

lain serta badan-badan hukum. 


(2) Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi

wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian

pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya, sekedar

diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan

penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut Undang-undang ini

dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi. 


Sedangkan hak-hak yang dimaksud dalam Pasal 4 du atas

(16)

(1) Hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam pasal 4 ayat 1 ialah:

a. hak milik, 


b. hak guna-usaha, 


c. hak guna-bangunan, 


d. hak pakai, 


e. hak sewa, 


f. hak membuka tanah,

g. 
hak memungut-hasil hutan, 


h. hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut 
diatas

yang akan ditetapkan dengan Undang-undang serta hak- hak yang

sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam pasal 53.

Dan isi Pasal 53, yaitu:

(1) Hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang dimaksud dalam pasal 16

ayat (1) huruf h, ialah hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang

dan hak sewa tanah pertanian diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang

bertentangan dengan Undang-undang ini dan hak- hak tersebut diusahakan

hapusnya didalam waktu yang singkat.

(2) Ketentuan dalam pasal 52 ayat (2) dan (3) berlaku terhadap

peraturan-peraturan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini.

Dikarenakan pada hakikatnya penggunaan tanah hanya untuk 2 tujuan

utama yaitu untuk diusahakan dan/atau untuk membangun sesuatu, karena semua

hak atas tanah itu hak untuk memakai tanah, maka semuanya dapat dicakup dalam

pengertian dan dengan nama sebutan Hak Pakai. Keperluan yang

(17)

Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai. 13

1) Hak Pakai dengan sebutan nama Hak Milik

Dalam Pasal 20 UUPA dinyatakan bahwa Hak Milik adalah hak atas tanah

yang “terkuat dan terpenuh”, di dalam penjelasan pasal tersebut dijelaskan bahwa

maksud ter- tersebut adalah bahwa tidak adanya batas waktu penguasaan tanah

serta luas lingkup penggunaannya, yang meliputi baik untuk diusahakan ataupun

digunakan sebagai tempat membangun sesuatu. Hal ini berarti Hak Milik

memberikan kewenangan kepada pemilik tanah untuk memakai, menggunakan,

menikmati tanah tersebut selama fungsi sosial tidak terlanggar.

Hak milik (property rights) merupakan suatu hak yang mempunyai

hubungan kepemilikan yang tertinggi tingkatannya dibandingkan dengan hak-hak

kepemilikan lainnya. Hubungan tanah dengan pemiliknya menimbulkan hak dan

kewajiban serta wewenang atas tanah yang dihaki, secara luas dikatakan oleh Lisa

Whitehouse “Property is basic to the social walfare, people seek it, nations war it,

and no one can do without it”.14 Hak milik atas tanah melekat pada pemiliknya

selama mereka tidak melepaskan haknya (peralihan hak).15

Hak milik merupakan hak asasi manusia yang harus dihormati dan

keharusan bagi negara untuk melindungi, memelihara dan menjaga hak

kepemilikan warga negaranya. Ajaran maupun Teori Hak Kepemilikan ini yang

selanjutnya masuk dalam Konstitusi yang merupakan hak asasi manusia yang

mendapatkan perlindungan hukum, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 28

H dan 28 G UUDRI 1945. Implementasi dari jaminan perlindungan hukum

13Boedi Harsono, Op.Cit. hlm 285-286

14Jesse Dukemenier, Property, Gilbert Law Summaries, 1991-1992, h. i.

