BioKultur, Vol.II/No.2/Juli-Desember 2013, hal. 113
Mitos dan Etos: Budaya Kerja Merantau
Masyarakat Kampung Soto Ayam Lamongan
Roikan
roydmonkey@gmail.com
(Staf Pengajar Antropologi Budaya Universitas Brawijaya)
Abstract
This paper seeks to uncover behavior patterns and cultural work traders Soto Ayam Lamongan. The main focus is the work of the informal sector in the community of Dusun Kebontengah village of Rejotengah town in Deket Lamongan-East Java, known as kampung soto (sotoan). Most of the residents of the village to work as a seller of chicken soup in different regions and major cities. The prevailing belief in the community that when selling something related to food — especially chicken soup (Soto Ayam)- then will be more in demand and successful compared with other work involved. This view is based on the myth that a presumption that selling food would be condoned by the ancestors of Buyut Bakal who would become particularly prominent and known as the hamlet of openers Cook of Sunan Giri. The study based on the author's observations as residents soto who are looking for the relationship between the existence of the mythical sacred mausoleum (Buyut Bakal) with a work ethic that flourished in the community.
Keywords: Work Culture, Myth, Ethos, Rituals, Ancestors.
Abstrak
Karya ini berusaha untuk menemukan pola-pola perilaku dan budaya kerja pedagang Ayam Soto Lamongan. Tulisan ini difokuskan pada kegiatan sektor informal dalam masyarakat Dusun Kebontengah desa Rejotengah kota di Deket Lamongan-Timur Jawa, dikenal sebagai kampung soto ( sotoan ). Sebagian besar penduduk desa untuk bekerja sebagai penjual sup ayam di berbagai daerah dan kota-kota besar. Kepercayaan yang berlaku di masyarakat ketika menjual sesuatu yang berhubungan dengan makanan — terutama ayam sup (Soto Ayam) - akan lebih sukses karena dibutuhkan dibandingkan pekerjaan lainnya. Pandangan ini didasarkan pada mitos bahwa menjual makanan akan lebih dapat dimaafkan oleh leluhur Buyut Bakal yang lebih dikenal sebagai dusun pembuat bagi Sunan Giri. Studi ini menggunakan hasil pengamatan penulis pada hubungan antara penduduk desa pembuat soto dan keberadaan mitos makam suci (Buyut Bakal) dengan etos kerja yang berkembang di masyarakat.
Kata kunci: Budaya kerja, mitos, etos, ritual, nenek moyang.
anusia berusaha memenuhi
kebutuhan hidupnya dengan bekerja. Pekerjaan yang
dila-kukan tidak hanya dipengaruhi oleh
pilih-an individu semata, namun terdapat fak-tor lingkungan sosial. Misalnya di
Kasong-an Jogjakarta terdapat kampung yKasong-ang
se-bagian besar bermata pencaharian
seba-gai pengrajin gerabah. Kota Gede Yogya-karta sebagai sentra masyarakat yang
be-kerja sebagai pengrajin perak dan
perhi-asan. Kampung Dinoyo Malang Kota, tem-pat saya kos terkenal dengan kampung
keramik karena sebagian besar anggota
BioKultur, Vol.II/No.2/Juli-Desember 2013, hal. 114 masyarakatnya menggantungkan hidup
sebagai pengrajin keramik. Mata
pen-caharian mempengaruhi identitas suatu daerah yang akan terus berkembang dan
lestari selama terjadi regenerasi
masyara-kat pendukungnya.
Tulisan ini membahas sebuah
feno-mena feno-menarik dari kampung halaman
sa-ya sa-yang dikenal dengan kampung soto ayam. Kampung kelahiran penulis menjadi
salah satu daerah basis penjual makanan khas daerah Lamongan Jawa Timur yang
terkenal dengan Soto Ayam Kampung
La-mongan yang tersebar ke berbagai
penju-ru kota. Adalah sebuah dusun kecil yang bernama Dusun Kebontengah Desa
Rejo-tengah Kecamatan Deket Kabupaten
La-mongan Jawa Timur sebagian besar war-ganya bermata pencaharian sebagai
pen-jual soto ayam yang tersebar dari Gresik, Surabaya, Mojokerto, Pasuruan,
Sema-rang, Jakarta sampai Kalimantan. Dusun
yang terletak pada daerah perbatasan
an-tara Kabupaten Lamongan dengan Kabu-paten Gresik ini dikenal sebagai daerah
kampung soto. Orang setempat menyebut sebagai daerah sotoan. Saya melakukan
penelusuran terhadap masyarakat
Kabu-paten yang berjualan makanan di luar daerah sebagai migrant sirkuler,
terseg-mentasi menjadi dua golongan: daerah
ti-mur-utara dan daerah barat-selatan. Dae-rah timur-utara berjualan yang berkuah
seperti soto dan warung kopi, sedangkan
daerah barat-selatan berjualan makanan
yang tidak berkuah seperti pecel lele, tem-pe tem-penyet dan sea food. Pemilihan mata
pencaharian sebagai penjual soto ayam
tu-rut dipengaruhi oleh unsur mitis dengan keberadaan makam keramat leluhur
du-sun yang dihormati sampai sekarang.
Ma-kam keramat tersebut adalah maMa-kam
Bu-yut Bakal, sebagai sebagai cikal bakal
to-koh pembuka dusun yang konon dikenal sebagai juru masak dari Sunan Giri.
Keberadaan tokoh cikal bakal ini turut
mempengaruhi pemilihan mata
pencaharian masyarakat sebagai penjual makanan dalam bentuk soto. Persepsi dari
adanya mitos tentang nenek moyang
seorang juru masak tersebut mempe-ngaruhi pola pikir serta etos kerja
masyarakat. Tulisan ini membahas hu-bungan antara mitos yang berlaku di
kampung soto dengan etos kerja para
penjual soto ayam kampung khas
Lamongan.
Dongeng dan Mitos
Dongeng dan mitos adalah dua hal
yang serupa tapi tidak sama. Keduanya
mempunyai pembahasan dalam kejadian dan tokoh penting dalam masa lalu yang
belum tentu terbukti kebenarannya,
BioKultur, Vol.II/No.2/Juli-Desember 2013, hal. 115 cerita yang lahir dari hasil imajinasi
manusia, dari khayalan manusia,
walaupun unsur-unsur khayalan tersebut berasal dari apa yang ada dalam
kehidupan sehari-hari (Ahimsa-Putra,
2012:77). Mitos dan dongeng mempunyai hubungan dalam hal penerimaan
masya-rakatnya dan upaya pelestariannya, yaitu
dari mulut ke mulut yang lintas generasi. Mitos merupakan ekspresi atau
perwujud-an dari keinginperwujud-an yperwujud-ang tidak disadari. Mi-tos berkaitan dengan sistem kepercayaan
yang berujung pada aktivitas keagamaan
yang dipengaruhi oleh emosi keagamaan.
