• Tidak ada hasil yang ditemukan

Struktur Permukiman di Kampung Badur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Struktur Permukiman di Kampung Badur"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Struktur Permukiman Tidak Terencana

Suatu permukiman terbentuk dengan adanya kebijakan yang didukung oleh

pemerintah. Kebijakan tersebut umumnya dirancang untuk menjadi acuan dalam

membangun suatu kawasan perumahan. Namun, sering sekali kebijakan tersebut

ditujukan untuk kelompok menengah keatas. Sedangkan pengaturan untuk tempat

tinggal bagi kelompok menengah kebawah tidak diatur dengan tepat. Dari hal

tersebut, dapat diamati aspek sosial dan tingkat ekonomi dari seseorang akan

berpengaruh dalam menentukan tempat tinggal.

Adapun struktur permukiman yang memberikan pengaruh dalam terbentuknya

suatu ruang hunian terdiri dari beberapa aspek. Aspek tersebut dapat berupa fisik dan

juga nonfisik (Eldefrawi, 2013). Beberapa aspek tersebut antara lain:

2.1.1. Sosial morfologi permukiman

Dalam suatu perkembangan struktur fisik pada permukiman tidak terencana

diamati dari pola-pola khusus, aksesibilitas, sirkulasi, dan ruang-ruang bersosial yang

membentuk dimensi ruang. Selain itu, bentuk fisik juga dapat dilihat dari jalan, plot

dan pola bangunan yang menghubungkan sosial dari penghuninya.

(2)

b. Proliferasi : Mengundang kerabat untuk ikut menetap, menciptakan suatu

ruang hunian dan menciptakan sosialisasi antar penghuni.

c. Pengenalan : Akibat terjadinya perpindahan kerabat menyebabkan

pengembangan struktur fisik dari permukiman tersebut sesuai

dengan hubungan sosial antar kelompok. Lebar jalan dan pola

bangunan tercipta berdasarkan kebutuhan, interaksi dan

korelasi.

2.1.2. Sosial – ekonomi

Membangun suatu permukiman yang tidak terencana, tentu juga berhubungan

dengan aspek ekonomi. Walaupun dalam konteks permukiman tidak terencana

sebagian besar dihuni oleh kelompok menengah kebawah. Mereka tetap memerlukan

uang atau biaya dalam membangun tempat tinggalnya. Dengan memenuhi kebutuhan

tersebut, tentu akan tercermin pada bentuk fisik rumah tinggal mereka. Adapun

rumah tinggal yang terbentuk, tentunya tidak sesuai dengan standarisasi tempat

tinggal yang tepat dan juga penggunaan material yang sesuai. Dimensi dari ruang

hunian, umumnya akan berbeda apabila dibandingkan dengan rumah pada

permukiman terencana.

2.1.3 Pola Jalan

Pada permukiman tidak terencana, pola jalan yang ada umumnya

(3)

sebagai jalur penghubung antar ruang, tetapi juga sebagai ruang bersosialisasi. Selain

itu, jalan juga digunakan untuk mendukung kegiatan yang akan diadakan di

permukiman tersebut. Sehingga, dengan adanya pola yang terbentuk menjadikannya

sebagai ruang yang dapat mendukung interaksi antar penghuni. Selain itu, fungsi lain

dari jalan juga dapat sebagai :

a. Jalan sebagai tambahan rumah

Ruang yang tercipta pada jalan yang berada di depan rumah, dapat dijadikan

halaman atau teras untuk melakukan interaksi antar tetangga.

b. Jalan sebagai lahan kerja

Aktivitas atau pekerjaan yang dilakukan diluar rumah menjadikan penghuni

dapat melakukannya tanpa berada jauh dari rumah. Hal tersebut dapat

memudahkan penghuni dalam mengawasi tempat tinggalnya.

c. Jalan sebagai ruang komersil

Beberapa penghuni sering mencari mata pencaharian lain untuk memenuhi

kebutuhannya sehingga, dengan ruang yag tersedia dapat dimanfaatkan untuk

mencari pekerjaan lain. Sabagai contoh, beberapa penghuni membuka warung

didaerahnnya. Umumnya, mereka mendirikan warung pada ruang-ruang yang

(4)

membangun warung karena keterbatasan lahan dan juga selalu dilalui oleh

penghuni setempat.

2.1.4 Bentuk dan Pola Bangunan

Suatu permukiman informal pada umumnya, dibentuk dengan pola ruang

hunian yang mendukung keseharian mereka. Sebagai contoh, ruang hunian terbentuk

untuk mendukung mata pencaharian mereka yang mempunyai jarak tidak terlalu jauh

dari tempat tinggalnya. Contoh lain yaitu, terdapat kawasan perdagangan yang

menjadikan para pendatang ingin tinggal di kawasan tersebut agar mudah untuk

mengakses lokasi yang dapat memberikan peluang pekerjaan.

