• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PROFESIONALISME AUDITOR TERHADA (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENGARUH PROFESIONALISME AUDITOR TERHADA (1)"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PROFESIONALISME AUDITOR TERHADAP TINGKAT MATERIALITAS DAN RISIKO AUDIT

Dewi Anggun Puspitarini

Magister Akuntansi, Universitas Islam Indonesia

A. Pengertian Profesionalisme

Menurut pengertian umum, seseorang dikatakan profesional jika memenuhi tiga kriteria, yaitu mempunyai keahlian untuk melaksanakan tugas sesuai dengan bidangnya, melaksanakan suatu tugas atau profesi dengan menetapkan standar baku di bidang profesi yang bersangkutan dan menjalankan tugas profesinya dengan mematuhi Etika Profesional yang telah ditetapkan. Profesi dan profesionalisme dapat dibedakan secara konseptual. Profesi merupakan jenis pekerjaan yang memenuhi beberapa kriteria, sedangkan profesionalisme adalah suatu atribut individul yang penting tanpa melihat suatu pekerjaan merupakan suatu profesi atau tidak (Lekatompessy, 2003 dalam Novanda Friska, 2012).

Secara sederhana, profesionalisme berarti bahwa auditor wajib melaksanakan tugas-tugasnya dengan kesungguhan dan kecermatan. Sebagai seorang yang professional, auditor harus menghindari kelalaian dan ketidakjujuran. Sebagai profesional, auditor mengakui tanggung jawabnya terhadap masyarakat, terhadap klien, dan terhadap rekan seprofesi, termasuk untuk berperilaku yang terhormat, sekalipun ini merupakan pengorbanan pribadi.

Seorang auditor harus berpedoman kepada standar dan mengikuti aturan yang telah ditetapkan oleh AICPA. Standar ini terbagi dalam lima bidang utama a) Standar auditing, b) Standar kompilasi dan review, c) Standar Atestasi lainnya, d) Standar konsultasi, dan e) Kode Perilaku Profesional. Dari lima bidang utama di atas akan dibahas mengenai Standar auditing dan Kode perilaku profesional.

1. Standar auditing, merupakan pedoman untuk membantu auditor memenuhi tanggung jawab profesionalismenya dalam audit atas laporan keuangan. Standar ini mencakup pertimbangan mengenai kualitas profesional seperti kompetensi dan independensi, persyaratan pelaporan, dan bukti.

(2)

a. Standar Umum, menekankan pentingnya kualitas pribadi yang harus dimiliki auditor.

1) Auditor harus dilakukan oleh orang yang sudah mengikuti pelatihan dan memiliki kecakapan teknis yang memadai sebagai seorang auditor.

2) Auditor harus mempertahankan sikap mental yang independen dalam semua hal yang berhubungan dengan audit.

3) Auditor harus menerapkan kemahiran profesional dalam melaksanakan audit dan menyusun laporan.

b. Standar Pekerjaan Lapangan, menyangkut pengumpulan bukti dan aktivitas lain selama pelaksanaan audit yang sebenarnya.

1) Auditor harus merencanakan pekerjaan secara memadai dan mengawasi semua asisten sebagaimana mestinya.

2) Auditor harus memperoleh pemahaman yang cukup mengenai entitas serta lingkungannya, termasuk pengendalian internal, untuk menilai risiko salah saji yang mental dalam laporan keuangan karena kesalahan atau kecurangan, dan untuk merancang sifat, waktu serta luas prosedur audit selanjutnya.

3) Auditor harus memperoleh cukup bukti audit yang tepat dengan melakukan prosedur audit agar memiliki dasar yang layak untuk memberikan pendapat menyangkut laporan keuangan yang diaudit.

c. Standar Pelaporan

1) Auditor harus menyatakan dalam laporan auditor apakah laporang keuangan telah disajikan sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum.