Sistem kepercayaan berhubungan dengan aktivitas agama yang menciptakan ikatan
kesadaran emosi yang diperkuat dari
ke-tergantungan setiap individu atas kehi-dupan dan tatanan masyarakat (Mair
1977:237 via Suhardi 2009:2). Berbagai penelitian tentang mitos saya sajikan
da-lam bentuk review sebagai bahan
referen-si untuk penulisan makalah ini. Penelitian
Suhardi tentang mitos dan totem yang ter-tuang dalam buku Alam-Religi Solidaritas
Sosial di Papua dan Jawa: Terawang
Antro-pologi, buku ini lebih menekankan pada
hubungan antara mitologi, totemisme,
ke-percayaan dengan lingkungan alam yang terwujud dalam solidaritas yang didasari
kesadaran terhadap hubungan baik
deng-an leluhur. Hubungdeng-an baik dengdeng-an lelu-hur ini berfungsi sebagai alat konservasi
alam. Mitos dalam fam-fam (satuan
keke-rabatan khas Papua) menurut Suhardi
(2009:34) berisi penggambaran siklus re-generasi makhluk manusia. Mitos terkait
cikal bakal manusia anggota dari suatu
masyarakat yang ada pada masyarakat Bintuni, mitos menjadi charter bagi
pro-sesi daur ulang hidup. Mitos-mitos yang
berlaku dalam penelitian ini menggambar-kan adanya proses domestifikasi dari
ke-hidupan liar menuju keke-hidupan masyara-kat yang lebih baik (Suhardi 2009:35).
Kehidupan kepercayaan terhadap
roh nenek moyang yang selalu bersinergi
dengan masyarakat dalam bentuk komu
-nikasi . Komu-nikasi antara dunia manusia
dengan alam roh dilakukan melalui
upa-cara totem, tabu, mawi, sedekah bumi sampai menganggap nenek moyang dalam
kesatuan identitas. Karya alam religi tidak menjelaskan hubungan alam-religi dengan
solidaritas yang mengarah pada
kehidup-an ekonomi baik secara komunal maupun
sektoral. Tulisan ini membuat analisa hu-bungan mitos dengan solidaritas
masyara-kat terutama pada etos kerja masyaramasyara-kat kampung soto ayam.
Hubungan yang sinergis antara
re-ligi dan ekonomi yang terdapat pada kar-ya Max Weber, Etika Protestan dan Spirit
Kapitalisme. Slogan yang biasa biasa kita
BioKultur, Vol.II/No.2/Juli-Desember 2013, hal. 116 pencapaian suatu tujuan terutama
kepen-tingan ekonomi yang diilhami dari
sema-ngat keagamaan (Weber via Lambek 2002:52). Kerja dan agama, dalam
kalang-an muslim juga ada pada pkalang-andkalang-angkalang-an be -kerjalah untuk duniamu seakan kau hidup selamanya, namun beribadalah untuk
akhiratmu seakan kau mati besok , ung -kapan ini mengajarkan pada kita tentang nilai sebuah kerja keras. Adapula
ungkap-an Ora et Labora , berdoa dan berusaha,
merupakan ungkapan yang saya ketahui
dipakai umat Kristen dan Katolik tentang
sinergi antara kerja dan agama.
Berdasarkan uraian singkat feno-mena kampung soto ayam yang
dipenga-ruhi oleh semangat kerja khususnya dari
mitos Buyut Bakal sebagai juru masak dari Sunan Giri. Tulisan ini mengungkap
hu-bungan mitos dengan etos kerja masyara-kat soto, bagaimana keterkaitan antara
mitos yang telah dipercaya suatu
masya-rakat dengan etos kerja yang
mempenga-ruhi aktifitas ekonominya?
Pendekatan Teoritis
Mitos adalah cerita tentang suatu
feno-mena yang berkaitan dengan
keberadaan suatu masyarakat terutama pada cikal bakal atau genesis suatu
masyarakat. Mitos berpengaruh pada
persatuan dan solidaritas antar sesama anggota masyarakat. Mitos digunakan
untuk mempengaruhi masyarakat secara
langsung dan telah mengubah kondisi
manusia hingga keberadaan-nya sekarang (Dhavomony 1995: 149). Pengaruh suatu
mitos tidak hanya pada pembentukan
identitas dari suatu masya-rakat, namun berpengaruh pada semangat yang
mendasari tingkah laku dan pola pikir
tertentu. Kebenaran suatu mitos masih menjadi polemik oleh para ahli. Berbagai
pendekatan dipakai namun masih terda-pat kesulitan untuk membuka tabir
kebe-naran dibalik mitos yang kerap bersifat
irrasional. Dengan menggunakan
pende-katan psikoanalisis, mitos dibedakan men-jadi dua sifat utama yaitu realis dan relatif
(Lambek 2002:213). Mitos dikatakan
rea-listis jika mempunyai bukti material yang riil, dapat terbukti secara ilmiah.
Kendala-nya adalah mitos –sebagaimana sebagai dongeng- diturunkan secara lisan dari
mu-lut kemumu-lut. Kebenaran yang ada bersifat
relatif. Mitos berkaitan dengan kisah masa
lampau yang mempengaruhi tujuan hidup, sebagaimana penjelasan Malinowski: Myth
is a living reality, believed to have once
happened in primeval times, and
continuin-ing ever since to influence the world and
human destinies. [Mitos adalah sebuah
kehidupan yang nyata, dipercaya terjadi
pada masa lampau dan terus berlanjut
BioKultur, Vol.II/No.2/Juli-Desember 2013, hal. 117 dan tujuan manusia] (Malinowski 1948:
100).
Sebagaimana suku Togo yang meli-hat asal mitos sebagai sesuatu yang
sungguh-sungguh pernah terjadi
(Dhavomony 1995:148). Masyarakat kampung soto mempunyai anggapan
bahwa Buyut Bakal adalah suatu
kebenaran. Buyut Bakal sebagai pembuka dan cikal bakal adalah tokoh yang
mengabdikan dirinya sebagai juru masak salah satu penyebar agama Islam yaitu
Sunan Giri. Dari kebenaran yang diyakini
itulah muncul pandangan jika bekerja
pada sektor kuliner khususnya soto ayam terdapat jaminan menuju keberhasilan.
Mitos dapat mengubah hidup manusia
sejauh kemampuannya dalam menyi-kapkan kebenaran hidup, termasuk dalam
obyek-obyek material untuk kenyataan tertinggi (Dhavomony 1995:164).
Ritual adalah manifestasi beragama
karena berupa tindakan keagamaan dan
ritus berupa pengulangan peristiwa yang pernah terjadi (Tremmel 1976:114).
