• Tidak ada hasil yang ditemukan

Quo Vadis Komunikasi Politik Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Quo Vadis Komunikasi Politik Indonesia"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

QUO VADIS KOMUNIKASI POLITIK INDONESIA DI ERA DIGITAL1

Oleh: M. Affauw Al Bagaq

A. Latar Belakang

Suatu hakikat alami dari kehidupan adalah ditandai dengan adanya perubahan. Esensi suatu perubahan ditandai dengan pergeseran keadaan suatu materi menuju pada harapan yang diinginkan di masa akan datang2. Tampaknya esensi tersebut tidak hanya berlaku pada materi yang terlihat namun juga terjadi bagi suatu materi yang tidak terlihat. Salah satu ranah dari contoh materi perubahan yang tidak terlihat adalah perubahan deras arus komunikasi di era digital.

Data menunjukkan bahwa tahun 1998 di Indonesia, dari hanya 279 perusahaan media cetak dan 5 stasiun televisi swasta berubah menjadi tiga kali lipatnya kurang dari satu dekade berikutnya3. Tidak hanya sampai di situ, pertumbuhan media massa di Indonesia tahun 2012 telah menggali ranah dunia maya dengan angka 80 juta pengguna internet, lebih dari 29 juta penikmat twitter, lebih dari 64 juta pemakai facebook, dan tercatat ada lebih dari 7 juta blog di manfaatkan oleh para blogger4. Namun yang menjadi pertanyaan saat ini, apakah definisi dari makna perubahan di atas relevan dengan kondisi media massa di Indonesia saat ini. Apabila kita menganalisis kata “harapan yang diinginkan” pada definisi di atas, maka nampaknya ini relevan dengan tuntutan reformasi, akan tetapi tatkala kita merubah tujuan kita ke arah politik maka tidak semua pelaku dan objek politik menduga bahwa harapan dari tuntutan reformasi telah beralih kepada betapa bermanfaatnya era digital dalam komunikasi politik di Indonesia.

Komparasi fakta dan teori di atas akan lebih menarik saat kita telusur dengan kebenaran empirik, dimana sudah menjadi rahasia umum bahwa khusus komunikasi digital di ranah pertelevisian hampir dominan dimiliki oleh para politikus-politikus yang bertarung di Pemilu 2014, sebut saja HT di MNC Group, SP di Metro TV dan Media Indonesia, dan ARB di TV One dan ANTV. Bahkan data menyebutkan bahwasanya selain daripada tiga politikus di atas masih terdapat 455 perusahaan media di Indonesia dimiliki oleh selusin politikus lainnya yang juga ikut bertarung dalam Pemilu 20145. Relevansi dari fakta tersebut adalah penetrasi komunikasi politik yang dilakukan hampir

1Dipresentasikan dalam Diskusi Plato’s Institute, Lantai 1 eks. IIP Cilandak, Minggu, 25/05/14

2Nasution, 2010, Manajemen Perubahan, Ghalia Indonesia:Bogor, Hal.3 3Tinjauan Kompas, 2014, Menatap Indonesia 2014, Hal.154

4Loc.Cit, Hal.154

(2)

mencapai 98 % terjadi pada ranah pertelevisian dengan asumsi TV akan menjadi kanal utama dalam meraup 173 juta pemilih pada Pemilu 20146.

Kontradiksi nampak terjadi tatkala data-data dan harapan politik di atas terbantahkan oleh hasil tetap perolehan suara masing-masing parpol dalam Pileg 2014, yangmana hasil suara para pemilik media massa dominan tidak mempengaruhi hasil perolehan suara bagi partainya7. Bahkan

keberadaan Bapak Gubernur DKI Jakarta (Capres PDI-P 2014) yang menjadi

media darling di Indonesia tidak mampu memenuhi target suara sebesar 30% bagi PDI-P. Oleh karena adanya disparitas harapan keberadaan media massa dalam komunikasi politik tersebut di atas, maka penulis merasa tertarik untuk menampilkan potret harapan dan tujuan mau dibawa kemana fungsi media massa khususnya di era digital seperti saat ini. Hal ini

diharapkan menjadi sebuah upaya alternatif dalam pengimplementasian komunikasi politik yang ideal bagi Indonesia.