(18)

terhadap hak kepemilikan yang berkaitan dengan tanah oleh Negara selanjutnya

dijabarkan kedalam UUPA. 16

Berdasarkan prinsip nasionalitas Hukum Tanah Indonesia, Hak Milik

hanya dapat dimiliki oleh Warga Negara Indonesia dan badan hukum tertentu

sesuai PP No. 38 Tahun 1963, berdasarkan penetapan Pemerintah seperti yang

tertera pada Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional

(selanjutnya disebut Permen Agraria/Kepala BPN) No.3 Tahun 1999 ataupun

karena ketentuan UU, dalam hal ini melalui konversi hak adat. Hak Milik ini juga

dapat diwariskan/diturunkan kepada orang lain namun harus didaftarkan,

termasuk juga peralihan, pembebanan dan hapusnya hak tersebut. Peralihan Hak

Milik dapat karena jual-beli, hibah, ataupun perbuatan lainnya yang dimasudkan

untuk memindahkan Hak Milik, sedangkan hapusnya Hak Milik dapat disebabkan

oleh pencabutan hak, penyerahan dengan sukarela oleh pemilik, ditelantarkan,

tanahnya jatuh ke tangan orang asing dan tanahnya musnah 17

2) Hak Pakai dengan sebutan nama Hak Guna Usaha dan Hak Guna

Bangunan

.

Berbeda dengan Hak Milik yang memberi pemegang hak tersebut suatu

“kebebasan” atas tanah tersebut, sesuai namanya, Hak Guna Usaha diberikan

dengan maksud tanah diusahakan, sedangkan Hak Guna Bangunan untuk

membangun sesuatu di atasnya. Baik Hak Guna Usaha maupun Hak Guna

Bangunan memiliki jangka waktu dan ketentuan yang harus dipenuhi sesuai

dengan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya.

16Listyowati Sumanto, “Aspek Yuridis Kepemilikan Hak Atas Tanah di Australia”, Kearsipan Ilmu Hukum Universitas Trisakti, Jakarta, hlm.9

(19)

Mengenai Hak Guna Usaha diatur pada Pasal 2 – 18 pada PP No.40 tahun

1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah,

yang isinya dipersingkat menjadi:

(1) Subjek Hak Guna Usaha adalah Warga Negara Indonesia dan

badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia; apabila

tidak memenuhi syarat ini maka wajib dilepaskan ataupun

dialihkan ke pihak lain yang memenuhi dalam satu tahun atau

tanahnya menjadi tanah Negara.

(2) Tanah yang diberikan dengan Hak Guna Usaha adalah tanah

Negara, dengan jangka waktu tertentu, luas tertentu untuk maksud

terntu, dengan dikeluarkan keputusan pemberian hak oleh Menteri

sesuai dengan tata cara dan permohonan pemberian Hak Guna

Usaha sesuai Keppres.

(3) Dalam Permen Agraria/Kepala BPN No.3 tahun 1999 diatur

pemberian kewenangan penerbitan surat keputusan pemberian Hak

Guna Usaha kepada Kakanwil BPN Propinsi untuk tanah seluas

kurang dari 200 Ha, selebihnya menjadi kewenangan Kepala

BPNRI.

(4) Batasan luas tanah Hak Guna Usaha adalah 5 Ha sampai dengan 25

Ha untuk perseorangan, sedangkan untuk badan hukum luas

minimalnya adalah 25 Ha dengan luas maksimal tidak ditentukan

secara konkrit.

(20)

perpanjangan 25 tahun. Pada tanah yang sama, dapat dilakukan

pembaharuan Hak Guna Usaha dengan syarat-syarat tertentu.

(6) Apabila Hak Guna Usaha digunakan untuk investasi atau

penanaman modal, permohonan Hak Guna Usaha harus disertakan

dengan izin prinsip dan izin lokasi dari Pemerintah Kab/Kota

setempat, serta bonafiditas perusahaan melalui referensi bank yang

ditunjuk dan proyek proposal yang mendapat persetujuan dari

instansi yang berwenang.

(7) Hak Guna Usaha harus didaftarkan, termasuk juga peralihan,

pembebanan dan hapusnya hak tersebut.

(8) Hak Guna Usaha dapat dijadikan jaminan utang dengan Hak

Tanggungan. Hak Tanggungan tersebut dapat beralih dan

dialihkan, dan terhapus apabila Hak Guna Usaha terhapus juga.