2.1.5 Permukiman Tidak Terencana

Dalam suatu kawasan atau perkotaan, kenyataan tumbuhnya permukiman

tidak terencana tidak dapat dihindari. Dalam hal ini, permukiman tidak terencana

timbul dengan adanya dorongan kebutuhan akan tempat tinggal. Permukiman tidak

terencana sering sekali membentuk suatu ruang hunian yang dibangun pada area yang

tidak resmi direncanakan sebagai ruang hunian. Ciri khas yang paling menonjol pada

permukiman tidak terencana yaitu terlihat pada bangunan-bangunan hunian

berkualitas rendah yang tidak mempunyai infrastruktur dan fasilitas sosial yang

memadai (Ali & Sulaiman, 2006. Hal 2). Pada prinsipnya, suatu permukiman tidak

terencana dibangun atas dasar ingin memenuhi kebutuhan akan tempat tinggal bagi

(5)

suatu permukiman yang tidak terencana selalu menjadi permasalahan yang terdapat di

kota-kota besar. Permukiman tidak terencana ini kemudian akan berkembang menjadi

lebih besar. Adapun ciri khas yang terlihat jelas pada suatu permukiman tidak

terencana yaitu, sebagian besar ruang hunian dibangun tidak sesuai standar

perumahan. Sehingga, sering sekali bangunan-bangunan tersebut hanya dibangun

seadanya dan tidak mementingkan pengaturan ruang hunian yang layak. Selain itu,

infrastruktur yang tidak memadai juga menjadi ciri khas pada permukiman tidak

terencana. Fasilitas-fasilitas sosial seperti, pelayanan kesahatan, tempat ibadah

maupun sarana pendidikan tidak dirancang dengan baik bahkan, beberapa daerah

tidak mempunyai ruang sosial tersebut di sekitar kawasannya.

Permukiman tidak terencena memang tidak selalu mempunyai karakteristik

yang sama di setiap daerah. Permukiman tidak terencana selalu dipengaruhi aspek

yang berbeda-beda pada suatu kawasan. Tetapi, secara garis besar ciri-ciri

permukiman tidak terencana dapat terlihat dengan memahami karakteristik yang

timbul di kawasan tersebut. Karakteristik pada suatu permukiman tidak terencana

dapat ditinjau dengan mengamati beberapa faktor, antara lain: (1) Kepemilikan tanah,

(2) Struktur dan fasilitas sosial, (3) Infrastruktur, (4) Ekonomi dan finansial, serta (5)

Sosial-budaya (Onyekachi, 2014). Karakteristik pada permukiman tidak terencana

dapat diamati dari beberapa faktor yang terdapat di daerah tersebut. Walaupun setiap

permukiman tidak terencana mempunyai karakteristik yang berbeda dengan area lain,

(6)

permukiman tersebut dibangun tidak terencana. Faktor kepemilikan tanah adalah

salah satu hal paling umum yang dapat diamati dari permukiman tidak terencana.

Pada dasarnya, pemerintah memiliki lahan yang sangat banyak. Beberapa digunakan

untuk pembangunan suatu kawasan secara berkelanjutan dan ada juga yang bersifat

pribadi. Adapun, kepemilikan lahan dari pemerintah tersebut tentunya sudah

mempunyai perencanaan dan pengembangan kawasan yang lebih baik. Tetapi, pada

perencanaan suatu kawasan tersebut tentu tidak langsung dapat diwujudkan oleh

pemerintah karena adanya permasalahan mengenai pendanaan dan persetujuan.

Sehingga, dengan tidak adanya kejelasan mengenai suatu lahan yang dimiliki

pemerintah para penduduk semakin terdesak akan kebutuhan tempat tinggal mulai

menempati ruang-ruang yang berpotensi untuk ditinggali. Dengan dibangunnya

permukiman di daerah tersebut, tentu para penghuni tidak mempunyai surat atas

kepemilikan tanah karena pada dasarnya lahan yang mereka gunakan tidak dan atau

belum diperuntukkan sebagai permukiman yang resmi oleh pemerintah. Selain itu,

faktor struktur juga terlihat pada bangunan-bangunan di permukiman tidak terencana.

Bangunan pada permukiman tersebut, umumnya dibangun secara tidak permanen dan

tidak sesuai standar perumahan. Adapun fasilitas sosial sering sekali tidak dibangun

secara layak untuk memenuhi kebutuhan dalam kehidupan. Sehingga, suatu ruang

untuk beraktifitas atau interaksi sosial antar penghuni setempat hanya terbentuk

secara sederhana. Infrastuktur yang kurang memadai juga terlihat pada permukiman

(7)

resmi, sehingga menimbulkan rasa takut akan penghuni lokal untuk menuntut

perbaikan infrastuktur yang lebih baik di daerahnya oleh pemerintah. Adapun hal

tersebut terjadi, juga didorong oleh tingkat ekonomi dan finansial yang rendah pada

penghuni setempat. Sehingga, mereka tidak dapat memperbaiki infrastruktur

daerahnya maupun ruang huniannya. Sosial-budaya juga tidak dapat dipisahkan dari

faktor terbentuknya suatu permukiman tidak terencana. Umumnya, suatu

permukiman tidak terencana dihuni oleh penghuni yang mempunyai persamaan sosial

maupun budaya. Sebagai contoh, adanya suatu perkampungan yang dihuni oleh

mayoritas suku maupun suatu etnik atau permukiman yang sebagian besar ditempati

oleh masyarakat yang bermata pencaharian tertentu.