B. Media Massa di Era Digital

Perkembangan media massa sebagai ujung tombak penyebaran informasi dan komunikasi di dunia telah meningkat secara signifikan dalam beberapa abad terakhir. Dimulai dari radio oleh Marconi sampai dengan puncaknya dengan rekor pertama komputer dapat memenangi duel catur melawan GM Garry Kasparov di Rusia8. Hal ini menunjukkan bahwa

perkembangan sarana media massa yang pada masa lalunya hanya sebagai sarana dalam penyebaran informasi dan komunikasi, namun pada saat ini telah mampu mengalahkan pola pikir manusia dalam konteks luasnya cakupan jarak, ruang, dan waktu yang dimilikinya.

Perkembangan media massa pada hakikatnya semakin berlanjut setelah ditemukannya internet sebagai sebuah jaringan yang

menghubungkan parental-parental komputer guna mempercepat gerak arus informasi dan komunikasi. Fenomena seperti ini dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari kita, dimana hampir setiap perkantoran, lingkungan kerja, ruang publik, bahkan sampai perkampungan telah dirambah oleh jangkauan internet. Apabila sepuluh tahun yang lalu televisi adalah sarana tercepat dalam penyampaian berita untuk masyarakat, maka hari ini hanya dengan sekali “klik” saja berita dapat diterima oleh penikmat informasi dan komunikasi.

Dampak positif yang terjadi tentunya hal ini sangat bermanfaat dalam efisiensi ruang dan waktu dalam mengkonsumsi berita. Namun bukan berarti internet tidak dapat memberikan dampak negatif, hal ini dapat kita lihat

6Loc. Cit, data BPS dan KPU 2013, Hal.155

7Lihat hasil akhir perolehan suara parpol Pileg 2014 pada kpu.go.id, dimana hanya Partai Golkar pimpinan ARB yang terlihat efektif dalam pencapaian hasil Pemilu 2014 sebesar 14,75%. Diakses 23/05/14

(3)

bahwa kejahatan tidak hanya terjadi di dunia nyata, karena saat ini cyber crime telah merajalela dan susah untuk diberantas. Hal tersebut disebabkan oleh luasnya jangkaun ruang dan waktu yang harus kita awasi. Kenyataan seperti ini melahirkan dualisme, dimana saat internet digunakan maka ruang dan waktu memperoleh berita semakin dekat jaraknya, namun hal sebaliknya juga pasti terjadi dimana saat internet digunakan maka ruang dan waktu penyalahgunaannya semakin luas untuk dikontrol.

Realita perkembangan media massa di atas seakan-akan

memberikan arahan kepada kita selaku penerima berita untuk bijak dan cermat dalam mencerna berita. Bijak berarti si penerima berita bersifat aktif, maksudnya adalah penerima berita aktif dalam mencari dan menggunakan sarana media massa dengan benar-benar melandasi niat dan tujuannya sepositif mungkin guna menghindari penyalahgunaan sarana media massa. Contohnya adalah ketika internet sebagai salah satu sarana media massa, seharusnya tidak digunakan hanya untuk membuang-buang waktu seperti bermain game online dan bahkan melakukan hacking terhadap akun privasi orang lain saja, melainkan untuk menambah informasi dan komunikasi yang lebih bermanfaat. Sedangkan makna cermat berarti si penerima berita

bersifat pasif, maksudnya adalah penerima berita hanya menerima berita tanpa harus mencari berita melalui sarana media massa. Dalam keadaan ini

si penerima berita dituntut sifat cermat dan mampu menyaring berita-berita yang objektif untuk dipahami. Contohnya adalah ketika penerima berita hanya mendapatkan berita dari sarana televisi dan radio, maka seharusnya penerima berita harus mampu mencermati kebenaran berita tersebut agar informasi yang di dapat benar-benar objektif dan tidak berdampak negatif bagi dirinya sendiri bahkan bagi orang lain disekitarnya.