2) Auditor harus mengidentifikasi dalam laporan auditor mengenai keadaan di mana prinsip-prinsip tersebut tidak secara konsisten diikuti selama periode berjalan jika dikaitkan dengan periode sebelumnya.

3) Jika auditor menetapkan bahwa pengungkapan yang informatif belum memadai, auditor harus menyatakannya dalam laporan audit.

(3)

2. Kode Perilaku Prefesional AICPA (American Institute of Certified Public Accountants) menyediakan baik standar umum perilaku yang ideal maupun peraturan perilaku yang khusus yang harus diberlakukan. Kode etik ini terdiri dari empat bagian: Prinsip-prinsip, peraturan perilaku, interpretasi atas peraturan perilaku, dan kaidah etika.

a. Prinsip-prinsip Perilaku Profesional

Bagian Kode Etik AICPA yang membahas prinsip-prinsip perilaku profesional mencakup diskusi umum tentang karakteristik sebagai akuntan publik.

1) Tanggung Jawab, dalam mengemban tanggung jawabnya sebagai profesional, para anggota harus melaksanakan pertimbangan profesional dan moral yang sensitif dalam semua aktivitas mereka.

2) Kepentingan publik, para anggota harus meneriama kewajiban untuk bertindak sedemikian rupa agar dapat melayani kepentingan publik, menghargai kepercayaan publik, serta menunjukkan komitmennya pada profesionalisme.

3) Integritas, untuk mempertahankan dan memperluas kepercayaan publik, para anggota harus melaksanakan seluruh tanggung jawab profesionalnya dengan tingkat integritas tertinggi.

4) Objektivitas dan Independensi, Anggota harus mempertahankan objektivitas dan bebas dari konflik kepentingan dalam melaksanakan tanggung jawab profesionalnya. Anggota yang berpraktik bagi publik harus independen baik dalam fakta maupun dalam penampilan ketika menyediakan jasa audit dan jasa atestasi lainnya.

5) Keseksamaan, Anggota harus memperhatikan standar teknis dan etika profesi, terus berusaha keras meningkatkan kompetensi dan mutu jasa yang diberikannya, serta melaksanakan tanggung jawab profesional sesuai dengan kemampuan terbaiknya.

6) Ruang Lingkup dan Sifat jasa, anggota yang berpraktik bagi publik harus memperhatikan prinsip-prinsip kode perilaku propesional dalam menentukan lingkup dan sifat jasa yang akan disediakannya.

b. Peraturan Perilaku

(4)

memegang sertifikat akuntan publik tetapi tidak berpraktik sebagai akuntan publik harus mematuhi sebagian besar, tetapi tidak semua ketentuan tersebut. Karena bagian tentang peraturan perilaku ini merupakan satu-satunya kode etik yang dapat diberlakukan, maka peraturan ini dinyatakan dalam ungkapan yang lebih spesifik daripada ungkapan yang tercantum dalam bagian prinsip. Karena sifatnya yang dapat diberlakukan, banyak praktisi merujuk peraturan ini sebagai Kode Prilaku Profesional AICPA.

c. Interpretasi Peraturan Perilaku

Kebutuhan akan interpretasi peraturan perilaku yang dipublikasikan timbul ketika terdapat beragam pertanyaan dari para praktisi tentang peraturan yang spesifik. Komite Eksekutif Etika Profesional AICPA menyiapkan setiap interpretasi berdasarkan konsensus komite yang terdiri dari para praktisi akuntan publik. Sebelum disahkan, interpretasi dikirimkan kepada sejumlah besar orang-orang penting dalam profesi untuk diminta masukannya. Interpretasi ini secara formal tidak dapat diberlakukan, tetapi penyimpangan dari interpretasi itu akan sulit dan bahkan mustahil untuk dijustifikasi oleh seorang praktisi dalam dengar pendapat disipliner. Interpretasi terpenting akan dibahas bersama dengan setiap bagian peraturan perilaku.

d. Kaidah Etika

Kaidah (Ruling) adalah penjelasan oleh komite eksekutif dari divisi etika profesional tentang situasi faktual khusus (specific factual circumstances). Sejumlah besar kaidah etika dipublikasikan dalam versi yang diperluas dari Kode Perilaku Profesional AICPA.

