DM atau sering disebut dengan kencing manis adalah suatu penyakit kronik yang terjadi ketika tubuh tidak dapat memproduksi cukup insulin atau
tidak dapat menggunakan insulin (resistensi insulin), dan di diagnosa melalui pengamatan kadar glukosa di dalam darah. Insulin merupakan hormon yang
dihasilkan oleh kelenjar pankreas yang berperan dalam memasukkan glukosa dari aliran darah ke sel-sel tubuh untuk digunakan sebagai sumber energi (IDF, 2015).
DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena gangguan sekresi insulin, penurunan efektivitas insulin, atau keduanya. Hiperglikemia didefinisikan sebagai kadar glukosa dalam
darah yang tinggi pada rentang non puasa sekitar 140-160 mg/100ml darah (Riyadi dan Sukarmin, 2008). Hiperglikemia kronik pada DM berhubungan dengan kerusakan jangka panjang dan disfungsi beberapa organ tubuh seperti
mata, ginjal, saraf, jantung, maupun pembuluh darah (Purnamasari, 2009).
DM tipe 2 merupakan kondisi saat gula darah dalam tubuh tidak terkontrol
akibat gangguan sensitivitas sel beta pankreas untuk menghasilkan hormon insulin yang berperan sebagai pengontrol kadar gula darah dalam tubuh (Dewi, 2014).
Pankreas masih bisa membuat insulin, tetapi kualitas insulinnya buruk, tidak dapat berfungsi dengan baik sebagai kunci untuk memasukkan glukosa ke dalam sel. Akibatnya glukosa dalam darah meningkat. Kemungkinan lain terjadinya DM tipe
resisten terhadap insulin sehingga glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel dan
akhirnya tertimbun dalam peredaran darah (Tandra, 2007).
2.2 Klasifikasi Diabetes Mellitus
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2016, klasifikasi DM yaitu DM tipe 1, DM tipe 2, DM gestasional, dan DM tipe lain. Namun jenis
DM yang paling umum yaitu DM tipe 1 dan DM tipe 2. 2.2.1 Diabetes Mellitus Tipe 1
DM tipe 1 merupakan kelainan sistemik akibat terjadinya gangguan
metabolik glukosa yang ditandai dengan hiperglikemia kronik. Keadaan ini disebabkan oleh kerusakan sel beta pankreas baik oleh proses autoimun maupun
idiopatik. Proses autoimun ini menyebabkan tubuh kehilangan kemampuan untuk memproduksi insulin karena sistem kekebalan tubuh menghancurkan sel yang bertugas memproduksi insulin sehingga produksi insulin berkurang atau terhenti
(Rustama dkk, 2010).
DM tipe 1 dapat menyerang orang semua golongan umur, namun lebih
sering terjadi pada anak-anak. Penderita DM tipe 1 membutuhkan suntikan insulin setiap hari untuk mengontrol glukosa darahnya (IDF, 2015). DM tipe ini sering disebut juga Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM), yang berhubungan
dengan antibody berupa Islet Cell Antibodies (ICA), Insulin Autoantibodies (IAA), dan Glutamic Acid Decarboxylase Antibodies (GADA). 90% anak-anak
2.2.2 Diabetes Mellitus Tipe 2
DM tipe 2 atau yang sering disebut dengan Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) adalah jenis DM yang paling sering terjadi,
mencakup sekitar 85% pasien DM. Keadaan ini ditandai oleh resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif. DM tipe ini lebih sering terjadi pada usia diatas
40 tahun, tetapi dapat pula terjadi pada orang dewasa muda dan anak-anak (Greenstein dan Wood, 2010).
2.3 Patofisiologi Diabetes Mellitus
Gangguan-gangguan patofisiologi DM dikaitkan dengan ketidakmampuan tubuh untuk merombak glukosa menjadi energi karena tidak ada atau kurangnya
produksi insulin di dalam tubuh. Insulin adalah suatu hormon pencernaan yang dihasilkan oleh kelenjar pankreas dan berfungsi untuk memasukkan gula ke dalam sel tubuh untuk digunakan sebagai sumber energi. Pada penderita DM, insulin
yang dihasilkan tidak mencukupi sehingga gula menumpuk dalam darah (Agoes dkk, 2013).