Adanya amanat dalam menyikapi perkembangan media massa di atas pada hakikatnya masih menempatkan manusia hanya sebagai objek

penerima berita. Sekarang permasalahannya adalah bagaimana jikalau halnya kita sendiri yang menjadi sumber dari berita atau informan bagi sebuah media massa. Realita seperti ini hampir dominan akan kita alami khususnya di ranah akademisi. Dapat kita lihat di era digital saat ini, berbagai macam lembaga survei secara alami telah menjamuri persepsi masyarakat akan suatu konsen masalah. Survei tersebut beragam ranahnya, mulai dari survei kepuasan sampai dengan survei kebahagian masyarakat, bahkan dari survei kemiskinan sampai dengan survei kesejahteraan suatu negara.

Pola rasional yang terpikirkan adalah tentunya informasi survei di atas berasal dari informan atau sampel person dari populasi survei. Hal ini

(4)

adalah objektif adanya. Oleh karena itu, guna menghindari ketidakobyektifan tersebut, maka integritas dan kejujuran para pelaku pemberitaan harus diutamakan. Hal ini dimaksudkan agar perkembangan media massa di era digital tidak bersifat salah arah dan malah merusak stabilitas persepsi masyarakat yang menikmatinya.

Selai daripada itu, guna menghindari penyalahgunaan media massa yang hanya mementingkan kepentingan subjektif, maka menurut penulis kita perlu memahami konsepsi media massa. Hal ini akan mengarahkan kepada kita untuk menjaga arah tujuan dan manfaat dari perkembangan media massa di era digital supaya tidak disalahgunakan atau ditunggangi oleh suatu kepentingan.

C. Media Massa vs Komunikasi Politik di Indonesia

Potret suram kebebasan berpendapat dan bersuara telah pernah kita alami di masa lalu bangsa ini. Keberadaan media massa pun sebagai sarana menyuarakan pendapat pernah di”breidel” dengan alasan untuk menjaga stabilitas politik Indonesia. Berkaitan dengan hal tersebut, dapat kita lihat betapa eratnya kaitan antara komunikasi di dalam media massa dengan seimbangnya stabilitas politik Indonesia di masa yang lalu. Bergantung kepada adigium bahwa “hasil yang terbaik adalah perubahan menjadi lebih baik dari masa lalu”, maka secara kritis kita akan melihat tentang bagaimana seharusnya hubungan media massa terhadap stabilitas politik Indonesia.

Teori Habbermas (1984) menjelaskan bahwa secara fungsi

atributifnya media adalah ruang publik berupa fondasi bangunan demokrasi dan keadaban masyarakat9. Konsepsi tersebut menjelaskan kepada setiap orang bahwa betapa pentingnya sebuah kebebasan media massa untuk melandasi keterbukaan informasi dan komunikasi yang ditujukan guna meningkatkan suatu peradaban manusia melalui wadah demokrasi. Sejalan dengan hakikat tersebut, makna ruang publik berarti media massa adalah instrumen terbuka atau sarana terbuka bagi para masyarakat untuk

memanfaatkannya sebaik mungkin dan senyaman mungkin. Makna manfaat yang kami maksud seharusnya harus merujuk kepada kebaikan dan

keobyektifan akan sebuah informasi dan komunikasi. Sebuah hal yang patut kita sayangkan bahwasanya tidak semua informasi dan komunikasi sesuai dan cocok dengan kondisi sosial budaya masyarakat, sehingga yang patut kita perhatikan adalah siapa orang dibalik layar yang menggerakkan dan menyalahgunakan penggunaan media massa. Hasilnya adalah alih-alih menikmati manfaat dari media massa, akan tetapi isu-isu publik kadang kala mempengaruhi stabilitas politik suatu bangsa10.

9Tinjauan Kompas, Loc.Cit

(5)

Adanya permasalahan di atas telah mengarahkan kepada kita akan munculnya kontraksi tambahan dari peran media massa yang diharapakan sebagai pembawa angin demokrasi beralih fungsi menjadi instrumen politik di dalam demokrasi. Hakikatnya tidak ada yang salah dari peralihan fungsi komunikasi tersebut, akan tetapi secara outcome yang akan didapatkan, maka hal ini tergantung kepada proses dari berlangsungnya komunikasi politik melalui media massa. Hal ini dapat dijelaskan tatkala kita mengerti tujuan mulia dari politik itu sendiri, yaitu politik adalah suatu aspek yang berhubungan dengan kemampuan pemerintah untuk memampukan

masyarakat guna memahami negara dan tujuan dibentuknya pemerintahan sehingga setiap warga negara memiliki tanggung jawab atas masa depan negaranya11. Salah satu cara terbaik untuk mewujudkan konsep politik tersebut tentunya adalah dengan melakukan komunikasi. Hal ini dikarenakan sangat tidak mungkin sebuah harapan dari persamaan persepsi masyarakat akan terjadi tanpa adanya peran komunikasi yang baik antara pemerintah dan warganya.