Suatu permukiman tidak terencana juga dapat berkembang semakin besar

apabila tidak adanya kebijakan yang jelas dalam mengatasi permasalahn tersebut.

Salah satu contohnya, terdapat permukiman yang tumbuh secara tidak terencana pada

kota Kaludjerica, Serbia. Struktur perkotaan pada Kaludjerica terjadi secara spontan

dan tidak beraturan. Tidak ada bentuk yang pasti dalam mengatur arah pembangunan

permukiman di area tersebut. Bentuk dari blok-blok perumahan terjadi secara tidak

teratur, ukuran lahan yang berbeda-beda, orientasi bangunan yang tidak tepat, dan

posisi antar rumah yang tidak jelas. Sehingga, privasi terhadap antar ruang hunian

sangat ada yang membatasi (Radulovic dkk, 2013. Hal 7/13). Pola permukiman dapat

dilihat pada gambar 2.1. Pada permukiman tidak terencana tersebut, dapat terlihat

(8)

spontan pada area-area yang masih kosong dengan tidak menggunakan perencanaan

yang seusai terlebih dahulu. Pola sirkulasi jalan juga terbentuk secara tidak beraturan

dan tidak adanya pengaturan yang jelas pada sistem sirkulasi.

Gambar 2.1 Area Permukiman Tidak Terencana di Kaludjerica, Serbia

(Sumber : Republic geodetic authority of Serbia)

Selain itu, area hunian tidak dilengkapi dengan area terbuka atau halaman

pada bangunannya. Pada sirkulasi juga terlihat tidak adanya jalur pedestrian yang

dirancang. Bangunan rumah dan jalan juga tidak mempunyai batas maupun standar

jarak yang harus dipenuhi. Adapun, susunan bangunan terbentuk secara tidak teratur

dan tidak mempunyai orientasi yang jelas serta antar bangunan tidak mempunyai

privasi yang terjaga. Sebagai contoh, dalam satu blok susunan bangunan rumah dapat

(9)

kosong akan terbentuk karena tidak adanya pengaturan akan posisi bangunan untuk

mendapatkan area yang sesuai dan dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya.

2.2 Keadaan Sosial di Permukiman Tidak Terencana

Dalam suatu permukiman tidak terencana, keadaan sosial dapat menjadi

faktor penting yang mempengaruhi terbentuknya daerah tersebut. Keadaan sosial

tersebut dapat didorong oleh persamaan perilaku, aktivitas ekonomi maupun interaksi

antar penghuni yang kemudian membentuk suatu ruang hunian (Hurskainen, 2004).

Perbedaan kriteria pada suatu permukiman tidak terencana terlihat pada aspek fisik,

hubungan spasial, sosial dan perilaku penghuni. Kenyataannya, pertumbuhan

penghuni ilegal terjadi sangat pesat dengan menempati area tertentu maupun

membangun tempat tinggal permanen. Populasi yang berkembang umumnya

didukung oleh keadaan sosial dan latar belakang ekonomi yang sama. Sehingga,

setiap permukiman tentu mempunyai karakteristik yang berbeda dalam membentuk

area huniannya. Dalam suatu permukiman yang tumbuh secara tidak terencana

sebagian besar didominasi oleh suatu persamaan keadaan sosial didalamnya. Adanya

hubungan spasial membentuk suatu ruang yang dapat digunakan para penghuni untuk

berinteraksi atau sebagai area hunian. Pertumbuhan permukiman tidak terencana juga

akan mengalami peningkatan apabila terdapat persamaan sosial pada penghuninya.

(10)

perkembangan permukiman tidak terencana. Keadaan sosial sering sekali membentuk

suatu ruang yang kemudian berkembang menjadi permukiman yang tidak terencana.

Pada permukiman tersebut, tentu akan ditemukan pola-pola yang berkaitan dengan

ruang hunian, ruang berkumpul, pola jalan dan bentuk permukiman. Selain itu, setiap

daerah juga akan akan mempunyai pola yang berbeda karena dapat dipengaruhi

lingkungan, topografi lahan maupun fungsi yang berbeda. Adanya perkembangan

suatu permukiman yang tidak terencana pasti terjadi secara spontan dan tidak

mempunyai perencanaan maupun pengaturan terlebih dahulu. Walaupun, pada

dasarnya suatu permukiman tidak terencana terjadi atas persamaan keadaan sosial,

tetapi tidak akan pernah ditemukan karakteristik yang benar-benar identik pada

kawasan-kawasan tersebut (Fernandez, 2002).

Gambar 2.2 Pola Grid di permukiman kumuh, Lima, Peru

(Sumber: Fernandez, 2002)

Pada permukiman tersebut terlihat jelas adanya pola permukiman yang terjadi

(11)

area hunian juga teratur dan berorientasi ke jalan. Tetapi, secara keseluruhan pola

grid tersebut tidak terjadi secara teratur dan lurus karena adanya kondisi lingkungan

yang tidak mendukung pola tersebut. Sehingga, kawasan tersebut terlihat membentuk

sebagian pola grid teratur dengan persegi dan terdapat juga grid yang tidak lurus.