Patofisiologi pada DM tipe 1 terdiri atas autoimun dan non-imun. Pada autoimun-mediated DM, faktor lingkungan dan genetik diperkirakan menjadi
faktor pemicu kerusakan sel beta pankreas. Tipe ini disebut tipe 1A. Sedangkan
tipe non-imun, lebih umun daripada autoimun. Tipe non-imun terjadi sebagai akibat sekunder dari penyakit lain seperti pankreatitis atau gangguan idiopatik
(Brashers dkk, 2014).
sampai dengan predominan kerusakan sel beta. Kerusakan sel beta yang ada
bukan suatu autoimun mediated. Pada DM tipe 2 tidak ditemukan pertanda autoantibodi. Pada resistensi insulin, konsentrasi insulin yang beredar mungkin
tinggi tetapi pada keadaan gangguan fungsi sel beta yang berat kondisinya dapat rendah. Pada dasarnya resistensi insulin dapat terjadi akibat perubahan-perubahan
yang mencegah insulin untuk mencapai reseptor (praresptor), perubahan dalam pengikatan insulin atau transduksi sinyal oleh resptor, atau perubahan dalam salah satu tahap kerja insulin pascareseptor. Semua kelainan yang menyebabkan
gangguan transport glukosa dan resistensi insulin akan menyebabkan hiperglikemia sehingga menimbulkan manifestasi DM (Rustama dkk, 2010).
2.4 Gejala Diabetes Mellitus
DM sering muncul dan berlangsung tanpa timbulnya tanda dan gejala klinis yang mencurigakan, bahkan kebanyakan orang tidak merasakan adanya
gejala. Akibatnya, penderita baru mengetahui menderita DM setelah timbulnya komplikasi. DM tipe 1 yang dimulai pada usia muda memberikan tanda-tanda
yang mencolok seperti tubuh yang kurus, hambatan pertumbuhan, retardasi mental, dan sebagainya (Agoes dkk, 2013). Berbeda dengan DM tipe 1 yang kebanyakan mengalami penurunan berat badan, penderita DM tipe 2 seringkali
mengalami peningkatan berat badan. Hal ini disebabkan terganggunya metabolisme karbohidrat karena hormon lainnya juga terganggu (Mahendra dkk,
2008).
Gejala awal tersebut berhubungan dengan efek langsung dari kadar gula darah
yang tinggi. Jika kadar gula lebih tinggi dari normal, ginjal akan membuang air tambahan untuk mengencerkan sejumlah besar glukosa yang hilang. Oleh karena
ginjal menghasilkan air kemih dalam jumlah yang berlebihan, penderita sering berkemih dalam jumlah yang banyak (poliuria). Akibat lebih lanjut adalah
penderita merasakan haus yang berlebihan sehingga banyak minum (polidipsia). Selain itu, penderita mengalami penurunan berat badan karena sejumlah besar kalori hilang ke dalam air kemih. Untuk mengompensasikan hal tersebut,
penderita sering kali merasakan lapar yang luar biasa sehingga banyak makan atau polifagia (Krisnatuti dkk, 2014).
Kadang-kadang penderita DM tidak menunjukkan gejala klasik tetapi penderita tersebut baru menunjukkan gejala sesudah beberapa bulan atau beberapa tahun mengidap penyakit DM. Gejala ini disebut gejala kronik atau menahun.
Gejala kronik ini yang paling sering membawa penderita DM berobat pertama kali. Gejalanya berupa kesemutan, kulit terasa panas, terasa tebal dikulit sehingga
kalau berjalan seperti di atas bantal atau kasur, kram, mudah mengantuk, mata kabur, gatal disekitar kemaluan terutama wanita, serta gigi mulai goyah dan mudah lepas (Tjokroprawiro, 2011).
2.5 Diagnosis Diabetes Mellitus
DM ditandai oleh kadar glukosa yang meningkat secara kronis. Kadar
plasma adalah: DM ≥ 11,1 mmol/L, toleransi glukosa terganggu 7,8-11,1 mmol/L;
normal <7,8 mmol/L (Davey, 2006). Menurut Rustama dkk (2010), diagnosis DM dapat ditegakkan apabila memenuhi salah satu kriteria sebagai berikut:
1. Kadar glukosa darah puasa ≥ 7,0 mmol/L (≥ 126 mg/dL). Puasa adalah tanpa asupan kalori minimal selama 8 jam.
2. Ditemukannya gejala klinis poliuria, polidipsia, polifagia, berat badan yang menurun, dan kadar glukosa darah sewaktu > 200 mg/dL (11,1 mmol/L).
3. Pada penderita yang asimptomatis ditemukan kadar glukosa darah sewaktu > 200 mg/dL atau kadar glukosa darah puasa lebih tinggi dari normal
dengan tes toleransi glukosa yang terganggu pada lebih dari satu kali pemeriksaan.