Berkaitan dengan sinkronisasi komunikasi politik terhadap persepsi masyarakat, maka tentunya keobyektifan dan keabsahan informasi yang diberikan oleh elit politik akan menambah nilai manfaat bagi pendidikan politik masyarakat. Kembali kepada pandangan kita di awal, bahwa sarana utama dari keobyektifan dan keabsahan suatu informasi dan komunikasi adalah media massa, maka seyogyanya media massa harus netral dari pengaruh politik yang ditunggangi oleh pihak yang berkepentingan. Makna netralitias yang kami maksudkan bukan berarti membatasi media massa dari jamahan politik, karena tidak mungkin komunikasi politik terjadi tanpa media massa. Akan tetapi yang menjadi maksud kami adalah netralitas media massa menyangkut tentang obyektifitas informasi dan berita sebagai produk dari media massa. Hal itu ditujukan untuk tidak memberikan pengaruh negatif bagi persepsi masyarakat atas isu-isu politik yang sedang terjadi di

masyarakat. Oleh karena itu, apabila netralitas media massa dapat terlaksana maka tujuan utama dari komunikasi politik akan tercapai dan mewujudkan kecintaan dan rasa tanggung jawab seluruh warga negara untuk menjaga Indonesia.

Alangkah baiknya demi kekonkritan pembahasan ini mari kita lihat harapan empirik dari netralitas media massa yang dielaborasikan dengan perkembangan komunikasi politik di Indonesia. Pertama, dengan tanpa mengurangi nilai dan tujuan atas pemberitaan suatu media massa, maka kita patut melihat dan menyadari bahwa media sosial adalah salah satu sarana komunikasi politik yang harus kita cermati netralitasnya. Hal ini didukung dengan data bahwa 22 dari 30 juta pemilih usia 17-23 tahun pada pemilu

(6)

2014 adalah pemilih pemula yang aktif dalam aktivitas media sosial12. Kenyataan ini rentan untuk dipengaruhi oleh kecermatan pemilih pemula dalam melihat sosok pemimpin atau elit politik yang akan mereka pilih, dikarenakan pada saat ini apabila kita membuka media sosial maka para Tim Sukses secara aktif menyerukan bahkan memberikan perbandingan yang berbau politis untuk merendahkan lawan politiknya13. Ciri utama dari adanya komunikasi politik di media sosial ini adalah adanya interaksi sesama

anggota pengguna media sosial yangmana apabila ini terjadi secara luas maka akan terbentuk jaringan komunikasi politik, sehingga setiap pengguna media sosial akan memperbincangkan dan saling bertukar saran pendapat mengenai isu politik, yang pada puncaknya akan memperluas komunikasi politik dari sekelompok orang kepada kelompok lainnya. Dapat kita lihat dari realitas tersebut bahwa apabila para pemilih pemula belum memiliki

pandangan yang objektif terhadap suatu pemberitaan media sosial maka dapat kita pastikan bahwa pemimpin yang akan dipilih oleh 0,16% total suara pemilih tersebut akan jatuh kepada pemimpin yang belum tentu terbukti kualitasnya secara riil di dunia nyata, akan tetapi hanya terbukti koarnya di dunai maya.