B. Konsep Profesionalisme

Konsep profesionalisme banyak digunakan oleh para peneliti untuk mengukur profesionalisme dari profesi auditor yang tercermin dari sikap dan perilaku. Menurut Hall (1968) dalam Novanda Friska Bayu Aji Kusuma (2012:15) terdapat lima dimensi profesionalisme, yaitu:

a) Pengabdian pada profesi

(5)

sebagai tujuan, bukan hanya alat untuk mencapai tujuan. Totalitas ini sudah menjadi komitmen pribadi, sehingga kompensasi utama yang diharapkan dari pekerjaan adalah kepuasan rohani, baru kemudian materi.

b) Kewajiban sosial

Kewajiban sosial adalah pandangan tentang pentingnya peranan profesi dan manfaat yang diperoleh baik masyarakat maupun profesional karena adanya pekerjaan tersebut.

c) Kemandirian

Kemandirian dimaksudkan sebagai suatu pandangan seseorang yang profesional harus mampu membuat keputusan sendiri tanpa tekanan dari pihak lain (pemerintah, klien, dan bukan anggota profesi). Setiap ada campur tangan dari luar dianggap sebagai hambatan kemandirian secara profesional.

d) Keyakinan terhadap peraturan profesi

Keyakinan terhadap profesi adalah suatu keyakinan bahwa yang paling berwenang menilai pekerjaan profesional adalah rekan sesama profesi, bukan orang luar yang tidak mempunyai kompetensi dalam bidang ilmu dan pekerjaan mereka. e) Hubungan dengan sesama profesi

Hubungan dengan sesama profesi adalah menggunakan ikatan profesi sebagai acuan, termasuk didalamnya organisasi formal dan kelompok kolega informal sebagai ide utama dalam pekerjaan. Melalui ikatan profesi ini para profesional membangun kesadaran profesional.

C. Definisi Materialitas

(6)

D. Konsep Materialitas

Financial Accounting Standard Board (FASB) mendefinisikan materialitas sebagai berikut:

Besarnya suatu penghilangan atau salah saji informasi akuntansi yang dipandang dari keadaan-keadaan yang melingkupinya, memungkinkan pertimbangan yang dilakukan oleh orang yang mengandalkan pada informasi menjadi berubah atau dipengaruhi oleh penghilangan atau salah saji tersebut.

Definisi di atas mengharuskan auditor untuk mempertimbangkan (1) keadaan-keadaan yang berhubungan dengan satuan usaha (perusahaan klien), dan (2) informasi yang diperlukan oleh mereka yang akan mengandalkan pada laporan keuangan yang telah diaudit. Sebagai contoh, suatu jumlah yang material bagi laporan keuangan perusahaan lain yang berbeda ukuran atau sifatnya. Selain itu, apa yang material bagi laporan keuangan suatu perusahaan, bisa berubah dari periode ke periode. Oleh karena itu, auditor misalnya dapat menyimpulkan bahwa tingkat materialitas untuk rekening-rekening modal kerja (working capital account) pada sebuah perusahaan yang hampir bangkrut harus lebih rendah bila dibandingkan dengan materialitas untuk perusahaan yang memiliki rasio lancar 4 : 1. Dalam mempertimbangkan informasi yang diperlukan bagi pemakai laporan keuangan, hendaknya dilandasi dengan asumsi yang tepat, misalnya bahwa pemakai laporan keuangan adalah investor-investor yang memahami informasi keuangan.

E. Pertimbangan Awal Materialitas

(7)

melunasi utang-utang jangka pendeknya telah berubah secara signifikan selama audit berlangsung. Dalam keadaan semacam itu, tingkat materialitas yang digunakan untuk mengevaluasi temuan-temuan audit bisa menjadi lebih tinggi daripada materialitas yang direncanakan.