Gambar 2.3 Pola grid permukiman kumuh Tarna Rosa, Lima, Peru.

(Sumber: Fernandez, 2002)

Pada contoh permukiman lainnya yang terlihat pada gambar 2.3, sangat jelas

terlihat pola grid yang teratur membentuk ruang-ruang hunian secara persegi panjang.

Sirkulasi jalan terbentuk secara teratur dan saling berhubungan menjadikan akses

pada daerah tersebut lebih mudah untuk dijangkau. Adapun, ruang-ruang hunian

berorientasi pada sirkulasi jalan. Sehingga, setiap bangunan akan mendapatkan posisi

bangunan yang menghadap ke jalan. Dengan adanya pola grid yang jelas akan

(12)

tersebut area hunian terbagi menjadi 2 blok permukiman. Salah satu blok terbentuk

menjadi pola persegi panjang dan mempunyai akses sirkulasi yang sejajar dan jelas.

Gambar 2.4 Pola grid pada permukiman kumuh Dos de Mayo et Primero de Mayo Slums, Lima – Peru

(Sumber: Fernandez, 2002)

Kemudian, terdapat 2 pola grid yang terbentuk pada kawasan yang terlihat

pada gambar 2.4. Pola grid yang sejajar telihat pada sisi permukiman di bagian kiri,

sedangkan pada area kanan terbentuk garis pola yang tidak sejajar. Pola pada area

bagian kanan terbentuk secara abstrak dan tidak berbentuk persegi. Adapun, ruang

hunian yang terbentuk pada area kanan, terlihat mempunyai dmensi yang

berbeda-beda. Sirkulasi pada daerah tersebut juga terbentuk secara abstrak karena mengikuti

bentuk lahan yang tidak lurus.

(13)

(Sumber: Fernandez, 2002)

Selanjutnya pada permukiman kumuh lainnya yang terdapat di Lima, Peru

terbentuk pola yang berbeda yaitu terbentuk secara organik (gambar 2.5). Pola

organik yaitu pertumbuhan permukiman yang terjadi secara alami. Pola dari

ruang-ruang hunian dan sirkulasi terbentuk secara abstrak. Tidak ada pola grid yang teratur

pada permukiman tersebut. Dimensi-dimensi dari ruang hunian yang terbentuk juga

terjadi secara tidak teratur.

Gambar 2.6 Pola linear pada permukiman kumuh di Mamede Salvador de Bahia – Brazil

(Sumber: Fernandez, 2002)

Pada gambar 2.6, terlihat pola yang terbentuk merupakan permukiman yang

terjadi dengan mengikuti tofografi lahan. Adapun ruang hunian dan sirkulasi jalan

terbentuk dengan adanya bentuk kontur yang berbeda-beda pada kawasan tersebut.

Ruang hunian dibangun mengelilingi garis kontur di kawasan tersebut. Ruang hunian

(14)

semakin banyak dibangun ruang hunian dan begitu juga sebaliknya. Sehingga terlihat

pada gambar tersebut, di garis kontur yang lebih tinggi bangunan juga semakin

sedikit ditemui. Adapun akses jalan yang lebih besar untuk dilalui terdapat pada

ketinggian yang lebih rendah. Maka dari itu, terlihat bangunan-bangunan juga lebih

banyak tumbuh didaerah dengan ketinggian rendah dan dekat dengan jalan.

Gambar 2.7 Pola radial pada permukiman kumuh di Vila Natal

(Sumber: Physical And Spatial Characteristic of Slum Territories Vulnerable to Natural Disaster)

Pada permukiman yang terlihat pada gambar 2.7, sebagian besar bangunan

berorientasi ke kontur yang lebih tinggi. Pola yang terbentuk yaitu radial, dengan

adanya ruang-ruang yang terbentuk dengan pola bertingkat sesuai dengan ketinggian

tanah yang berbeda. Pola radial membagi 5 blok permukiman secara tegak lurus

walaupun tofografi pada lahan tidak rata. Pada permukiman tersebut, dapat terlihat

pola seperti terasering yang disusun bertingkat dan sesuai dengan ketinggian

(15)

Gambar 2.8 Pola paralel yang mengikuti garis kontur.

(Sumber: Fernandez, 2002)

Pada permukiman yang terlihat pada gambar 2.8, ruang hunian akan terbentuk

secara diagonal dari garis kontur. Sehingga, ruang hunian yang tercipa akan

mempunyai kemiringan yang sama dengan level kontur. Permukiman ini tidak

mengikuti garis kontur secara horizontal, tetapi membentuknya dengan garis vertikal.

Adapun, ruang yang terbentuk umumnya tidak dibangun secara berdekatan tetapi

hanya berdiri beberapa rumah pada ketinggian tertentu.