Kedua, netralitas media massa dalam komunikasi politik juga harus kita waspadai di ranah media massa online. Agak mirip ranahnya dengan media sosial akan tetapi letak perbedaannya adalah terdapat dari tidak adanya interaksi timbal balik yang diberikan oleh media massa online. Contoh konkritnya adalah website-website Tim Sukses para calon pemimpin kita, koran-koran online, dan situs-situs lembaga survei politik di Indonesia14. Para penjelajah internet hanya mampu melihat berita online tersebut dan kemudian mencernanya sendiri tanpa harus langsung menginteraksikannya antar sesama pengguna internet. Artinya masih ada batasan dan

keterputusan jaringan komunikasi politik di media online apabila tidak disampaikan kembali oleh penerima berita kepada orang lain disekitarnya. Perlunya netralitas dimaksudkan agar mempermudah para penerima berita online dalam mencerna substansi politik dan kemudian dapat membantu keobyektifannya dalam menentukan pilihan yang tepat sesuai dengan realita politik Indonesia. Tidak hanya sampai berhenti di ranah kemudahan

menerima substansi, kenetralitasan media online juga dapat ditujukan sebagai kontrol pemerintahan dan evaluasi kebijakan. Hal yang kami

12Tinjauan Kompas, Op.Cit, Hal.157

13Salah satu media sosial adalah facebook dan twitter sebagai sarana komunikasi politik yang paling dominan di Indonesia, dan hampir disetiap waktu kita akan melihat posting masing-masing Tim Sukses Capres 2014 yang saling menyuarakan keunggulan dan perbandingan dengan lawan politiknya. Akses facebook.com dan twitter.com

(7)

takutkan adalah terjadi suatu permasalahan apabila kontrol yang diberikan hanya menambah masalah bangsa tanpa harus memberikan solusi bagi permasalahan tersebut. Terlebih makna evaluasi di sini juga berperan aktif dalam menyaring berita-berita terhangat untuk perbaikan kebijakan, karena tidak menutup kemungkinan muncul berbagai macam berita terbaru yang ditujukan untuk mengalihkan kehangatan informasi permasalahan lama yang padahal belum selesai proses pemecahannya, sehingga masyarakat seakan lupa dan tidak tertarik lagi untuk mendengar dan membaca kelanjutan

ceritanya.

Ketiga, ranah media massa yang harus sangat kita harapkan netralitasnya adalah media televisi. Fenomena penting yang patut kita perhatikan adalah hampir semua perusahaan media pertelevisian dimiliki oleh elit politik atau tokoh masyarakat yang ikut bertarung pada Pemilu 201415. Kembali kepada pokok pembahasan kita di awal dan pada latar belakang penulisan makalah ini, maka perlu kita amini bersama bahwa ranah pertelevisian adalah sarana komunikasi politik yang paling efektif untuk menyampaikan visi dan misi para calon pemimpin bangsa. Kaitannya dengan para pemilik media pertelevisian yang kami sebutkan di atas adalah mereka lebih diuntungkan selangkah dalam menyuarakan program politiknya untuk 2014 dibanding para elit politik yang tidak memiliki media pertelevisian atau media massa lainnya16. Fakta ini didukung oleh Teori Kinsey (1999), bahwa iklan politik adalah senjata berharga bagi para kandidat dalam

mempengaruhi calon pemilih tentang bagaimana cara mengenal, membantu, dan memberikan standar penilaian mereka terhadap pemaknaan masalah bangsa17. Hal ini patut kita pahami bahwa apabila kenetralitasan tidak mendasari komunikasi politik yang diberitakan oleh media pertelevisian, maka sudah barang tentu objektifitas berita akan terganggu dan puncak permasalahan dalam demokrasi adalah tidak adanya konsensus terhadap hasil Pemilu 2014.

Adanya tujuan dan pentingnya netralitas dari media massa yang telah penulis jelaskan di atas, pada intinya adalah untuk menjaga keobyektifan penyiaran informasi dan komunikasi, yangmana saat ini telah jauh

merambah dunia politik. Namun untuk lebih mengkonkritkan mau dibawa kemana arah perkembangan pemahaman masyarakat tentang komunikasi politik di era digital, maka kita perlu untuk melihat berbagai macam fakta pengecualian dalam komunikasi politik di Indonesia.

15Sebagai perhatian dapat kita lihat bahwa ARB bersama TV One dan ANTV, SP bersama Metro TV, dan HT melalui MNC group adalah para elit dan tokoh politik yang turut bertarung dalam Pemilu 2014.

16Fakta nyata adalah dengan adanya sisipan “Kuis bertemakan Kebangsaan” pada salah satu media pertelevisian yang dimulai semenjak akan diadakannya Pemilu 2014, Namun sangat disayangkan WIN-HT gagal untuk meluluskan niatnya menjadi Capres dan Cawapres RI 2014.