Dalam merencanakan suatu audit, auditor harus mempertimbangkan materialiatas pada dua tingkatan, yaitu:

Tingkat laporan keuangan. karena pendapat auditor mengenai kewajaran mencakup

laporan keuangan sebagai keseluruhan.

Tingkat saldo rekening, karena auditor melakukan verifikasi atas saldo-saldo

rekening untuk dapat memperoleh kesimpulan menyeluruh mengenai kewajaran laporan keuangan.

F. Materialitas Pada Tingkat Laporan Keuangan

Materialitas laporan keuangan adalah besarnya keseluruhan salah saji minimum dalam suatu laporan keuangan yang cukup penting sehingga membuat laporan keuangan menjadi tidak disajikan secara wajar sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum. Dalam konteks ini, salah saji bisa diakibatkan oleh penerapan prinsip akuntansi secara keliru, tidak sesuai dengan fakta, atau karena hilangnya informasi penting.

Dalam merencanakan audit, auditor bisa menggunakan lebih dari satu tingkatan materialitas terhadap laporan keuangan, dan setiap jenis laporan keuangan bisa memiliki beberapa tingkatan materialitas. Untuk laporan rugi-laba, materialitas bisa dihubungkan dengan total pendapatan, laba kotor operasi, laba sebelum pajak, atau laba bersih. Untuk neraca, materialitas bisa didasarkan pada total aktiva, aktiva lancar, modal kerja, atau ekuitas pemegang saham.

(8)

dalam keterbatasan yang melekat pada proses audit, dapat memberikan bukti audit yang cukup untuk mencapai keyakinan yang memadai bahwa laporan keuangan bebas dari salah saji material. Auditor biasanya menggunakan salah saji terkecil yang dapat dianggap material untuk salah satu laporan keuangan. Aturan pengambilan keputusan ini dilakukan karena (1) laporan keuangan saling berhubungan , dan (2) sebagian besar prosedur audit berhubungan dengan lebih dari satu jenis laporan keuangan. Sebagai contoh, prosedur auditing untuk menentukan apakah penjualan kredit yang terjadi pada akhir tahun telah dicatat pada periode yang tepat, akan memberikan bukti baik bagi piutang dagang (neraca) maupun untuk penjualan (laporan rugi-laba).

Pertimbangan awal auditor tentang materialitas sering dibuat antara enam sampai sembilan bulan sebelum tanggal neraca. Oleh karena itu pertimbangan awal sering dibuat berdasarkan data interim yang kemudian ditaksir untuk data setahun. Alternatif lain, pertimbangan awal bisa juga dilakukan berdasarkan laporan keuangan dari tahun atau tahun-tahun yang lalu yang disesuaikan dengan perubahan-perubahan pada tahun berjalan, seperti misalnya kondisi umum perekonomian dan trend industri.

Pertimbangan materialitas menyangkut baik pertimbangan kuantitatif maupun pertimbangan kualitatif.

a) Pedoman Kuantitatif

Pada saat ini tidak ada standar akuntansi ataupun standar auditing yang berisi pedoman tentang pengukuran materialitas secara kuantitatif. Contoh berikut ini adalah pedoman yang sering digunakan oleh kantor-kantor akuntan dalam praktik.  5% sampai 10% dari laba bersih (10% untuk laba bersih kecil, dan 5% untuk

yang lebih besar).

 ½% sampai 1% dari total aktiva.

 1% dari modal

 ½% sampai 1% dari pendapatan kotor.

 Persentase yang berbeda-beda berdasarkan total aktiva atau pendapatan, mana

yang lebih besar. b) Pertimbangan Kualitatif

(9)

dalam audit, akan berakibat auditor menarik kesimpulan bahwa terdapat resiko signifikan sebagai tambahan atas risiko untuk salah saji yang sama tetapi tidak berhubungan dengan ketidakberesan atau tindakan melawan hukum. SA 312.13 menyatakan bahwa walaupun auditor harus waspada terhadap salah saji yang mungkin material secara kualitatif, pada umumnya tidaklah praktis untuk merancang prosedur pendeteksian.