Informasi yang diperoleh dari kadar glukosa darah dapat dihubungkan
dengan kadar HbA1C dan parameter klinis untuk menilai dan memodifikasi tata laksana DM dalam rangka memperbaiki kontrol metabolik. HbA1C merupakan
alat yang tepat untuk menilai kontrol glukosa darah jangka lama. HbA1C menggambarkan kadar glukosa darah selama 2-3 bulan sebelumnya (Rustama dkk, 2010).
2.6 Epidemiologi Diabetes Mellitus 2.6.1 Distribusi dan Frekuensi a. Menurut Orang
orang dewasa terkena DM. Meskipun begitu, DM dapat menyerang orang semua
usia. Sedangkan menurut ADA (2016), 9,3% dari populasi orang Amerika terkena DM pada tahun 2012 dengan persentase penderita DM pada usia diatas 65 tahun
sebesar 25,9%.
Di Indonesia, prevalensi DM pada orang dewasa berusia 20-79 tahun
sebanyak 6,2%. Sedangkan kematian yang diakibatkan oleh DM pada orang dewasa berjumlah 184.985 (IDF, 2015). Berdasarkan jenis kelamin, prevalensi DM pada perempuan sebesar 7,3% dan pada laki-laki sebesar 6,6% (WHO, 2016).
b. Menurut Tempat
Menurut data dari IDF, proporsi penderita DM di daerah urban di dunia
pada tahun 2015 cenderung lebih tinggi (65%) daripada di daerah rural (35%). Berdasarkan tipenya, negara dengan proporsi penderita DM tipe 1 terbanyak adalah Amerika (15,5%). Sedangkan untuk DM tipe 2, negara dengan penderita
terbanyak adalah Cina dengan jumlah penderita sebanyak 109,6 juta orang (26,4%). Kemudian diikuti oleh India, Amerika, Brazil, Rusia, Meksiko, dan
Indonesia pada urutan ketujuh dengan jumlah penderita sebanyak 10 juta orang (2,4%).
Di Indonesia, prevalensi DM yang terdiagnosis dokter tertinggi terdapat di
DI Yogyakarta (2,6%). Dan prevalensi DM yang terdiagnosis dokter atau berdasarkan gejala, tertinggi terdapat di daerah Sulawesi Tengah (3,7%)
di daerah perkotaan menduduki ranking ke-2 yaitu 14,7%. Dan daerah pedesaan,
DM menduduki rangking ke-6 yaitu 5,8% (Kemenkes RI, 2009).
c. Menurut Waktu
Jumlah penderita DM telah terus meningkat selama beberapa dekade terakhir, karena pertumbuhan penduduk, peningkatan usia rata-rata penduduk, dan
kenaikan prevalensi DM pada setiap usia. Secara global, prevalensi penderita DM telah meningkat dari 4,7% pada tahun 1980 menjadi 8,5% pada tahun 2014 (WHO, 2016). IDF memperkirakan pada tahun 2035 jumlah penderita DM akan
meningkat menjadi 592 juta orang (Kemenkes, 2014).
2.6.2 Faktor Risiko
a. Aktivitas Fisik dan Pola Makan yang Salah
Olahraga dapat membantu menurunkan berat badan, mempertahankan berat badan ideal, dan meningkatkan rasa percaya diri. Pada penderita DM
berolahraga dapat membantu menurunkan kadar glukosa darah, menimbulkan perasan ‘sehat’, dan meningkatkan sensitivitas terhadapat insulin sehingga
mengurangi kebutuhan akan insulin. Pada beberapa penelitian terlihat bahwa olahraga dapat meningkatkan kapasitas kerja jantung dan mengurangi terjadinya komplikasi DM jangka panjang (Rustama dkk, 2010).
Perubahan pola makan yang telah bergeser dari pola makan tradisional yang mengandung banyak karbohidrat dan serat dari sayuran ke pola makan
(Suyono, 2009). Pola makan yang tidak teratur dan cenderung terlambat juga
berperan pada ketidakstabilan kerja pankreas (Riyadi dan Sukarmin, 2008).
b. Genetik
Penyakit DM merupakan penyakit yang cenderung diturunkan bukan ditularkan. Biasanya jika orangtua menderita DM, kemungkinan besar anaknya
juga menderita penyakit yang sama. Ini terjadi karena DNA pada orang DM akan ikut diinformasikan pada gen berikutnya terkait dengan penurunan produksi insulin (Riyadi dan Sukarmin, 2008).