Ritual adalah suatu bentuk penghormatan seseorang terhadap segala sesuatu yang
dianggap lebih, lebih tinggi, lebih agung
dan lebih kuasa. Sifat ritual menurut Tremmel (1976: 119) dapat dibedakan
menjadi tiga jenis: 1) ritus sekuler, atau
seremoni, 2) ritus semi religius, yaitu seremoni yang sifatnya sekuler, diberi
si-fat sakral dengan ritus agama, 3) ritus
aga-ma. Mitos dan ritus religius berfungsi
se-bagai sarana eksistensi diri dalam kehi-dupan religius dan duniawi, sebagaimana
pendapat Dhavomony (1995:164) bahwa
cara terpenting yang ditempuh manusia untuk menyatakan kereligiusannya adalah
dengan hidup seturut dengan mitos
mau-pun ritus religius.
Unsur ritual menurut Tremmel
(1976:129-131) terdiri dari tiga elemen yaitu partisipan (participation of drama),
simbol religius (religious symbols) dan
pe-rilaku pengikut (attitude of worship).
Unsur-unsur dalam sebuah ritus menurut Suhardi terdiri atas: tempat yang
disuci-kan, waktu yang disucidisuci-kan, obyek suci,
partisipan dan pemandu upacara, prosesi doa atau mantra yang dibacakan dalam
ri-tus, sesaji atau persembahan dan mitos. Ritual adalah tindakan berulang-ulang
yang baku dan menyampaikan suatu
pe-san, seperti dalam sebuah pertunjukan
drama. Dalam ritual ada pemain dan pe-nonton, pihak yang menjadi pemain
ada-lah pemimpin ritual sedangkan penonton adalah umat atau khalayak yang hadir
da-lam suatu ritual. Ritual adalah media
ko-munikasi terhadap sesuatu yang transen-den, komunikasi diwujudkan dengan
ba-hasa (doa, mantra), perilaku serta
BioKultur, Vol.II/No.2/Juli-Desember 2013, hal. 118 yang dianggap lebih berkuasa, sehingga
salah satu elemen dalam ritual adalah
pe-rilaku. Perilaku dari pemimpin ritus dan khalayak merupakan salah satu elemen
penting dalam sebuah ritual.
Budaya kerja adalah budaya peme-nuhan kebutuhan hidup dalam mata
pencaharian yang tidak hanya mengejar
kepentingan ekonomi semata namun terdapat perilaku simbolik. Budaya kerja
meliputi ketetapan dalam memilih dan pengambilan keputusan yang mengarah
pada pemaknaan dan sistem budaya.
Me-nurut (Susana Narotzky via Carrier 2005:
106) sistem budaya dalam antropologi ekonomi meliputi tanggung jawab dalam
hubungan yang saling menguntungkan
(mutual responsibility), aktualisasi diri
(presentation of self) dan pembangunan
identitas (identity construction). Terkait wacana kampung soto dan budaya
ker-janya berada pada pemaknaan sebagai
hu-bungan yang saling menguntungkan
se-cara bertanggung jawab dan pembangun-an identitas.
Metode
Tulisan ini menggunakan
pende-katan metodologi yang bersifat analisis dari sebuah fenomena yang saling
berkaitan, hubungan mitos dan etos.
Adapun metode yang saya pakai dalam pengumpulan data melalui observasi,
wawancara dan kajian pustaka. Lokasi
penelitian dalam penulis-an makalah ini
adalah Dusun Kebontengah Desa Rejotengah Kecamatan Deket Kabupaten
Lamongan. Observasi yang saya lakukan
termasuk dalam pendokumentasian dalam foto yang akan saya tampilkan
dalam makalah ini. Foto terkait makam
keramat Buyut Bakal saya ambil ketika pulang kampung bertepatan dengan hari
raya kurban tepatnya tanggal 26 Oktober 2012 dan foto untuk salah satu depot
di-ambil tanggal 25 Desember 2012. Penjual
yang saya jadikan contoh penjual soto
sukses asal Dusun Kebontengah adalah Soto Ayam Cak Kan yang terletak di Jalan
Prapen Surabaya. Depot ini tidak pernah
sepi dari pembeli dari buka pagi sampai malam dan rata-rata pembelinya
bermo-bil. Saya mengadakan kunjungan ke Depot Cak Kan dan memesan dua porsi soto
ayam, makan sekaligus mempererat
sila-turrahmi dengan sesama warga Dusun
dan yang mengejutkan setelah makan ti-dak boleh membayar sepeserpun. Bahkan
saat saya mencoba memaksa untuk mem-bayar tetap tidak diperbolehkan dengan
alasan bolo dhewe (saudara sendiri) dan
tidak tiap hari makan di sini. Kajian pus-taka yang saya lakukan berusaha
mem-bandingkan karya tulis yang telah ada
BioKultur, Vol.II/No.2/Juli-Desember 2013, hal. 119 mengkaji lebih mendalam sampai saya
menemukan benang merah yang dapat
menjadi acuan analisa hubungan mitos dan etos kampung soto ayam.
Kehidupan Kampung Soto
Dusun Kebontengah terletak pada daerah
perbatasan Kabupaten Lamongan dengan
Kabupaten Gresik tepatnya di Dusun Rejo-tengah Kecamatan Deket Kabupaten
Lamongan Jawa Timur. Dusun ini berba-tasan dengan Kecamatan Glagah pada
se-belah Utara, Dusun Gedong di sese-belah
barat, Waduk Srirande di sebelah selatan
dan Dusun Calungan di sebelah timur. Du-sun Kebontengah secara geografis
dile-wati anak sungai dari Sungai Bengawan
Solo yang melintasi sebagian kawasan utara Kabupaten Lamongan. Keberadaan
sungai mempengaruhi mata pencaharian masyarakatnya bermata pencaharian
se-bagai petani dan petambak. Menjadi
peta-ni pada bulan-bulan menjelang kemarau
sebagai petani padi dan menjadi petam-bak perikanan air payau pada musim
hu-jan. Bulan Desember sampai Juni
diguna-kan untuk membudidayadiguna-kan idiguna-kan
khusus-nya bandeng dan udang, sedangkan bulan
juli sampai September digunakan untuk membudidayakan tanaman padi yang
menggunakan tumpangsari, padi diberi air
yang dibudidayakan udang dan bandeng pula. Jenis ikan yang dibudidayakan oleh
masyarakat Dusun Kebotengah adalah
bandeng dan udang jenis vanamae, namun sebagian besar lebih memilih udang
vana-mae karena masa panen yang lebih pen-dek, sekitar 40 hari. Ikan bandeng yang
di-budidayakan digunakan sebagai sarana
pergerakan air dan dijual hidup ketika
usia beranjak dewasa sebagai bibit ban-deng untuk petani banban-deng di daerah lain.