(9) Terhapusnya Hak Guna Usaha disebabkan oleh jangka waktu

berlaku haknya berakhir, dibatalkan oleh pejabat yang berwenang,

melanggar syarat pemberian hak, dilepaskan secara sukarela oleh

pemegangnya, dicabut untuk kepentingan umum, ditelantarkan,

tanahnya jatuh ke orang asing dan tanahnya musnah. Hapusnya hak

tersebut menyebabkan tanah kembali menjadi tanah Negara.

Selanjutnya pada Pasal 19-38 PP No.40 tahun 1996 tersebut mengatur

tentang Hak Guna Bangunan, yang isinya yaitu:

(1) Subjek Hak Guna Bangunan adalah Warga Negara Indonesia dan

(21)

tidak memenuhi syarat ini maka wajib dilepaskan ataupun

dialihkan ke pihak lain yang memenuhi dalam satu tahun, apabila

tidak maka hak tersebut hapus karena hukum.

(2) Tanah yang diberikan dengan Hak Guna Bangunan adalah tanah

Negara, tanah Hak Pengelolaan dan tanah Hak Milik dengan

jangka waktu tertentu, luas tertentu berdasarkan penetapan

pemerintah ataupun perjanjian dengan pemegang hak atas tanah

yang lain, misalnya Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik atau

Hak Guna Bangunan di atas Hak Pengelolaan.

(3) Luas tanah yang diberikan tidak diatur secara tegas dalam PP ini,

akan tetapi dalam peraturan kewenangan penerbitan Hak Guna

Bangunan dikatakan batasan luas tanahnya sama dengan yang

berlaku untuk tanah Hal Milik, khususnya tanah non-pertanian,

dimana yang berwenang menerbitkan yaitu Kepala Kantor

Pertanahan untuk tanah seluas sampai dengan 2000 m2, Kakanwil

BPN Propinsi untuk tanah seluas 2000 m2 sampai dengan 150.000

m2 dan Kepala BPN RI untuk tanah seluas lebih dari 150.000 m2.

(4) Jangka waktu maksimal Hak Guna Bangunan adalah 30 tahun,

dengan perpanjangan 20 tahun. Pada tanah yang sama, dapat

dilakukan pembaharuan Hak Guna Bangunan dengan syarat-syarat

tertentu.

(5) Hak Guna Bangunan harus didaftarkan, termasuk juga peralihan,

(22)

(6) Hak Guna Bangunan dapat dijadikan jaminan utang dengan Hak

Tanggungan. Hak Tanggungan tersebut dapat beralih dan

dialihkan, dan terhapus apabila Hak Guna Bangunan terhapus juga.

(7) Terhapusnya Hak Guna Bangunan sama dengan Hak Guna Usaha,

yaitu disebabkan oleh jangka waktu berlaku haknya berakhir,

dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, melanggar syarat

pemberian hak, dilepaskan secara sukarela oleh pemegangnya,

dicabut untuk kepentingan umum, ditelantarkan, tanahnya jatuh ke

orang asing dan tanahnya musnah. Hapusnya Hak Guna Bangunan

pada suatu tanah mengembalikan status tanah ke semula.

3) Hak Pakai dengan sebutan Hak Pakai

Hak Pakai diberi kekhususan sifat ataupun peruntukan penggunaan bidang

tanahnya. Ataupun atas pertimbangan dari sudut penggunaan tanahnya dan/atau

penggunaannya tidak dapat diberikan dengan Hak Milik, Hak Guna Usaha,

ataupun Hak Guna Bangunan. Hak-hak ini diberi nama sebutan Hak Pakai.18

(1) Subjek Hak Pakai tergantung pada jenis haknya, yaitu Hak Pakai

Privat dengan subjeknya adalah perseorangan Warga Negara

Indonesia, orang asing yang berkedudukan di Indonesia, badan

hukum Indonesia dan juga badan hukum asing yang mempunyai

perwakilan di Indonesia; Hak Pakai Publik adalah Lembaga

Pemerintah/Daerah, perwakilan Negara asing dan perwakilan Pada

Pasal 39-58 PP No.40 tahun 1996 tersebut mengatur tentang Hak Pakai, yang

isinya yaitu:

(23)

badan Internasional, badan hukum sosial dan juga keagamaan.