(8)

D. Fakta Pengecualian dalam Komunikasi Politik Indonesia Adanya jarak dan kenisbian dari perencanaan dan kenyataan yang terjadi adalah konsep utama dalam membedakan hasil dan hasrat yang diimpikan. Hal serupa juga terjadi di dalam komunikasi politik. Tujuan utamanya sebagai transformasi nilai-nilai politik, namun bergeser kepada penarikan simpatisan agar memilih para politisi yang menyuarakan nilai-nilai politik tersebut. Hal ini bermaksud bahwa secara otomatis dengan adanya transfer nilai-nilai maka untuk mengimplementasikannya para masyarakat seharusnya memilih politisi yang menyuarakannya. Akan tetapi sebuah ketiadaan terjadi tatkala harapan tersebut tidak terwujud di dalam praktek politik. Oleh karena itu, penulis mencoba mendefinisikan peristiwa ini sebagai hal-hal pengecualian yang terjadi dalam komunikasi politik.

Khusus di Indonesia, fakta pengecualian pertama yang terjadi dapat kita lihat dalam fenomena Pileg 2014. Hampir disetiap lembaga survei menempatkan Bapak Joko Widodo sebagai media darling dan kandidat kuat Presiden Indonesia 2014-2019. Secara elektabilitaspun beliau diyakini mampu menarik separuh lebih pemilih di dalam Pilpres 2014, namun hitung-hitungannya hal itu dapat terealisasi apabila Partai PDI-P yang mencalonkan Bapak Joko Widodo mampu meraup Presedential Treshould sebesar 20% suara sah dalam Pileg 2014. Bahkan target PDI-P sebelum Pileg 2014 berlangsung adalah berkisar di angka 30%.

Hal pengecualian yang terjadi di sini adalah tidak selamanya komunikasi politik yang dibangun di dalam media massa memberikan pemahaman yang sama bagi masyarakat pemilih. Walaupun masyarakat simpati dan suka terhadap kinerja Bapak Jokowi namun masyarakat tidak semua memahami pesan utama dari proses pencapresan beliau. Dimana beliau seharusnya mampu men-derek suara PDI-P dalam Pileg 2014 agar tidak perlu membuat kontrak politik dengan koalisi partai lainnya. Alhasil, guna memuluskan langkah beliau menaiki puncak pimpinan pada 9 juli 2014 nanti, maka kita patut menunggu hasil komunikasi politik yang dibangun dengan JK sebagai Cawapres, sehingga kita bisa melihat akan adanya perubahan signifikan dari kenyataan Pileg 2014 ataukah hanya akan mengulangi fakta pengecualian seperti saat ini.

Kedua, apabila fakta pengecualian di atas masih mungkin bersifat signifikan jika kita lihat kedekatannya dengan perencanaan dan target dari komunikasi politik PDI-P, yaitu menjadi partai pemenang Pileg 2014. Maka akan berbeda halnya dengan jatuhnya suara Partai Nasional Demokrat dan Partai Hani Nurani Rakyat dalam Pileg 2014. Kisaran suara

masing-masingnya yang tidak mencukupi untuk mencapreskan SP dan mencawapreskan HT bersama Bapak Wiranto seakan merobohkan

(9)

perusahaan mereka lakukan guna komunikasi politik terlihat tidak

memberikan hasil yang sesuai dengan harapan. Patut kita lihat ke depan akankah niat politis para penguasa media ini benar-benar demi kepentingan negara ataukah hanya akan menjadi oposan terhadap pemerintahan yang memimpin nantinya. Hal ini sangat penting demi netralitas media yang mereka pimpin dalam melakukan kontrol dan evaluasi terhadap

pemerintahan, sehingga pencapaian tujuan dapat sesuai dengan harapan walaupun mereka tidak duduk di dalam kepemimpinan.