Terdapat ungkapan untuk fenomena
eko-logis di daerah Kabupaten Lamongan ter-utama kampung halaman saya terkait
kontradiktif musim hujan dan kemarau. Rendheng gak iso ndodhok, ketigo gak iso
cewok artinya adalah jika musim hujan di
daerah ini sering kebanjiran sehingga
orang kesulitan untuk duduk jongkok, baliknya pada musim kemarau kerap
BioKultur, Vol.II/No.2/Juli-Desember 2013, hal. 120
Gambar 1.
Soto Ayam Kampung Khas Lamongan Cak Kan (Dokumentasi Penulis)
cebok karena keterbatasan air. Wilayah
kontur bersifat cekungan atau conclav menjadikan daerah ini menjadi langganan
banjir jika musim hujan dan kedekatan
dengan daerah pesisir menjadikan cuaca relatif panas.
Meskipun terdapat sektor pertanian
dan budidaya ikan, namun mata pen-caharian sebagai pedagang makanan
ke-luar wilayah desa menjadi pilihan sebagi-an besar sebagi-anggota masyarakat secara turun
temurun. Pola perilaku merantau untuk
menjual makanan ke kota telah terjadi
sejak era 60-an dan mengalami perkem-bangan dari masa ke masa. Keberadaan
sawah dan tempat dagangan (padholan) di
kota merupakan ketahanan ekonomi yang saling bersinergi dan saling berganti, jika
musim bertani lebih fokus pada mengu-rusi sawah namun pada musim kemarau
tidak sedikit yang lebih memilih berjualan
makanan ke kota. Adapun makanan yang
yang diperdagangkan adalah Soto ayam
kampung, Tahu Campur, Tahu Tek (Tahu Telur), Nasi Goreng dan Mie Jawa. Namun
dari sekian banyak makanan yang
dijadi-kan sandaran hidup untuk menambah penghasilan adalah Soto Ayam Kampung
Khas Lamongan. Perbedaan yang
men-dasar dari soto ayam kampung khas La-mongan jika dibanding dengan soto-soto
yang lain adalah pada kuah yang kental dan bubuk kerupuk ikan (koyah) yang
membuat rasanya menjadi semakin gurih.
Tradisi dan Pola Perilaku Religi
Sebagian besar masyarakat Dusun
Kebontengah beragama Islam, Islam yang
ada pada masyarakat Dusun Kebontengah adalah Islam tradisional karena tetap
me-lestarikan tradisi diwariskan oleh leluhur. Berbagai ritual yang terinspirasi tradisi
Ja-wa lama antara lain slametan sampai pada
dila-BioKultur, Vol.II/No.2/Juli-Desember 2013, hal. 121 kukan oleh masyarakat Dusun
Kebon-tengah adalah Slametan Lingkaran Hidup
(tingkep/mitoni/pelet kandung),
kelahir-an, tedak siten, potong rambut, sunat (
te-taken), kematian dan pasca kematian.
Adapun slametan pasca kematian yang dilakukan oleh masyarakat Dusun
Kebon-tengah adalah slametan Nelung Dina,
Mi-tung Dina, Matang Puluh Dina, Nyatus,
Mendak Sepisan dan Mendak Pindo, Nyewu.
Slametan yang lain yang dilaksanakan
masyarakat Dusun Kebontegah adalah
Se-dekah Surtanah atau Geblak, bersih desa
(dekahan), penggarapan tanah pertanian
(pleretan) dan setelah panen (Sukuran
pa-ri anyar), Hari-hari besar misal megengan
jika menjelang Ramadhan, Idul Fitri dan
Idul Adha, Kejadian-kejadian tertentu (pindah rumah, perjalanan jauh, mimpi/
firasat buruk, kaul, ngruwat). Adapula
slametan yang berhubungan dengan
ter-capainya sebuah tujuan (kaul). Slametan 7
hari dilengkapi dengan beras dan ketan
dalam besek (berkat) yang dibawa pulang oleh orang yang tahlilan, ada kepercayaan
bahwa jika kita menggigit ketan maka pe-rut di dalam kubur dari orang yang
sela-mati akan meledak. Sebelum 40 hari,
ar-wah orang yang meninggal berada diseki-tar rumah. Slametan 40 hari untuk orang
yang meninggal, dipercaya sebagai media
berpamitan dari orang yang telah mening-gal kepada keluarga atau orang terdekat.
Orang-orang tua mengatakan bahwa jika
ingin mengetahui kalau roh orang yang
diselamati pulang sejenak untuk berpa-mitan bisa menggunakan abu dari pawon
yang disebar disekitar pintu. Akan
terda-pat jejak langkah yang menandakan roh yang meninggal benar-benar pergi
me-ninggalkan rumah menuju alam kubur.
Budaya kerja masyarakat kampung soto selain sebagai petani dan petambak
juga merantau untuk menambah penda-patan dengan menjadi penjual soto ayam
atau bekerja pada sektor diluar agraris.
Kebiasaan merantau berjualan makanan
telah menjadi tradisi yang bukan hanya di-pengaruhi oleh tuntutan ekonomi semata,
namun sebagai upaya untuk melestarikan
adat istiadat yang telah terjaga dari turun temurun. Dahulu orang berjualan soto
ayam dengan dipikul dan berkeliling kam-pung, sekarang bisa menggunakan
gero-bak khusus soto dengan berkeliling atau
menetap di satu tempat (sistem bongkar
pasang lapak). Harga pembuatan gerobak kayu khusus untuk soto sekitar 1,5 juta
sampai 2 juta tergantung pada bahan kayu yang dipakai. Salah satu warga yang
men-jadi pengrajin gerobak khusus soto ini
adalah Pak Niti Pentol, seorang tukang ka-yu yang menyediakan jasa pembuatan
ge-robak sampai peti jenazah yang terkenal
mem-BioKultur, Vol.II/No.2/Juli-Desember 2013, hal. 122 buka depot adalah impian oleh sebagian
besar penjual soto, karena omzet depot
dengan yang keliling jauh berbeda. Pen-jual soto ayam yang menjadi teladan bagi
perjuangan para penjual soto ayama
ada-lah Haji Atrup, seorang penjual soto dari muda yang dimulai dari pikulan sampai
mempunyai depot di Surabaya yang
dite-ruskan oleh anak cucunya.