(2) Jangka waktu Hak Pakai juga terbagi, dimana Hak Pakai Privat

berjangka maksimal 25 tahun, dengan perpanjangan 20 tahun. Pada

tanah yang sama, dapat dilakukan pembaharuan Hak Pakai dengan

syarat-syarat tertentu; Jangka waktu Hak Pakai Publik tidak

ditentukan selama digunakan untuk keperluan pelaksanaan

tugasnya.

(3) Hak Pakai harus didaftarkan, termasuk juga peralihan, pembebanan

dan hapusnya hak tersebut. Hak Pakai Publik tidak dapat dialihkan

ataupun dibebani.

(4) Hak Pakai Privat dapat dijadikan jaminan utang dengan Hak

Tanggungan. Hak Tanggungan tersebut dapat beralih dan

dialihkan, dan terhapus apabila Hak Pakai terhapus juga.

(5) Terhapusnya Hak Pakai sama dengan Hak Guna Usaha dan Hak

Guna Bangunan, yaitu disebabkan oleh jangka waktu berlaku

haknya berakhir, dibatalkan oleh pejabat yang berwenang,

melanggar syarat pemberian hak, dilepaskan secara sukarela oleh

pemegangnya, dicabut untuk kepentingan umum, ditelantarkan,

tanahnya jatuh ke orang asing dan tanahnya musnah. Hapusnya

Hak Pakai pada suatu tanah mengembalikan status tanah ke

semula.

Dari ketentuan Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan

(24)

untuk orang asing di Indonesia, hal ini sesuai dengan prinsip nasionalitas Hukum

Tanah Indonesia. Apabila ada pihak asing yang diberikan Hak Milik, Hak Guna

Usaha ataupun Hak Guna Bangunan, tentu saja harus dengan cara bekerja sama

dengan Warga Negara Indonesia untuk dicatat sebagai pemegang haknya.

Pencatatan hak tersebut dilakukan dengan Pendaftaran Tanah yang menggunakan

sistem Torrens.

4. Hak atas Tanah Di Australia

Di Australia juga, sistem hak atas tanah yang awalnya berdasarkan

Common Law Inggris akhirnya pada tahun 1863 diputuskan untuk memulai

perubahan menjadi “ Torrens Title” . Torrens Title adalah sistem kepemilikan

tanah dimana daftar kepemilikan tanah yang dikelola oleh Negara yang menjamin

indefeasible title (hak tidak dapat diganggu gugat) yang termasuk dalam daftar

tersebut. Kepemilikan tanah dialihkan melalui pendaftaran hak dengan

menggunakan deed (akta). Tujuan utama Torrens adalah untuk menyerderhanakan

transaksi tanah dan untuk menjamin kepemilikan sebagai hak mutlak atas

tanahnya.19

19 Wikipedia, the free encyclopedia,http://en.wikipedia.org/wiki/Torrens_title diakses pada tanggal 3 September 2016 pukul 18:05 WIB

Sistem Torrens ini ditujukan untuk mengurangi pemalsuan akta,

apabila hak yang telah didaftar akan dialihkan, diubah, ataupun perbuatan lain

yang menimbulakn perubahan, maka harus dilakukan pendaftaran kembali. Tabel

di bawah ini berisi daftar undang-undang inti dalam setiap yurisdiksi Australia

yang mengatur kepentingan dalam Hukum Tanah berkaitan dengan property dan

(25)