Pada pasien-pasien dengan DM tipe 2, penyakitnya mempunyai pola familial yang kuat. Indeks untuk DM tipe 2 pada kembar monozigot hampir
100%. Risiko berkembangnya DM tipe 2 pada saudara kandung mendekati 40% dan 33% untuk anak cucunya (Schteingart, 2006).
c. Stres
Sukar bagi kita menghubungkan pengaruh stres dengan timbulnya DM. Namun, yang pasti adalah bahwa stres yang hebat, seperti halnya infeksi hebat,
trauma hebat, operasi besar, atau penyakit berat lainnya, menyebabkan hormon counter-insulin (yang kerjanya berlawanan dengan insulin) lebih aktif. Akibatnya,
glukosa darah meningkat (Tandra, 2007).
d. Usia
Umumnya manusia mengalami perubahan fisiologis yang secara dramatis
e. Obesitas
Obesitas merupakan pemicu yang penting, namun bukan merupakan penyebab tunggal DM tipe 2. Penyebab yang lebih penting adalah adanya
disposisi genetik yang menurunkan sensitivitas insulin. Sering kali, pelepasan insulin selalu tidak pernah normal. Beberapa gen telah diidentifikasi sebagai gen
yang meningkatkan terjadinya obesitas dan DM tipe 2 (Silbernagl dan Lang, 2007).
Obesitas dikaitkan dengan sejumlah konsekuensi metabolik yang ditandai
oleh resistensi insulin dan hiperlipidemia. Hal ini memberi kontribusi terhadap peningkatan resiko penyakit kardiovaskular dan DM (Greenstein dan Diana,
2010). Obesitas mengakibatkan sel-sel beta pankreas mengalami hipertropi yang akan berpengaruh terhadap penurunan produksi insulin (Riyadi dan Sukarmin, 2008).
2.7 Komplikasi Diabetes Mellitus
Pada penderita DM yang gula darahnya tidak terkontrol dengan baik,
berbagai penyakit dapat muncul sebagai akibat atau komplikasi dari adanya penyakit DM ini. Berdasarkan penyebabnya komplikasi DM dapat dikelompokkan atas infeksi kronis dan non-infeksi
2.7.1 Infeksi Kronis
Penderita DM rentan terhadap infeksi banyak tipe. Sejak infeksi terjadi,
neuropati diabetik, dan ketidakcukupan pembuluh darah. Kontrol glikemik yang
jelek juga memperbesar pentingnya faktor-faktor ini (Black dan Hawks, 2014). Infeksi juga dapat terjadi karena glukosa darah yang tinggi mengganggu
fungsi kekebalan tubuh dalam menghadapi masuknya virus atau bakteri. Paru-paru merupakan salah satu tempat yang mudah terkena infeksi (Ndraha, 2014).
Penderita DM yang kurang terkontrol akan cenderung mengalami pertumbuhan bakteri, terutama bakteri golongan Mycobacterial dan Anaerobik serta infeksi fungi. Infeksi dapat menyebabkan terjadinya pneumonia, penyakit paru obstruksi
kronik, maupun tuberkulosis (TBC) pada penderita DM. Dibanding orang non-DM, penderita DM lebih mudah menderita TBC dan lebih rentan (sekitar 12,8%)
terhadap infeksi kuman TBC, terlebih lagi jika DM yang dideritanya tidak terkendali, tidak terawat dengan baik (Misnadiarly, 2006).
Prevalensi TB meningkat seiring dengan peningkatan prevalensi DM.
Frekuensi DM pada pasien TB dilaporkan sekitar 10-15% dan prevalensi penyakit infeksi ini 2-5 kali lebih tinggi pada pasien DM dibandingkan dengan kontrol
yang non-DM (Cahyadi dan Venty, 2011). Diabetes memperberat infeksi paru, demikian pula sakit paru akan menaikkan glukosa darah (Ndraha, 2014).
2.7.2 Non-Infeksi
Penyakit non-infeksi pada penderita DM dapat terjadi karena adanya gangguan pada darah maupun pada pembuluh darah. Gangguan ini dapat
a. Hipoglikemia
Hipoglikemia adalah keadaan klinik gangguan saraf yang disebabkan oleh penurunan glukosa darah dibawah normal atau kurang dari 60 mg/100 ml yang
timbul akibat peningkatan kadar insulin yang kurang tepat, baik sesudah penyuntikan insulin subkutan atau karena obat yang meningkatkan sekresi insulin
seperti sulfonylurea. Dalam keadaan hipoglikemik ini, penderita akan mengalami keadaan seperti badan lemas, rasa lapar, gemetar, pucat, keringat dingin, gelisah, detak jantung cepat/berdebar-debar sampai pada keadaan penurunan
kesadaran/pingsan (Maryunani, 2008).