Adapun penjual soto ayam asal
Du-sun Kebontengah yang sukses adalah Haji Suwarni, Haji Atrup, Cak Miskan dan Cak
Kariono. Haji Suwarni memiliki depot
Wachid Hasyim 1 dan Wachid Hasyim 2
yang terletak di daerah jalan Jemursari Su-rabaya dan ramai dikunjungi konsumen
setiap harinya. Haji Atrup mempunyai
de-pot di Surabaya yang diteruskan oleh anak cucunya. Cak Miskan mempunyai depot
Soto Ayam Lamongan Cak Kan terletak di jalan Prapen Surabaya sedangkan Cak
Ka-riono memiliki memiliki lapak soto ayam
dekat kampus Universitas Surabaya yang
memilih pangsa pasar kalangan mahasis-wa. Cak kariono masih memiliki hubungan
keluarga dengan penulis, setiap tahun pa-da Idul Fitri bersilaturrahmi ke penulis
dan membawa oleh-oleh khas penjual soto
yaitu satu plastik besar Kaki ayam kering
(ceker ayam). Masih banyak penjual soto
ayam lain yang berada di Dusun
Kebon-tengah, namun penulis memilih keempat
orang di atas karena pertimbangan telah
mewakili penjual soto keseluruhan dari tingkat usia sampai lama berjualan.
Penju-al pPenju-aling lama adPenju-alah Haji Atrup dan yang
sukses dari kalangan muda adalah Cak Kariono.
Indikator kesukesan penjual soto
ayam adalah dari banyaknya ayam yang dipotong tiap hari dan keberhasilan
me-miliki rumah sendiri di Surabaya. Rata-rata penjual soto memotong 3-5 ekor
ayam kampung, namun jika melebihi 10
ekor ayam kampung maka penjual
terse-but tergolong penjual yang sukses. Budaya kerja merantau pada masyarakat
kam-pung soto ayam, tidak sekadar mencari
uang untuk bertahan hidup atau subsisten, namun memikirkan untuk mengumpulkan
modal untuk pengembangan usaha wa-rungnya. Budaya kerja masyarakat
kam-pung soto juga terdapat pada
pembudaya-an kaum muda untuk menjadi penjual
so-to sejati, dengan cara mengangkat mereka sebagai pembantu di warung, sambil
me-ngajarkan seluk beluk berjualan soto sampai mereka bisa membuat warung
sendiri di kemudian hari (nyantrik).
Be-berapa teman masa kecil penulis sekarang telah memiliki warung soto ayam sendiri
setelah sebelumnya menjadi pembantu
BioKultur, Vol.II/No.2/Juli-Desember 2013, hal. 123
Gambar 2.
Depot Soto Ayam Kampung Lamongan Cak Kan (Dokumentasi Penulis)
terlebih dahulu sampai dia bisa memasak
soto sendiri dan tahu seluk beluk pema-sarannya. Menjadi migran sirkuler adalah
hal yang diterapkan untuk melaksanakan
dua kegiatan ekonomi, menjadi petani tambak (pulang jika musim tanam dan
menjelang panen saja) sekaligus berjualan
soto ayam di kota (menghabiskan seba-gian besar waktunya di kota bahkan ada
yang sampai membeli rumah sendiri
se-lain kos atau kontrak).
Mitos dan Makam Suci
Pemujaan pada leluhur adalah suatu kumpulan sikap, kepercayaan, dan
praktek pendewaan orang-orang yang
sudah me-ninggal dalam suatu komunitas. Leluhur yang dihormati oleh masyarakat
kampung soto adalah Buyut Bakal, sebagai
pembuka dusun yang pertama. Mitos yang berkembang dalam masyarakat Dusun
Ke-bontengah tentang buyut bakal bahwa
be-liau adalah seorang pembantu dari Sunan Giri. Sunan Giri adalah wali yang
menye-barkan ajaran Islam di Jawa Timur dan
membuat keraton Giri di daerah Gresik sampai dimakamkan di sana. Sampai
se-karang makamnya banyak dikunjungi
pe-ziarah dari berbagai penjuru daerah. Ke-beradaan keraton sebagai bangunan yang
komplek dan pusat pemerintahan
menja-dikan peran pembantu istana terutama juru masak diperhitungkan
keberadaan-nya. Jika kedatangan tamu-tamu agung
da-ri daerah lain, maka tidak jarang menga-dakan jamuan makan, peran tukang
ma-sak menjadi penting dalam momen ini.
Ko-non Buyut Bakal mempunyai kedekatan
yang erat dengan Sunan Giri, tidak hanya
sebagai hubungan antara raja-abdi namun
BioKultur, Vol.II/No.2/Juli-Desember 2013, hal. 124
Buyut Bakal memiliki dua orang
is-tri dan ada tabu yang berlaku di
masya-rakat Dusun Kebontengah untuk tidak me-nikahi lebih dari satu perempuan atau
la-rangan poligami. Salah satu latar belakang
dalam tabu ini adalah tidak boleh menikah dengan lebih dari satu perempuan karena
diyakini dapat membuat Buyut Bakal
ma-rah dan akan mendapat kemalangan di ke-mudian hari. Jika ada orang Dusun yang
memutuskan untuk poligami maka kon-sekuensinya adalah harus keluar dari
wi-layah Dusun Kebontengah. Salah satu
ke-rabat penulis menikahi lebih dari satu
perempuan dan karena sadar pada kese-pakatan adat akhirnya keluar dari dusun.
Larangan lain yang berlaku di dusun dan
dianut oleh sebagian masyarakat adalah larangan makan ikan lele. Penulis
ter-masuk golongan masyarakat Lamongan yang tidak memakan ikan lele. Lele
di-anggap sebagai hewan penolong leluhur
karena menyelamatkannya dari sergapan
pasukan. Legenda yang berlaku bagi ma-syarakat yang tidak makan lele adalah
berawal dari petualangan Sang Maling Cluring yang mencuri harta bangsawan di
kadipaten Lamongan namun barang
cu-riannya dibagi-bagi pada rakyat. Suatu hari Maling Cluring kepergok mencuri dan
dikejar oleh gerombolan orang bersenjata
hingga berlari ke sungai di daerah Glagah. Sampai di bibir sungai beliau
mencebur-kan diri dan berdiam di dalam air.
Gerom-bolan bersenjata menanti kemunculannya
dari sungai dengan senjata (tombak) ter-hunus. Tiba-tiba datang sekelompok ikan
lele dan memenuhi bagian atas sungai
se-hingga keberadaan Maling cluring sulit untuk dideteksi. Sejak kejadian itu, Maling
Cluring berjanji bahwa anak cucunya tidak
akan memakan daging lele sebagai perwu-judan rasa terima kasih karena telah
me-nyelamatkan nyawanya.
Makam Buyut Bakal terletak di
sebelah timur wilayah dusun Kebontengah
-beberapa meter dari rumah saya- dan
di-buatkan bangunan khusus (cungkup) yang sampai sekarang terawat keberadaannya.