Negara Bagian atau

New South Wales Real Property Act 1900 Conveyancing Act 1919

Victoria Property Law Act 1958 Sale of Land Act 1962

Australian Capital

Queensland Property Law Act 1974 Land Titles Act 1994

Northern Territory Law of Property Act Land Title Act

South Australia Law of Property Act

1936

Real Property Act 1886

Tasmania Conveyancing and Law

of Property Act 1884

Land Titles Act 1980

Western Australia Property Law Act 1969 Transfer of Land Act

1893

Tabel 1. Pembagian Yurisdiksi dan Hukum Tanah di Australia20

Adanya perbedaan yuridis mengenai pengaturan property dan juga hak

pada setiap negara bagian di Australia ini tidak mempengaruhi secara signikan

mengenai property ataupun hak itu sendiri. Hal ini dikarenakan setiap

undang-undang tersebut masih berdasarkan Common Law. Baalman menyatakan: “ In all

States (of Australia) there are statutory definitions of “ land” which lay down the

meaning to be ascribed to the term where it occurs in Acts of Parliament. These

definitions do not materially interfere with the common law meaning except with

regard to its use in Acts dealing with specific subjects. For example, an Act which

regulates mining would naturally introduce substantial qualifications on the

20 Wikipedia, the free encyclopedia

(26)

rights of an owner of land to take minerals from it” 21

Sistem kepemilikan hak atas tanah di Australia juga terbagi menjadi

beberapa tipe, serta dengan jangka waktu yang berbeda pula. Sebelum kita

mengenali tipe-tipe hak atas tanah tersebut, perlu dulu diingat kembali bahwa

berdasarkan sistem Common Law, tanah dan Hukum Tanah Australia

dikembangkan melalui lingkupfeodalisme. Artinya Raja/Crown adalah pemilik

seluruh tanah dan siapapun yang menggunakan ataupun menguasai tanah (dengan

pemberian hibah/grant dari Raja) adalah tenant.Hal inilah yang dinamakan

tenure, yaitu suatu keadaan dimana seseorang tetap hanya bisa menguasai tanah

sebagai tenant, ia tidak dapat memilikinya.

Jadi, selama tidak ada

ketentuan yang mengatur secara khusus mengenai hal tertentu, prinsip tanah dan

kepemilikan tanah di setiap negara bagian di Australia itu adalah sama.

22

Menurut Cromwell

Dewasa ini sistem ini tetap diadopsi

Australia, namun posisi penguasa tanah telah bergeser ke tangan Negara/State.

23

1) Kelompok pertama adalah tenurial yang diakui dan diatur dalam

hukum Negara,

,terkait dengan sistem Tenure, ada juga penggunaan

istilah land ownership yang diartikan sebagai kepemilikan tanah atau kepemilikan

hak atau kepentingan atas tanah. Kepentingan atas tanah/hak dapat diatur dalam

bermacam- macam sistem tenurial, yang secara luas terbagi menjadi dua

kelompok:

2) Kelompok kedua adalah sistem tenurial yang diatur secara lokal

21 John Baalman, Outline of Law in Australia (4thedition by GA Flick), The Law Book Company Australia, 1979, p.95 22Michael Harwood, English Land Law, (London: Sweet & Maxwell Limited, 1975), hal.3.

(27)

dan terkait dengan praktek-praktek tradisional (tenurial secara

adat).

Ini adalah salah satu contoh sederhana dimana hak untuk menguasai,

memanfaatkan, mengelola, mengalihkan kepemilikan tidak selalu berada pada

orang yang sama. Dengan demikian pengertian "bundle of rights" dalam resource

tenure sistem, memunculkan serangkaian hak tertentu dan

pembatasan-pembatasan tertentu atas hak-hak tersebut. Hak dan pembatasan-pembatasan daripada tenure

ini mendasari setiap perbuatan menyangkut tanah yang dilakukan baik oleh

investor luar negeri ataupun masyarakat sendiri dalam hal24

1) Development planning, economic growth and sustainability,

:

2) Social stability through housing and employment,

3) Financial security in economic development and property markets, and

4) Natural resource and environmental management and sustainability.

