TINJAUAN PUSTAKA Tanah Inseptisol
Inseptisol merupakan tanah yang belum berkembang dan memiliki lapisan
densitik, litik atau kontak paralitik pada kedalaman 40 dan 50 cm dari permukaan
tanah mineral atau yang lebih dangkal, pada kondisi aquik selama beberapa waktu
dalam setahun, dengan ciri : a) terdapat epipedon histik, b) terdapat horizon
sulfurik pada kedalaman 50 cm dari permukaan tanah mineral, c) lapisan yang
berada tepat dibawah epipedon atau pada kedalaman 50 cm dari permukaan tanah
mineral memiliki selaput liat (Soil Survey Staff, 2014; Hardjowigeno, 1993).
Sifat fisik yang khas pada Inseptisol adalah tekstur tanah yang didominasi
oleh bahan kasar hingga halus dengan kandungan liat cukup tinggi (35-78%),
tetapi sebagian lagi termasuk berlempung halus dengan kandungan liat lebih
rendah (18-35%), struktur tanahnya remah dan konsistensi adalah gembur. Warna
tanah Inceptisol umumnya kelabu, coklat sampai hitam tergantung bahan
induknya(Munir, 1996 ; Sudirja, 2007).
Kemasaman tanah Inseptisol berada pada rentang 4.5-6.5. Kandungan
bahan organik pada ordo tanah Inseptisol sebagian rendah sampai sedang dan
sebagian lagi sedang sampai tinggidengan rasio C/N tergolong rendah (5-10)
sampai sedang (10-18) (Puslittanak, 2000). Jumlah basa-basa dapat tukar
diseluruh lapisan tanah Inseptisol tergolong sedang sampai tinggi. Kompleks
absorbsi didominasi ion Mg dan Ca, dengan kandungan ion K relatif rendah.
Kapasitas tukar kation (KTK) sedang sampai tinggi di semua lapisan. Kejenuhan
Tanah Inseptisol di Indonesia adalah tanah yang cukup luas bagi lahan
pertanian, luasnya sekitar 70.52 juta ha (37.5%) sehingga sangat berpotensi untuk
budidaya tanaman pangan seperti tanaman jagung dan padi jika dikelola dengan
tepat dan sesuai. Dengan pemupukan dan penambahan bahan organik dapat
meningkatkan unsur hara yang terdapat pada tanah tersebut
(Puslittanak, 2000; Subagyo dkk, 2000).
Tanah Inseptisol cukup potensial untuk dilakukan budidaya tanaman
pertanian, terutama tanaman perkebunan dan pangan. Pengelolaan tanah Inseptisol
harus didasarkan pada sifat-sifat tanah tersebut baik sifat fisik maupun kimia.
Dengan mengacu pada sifat-sifat tersebut, maka tanah Inseptisol dapat
dimanfaatkan secara maksimal (Nurdin, 2012).
Urin Manusia
Urin manusia merupakan hasil sekresi atau sisa pengeluaran berupa cairan
proses metabolisme tubuh manusia selain dari keringat dan juga sistem
pengeluaran lain. Urin memiliki fungsi yang baik bagi tanaman karena memiliki
kandungan nutrisi yang tinggi yang dibutuhkan tanaman (Funamizu dkk, 2013).
Kandungan urin manusia dari berat kering memiliki kandungan N 15-19%,
P2O51-2,5%, dan K2
Urin manusia memiliki unsur N yang tersedia bagi tanaman dalam bentuk
NH
O5%. Manusia dewasa rata-rata mengeluarkan urin 1,-1,3
liter/hari dan di dalamnya terkandung urea yang bermanfaat sebagai pensuplai
unsur N (Soeparman dan Suparmin, 2002).
4+ dan NO3-. Pradhan dkk (2007) juga menjelaskan bahwa di dalam urin
manusia terdapat N dalam bentuk amonium (NH4+) dengan jumlah 940 mg/L dan
Urin manusia memiliki potensi yang baik bagi pertumbuhan tanaman
karenakandungan hara N yang berfungsi untuk dapat menyokong pertumbuhan
akar tanaman. Pemberian 100 mL melakukan perlakuan yang paling efektif yakni
urin manusia tanpa fermentasi menunjukkan volume akar yang lebih tinggi, hal ini
terjadi karena mengadung unsur hara yang salah satunya N total sebanyak 352,8
mg/100 mL yang berfungsi menyokong pertumbuhan akar tanaman
(Gunawan dkk ,2013).
Fermentasi Urin
Fermentasi merupakan proses pemecahan senyawa organik menjadi
senyawa sederhana yang melibatkan mikroorganisme. Fermentasi merupakan
segala macam proses metabolisme (enzim, jasad renik secara oksidasi, reduksi,
hidrolisa, atau reaksi kimia lainnya) yang melakukan perubahan kimia pada suatu
subsrat organik dengan menghasilkan produk akhir (Sudiro, 2013).