Posisi makam berada di tengah
pemakam-an umum dusun sebagai representasi dari peran sentral dari seorang leluhur yang
membuka dusun dan menjadi pusat batin kosmologi masyarakat. Nenek penulis
yang masih memegang teguh tradisi,
ma-sih mengagungkan nama dan keberadaan
kepercayaan leluhur. Jika berdoa atau me-ngemukakan pengharapan selalu bilang
Buyut Bakal, mugi-mugi slamet . Jika pe -nulis menanyakan perihal agama yang
di-anut, selalu dijawab Islam namun dalam
penerapannya selalu mengikutkan nama Buyut. Pada waktu menjelang Puasa,
me-masuki Idul Fitri dan Idul Adha ada tradisi
BioKultur, Vol.II/No.2/Juli-Desember 2013, hal. 125 um laki-laki. Ketika memasuki area pema- kaman maka yang pertama harus datangi
Gambar 3. Makam Keramat Buyut Bakal (Dokumentasi Penulis)
makamnya adalah makam Buyut Bakal,
setelah itu baru bisa melanjutkan untuk
ziarah pada makam keluarga sendiri. Makam Buyut Bakal yang
dihorma-ti oleh seluruh warga Dusun Kebontengah, selain dianggap sebagai makam keramat
juga menjadi sarana untuk mempererat
tali persaudaraan antar warga.
Keberada-an makam ini setiap pekKeberada-an, khususnya h-ari kamis sore didatangi oleh warga yang
mengadakan slametan dengan hajat-hajat
khusus misalnya karena ada keinginan yang terkabul atau kaul, syukuran weton,
syukuran pasca panen, Laki-laki yang akan
dikhitan atau akan menikah, mimpi buruk
sampai pada kirim doa pada keluarga
yang telah meninggal. Jika yang menikah
perempuan warga Dusun Kebontengah, maka yang berziarah adalah wali atau
per-wakilan keluarga asal berjenis kelamin
Laki-laki. Terdapat pandangan tabu
terha-dap perempuan untuk datang ke makam. Penghargaan terhadap leluhur juga
diwu-judkan dengan pembuatan bangunan pe-lindung dari panas dan hujan (cungkup)
yang keberadaannya telah ada semenjak
saya masih kecil. Cungkup ini terletak di
tengah area makam dan didekatnya terda-pat dua pohon asam yang tidak ada yang
mengetahui berapa umurnya, sebab
ber-dasarkan penelusuran terhadap warga yang tertua sekalipun mengatakan bahwa
pohon asam ini telah ada seperti sekarang tanpa ada perubahan. Perawatan makam
dilakukan setiap tahun oleh warga dusun
secara swadaya dengan dana dan juga
BioKultur, Vol.II/No.2/Juli-Desember 2013, hal. 126 Pola berziarah mengalami
peru-bahan dari masa ke masa, jika pada jaman
dulu orang sekadar berziarah dan
mena-bur bunga. Pada masa kini berdasarkan
Gambar 4.
Makam Buyut Bakal (sebelah tengah) beserta Istri (Dokumentasi Penulis)
penelusuran saya di lapangan, makam
ka-dang kala diberi dupa dan terdapat buku
tahlil di dalam makam. Jika pada masa lalu hanya tumpengan di makam, belakangan
terdapat acara istighosah di area sekitar
makam terutama pada malam jumat dan pada saat sedekah bumi (dekahan).
Ritual Sedekah Bumi
Salah satu tradisi yang terjaga
kelesta-riannya adalah sedekah bumi
(dekahan). Tradisi ini telah turun temurun
dilaksana-kan setelah panen raya,
biasanya Bulan Agustus atau September setelah musim panen padi berakhir.
Perbedaan yang mendasar dengan
sedekah bumi dari desa adalah keberadaan badhek yang dimasukan ke
dalam wadah bambu. badhek adalah
minuman yang terbuat dari ketan hitam
yang difermentasi, sari pati tape ketan hi-tam. Minuman ini mengandung alkohol.
Tradisi membawa badhek ke makam pada
saat dekahan inilah yang turut memben-tuk pandangan bahwa Dusun
Kebonteng-ah juga dikenal dengan dusun pemabuk.
badhek dalam wadah bambu adalah
sim-bol dari kemakmuran yang akan didapat
jika dengan kerja keras karena berbahan
dasar beras ketan hitam yang difermen-tasi sampai menimbulkan rasa manis.
Se-saji atau persembahan ini tiap tahun sela-lu dibawa dan ditaruh dalam tempat yang
tersedia di depan makam. Persembahan
BioKultur, Vol.II/No.2/Juli-Desember 2013, hal. 127
Wilujengan. Sejaji (sajen) adalah
persem-bahan yang hanya bisa dinikmati yang
transenden misalnya kemenyan dan dupa, sedangkan wilujengan adalah
persembah-an ypersembah-ang bisa dinikmati oleh mpersembah-anusia dpersembah-an
yang transenden misalnya nasi tumpeng, buah-buahan, ayam panggang.
Dusun Kebontengah mempunyai
tradisi jokoan yang mengharuskan pemu-danya untuk mencicipi minuman keras
(tuak dan sebagainya) sebagai bentuk pe-ngakuan sebagai sesama saudara sedusun.
Tradisi pesta bujang ini terjadi jika ada
salah satu pemuda yang menikah, malam
sebelum hari H, pemuda dusun yang
la-jang (joko) diharuskan datang kerumah
calon pengantin dan salah satu sajian yang
harus dinikmati oleh pemuda yang hadir yaitu tuak, arak, bir dan kombinasinya.
Tujuan dari tradisi ini sebagai ungkapan
pelepasan masa bujang (farewell party) sekaligus penghormatan tuan rumah pada
tetangga dan sebaliknya. Penganten wajib
mencicipi minuman barang segelas dua gelas sebagai tanda penghormatan pada
teman-teman sekampungnya dan tuan ru-mah wajib menyediakan minumannya
ser-ta memberikan makanan, camilan dan
ro-kok. Jika minuman yang telah disediakan
Gambar 5.
Air badhek, sesaji wajib saat sedekah bumi (Dokumentasi Penulis)
tuan rumah telah habis maka peserta joko-an sendiri yang akan patungan untuk beli
minuman sendiri.