Pada masa perkembangannya, doktrin tenure mengalami perubahan

menjadi estates, inilah yang dapat dipindah-tangankan, dijadikan jaminan kredit

dengan dibebani mortgage dan juga objek perbuatan hukum lainnya. Estates

itulah yang tampak dan dirasakan keberadaannya dalam praktek sehari-hari,

bukan tenure, walaupun ajarannya masih tetap berlaku. Maka karena dalam teori

masih ada dan berlaku, sedang dalam praktek sehari-hari tidak lagi terasa

keberadaannya, oleh Michael Harwood dikatakan Doktrin Tenure masih ada,

tetapi “ it is like a ghost” . Ada 2 (dua) golongan estates, yang dibedakan menurut

kepastian jangka waktu lamanya penguasaan tanah yang bersangkutan:

(28)

1) Leasehold Estates atau Estates of years,jika lamanya penguasaan tanahnya

pasti sekian tahun,

2) Freehold Estates, jika jangka waktu penguasaan tanahnya tidak ditetapkan

berlangsungnya berapa tahun.

Selain daripada itu, ada pula:

1) Estate in fee simple yang tidak terbatas jangka waktu penguasaan tanahnya

(kenyataannya seperti Hak Milik),

2) Life Estate, yang jangka waktu lamanya penguasaan tanahnya terbatas

selama pemegang estate-nya masih hidup, tetapi akan berlangsung berapa

tahun tentu tidak ketahui. Life Estate diberikan dari pemegang Estate in

Fee Simple. Jika pemegang Life Estate meninggal dunia, tanah yang

besangkutan kembali kepada pemegang Estate in Fee Simple,

3) Leasehold, dengan berbagai macam Lease yang diberikan oleh Negara

atas tanah negara atau oleh pemegang Estate in fee simple. Jangka waktu

Lease-nya bisa sampai 99 tahun, tetapi umumnya 21 tahun. Pemegang

Lease bisa memberikan penguasaan tanahnya kepada pihak lain dengan

“ sub-lease” untuk jangka waktu yang kurang dari jangka waktu Lease

induknya. 25

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

(29)

Dari judul skripsi ini yaitu, “Tinjauan Yuridis Terjadinya

Kepemilikan Atas Apartemen Bagi Orang Asing Di Indonesia Dan Di

Australia” dapat dikatakan bahwa jenis penelitian ini adalah hukum

normatif. Penelitian hukum normatif mengacu kepada norma-norma

hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan

putusan-putusan pengadilan serta norma-norma hukum yang ada dalam

masyarakat. Jenis penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan secara

sitematis, faktual dan akurat terhadap suatu keadaan yang menjadi objek

penelitian dengan mendasarkan penelitian pada ketentuan hukum normatif

dan berdasarkan penelitian empiris. Penulisan ini menggunakan penelitian

hukum normatif dengan cara meneliti dan mengolah bahan pustaka yang

merupakan data sekunder atau disebut juga penelitian kepustakaan.

Penelitian ini bersifat deskriptif, dimana penelitian ini

dimaksudkan untuk mempertegas hipotesa – hipotesa, agar dapat

membantu didalam teori – teori lama atau didalam kerangka menyusun

teori – teori baru.26

26Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, 1984, hal 10

Penelitian deskriptif pada penulisan skripsi ini

mengungkapkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan

teori-teori hukum yang menjadi objek penelitian.Penelitian yang bersifat

deskriptif merupakan metode yang dipakai untuk menggambarkan suatu

kondisi atau keadaan yang sedang terjadi atau berlangsung yang bertujuan

agar dapat memberikan data seteliti mungkin mengenai objek penelitian

sehingga mampu menggali hal-hal yang bersifat ideal, kemudian dianalisis

berdasarkan teori hukum atau peraturan perundang-undangan yang

(30)