Ketiga, menurut penulis hal ini adalah faktor pengecualian terakhir yang patut kita pelajari dalam komunikasi politik di era digital. Fakta ini mengenai hadirnya H. Rhoma Irama sebagai Capres yang diusung oleh PKB pra Pileg 2014. Walaupun PKB tidak mencapai ambang batas pencapresan akan tetapi hasil rekapitulasi suara telah menempatkan mereka dalam Top-5 pemenang Pileg 2014 dengan perolehan 9,04% suara. Adapun kaitannya terhadap kehadiran si Raja Dangdut adalah dengan tidak mengurangi elektabilitas PKB jika mengikuti Pileg 2014 tanpa beliau, maka hasil baik PKB dalam Pileg ini kemungkinan besar sulit untuk didapatkan. Fenomena ini seakan menempatkan PKB sebagai partai poros tengah penentu Pilpres nantinya. Namun patah arang terjadi, tatkala sang Raja Dangdut sadar bahwa beliau tidak mungkin menjadi Capres dalam Pilpres nanti maka beliau menyatakan akan menarik seluruh dukungan massanya dari PKB18. Situasi seperti ini tentu seharusnya menjadi pelajaran kepada para politisi dalam memanfaatkan media massa sebagai sarana komunikasi poltik, bahwa elektabilitas yang muncul dikarenakan popularitas tampak kurang efektif dari elektabilitas yang lahir karena benar-benar menyuarakan objektifitas dalam komunikasi politik. Dan walaupun hasilnya tidak sesuai dengan harapan maka seyogyanya para politisi mampu menerima disparitas kenyataan yang terjadi.

Terakhir, fakta pengecualian yang paling unik adalah gagalnya ARB untuk menjadi Capres walaupun Golkar menempati urutan kedua Pileg 2014 dengan raupan 14.75%. Alih-alih menjadi Capres, bahkan posisi Wapres pun tidak bisa diperjuangkan oleh beliau walaupun seharusnya keunggulan beliau di bidang media massa seharusnya mampu menjadi nilai tambah komunikasi politiknya. Namun yang patut kita lihat di Juli 2014 adalah apakah tepat langkah koalisi beliau untuk mendukung pemenangan

pasangan Pra-Jasa menjadi pimpinan Indonesia. Hal ini dikarenakan tanpa menutup pamor masing-masing elit politik, maka hanya dua parpol yang sebenarnya juara dalam komunikasi politik 2014, yaitu PDI-P dan Gerindra. Dan apabilia kita kerucutkan lagi adalah semua nama elit politik pemilik sarana media komunikasi akan harus mengakui bahwa juara untuk saat ini bukanlah mereka, akan tetapi Bapak Jokowi dan Bapak Prabowo yang akan

(10)

bertarung Juli 2014. Hal ini adalah sebuah esensi dari fakta pengecualian yang menghiasi hasil komunikasi politik di Indonesia khususnya di tahun 2014.

E. Kesimpulan

Adanya perkembangan dari peran media massa dari ranah media publik menjadi ranah media politik memberikan simpulan tersendiri kepada kita. Secara sinkron hubungan keduanya sejalan dan merupakan satu arah tujuan. Akan tetapi kadang didalam prosesnya keduanya terlihat saling tarik-menarik dan saling mempengaruhi satu sama lainnya. Keadaan seperti ini tentu wajar dalam suatu ranah publik dan komunikasi politik dimana ada interaksi antara tiap individu dalam mendapatkan berita dan pendidikan tentang politik.

Keadaan perkembangan media massa juga terlihat dari fungsinya. Dimana saat ini keterbatasan ruang dan waktu dapat ditempuh secara luas oleh informasi dan komunikasi. Secara manfaat hal ini adalah merupakan salah satu keunggulan yang dapat digunakan oleh para pelaku politik untuk menanamkan rasa cinta kebangsaan, khususnya bagi Indonesia yang luasnya terbentang dari ujung sabang sampai tanah merauke.

Oleh karena itu, guna mencari arah terbaik dari perkembangan media massa sebagai sarana komunikasi politik di Indonesia, maka penulis

memberikan simpulan sebagai berikut:

1. Pentingnya netralitas informasi dan komunikasi politik yang disiarkan oleh media massa agar tidak ada politik kepentingan di dalamnya.

2. Melandasi dengan niat baik, kebijaksanaan, dan kecermatan bagi para penikmat media massa dalam menggunakan dan menerima informasi di era digital seperti saat ini.