Proses fermentasi urin memiliki keunggulan dibandingkan dengan urin
yang tidak difermentasi, yaitu meningkatkan kandungan hara yang terdapat pada
urin tersebut yang dapat menyuburkan tanaman. Selain itu, bau urin yang telah
difermentasi menjadi kurang menyengat jika dibandingkan dengan bau urin yang
belum difermentasi (Sudiro, 2013).
Fermentasi urin untuk pupuk organik cair yang dilakukan oleh bakteri
ternyata juga terdapat beberapa kelemahan. Tidak semua N dapat diubah menjadi
bentuk yang mudah dihisap akan tetapi dipergunakan oleh bakteri-bakteri itu
sendiri untukkeperluan hidupnya. Terjadi perubahan-perubahan yang merugikan
dimana N menguap. Di dalam pupuk cair N terdapat sebagai ureum CO(NH2)2
pemupukan tertinggi adalah ureum karena N yang sangat tinggi (48 %), sehingga
N yang terdapat dalam air kencing sangat mudah dan cepat dirubah oleh
bakteri-bakteri menjadi amonium karbonat (Sudiro, 2013).
Untuk mengatasi kelemahan tersebut digunakan dengan penambahan tetes
tebu (molases). Tetes tebu merupakan sumber C dan N bagi ragi yang didapatkan
dari proses fermentasi. Prinsip fermentasi adalah proses pemecahan senyawa
organik menjadi senyawa sederhana yang melibatkan mikrorganisme.
Mikroorganisme ini berfungsi untuk menjaga keseimbangan C dan N yang
merupakan faktor penentu keberhasilan dalam proses fermentasi. Fungsi tetes tebu
dalam proses fermentasi adalah sebagai aditif yang berfungsi untuk penyuburan
mikroba, karena dalam tetes tebu (molasses) terdapat nutrisi bagi bakteri
Sacharomyces cereviceae. Sacharomyces cereviceae bertugas untuk
menghancurkan material organik yang ada di dalam urin dan tentunya mereka
juga membutuhkan N dalam jumlah yang tidak sedikit untuk nutrisi mereka.
N akan bersatu dengan mikroba selama penghancuran material organik. Oleh
karena itu dibutuhkan tambahan material tetes tebu yang mengandung komponen
N sangat diperlukan untuk menambah kandungan unsur hara agar proses
fermentasi urine berlangsung dengan sempurna. Selain itu, berdasarkan kenyataan
bahwa tetes tebu tersebut mengandung karbohidrat dalam bentuk gula yang tinggi
(64%) disertai berbagai nutrien yang diperlukan jasad renik juga dapat
meningkatkan kecepatan proses produksi pengolahan urine menjadi pupuk dalam
waktu yang relatif singkat (Huda, 2013).
Berdasarkan hasil pengamatan pada urine yang belum difermentasi dan
Pada saat sebelum difermentasi yang memiliki kandungan unsur hara N, P, K
adalah 1,1; 0,5; 0,9 dan saat urine setelah difermentasi terjadi peningkatan pada
kandungan hara sehingga memungkinkan dalam melakukan fermentasi dilihat
pada peningkata unsur hara pada N, P, K,menjadi 2,7; 2,4; 3,8 (Sudiro, 2013).
Zat Pengatur Tumbuh Urin
Zat pengatur tumbuh (ZPT) atau fitohormon adalah senyawa organik yang
bukan hara yang dalam jumlah sedikit dapat mendukung, menghambat atau secara
kualitatif merubah pertumbuhan dan perkembangan tanaman serta dapat merubah
proses fisiologi tumbuhan. Zat pengatur tumbuh dalam tanaman terdiri dari enam
kelompok yaitu Auxin, giberelin, sitokinin, etilen, brasinostreoid dan asam absisat
(Wiliam dkk, 2006).Adanya zat tumbuh yang terdapat dalam tubuh tanaman
maupun hormon yang diberikan mampu memacu proses pertumbuhan tinggi. Zat
pengatur tumbuh berfungsi mendorong pertumbuhan, dimana dengan pemberian
zat pengatur tumbuh terhadap tanaman dapat merangsang penyerapan hara oleh
tanaman (Trisna dkk, 2013).
Urin manusia memiliki kandungan zat pengatur tumbuh yaitu dari
golongan auksin/IAA (Indole-3-acetic acid). Auksin merupakan senyawa dengan
ciri-ciri mempunyai kemampuan dalam mendukung terjadinya perpanjangan sel
pada pucukdengan struktur kimia indole ring, banyaknya kandungan auksin
didalam tanaman (Wakamatsu, 2006). Fungsi auksin sebagai salah satu zat
pengatur tumbuh bagi tanaman adalah memiliki pengaruh yang besar terhadap
pemanjangan dan pembelahan sel pada kambium, fototropisme, geotropime,
apikal dominansi, pertumbuhan akar, partenokarpi, absisisi, pembentukan