Dari kedua inilah skripsi ini membahas mengenai bagaimana

terjadinya kepemilikan atas Apartemen bagi Orang Asing di Indonesia dan

di Australia

2. Data Penelitian

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan

hukum primer, sekunder, dan tersier.27

a.Badan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat,

dan terdiri dari:

1. Norma atau kaidah dasar, yaitu Pembukan Undang-Undang

Dasar 1945

2. Peraturan dasar, yaitu:

− Batang tubuh UUD 1945

− Ketetapan – ketetapan MPR

3. Peraturan Perundang-undangan

− Undang-undang atau Perpu

− Peraturan Pemerintah

− Keputusan Presiden

− Keputusan Menteri

− Peraturan Daerah

4. Bahan hukum yang tidak dikodifikasikan

5. Yurisprudensi

6. Traktat

(31)

7. Bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga kin masih

berlaku, misalnya KUHP dan KUHPerdata.

Bahan primer pada penulisan skripsi ini meliputi, yakni

peraturan perundang- undangan di bidang agraria yang

mengikat, antara lain Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960

tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria, Undang –

Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun ,

Undang – Undang No 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun,

Undang Undang No 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan

Kawasan Permukiman, Undang – Undang No 6 Tahun 2011

tentang Keimigrasian, Undang Undang No 62 Tahun 1958 jo

Undang – Undang No 12 Tahun 2006 tentang

Kewarganegaraan Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah

No. 41 Tahun 1996 tentangPemilikan Rumah dan Tempat

Tinggal oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia,

Peraturan Pemerintah No 103 Tahun 2015 1996 tentang

Pemilikan RumahTempat Tinggal Atau Hunian oleh Orang

Asing yang Berkedudukan di Indonesia, serta peraturan

pelaksana dari yang disebutkan di atas itu.

Adapula bahan hukum primer dari Australia, yaitu

Conveyancing Act 1919 No. 6, Foreign Acquisitions and

Takeover Act 1975Foreign Acquisitions and Takeovers

(32)

Ownership of Agricultural Land Bill 2015, dan Foreign

Acquisitions and Takeovers Fee Imposition Bill 2015.

b.Bahan hukum sekunder yang memberikan penjelasan mengenai

bahan hukum primer, misalnya Rancangan Undang – Undang

(RUU), Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP), hasil penelitian

(hukum), hasil karya (ilmiah) dari kalangan hukum, dsb

c.Bahan hukum tersier, yakni bahan – bahan yang memberi petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan

hukum sekunder, misalnya : kamus – kamus (hukum),

ensiklopedia, indeks kumulatif,dsb. Agar diperoleh informasi

yang terbaru dan berkaitan erat dengan permasalahannya, maka

kepustakaan yang dicari dan dipilih harus relevan dan mutakhir

3. Teknik pengumpulan data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian

kepustakaan 
( library research) yaitu penelitan yang dilakukan dengan

cara meneliti bahan pustaka atau disebut dengan data sekunder. Adapun

data sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain

berasal dari buku-buku, artikel, peraturan perundang-undangan dan bahan

bacaan lain yang terkait dengan penulisan skripsi ini. 


4. Analisa data

Berdasarkan sifat penelitian yang menggunakan metode penelitian

bersifat 
deskriptif, m aka yang dipergunakan adalah pendekatan kualitatif

(33)

kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk uraian secara sistematis dengan

menjelaskan hubungan antara berbagai jenis bahan hukum, selanjutnya

semua bahan hukum diseleksi dan diolah, kemudian dinyatakan secara

deskriptif sehingga 
 m enggam barkan dan m engungkapkan dasar

hukumnya, sehingga memberikan jawaban terhadap permasalahan yang

dimaksud.

G. Keaslian Penulisan

Judul yang diangkat adalah murni dari hasil pemikiran yang

didasarkan dari ide, gagasan, dibantu dengan buku-buku, referensi dan

masukan dari berbagai pihak dalam membantu penulisan skripsi ini.