Hipoglikemia pada pasien DM tipe 1 dan DM tipe 2 merupakan faktor
penghambat utama dalam mencapai sasaran kendali glukosa darah normal atau mendekati normal. Faktor paling utama yang menyebabkan hipoglikemia adalah ketergantungan jaringan saraf pada asupan glukosa yang berkelanjutan. Glukosa
merupakan bahan bakar metabolisme yang utama untuk otak. Oleh karena otak hanya menyimpan glukosa (dalam bentuk glikogen) dalam jumlah yang sangat
sedikit, fungsi otak yang normal sangat tergantung asupan glukosa dari sirkulasi. Gangguan pasokan glukosa yang berlangsung lebih dari beberapa menit dapat menimbulkan disfungsi sistem saraf pusat, gangguan kognisi dan koma
(Soemadji, 2009).
b. Hiperglikemia
kurangnya insulin. Hiperglikemia dapat mengakibatkan ketoasidosis diabetik
(KAD) dan koma hiperosmolar hiperglikemik nonketotik (HHNK).
1. Ketoasidosis Diabetik (KAD)
Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah keadaan dekompensasi-kekacauan metabolik yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis dan ketosis, terutama
disebabkan oleh defisiensi insulin absolut atau relatif (Soewondo, 2009). Keadaan ini disebabkan karena kadar gula darah terlalu tinggi, kurang hormon insulin sehingga tubuh menggunakan lemak sebagai energi yang menghasilkan benda
keton didarah dan urin. Pencetus keadaan ketoasidosis diantaranya adalah infeksi, stres atau trauma, penghentian insulin dan dosis insulin yang kurang (Maryunani,
2008).
Ketoasidosis merupakan komplikasi yang cukup serius yang dalam keadaan darurat dapat menyebabkan kematian. Pada pasien yang telah diketahui
menderita DM, KAD dapat dicurigai bila terdapat keluhan nyeri perut, muntah-muntah atau malaise. Tetapi pada pasien yang belum terdiagnosis DM,
diagnosisnya akan lebih sulit. Kriteria penegakan KAD menurut pemeriksaan laboratorium adalah hiperglikemia (gula darah >11 mmol/L); pH vena <7,3 atau bikarbonat < 15 mmol/L; ketonemia dan ketonuria (Rustama dkk, 2010).
2. Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Nonketotik (HHNK)
HHNK adalah komplikasi metabolik akut lain dari DM yang sering terjadi
pencetus HHNK adalah infeksi, infark miokard, dan asupan glukosa berlebihan.
Prognosis kematian akibat HHNK sangat tinggi sekitar 20-40% (Davey, 2006). Perjalanan klinis HHNK biasanya berlangsung dalam jangka waktu
tertentu (beberapa hari sampai beberapa minggu) dengan gejala khas meningkatnya rasa haus disertai poliuri, polidipsi dan penurunan berat badan.
Koma hanya ditemukan kurang dari 10% kasus (Soewondo, 2009). c. Retinopati Diabetik
Kebutaan merupakan komplikasi yang paling ditakuti dari DM, tetapi
dapat dicegah. DM merupakan penyebab utama kebutaan untuk pengidap DM berumur 30-69 tahun. Dua puluh tahun setelah terjadinya DM, hampir semua
pengidap DM tipe 1 dan lebih dari 60% pengidap tipe 2 akan mengalami retinopati. Bahkan pada waktu diagnosis DM tipe 2 ditegakkan, 25% pasien sudah menunjukkan tanda-tanda retinopati (Agoes dkk, 2013).