Prosesi sedekah bumi umumnya dilaksanakan pada hari Jumat. Pembuatan
badhek dari ketan hitam dimulai tiga hari
sebelumnya, ketan hitam direbus tanpa
campuran gula dan pada hari kamis telah
BioKultur, Vol.II/No.2/Juli-Desember 2013, hal. 128 persembahan untuk di bawah ke makam
adalah air badhek dalam ruas bambu,
tum-peng dan panggang ayam. tumpeng
yang di bawah menggunakan hiasan pada
sisi atasnya dari potongan daging, bawang
dan cabe yang disatukan dengan sebuah lidi (sujen) dan jumlah lidinya rata-rata
empat buah, dipasang secara melingkar
pada bagian atas tumpeng. Hiasan ini juga dipakai sebagai alat dalam ritus
dimulai-nya musim tanam ikan dan biasadimulai-nya di-taruh di ujung pematang tambak sebagai
bentuk permohonan agar mendapat
ber-kah yang melimpah
Dalam perkembangan selanjutnya, beberapa warga enggan membuat wadah
badhek dari bambu, namun menggunakan
botol bekas minuman suplemen, kantung plastik atau kemasan susu untuk
anak-anak. Jika pada wadah tradisional air
badhek dapat menguap, pada wadah yang
lain air fermentasi ketan hitam ini akan
tetap bertahan dan meningkatkan
kan-dungan alkohol di dalamnya. Penulis per-nah melakukan percobaan mengambil
sa-tu botol badhek yang umurnya tahunan, kemudian menguji kandungan alkoholnya
dengan korek api dan terbukti api
berwar-na biru dan reaksi pembakaran begitu ce-pat dan ini menandakan kadar alkoholnya
sangat tinggi. Seorang teman ketika stress
pernah meminum air di depan petilasan
ini dan terbukti dia mabuk sampai nyaris
koma.
Pagi hari, sekitar pukul 09:30 WIB biasanya ada panggilan dari speaker di
masjid kepada warga untuk segera
memu-lai proses sedekah bumi (dekahan) dan berbondong-bondong menuju ke makam
Buyut Bakal yang terletak di timur dusun.
Setelah berkumpul semua, ada petugas sendiri yang menghimpun uang shalawat
Rp 1000-2000 per orang disekitar makam. Acara dilanjutkan dengan sambutan dari
kepala dusun dilanjutkan dengan
pemba-caan doa yang dipimpin oleh ustad dan
sebelum meninggalkan makam ujung tum-peng, kepala atau kaki ayam panggang
ha-rus ditinggal di sekitar makam lengkap
de-ngan tusuk bambunya.
Jika mempunyai dana lebih dan
pa-nen dianggap berhasil, warga Dusun Ke-bontengah melengkapi ritual sedekah
bu-minya dengan pertunjukan wayang kulit
yang diadakan siang setelah Sholat Jumat
dan dilanjutkan pada malam hari. Ada pula pertemuan tahunan untuk membahas
perencanaan dusun selama setahun yang diadakan setahun sekali, dinamakan adat
Walik Gawe. Khusus untuk yang malam
hari, sebelum pertunjukan wayang kulit
dimulai setelah Sholat Isya diadakan per -temuan (kumpulan) antar aparat desa
pen-BioKultur, Vol.II/No.2/Juli-Desember 2013, hal. 129 tas seni oleh karang taruna. Kemudian
ti-ba pada acara inti tari remo, campur sari
atau dangdutan kemudian menuju pada pagelaran wayang kulit semalam suntuk.
Rumah yang menjadi pusat kegiatan
sede-kah bumi (dekahan) adalah rumah kepala dusun dan yang menjadi tenaga bantuan
untuk mempersiapkan semuanya adalah
gotong royong dari para warga dusun. Ada perbedaan sedekah bumi Dusun
Kebon-tengah dengan Dusun sebelah baratnya yaitu Dusun Gedong yang juga
menam-pilkan pagelaran wayang kulit semalam
suntuk. Perbedaan yang mendasar adalah
sesaji yang dibawah pada saat acara inti, jika Dusun Kebontengah membawa
tum-peng, ayam panggang dan badhek, dusun
Gedong membawa tumpeng, ayam pang-gang dan aneka buah-buahan. Buah yang
dibawa mencerminkan prestise ekonomi warga, jika ada yang membawa buah
im-por yang mahal maka dianggap yang
pa-ling unggul.
Sedekah bumi ini bukan hanya se-bagai acara syukuran atau ngalap berkah
semata, namun sebagai ajang silaturrahmi antar warga dusun dalam menikmati hasil
panen (udang atau padi) yang melimpah
setahun sekali mengingat tidak semua warga hidup sehari-hari di dusun karena
mereka menjadi migran sirkuler di
Sura-baya dan kota-kota lainnya sebagai pen-jual soto ayam.
Interpretasi Mitos dengan Etos Kerja
Bermata pencaharian sebagai
penjual soto ayam adalah sebuah pilihan hidup bagi masyarakat Kampung soto.
Tindakan ini merupakan tindakan
simbolis yang tidak hanya berorientasi pada kepentingan eko-nomi semata yaitu
untuk menghasilkan uang. Pemilihan mata
pencaharian dan tindakan merantau menjadi penjual makanan adalah
panggilan suci. Panggilan ini berorientasi pada pelestarian tradisi (kebiasaan nenek
moyang) yang pada tujuan lebih besar
adalah untuk pencapaian keselamatan
religius dan sebagai pengungkapan ide tentang kebesaran Tuhan. Kerja keras
para penjual soto dipengaruhi oleh upaya
mewujudkan identitas sebagai cucu Buyut
Bakal yang telah berjasa membentuk
kul-tur merantau bagi warga Dusun Kebontengah. Mitos yang berkembang
ter-kait keturunan juru masak sunan
menim-bulkan semangat untuk tetap berupaya
menjaga cita rasa yang khas dalam pengo-lahan dan penyajian soto. Hubungan
anta-ra mitos dengan kegiatan perekenomian dijelaskan oleh Appadurai:
Mythologies produced by traders and speculators who are largely indifferent to both the production origins and the consumption destination of
commo-dities … Mythologies produced by
consumers (or potential consumers) alienated from the production and distribution process of key commo-dities
… and mythologies produced by
BioKultur, Vol.II/No.2/Juli-Desember 2013, hal. 130
are completely divorced from the distribution and consumption logics of the commodities they produce. (Appadurai 1986: 48 via Carrier 2005:86)
Mitologi berpengaruh pada
kebera-daan komoditas di suatu tempat terkait
dengan kegiatan produksi, konsumsi
sam-pai pada distribusi. Soto ayam kampung adalah komoditi utama yang berpengaruh
pada kegiatan ekonomi untuk perantau (migran sirkuler) di Dusun Kebontengah.
Banyak makanan dan minuman yang
da-pat dijadikan bisnis untuk menggantung-kan hidup, namun warga Dusun
Kebon-tengah mayoritas memilih soto ayam
se-bagai ko-moditas. Kebiasaan untuk
mem-buat dan berjualan soto telah mengakar pada warga dari masa ke masa. Sehingga
dapat memperkuat identitas bahwa soto ayam kampung berasal dari Lamongan.