Dari beberapa contoh tersebut, dapat dilihat banyaknya pola-pola yang

terbentuk pada permukiman kumuh yang terjadi secara tidak terencana. Namun, tidak

semua permukiman kumuh mengakomodasi wujud kemiskinan pada perkotaan dan

atau dengan kata lain semua penduduk setempat selalu miskin. Dalam menghadapi

tantangan dari daerah kumuh, peraturan yang berhubungan dengan keberlanjutan

(16)

dengan cara mengamati aktifitas sosial yang berjalan di daerah tersebut, melakukan

pendekatan dengan penghuni lokal dan merencanakan peningkatan dari ruang hunian,

infrastruktur dan kondisi lingkungan (Onyekachi, 2014. Hal 424). Pada dasarnya,

suatu permukiman yang terbentuk secara tidak terencana selalu dikaitkan dengan

sosial-ekonomi dari penghuni setempat. Dalam hal ini, sebagian besar penghuni dari

permukiman tersebut berasal dari tingkat ekonomi yang rendah. Tetapi, bukan berarti

pada setiap permukiman tidak terencana selalu menggambarkan wujud kemiskinan

pada kota yang ditempatinya. Permukiman tidak terencana dapat terbentuk dari

berbagai alasan dan tidak hanya berasal dari masalah perekonomian. Keadaan sosial

tentu memberi pengaruh pada terbentuknya permukiman tersebut, tetapi tetap tidak

dapat dijadikan alasan utama. Pemerintah juga mempunyai andil atas terbentuknya

permukiman tidak terencana. Hal tersebut dapat dimulai dengan tidak adanya

perencanan yang tepat atas suatu lahan maupun penangaan dan solusi atas

pertumbuhan populasi yang semakin banyak. Maka dari itu, sangat diperlukan adanya

pendekataan pada penghuni dari permukiman tidak terencana. Hal tersebut dilakukan

untuk mengetahui permasalahan yang terjadi, sehingga kemudian dapat mencari

solusi untuk memperbaiki maupun melakukan perencanaan pada daerah tersebut.

Tetapi, sebagian besar permasalahan atas suatu permukiman tidak terencana selalu

dapat mengandalkan peran pemerintah dalam mencari solusi. Sering sekali suatu

permukiman tidak terencana mulai terbentuk menjadi lebih besar tanpa terdapat peran

(17)

dapat terus menggantungkan setiap kebutuhan pada pemerintah maupun otoritas

lokal. Penduduk juga diharuskan memiliki pengetahuan akan permasalahan,

penyebab dan solusi yang memungkinkan untuk daerah huniannya. Penduduk tentu

mempunyai kesempatan dalam memanfaatkan dan mengolah ruang hunian mereka.

Penduduk juga tetap memerlukan pengawasan, pelatihan maupun bimbingan dari

pihak berwenang. Hal tersebut dilakukan, agar penduduk suatu permukiman dapat

mengambil langkah dan cara sendiri untuk memperbaiki daerahnya, tetapi masih tetap

berada pada peraturan yang telah disepakati (Hurskainen, 2004). Pada permukiman

tidak terencana, sering sekali ditemukan permasalahan yang berkaitan dengan

pengembangan infrastuktur di kawasannya. Hal tersebut terjadi karena suatu

permukiman yang tumbuh secara tidak terencana tentu memerlukan fasilitas-fasilitas

sosial yang sebelumnya tidak dirancang. Sehingga, ketika suatu permukiman itu

mulai berkembang, sangat diperlukan adanya infrastruktur yang mendukung dan

fasilitas sosial yang memadai. Tetapi, pada suatu permukiman tidak terencana hal

tersebut tidak direncakanan terlebih dahulu. Para penghuni hanya berfikir untuk

membangun huniannya dan tidak merencanakan untuk mengatur ruang-ruang publik

maupun sarana yang diperlukan nantinya. Sehingga, ketika suatu permukiman tidak

terencana kemudian mengalami suatu kebutuhan ataupun permasalahan, pemerintah

tidak dapat selalu memberikan bantuan langsung pada daeah tersebut. Hal tersebut

juga didasari atas kepemilikan lahan yang tidak resmi oleh para penghuni. Sehingga,

(18)

permasalahan. Maka dari itu, para penghuni setempat perlu memahami permasalahan

yang terjadi di daerahnya sendiri agar solusi bagi ruang hunian tersebut dapat

ditemukan.

2.3 Pengaruh Aspek Ekonomi Terhadap Terbentuknya Permukiman Tidak

Terencana

Pada permukiman tidak terencana tentu terbentuk melalui alasan-alasan yang

mempengaruhinya. Aspek ekonomi turut memberikan suatu alasan dalam

terbentuknya permukiman yang tumbuh secara tidak terencana. Adanya suatu

perubahan yang terjadi pada suatu kawasan turut memberi peran dalam pertumbuhan

permukiman tersebut. Salah satu faktor tersebut adalahnya peningkatan migrasi pada