Diagnosis retinopati diabetik didasarkan atas hasil pemeriksaan funduskopi. Pemeriksaan dengan fundal fluorescein angiography (FFA)
merupakan metode diagnosis yang paling dipercaya. Meskipun penyebab retinopati diabetik sampai saat ini belum diketahui secara pasti, namun keadaan hiperglikemia yang berlangsung lama dianggap sebagai faktor resiko utama. Ada
tiga proses biokimiawi yang terjadi pada hiperglikemia yang diduga berkaitan dengan timbulnya retinopati diabetik yaitu jalur poliol yang merupakan senyawa
vaskular, kontraktilitas, sintesis membrana basalis dan poliferasi sel vaskular
(Pandelaki, 2009).
d. Nefropati Diabetik
Salah satu komplikasi kronis DM yang dapat dideteksi dini adalah nefropati diabetik atau disebut juga penyakit ginjal diabetik. Kelainan yang terjadi
pada ginjal penyandang DM dimulai dengan adanya mikroalbuminuria, dan kemudian berkembang menjadi proteinuria secara klinis, berlanjut dengan penurunan fungsi laju filtrasi glomerular dan berakhir dengan keadaan gagal
ginjal yang memerlukan pengelolaan dengan pengobatan substitusi (Waspadji, 2009). Keadaaan ini terjadi 15-25 tahun setelah diagnosis pada 35-45% pasien
dengan DM tipe 1 dan < 20% pasien dengan DM tipe 2 (Davey, 2006). e. Neuropati Diabetik
Neuropati diabetik adalah adanya gejala dan atau tanda dari disfungsi saraf
perifer penderita DM tanpa ada penyebab lain selain DM (setelah dilakukan eksklusi penyebab lainnya). Neuropati diperkirakan telah ada sekitar 7,5% pada
saat seseorang di diagnosa menderita DM. Studi epidemiologik menunjukkan bahwa dengan tidak terkontrolnya kadar gula maka akan mempunyai resiko yang lebih besar untuk terjadinya neuropati, seperti halnya borok kaki dan amputasi
(Sjahrir, 2006).
Neuropati disebabkan oleh gangguan jalur poliol akibat kekurangan
menyebabkan hilangnya akson. Kecepatan konduksi motorik akan berkurang pada
tahap dini perjalanan neuropati. Selanjutnya timbul nyeri, parestesia, berkurangnya sensasi getar dan proprioseptik, dan gangguan motorik yang disertai
hilangnya reflex-refleks tendon dalam, kelemahan otot dan atrofi. Neuropati dapat menyerang saraf-saraf perifer, saraf-saraf kranial atau sistem saraf otonom
(Schteingart, 2006).
Neuropati yang menyerang sistem saraf otonom dapat menyebabkan berbagai manifestasi, bergantung pada area sistem saraf otonom yang terkena.
Neuropati ini dapat mencakup gangguan keringat, fungsi pupil tidak normal, gangguan kardiovaskular, gangguan gastrointestinal (yang mengakibatkan
disfagia, anoreksia, nyeri uluhati, mual, dan muntah, serta perubahan kontrol gula darah) dan gangguan genitourinari (LeMone dkk, 2012).
f. Penyakit Jantung Koroner (PJK)
DM merusak dinding pembuluh darah yang menyebabkan penumpukan lemak di dinding yang rusak dan menyempitkan pembuluh darah. Akibatnya
suplai darah ke otot jantung berkurang dan tekanan darah meningkat, sehingga kematian mendadak bisa terjadi (Ndraha, 2014). Faktor risiko PJK pada pasien DM antara lain rokok, hipertensi, resistensi insulin yang timbul akibat kelebihan
berat badan, ras Asia, mikroalbuminuria, nefropati diabetik (makroalbuminuria) dan hiperlipidemia.
berumur di atas 40 tahun. DM lebih beresiko menimbulkan PJK pada perempuan
daripada laki-laki, sedangkan risiko kematian akibat penyakit kardiovaskular sama untuk kedua jenis kelamin (Agoes dkk, 2013).
g. Hipertensi
Penderita DM cenderung terkena hipertensi dua kali lipat dibandingkan
dengan mereka yang tidak menderita DM. Hipertensi merusak pembuluh darah dan dapat memicu terjadinya serangan jantung, retinopati, kerusakan ginjal, atau stroke. Antara 35-75% komplikasi DM disebabkan oleh hipertensi. Resiko
serangan jantung dan stroke menjadi dua kali lipat apabila penderita DM juga terkena hipertensi. Beberapa faktor yang terkait dengan terjadinya hipertensi pada
penderita DM antara lain adalah gangguan ginjal, obesitas dan pengapuran atau penebalan dinding pembuluh darah (aterosklerosis) (Tandra,2007).