Berdasarkan pemeriksaan Perpustakaan Universitas Cabang Fakultas

Hukum USU atau Pusat Dokumentasi dan Informasi Hukum Fakultas

Hukum USU, skripsi yang berjudul “Tinjauan Yuridis Terjadinya

Kepemilikan Atas Apartemen Bagi Orang Asing Di Indonesia Dan Di

Australia” belum pernah ditulis di Fakultas Hukum USU sebelumnya.

Jika dilihat dari permasalahan yang ada, tulisan ini bukanlah hasil

ciplakan atau pengandaan karya tulis orang lain. Oleh karena itu,penulisan

skripsi ini adalah karya tulis ilmiah yang asli (original) dan dapat

dipertanggung jawabkan. Kalaupun terdapat pendapat atau kutipan dalam

penulisan skripsi ini semata-mata adalah faktor pendukung dan pelengkap

dalam usaha menyempurnakan dan menyelesaikan skripsi ini.

H. Sistematika Penulisan

(34)

skripsi ini maka disusun dalam suatu sistematika penulisan. Sistematika

penulisan ini terdiri dari 5 (lima) bab, dimana tiap-tiap bab tersebut terbagi

lagi ke dalam beberapa sub bagian yang bertujuan untuk memudahkan

pemahaman terhadap keseluruhan isi skripsi ini. Adapun sistematika

penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

Bab I merupakan bab pendahuluan. Bab ini menguraikan tentang

gambaran umum yang berisi tentang latar belakang,permasalahan, tujuan

dan manfaat penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, keaslian

penulisan, dan sistematika penulisan.

Bab II berisikan tentang pengertian Orang Asing, bentuk

kepemilikan properti bagi Orang Asing di Indonesia, status kepemilikan

properti bagi Orang Asing di Indonesia, bentuk kepemilikan Properti bagi

Orang Asing di Australia dan status kepemilikan properti bagi Orang

Asing di Australia.

Bab III berisikan tentang pengertian Apartemen, syarat

kepemilikan apartemen bagi Orang Asing di Indonesia, prosedur

terjadinya kepemilikan apartemen bagi Orang Asing di Indonesia, syarat

kepemilikan apartemen bagi Orang Asing di Australia, dan prosedur

terjadinya kepemilikan apartemen bagi Orang Asing di Australia.

Bab IV berisikan tentang dinamikan perubahan pengaturan

kepemilikan properti bagi Orang Asing di Indonesia dan di Australia.

Bab V merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi ini, dimana

dalam bab ini berisikan kesimpulan dan saran yang menjadi pokok-pokok

(35)

Gambar

Tabel 1. Pembagian Yurisdiksi dan Hukum Tanah di Australia 20

Referensi

Dokumen terkait

Dapat dikatakan juga, bahwa dalam linguistik forensik tidak hanya fokus pada kasus yang diangkat dalam sebuah persidangan namun juga pada kasus atau masalah yang

Penggunaan Urine sapi sebagai campuran biopestisida mengandung zat perangsang tumbuh dan mengandung zat penolak untuk beberapa jenis serangga hamaPenelitian ini bertujuan

Frekuensi penggorengan tidak berpengaruh nyata terhadap kadar air dan berat jenis minyak goreng pasca penggorengan tempe kedelai tetapi berpengaruh nyata terhadap

Secara internal, ia bermaksud mengikuti pendapat filosof- filosof besar tentang arti kata filsafat, dan dalam risalahnya ia mengatakan ilmu tentang hakikat kebenaran segala

Dalam rangka memberikan arah dan sasaran yang jelas serta sebagai pedoman dan tolok ukur kinerja dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi yang diselaraskan dengan arah kebijakan dan

[r]

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui : 1) Kekuatan dan kelemahan produk “Seblak Kicimpring” UKM Raja Rasa dalam pemasaran produknya berbasis offline dan