3. Adanya persamaan visi dan persepsi antara pelaku politik dan komunikan di dalam menerima tujuan media massa yaitu sebagai fondasi bangunan demokrasi dan keberadaban masyarakat. 4. Adanya ketulusan komunikasi politik untuk benar-benar

mewujudkan masyarakat yang memahami tujuan negara dan bertanggungjawab atas masa depan negaranya.

Dengan adanya empat batasan di atas maka menurut penulis kita akan mampu untuk mengarahkan kemana arah terbaik dari adanya

perkembangan media massa di era digital sebagai sarana komunikasi politik Indonesia. Sehingga tidak ada lagi fakta-fakta pengecualian dan hasil-hasil disensus yang akan merusak stabilitas politik Indonesia menyangkut perkembangan media massa yang lebih maju di masa akan datang.

(11)

Berkaitan dengan perkembangan media massa di era digital sebagai sarana komunikasi politik di Indonesia, maka penulis mencoba untuk

mengelaborasikan pentingnya keterbukaan informasi publik dengan kemajuan teknologi sehingga menciptakan Pemerintahan Digital yang mampu menumbuhkan inovasi pemerintahan, yaitu sebagai berikut19:

1. Media digital sebagai akselerasi partisipasi masyarakat, dimana hal ini telah dilakukan oleh Vivek Kundra, seorang Chief

Information Officer di distrik Columbia, AS, yang memberikan keterbukaan akses data kepada masyarakat AS guna

menumbuhkan partisipasi dan evaluasi bahkan meminta rekomendasi terbaik atas suatu permasalahan bangsa untuk diselesaikan bersama menurut konsensus masyarakat dan pemerintah.

2. Media sosial untuk pemerintahan, merupakan terobosan Steve Ressler dalam menciptakan media sosial Govloop bagi internal pegawai negeri di AS yangmana mereka saling bertukar

permasalahan dan berusaha mencari solusi bersama atas masalah yang mereka hadapi di dalam penyelenggaraan pemerintahan.

3. Konsep kota digital, dimana Kota Hangzhou di RRC adalah salah satu kota di dunia yang telah menerapkan inovasi kota berbasis digital. Adapun konsep kota digital adalah kota yang

mengintegrasikan teknologi informasi dan komunikasi di tiap sudutnya. Sehingga kerusakan, kekerasan, dan pengaduan dapat dengan cepat diterima serta ditanggapi oleh pemerintah.

Ketiga saran di atas merupakan bukti bahwa sebenarnya

perkembangan media massa dan komunikasi politik dapat saling mendukung dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Adanya bukti tersebut juga merupakan contoh yang patut kita teladani dan harus lebih

ditumbuhkembangkan lagi sehingga fondasi demokrasi dan keberadaban manusia yang menjadi tujuan dasar media massa dapat kita wujudkan di negara tercinta ini.

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Hidayat (2003:96) bahwa fungsi metode bernyanyi pada anak TK adalah untuk mencapai kemampuan dalam pengembangan daya cipta, mencapai kemampuan dalam

Karena pasien dengan hipovolemia disertai renin dan aldosteron yang tinggi umumnya menderita penyakit SNKM dan responsif steroid, sedangkan mereka dengan

Laporan keuangan yang memuat biaya operasi sekolah antara lain :. Pengembangan guru

Bahkan S.M Yunus memberikan sebuah hipotesis demikian, “sunnah menunjuk pada praktik yang berbeda dengan dokumentasi (hadits). Sunnah adalah tindakan normatif, yang membentuk

Puji syukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala , atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan LTP Projek Akhir Arsitektur Periode 65

Pada umumnya bukti adanya kesepakatan seperti akta otentik dalam perjanjian tidak terlalu diperhatikan, yang terpenting bagi para pihak yang melakukan perjanjian adalah

9.1 Ringkasan Sebut Harga hendaklah menjadi sebahagian daripada Borang Sebut Harga ini dan hendaklah menjadi asas Jumlah Harga Sebut Harga. 9.2 Harga-harga dalam Ringkasan Sebut

Hasil penelitian menunjukkan bahwa induksi kalus embriogenik dari eksplan jaringan daun paling tinggi didapatkan pada perlakuan ZPT 2,4-D 3 mg/l + TDZ 1 mg/l yang ditambahkan