suatu kawasan. Perubahan yang menyebabkan peningkatan migrasi umunya terjadi

akibat adanya peluang pekerjaan baru berdasarkan dua sudut pandang. Pertama,

adanya lapangan pekerjaan baru memberikan kesempatan bagi para pendatang untuk

mendapatkan kesempatan yang lebih baik dari segi ekonomi. Kedua, apabila diamati

melalui perspektif berbeda dengan adanya para pendatang menjadikan populasi

manusia di kawasan tersebut semakin meningkat. Peningkatan tersebut yang dapat

memberikan pengaruh pada terciptanya ruang-ruang yang digunakan sebagai tempat

tinggal para pendatang. Sehingga, dalam memenuhi kebutuhan akan tempat tinggal

diwujudkan dengan cara mencari area hunian yang dirasa tepat sesuai dengan

kemampuan ekonomi mereka (Rani & Shylendra, 2002). Salah satu faktor yang

(19)

peningkatan migrasi ke daerah perkotaan. Migrasi tersebut dapat memberikan

dampak positif maupun negatif dalam mengembangkan suatu kawasan. Pada dampak

positif, adanya migrasi akan memberikan lapangan pekerjaan baru bagi para

pendatang. Hal tersebut tentu akan berpotensi bagi kehidupan para imigran untuk

memperoleh penghidupan dari segi perekonomian yang lebih baik. Tetapi, dampak

negatif dari peningkatan migrasi akan sangat berpengaruh pada pertumbuhan

permukiman yang tidak terencana. Para pendatang yang mengharapkan penghidupan

yang lebih layak tentu akan memerlukan ruang-ruang untuk tempat tinggal mereka.

Selain itu, semakin banyaknya para pendatang yang terjadi akibat perkembangan

suatu kawasan akan semakin mendesak keberadaan masyarakat yang tidak memiliki

tempat tinggal yang resmi untuk meninggalkan daerahnya. Hal itu dapat terjadi

karena daerah yang mereka tempati akan diambil alih oleh para perancang untuk

dijadikan lahan perumahan maupun pembangunan yang lain. Sehingga, tercipta

dorongan untuk membangun ruang baru pada daerah-daerah yang berpotensi untuk

ditempati. Pengaruh aspek ekonomi juga tidak hanya akan membentuk ruang hunian

pada permukiman. Terdapat hubungan positif yang secara signifikan antara pola

pergerakan pada pejalan kaki dan akses spasial yang dipengaruhi interaksi sosial yang

berhubungan dengan aspek ekonomi pada penghuni di permukiman. Adanya

pengaruh aspek ekonomi juga dapat terlihat pada pola jalan yang terbentuk. Sebagai

contoh, terdapat perbandingan pada permukiman tidak terencana dan permukiman

(20)

direncanakan pada area gurun. Pada permukiman tidak terencana tersebut, interaksi

yang terjadi akibat adanya ruang komersil yang terdapat di sekitar area hunian

cenderung lebih banyak. Sedangkan pada Abu Qatada, yang merupakan permukiman

resmi di lahan pertanian, pergerakan pejalan kaki hanya terlihat lebih banyak pada

saat ingin menuju ke kota daripada di sirlukasi sekitar tempat tinggal (Mohamed &

Mohareb, 2012). Pada gambar 2.10, terlihat perbedaan pola jalan yang terbentuk pada

kedua permukiman tersebut. Pada permukiman yang tidak terencana terlihat bahwa

pola jalan yang terbentuk tidak terdapat pengaturan maupun perancangan

sebelumnya. Sehingga, pola yang terbentuk terlihat abstrak dan tidak beraturan.

Berbeda dengan permukiman terencana yang pada pola jalan terlihat lebih teratur dan

berbentuk grid. Akses pada jalan utama juga diatur sejajar dan permukiman

membentuk pola persegi panjang dengan mengikuti sirkulasi.

Gambar 2.10 Pola jalan pada permukiman tidak terencana Ezbet Bezkhit (Kiri) dan Pola jalan pada permukiman terencana (Abu Qatada).

(21)

Tetapi, selain pola jalan yang terbentuk berbeda di kedua permukiman adanya

pola jalan yang terbentuk juga berbeda di kedua permukiman. Terdapat perbedaan

interaksi dan pergerakan pejalan kaki yang menggunakan ruang sirkulasi tersebut.

Hal tersebut dapat dilihat pada perbandingan di kedua area yang terdapat di gambar

2.11.

Gambar 2.11. Pergerakan dan interaksi penghuni pada area jalan yang terlihat pada Ezbet Bezkhir (kiri) dan Abu Qatada (kanan)

(Sumber: Mohamed & Mohareb, 2012)

Pada area sirkulasi di kedua permukiman tersebut, terlihat perbedaan jumlah

dan tempat-tempat terjadinya interaksi dari penghuni setempat. Pada permukiman

yang tidak terencana, pergerakan pengguna jalan tersebar hampir menyeluruh pada

kawasan tersebut. Hal ini disebabkan oleh pola sirkulasi yang tidak teratur, sehingga

pergerakan pada daerah tersebut menyebar kearah yang berbeda-beda menuju akses

jalan yang lebih besar. Interaksi juga terjadi di beberapa titik permukiman dan

(22)

sebagian besar pengguna jalan berasal dari orang dewasa, tetapi ada titik yang

didominasi remaja dan seimbang dengan anak-anak. Sedangkan pada permukiman

yang terencana, interaksi lebih banyak terjadi pada sirkulasi jalan yang lebih besar.