h. Penyakit Pembuluh Darah Perifer
Kerusakan pembuluh darah di perifer atau di tangan dan kaki, yang dinamakan Peripheral Vascular Disease (PVD), dapat terjadi lebih dini dan
prosesnya lebih cepat pada penderita DM daripada orang yang tidak menderita DM. Denyut pembuluh darah di kaki terasa lemah atau tidak terasa sama sekali (Ndraha, 2014). Hilangnya sensasi sentuhan dan persepsi nyeri menyebabkan
penderita DM dapat mengalami beberapa tipe trauma kaki tanpa menyadarinya. Orang tersebut berisiko tinggi mengalami trauma di jaringan kaki, menyebabkan
Hampir 40% penderita DM dengan infeksi kaki mungkin memerlukan
amputasi, dan 5-10% akan meninggal meskipun amputasi di daerah terkena (Black dan Hawks, 2014). Penderita DM berisiko tinggi mengalami amputasi di
ekstremitas bawah, dengan peningkatan risiko pada mereka yang sudah menyandang DM lebih dari 10 tahun, jenis kelamin pria, memiliki kontrol glukosa
yang buruk, atau mengalami komplikasi kardiovaskular, retina, atau ginjal (LeMone dkk, 2012).
i. Penyakit Serebrovaskular
Penyakit serebrovasular, terutama infark aterotromboembolik dimanifestasikan dengan serangan iskemik transien dan cerebrovascular attact
(stroke), lebih sering dan berat pada penderita DM. Risiko relatif lebih tinggi pada perempuan, tertinggi pada usia 50 atau 60-an, dan lebih tinggi pada penderita dengan hipertensi. Pada penderita DM, stroke lebih serius, kekambuhan, dan
angka kematian lebih tinggi, khususnya dengan DM tipe 2 (Black dan Hawks, 2014)
2.8 Pencegahan Diabetes Mellitus 2.8.1 Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada kelompok yang
memiliki faktor resiko, yakni mereka yang belum terkena, tetapi berpotensi untuk mendapat DM dan kelompok intoleransi glukosa (PERKENI, 2011). Untuk itu,
1. Pola makan sehari-hari yang harus seimbang dan tidak berlebihan.
2. Olahraga secara teratur dan tidak banyak berdiam diri. 3. Usahakan berat badan dalam batas normal.
4. Hindari obat-obatan yang dapat menimbulkan DM (diabetogenik).
2.8.2 Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat timbulnya penyulit pada pasien yang telah menderita DM. Usaha pencegahan sekunder dimulai dengan usaha mendeteksi dini penyandang DM. Karena itu
dianjurkan untuk pada setiap kesempatan terutama untuk mereka yang mempunyai resiko tinggi agar dilakukan pemeriksaan penyaring glukosa darah.
Dengan demikian mereka yang mempunyai resiko tinggi DM dapat terjaring untuk diperiksa dan kemudian yang dicurigai DM akan dapat ditindak lanjuti, sampai diyakinkan benar mereka mengidap DM. Bagi mereka dapat ditegakkan
diagnosis dini DM kemudian dapat dikelola dengan baik guna mencegah penyulit lebih lanjut (Waspadji, 2004).
Pilar penatalaksanaan DM dimulai dengan pendekatan non farmakologi, yaitu berupa pemberian edukasi, perencanaan makan/terapi nutrisi medik, kegiatan jasmani dan penurunan berat badan bila didapat berat badan lebih atau
obesitas. Bila dengan langkah-langkah pendekatan non farmakologi tersebut belum mampu mencapai sasaran pengendalian DM, maka dilanjutkan dengan
dengan macam-macam penyebab terjadinya hiperglikemia (Soegondo, 2009).
Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan. a. Obat Hipoglikemia Oral (OHO)
Menurut PERKENI (2011), OHO dibagi menjadi lima golongan berdasarkan cara kerjanya sebagai berikut.
1. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): Sulfonilurea dan Glinid Golongan obat sulfonilurea bekerja dengan menstimulasi sel beta pankreas untuk melepaskan insulin yang tersimpan. Karena itu, obat ini hanya
bermanfaat bagi pasien yang masih mempunyai kemampuan untuk mensekresi insulin. Golongan obat ini tidak dapat dipakai pada penderita
DM tipe 1. Mekanisme kerjanya yaitu menstimulasi penglepasan insulin yang tersimpan, menurunkan ambang sekresi insulin, dan meningkatkan sekresi insulin sebagai akibat rangsangan glukosa (Waspadji, 2004).