Pandangan ini menjadikan pembentukan
mitos tentang soto ayam kampung. Mitos kekhasan dan identitas bahwa soto yang
enak berasal dari orang Lamongan asli
yang tetap menjaga cita rasa secara turun temurun.
Upacara sedekah bumi (dekahan)
sebagai kegiatan bersih desa pada dasar-nya adalah ritual semi keagamaan. Ritual
semi keagamaan (quasi rites) adalah
per-alihan antara perilaku sakral dan profan dan sebaliknya (Tremmel 1976:121).
Ka-dang sakral dan kaKa-dang religius. Hal ini
didasarkan pada konsep kosmologi dan
kosmogoni. Dekahan adalah ritual yang
bertujuan untuk pengharapan kepada le-luhur untuk keselamatan, kesejahteraan
dan kelimpahan berkah pada masyarakat
Dusun Kebontengah pada hasil bumi yang banyak dan laris dalam berjualan soto
ayam. Ritual semi keagamaan
berhubung-an dengberhubung-an kehidupberhubung-an kesehariberhubung-an dberhubung-an ada yang bersifat individual maupun komunal.
Ziarah ke makam Buyut Bakal adalah yang individual, sementara sedekah bumi (
de-kahan) adalah yang komunal.
Persembahan atau sesaji (sajen)
dalam ritual dekahan yang berupa air fer-mentasi ketan hitam (air badhek dalam
wadah bambu), panggang ayam dan
tum-peng mempunyai makna khusus. Air ba-dhek melambangkan buah manis dari
ker-ja keras yang didasari ketekunan dan kerja keras, memfermentasikan ketan
hi-tam tanpa pemanis berarti bahwa dalam
hidup harus apa adanya, berusaha kerja
keras dengan kejujuran tanpa menjadi orang yang bermulut manis (ojo lamis).
Jika sabar berusaha maka hasil yang ma-nis dapat dinikmati dikemudian hari,
se-bagaimana para penjual soto ayam yang
awalnya hanya bermodal seadanya namun berkat ketekunan dapat mengembangkan
usahanya. Bambu baik untuk tusuk ayam
BioKultur, Vol.II/No.2/Juli-Desember 2013, hal. 131 depan dan pentingnya regenerasi. Melalui
filosofi pohon bambu yang tumbuh
ber-kelompok dan pertumbuhan batang yang muda secara berkesinambungan dari
re-bung sampai bumbung, mencerminkan
bahwa dalam kehidupan diperlukan sikap sadar diri sepenuhnya sebagai anggota
suatu komunitas. Sikap menghargai pihak
yang lebih muda dan pentingnya rege-nerasi diwujudkan dengan mengajarkan
pemuda dusun untuk ikut bekerja di wa-rung sampai mereka dianggap bisa untuk
berdikari dan mendirikan warung sendiri.
Meninggalkan ujung tumpeng, kepala dan
kaki ayam beserta tusuk bambu di depan area makam Buyut Bakal seusai sesaji di
doakan bermakna penghormatan yang
tinggi pada keberadaan tokoh yang telah berjasa membuka dusun pertama kali. Hal
ini merefleksikan perlunya untuk selalu ingat kepada orang yang lebih tua dalam
segala hal. Praktek yang kerap dilakukan
oleh para penjual soto adalah
mengirim-kan sejumlah uang atau barang untuk orang tua dari kota tempat berdagang,
bahkan tidak sedikit yang mengirimkan bahan material yang digunakan untuk
memperbaiki rumah.
Mitos yang diyakini oleh sebagian besar masyarakat Dusun Kebontengah
di-anggap sebagai peristiwa yang terjadi
pa-da masa lampau pa-dan melibatkan tokoh penting yang berjasa dalam keberadaan
wilayah. Buyut Bakal mampu
menghadir-kan semangat persatuan dan solidaritas
antar warga dusun, makna makam ini sen-diri sebagai pusat orientasi dalam
menja-lankan kehidupan terutama dalam bidang
ekonomi. Keberadaan makam berfungsi sebagai pusat dalam dunia kosmos terkait
daur hidup. Orang yang akan menikah
maupun khitan harus berziarah di makam
Buyut Bakal, kemudian jika telah
mening-gal akan dimakamkan pula di sekitar
Bu-yut Bakal. Artinya berangkat dari leluhur
dan pulang berdampingan dengan leluhur.
Mitos dan etos berkaitan dengan
Buyut Bakal dan pekerjaan yang
berhu-bungan dengan kuliner (soto ayam).
Ke-duanya memiliki hubungan yang saling
mempengaruhi, keberadaan leluhur de-ngan berbagai ceritanya menginspirasi
warga dusun untuk tekun berusaha. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa
jika bekerja pada sektor yang sesuai
dengan warna umum di dusun maka
akan men-dapat berkah dari leluhur
(danyang). Mitos menciptakan semangat
kerja keras dan identitas khas dari sebuah kampung kecil yang disebut Dusun
Kebontengah dengan kampung soto
(dae-rah sotoan).
Kesimpulan
BioKultur, Vol.II/No.2/Juli-Desember 2013, hal. 132 leluhur dengan berbagai ceritanya
menginspirasi warga dusun untuk tekun
berusaha. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa jika bekerja pada
sektor yang sesuai dengan warna umum
di dusun maka akan mendapat berkah dari leluhur (danyang). Mitos
mencip-takan semangat kerja keras dan identitas
khas dari sebuah kampung soto. Diperlukan upaya pelestarian terhadap
kearifan lokal yang berbasis nilai-nilai luhur yang berhubungan dengan aktifitas
pemenuhan kebutuhan hidup termasuk
dalam sektor mata pencaharian dan
akti-vitas ekonomi. Dengan tetap menjaga hu-bungan baik dan harmoni dengan alam
transenden, akan mem-pererat solidaritas
antar anggota suatu komunitas dan ter-jaga kelangsungannya turun temurun.
Daftar Pustaka
Ahimsa-Putra, H.S. (2012), Strukturalisme Levi Strauss, Mitos dan Karya Sas-tra. Jogjakarta: Kepel Press.
Carrier, James G. (ed.) (2005), A
Hand-book of Economic Anthropology.
UK: Edward Elgar Publishing. Dhavamony, Maria Susai (1995),
Fenome-nologi Agama. Jogjakarta: Kanisius
Lambek, Michael (ed.) (2002), A Reader in
the Anthropology of Religion. UK:
Blakwell Publishing
Malinowski, Bronislaw (1948), Magic,
Sci-ence & Religion and Other Essays.
Souvenir Press LTD.
Suhardi (2009), Alam-Religi Solidaritas Sosial di Papua dan Jawa:
Tera-wang Antropologi. Jogjakarta: Pusat
Studi Asia Pasifik. Universitas Ga-djah Mada.
Tremmel, William Calloley (1976),
Reli-gion, What Is It?. United State of