Sebagian besar pengguna jalan melakukan interaksi pada jalan akses menju ke kota.

Pengguna jalan juga terlihat didominasi oleh orang dewasa. Para remaja dan

anak-anak tidak pernah lebih dominan dalam melakukan interaksi di ruang sirkulasi

tersebut. Sehingga, dapat terlihat bahwa pada permukiman tidak terencana, penghuni

setempat cenderung lebih banyak berinteraksi maupun melakukan pergerakan pada

akses yang mereka miliki. Sedangkan pada permukiman terencana, interaksi hanya

terjadi pada beberapa titik yang terdapat pada akses jalan besar menuju kota. Dari hal

tersebut, dapat dilihat perbedaan gender juga mempengaruhi adanya ruang-ruang

yang digunakan sebagai tempat berinteraksi. Interaksi yang terjadi juga terdapat pada

ruang-ruang komersil yang terdapat pada permukiman tersebut. Sehingga, aktifitas

ekonomi juga tidak dapat dipisahkan dalam terbentuknya suatu ruang interaksi. Suatu

bentuk perkotaan ataupun permukiman disatukan dengan adanya interaksi simbiosis

dari pembangunan infrastruktur dan aktifitas ekonomi dengan penghuni setempat.

Interaksi ini secara sistematis terjadi karena adanya kepentingan dari penghuni

setempat untuk terus mengembangkan daerahnya (Bessusi dkk, 2010). Suatu bentuk

permukiman sering sekali terjadi karena adanya interaksi, seperti pada permukiman

tidak terencana di Kairo, interaksi terjadi pada area sirkulasi dan juga ruang-ruang

(23)

kemudian menjadi suatu permukiman. Dengan adanya aktifitas ekonomi, penghuni

setempat juga akan membutuhkan fasilitas-fasilitas yang mendukung. Sehingga,

seiring berjalannya waktu suatu permukiman tidak terencana akan semakin

mengembangkan daerahnya agar terus mendukung aktifitas ekonomi mereka.

Tentu dari hal tersebut, dapat terlihat dalam pengembangan permukiman

terdapat pengaruh dalam membentuk suatu ruang. Adanya faktor yang mempengaruhi

dapat terkait dengan sistem budaya, politik, sosial dan ekonomi yang berbeda-beda di

dunia. Dengan demikian, tentu setiap permukiman mempunyai pola yang berbeda

dari satu daerah ke daerah lain, tempat ke tempat lain maupun waktu ke waktu. Oleh

karena itu, sangat penting penghuni suatu permukiman dalam mengatur hubungan

spasial antar area hunian dengan area hunian lainnya berdasarkan aspek jarak,

perbedaan fungsi, aspek sosial, ekonomi dan pengaturan lainnya (Sarkar, 2010. Hal

1). Adanya aspek yang mempengaruhi terbentuknya suatu ruang hunian tentu

menjadikan suatu permukiman mempunyai pola-pola yang berbeda dengan yang lain.

Pola yang terbentuk pada suatu permukiman pada dasarnya dipengaruhi oleh keadaan

sosial pada kawasan tersebut. Dalam suatu permukiman, tentu memerlukan suatu

hubungan spasial antar area hunian lainnya. hal tersebut dilakukan agar terjalin

interaksi sosial pada penghuni area tersebut. Adapun suatu area hunian tentu

terbentuk melalui aspek yang berbeda-beda. Perbedaan jarak yang dapat diakses atau

sistem sirkulasi yang terdapat di suatu permukiman formal tentu akan berbeda apabila

(24)

hunian yang terbentuk pada permukiman tidak terencana juga akan mempunyai

perbedaan fungsi. Sebagai contoh, para permukiman formal area hunian hanya

digunakan untuk tempat tinggal, tetapi pada permukiman tidak terencana dapat

digunakan sebagai hunian dan juga ruang berkumpul. Selain itu, tentu pada

permukiman tidak terencana aspek sosial-ekonomi akan terlihat jelas apabila

dibandingkan dengan permukiman formal. Pada umumnya, kondisi ekonomi yang

rendah menjadi faktor utama yang membentuk suatu permukiman tidak terencana.

Sehingga, pada ruang hunian di kedua permukiman tersebut juga akan mudah terlihat

perbedaannya. Sebagai contoh pada permukiman tidak terencana, bangunan yang

terdapat cenderung dibangun tidak permanen dan juga berada pada lokasi yang tidak

direncanakan sebagai area perumahan.

2.4 Aspek Lainnya Dalam Membentuk Permukiman Tidak Terencana

Suatu permukiman yang tumbuh secara tidak terencana tentu tidak hanya

didorong oleh salah satu aspek tertentu saja. Permukiman tersebut akan terbentuk

melalui aspek yang saling berkaitan dengan kondisi maupun situasi yang berbeda

yang dapat timbul dari lingkungan maupun penghuni lokal. Sehingga, dalam

terbentuknya suatu permukiman akan tercipta pengelompokkan ruang hunian, ruang

berkumpul, pola jalan maupun bentuk permukiman yang berbeda-beda di setiap

tempat. Pengelompokkan ruang hunian terjadi oleh pengaruh aspek-aspek kehidupan.