Sedangkan glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase
pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu Repaglinid (derifat asam benzoate) dan Nateglinid (derifat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setalah pemberian secara oral dan dieksresi secara cepat
melalui hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial (UKK Endokrinologi Anak dan Remaja, 2009).
produksi glukosa hati. Metformin meningkatkan pemakaian glukosa oleh
sel usus sehingga menurunkan glukosa darah dan juga diduga menghambat absorpsi glukosa di usus sesudah asupan makan. Disamping
berpengaruh pada glukosa darah, metformin juga berpengaruh pada komponen lain resistensi insulin yaitu pada lipid, tekanan darah dan juga pada plasminogen activator inhibitor (Soegondo, 2009).
Golongan tiazolidindion mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga
meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Golongan ini dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung kelas I-IV karena
dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala (PERKENI, 2011).
3. Penghambat glukoneogenesis: Metformin
Selain menurunkan resistensi insulin, metformin juga mengurangi
produksi glukosa hati. Metformin dikontraindikasikan pada gangguan fungsi ginjal dengan kreatinin serum >1,5 mg/dL, gangguan fungsi hati serta pasien dengan kecenderungan hipoksemia seperti pada sepsis. Obat
ini tidak mempunyai efk samping hipoglikemia seperti golongan sulfonylurea, tetapi mempunyai efek samping pada saluran cerna (mual)
Acarbose hampir tidak diabsorpsi dan bekerja local pada saluran
pencernaan. Obat ini memperlambat pemecahan dan penyerapan karbohidrat kompleks dengan menghambat enzim alpha glukosidase yang
terdapat pada dinding enterosit yang terletak pada bagian proksimal usus halus. Hasil akhirnya adalah penurunan glukosa darah post prandial.
Sebagai moniterapi tidak akan merangsang sekresi insulin sehingga tidak dapat menyebabkan hipoglikemia (Soegondo, 2009).
5. DPP-IV inhibitor
Glucagon-like-peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormone peptide yang
dihasilkan oleh sel L di mukosa usus. GLP-1 merupakan perangsang kuat
penglepasan insulin dan sekaligus sebagai penghambat sekresi glucagon. Sekresi GLP-1 menurun pada DM tipe 2, sehingga upaya yang ditujukan untuk meningkatkan GLP-1 dapat dicapai dengan pemberian obat yang
menghambat kinerja enzim DPP-4 atau memberikan hormon asli atau analognya. Berbagai obat yang masuk golongan DPP-4 inhibitor, mampu
menghambat kerja DPP-4 sehingga GLP-1 tetap dapat melaksanakan fungsinya (PERKENI, 2011).
b. Insulin
Insulin diklasifikasikan sebagai insulin masa kerja pendek, masa kerja sedang, atau masa kerja panjang, berdasarkan waktu yang digunakan untuk
pada semua pasien dengan DM tipe 1 dan sebagian pasien dengan DM tipe 2
(Davey, 2006).
Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia. Efek
samping lain berupa reaksi imunologi terhadap insulin yang dapat menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin (PERKENI, 2011).
2.8.3 Pencegahan Tersier
Pencegahan ini dimaksudkan untuk mengurangi ketidakmampuan dan mengadakan rehabilitas. Upaya pencegahan tersier ini dapat dilakukan dengan
memaksimalkan fungsi organ yang cacat, membuat protesa ekstremitas akibat amputasi, dan mendirikan pusat-pusat rehabilitasi medik. Pencegahan penyakit ini
terus diupayakan selama orang yang menderita belum meninggal dunia (Budiarto dan Anggraeni, 2003).
Salah satu cara dalam pencegahan tersier yang paling penting adalah
senam kaki DM. Kaki diabetik adalah salah satu komplikasi kronik yang paling ditakuti. Angka amputasi akibat DM masih tinggi, sedangkan biaya pengobatan
juga sangat tinggi dan sering tidak terjangkau oleh masyarakat umum. Ada tiga alasan mengapa orang dengan DM lebih tinggi resikonya mengalami masalah kaki yaitu:
1. Sirkulasi darah dari tungkai yang menurun (gangguan pembuluh darah) 2. Berkurangnya perasaan pada kedua kaki (gangguan saraf)
3. Berkurangnya daya tahan tubuh terhadap infeksi.
2.9 Kerangka Konsep
Karakteristik penderita DM tipe 2 dengan komplikasi 1. Sosiodemografi:
Umur
Jenis Kelamin Suku
Agama
Tingkat Pendidikan Pekerjaan
Status Perkawinan Tempat Tinggal
2. Kadar Gula Darah Puasa 3. Keluhan Utama
4. Jenis Komplikasi 5. Penatalaksanaan Medis 6. Sumber Biaya