G. Materialitas Pada Tingkat Saldo Rekening

Materialitas saldo rekening adalah minimum salah saji yang bisa ada pada suatu saldo rekening yang dipandang sebagai salah saji material. Salah saji sampai tingkat tersebut disebut salah saji bisa diterima. Konsep materialitas pada tingkat saldo rekening hendaknya tidak dicampuradukan dengan istilah saldo rekening yang material. Perlu dipahami bahwa saldo rekening yang material menunjukkan besarnya saldo sebuah rekening yang tercatat dalam pembukuan, sedangkan konsep materialitas berkaitan dengan jumlah salah saji yang bisa berpengaruh terhadap pengambilan keputusan oleh pemakai laporan keuangan. Saldo rekening yang tercatat pada pembukuan disebut material bila saldo tersebut menggambarkan batas atas suatu jumlah dan di atas jumlah itu rekening tersebut bisa menjadi terlalu tinggi (overstated). Jadi, rekening yang memiliki saldo lebih kecil dari jumlah saldo tersebut, disebut tidak material ditinjau dari sudut risiko terjadinya pelaporan terlalu tinggi. Namun demikian, tidak ada batasan mengenai jumlah suatu rekening bersaldo sangat kecil untuk bisa menjadi terlalu rendah (understated). Oleh karena itu perlu dipahami bahwa bisa terjadi suatu rekening yang kelihatannya memiliki saldo tidak material, sebenarnya telah dilaporkan terlalu rendah yang melebihi materialitas.

(10)

H. Pengalokasian Materialitas Laporan Keuangan Ke Rekening-Rekening

Apabila pertimbangan awal auditor tentang materialitas laporan keuangan dikuantifikasi, maka taksiran awal materialitas untuk setiap rekening bisa diperoleh dengan cara mengalokasikan materialitas laporan keuangan ke masing-masing rekening. Pengalokasian bisa dilakukan baik pada rekening neraca maupun rekening-rekening rugi-laba. Namun, mengingat bahwa sebagian besar salah saji pada rekenig rugi-laba juga berpengaruh terhadap neraca, dan karena rekening neraca biasanya lebih sedikit, maka auditor umumnya melakukan alokasi berdasarkan rekening-rekening neraca.

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu mahasiswa juga melakukan kampanye anti-Soekarno, mahasiswa Indonesia pada saat itu berada di garis depan karena mereka mendapat dukungan yang kuat

masa lampau tetapi keadaan sekarang seharusnya tidak memenuhi kriteria untuk episode depresi dengan derajat keparahan apapun atau gangguan lain apapun dalam -*+'-*4.

Setelah melihat kegiatan-kegiatan tarekat Muqtadiriyah yang biasa dilakukan oleh Khalifah Hadi beserta jamiyahnya beliau memiliki pandangan bahwa apa yang dilakukan

Dan dengan hal ini pula, Sukarno dikenal sebagai pencipta dari Pancasila yang terdiri dari: Kebangsaan Indonesia; Internasionalisme atau perikemanusiaan; Mufakat

Pembelajaran sejarah berbasis situs-situs sejarah Bima dengan menggunakan metode Inkuiri pada siswa kelas XI IPS 1 MAN 2 Kota Bima yang dilaksanakan dalam tiga siklus

Hasil penelitian menunjukkan (1) perangkat pembelajaran yang dikem- bangkan telah dinyatakan valid oleh validator dengan skor rata-rata 4,37 untuk skor maksimum 5,00; dan (2)

Untuk data mengenai pelanggaran kawin sasuku, sanksi dan respon atau tanggapan terhadap tindakan melanggar ini peneliti mencoba mengumpulkannya melalui wawancara

Sebuah Tesis yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister Pendidikan (M.Pd.) pada Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan,. Sekolah