Aspek tersebut adalah aktivitas ekonomi, sistem sirkulasi, komunikasi, sistem politik,

(25)

selalu mempengaruhi aktifitas maupun perilaku manusia. Sebagai contoh, aktifitas

ekonomi akan mendorong seseorang untuk terus memenuhi kebutuhan dengan cara

meningkatkan mata pencahariannya yang secara finansial dapat memenuhi setiap

keperluannya sehari-hari. Selain itu, aspek ekonomi sering sekali menjadi tolak ukur

seseorang dalam menciptakan hubungan spasial yang terjadi di lingkungannya. Pada

suatu permukiman yang tidak terencana, sering sekali dilatarbelakangi oleh penghuni

dengan tingkat ekonomi yang rendah. Sehingga, terbentuk suatu ruang yang dihuni

oleh penghuni dengan persamaan keadaan sosial. Pengelompokkan ruang hunian,

juga dapat terbentuk dari sistem sirkulasi di permukiman tersebut. Selain itu, suatu

perumahan atau permukiman pada umumnya memerlukan sistem pengaturan secara

luas seperti, pengaturan pada zona hunian, lingkungan atau ruang terbuka serta

pengaturan jaringan jalan atau jangkauan atau akses ke daerah lain (Rapoport, 2006).

Hubungan spasial tentu terjadi dengan adanya komunikasi antar penghuni setempat.

Komunikasi yang terjalin tentu dapat terjadi dengan adanya interaksi yang terjadi

secara spontan maupun saat direncanakan. Adanya komunikasi yang terjadi sering

sekali menciptakan ruang sosial baru di suatu kawasan. Sebagai contoh, dengan

adanya sirkulasi yang tidak terlalu besar di suatu permukiman tidak terencana, maka

memungkinkan beberapa penghuni akan bertemu saat mengakses jalan tersebut.

Dengan adanya pergerakan tersebut, tentu akan menciptakan komunikasi diantara

mereka. Komunikasi yang terjadi pada area sirkulasi tersebut tentu sudah tercipta

(26)

itu, komunikasi sangat berperan dalam membentuk hubungan spasial pada

permukiman tidak terencana.

Pengaturan-pengaturan yang baik pada suatu permukiman tidak terencana

tentunya juga akan membentikan manfaat apabila daerah tersebut dikembangkan

menjadi kawasan permukiman yang resmi. Adanya pengembangan perumahan

maupun permukiman secara besar-besaran di area perkotaan, memerlukan konsep

yang tepat untuk mencapai tujuan. Konsep tersebut dilakukan untuk mendukung

pengembangan berkelanjutan, integrasi antar lingkungan sekitar dengan kota,

kawasan maupun desa. Sehingga, apabila direncanakan dengan tepat maka akan

tercipta suatu konsep yang dapat menghubungkan pengaturan pada modal sosial dan

pemberdayaan penghuni ilegal di suatu kawasan (Babei, Ahmad & Gill, 2012.).

Sehingga, sangat diperlukan bantuan dari pemerintah tidak hanya dari segi

perencanaan suatu akwasan. Tetapi, juga dapat memberikan suatu bimbingan maupun

pengaturan bagi para penghuni permukiman tidak terencana. Hal in penting, agar

dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi di daerahnya, mereka tetap berada

pada kebijakan-kebijakan pemerintah. Sehingga, ketika kawasan tersebut sudah mulai

berkembang, tidak akan menimbulkan permasalahan baru dan juga dapat memberi

Gambar

Gambar 2.1 Area Permukiman Tidak Terencana di Kaludjerica, Serbia
Gambar 2.2 Pola Grid di permukiman kumuh, Lima, Peru
Gambar 2.3 Pola grid permukiman kumuh Tarna Rosa, Lima, Peru.
Gambar 2.4 Pola grid pada permukiman kumuh Dos de Mayo et Primero de Mayo Slums, Lima – Peru
+6

Referensi

Dokumen terkait

dilakukan bersama- sama oleh warga program studi dengan cara memberi arahan, makna pada kerja dan usaha yang dilakukan berdasarkan visi program studi.. (a)

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Keputusan Bupati Bantul tentang Penetapan Hasil Data Keluarga Miskin

[r]

bahwa berdasarkan Keputusan Bupati Bantul Nomor 167 Tahun 2006 tentang Pengangkatan Dewan Pengawas Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat Bank Pasar Kabupaten

2 Kevin Hervianti Jurnalistik Sekolah 80 Jam (3 Hari) Hotel Grand Duta Palembang Disdik Propinsi Sumatera Selatan. 22 - 24 Agustus

Some nationalist groups also perceived neo-liberalism as the absence of state control in energy sector eventually raising concern about foreign company domination

BA P Guru Kelas MI MIN Manyak Payed Kab.. ABD L Guru Kelas MI MIN

Gambar 3.3 pengolahan sampah.. 21 pada tabel terlampir. Tabel 3.1 menggambarkan secara mendetail cara-cara pembuangan sampah oleh rumah tangga di Kabupaten